Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I

KONSEP MEDIS

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI KOLON

1. Anatomi

Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix vermiformiis, colon,
rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian pertama intestinum crassum dan beralih
menjadi colon ascendens. Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum
terletak pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale
(Sherwood, 2014)

Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan berhubungan
dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal (Moore, 2010). Colon ascendens
panjangnya kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum sampai ke permukaan visceral
dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri pada flexura coli dextra untuk beralih
menjadi colon transversum (Widjaja, 2009). Pendarahan colon ascendens dan flexura coli
dextra terjadi melalui arteri ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteri mesenterica
superior. Vena ileocolica dan vena colica dextra, anak cabang mesenterika superior,
mengalirkan balik darah dari colon ascendens (Sherwood, 2014).

Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat
bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk omentum majus.
Panjangnya antara 45-50 cm. Pendarahan colon transversum terutama terjadi melalui arteria
colica media, cabang arteria mesenterica superior, tetapi memperoleh juga darah melalui
arteri colica dextra dan arteri colica sinistra. Penyaluran balik darah dari colon transversum
terjadi melalui vena mesenterica superior (Smeltzer & G.Bare, 2015). Colon descendens
panjangnya kurang lebih 25 cm.

Colon descendens melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa iliaca
sinistra dan disini beralih menjadi colon sigmoideum. Colon sigmoideum merupakan
lanjutan dari kolon desenden disebut juga colon pelvinum (Moore, 1992). Panjangnya
kurang lebih 40 cm, berukuran pendek, dan berbentuk lengkungan huruf S. Kolon sigmoid

1
2

terletak di sisi kiri bawah perut yangm emiliki jaringan otot kuat sehingga dapat
menjalankan fungsinya yaitu menekan feses agar menuju rectum (Brunner &
Suddarth, 2014).

Rectum adalah bagian akhir intestinum crassum yang terfiksasi ke arah kaudal rectum
beralih menjadi canalis analis. Rectum memiliki struktur lapisan mukosa yang tebal dan
kaya akan pembuluh darah. fungsi utama rectum adalah tempat penyimpanan feses yang
kemudian akan disekresikan keluar melalui anus. Penumpukan feses akan merangsang saraf
yang terdapat pada rektum untuk melakukan defekasi (BAB) (Sherwood, 2014).

2. Fisiologi

Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk
feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan kolon mengubah
1000-2000mL kimus isotonik yang masuk setiap hari dari ileum menjadi tinja semipadat
dengan volume sekitar 200-250mL. Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada
pertengahan proksimal kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi,
sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses
sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon
penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada
kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan sejumlah kecil selulosa,
dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi tambahan untuk tubuh
(Sherwood, 2014).
3

B. DEFENISI

Tumor merupakan suatu pertumbuhan sel tubuh yang mengalami transformasi dan
tumbuh secara autonom tanpa kendali pertumbuhan sel normal sehingga memiliki perbedaan
jika dibandingkan dengan sel normal pada umumnya. Tumor adalah suatu benjolan atau
struktur yang menempati area tertentu pada tubuh dengan pertumbuhan selsel baru
(neoplasma) yang membelah secara tidak terkendali dan tidak memiliki fungsi bagi tubuh.
Pertumbuhan tumor dapat bersifat jinak atau ganas dalam tubuh sehingga tumor dapat
membahayakan keselamatan hidup seseorang (Handerson, 2011 & FKUI, 2015).

Tumor sigmoid adalah pertumbuhan jaringan abnormal dalam tubuh akibat adanya
ketidakseimbangan pertumbuhan dan regenerasi sel pada daerah kolon sigmoid. Sigmoid
merupakan bagian terakhir kolon desenden yang berbentuk huruf “S” dan berlanjut
membentuk rektum dengan bentuk lurus (Sherwood, 2014).

