Anda di halaman 1dari 60

ASUAHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS DAN LBP

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK III

1. PARIJAN MAHMUD
2. REZMA RAHAYU ARYANTI
3. WARIDATUL ISMI
4. YOLANDA AULIA LESTARI
5. YARISA MAULIDIA
6. PUTU ANGGA SWANDANA
7. NITA SULASTIA W
8. REZA SEPTIANA HANDAYANI
9. TWIARTI
10. RIZALDILIYANTO

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM PRODI
JENJANG S1 KEPERAWATAN TAHUN AKADEMIK
2019/2020

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Asuhan keperawatan
Osteoporosis dan LBP” dapat terselesaikan dengan baik.Maksud dan tujuan dari
penulisan makalah ini tidaklain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban
Mata Kuliah Keperawatan Anak II, serta merupakan bentuk langsung tanggung
jawab kelompok pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, kelompok juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada seluruh rekan-rekan yang sudah membantu menyelesaikan makalah ini baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi referensi bagi
pembaca.

Mataram 15 November 2019

Penulis

Kelompok III

1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar belakang..................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ............................................................... 1
1.3 Tujuan .................................................................................. 2
BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT .............................................. 3
2.1 OSTEOPOROSIS............................................................... 3
2.2 LBP ...................................................................................... 8
BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN ................ 12
3.1 OSTEOPOROSIS................................................................ 12
3.2 LBP ....................................................................................... 12
BAB VI PENUTUP ...............................................................................
4.1 KESIMPULAN ....................................................................
4.2 SARAN .................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 13

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dengan bertambahnya usia harapan hidup orang Indonesia, jumlah
manusia lanjut usia di Indonesia akan bertambah banyak pula. Dengan
demikian, masalah penyakit akibat penuaan akan semamkin banyak kita hadapi.
Salah satu penyakit yang harus diantisipasi adalah penyakit osteoporosi dan
patah tulang. Pada situasi mendatang, akan terjadi perubahan demografis yang
akan meningkatkan populasi lanjut usia dan meningkatkan terjadinya patah
tulang karena osteoporosis.
Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang ditandai
dengan pengurangan massa tulang yang disertai kemunduran mikroarsitektur
tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan
kerapuhan tulang. Keadaan ini berisiko tinggi karena tulang menjadi rapuh dan
mudah retak bahkan patah. Banyak orang tidak menyadari bahwa osteoporosis
merupakan penyakit tersembunyi (silent diseases). Osteoporosis lebih banyak
terjadi pada wanita daripada pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen
yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun sedangkan pada
pria hormon testoteron turun pada usia 65 tahun. Menurut statistik dunia 1 dari
3 wanita rentan terkena penyakit osteoporosis.
Insiden osteoporosis meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi
usia lanjut. Pada tahun 2005 terdapat 18 juta lanjut usia di Indonesia, jumlah ini
akan bertambah hingga 33 juta pada tahun 2020 dengan usia harapan hidup
mencapai 70 tahun. Menurut data statistik tahun 2004 lebih dari 44 juta orang
Amerika mengalami osteopenia dan osteoporosis. Pada wanita usia ≥ 50 tahun
terdapat 30% osteoporosis, 37-54% osteopenia dan 54% berisiko terhadap
fraktur osteoporotik.
Menurut WHO (2012), angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat
osteoporosis di seluruh dunia mencapai angka 3,7 juta orang dan diperkirakan
angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3 juta orang pada tahun

3
2050 dan 71% kejadian ini akan terdapat di negara-negara berkembang. Di
Indonesia 19,7% dari jumlah lansia atau sekitar 3,6 juta orang diantaranya
menderita osteoporosis. Lima provinsi dengan risiko osteoporosis lebih tinggi
adalah Sumatra Selatan (27,75%), Jawa 1 Tengah (24,02%), Yogyakarta
(23,5%), Sumatra Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%), Kalimantan Timur
(10,5%). Prevalensi wanita yang menderita osteoporosis di Indonesia pada
golongan umur 50-59 tahun yaitu 24% sedang pada pria usia 60-70 tahun
sebesar 62%. (Kemenkes, 2013).
1.2 Rumusan masalah
1. Apakah definisi dari osteoporosis dan LBP ?
2. Apakah etiologi dari osteoporosis dan LBP ?
3. Apakah klasifikasi dari osteoporosis dan LBP ?
4. Apakah manifestasi klinis dari osteoporosis dan LBP?
5. Apakah patofisiologi dan patway dari osteoporosis dan LBP?
6. Apakah pemeriksaan penunjang dari osteoporosis dan LBP?
7. Apakah penatalaksanaan dari osteoporosis dan LBP?
8. Apakah asuhan keperawatan dari osteoporosis dan LBP
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari osteoporosis dan LBP
2. Mengetahui etiologi dari osteoporosis dan LBP
3. Mengetahui klasifikasi dari osteoporosis dan LBP
4. Mengetahui manifestasi klinis dari osteoporosis dan LBP
5. Mengetahui patofisiologi dan patway dari osteoporosis dan LBP
6. Mengetahui periksaan penunjang dari osteoporosis dan LBP
7. Mengetahui penatalaksanaan dari osteoporosis dan LBP
8. Mengetahui asuhan keperawatan dari osteoporosis dan LBP

4
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT OSTEOPOROSIS DAN LBP
2.1 Osteoporosis
2.2.1 Definisi
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang,
dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis
adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas
berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan
mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang
dapat menimbulkan kerapuhan tulang ( Tandra, 2009).
Menurut WHO pada International Consensus Development
Conference, di Roma, Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan
sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai perubahan
mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang
pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang
dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006).
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah
kelainan kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang
mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah
tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari dua
faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang (Junaidi, 2007).
Tulang adalah jaringan yang hidup dan terus bertumbuh. Tulang
mempunyai struktur, pertumbuhan dan fungsi yang unik. Bukan hanya
memberi kekuatan dan membuat kerangka tubuh menjadi stabil, tulang
juga terus mengalami perubahan karena berbagai stres mekanik dan
terus mengalami pembongkaran, perbaikan dan pergantian sel.
Untuk mempertahankan kekuatannya, tulang terus menerus
mengalami proses penghancuran dan pembentukan kembali. Tulang
yang sudah tua akan dirusak dan digantikan oleh tulang yang baru dan

5
kuat. Proses ini merupakan peremajaan tulang yang akan mengalami
kemunduran ketika usia semakin tua.
Pembentukan tulang paling cepat terjadi pada usia akil balig atau
pubertas, ketika tulang menjadi makin besar, makin panjang, makin
tebal, dan makin padat yang akan mencapai puncaknya pada usia sekitar
25-30 tahun. Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia 30
tahun, yang akan makin bertambah setelah diatas 40 tahun, dan akan
berlangsung terus dengan bertambahnya usia, sepanjang hidupnya. Hal
inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan massa tulang yang
berakibat pada osteoporosis ( Tandra, 2009).
2.2.2 Etiologi
Beberapa penyebab osteoporosis, yaitu:
1. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya hormon
estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur
pengangkutan kalsium kedalam tulang. Biasanya gejala timbul pada
perempuan yang berusia antara 51-75 tahun, tetapi dapat muncul
lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen produksinya mulai
menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4
tahun setelah menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa
tulang sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah
menopause.
2. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari
kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas)
dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis berarti bahwa
keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya
terjadi pada orang-orang berusia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih
sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita
osteoporosis senilis dan pasca menopause.

6
3. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami
osteoporosis sekunder yang disebabkan oleh keadaan medis lain
atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal
kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan
adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat,
antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol
yang berlebihan dan merokok dapat memperburuk keadaan ini.
4. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal,
kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas
dari rapuhnya tulang ( Junaidi, 2007).
2.2.3 Klasifikasi osteoporosis
Menurut KemenKes (2011), Klasifikasi osteoporosis dibagi
menjadi 3 golongan besar menurut penyebabnya, yaitu: Osteoporosis
Primer adalah osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit
(proses alamiah), dan Osteoporosis sekunder bila disebabkan oleh
berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti infeksi tulang, tumor tulang,
pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas yang lama
1. Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya massa
tulang dan atau terhentinya produksi hormon (khusus perempuan)
disamping bertambahnya usia. Osteoporosis primer terdiri dari :
a. Osteoporosis Primer Tipe I
Sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca
menopause, yang terjadi pada wanita pasca menopause. terjadi
karena kurngnya hormon estrogen (hormon utama pada
wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium
kedalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang
berusia antara 51-75 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat

7
atau lebih lambat. Hormon estrogen produksinya menurun 2-3
tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun
setelah meopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang
sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah
menopause
b. Osteoporosis Primer Tipe II
Sering disebut dengan istilah osteoporosis senilis, yang
terjadi pada usia lanjut. Pasien biasanya berusia ≥70 tahun, pria
dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama terserang,
fraktur biasanya pada tulang paha. Selain fraktur maka gejala
yang perlu diwaspadai adalah kifosis dorsalis bertambah, makin
pendek dan nyeri tulang berkepanjangan.
Pada osteoporosis primer tipe II, kemungkinan merupakan akibat
dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidak seimbangan antara kecepatan hancurnya
tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru(osteoblast).
2. Osteoporosis Skunder
Osteoporosis sekunder, adalah osteoporosis yang disebabkan
oleh berbagai penyakit tulang (chronic rheumatoid, artritis, tbc
spondilitis, osteomalacia, dll), pengobatan steroid untuk jangka
waktu yang lama, astronot tanpa gaya berat, paralise otot, tidak
bergerak untuk periode lama, hipertiroid, dan lain-lain.
3. Osteoporosis Juvenil Idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak
diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang
memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang
normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya
tulang.

