Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA PASIEN FRAKTUR

Mata Kuliah :
KEPERAWATAN GERONTIK

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Devina Tesya Latama
Desriyanti Djumuli
Firnalis Lakoro
Karmila H. Ibahim
Miftahulzannah Ntobuo
Nur Ain Hasan Ngabito
Sri Susanti Domili

Dosen Pengajar :
Ns. Andi Nuraina Sudirman, M.Kep

Program Studi S1 Keperawatan


Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Gorontalo
TP 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Kami
juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Andi Nuraina
Sudirman, M.Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik yang sudah
memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka


menambah pengetahuan dan juga wawasan, kami pun menyadari bahwa di dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah
yang akan kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Mudah-mudahan makalah yang sederhana ini dapat dipahami oleh semua


orang khususnya bagi para pembaca. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya
jika terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Gorontalo, 21 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar belakang........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 3

1.3 Tujuan ..................................................................................................... 3

1.4 Manfaat ................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN TEORI ................................................................................. 4

2.1 Kosep Lansia Dan fraktur ..................................................................... 4

2.2 Epidemiologi Dan Etiologi Pada Lansia............................................... 8

2.3 Manifestasi Klinik .................................................................................. 9

2.4 Faktor Resiko Fraktur Pada lansia .................................................... 10

2.5 Patogenesis ............................................................................................ 11

2.6 Penatalaksanaan ................................................................................... 12

2.7 Komplikasi Dan Prognosis fraktur pada Lansia ............................... 14

2.8 Pencegahan ........................................................................................... 15

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................... 17

3.1 Asuhan keperawatan Gerontik pada Fraktur .................................. 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Seiring bertambahnya usia, lansia mengalami perubahan morfologis pada otot
yang menyebabkan penurunan fungsional otot, yaitu kekuatan dan kontraksi otot,
elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi. Penurunan
fungsi serta kekuatan otot meningkatkan risiko jatuh, dan juga dapat diperburuk
oleh faktor dari lingkungan (pencahayaan yang buruk, lantai yang licin).

Untuk bisa terjadi fraktur pada usia lanjut sering terjadi hanya dengan
traumaringan atau bahkan tanpa ada kekerasan yang nyata. Adanya tekanan berat
dari lantaisaat jatuh hanya merupakan sebagian dari penyebab fraktur tersebut.
Pada lansia,stress utama pada tulang justru datang dari daya yang sangat kuat dari
otot yang berinsersi di tulang tersebut.

Jatuh merupakan seringkali menjadi hal yang ditakuti oleh lansia.Komplikasi


dari jatuh yang paling sering terjadi adalah hip fracture. Fraktur pada pergelangan
tangan dan lengan atas merupakan jenis fraktur yang juga cukup sering terjadi
akibat jatuh. Selain menyebabkan trauma fisik, jatuh juga menyebabkan dampak
psikologis seperti syok setelah jatuh, rasa takut akan jatuh, rasa cemas, hilangnya
rasa percaya diri dan pembatasan dalam aktivitas sehari- hari.

Fraktur yang terjadi pada kolum femur dan intertrokanter femur memiliki
frekuensi yang hampir sama. Sembilan dari 10 fraktur tulang pinggul, terjadi pada
pasien usia 65 tahun atau lebih, dengan wanita memiliki frekuensi tiga kali lipat
lebih sering daripada pria.Faktor risiko terjadinya fraktur selain usia dan jenis
kelamin adalah ras, ganguan neurologis, malnutrisi, keganasan dan kurangnya
aktivitas fisik.Sembilan puluh persen kasus fraktur tulang pinggul pada populasi
lansia terjadi karena jatuh, diperburuk oleh ganguan berjalan sebelum kejadian,
berkurangnya waktu bereaksi dan penglihatan yang kurang baik.

1
Fraktur pada intertrokanter femur terjadi sekitar lebih dari 200.000 pasien
setiap tahunnya di Amerika Serikat pada pasien diatas 70 tahun dengan mortalitas
15-30%. Fraktur tulang pinggul (intertrokanter dan leher femur) meliputi 30%
semua pasien rawat inap di Amerika serikat, dan diperkirakan biaya perawatannya
10 miliar USD per tahun.

Dalam 4 dekade terakhir, jumlah kejadian fraktur tulang pinggul telah


meningkat sebesar 300% di Hong Kong, dan 500% di Singapore.Sedangkan
didaratan China,yang dulunya termasuk “low risk area”, hampir 70 juta penduduk
usia 50 tahun ke atas menderita osteoporosis, serta menyebabkan sekitar 687.000
kasus fraktur tulang pinggul setiap tahunnya. Insiden hip fracture di Indonesia
sendiri sekitar 119 dari 100.000 penduduk (pria dan wanita) setiap
tahunnya.Sekitar 38.618 kasus fraktur tulang pinggul yang terjadi pada tahun
2010, lebih dari setengah terjadi pada individu dengan kisaran nilai T-scores
osteopenia.

Osteoporosis adalah suatu kondisi tulang mengalami pengeroposan. Hal ini


meningkatkan risiko fraktur, sehingga mempengaruhi angka harapan hidup dan
kualitas hidup. Hip Fracture merupakan konsekuensi paling berat dan paling
sering dari osteoporosis. Lebih dari 250.000 kasus hip fracture berkaitan erat
dengan kejadian osteoporosis. Kejadian fraktur tulang pinggul meningkat setiap
dekade mulai usia 60 tahun sampai 90 tahun baik pada populasi laki-laki maupun
perempuan. Kejadian tertinggi ditemukan pada usia 80 atau lebih.

