1. Anatomi
1. Fisiologi
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan
kolon mengubah 1000-2000mL kimus isotonik yang masuk setiap hari dari ileum
menjadi tinja semipadat dengan volume sekitar 200-250mL. Sebagian besar absorpsi
dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal kolon, sehingga bagian ini
dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya
berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk ekskresi
feses dan oleh karena itu disebut kolon penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya
basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri
ini mampu mencernakan sejumlah kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan
beberapa kalori nutrisi tambahan untuk tubuh (Sherwood, 2014).
2. DEFENISI
Tumor merupakan suatu pertumbuhan sel tubuh yang mengalami transformasi dan
tumbuh secara autonom tanpa kendali pertumbuhan sel normal sehingga memiliki
perbedaan jika dibandingkan dengan sel normal pada umumnya. Tumor adalah suatu
benjolan atau struktur yang menempati area tertentu pada tubuh dengan pertumbuhan sel-
sel baru (neoplasma) yang membelah secara tidak terkendali dan tidak memiliki fungsi
bagi tubuh. Pertumbuhan tumor dapat bersifat jinak atau ganas dalam tubuh sehingga
tumor dapat membahayakan keselamatan hidup seseorang (Handerson, 1997 & FKUI,
2008).
Tumor sigmoid adalah pertumbuhan jaringan abnormal dalam tubuh akibat adanya
ketidakseimbangan pertumbuhan dan regenerasi sel pada daerah kolon sigmoid. Sigmoid
merupakan bagian terakhir kolon desenden yang berbentuk huruf “S” dan berlanjut
membentuk rektum dengan bentuk lurus (Sherwood, 2014).
3. ETIOLOGI
Penyebab tumor hingga saat ini sulit diketahui. Namun, faktor pencetus tumor
diantaranya: usia, jenis kelamin, respon kekebalan, dan virus. Selain itu, penyebab tumor
rektosigmoid pada usus besar telah dikenali dari beberapa faktor predisposisi (Price
&Wilson, 2015) yaitu:
1. Usia
Resiko terkena kanker kolon meningkat dengan bertambahnya usia. Kebanyakan
kasus terjadi pada orang yang berusia 60 – 70 tahun. Jarang sekali ada penderita
kanker kolon yang usianya di bawah 50 tahun. Kalaupun ada, bisa dipastikan dalam
sejarah keluarganya ada yang terkena kanker kolon juga
2. Polip kolon
Polip adalah suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam lumen usus. Polip
dapat terbentuk akibat pematangan, peradangan atau arsitektur mukosa yang
abnormal. Polip ini bersifat nonneoplatik dan tidak memiliki potensi keganasan. Polip
yang terbentuk akibat proliferasi dan displasia epitel disebut polip adenomatosa atau
adenoma.
3. Riwayat kanker
Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker kolon (bahkan pernah
dirawat untuk kanker kolon) beresiko tinggi terkena kanker kolon lagi dikemudian
hari. Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium (indung telur), kanker uterus, dan
kanker payudara juga memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena kanker kolon.
4. Faktor keturunan/genetika
Sejarah adanya kanker kolon dalam keluarga, khususnya pada keluarga dekat.
Orang yang keluarganya punya riwayat penyakit FAP (Familial Adenomatous
Polyposis) atau polip adenomatosa familial memiliki resiko 100% untuk terkena
kanker kolon sebelum usia 40 tahun bila FPA-nya tidak diobati. Penyakit lain dalam
keluarga adalah HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer), yakni
penyakit kanker kolorektal nonpolip yang menurun dalam kelurga atau syndrome
Lynch.
5. Penyakit kolitis (radang kolon) ulseratif yang tidak terobati
6. Kebiasaan merokok
Perokok memiliki resiko jauh lebih besar untuk terkena kanker kolon
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Meskipun penelitian awal tidak
menunjukkan hubungan merokok dengan kejadian tumor rektosigmoid, tetapi
penelitian terbaru menunjukkan perokok jangka lama (periode induksi 30-40 tahun)
mempunyai risiko relatif 1,5-3 kali terkena tumor rektosigmoid.
7. Pola makan (kebiasaan makan)
Pernah diteliti bahwa kebiasaan makan banyak daging merah (dan sebaliknya
sedikit makan buah, sayuran serta ikan) turut meningkatkan resiko terjadinya kanker
kolon. Hal ini karena daging merah banyak mengandung zat besi yang jika sering
dikonsumse akan mengakibatkan kelebihan zat besi.
8. Teralalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna, apalagi jika
pewarnanya adalah pewarna non makanan
9. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet
10. Kurangnya aktivits fisik
Jika individu tidak aktif secara fisik, maka individu tersebut memilki kesempatan
lebih besar terkena tumor rektosigmoid. Meningkatkan aktivitas fisik adalah salah
satu upaya untuk mengurangi risiko terkena penyakit tumor ini.
11. Obesitas
Lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus secara konsisten
mendukung bahwa terdapat hubungan yang positif antara obesitas dan kejadian tumor
rektosigmoid
4. PATOFISIOLOGI
Kanker kolon dan rektum (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus).
Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak
jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari
tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke hati) Japaries,
2013.
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus
dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat
menyebabakan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain.
Prognosis relativ baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseks
dilakukan, dan jauh lebih jelek telah terjadi metastase ke kelenjar limfe (Japaries, 2013).
Menurut Diyono (2013), tingkatan kanker kolorektal dari duke sebagai berikut :
1. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum dan kolon)
2. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase
3. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe
4. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.
Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh secara
lokal dan bermetastase luas. Adapaun cara penyebaran ini melalui beberapa cara.
Penyebaran secara lokal biasanya masuk ke dalam lapisan dinding usus sampai ke
serosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker tersebut akan mengenai organ
disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih luas lagi di dalam lumen usus yaitu
melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila sel tersebut masuk melalui sistem
sirkulasi, maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke organ hati, kemudian
metastase ke organ paru-paru.penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kulit, dan
otak. Sel kanker pun dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan dilkukan
reseksi tumor (Diyono, 2013).
Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma jenis
villous, tubular, dan vilotubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis
villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi premaglina. Jenis tubuar
berstruktur seperti bola dan bertungkai, sedangkan jenis villous berstruktur tonjolan
seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai
bunga kol di dalam kolon sehingga massa tersebut akan menekan dinding mukosa
kolon. Penekanan yang terus menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang
akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka obstruski pun
kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan.
Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas (asenden dan tranversum), maka
obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi (feses masih mempunyai konsentrasi
air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk
(disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma
tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit (desendens atau
bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang
telah terdesak oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total
atau parsial (Diyono, 2013).
Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan
genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permaligna (adenoma)
untuk adenokarsinoma invasif. Rangkaian peristiwa molekuler dan genetik yang
menyebabkan transformasi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah
mutasi APC (Adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali ditemukan pada
individeu dengan keluarga adenomatosa poliposi = FAP (Familial Adenomatous
Polyposis). Protein yang dikodekan olh APC penting dalam aktivasi pnkogen c=myc
dan siklin D1 yang mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas (Muttaqin,
2013)
5. MANIFESTASI KLINIK
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi tumor, tahap penyakit dan fungsi segmen usus
tempat tumor berlokasi tekanan (Smeltzer & G.Bare, 2001)
1. Adanya perubahan dalam defekasi
2. Baik mucus maupun darah segar sering terlihat pada feses.
3. Konstipasi
4. Perubahan dalam penampilan feses
5. Tenesmus
6. Anemia dan pendarahan rectal merupakan keluhan yang umum terjadi akibat
kehilangan darah kronik
7. perubahan defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks.
8. Feses dapat kecil dan berbentuk seperti pita.
9. Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf, pembuluh limfe
atau vena, menimbulkan gejala-gejala pada tungkai atau perineum.
10. Nyeri pinggang/abdomen bagian kiri bawah
11. Diare dan sering berkemih dapat timbul sebagai akibat gejala yang sering terjadi.
6. KOMPLIKASI
Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap.
Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang
menyebabkan hemoragi. Perforasi dapar terjadi dan mengakibatkan pembentukan abses.
Peritonitis dan/atau sepsis dapat menimbulkan syok (Smeltzer & G.Bare, 2015).
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan pada tumor rektosigmoid diantaranya (Kementerian
Kesehatan RI, 2015)
1. Laboratorium
a) Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis
b) Kimia darah
c) Tumor marker CEA
2. Pemeriksaan radiologi
Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif untuk
diagnosis karsinoma kolorektal, yaitu endoskopi, CT Scan, MRI, barium enema, dan
CEA (Sjamsuhidajat, 2004):
a) Endoskopi
Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidosskopi rigid,
sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi Rigid digunakan untuk
visualisasi kolon dan rektum sebenarnya kurang efektif dibandingkan dengan
sigmoidoskopi fleksibel (Sjamsuhidajat, 2004). Sigmoidoskopi Fleksibel yaitu
visualisasi langsung pada 40 hingga 60 cm terminal rektum dan kolon sigmoid
dapat dilakukan dengan persiapan yang minim dan lebih nyaman bagi pasien.
Enam puluh persen dari semua tumor usus besar dapat terlihat secara langsung
menggunakan alat ini (Price & Wilson, 2006). Kolonoskopi adalah pemeriksaan
endoskopi yang sangat efektif dan sensitif dalam mendiagnosis karsinoma
kolorektal. Tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip
kolorektal adalah 95% (Sjamsuhidajat, 2004).
Pemeriksaan endoskopi yang dapat dilakukan:
Sigmoidoskopi rigid / Rektoskopi,
Sigmoidoskopi fleksibel (lebih efektif dibandingkan dengan sigmoidoskopi
rigid untuk visualisasi kolon dan rektum)
Kolonoskopi (Akurasi sama dengan kombinasi enema barium kontras ganda +
sigmoidoskopi fleksibel untuk KKR atau polip > 9 mm.
b) CT Scan dan MRI
CT Scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar getah
bening retroperitoneal dan metastasis ke hepar. Akurasi pembagian stadium
dengan menggunakan CT-Scan adalah 80% dibanding MRI 59%. Untuk menilai
metastase kelenjar getah bening akurasi CT-Scan adalah 65%, sedang MRI 39%
(Sjamsuhidajat, 2004).
c) Barium Enema
Merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mendeteksi gangguan
kolon. Penambahan kontras-udara dengan radiografi enema barium bersifat akurat
hingga 90% pemeriksaan (Price & Wilson, 2006).
d) CEA (Carcinoembrionik Antigen) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status karsinoma kolorektal dan mendeteksi rekurensi dini dan
metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan non spesifik untuk bisa digunakan
sebagai screening karsinoma kolorektal (Kendal & Tao, 2013).
8. PENATALAKSANAAN
Beberapa penatalaksanaan pada umor rektosigmoid ialah (Smeltzer & G.Bare, 2001):
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi utama untuk kanker rektum. Beberapa metode
yang dipakai antara lain :
a. Transanal excision. Metode ini digunakan untuk lesi yang superfisial pada
pasein dengan derajat I atau II.
b. Low anterior resection (LAR). Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak
di tengah atau 1/3 atas rektum.
c. Coloanal anastomosis
d. Abdominal perineal resection (APR)
2. Kemoterapi dan Radioterapi
Kemoterapi dan radioterapi biasa dilakukan pada pasien dengan stadium
Dukes C untuk menurunkan tingkat rekurensi, meningkatkan tingkat keberhasilan
operasi, dan memelihara keutuhan sfingter anus. Radioterapi preoperatif dapat
menurunkan angka rekurensi setelah pembedahan dari 27% menjadi 11%, dan
meningkatkan angka keberhasilan jangka panjang dari 48% menjadi 58%.
Konsensus The US National Institutes of Health merekomendasikan
kemoradioterapi preoperatif untuk semua stadium II dan III.
3. Penyinaran (radioterapi) : Terapi radiasi menggunakan sinar gelombang partikel
berenergi tinggi misalnya sinar X atau sinar gamma untuk merusak daerah yang
ditumbuhi tumor dan merusak genetik sel tumor.
2. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
adanya nyeri abdomen atau rektal dan karakteristiknya (lokasi, fekuensi, durasi,
berhubungan dengan makan atau defekasi), pola eliminasi terdahulu dan saat ini,
deskripsi tentang warna, bau, dan konsistensi feses, mencakup adanya darah dan
3. Riwayat kesehatan masa lalu : mengenai penyakit usus inflamasi kronis atau
5. Kaji kebiasaan diet : mencakup masukan lemak dan/atau serat serta jumlah
konsumsi alkohol
Pengkajian objektif
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Ansietas
4. Intoleransi Aktivitas
5. Gangguan Pola Tidur
6. Resiko Infeksi
C. RENCANA / INTERVENSI KEPERAWATAN
dengan dokter).
Ketidakseimbangan Nutritional status: Nutrition Management
nutrisi kurang dari Adequacy of nutrient 1. Kaji kemampuan pasien untuk
kebutuhan tubuh Nutritional Status : food
mendapatkan nutrisi yang
and Fluid
dibutuhkan.
Weight Control
Setelah dilakukan tindakan 2. Monitor kalori dan intake nutrisi
batas normal
sesudah tidur/istirahat
KriteriaHasil :
Bulechek, G. M., & et.al. (2016). Nursing Intervention Classification (6 ed.). Yogyakarta:
Moco Media.
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Panduan Nasional Penanganan Kanker Rektum. Jakarta.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (6
ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (8 ed.). Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.