8
2.2.4 Manifestasi Klinis
Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan
sampai puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat
berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, akan timbul
nyeri dan perubahan bentuk tulang.
Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akan memberikan
keluhan atau gejala sebagai berikut:
1. Tinggi badan berkurang
2. Bungkuk atau bentuk tubuh berubah
3. Patah tulang
4. Nyeri bila ada patah tulang (Tandra, 2009).
2.2.5 Patofisiologis
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan
alkohol), dan aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan
masa tulang mulai terjadi setelah tercaipainya puncak massa tulang.
Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan
hormonal mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen
pada saat menopouse dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan
resorpsi tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca
menopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk
mempertahankan remodelling tulang selama bertahun-tahun
mengakibatkan pengurangan massa tulang dan fungsi tubuh. Asupan
kasium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun
mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan
osteoporosis. Asupan harian kalsium yang dianjurkan (RDA :
recommended daily allowance) meningkat pada usia 11 – 24 tahun
(adolsen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk
memaksimalakan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap
800 mg, tetapi pada perempuan pasca menoupose 1000-1500 mg per

9
hari. Sedangkan pada lansia dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam
jumlah tidak terbatas. Karena penyerapan kalsium kurang efisisien dan
cepat diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer, 2002).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh)
dan eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan
kortikosteroid yang lama, sindron Cushing, hipertiriodisme dan
hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan massa tulang. Obat-
obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung
alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen
tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika
diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan
diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga terjadi
osteoporosis.

10
2.2.6 Pathway

Osteoblas makin
Menopause
sedikit diproduksi

Ketidakseimbangan antara pembentiukan


tulang dan kerusakan tulang

Osteoblas menjadi lebih dominan dan


kerusakan tulang tidak lagi bisa didiimbangi
dengan kerusakan tulang

Seiring bertambahnya usia,tulang semakin


kropos ( mulai masuk osteoporosis

Genetik,gaya hidup,alcohol,penurunan
produksi hormon.

Kemunduran Penurunan massa


struktur jaringan

Osteoporosis
nyeri Kerapuhan tulang

Kiposis Keseimbangan
Fraktur tubuh menurun

Perubahan bentuk Resiko cidera


Deficit tubuh, penurunan
perawatan BB
diri
Hambatan
mobilitas fisik
(Alfaro-LeFevre, 1998).

11
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologis
Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebrata spinalis.Dinding dekat
korpus vertebrata biasanya merupakan lokasi yang paling
berat.Peripisa koteks dan hilangnya trabekula transfersal merupakan
kelainan yangb sering di temukan Lemahnya korpus vertebra
menyebabakan penonjolan yang menggelembung dari nukleus
pulposus ke dalam ruang intervertebral dan menyebabkan defomitas
bikonkaf.
2. CT Scan
St scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyai nilai penting dalam terapi diagnostic dan terapi follow
up. Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3 biasanya tidak menimbulkan
fraktur vertebrata atau penonjolan. Sedang mineral vertebra dibawah
65 mg/cm3 ada pada pasien yang mengalami fraktur.
3. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang
nyata.
2) Kadar HPT ( pada pascamenopuse kadar HPT meningkat ) dan
Ct ( terapi ekstrogren merangsang pembentukan Ct )
3) Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun
4) Eksresi fospat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat
kadarnya.
2.2.8 Penetalaksanaan
1. Medis
Terapi dan pengobatan osteoporosis bertujuan untuk
meningkatkan kepadatan tulang untuk mengurangi retak tambahan
dan mengontrol rasa sakit. Untuk terapi dan pengobatan
osteoporosis sebenarnya memerlukan suatu tim yang terdiri dari

12
multidisipliner minimal antara lain departemen bedah, departemen
penyakit dalam, departemen psikologi, departemen biologi,
departemen obstetri dan ginekologi, departemen farmakologi.
Penyakit osteoporosis selain mempengaruhi tubuh, juga
mempengaruhi kondisi psikis penderitanya terutama akibat patah
tulang sehingga terapi dan pengobatan osteoporosis pun melibatkan
spesialis kejiwaan. Tidak hanya itu, departemen kedokteran
olahraga juga diperlukan dalam terapi dan pengobatan osteoporosis.
Untuk mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan
persediaan kalsium dan mineral lainnya yang memadai, dan harus
menghasilkan hormon dalam jumlah yang mencukupi (hormon
paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen pada wanita
dan testosteron pada pria).
Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya sampai
tercapai kepadatan maksimal (sekitar usia 30 tahun). Setelah itu
kepadatan tulang akan berkurang secara perlahan. Oleh sebab itu,
kepadatan tulang harus dijaga sejak masih muda agar saat tuanya
tidak menderita osteoporosis.
Semua wanita, terutama yang menderita osteoporosis, harus
mengkonsumsi kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang
mencukupi. Wanita pasca menopause yang menderita osteoporosis
juga bisa mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan
progesteron) atau alendronat (golongan bifosfonat) yang bisa
memperlambat atau menghentikan penyakitnya.
Pria yang menderita osteoporosis biasanya mendapatkan
kalsium dan tambahan vitamin D, terutama jika hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa tubuhnya tidak menyerap kalsium dalam
jumlah yang mencukupi.Jika kadar testosteronnya rendah, bisa
diberikan testosteron.

13
Pada kolaps tulang belakang disertai nyeri punggung yang
hebat, diberikan obat pereda nyeri, dipasang supportive back brace
dan dilakukan terapi fisik. Penjepit punggung mungkin penting
untuk mendukung vertebra yang lemah dan operasi dapat
memperbaiki beberapa keretakan. Pengobatan hormonal dan
flouride dapat membantu. Penyakit osteoporosis yang disebabkan
oleh gangguan lain dapat dicegah melalui pengobatan yang efektif
pada gangguan dasarnya, seperti terapi kortikosteroid.
Beberapa obat meningkatkan ketebalan tulang atau
memperlambat kecepatan penghilang tulang.
1. Natrium Alendronat
Indikasi:
Untuk pengobatan osteoporosis pada wanita
pascamenopause. Osteoporosis dikonfirmasi dengan temuan
masa tulang yang rendah atau dengan keberadaan atau riwayat
fraktur osteoporotik.
Dosis:
Dosis yang direkomendasikan adalah 70 mg sekali
seminggu atau 10 mg sekali sehari. Obat diberikan harus
diberikan sekurang-kurangnya setengah jam sebelum makan.
Tidak diperlukan penentuan dosis untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal ringan hingga sedang dan untuk
manula.
2. Asam Ibandronat
Indikasi: Pengobatan osteoporosis pascamenopause,
mengurangi risiko fraktur, pencegahan bone loss pada wanita
pascamenopause yang memiliki risiko terhadap
berkembangnya osteoporosis.