Berdasarkan survei oleh Gallup yang dilakukan oleh National Osteoporosis


pada tahun 2002, menunjukkan bahwa sekitar 86% dari populasi wanita berumur
45-75 tahun, tidak waspada terhadap osteoporosis, yang nantinya berdampak
langsung terhadap kecacatan akibat hip fracture. Kegagalan mengidentifikasi
pasien yang berisiko, memberikan edukasi dan menjalankan program pencegahan
menyebabkan konsekuensi yang cukup besar. Oleh karena itu, skrining di
pelayanan primer menjadi sangat penting.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan lansia?
2. Apa perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia?
3. Bagaimana asuhan keperawatan fraktur psada lansia

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan lansia
2. Untuk mengetahui perubahan-perubahan pada lansia
3. Untuk mengetahui askep fraktur pada lansia

1.4 Manfaat
Sebagai informasi keperawatan yang dapat diterapkan pada penderita
fraktur dan sebagai sumber informasi dalam intervensi pada penderita fraktur.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Kosep Lansia Dan fraktur
1. Definisi lansia
Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan aktifitas jaringan untuk
memperbaiki atu mengganti diri dan mempertahankan strukrur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Darmojo,2010).

2. Batasan Umur Lansia


Batasan umur menurut organisasi WHO ada 4 tahap lansia meliputi : usia
pertengahan (Middle age )= kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut (Elderly)=
antara 60-74 tahun, usia lanjut tua (Old)= antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua
(Very Old)=diatas 90 tahun.

Di indonesia batasan mengenai lansia adalah 60 tahun ke atas, terdapat dalam


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahtereraan lanjut usia pada
Bab 1 pasal 1 ayat 2 .Menurut undang-undang tersebut diatas lanjut adalah
seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita
(Kurhariyadi,2011).

3. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


Menurut Nugroho (2000) Perubahan Fisik dan perubahan psikososil pada
lansia adalah :

a) Perubahan Fisik
1. Sel
Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya
cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan
hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel.
2. Sistem Persyarafan
Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun,
berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga

4
mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan pendengaran,
mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitive terhadap suhu,
ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitive terhadap
sentuhan.
3. Sistem Penglihatan
Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih
suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis,
daya membedakan warna menurun.
4. Sistem Pendengaran
Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi
suara atau nada ara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada
usia diatas umur 65 tahun, membran timpani menjadi atrofi menyebabkan
otosklerosis.
5. Sistem Cardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku,Kemampuan jantung
menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, kehilangan
sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah: kurang efektifitas pembuluh
darah perifer untuk oksigenasi perubahan posisidari tidur ke duduk (duduk
ke berdiri)bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65mmHg
dan tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari pembuluh
darah perifer, sistole normal ±170 mmHg, diastole normal ± 95 mmHg.
6. Sistem pengaturan temperatur tubuh
Pada pengaturan suhu hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu
thermostat yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi
beberapa factor yang mempengaruhinya yang sering ditemukan antara
lain: Temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak
dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya
aktifitas otot.
7. Sistem Respirasi
Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat,
menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dan

5
kedalaman nafas turun. Kemampuan batuk menurun (menurunnya aktifitas
silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO2 arteri tidak berganti.
8. Sistem Gastrointestinal
Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra pengecap menurun,
pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu
pengosongan menurun, peristaltik lemah, dan sering timbul konstipasi,
fungsi absorbsi menurun.
9. Sistem urinaria
Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun
sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering terjadi
atrofi vulva, selaput lendir mongering, elastisitas jaringan menurun dan
disertai penurunan frekuensi seksual intercrouse berefek pada seks
sekunder.
10. Sistem Endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH),
penurunan sekresi hormone kelamin misalnya: estrogen, progesterone, dan
testoteron.
11. Sistem Kulit
Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses
keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas akibat
penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh,
kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya, perubahan pada bentuk
sel epidermis.
12. System Muskuloskeletal
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan
pemendekan tulang, persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut
dan mengalami sclerosis, atropi serabut otot sehingga gerakan menjadi
lamban, otot mudah kram dan tremor.

6
b) Perubahan Psikososial
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi
adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda ( multiple pathology
), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi
makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara
berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan
fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam
kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka
perlu menyelaraskan kebutuhan- kebutuhan fisik dengan kondisi
psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk
mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia
harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan,
tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung,
gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru selesai
operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan
kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat
tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :


a) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada
lansia.
b) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat
oleh tradisi dan budaya.
c) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d) Pasangan hidup telah meninggal.

7
e) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan
jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
4. Definisi Fraktur
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Keadaan ini akan mengganggu
fungsi dari organ tulang sebagai penyanggah tubuh dan dapat menyebabkan
terjadinya disabilitas.

Berdasarkan Permenkes nomor 79 tahun 2014, geriatri adalah cabang disiplin


ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan dan kedokteran pada warna
Lanjut Usia (60 tahun ke atas) termasuk pelayanan kesehatan kepada Lanjut Usia
dengan mengkaji semua aspek kesehatan berupa promosi, pencegahan, diagnosis,
pengobatan, dan rehabilitasi.

2.2 Epidemiologi Dan Etiologi Pada Lansia


1. Epidemiologi
Fraktur pada kelompok lansia merupakan masalah kesehatan di seluruh
dunia yang terus bertambah. Sebuah studi melaporkan bahwa pada periode 2004-
2014 di US didapatkan dua per tiga dari kasus fraktur geriatrik dialami oleh
perempuan, namun insiden pada laki-laki didapatkan meningkat setiap tahunnya;
hal ini diduga karena kebiasaan merokok dan obesitas yang meningkat pada laki-
laki.