C. ETIOLOGI

Penyebab tumor hingga saat ini sulit diketahui. Namun, faktor pencetus tumor
diantaranya: usia, jenis kelamin, respon kekebalan, dan virus. Selain itu, penyebab tumor
rektosigmoid pada usus besar telah dikenali dari beberapa faktor predisposisi (Price &Wilson,
2015) yaitu:
4

1. Usia
Resiko terkena kanker kolon meningkat dengan bertambahnya usia.
Kebanyakan kasus terjadi pada orang yang berusia 60 – 70 tahun. Jarang sekali ada
penderita kanker kolon yang usianya di bawah 50 tahun. Kalaupun ada, bisa
dipastikan dalam sejarah keluarganya ada yang terkena kanker kolon juga
2. Polip kolon
Polip adalah suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam lumen usus.
Polip dapat terbentuk akibat pematangan, peradangan atau arsitektur mukosa yang
abnormal. Polip ini bersifat nonneoplatik dan tidak memiliki potensi keganasan.
Polip yang terbentuk akibat proliferasi dan displasia epitel disebut polip
adenomatosa atau adenoma.
3. Riwayat kanker
Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker kolon (bahkan pernah
dirawat untuk kanker kolon) beresiko tinggi terkena kanker kolon lagi dikemudian
hari. Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium (indung telur), kanker uterus,
dan kanker payudara juga memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena
kanker kolon.
4. Faktor keturunan/genetika
Sejarah adanya kanker kolon dalam keluarga, khususnya pada keluarga dekat.
Orang yang keluarganya punya riwayat penyakit FAP (Familial Adenomatous
Polyposis) atau polip adenomatosa familial memiliki resiko 100% untuk terkena
kanker kolon sebelum usia 40 tahun bila FPA-nya tidak diobati. Penyakit lain dalam
keluarga adalah HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer), yakni
penyakit kanker kolorektal nonpolip yang menurun dalam kelurga atau
syndrome Lynch.
5. Penyakit kolitis (radang kolon) ulseratif yang tidak terobati
6. Kebiasaan merokok
Perokok memiliki resiko jauh lebih besar untuk terkena kanker kolon
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Meskipun penelitian awal tidak
menunjukkan hubungan merokok dengan kejadian tumor rektosigmoid, tetapi
5

penelitian terbaru menunjukkan perokok jangka lama (periode induksi 30-40 tahun)
mempunyai risiko relatif 1,5-3 kali terkena tumor rektosigmoid.
7. Pola makan (kebiasaan makan)
Pernah diteliti bahwa kebiasaan makan banyak daging merah (dan sebaliknya sedikit
makan buah, sayuran serta ikan) turut meningkatkan resiko terjadinya kanker kolon. Hal ini
karena daging merah banyak mengandung zat besi yang jika sering dikonsumse akan
mengakibatkan kelebihan zat besi.
8. Teralalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna, apalagi jika
pewarnanya adalah pewarna non makanan
9. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet
10. Kurangnya aktivits fisik Jika individu tidak aktif secara fisik, maka individu tersebut
memilki kesempatan lebih besar terkena tumor rektosigmoid. Meningkatkan
aktivitas fisik adalah salah satu upaya untuk mengurangi risiko terkena penyakit
tumor ini.
11. Obesitas Lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus secara konsisten
mendukung bahwa terdapat hubungan yang positif antara obesitas dan kejadian
tumor rektosigmoid
12. Konsumsi alkohol Hubungan tumor rektosigmoid dengan konsumsi alkohol tidak
jelas. Meskipun kebanyakan hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif
antara konsumsi alkohol dengan kejadian tumor rektosigmoid.

D. PATOFISIOLOGI
Kanker kolon dan rektum (95%) adeno karsinoma (muncul dari lapisan epitel usus).
Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak
jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari
tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke hati)
Japaries, 2013.
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus
dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat
menyebabakan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain. Prognosis
relativ baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseks dilakukan, dan
jauh lebih jelek telah terjadi metastase ke kelenjar limfe (Japaries, 2013).
6