14
Kontraindikasi: Hipersensitivitas, uncorrected hypocalcemia,
ketidakmampuan berdiri atau duduk tegak selama paling sedikit
60 menit, kehamilan, menyusui
Dosis: Pengobatan dan pencegahan: 2,5 mg sekali sehari. Obat
harus diminum 60 menit sebelum mengkonsumsi makanan
atau minuman pertama kali (selain air) atau mengkonsumsi
obat atau suplemen oral lainnya (termasuk kalsium). Tablet
harus ditelan utuh dengan segelas penuh air putih (180 hingga
240 mL) sambil duduk atau berdiri dalam posisi tegak. Pasien
tidak boleh berbaring selama 60 menit setelah meminum obat
ini. Air putih adalah satu-satunya minuman yang boleh
diminum dengan obat ini. Beberapa air mineral dapat
mengandung kadar kalsium yang lebih tinggi sehingga tidak
boleh digunakan. Obat ini tidak boleh dikunyah atau dihisap
karena dapat menyebabkan ulserasi orofaringeal.Pengobatan
osteoporosis pascamenopause, oral, 150 mg satu kali sebulan
atau injeksi intravena diberikan selama 15-30 detik, 3 mg
setiap 3 bulan.
3. Asam Zoledronat
Indikasi: hiperkalsemia malignan
Kontraindikasi: Pasien yang hipersensitif terhadap asam
zoledronat, bifosfonat, atau zat tambahan dalam obat ini,
kehamilan, menyusui.
Dosis: Dewasa dan lansia: dosis yang dianjurkan untuk HCM
(albumin-corrected serum calcium ≥12.0 mg/dl atau 3.0
mmol/l) rekonstitusi 4 mg asam zoledronat dilarutkan dalam
cairan infus (dilarutkan dalam 50 mL 0.9% NaCl atau 5%
glukosa) diberikan secara infus intravena dosis tunggal selama
15 menit. Status hidrasi pasien harus dipantau terutama pada
sebelum pemberian infus dan cairan infus yang diberikan

15
disesuaikan dengan kondisi klinik pasien. Penderita gagal
ginjal tidak ada penyesuaian dosis atau waktu infus yang
diperlukan pada pasien dengan gangguan ginjal ringan sampai
sedang (kreatinin serum < 400µmol/l atau < 4.5 mg/dl).
Penderita insufisiensi hati tidak ada data klinik pada
pengobatan pasien dengan penyakit hati yang parah, tidak ada
rekomendasi khusus untuk pasien ini
4. Risedronat Natrium
Indikasi: Osteoporosis, osteoporosis akibat glukokortikoid,
penyakit tulang Paget’s disease
Kontraindikasi: Gangguan ginjal berat (klirens kreatinin
kurang dari 30 mL/min), kehamilan, menyusui
Dosis: Terapi osteoporosis 5 mg per hari atau 35 mg sekali
seminggu atau 150 mg sekali sebulan pada tanggal yang sama,
untuk profilaksis osteoporosis (termasuk osteoporosis akibat
kortikosteroid) pada wanita pascamenopause, 5 mg sehari,
untuk dosis yang terlupa pada penggunaan dosis bulanan,
minum segera setelah ingat, kecuali dosis terlupa berjarak
kurang dari 7 hari dengan dosis berikutnya, tidak
direkomendasikan pada anak, penyakit tulang Paget’s disease,
30 mg sehari selama 2 bulan, dapat diulangi jika diperlukan,
setelah sekurang-kurangnya 2 bulan.
2. Keperawatan
Diet kaya kalsium dan vitamin D yang mencukupi dan
seimbang sepanjang hidup, dengan pengingkatan asupan kalsium
pada permulaan umur pertengahan dapat melindungi terhadap
demineralisasi skeletal. Terdiri dari 3 gelas vitamin D susu skim
atau susu penuh atau makanan lain yang tinggi kalsium (mis keju
swis, brokoli kukus, salmon kaleng dengan tulangnya) setiap hari.

16
Untuk meyakinkan asupan kalsium yang mencukupi perlu
diresepkan preparat kalsium (kalsium karbonat).
Pada menopause, terapi pergantian hormone (HRT=hormone
replacemenet therapy) dengan estrogen dan progesteron dapat
diresepkan untuk memperlambat kehilangan tulang dan mencegah
terjadinya patah tulang yang diakibatkannya. Wanita yang telah
mengalami pengangkatan ovarium atau telah menjalani menopause
prematur dapat mengalami osteoporosis pada usia yang cukup
muda; penggantian hormon perlu dipikirkan pada pasien ini
estrogen menurunkan resorpsi tulang tapi tidak meningkatkan
massa tulang. Penggunaan hormon dalam jangka panjang masih
dievaluasi. Estrogen tidak akan mengurangi kecepatan kehilangan
tulang dengan pasti. Terapi estrogen sering dihubungkan dengan
sedikit pengingkatan insidensi kanker payudara dan endometrial.
Maka selama HRT pasien harus diperiksa payudaranya setiap
bulan dan diperiksa panggulnya termasuk masukan papanicolaou
dan biopsi endometrial (bila ada indikasi), sekali atau dua kali
setahun.
Obat-obat lain yang dapat diresepkan untuk menangani
osteoporosis termasuk kalsitonin, natrium fluorida, dan natrium
etidronat. Kalsitonin secara primer menekan kehilangan tulang dan
diberikan secara injeksi subkutan atau intra muscular. Efek samping
( mis gangguan gastrointestinal, aliran panas, frekuensi urin)
biasanya ringan dan kadang-kadang dialami. Natrium fluoride
memperbaiki aktifitas osteoblastik dan pembentukan tulang ;
namun,kualitas tulang yang baru masih dalam pengkajian. Natrium
etidronat, yang menghalangi resorpsi tulang osteoklastik, sedang
dalam penelitian untuk efisiensi penggunaannya sebagai terapi
osteoporosis.

17
2.2.9 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Osteoporosis
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, alamat, semua
data mengenai identitas klien untuk menentukan tindakan
selanjutnya.
1. Umur : pada penyakit osteoporosis rentang usia adalah pada
usia lanjut yaitu pada umur usia lanjut (lansia ) di atas 50
tahun pada usia ini kerap kalsium akan menurun seiring
dengan bertambahnya usia dan berisiko tinggi terjadinya
osteoporosis ini
2. Jenis kelamin : pada penelitian resiko ringan, sedang dan
berat lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan laki-
laki hal ini sesuai dengan masa skeletal mulai menurun
sekitar 0,5% pertahun baik pada laki-laki maupun
perempuan penurunan masa dan lebih rendah pada laki-laki
dan yang kedua karena ketika masuk masa menepos maka
terjadinya fungsi oparium kehilangan tulang lebih cepat
3% pertahumya. Hal inilah yang menyebabkan kenapa
esteoprosis lebih banyak terjadi pada wanita dan karna
kehilangan pengaruh hormon ekstrogen yang mulai
menurun, prevalansi osteoporosis primer pada wanita 1 : 5,
sedangkan pria lebih rentan terjadi osteoporosis sekunder,
kare wanita kehilangan masa tulang semasa hidup 30 % -
50%, pria 20%-30% hal ini karena mepause.
3. Akvifitas : Penykit osteoprosis ini juga dapat disebabkan
oleh aktifitas yang berat karna bertambahnya usia maka
akan mengakibatkan kekurangan kalsium dan terjadinya

18
kecepatan hancurnya tulang rapuhnya tulang (menurut
junaidi 2007)
b. Keluhan utama
Mengkaji keluhan yang paling dirasakan klien.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Mengkaji keluhan yang dirasakan pasien saat munculnya
gejala sampai saat dilakukan pengkajian
2) Riwayat kesehatan dahulu
Mengkaji riwayat penyakit yang pernah dialami pasien.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Berkaitan erat dengan penyakit keturunan dalam keluarga,
misalnya ada anggota keluarga yang pernah
menderitapenyakit yang sama.
d. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran tinggi badan dengan sebuah stadiometer.
Penurunan tinggi badan sekitar 2 cm atau lebih
dibandingkan dengan tinggi sbelumnya menandakan
adanya fraktur pada tulang vertebrae
2) Periksa berat badan. Seseorang dengan osteoporosis
biasanya memiliki berat badan yang rendah (BMI <19 kg/
m2 atau mengalami penurunan berat badan 5% atau lebih.
3) Periksa kurvatula, perhatikan ada atau tidaknya skoliosis
atau lordosis.
4) Pemeriksaan fraktur
Seseorang dengan trakur kompresi tulang vertebrae
akan mengalami thoracic kyphosis dengan servical lordosis
yang berlebihan (dowager hump). Hal ini diikuti dengan
hilangnya lumbar kordosis. Setelah kejadian fraktur
kompresi dan kifosis yang progresif, pasien tersebut

19
biasanya akan mengalami pnurunan tinggi badan sekitar 2-3
cm.
Bila dlakukan perkusi disekitar tulang vertebrae
yang patah, punggung pasien akan terasa lebih empuk.
Pasien dengan fraktur pada pubis dan sacrum ditandai
dengan adanya nyeri yang hebat saat menggerakan sendi
sakroiliakanya.
Fraktur pada bagian tubuh yang lain termasuk distal radius
dan humerus biasanya ditandai dengan rasa nyeri dan
mengakibatkan ROM pada sendi yang bersangkutan.
5) Pemeriksaan defek kolagen
Seseorang dengan osteoporosis akan mengalami
defek kolagen yang ditandai dengan pemendekan jari-jari,
penurunan fungsi pendengaran, hyperaxity, dan sebagainya.
6) Kesulitan menahan keseimbangan dan abnormalitas pada
siklus gait dan postur tubuh.
Seseorang dengan osteoporosis juga biasanya
mengalami kesulitan dalam berdiri pada satu kaki
dikarenakan perubahan pusat gravitasi tubuh akibat adanya
fraktur kompresi
e. Pengkajian pola fungsi menurut Virginia Henderson
1) Bernafas dengan normal
Bantuan yang dapat diberikan kepada klien oleh
perawat adalah membantu memilih tempat tidur, kursi yang
cocok, serta menggunakan bantal, alas dan sejenisnya
sabagai alat pembantu agar klien dapat bernafas secara
normal dan kemampuan mendemonstrasikan dan
menjelaskan pengaruhnya kepada klien.
2) Kebutuhan akan nutrisi