Fraktur trunkus inferior merupakan fraktur paling umum pada kelompok


lansia (34% pada tahun 2014) yaitu pinggul (hip), panggul (pelvis), vertebra
bagian bawah, dan pergelangan kaki (ankle). Fraktur pada trunkus superior
menempati urutan kedua terbanyak (13% pada tahun 2014) yang dialami oleh
kelompok lanjut usia dan sesuai dengan urutan frekuensi, yaitu fraktur radius
distal (fraktur Colles), fraktur humerus proksimal, dan fraktur siku, yang biasanya
terjadi pada kejadian jatuh dengan lengan yang terentang. Sisanya melibatkan
fraktur pada lengan atas dan pergelangan tangan (wrist) (7% pada keduanya),
bahu dan tungkai atas (5%), dan yang sangat jarang ialah pada wajah dan leher.

8
Fraktur pinggul sering terjadi pada kelompok lansia, terjadi setiap tahun pada
sekitar 1% laki-laki dan 2% perempuan. Cedera yang terjadi di elevator pada
pasien lansia biasa- nya terjadi karena terpeleset, tersandung, dan jatuh. Dari 15%
kasus yang masuk rumah sakit, 40% diantaranya karena fraktur pinggul.

2. Etiologi
Kelompok lansia berisiko lebih tinggi untuk terjadinya fraktur oleh karena
proses penuaan yang dialami yang menyebabkan penurunan fungsi fisiologik
tubuh, salah satunya ialah penurunan kepadatan dan kualitas tulang. Selain itu,
kelompok lansia memiliki risiko jatuh yang lebih tinggi dibandingkan kelompok
usia lainnya, yang meningkatkan risiko terjadinya fraktur.

Fraktur geriatrik dapat disebabkan oleh mekanisme high impact maupun


low impact. Fraktur high- impact biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor dan cedera saat berolahraga, namun fraktur low impact yang paling
sering terjadi pada kelompok lansia dan memiliki angka mortalitas paling tinggi.
Fraktur low impact paling sering terjadi disebabkan oleh karena keadaan
osteoporosis dengan mekanisme jatuh. Risiko terjadinya fraktur oleh karena
osteoporosis yaitu antara 40- 50% pada perempuan dan 13-22% pada laki-laki.
Fraktur oleh karena osteoporosis paling sering terjadi pada tulang belakang/
vertebra dan panggul. Empat dari lima kasus fraktur ini terjadi melalui mekanisme
terjatuh. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa terjatuh merupakan
mekanisme yang sering menyebabkan fraktur pada kelompok lansia, paling
sering terjadi di dapur dan kamar mandi. Kejadian jatuh pada kelompok lansia
tergantung pada berbagai faktor antara lain adanya gang- guan keseimbangan atau
gait yang tidak stabil. Insiden fraktur yang disebabkan oleh kejadian jatuh sebesar
40% pada lansia.

2.3 Manifestasi Klinik

9
Manifestasi klinis fraktur menurut (Smeltzer, Bare, 2009) adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan
lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1. Nyeri, terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang


diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas, Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2
inci).
3. Krepitasi Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitasi dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat.
4. Pembengkakan dan perubahan warna Pembengkakan dan perubahan warna
lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti
fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
5. Fals Moment Merupakan pergerakan/ bentuk yang salah dari tulang (bengkok)

2.4 Faktor Resiko Fraktur Pada lansia

Faktor risiko terjadinya fraktur geriatrik ialah usia >75 tahun, jenis kelamin,
status ekonomi rendah, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, IMT, riwayat
fraktur sebelumnya, penyakit kormorbid dan medi- kasinya, serta anemia.

Dalam hal jenis kelamin, perempuan lebih berisiko mengalami fraktur terutama
yang dengan paparan estrogen kurang seperti menopause dini dan amenorea.
Status sosioekonomi rendah mungkin menyangkut asupan gizi yang buruk,
termasuk kurangnya kadar kalsium serta vitamin K dan D pada pasien lansia. IMT
yang tinggi merupakan faktor risiko pada fraktur ekstremitas inferior sedangkan
IMT rendah merupakan faktor risiko terhadap terjadinya fraktur geriatrik namun

10
bersifat protektif terhadap fraktur ekstremitas infe- rior. Individu dengan riwayat
fraktur non- hip dan non-vertebral memiliki kemung- kinan 41% mengalami
fraktur kembali dalam jangka waktu 5 tahun setelah fraktur pertama.

Penyakit komorbid dan medikasinya dapat berkontribusi dalam terjadinya


frak- tur geriatrik. Diabetes melitus dan hiper- tensi dapat berperan dalam
terjadinya fraktur tulang belakang atau panggul. Terdapat berbagai penelitian
yang menun- jukkan bahwa diabetes melitus dapat meningkatkan risiko terjadinya
fraktur jenis apapun. Hipertensi pun berperan dalam penurunan densitas mineral
tulang (Bone Mineral Density; BMD) melalui meka- nisme penurunan pasokan
darah ke tulang atau dapat pula disebabkan oleh efek obat antihipertensi yang
dikonsumsi pasien. Setiap kondisi yang membutuhkan penggu- naan
glukokortikoid kronis, seperti inflame- matory bowel disease, penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), dan artritis rheumatoid dapat menurunkan BMD,
demikian pula dengan penggunaan anti- koagulan oral. Pasien yang menjalani
dialisis juga mengalami peningkatan risiko terjadinya fraktur. Gangguan gait,
keseim- bangan, dan postural, serta gangguan peng- lihatan juga meningkatkan
risiko jatuh dan risiko mengalami fraktur. Anemia merupa- kan salah satu faktor
risiko terjadinya osteoporosis yang meningkatkan risiko fraktur. Beberapa
mekanisme dampak ane- mia yaitu dengan menurunkan sintesis kolagen,
munculnya faktor acidosis- induced transcription yang menyebabkan maturasi
dari osteoklas dan meningkatkan penghancuran tulang, serta meningkatkan kadar
eritropoietin. Selain itu, kalium pun berperan penting dalam metabolisme tulang
yaitu dalam keseimbangan asam-basa. Bila terjadi asidosis sistemik, hal ini dapat
meninduksi aktivasi osteoklas.