Menurut Diyono (2013), tingkatan kanker kolorektal dari duke sebagai berikut :
1. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum dan kolon)
2. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase
3. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe
4. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.
Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh secara lokal
dan bermetastase luas. Adapaun cara penyebaran ini melalui beberapa cara. Penyebaran
secara lokal biasanya masuk ke dalam lapisan dinding usus sampai ke serosa dan lemak
mesentrik, lalu sel kanker tersebut akan mengenai organ disekitarnya. Adapun penyebaran
yang lebih luas lagi di dalam lumen usus yaitu melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila
sel tersebut masuk melalui sistem sirkulasi, maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke
organ hati, kemudian metastase ke organ paru-paru.penyebaran lain dapat ke adrenal,
ginjal, kulit, dan otak. Sel kanker pun dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan
dilkukan reseksi tumor (Diyono, 2013).
Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma jenis villous,
tubular, dan vilotubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis villous dan
tubular yang diperkirakan akan menjadi premaglina. Jenis tubuar berstruktur seperti bola
dan bertungkai, sedangkan jenis villous berstruktur tonjolan seperti jari-jari tangan dan
tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai bunga kol di dalam kolon sehingga
massa tersebut akan menekan dinding mukosa kolon. Penekanan yang terus menerus ini
akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain
perdarahan, maka obstruski pun kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya
adenoma tersebut sebagai acuan. Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas (asenden dan
tranversum), maka obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi (feses masih
mempunyai konsentrasi air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah
bentuk (disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma
tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit (desendens atau bagian
bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang telah
terdesak oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total atau parsial
(Diyono, 2013).
7

Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan genetik
sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permaligna (adenoma) untuk
adenokarsinoma invasif. Rangkaian peristiwa molekuler dan genetik yang menyebabkan
transformasi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah mutasi APC
(Adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali ditemukan pada individu dengan keluarga
adenomatosa poliposi = FAP (Familial Adenomatous Polyposis). Protein yang dikodekan
olh APC penting dalam aktivasi pnkogen c=myc dan siklin D1 yang mendorong
pengembangan menjadi fenotipe ganas (Muttaqin, 2013).

E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi tumor, tahap penyakit dan fungsi segmen usus
tempat tumor berlokasi tekanan (Smeltzer & G.Bare, 2001)
1. Adanya perubahan dalam defekasi
2. Baik mucus maupun darah segar sering terlihat pada feses.
3. Konstipasi
4. Perubahan dalam penampilan feses
5. Tenesmus
6. Anemia dan pendarahan rectal merupakan keluhan yang umum terjadi akibat kehilangan
darah kronik
7. perubahan defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks.
8. Feses dapat kecil dan berbentuk seperti pita.
9. Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf, pembuluh limfe atau
vena, menimbulkan gejala-gejala pada tungkai atau perineum.
10. Nyeri pinggang / abdomen bagian kiri bawah
11. Diare dan sering berkemih dapat timbul sebagai akibat gejala yang sering terjadi.

F. KOMPLIKASI
Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap.
Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang
menyebabkan hemoragi. Perforasi dapar terjadi dan mengakibatkan pembentukan abses.
Peritonitis dan/atau sepsis dapat menimbulkan syok (Smeltzer & G.Bare, 2001).
8

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan pada tumor rektosigmoid diantaranya (Kementerian
Kesehatan RI, 2015)
1. Laboratorium
a) Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis
b) Kimia darah
c) Tumor marker CEA
2. Pemeriksaan radiologi
Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif untuk
diagnosis karsinoma kolorektal, yaitu endoskopi, CT Scan, MRI, barium enema, dan
CEA (Sjamsuhidajat, 2004) :
a) Endoskopi
Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidosskopi rigid,
sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi Rigid digunakan untuk
visualisasi kolon dan rektum sebenarnya kurang efektif dibandingkan dengan
sigmoidoskopi fleksibel (Sjamsuhidajat, 2004). Sigmoidoskopi Fleksibel yaitu
visualisasi langsung pada 40 hingga 60 cm terminal rektum dan kolon sigmoid dapat
dilakukan dengan persiapan yang minim dan lebih nyaman bagi pasien. Enam puluh
persen dari semua tumor usus besar dapat terlihat secara langsung menggunakan alat
ini (Price & Wilson, 2006). Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang sangat
efektif dan sensitif dalam mendiagnosis karsinoma kolorektal. Tingkat sensitivitas di
dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95%
(Sjamsuhidajat, 2004).
Pemeriksaan endoskopi yang dapat dilakukan :
 Sigmoidoskopi rigid / Rektoskopi,
 Sigmoidoskopi fleksibel (lebih efektif dibandingkan dengan sigmoidoskopi rigid
untuk visualisasi kolon dan rektum)
 Kolonoskopi (Akurasi sama dengan kombinasi enema barium kontras ganda +
sigmoidoskopi fleksibel untuk KKR atau polip > 9 mm.
9