20
Perawat harus mampu memberikan penjelasan
mengenai tinggi dan berat badan yang normal, kebutuhan
nutrisi yang diperlukan.Pemilihan dan penyediaan makanan,
dengan tidak lupa memperhatikan latar belakang dan social
klien.
3) Kebutuhan eliminasi
Perawat harus mengetahui semua saluran
pengeluaran dan keadaan normalnya, jarak waktu
pengeluaran, dan frekuensi pengeluaran.
4) Gerak dan keseimbangan tubuh
Perawat harus mengetahui tentang prinsip-prinsip
keseimbangan tubuh, miring, dan bersandar.
5) Kebutuhan isthirahat dan tidur
Perawat harus mengetahui intensitas istirahat tidur
pasien yang baik dan menjaga lingkungan nyaman untuk
istirahat.
6) Kebutuhan berpakaian
Perawat dasarnya meliputi membantu klien
memilihkan pakaian yang tepat dari pakaian yang tersedia
dan membantu untuk memakainya.
7) Mempertahankan temperature tubuh atau sirkulasi
Perawat harus mengetahui physiologi panas dan bisa
mendorong kearah tercapainya keadaan panas maupun
dingin dengan mengubah temperature, kelembapan atau
pergerakan udara, atau dengan memotivasi klien untuk
meningkatkan atau mengurangi aktifitasnya.

8) Kebutuhan akan personal hygiene


Perawat harus mampu untuk memotivasi klien
mengenai konsep konsep kesehatan bahwa walaupun sakit

21
klien tidak perlu untuk menurunkan standard kesehatannya,
dan bisa menjaga tetap bersih baik fisik maupun jiwanya.
9) Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Perawat mampu melindungi klien dari trauma dan
bahaya yang timbul yang mungkin banyak factor yang
membuat klien tidak merasa nyaman dan aman.
10) Berkomunikasi
Berkomunikasi dengan orang lain dan
mengekspresikan emosi, keinginan, rasa takut dan pendapat.
Perawat menjadi penerjemah dalam hubungan klien dengan
tim kesehatan lain dalam memajukan kesehatannya, dan
membuat klien mengerti akan dirinya sendiri, juga mampu
menciptakan lingkungan yang teraupeutik.
11) Kebutuhan spiritual
Perawat mampu untuk menghormati klien dalam
memenuhi kebutuhan spiritualnya dan meyakinkan pasien
bahwa kepercayaan, keyakinan dan agama sangat
berpengaruh terhadap upaya penyembuhan.
12) Kebutuhan bekerja
Dalam perawatan dasar maka penilaian terhadap
interprestasi terhadap kebutuhan klien sangat penting,
dimana sakit bisa menjadi lebih ringan apabila seseorang
dapat terus bekerja.

22
2. Diagnosa
a. Analisa Data
No Symptom Etiologic Problem
1 DS: mengeluh nyeri Menopause Nyeri akut
DO:
1. Tampak meringis osteoblas makin sedikit
2. Bersikap protektif ( diproduksi
misalanya waspada, posisi
menghindari nyeri) ketidakseimbangan antara
3. Gelisah pembentukan tulang dan
4. Frekuensi nadi meningkat kerusakan tulang
5. Sulit tidur
6. Tekanan darah meningkat osteoblas menjadi lebih dominan
7. Pola napas berubah dan kerusakan tulang tidak lagi
8. Nafsu makan berubah bisa diimbangi dengan kerusakan
9. Proses berpikir terganggu tulang
10. Menarik diri
11. Berfokus pada diri sendiri seiring bertambahnya usia,
tulang semakin kropos

genetic, gaya hidup , alcohol,


penurunan hormone.

Penurunan massa

Kemunduran struktur jaringan

Kerapuhan tulang

Nyeri akut

23
2 DS: Osteoporosis Gangguan mobilitas
1. Mengeluh sulit fisik
menggerakkan ekstremitas Kiposis
2. Nyeri saat bergerak
3. Enggan melakukan Kiposis
pergerakkan
Keseimbangan tubuh menurun
4. Merasa cemas saat
bergerak
Resiko cidera
DO:
1. Kekakuan otot menurun perubahan bentuk tubuh,
2. Rentang gerak (ROM) penurunan BB
menurun
gangguan mobilitas fisik
3. Sendi kaku
4. Gerakkan tidak
terkoordinasi
5. Gerakkan terbatas
6. Fisik lemah

b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut
2) Gangguan mobilitas fisik

24
3. Intervensi

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Intervensi Keperawatan


( SDKI ) kriteria hasil ( SDKI )
( SLKI )
1. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Manajemen nyeri
tindakan a. Identifikasi lokasi,
keperawatan 2x 24 katakteristik
jam diharapkan durasi,frekuensi,
nyeri dapat teratasi kualitas, intensitas
dengan tujuan dan nyeri.
kriteria hasil : b. Identifikasi skala
1. Keluhannyeri nyeri
tidak ada c. Identifikasi pengaruh
2. Meringis tidak budaya terhadap
ada respon nyeri
3. Kesulitan tidur d. Berikan tehnik non
tidak ada farmakologis untuk
4. Ketegangan otot mengurangi rasa
tidak ada nyeri
5. Pupil dilatasi e. Control lingkungan
tidak ada yang memperberat
6. Frekuensi nadi rasa nyeri
dalam batas f. Fasilitasi istirahat dan
normal tidur
7. Tekanan darah g. Jelaskan
dalam batas penyebab,periode dan
normal pemicu nyeri
8. Pola nafas h. Anjurkan
dalam batas memonitor nyeri

25
normal secara mandiri
9. Pola tidur i. Ajarkan tehnik non
memebaik farmakologis untuk
10. Melaporkan engurangi rasa nyeri
nyeri terkontrol j. Kolaborasi pemberian
11. Kemampun analgetik, jika perlu.
menggunakan 2. Pemberian analgesic
tehnik non a. Identifikasi riwayat
farmakologis alergi obat
meningkat b. Identifikasi
12. Kemampuan kesesuaian jenis
mengenali analgesic
penyebab nyeri c. Tingkat keparahan
meningkat nyeri
d. Pantau tanda tanmda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgesic
e. Dokumentasikan
respon terhadap efek
analgesic dan efek
yang tidak
diinginkan
f. Jelaskan efek terapi
dan efek samping
obat
g. Kolaborasi
pemberian dosis dan
jenis analgesic, jika

26
perlu
3. Pemantauan nyeri
a. Identifikasi factor
pencetus dan
pereda nyeri
b. Pantau kualitas
nyeri
c. Pantau lokasi dan
penyebaran nyeri
d. Dokumentasikan
hasil pemantauan
e. Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan
f. Informasikan hasil
pemantauan,jika
perlu
4. Terapi relaksasi
a. Identifikasi
penurunan tingkat
energy,
ketidakmampuan
berkonsentrasi atau
gejala lain yang
mengganggu
kemampuan
kognitif.
b. Identifikasi tehnik
relaksasi yang

27
pernah efektif
digunakan.
c. Periksa ketegangan
otot, frekuensi nadi,
tekanan darah,dan
suhu sebelum dan
sesudah latihan
d. Pantau respon
terhadap terapi
relaksasi
e. Ciptakan
lingkungan tenang
dengan
pencahayaan dan
sushu ruangan yang
nyaman
f. Jelaskan tujuan
manfaat dan jenis
relaksasi yang
tersdia
g. Anjurkan
mengambil posisi
yang nyaman
h. Demonstrasikan
dan latih tehnik
relaksasi

2. Gangguan mobilisasi Setelah dilakukan Dukungan ambulansi


tindakan 1. Identifikesi edanya

28
keperawatan 2 x 24 nyeri atau keluhan
jam diharapkan fisik lainnya
gangguanmobilisasi 2. Identifikasi toleransi
dapat teratasi fisik melakukan
dengan kriteria ambulasi
hasil : 3. Monitor frekuensi
1. Pergerakkan jantung dan tekenan
ekstremitas darah sebelum
membaik memulai ambulasi
2. Kekuatan otor 4. Monitor kondisi
membaik umum selama
3. Nyeri melakukan ambulasi
berkurang 5. Fasilitasi aktivitas
4. Kaku sendi ambulasi dengan alat
berkurang bantu (mis. tongkat,
5. Gerakkan kruk)
terbatas 6. Fasilitasi melakukan
berkurang mobilisasi fisik, jika
perfu
7. Ajarkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
8. Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
9. Anjurkan melakukan
ambulasi dini
10. Alarkan ambulasi