2.5 Patogenesis
Pada lansia terjadi penurunan fisiologik berbagai organ, salah satunya ialah
sistem muskuloskeletal, yaitu penurunan massa otot serta penurunan kepadatan
dan kualitas tulang yang menyebabkan terjadi- nya osteoporosis. Pada
osteoporosis terjadi penurunan massa tulang secara keseluruhan akibat
ketidakmampuan tubuh dalam mengatur kandungan mineral dalam tulang disertai

11
rusaknya arsitektur tulang yang berakibat penurunan kekuatan tulang sehingga
berisiko mudah terjadi fraktur.

Proses menua juga mengakibatkan perubahan kontrol postural yang berperan


penting pada mekanisme kejadian jatuh. Perubahan komponen dari kapabilitas
biomekanik meliputi latensi mioelektrik, waktu untuk bereaksi, proprioseptif,
lingkup gerak sendi, dan kekuatan otot. Selain itu, terdapat pula perubahan pada
postur tubuh, gaya berjalan, ayunan postural, sistem sensorik, dan mobilitas
fungsional. Usia yang lanjut dikaitkan dengan input proprioseptif yang berkurang,
proses degeneratif pada vestibuler, refleks posisi yang melambat, dan
melemahnya kekuatan otot yang penting dalam menjaga postur. Kelemahan otot
dan ketidakstabilan atau nyeri sendi dapat menjadi sumber gang- guan postural
selama gerakan volunter. Semua perubahan tersebut dapat berperan untuk
terjadinya jatuh yang menjadi penyebab fraktur.

2.6 Penatalaksanaan
Di Amerika terdapat fasilitas kesehatan yang ditujukan khusus untuk pasien
geriatrik yang mengalami fraktur, yaitu Geriatric Fracture Center (GFC). Prinsip
penanganan fraktur geriatrik berdasarkan GFC ialah pasien mendapatkan manfaat
dari stabilisasi pembedahan terhadap fraktur yang dialami; semakin cepat pasien
menjalani operasi, semakin kecil risiko terjadinya penyakit iatrogenik; manajemen
bersama dengan komunikasi yang baik antara tim dapat bermanfaat untuk meng-
hindari komplikasi medis dan fungsional; protokol yang terstandarisasi akan
mengurangi kemungkinan variasi penyakit; dan perencanaan yang menyeluruh
sejak pasien datang berobat pertama kali.

Penanganan fraktur geriatrik perlu dilakukan oleh tim dokter yang terdiri
dari dokter ortopedik dan juga dokter geriatrik. Komunikasi yang baik dan
rencana terapi yang tepat perlu dipersiapkan agar pasien geriatrik dapat ditangani
dengan baik dan dapat mengembalikan kualitas hidup pasien dan mencegah
terjadinya disabilitas.18 Penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada pasien

12
dengan fraktur dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu penatalaksanaan awal dan
penatalaksanaan definitif.

Penatalaksanaan awal bermanfaat untuk menstabilkan keadaan pasien


yang mencakup pertolongan pertama pada pasien dengan fraktur. Survei awal
bertujuan untuk menilai dan memberikan pengobatan sesuai dengan prioritas
berdasarkan trauma yang dialami. Fungsi vital pasien harus dinilai secara tepat
dan efisien yang meliputi airway, breathing, circulation, disability, dan exposure.
Penanganan pasien harus terdiri atas evaluasi awal yang cepat serta resusitasi
fungsi vital, penangan trauma dan identifikasi keadaan yang dapat menyebabkan
kematian. Penilaian klinis dilakukan sebelum menilai fraktur itu sendiri, apakah
luka itu luka tembus tulang, adanya trauma pembuluh darah/saraf atau adanya
trauma alat-alat dalam yang lain. Pemberian medikamentosa untuk tatalaksana
nyeri ialah parasetamol 500mg hingga dosis maksimal 3000mg per hari. Bila
respon tidak adekuat dapat ditambahkan dengan kodein 10mg. Langkah
selanjutnya ialah dengan menggunakan NSAID seperti ibuprofen 400mg, 3 kali
sehari. Pada keadaan nyeri berat (terutama bila terdapat osteoporosis), kalsitonin
50-100 IU dapat diberikan subkutan malam hari. Golongan narkotik hendaknya
dihindari karena dapat menyebabkan delirium. Penurunan risiko infeksi dengan
pemberian antibiotik peri-operatif. Untuk mencegah tromboemboli, pasien perlu
mendapat antikoagulan selama masa perioperatif dan dapat diberikan low
molecular weight heparin (LMWH) tanpa pengontrolan aPTT terlebih dahulu.
Sebelum operasi, antikoagulan perlu dihentikan dahulu agar perdarahan luka
operasi terkendali. Setelah operasi, antikoagulan dapat diberikan hingga 2-4
minggu atau bila pasien sudah dapat mobilisasi.

Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif,


prinsip pengobatan menggunakan empat (4R), yaitu: recognition, reduction,
retention, dan rehabilitation. Recognition meliputi diagnosis dan penilaian fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologik. Pada awal pengobatan
perlu diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang
sesuai untuk pengobatan, dan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan

13
sesudah pengobatan. Reduction fraktur bila perlu, restorasi fragmen fraktur
dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima. Pada fraktur intra-
artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan
fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas, serta
perubahan osteo- artritis di kemudian hari. Retention meliputi imobilisasi fraktur
dan rehabilitation untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal
mungkin.

Penatalaksanaan fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan


splint. Status neurologik dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik
sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pasien dengan trauma multipel
sebaiknya dilaku- kan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis
pasien stabil sedang- kan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan
menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan open reduction internal fixation
(ORIF) maupun open reduction and external fixation (OREF).

Reposisi bertujuan untuk mengembalikan fragmen ke posisi anatomi.


Teknik reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal sedangkan reposisi
terbuka dilaku- kan pada pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup,
fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multipel, dan fraktur patologik.
Imobilisasi/fiksasi bertujuan untuk mempertahankan posisi fragmen pasca reposisi
sampai terjadi union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan
(shortening), fraktur unstable, serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan
sekitar. Terdapat berbagai jenis fiksasi yang dapat dilakukan dan pemilihan fiksasi
yang dapat diberikan harus dipertimbangkan pada berbagai keadaan.

2.7 Komplikasi Dan Prognosis fraktur pada Lansia


1. Komplikasi
Pasien lansia sering mengalami komplikasi perioperatif seperti deep vein
throm- boembolism (DVT), hipoksia, delirium, anemia yang membutuhkan
transfusi, gagal jantung kongestif, gangguan ginjal akut, dan infark miokard.

14
Komplikasi pasca ope- rasi yang paling umum ialah pneumonia, gangguan
ginjal akut, dan ulkus dekubitus.
2. Prognosis
Risiko komplikasi pasca operasi, nyeri, lama rawat, dan kematian dapat
berkurang bila pasien lansia ditatalaksana operatif dalam kurun waktu tidak
lebih dari 24-48 jam, namun akan meningkat pada pasien lanjut usia dengan
faktor-faktor risiko dan komplikasi. Perawatan bedah mengurangi mortalitas
dan nyeri kronis serta meningkatkan kualitas hidup dibandingkan dengan
manajemen medis.
Fraktur humerus proksimal dan fraktur geriatrik lainnya dapat menurunkan
kualitas hidup dan kemandirian secara kronis. Pasien yang tidak mengalami
perbaikan range of motion (ROM) dan kekuatan dalam satu tahun akan terus
mengalami kesulitan kronis. Fraktur ini dapat menurunkan kemampuan pasien
untuk menggunakan peralatan adaptif seperti alat bantu jalan, tongkat, atau
pegangan; kebutuhan perawatan kesehatan di rumah dan penilai- an keamanan
harus dilakukan sebelum me- ngeluarkan pasien dari rumah sakit karena pasien
mungkin tidak dapat mempertahankan independensi dengan cedera ini.10
Secara keseluruhan mortalitas fraktur pelvis pada kelompok lanjut usia ialah 9-
30% dan hingga 81% pada pasien lansia dengan fraktur pelvis terbuka.
Fraktur vertebra akut memiliki tingkat kelang- sungan hidup tiga tahun 40-
60% tergantung pada jenis penanganan. Hampir seperempat dari kelompok
lanjut usia akan mengalami fraktur kedua dalam 5 tahun ke depan, dan risiko
patah tulang pinggul 17 kali lipat lebih tinggi pada bulan pertama setelah
mengalami fraktur low impact.
2.8 Pencegahan
Pencegahan fraktur yang dapat dilakukan ialah pemberian suplementasi
kalsium dan vitamin D, menghindari faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti
merokok dan konsumsi alkohol, penggunaan pelindung pinggul, serta melakukan
skrining dan mengurangi risiko jatuh.

15
Pemberian suplemen kalsium dapat dilakukan dengan pemberian makanan
mengandung kalsium misalnya susu atau dalam bentuk kalsium sitrat untuk
memenuhi kebutuhan kalsium sekitar 1200 mg per hari. Untuk mencapai dosis
harian yang direkomendasikan 800-1000 IU vitamin D sering dibutuhkan
tambahan multivitamin selain produk kombinasi kalsium dan vitamin D, yang
umumnya hanya mengandung 200 IU per tablet. Pada pasien yang kekurangan
vitamin D, perlu dilakukan pendekatan yang lebih agresif untuk peng- gantian
vitamin D. Paparan sinar ultraviolet dari sinar matahari pada kulit juga dapat
menambah asupan vitamin D.

16
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Asuhan keperawatan Gerontik pada Fraktur
1. Pengkajian
Pengkajian adalah sebuah proses untuk mengenal dan mengidentifikasi
faktor-faktor (baik positif dan negative) pada usia lanjut, baik secara individu
maupun kelompok, yang bermanfaat untuk mengetahui masalah dan kebutuhan
usia lanjut, serta untuk mengembangkan strategi promosi kesehatan (Azizah,
2012).

Pengkajian keperawatan pada lansia merupakan proses kompleks dan


menantang yang harus mempertimbangkan kebutuhan lansia melalui pengkajian-
pengkajian untuk menjamin pendekatan lansia spesifik, antara lain:

1) Pengkajian Data
a. Identitas Pasien/keluarga
Format pengkajian identitas pada lansia yang meliputi: nama,
umur, jenis kelamin, status pernikahan, alamat, suku, agama,
pekerjaan/penghasilan, dan pendidikan terakhir.

b. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan merupakan data riwayat atau masalah kesehatan
yang di derita lansia pada saat ini dan masa lalu.