b) CT Scan dan MRI


CT Scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar getah
bening retroperitoneal dan metastasis ke hepar. Akurasi pembagian stadium dengan
menggunakan CT-Scan adalah 80% dibanding MRI 59%. Untuk menilai metastase
kelenjar getah bening akurasi CT-Scan adalah 65%, sedang MRI 39%
(Sjamsuhidajat, 2004).
c) Barium Enema
Merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mendeteksi gangguan
kolon. Penambahan kontras-udara dengan radiografi enema barium bersifat akurat
hingga 90% pemeriksaan (Price & Wilson, 2006).
d) CEA (Carcinoembrionik Antigen) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk
ke dalam peredaran darah dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor
status karsinoma kolorektal dan mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar.
CEA terlalu insensitif dan non spesifik untuk bisa digunakan sebagai screening
karsinoma kolorektal (Kendal & Tao, 2013).

H. PENATALAKSANAAN
Beberapa penatalaksanaan pada umor rektosigmoid ialah (Smeltzer & G.Bare, 2001):
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi utama untuk kanker rektum. Beberapa metode yang
dipakai antara lain :
a. Transanal excision. Metode ini digunakan untuk lesi yang superfisial pada pasein
dengan derajat I atau II.
b. Low anterior resection (LAR). Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak di
tengah atau 1/3 atas rektum.
c. Coloanal anastomosis
d. Abdominal perineal resection (APR)
2. Kemoterapi dan Radioterapi
Kemoterapi dan radioterapi biasa dilakukan pada pasien dengan stadium Dukes C
untuk menurunkan tingkat rekurensi, meningkatkan tingkat keberhasilan operasi, dan
10

memelihara keutuhan sfingter anus. Radioterapi preoperatif dapat menurunkan angka


rekurensi setelah pembedahan dari 27% menjadi 11%, dan meningkatkan angka
keberhasilan jangka panjang dari 48% menjadi 58%. Konsensus The US National
Institutes of Health merekomendasikan kemoradioterapi preoperatif untuk semua stadium
II dan III.
3. Penyinaran (radioterapi) : Terapi radiasi menggunakan sinar gelombang partikel berenergi
tinggi misalnya sinar X atau sinar gamma untuk merusak daerah yang ditumbuhi tumor
dan merusak genetik sel tumor.
11

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian keperawatan dengan masalah gastrointestinal menurut Smeltzer & Bare
(2013) sebagai berikut :
1. Kaji riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang : mendapatkan informasi tentang perasaan lelah,
adanya nyeri abdomen atau rektal dan karakteristiknya (lokasi, fekuensi, durasi,
berhubungan dengan makan atau defekasi), pola eliminasi terdahulu dan saat ini,
deskripsi tentang warna, bau, dan konsistensi feses, mencakup adanya darah dan
mucus, serta terapiobat saat ini
b) Riwayat kesehatan masa lalu : mengenai penyakit usus inflamasi kronis atau polip
pada kolon, rektal atau sikmoid
c) Riwayat kesehatan keluarga : adanya riwayat penyakit pada bagian kolon
d) Kaji kebiasaan diet : mencakup masukan lemak dan/atau serat serta jumlah
konsumsi alkohol
e) Kaji riwayat penurunan berat badan
2. Pengkajian objektif
a) Auskultasi abdomen terhadap bising usus
b) Palpasi abdomenuntuk area nyeri tekan, distensi, dan massa padat
c) Inspeksi spesimen feses terhadap karakterdan adanya darah

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut
2. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
3. Kerusakan Integritas Kulit
4. Ansietas
5. Resiko Infeksi