29
sederhana yang harus
dilakukan (mis.
borjalan dari temapt
tidur ko kuni roda,
berjalen dari tempat
tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuel
toleransi)
Dukungan mobilisasi
1. Identifikasi adanya
nyeri atau keluhan
fisik lainnya
2. Identifikasi
toleransi fisik
melakukan
pergerakan
3. Monitor frekuensi
jantung dan
tekanan darah
sebelum memulai
mobolisasi
4. Monitor kondisi
umum selama
melakukan
mobilisasi
5. Fasilitasi aktifitas
mobilisasi dengan
alat bantu (mis.
Pagar tempat tidur)

30
6. Fasilitasi
melakukan
pergerakan jika
perlu
7. Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
8. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
9. Anjurkan
melakukan
mobilisasi diri
10. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis. Duduk di
tempat tidur, duduk
di sisi tempat tidur,
pindah dari tempat
tidur ke kursi)

4. Implementasi
Tahap implementasi keperawatan adalah inisiatif dari rencana
tindakan untuk mencapai tujuan spesifik.Tahap pelaksanaan dimulai
setelah rencana tindakan di susun dan ditujukan pada nursing order
untuk membantu klien mendapat tujuan yang diharapkan.Karena itu

31
rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi
factor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
5. Evaluasi
Evaluasi soapier meskipun proses keperawatan mempunyai
tahap-tahap, namun evaluasi berlangsung terus menerus sepanjang
pelaksanaan proses keperawatan (Alfaro-LeFevre, 1998). Tahap
evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan
kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah
ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.

32
2.2 Lbp Atau Low Back Pain
2.2.1 Definisi
Low back pain adalah suatu periode nyeri di punggung bawah yang
berlangsung lebih dari 24 jam, yang didahului dan diikuti oleh 1 bulan
atau lebih tanpa nyeri punggung bawah. Sumber lain menyebutkan LBP
adalah nyeri dan ketidak nyamanan yang terlokalisasi di bawah sudut
iga terakhir (costal margin) dan diatas lipat bokong bawah dengan atau
tanpa nyeri pada daerah tungkai. LBP termasuk salah satu dari gangguan
a kibat dari mobilisasi yang salah. Penyebab umum yang sering terjadi
adalah regangan otot serta bertambahnya usia yang menyebabkan
intensitas berolahraga dan intensitas bergerak semakin berkurang
sehingga otot- otot pada punggung dan perut yang berfungsi mendukung
tulang belakang menjadi lemah.
2.2.2 Etiologi
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari
berbagai masalah muskuluskletal ( misal renggangan lumbasakral akut,
ketidakstabilan ligament lumbasakral dan kelemahan otot, osteoatritis
tulang belakang, stenosis tulang belakang, masalah diskus
intervertebralis, ketidaksamaan panjang tungkai ). Penyebab lainnya
meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis, tumor
retroperitoneal, aneuresma abdominal dan masalah psikomatik.
Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuluskletal akan
diperberat oleh aktifitas , sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak
dipengaruhi oleh aktifitas.
2.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, LBP mekanik dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:
1. Mekanik Statik
LBP mekanik statik terjadi apabila postur tubuh dalam keadaan
posisi statis (duduk atau berdiri) sehingga menyebabkan
peningkatanpada sudut lumbosakral (sudut antara segmen vertebra

33
L5 dan S1 yang sudut normalnya 30°-40°) dan menyebabkan
pergeseran titik pusat berat badan. Peningkatan sudut lumbosakral
dan pergeseran titik pusat berat badan tersebut akan menyebabkan
peregangan pada ligamen dan kontraksi otot-otot yang berusaha
untuk mempertahankan postur tubuh yang normal sehingga dapat
terjadi strain atau sprain pada ligamen dan otot-otot di daerah
punggung bawah yang menimbulkan nyeri.
2. Mekanik Dinamik
LBP mekanik dinamik dapat terjadi akibat beban mekanik
abnormal pada struktur jaringan (ligamen dan otot) di daerah
punggung bawah saat melakukan gerakan. Beban mekanik tersebut
melebihi kapasitas fisiologik dan toleransi otot atau ligamen di
daerah punggung bawah. Gerakan-gerakan yang tidak mengikuti
mekanisme normal dapat menimbulkan LBP mekanik, seperti
gerakan kombinasi (terutama fleksi dan rotasi) dan repetitif,
terutama disertai dengan beban yang berat.
Berdasarkan perjalanan klinisnya, LBP dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:
1. LBP akut
Keluhan pada fase akut awal terjadi <2minggu dan pada fase akut
akhir terjadi antara 2-6 minggu, rasa nyeri yang menyerang secara
tiba-tiba namun dapat hilang sesaat kemudian.
2. LBP sub akut
Keluhan pada fase akut berlangsung antara 6-12 minggu
3. LBP kronik
Keluhan pada fase kronik terjadi >12minggu atau rasa nyeri yang
berulang. Gejala yang muncul cukup signifikan untuk
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya dan sembuh pada waktu
yang lama.

34
2.2.4 Manifestasi Klinis
Penderita LBP memiliki keluhan yang beragam tergantung dari
patofisiologi, perubahan kimia atau biomekanik dalam diskus
intervertebralis, dan umumnya mereka mengalami nyeri. Nyeri
miofasial khas ditandai dengan nyeri dan nyeri tekan pada daerah yang
bersangkutan (trigger points), kehilangan ruang gerak kelompok otot
yang tersangkut (loss of range of motion) dan nyeri radikuler yang
terbatas pada saraf tepi. Keluhan nyeri sendiri sering hilang bila
kelompok otot tersebut diregangkan.
Menurut McKenzie, LBP mekanik ditandai dengan gejala sebagai
berikut:
1. Nyeri terjadi secara intermitten atau terputus-putus.
2. Sifat nyeri tajam karena dipengaruhi oleh sikap atau gerakan yang
bisa meringankan ataupun memperberat keluhan.
3. Membaik setelah istrahat dalam waktu yang cukup dan memburuk
setelah digunakan beraktifitas
4. Tidak ditemukan tanda-tanda radang seperti panas, warna
kemerahan ataupun pembengkakan.
5. Terkadang nyeri menjalar ke bagian pantat atau paha.
6. Dapat terjadi morning stiffness.
7. Nyeri bertambah hebat bila bergerak ekstensi, fleksi, rotasi, berdiri,
berjalan maupun duduk.
8. Nyeri berkurang bila berbaring
2.2.5 Patofisiologis
Beban berat memiliki berbagai efek terhadap diskus
intervertebralis, badan dari vertebrata, faset dan ligamen-ligamen tulang
belakang. Pada beban berat yang menekan (compressive load) serabut
anuker dari diskus mengalami perenggangan. Tulang vertebra juga
mengalami tekanan dan dapat patah pada end–plate–nya. Ligamen-

35
ligamen tulang belakang cenderung dapat melengkung dengan mudah
dan sendi faset hanya dapat sedikit menahan kompresi.
Akibatnya adalah dapat mengakibatkan herniasi. Ketika diskus
hanya menonjol, anulusnya masih sempurna. Ketika terjadi herniasi,
annulus bisa robek, sehingga menghasilkan ekstrusi dari nucleus
pulpous. Kompresi dari akar saraf tulang belakang dapat terjadi karena
herniasi diskus tadi. Diskus yang memisahkan dan memberi bantalan
vertebra mendapatkan inervasi oleh ujung-ujung halus. Ketika diskus
menimpa nervus sklialitikus, kondisi ini dan denyut nyeri yang
dihasilkan disebut sebagai skiatika. Skiatika adalah bentuk nyeri yang
parah dan konstan di dareah kaki yang muncul disepanjang jalur nervus
skiatik dan cabang- cabangnya.
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia
bertambah tua. Pada orang muda diskus terutama tersusun atas
fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi
fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi diskus merupakan
penyebab nyeri punggung yang biasa diskus lumbal bawah, L4-L5 dan
L5-S1, menderita stress mekanis paling berat dan perubahan degenerasi
terberat. Penonjolan diskus (herniasi nucleus pulposus) atau kerusakan
sendi faset dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika
keluar dari kanalis spinalis yang mengakibatkan nyeri yang menyebar
sepanjang saraf tersebut. Sekitar 12% orang dengan nyeri punggung
bawah menderita hernia nucleus pulposus ( Brunner & Suddarth, 2002 :
2321 ).

36
2.2.6 Pathway

Usia lansia Perubhan postur tubuh biasanya karena trauma Obesitas


primer
Febrokartilago
Kelebihan
padat dan tak
beban
teratur Trauma seperti : Trauma sekunder, lumbalsakr
trauma secara seperti adanya penyakit al
Stress mekanis spontan HNP, Osteoporosis,
Diskus lumbal stenosis spinal, Pembentuka
Kontraksi punggung osteatritis n kurva
bawah
lumbal
abnormal
Perubahan Terdesaknya para otot vertebra hiper
Rusaknya
degenerasi berat pembungkus
saraf
Tulang belakang Hiperalgesia sekunder pada
Herniasi menyerap goncangan neuron di sekitar lesi pada
nukleus ventrikal resio lumbal sakral
purposus
Terjadi perubahan
struktur dengan diskus
Penekanan akar saraf sususn atas pibrifertilago
ketika keluar dari kanallis dan matriks delatinus
supinalis
Nyeri punggung bawah

(Low back pain )

Kelemahan otot Nyeri

Mobilitas fisik Jarang bergerak Kelemahan fisik


tergangu menurun

Hambatan Deficit perawatan


mobilitas fisik (Alfaro-LeFevre, 1998). diri

37
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan sesuai indikasi,
berguna untuk melihat laju endap darah (LED), morfologi darah
tepi, kalsium, fosfor, asam urat, alkali fosfatase, asam fosfatase,
antigen spesifik prostat (jika ditemukan kecurigaan metastasis
karsinoma prostat) dan elektroforesis protein serum (protein
myeloma).
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto Polos
Pada pasien dengan keluhan nyeri punggang bawah,
dianjurkan berdiri saat pemeriksaan dilakukan dengan posisi
anteroposterior, lateral dan oblique. Gambaran radiologis yang
sering terlihat normal atau kadang-kadang dijumpai
penyempitan ruang diskus intervertebral, osteofit pada sendi
facet, penumpukan kalsium pada vertebra, pergeseran korpus
vertebra (spondilolistesis), dan infiltrasi tulang oleh tumor.
Penyempitan ruangan intervertebral terlihat bersamaan dengan
suatu posisi yang tegang, melurus dan suatu skoliosis akibat
spasme otot paravertebral
b. MRI
MRI digunakan untuk melihat defek intra dan ekstra dural
serta melihat jaringan lunak. Pada pemeriksaan dengan MRI
bertujuan untuk melihat vertebra dan level neurologis yang
belum jelas, kecurigaan kelainan patologis pada medula
spinalis atau jaringan lunak, menentukan kemungkinan herniasi
diskus pada kasus post operasi, kecurigaan karena infeksi atau
neoplasma

38
c. CT- Mielografi
CT- mielografi merupakan alat diagnostik yang sangat
berharga untuk diagnosis LBP untuk menentukan lokalisasi lesi
pre-operatif dan menentukan adanya sekuester diskus yang
lepas dan mengeksklusi suatu tumor.
2.2.8 Penetalaksanaan
1. Medis
a. Asetaminofen
Penggunaan asetaminofen dengan dosis penuh (2 sampai
4g per hari) sebagai terapi lini pertama didukung oleh bukti-
bukti yang kuat dan beberapa pedoman terapi (rekomendasi A).
Harus diketahui bahwa pada pasien dengan riwayat
alkoholisme, sedang puasa, memiliki penyakit liver,
mengonsumsi obat tertentu (terutama antikonvulsan) atau orang
tua yang lemah, toksisitas hati dapat terjadi pada dosis yang
direkomendasikan. Selanjutnya, toksisitas asetaminofen
meningkat secara substansial jika dikonsumsi bersamaan
dengan dengan inhibitor siklooksigenase-2 spesifik (COX-2)
atau obat-obat anti-inflamasi (NSAID).
b. Obat Anti Inflamasi (NSAID)
Hampir pada sebagian besar pengobatan direkomendasikan
NSAID. Mempertimbangkan manfaat dibandingkan efek
samping, American Geriatrics Society merekomendasikan
COX-2 inhibitor sebagai terapi lini pertama dibandingkan
NSAID non spesifik. Salisilat non-asetil (kolin magnesium
trisalicylate, salsalat) terbukti efektif dan memiliki lebih sedikit
efek samping gastrointestinal dibandingkan NSAID non
spesifik dengan biaya lebih rendah daripada lebih agen selektif.
Jika NSAID non spesifik yang dipilih, sitoproteksi lambung
harus dipertimbangkan berdasarkan profil risiko pasien.

39
NSAID harus dipertimbangkan ketika peradangan diyakini
memainkan peran penting dalam proses produksi nyeri.
c. Steroid
Injeksi steroid epidural adalah prosedur yang biasa
dilakukan untuk nyeri leher radikuler dan nyeri punggung
bawah. Penggunaan steroid untuk nyeri radikuler harus jelas
namun untuk injeksi steroid epidural kurang direkomendasikan
sedangkan penggunaan steroid tidak dianjurkan untuk
mengobati LBP kronis
2. Keperawatan
a. Pasien dianjurkan berolahraga kemudian dievaluasi lebih lanjut
jika pasien tidak mampu melakukan aktivitas sehari- hari dalam
4-6 minggu.
b. Pada beberapa kasus dapat dilakukan tirah baring 2- 3 hari
pertama untuk mengurangi nyeri.
c. Dipertimbangkan pemberian obat penghilang rasa nyeri apabila
pasien belum mampu melakukan aktivitas dalam 1-2 minggu.
d. Pemberian terapi dengan modalitas lain seperti intervensi
listrik, pemijatan, orthosis, mobilisasi, traksi maupun modalitas
termal berupa ultrasound terapeutik, diatermi, infra red dan
hidroterapi, dengan terapi elektrik seperti stimulasi galvanic,
arus interferensial, arus mikro, stimulus saraf transkutaneus
elektrik maupun stimulus neuromuskular. Terapi dapat pula
dilakukan dengan cara meridian seperti akupuntur atau
elektroakupuntur. Selain itu, dapat pula digunakan terapi laser
dan terapi kombinasi atau multimodalitas.

40
2.2.9 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan LBP
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, alamat, semua data
mengenai identitas klien untuk menentukan tindakan selanjutnya.
1. Umur : LBP sangat dipengaruhi faktor usia sejalan dengan
meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada tulang dan
keadaan ini mulai terjadi disaat seseorang berusia 30 tahun.
Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi berupa kerusakan
jaringan, pergantian jaringan menjadi jaringan parut dan
pengurangan cairan. Hal tersebut menyebabkan stabilitas pada
tulang otot menjadi berkurang. Pada tulang belakang, terjadi
penurunan elastisitasdiskus intervertebralis yang berfungsi
sebagai bantalan dan mobilitas pada tulang belakang.
2. Jenis kelamin : penyakit LBP ini lebih rentan pada laki-laki
karna laki-laki lebih memiliki pekerjaan yang berat dan masa
kerja yang lama. Lamanya seseorang bekerja yang optimal
dalam sehari pada umumnya berkisar 6-8 jam. Memperpanyang
waktu keja lebih dari kemampuan tersebut terjadi penurunan
prodiftifitas terkait kondisi kelelahan, kecelakan kerja dan
penyakit akibat kerja. Contohnya pada penyakit LBP ini hal
tersebut menyebabkan kondisi terjadinya perubahan titik tumpu
pada tubuh struktur otot akan teregang dan merangsang reseptor
nyeri disekitarnya lama kelaman akan mterjadi depernitas di
tulang belakang.
3. Aktivitas kerja : pada penyakit LBP ini dia lebih rentan terjadi
pada petani dan perkerja berat atau aktivitas lainya karena
petani kebanyakan dari mereka bekerja dengan posisi jongkok
yang mengakibatkan pemmindahaan titik tumpu ke bagian

41
punggung bawah sehingga biasanya timbul keluhan nyeri pada
skitarnya dan juga disebabkan karna panjangnya waktu kerja
yang tidak sesuai dengan kemampuan biasanya.
b. Keluhan Utama
Mengkaji keluhan yang paling dirasakan klien.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji keluhan yang dirasakan pasien saat munculnya gejala
sampai saat dilakukan pengkajian
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Mengkaji riwayat penyakit yang pernah dialami pasien.
3) Riwayat penyakit keluarga
Berkaitan erat dengan penyakit keturunan dalam keluarga,
misalnya ada anggota keluarga yang pernah menderitapenyakit
yang sama.
d. Pemeriksaan fisik (Sandella, 2012)
Pemeriksaan fisik ada beberapa tahapan :
1) Inspeksi
Inspeksi pertama kali dilakukan dengan posisi pasien
berdiri dan diamati dari tiga posisi yaitu depan, samping dan
belakang. Pada posisi ini diamati apakah tulang belakang
simetris atau terjadi skoliosis, lordosis atau kifosis. Selain itu
perlu diperhatikan juga adanya deformitas atau lekukan kulit
yang abnormal, atrofi otot, atau pola rambut tubuh yang tidak
normal. Selanjutnya dilakukan dengan posisi pasien duduk
untuk mengamati simetrisitas panggul. Selanjutnya posisikan
pasien untuk berbaring dengan kaki lurus untuk menilai
simetrisitas panjang kaki kanan dan kiri.
2) Range of Motion (Rentang Gerak Aktif)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat pergerakkan

42
pada tulang belakang dari bagian leher hingga punggung
bawah. Pasien diarahkan untuk menekuk, memutar atau
memiringkan badan mulai dari bagian leher hingga punggung
bawah lalu pemeriksa amati apakah ada tahanan atau rasa nyeri
yang dirasakan oleh pasien. Untuk memastikan letak nyeri
pemeriksa harus melakukan rangsangan atau tekanan perlahan
pada daerah yang mengalami keluhan.
3) Kekuatan Otot
Pemeriksaan kekuatan otot dilakukan dengan cara
meletakkan tangan pemeriksa pada dada pasien dan
mengarahkan pasien untuk membungkuk lalu pemeriksa
menahan gerakan tersebut untuk menilai kekuatan ototnya.
Cara yang sama dilakukan dengan meletakkan tangan
pemeriksa pada bahu pasien dan menahan gerakan pasien
untuk miring dan memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan pada ekskremitas
bawah. Pasien diposisikan untuk duduk dengan kaki menekuk
90 derajat, pemeriksa meletakkan tangannya pada paha pasien
lalu menahan gerakan paha pasien yang fleksi. Selanjutnya
tangan pemeriksa diletakkan diatas tulang kering pasien lalu
menahan gerakan ekstensi kaki pasien.
Pemeriksaan terakhir dilakukan dengan posisi berbaring
dan lutut ditekuk. Pada posisi ini pasien diarahkan untuk
menegangkan otot perut selama lima detik lalu relaksasikan
perlahan. Amati apakah ada tahanan gerak dari setiap
perlakuan untuk melihat adanya kelainan pada otot.
4) Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada nyeri
tekan, massa, deformitas, kelainan struktur tulang dan
kekakuan otot. Palpasi dilakukan dengan cara meletakkan

43
kedua permukaan tangan dari bagian processus spinosus dan
meraba sambil menekan perlahan ke arah tubuh bagian bawah
atau lumbar vertebrae.
5) Tes persarafan
Tes persarafan yang pertama yaitu laseque test
dilakukan dengan posisi berbaring dan kedua kaki diluruskan.
Lakukan pemeriksaan pada kedua kaki secara bergantian
dengan cara mengangkat kaki dalam keadaan lurus. Jika terasa
nyeri yang menjalar ke daerah lutut pada sudut 30-70 derajat
bisa disimpulkan bahwa terdapat kelainan persaraf pada L4-S1.
Tes kedua disebut patrick test, pada tes ini pasien
berbaring, tumit dari kaki yang satu diletakkan pada sendi lutut
pada tungkai yang lain. Setelah ini dilakukan penekanan pada
sendi lutut hingga terjadi rotasi keluar. Bila timbul rasa nyeri
maka hal ini berarti ada suatu sebab yang non neurologik
misalnya coxitis.
Yang terakhir adalah chin chest maneuver, tes ini
dilakukan dengan cara memfleksikan leher secara pasif hingga
dagu mengenai dada. Tindakan ini akan mengakibatkan
tertariknya myelum naik ke atas dalam canalis spinalis.
Akibatnya maka akar- akar saraf akan ikut tertarik ke atas juga,
terutama yang berada di bagian thorakal bawah dan lumbal
atas. Jika terasa nyeri berarti ada gangguan pada akar-akat
saraf tersebut.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus LBP lebih difokuskan pada
pemeriksaan radiologi seperti foto polos, CT scan dan MRI untuk
melihat apakah ada kelainan pada struktur tulang belakang, otot dan
persarafan.
1) Foto Polos Lumbosacral

44
Pemeriksaan foto polos lumbosacral adalah tes pencitraan
untuk membantu dokter melihat penyebab penyakit punggung
seperti adanya patah tulang, degenerasi, dan penyempitan DIV.
Pada foto lumbosacral akan terlihat susunan tulang belakang yang
terdiri dari lima ruas tulang belakang, sacrum dan tulang ekor
(Lateef & Patel, 2009).

Gambaran foto polos spondylolisthesis

2) Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tornografi


Scan (CT scan) (Lateef & Patel, 2009)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed
Tornografi Scan (CT scan) direkomendasikan pada pasien dengan
kondisi yang serius atau defisit neurologis yang progresif, seperti
infeksi tulang, cauda equina syndrome atau kanker dengan
penyempitan vertebra. Pada kondisi tersebut keterlambatan dalam
diagnosis dapat mengakibatkan dampak yang buruk.
Magnetic Resonance Imaging tidak menimbulkan radiasi
dan memiliki hasil gambaran yang lebih akurat pada jaringan
lunak, kanal tulang belakang dan pada keluhan neurologi, oleh
karena itu MRI lebih disukai daripada CT scan. Namun pada CT
scan memiliki gambaran tulang kortikal yang lebih baik
dibandingkan MRI. Jadi ketika pemeriksaan pada struktur tulang
menjadi fokus utama, pemeriksaan yang dipilih adalah CT scan.

45
Pada pasien dengan nyeri punggung akut dengan tanda-
tanda atau gejala herniated disc atau penyakit sistemik lain, CT
scan dan MRI jarang dilakukan kecuali pada pasien dengan
kecurigaan kanker, infeksi atau cauda aquina syndrome dalam
pemeriksaan awalnya.
3) Electromyography (EMG) dan Nerve Conduction Studies (NCS)
Pemeriksaan EMG dan NCS sangat membantu dalam
mengevaluasi gejala neurologis dan/atau defisit neurologis yang
terlihat selama pemeriksaan fisik. Pada pasien LBP dengan gejala
atau tanda neurologis, pemeriksaan EMG dan NCS dapat
membantu untuk melihat adanya lumbosacral radiculopathy,
peripheral polyneuropathy, myopathyatau peripheral nerve
entrapment.
f. Pengkajian pola fungsi menurut Virginia Henderson
1) Bernafas dengan normal
Bantuan yang dapat diberikan kepada klien oleh perawat
adalah membantu memilih tempat tidur, kursi yang cocok, serta
menggunakan bantal, alas dan sejenisnya sabagai alat pembantu
agar klien dapat bernafas secara normal dan kemampuan
mendemonstrasikan dan menjelaskan pengaruhnya kepada klien.
2) Kebutuhan akan nutrisi
Perawat harus mampu memberikan penjelasan mengenai
tinggi dan berat badan yang normal, kebutuhan nutrisi yang
diperlukan.Pemilihan dan penyediaan makanan, dengan tidak lupa
memperhatikan latar belakang dan social klien.
3) Kebutuhan eliminasi
Perawat harus mengetahui semua saluran pengeluaran dan
keadaan normalnya, jarak waktu pengeluaran, dan frekuensi
pengeluaran.
4) Gerak dan keseimbangan tubuh

46
Perawat harus mengetahui tentang prinsip-prinsip
keseimbangan tubuh, miring, dan bersandar.
5) Kebutuhan isthirahat dan tidur
Perawat harus mengetahui intensitas istirahat tidur pasien
yang baik dan menjaga lingkungan nyaman untuk istirahat.
6) Kebutuhan berpakaian
Perawat dasarnya meliputi membantu klien memilihkan
pakaian yang tepat dari pakaian yang tersedia dan membantu
untuk memakainya.
7) Mempertahankan temperature tubuh atau sirkulasi
Perawat harus mengetahui physiologi panas dan bisa
mendorong kearah tercapainya keadaan panas maupun dingin
dengan mengubah temperature, kelembapan atau pergerakan
udara, atau dengan memotivasi klien untuk meningkatkan atau
mengurangi aktifitasnya.
8) Kebutuhan akan personal hygiene
Perawat harus mampu untuk memotivasi klien mengenai
konsep konsep kesehatan bahwa walaupun sakit klien tidak perlu
untuk menurunkan standard kesehatannya, dan bisa menjaga tetap
bersih baik fisik maupun jiwanya.
9) Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Perawat mampu melindungi klien dari trauma dan bahaya
yang timbul yang mungkin banyak factor yang membuat klien
tidak merasa nyaman dan aman.
10) Berkomunikasi
Berkomunikasi dengan orang lain dan mengekspresikan
emosi, keinginan, rasa takut dan pendapat. Perawat menjadi
penerjemah dalam hubungan klien dengan tim kesehatan lain
dalam memajukan kesehatannya, dan membuat klien mengerti

47
akan dirinya sendiri, juga mampu menciptakan lingkungan yang
teraupeutik.
11) Kebutuhan spiritual
Perawat mampu untuk menghormati klien dalam
memenuhi kebutuhan spiritualnya dan meyakinkan pasien bahwa
kepercayaan, keyakinan dan agama sangat berpengaruh terhadap
upaya penyembuhan.
12) Kebutuhan bekerja
Dalam perawatan dasar maka penilaian terhadap
interprestasi terhadap kebutuhan klien sangat penting, dimana
sakit bisa menjadi lebih ringan apabila seseorang dapat terus
bekerja.
13) Kebutuhan bermain dan rekreasi
Perawat mampu memkilihkan aktifitas yang cocok sesuai
umur, kecerdasan, pengalaman dan selera klien, kondisi, serta
keadaan penyakitnya.
14) Kebutuhan belajar
Perawat dapat membantu klien belajar dalam mendorong
usaha penyembuhan dan meningkatkan kesehatan, serta
memperkuat dan mengikuti rencana terapi yang diberikan

2. Diagnosa
a. Analisa Data
No Symptom Etiologic Problem
1 DS: mengeluh nyeri Usia lanjut Nyeri akut

48
DO:
12. Tampak meringis Fibrokartilago padat dan tak
13. Bersikap protektif ( teratur
misalanya waspada, posisi
menghindari nyeri) Stress mekanis diskus lumbal
14. Gelisah bawah
15. Frekuensi nadi meningkat
16. Sulit tidur Perubahan degenarasi berat
17. Tekanan darah meningkat
18. Pola napas berubah Herniasi nucleus purposus
19. Nafsu makan berubah
20. Proses berpikir terganggu Penekanan akar saraf ketika
21. Menarik diri keluar dari kanalis spinalis
22. Berfokus pada diri sendiri
Nyeri punggung bawah (low
back pain)

Nyeri akut
2 DS: Nyeri punggung bawah (low Gangguan mobilitas
5. Mengeluh sulit back pain) fisik
menggerakkan ekstremitas
6. Nyeri saat bergerak Kelemahan otot
7. Enggan melakukan
pergerakkan Mobilitas fisik terganggu
8. Merasa cemas saat
bergerak Gangguan mobilitas fisik
DO:
7. Kekakuan otot menurun
8. Rentang gerak (ROM)
menurun

49
9. Sendi kaku
10. Gerakkan tidak
terkoordinasi
11. Gerakkan terbatas
12. Fisik lemah

b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Intervensi

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Intervensi Keperawatan


( SDKI ) kriteria hasil ( SDKI )
( SLKI )
1. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Manajemen nyeri
tindakan a. Identifikasi lokasi,
keperawatan 2x 24 katakteristik
jam diharapkan durasi,frekuensi,
nyeri dapat teratasi kualitas, intensitas
dengan tujuan dan nyeri.
kriteria hasil : b. Identifikasi skala
1. Keluhannyeri nyeri
tidak ada c. Identifikasi
2. Meringis tidak pengaruh budaya
ada terhadap respon
3. Kesulitan tidur nyeri
tidak ada d. Berikan tehnik non
4. Ketegangan otot farmakologis untuk
tidak ada mengurangi rasa
5. Pupil dilatasi nyeri

50
tidak ada e. Control lingkungan
6. Frekuensi nadi yang memperberat
dalam batas rasa nyeri
normal f. Fasilitasi istirahat
7. Tekanan darah dan tidur
dalam batas g. Jelaskan
normal penyebab,periode
8. Pola nafas dan pemicu nyeri
dalam batas h. Anjurkan
normal memonitor nyeri
9. Pola tidur secara mandiri
memebaik i. Ajarkan tehnik non
10. Melaporkan farmakologis untuk
nyeri terkontrol engurangi rasa
11. Kemampun nyeri
menggunakan j. Kolaborasi
tehnik non pemberian
farmakologis analgetik, jika
meningkat perlu.
12. Kemampuan 2. Pemberian analgesic
mengenali a. Identifikasi riwayat
penyebab nyeri alergi obat
meningkat b. Identifikasi
kesesuaian jenis
analgesic
c. Tingkat keparahan
nyeri
d. Pantau tanda
tanmda vital

51
sebelum dan
sesudah pemberian
analgesic
e. Dokumentasikan
respon terhadap
efek analgesic dan
efek yang tidak
diinginkan
f. Jelaskan efek terapi
dan efek samping
obat
g. Kolaborasi
pemberian dosis dan
jenis analgesic, jika
perlu
3. Pemantauan nyeri
a. Identifikasi factor
pencetus dan
pereda nyeri
b. Pantau kualitas
nyeri
c. Pantau lokasi dan
penyebaran nyeri
d. Dokumentasikan
hasil pemantauan
e. Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan
f. Informasikan hasil

52
pemantauan,jika
perlu
4. Terapi relaksasi
a. Identifikasi
penurunan tingkat
energy,
ketidakmampuan
berkonsentrasi atau
gejala lain yang
mengganggu
kemampuan
kognitif.
b. Identifikasi tehnik
relaksasi yang
pernah efektif
digunakan.
c. Periksa ketegangan
otot, frekuensi nadi,
tekanan darah,dan
suhu sebelum dan
sesudah latihan
d. Pantau respon
terhadap terapi
relaksasi
e. Ciptakan
lingkungan tenang
dengan
pencahayaan dan
sushu ruangan yang

53
nyaman
f. Jelaskan tujuan
manfaat dan jenis
relaksasi yang
tersdia
g. Anjurkan
mengambil posisi
yang nyaman
h. Demonstrasikan
dan latih tehnik
relaksasi
2. Gangguan mobilisasi Setelah dilakukan Dukungan ambulansi
fisik tindakan 1. Identifikesi edanya
keperawatan 2 x 24 nyeri atau keluhan
jam diharapkan fisik lainnya
gangguanmobilisasi 2. Identifikasi toleransi
dapat teratasi fisik melakukan
dengan kriteria ambulasi
hasil : 3. Monitor frekuensi
1. Pergerakkan jantung dan tekenan
ekstremitas darah sebelum
membaik memulai ambulasi
2. Kekuatan otor 4. Monitor kondisi
membaik umum selama
3. Nyeri melakukan ambulasi
berkurang 5. Fasilitasi aktivitas
4. Kaku sendi ambulasi dengan alat
berkurang bantu (mis. tongkat,
5. Gerakkan kruk)

54
terbatas 6. Fasilitasi melakukan
berkurang mobilisasi fisik, jika
perfu
7. Ajarkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
8. Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
9. Anjurkan melakukan
ambulasi dini
10. Alarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis.
borjalan dari temapt
tidur ko kuni roda,
berjalen dari tempat
tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuel
toleransi)
Dukungan mobilisasi
1. Identifikasi adanya
nyeri atau keluhan
fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi
fisik melakukan
pergerakan
3. Monitor frekuensi

55
jantung dan tekanan
darah sebelum
memulai mobolisasi
4. Monitor kondisi
umum selama
melakukan mobilisasi
5. Fasilitasi aktifitas
mobilisasi dengan
alat bantu (mis. Pagar
tempat tidur)
6. Fasilitasi melakukan
pergerakan jika perlu
7. Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
8. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
9. Anjurkan melakukan
mobilisasi diri
10. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis.
Duduk di tempat
tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke
kursi)

56
4. Implementasi
Tahap implementasi keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan
untuk mencapai tujuan spesifik.Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan di susun dan ditujukan pada nursing order untuk
membantu klien mendapat tujuan yang diharapkan.Karena itu rencana
tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi factor-faktor
yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
5. Evaluasi
Evaluasi soapier meskipun proses keperawatan mempunyai tahap-
tahap, namun evaluasi berlangsung terus menerus sepanjang
pelaksanaan proses keperawatan (Alfaro-LeFevre, 1998). Tahap evaluasi
merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam
menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari
proses keperawatan.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

57
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang
yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa
tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan
penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang
( Tandra, 2009).
Low back pain adalah suatu periode nyeri di punggung bawah yang
berlangsung lebih dari 24 jam, yang didahului dan diikuti oleh 1 bulan atau
lebih tanpa nyeri punggung bawah. Sumber lain menyebutkan LBP adalah nyeri
dan ketidak nyamanan yang terlokalisasi di bawah sudut iga terakhir (costal
margin) dan diatas lipat bokong bawah dengan atau tanpa nyeri pada daerah
tungkai.
4.2 Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan ada kritik dan saran yang dapat
membangun sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. (1994). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Alih
Bahasa Kuncoro, H Y, dkk, Jakarta : Penerbit EGC.

58
Kemenkes (2008), Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
PPNI.2018.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Defenisi dan indicator
Diagnostik, Cetakan 1.Jakarta: DPP PPNI
PPNI.2018.Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil,
Edisi 1.Jakarta: DPP PPNI
PPNI.2018.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1.Jakarta: DPP PPNI

59

Anda mungkin juga menyukai