2) Pengkajian Fisik
a. Kebutuhan dasar
Kebutuhan dasar yang akan dikaji yaitu dari aktifitas latihan yang
sering dilakukan pasien, istirahat tidur, kenyamanan dan nyeri yang
dirasakan, status nutrisi, cairan, oksigenasi,eliminasi fekal/urine serta
kebutuhan sensorik atau penggunaan alat bantu.
b. Kemandirian dalam melakukan aktifitas

17
Skor Kemandirian Nilai
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen (BAB/BAK),
berpindah ke kamar kecil, mandi dan berpakaian.
B Kemandirian dalam semua hal kecuali satu dari fungsi tersebut
C Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu fungsi
tambahan
D Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi,
berpakaian, dan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi,
berpakaian, kekamar kecil, dan satu fungsi tambahan
F Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakain, ke
kamar kecil, berpindah, dan satu fungsi tambahan
G Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut
Lain-
Tergantungan pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak dapat
lain diklasifikasikan sebagai C,D,E atau F

Keterangan :

Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan pribadi


aktif. Pengkajian ini didasarkan pada kondisi actual klien dan bukan pada
kemampuan, artinya jika klien menolak untuk melakukan suatu fungsi, dianggap
sebagai tidak melakukan fungsi meskipun sebenarnya ia mampu.

Cara penilaian: Memberikan tanda pada kolom nilai sesuai dengan skor
kemandirian lansia

Skor
No Kriteria Dengan Nilai
Mandiri
bantuan
1 Makan 5 10
2 Minum 5 10
Berpindah dari kursi roda ke
3 5-10 15
tempat tidur dan sebaliknya
Personal Toilet (cuci muka,
4 0 5
menyisir rambut, gosok gigi)

18
5 Keluar masuk toilet 5 10
Mandi (menyiram,
6 5 15
mengeringkan tubuh)
7 Jalan di permukaan datar 0 15
8 Naik turun tangga 5 10
9 Mengenakan pakaian 5 10
10 Kontrol bowel (BAB) 5 10
11 Kontrol bladder (BAK) 5 10
12 Olahraga/Latihan 5 10
13 Pemanfaatan waktu 5 10
14 luang/rekreasi
Jumlah
Keterangan :

Penilaian:
Mandiri : 126-130
Ketergantungan sebagian: 65-125
Ketergantungan total : <60
c. Pengkajian keseimbangan
Posisi dan keseimbangan lansia

No Tes Koordinasi Keterangan Nilai


1 Berdiri dengan postur normal
2 Berdiri dengan postur nornmal dengan menutup mata
3 Berdiri dengan kaki rapat
4 Berdiri dengan kaki satu
5 Berdiri fleksi trunk dan berdiri ke posisi netral
6 Berdiri lateral dan fleksi trunk
7 Berjalan tempatkan tumit salah satu kaki di depan jari

19
kki yang lain
8 Berjalan sepanjang garis lurus
9 Berjalan mengikuti tanda gambar pada laintai
10 Berjalan menyamping
11 Berjalan mundur
12 Berjalan mengikuti lingkaran
13 Berjalan pada tumit
14 Berjalan dengan ujung kaki
jumlah
Keterangan: 4. kemampuan melakukkan aktivitas dengan lengkap

3: mampu melakukan kativitas dengan bantuan

2: mampu aktivitas dengan bantuan maksimal

1: tidak mampu melakukan aktivitas

Nilai: 42-54: mampu melakukan aktivitas


28-41: mampu melakukan sedikit bantuan
14-27: mampu melakukan bantuan maksimal
14 : tidak mampu melakukan

d. Pengkajian head to toe atau pengkajian per-sistem


Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, baik secara inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan fisik dilakukan secara
head to toe (kepala ke kaki) dan review of system (sistem tubuh).
1. Keadaan umum :
a. Tingkat kesadaran :

b. GCS :

c. TTV :

d. BB & TB :

e. Bagaimana postur tulang belakang :

20
(a)Tegap (b) Membungkuk (c) Kifosis (d) Skoliosis

(e)Lordosisi

2. Penilaian tingkat kesadaran


a. Composmetis (kesadaran penuh).

b. Apatis (acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya).

c. Somnolen (kesadaran lebih rendah, yang ditandai klien

tampak mengantuk, selalu ingin tidur, tidak responsive

terhadap rangsangan ringan tetapi masih responsive terhadap

rangsangan kuat).

d. Sopor (tidak memberikan respon ringan maupun sedang,

tetapi masih sedikit respons terhadap rangsangan yang kuat,

refleks pupil terhadap cahaya masih positif).

e. Koma (tidak ada reaksi terhadap stimulus apa pun, refleks

pupil terhadap cahaya tidak ada).

f. Delirium (tingkat kesadaran paling rendah, disorientasi,

kacau, dan salah persepsi terhadap rangsangan).

3. Penilaian kuantitatif
Diukur melalui GCS (Glasgow Coma Scale)

a) Membuka mata/Eye Movement (E)


b) Respons Verbal (V)
c) Respons Motorik (M)
4. Indeks massa tubuh
a. Berat badan :
b. BMI
TB (m) x TB (m)
Normal :
21
Laki-laki (20,1-25,0)
Wanita (18,7-23,8)
Klasifikasi Nilai :
a. Kurang : <18,5
b. Normal : 18,5-24,9
c. Berlebih : 25-29,9
d. Obesitas : >30
5. Head to toe
a. Kepala

Inspeksi: kulit kepala; warna, bekas lesi, bekas trauma, area

terpajan sinar matahari, hipopigmentasi, hygiene, sianosis,

eritema. Rambut; warna, bentuk rambut, kulit kepala, botak

simetris pada pria, rambut kering atau lembab, rapuh, mudah

rontok.

Palpasi : kulit kepala; suhu dan tekstur kulit, ukuran lesi,

benjolan atau tidak, nyeri tekan atau tidak

b. Mata

Inspeksi: kesimetrisan, warna retina, kepekaan terhadap cahaya

atau respon cahaya, anemis atau tidak pada konjungtiva, sklera

icterus atau tidak. Ditemukan strabismus, riwayat katarak atau

tidak, penggunaan alat bantu penglihatan atau tidak.

c. Hidung

Inspeksi:Kesimetrisan,kebersihan,polip, terdapat perdarahan

atau tidak, olfaktorius

Palpasi : Sinus frontal dan maksilaris terhadap nyeri tekan.

22
d. Mulut

Inspeksi: Kesimetrisan bibir, warna, tekstur lesi dan


kelembaban serta karakteristik permukaan pada mukosa mulut
dan lidah. Jumlah gigi, gigi yang karies dan penggunaan gigi
palsu. Peradangan stomatitis atau tidak, kesulitan mengunyah
dan menelan.

Palpasi : lidah dan dasar mulut terhadap nyeri tekan dan


adanya massa.

Tes uji fungsi saraf facial dan glosofaringeal dengan


memberikan perasa manis, asam, asin, manis.
e. Telinga

Inspeksi: permukaan bagian luar daerah tragus dalam keadaan


normal atau tidak. Kaji struktur telinga dengan otoskop untuk
mengetahui adanya serumen, otorhea, obyek asing dan lesi.

Tes uji pendengaran atau fungsi auditori dengan melakukan


skrining pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan
menggunakan garpu tala dan kuantitatif dengan menggunakan
audiometer. Tes suara detik jam, tes Weber, tes Rine dengan
media garpu tala.
f. Leher

Inspeksi: pembesaran kelenjar thyroid, gerakan-gerakan halus


pada respon percakapan, secara bilateral kontraksi otot
seimbang, garis tengah trachea pada area suprasternal,
pembesaran kelenjar tiroid terhadap masa simetris tak tampak
pada saat menelan.

Palpasi : arteri temporalis iramanya teratur, amplitude agak


berkurang, lunak, lentur dan tidak nyeri tekan. Area trachea
adanya massa pada tiroid. Raba JVP (Jugularis Vena Pleasure)
untuk menentukan tekanan pada otot jugularis.

23
Tes uji kaku kuduk
g. Dada thorax
1. Paru
Inspeksi: bentuk dada normal chest/barrel chest/pigeon
chest, tampak adanya retraksi, irama dan frekuensi
pernafasan pada usia lanjut normal 12- 20 permenit.
Ekspansi bilateral dada secara simetris, durasi inspirasi
lebih panjang daripada ekspirasi. Todak ditemukan
takipnea, dyspnea.
Palpasi : adanya tonjolan-tonjolan abnormal, taktil fremitus
(keseimbangan lapang paru), ada nyeri tekan atau tidak,
krepitasi karena defisiensi kalsium.
Perkusi : Sonora tau tidak.
Auskultasi: Vesikuler atau ada suara tambahan wheezing
dan rinchi.
2. Jantung
IC tidak tampak, IC teraba di ICS V midklavikula sinistra,
pekak, suara jantung tunggal. Inspeksi: Ictus Cordis tidak
tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V midklavikula sinistra
Perkusi : Terdengar pekak Auskultasi: area katup aorta,
katup pulmonal, area pulmonal kedua, area trikuspidalis,
untuk mengetahui keadaan abnormal pada jantung dan
organ sekitar jantung. Kaji bunyi S1, S2, S3 dan S4
murmur dan gallop.
h. Abdomen
Inspeksi: bentuk distensi, flat, simetris.
Auskultasi: bising usus dengan frekuensi normal 20 kali
permenit pada kuadran 8 periksa karakternya, desiran pada
daerah epigatrik.
Palpasi : adanya benjolan, permukaan abdomen,

24
pembesaran hepar dan limfa dan kaji adanya nyeri tekan.
Perkusi : adanya udara dalam abdomen, kembung
i. Genetalia
Inspeksi: pada pria; kesimetrisan ukuran skrotum,
kebersihan, kaji adanya hemaroid pada anus. Pada wanita;
kebersihan, karakter mons pubis dan labia mayora serta
kesimetrisan labia mayora, klitoris ukuran bervariasi.
Palpasi : pada pria; batang lunak, ada nyeri tekan, tanpa
nodulus atau dengan nodulus, skrotum dan testis mengenai
ukuran, letak dan warna. Pada wanita; bagian dalam labia
mayora dan minora, kaji warna, kontur kering dan
kelembapannya.
j. Ekstermitas
Inspeksi: warna kuku, ibu jari dan jari-jari tangan,
penurunan transparasi, beberapa distorsi dari datar normal
atau permukaan agak melengkung pada inspeksi bentuk
kuku, permukaan tebal dan rapuh. Penggunaan alat bantu,
deformitas, tremor, edema kaki. Kaji kekuatan otot.
Palpasi : turgor kulit hangat, dingin. Kaji reflek pada daerah
brakhioradialis, trisep, patella, plantar dan kaji reflek
patologis
k. Integumen
Inspeksi: kebersihan, warna kulit, kesimetrisan, kontur
tekstur dan lesi.
Palpasi : CRT < 2 detik
e. Pengkajian kognitif
Pengkajian status kognitif/afektif merupakan pemeriksaan status

mental sehingga dapat memberikan gambaran perilaku dan kemampuan

mental dan fungsi intelektual. Pengkajian status mental bisa digunakan

untuk klien yang beresiko delirium.

25
f. Pengkajian spiritual
Spiritualitas merupakan sesuatu yang multidimensi, yaitu demensi

eksistensi dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan

dan arti kehidupan, sedangkan agama lebih berfokus pada hubungan

seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa (Hawari, 2002; Sunaryo,

dkk, 2016).

Pengkajian spiritual meliputi:

a. Pengkajian data subjektif, yang mencakup konsep ketuhanan,

sumber kekuatan dan harapan, praktik agama dan ritual, dan

hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan.

b. Pengkajian data objektif, pengkajian ini mecakup afek dan sikap,

perilaku, verbalisasi, hubungsn interpersonal, dan lingkungan.

g. Pengkajian fungsi sosial


Pengkajian aspek fungsi sosial dapat dilakukan dengan menggunakan

alat skrining singkat untuk mengkaji fungsi sosial lanjut usia, yaitu

APGAR Keluarga (Adaptation, Partnership, Growth, Affection, Resolve).

2. Diagnosa keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/
immobilisasi, stress, ansietas
b) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan,
ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
c) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot,
penurunan kekuatan otot, kekakuan sendi, nyeri.

26
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan
Dx (SLKI) (SIKI)
(SDKI)
D.007 Nyeri akut L.08066 Tingkat I.08238 Manajemen
7 berhubungan dengan Nyeri Nyeri
agen pencedera Setelah dilakukan Tindakan
fisiologis yaitu tindakan keperawatan Observasi
penurunan kepadatan selama 3x24 jam - Identifikasi lokasi,
dan kualitas tulang tingkat nyeri menurun karakteristik, durasi,
ditandai dengan dengan kriteria hasil : frekuensi, kualitas,
mengeluh nyeri, - Keluhan nyeri intensitas nyeri
tampak meringis, menurun - Identifikasi skala
sulit tidur, frekuensi - Meringis menurun nyeri
nadi meningkat, - Gelisah menurun - Identifikasi respons
gelisah. - Kesulitan tidur nyeri non verbal
menurun - Identifikasi faktor
- Frekuensi nadi yang memperberat
membaik dan memperingan
nyeri
- Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
- Identifikasi
pengaruh budaya
terhadap respon
nyeri
- Identifikasi
pengaruh nyeri pada
kualitas hidup

27
- Monitor
keberhasilan terapi
komplementer yang
sudah diberikan
- Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
- Kontrol lingkunga
yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat
dan tidur
- Pertimbangkan jenis

28
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri.
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian analgetik
jika perlu.
D.005 Intoleransi aktivitas L.05047 Toleransi I.05178 Manajemen
6 berhubungan Aktivitas Energi
dengan kelemahan, Setelah dilakukan Tindakan
tirah baring dan tindakan keperawatan Observasi
imobilitas yang selama 3x24 jam - Identifikasi gangguan
ditandai dengan toleransi aktivitas fungsi tubuh yang
mengeluh lelah, meningkat dengan mengakibatkan

29
tekanan darah kriteria hasil : kelelahan
berubah, merasa - Frekuensi nadi - Monitor kelelahan
lemah, merasa tidak membaik fisik dan emosional
nyaman setelah - Keluhan lelah - Monitor pola dan jam
beraktivitas. menurun tidur
- Tekanan darah - Monitor lokasi dan
membaik ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas
Terapeutik
- Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (mis.
cahaya, suara,
kunjungan)
- Lakukan latihan
rentang gerak pasif
da/atau aktif
- Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
- Fasilitasi duduk di
sisi tempat tidur, jika
tidak dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
- Anjurkan

30
menghubungi
perawat jika tanda
dan gejala kelelahan
tidak berkurang
- Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan.
D.005 Gangguan mobilitas L.05042 Mobilitas I.06171 Dukungan
4 fisik berhubungan Fisik Ambulasi
dengan kerusakan Setelah dilakukan Tindakan
integritas struktur tindakan keperawatan Observasi
tulang, selama 3x24 jam - Identifikasi adanya
ketidakbugaran fisik, mobilitas fisik nyeri atau keluhan
penurunan kendali meningkat dengan fisik lainnya
otot, penurunan kriteria hasil : - Identifikasi toleransi
kekuatan otot, - Pergerakan fisik melakukan
kekakuan sendi, nyeri ekstremitas ambulasi
yang ditandai dengan meningkat - Monitor kondisi
mengeluh sulit - Kekuatan otot umum selama
menggerakkan meningkat melakukan ambulasi
ekstremitas, kekuatan - Rentang gerak Terapeutik
otot menurun, ROM (ROM) meningkat - Fasilitasi aktifitas
menurun, nyeri saat - Nyeri menurun ambulasi dengan alat
bergerak, fisik lemah, - Kaku sendi bantu
dan sendi kaku. menurun - Fasilitasi melakukan

31
- Kelemahan fisik mobilisasi fisik
menurun - Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
- Anjurkan melakukan
ambulasi dini
- Anjurkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis
berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat
tidur)

32
DAFTAR PUSTAKA

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol.
02 (6th ed). Hartanto H, editor. Jakarta: EGC, 2005.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang


Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri di Rumah Sakit.

Setiati S, Laksmi PW. Gangguan keseimbangan, jatuh, dan fraktur. In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III (4th ed). Jakarta Pusat: Interna
Publishing, 2014; p. 3743-57.

Hardywinoto.2005. Panduan gerontologi: Tinjauan Dari Berbagaiaspek. PT.


Cetakan kedua.Gramedia pustaka Utama. Jakarta.

33

Anda mungkin juga menyukai