11
12

C. RENCANA / INTERVENSI KEPERAWATAN


Rencana / intervensi keperawatan berdasarkan diagnosa yaitu sebagai berikut (Bulechek & et.al, 2016 & Moorhead,
dkk, 2016) :

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

1 Nyeri Akut NOC NIC

● Pain Level Pain Management

● Pain Control - Observasi tanda- tanda vital


- Observasi reaksi nonverbal dari
● Comfort level
ketidaknyamanan
Kriteria Hasil : - Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu
kualitas, dan faktor presipitasi
penyebab nyeri, mampu
- Ajarkan teknik non farmakologi seperti teknik
menggunakan tehnik
relaksasi nafas dalam atau distraksi
nonfarmakologi untuk
- Penatalaksanaan pemberian obat analgetik
mengurangi nyeri, mencari
bantuan)
2. Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (Skala,
13

intensitas, frekuensi dan tanda


nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang

2. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari NOC NIC


Kebutuhan ● Nutritional Status : Nutritional Management
● Nutritional Status : food and fluid - Kaji adanya alergi makanan
Intake - Berikan substansi gula
● Nutritional Status : Nutrient Intake - Berikan makanan yang terpilih (sudah
● Weight Control dikonsultasikan dengan ahli gizi
- Monitor kadar albumin dan HB
Kriteria Hasil :

1. Albumin meningkat
2. HB normal
3. Mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
4. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
5. Tidak terjadi penurunan berat
badan yang berarti
14

3. Kerusakan Integritas Kulit NOC NIC

● Tissue integrity : Skin and mucous Prssure Ulcer Prevention Wound Care
● Wound healing : Primary and
- Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril
secondary intention
- Observasi luka :lokasi, dimensi, kedalaman
luka, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil :
local, formasi traktus
1. Perfusi jaringan normal - Jaga kulit agar tetap bersih dan kering
2. Tidak ada tanda-tanda infeksi
3. Ketebalan dan tekstur jaringan
normal
4. Menunjukkan pemahaman dalam
proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya cedera
berulang
5. Menunjukkan terjadinya proses
penyembuhan luka
15

4. Ansietas NOC NIC

● Anxiety self-control Anxiety Reduction (Penurunan Kecemasan)


● Anxiety Level - Gunakan pendekatan yang menenangkan

● Coping - Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan


selama prosedur
- Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi takut
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Bantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
- Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
- Instruksikan pasien menggunakan teknik
relaksasi
- Berikan obat untuk mengurangi kecemasan
16

5. Resiko Infeksi NOC NIC

● Immune status Infection Control (Konptrol Infeksi)

● Knowledge infection control - Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal
● Risk control
- Batasi pengunjung
Kriteria Hasil : - Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
1. Klien bebas dari tanda dan gejala
meninggalkan pasien
infeksi
- Penatalaksanaan terapi antibiotik
2. Mendeskripsikan proses
penularan penyakit, factor yang
mempengaruhi penularan serta
penatalaksanaannya
3. Menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi
4. Jumlah leukosit dalam batas
normal
5. Menujukkan perilaku hidup sehat
17

Tumor Sigmoid

Invasi jaringan dan efek kompresi oleh tumor

Intervensi Pembedahan

Perubahan Intake Nutrisi


kerusakan jaringan lunak pasca operasi

Intake nutrisi tidak adekuat


Luka pasca operasi
Terputusnya inkontinuitas jaringan

Ketidakseimbangan Nutrisi Terbukanya pintu masuk mikroorganisme


Merangsang mediator kimia : Histamin, Anoreksia
Kurang Dari Kebutuhan
Protaglandin, Bradikinin Tubuh
Resiko Infeksi

Merangsang Hipotalamus
dan korteks serebri Kerusakan
Kurang terpajang informasi Integritas Kulit

Nyeri Akut Gelisah, cemas dan Ketakutan

Ansietas
18

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bulechek, G. M., & et.al. (2016). Nursing Intervention Classification (6 ed.). Yogyakarta:
Moco Media.

Kementerian Kesehatan RI. (2015). Panduan Nasional Penanganan Kanker Rektum. Jakarta.

Moorhead,dkk. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore: Elsevier.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2015). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (6
ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.

Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (8 ed.). Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai