PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perforasi Colon adalah ruptur pada dinding usus meliputi usus besar dan
usus kecil karena berbagai penyebab sehingga sebagian usus terlepas dan
masuk kedalam rongga peritoneum abdomen (Emedic, 2010).
Berdasarkan survei World Health Organization (WHO) angka kejadian
perforasi usus, sebagai bentuk dari complicated intra abdominal infections,
mencapai 5,9 juta kasus didunia pada tahun 2009.
Pada tahun 2008 Indonesia mempunyai angka kejadian yang tinggi untuk
perforasi colon yang merupakan bentuk dari complicated inra abdominal
infections sebanyak 7% dari total seluruh penduduk Indonesia atau sekitar
179.000 Jiwa. Provinsi jawa tengah memiliki angka kejadian perforasi colon
sebanyak 5980 kasus, 117 diantara meninggal. Kota semarang merupakan
kota dengan angka kejadian paling tinggi diantara kota lainnya di Jawa
tengah, yaitu sebanyak 970 kasus (Kemenkes,2008).
Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan
cara melakukan penyayatan pada lapisan dinding abdomen untuk
mendapatkan organ dalam abdomen yang mengalami masalah, misalnya
kanker, pendarahan, obstruksi, dan perforasi (Sjamsuhidajat, et al, 2010).
Laparotomi merupakan salah satu tindakan bedah abdomen yang berisiko
4,46 kali terjadinya komplikasi infeksi pasca operasi dibanding tindakan
bedah lainnya (Haryanti, et al2013)
Tidak sedikit Rumah Sakit di Indonesia yang masih menggunakan
balutan konvensional, yaitu menggunakan kasa sterilsebagai bahan utama
balutan. Asia Pacific Wound Care Congress (APWCC) mencatat bahwa
hingga tahun 2012, di Indonesia setidaknya baru 25 dari 1000 lebih rumah
sakit, khususnya di Pulau Jawa yang telah menerapkan manajemen
perawatan luka modern. (Sutriyanto, 2015)
Hasil riset mengatakan tingkat kejadian infeksi pada perawatan luka
dengan cara konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan
balutan modern. Penelitian lain yang dilakukan Nurachmah, Kristianto, dan
Gayatri (2011) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara
perawatan luka tekhnik modern dan konvensional, proses pelepasan growt
faktor lebih cepat terjadi pada kondisi perawatan luka lembab dibandingkan
perawatan luka secara konvensional. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi
proses penyembuhan luka terutama pada tahapan proliferasi atau granulasi.
Konsep manajemen perawatan luka modern dengan basis lembab
(moisture balance) pertama sekali diperkenalkan oleh Winter (1962), dan
telah diadopsi oleh banyak negara. Keuntungan konsep lembab ini adalah
membuat lingkungan yang mempercepat re-epitalisasi, menjaga kelembaban
akan menurunkan infeksi, dasar luka yang lembab dapat merangsang
pengeluaran growth factor yang mempercepat proses penyembuhan luka
(Halim, Khoo & Saad, 2012).
Dengan fenomena tersebut di atas, maka penulis tertarik utuk membuat
Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) dengan mengangkat judul “Asuhan
Keperawatan Pada Tn. D dengan Laparatomi Pada Perforasi colon sigmoid Di
Lontara 2 Atas Depan Rumah Sakit Umum Provinsi Wahidin Sudirohusodo.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara perawatan luka post op laparatomi perforasi colon
sigmoid dan kegunaan modern dressing dan implementasi TIME
MANAGEMENT?
2. Bagaimana perkembangan luka post op laparatomi perforasi colon
sigmoid setelah dilakukan TIME MANAGEMENT?
3. Apa saja jenis modern dressing digunakan dalam perawatan klien dengan
luka post op laparatomi perforasi colon sigmoid?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Setelah observasi perawatan luka pada klien, mahasiswa mampu
mengetahui dan memahami tentang perawatan luka post op laparatomi
perforasi colon sigmoid dengan menggunakan Modern Dressing dan
Implementasi TIME MANAGEMENT.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu menilai perkembangan pada luka pasien post
op laparatomi setelah dilakukan TIME MANAGEMENT dan
penggunaan Modern Dressing.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori Tentang Perforasi colon sigmoid
1. Defenisi
Perforasi colon sigmoid adalah kondisi terjadinya robekan pada
dinding usus besar karena berbagai penyebab salahsatunya karena benda
tajam sehingga sebagian usus terlepas dan mengakibatkan masuk
kedalam rongga peritoneum abdomen. (Arifin, 2015). Perforasi dapat
terjadi pada setiap organ atau bagian tubuh yang bersifat berongga
dimana terjadi lubang tembusan dari rongga organ atau bagian tubuh
yang satu dengan lainnya atau dengan luar tubuh. Oleh sebab itu saluran
cerna termasuk organ yang dapat mengalami perforasi, mulai dari
esofagus, gaster, usus halus, dan kolon (Widyawati,2013).
Etiologi
Penggunaan aspirin maupun OAINS pada usia lanjut juga bisa berpotensi
menimbulkan perforasi pada gaster dan duodenum atau bahkan saluran
cerna bawah dengan komorbid divertikulosis. Dengan adanya
manajemen endoskopik dan penggunaan obat-obat penghambat pompa
proton (PPI) (mis: omeprazole, dan lain-lain) kasus perforasi ulkus
peptikum sudah jarang terjadi (Stevanson,2008)
Dislokasi dan migrasi stent bilier juga bisa berakibat perforasi usus.
Laparoskopi pada kasus obestias, kehamilan dan obstruksi usus, infeksi
bakterial seperti tifoid, inflammatory bowel disease, dan kolitis iskhemik
juga berpotensi perforasi usus. Penyebab-penyebab lainnya diantaranya
karena keganasan intraabdominal, radioterapi keganasan intraabdominal,
transplantasi ginjal, menelan bahan kasutik, tuberculosis usus dan demam
tifoid (Smeltzer & Bare, 2006).
2. Manifestasi klinik
Berikut adalah manifestasi klinis Perforasi Colon menurut (Brunner &
Suddarth 2007).
menyertainya.
Pemeriksaan penunjang
b. Secsio Cessarea
Sectio sesaria adalah suatu persalinan buatan, dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500
gram. Jenis- jenis sectio sesaria yaitu sectio sesaria klasik dan sectio
sesaria ismika. Sectio sesaria klasik yaitu dengan sayatan
memanjang pada korpus uteri ± 10-12 cm, sedangkan sectio sesaria
ismika yaitu dengan sayatan melintang konkaf pada segmen bawah
rahim ± 10 -12 cm. (Syamsuhidajat & Wim De Jong, 2008)
c. Kanker colon
Kanker kolon dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma
(muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polop jinak tetapi
dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal
serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas
dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling
sering ke hati).Gejala paling menonjol adalah perubahan kebiasaan
defekasi. Pasase darah dalam feses adalah gejala paling umum
kedua. Gejala dapat juga mencakup anemia yang tidak diketahu
penyebabnya, anoreksia, penurunan berat badan dan keletihan.(Price
& Wilson, 2006)
d. Ileus obstruktif
Obstruksi usus didefinisikan sebagai sumbatan bagi jalan distal
isi usus. ada dasar mekanis, tempat sumbatan fisik terletak melewati
usus atau ia bisa karena suatu ileus. Ileus juga didefinisikan sebagai
jenis obstruksi apapun, artinya ketidakmampuan si usus menuju ke
distal sekunder terhadap kelainan sementara dalam motilitas.
Ileus dapat disebabkan oleh gangguan peristaltic usus akibat
pemakaian obat-obatan atau kelainan sistemik seperti gagal ginjal
dengan uremia sehingga terjadi paralysis. Penyebab lain adalah
adanya sumbatan/hambatan lumen usus akibat pelekatan atau massa
tumor. Akan terjadi peningkatan peristaltic usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan.
3. Komplikasi Laparatomi
Komplikasi yang seringkali ditemukan pada pasien operasi
laparatomi berupa ventilasi paru tidak adekuat, gangguan kardiovaskuler
(hipertensi, aritmia jantung), gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, dan gangguan rasa nyaman dan kecelakaan (Azis, 2010)
a. Tromboplebitis
Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul biladarah tersebut lepas dari
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli
ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan
kaki post operasi, dan ambulatif dini
b. Infeksi
lnfeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah
stapilokokus aureus, organisme gram positif. Stapilokokus
mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang
paling penting adalah perawatan luka dengan mempertahankan
aseptik dan antiseptic
c. Dehisensi
Dehisensi adalah terbukanya tepi-tepi luka. Dehisensi luka sering
terjadi pada luka abdomen. Dehisensi luka abdomen (post
laparatomy) merupakan keadaan terbukanya sebagian atau seluruh
lapisan insisi abdomen. Kondisi tersebut merupakan salah satu
komplikasi dari proses penyembuhan luka sebagai akibat kegagalan
proses penyembuhan luka operasi.
d. Eviserasi
Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi.
Faktor penyebab eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup
waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen
sebagai akibat dari batuk dan muntah.
a. Stadium 1 (superfisial)
Jika dikatan stadium 1 jika warna dasar luka merah dan hanya
melibatkan lapisan epidermis, epidermis masih utuh tanpa merusak
epidermis. Epidermis hanya mengalami perubahan warna
kemerahan, hangat atau dingin (bergantung pada penyebab), kulit
melunak dan rasa nyeri atau gatal. Contoh luka stadium 1 adalah
kulit yang terpapar matahari atau sunburn, kita duduk selama lebih
dari dua jam, kemudian ada kemerahan di glueteus ( nokong, itu
termasuk stadium 1.
b. Stadium 2 (partial thickness)
Luka dikatakan stadium 2 jika warna dasar luka merah dan
melibatkan lapisan epidermis-dermis. Luka menyebabkan epidermis
terpisah dari dermis dan mengenai sebagian dermis. Umumnya
kedalaman luka hingga 0,4 mm, namun biasanya tergantung pada
lokasi luka. Bula atau blister termasuk kategori stadium 2 karena
epidermis sudah terpisah dengan dermis
c. Stadium 3 (full thickness)
Luka di katakana stadium 3 jika warna dasar luka merah dan lapisan
kulit mengalami kehilangan epidermis, dermis, hingga sebagian
hypodermis. Umumnya kedalaman luka hingga I cm
d. Stadium 4 (deep full thickness)
Luka di katakana stadium 4 jika warna dasar luka merah dan lapisan
kulit mengalami kerusakan dan kehilangan laisan epidermis, dermis
hingga seluruh lapisan hypodermis, dan mengenai otot dan tulang.
e. Unstageable
Luka di katakan tidak dapat di tentukan stadiumnya jika warna dasar
luka kuning atau hitam dan merupakan jaringan mati ( nerkrosis)
terutama jika jaringan nekrosis kurang lebih 50% berada di dasar
luka.(Ronalt W Kartika, 2017)
c. Metcovacin
Ada beberapa jenis metcovazin, diantaranya adalah :
1) Metcovazin regular
d. Epitel Salf
.
Epital salf adalah cream yang digunakan untuk
melembabkan dan mengurangi sensitivitas jaringan yang mengalami
radang,membantu menghilangkan rasa terbakar, gatal dan nyeri
dengan melindungi dari iritasi lebih lanjut. Cream ini juga membantu
mempercepat proses penyembuhan kulit. Mengandung vitis vinifera,
butyrospermum parkii butter, telmesteine ,glycyrrhetinic acid, dan Na
hyaluronate , yang merupakan garam natrium dari hyaluronic acid,
suatu senyawa glikosaminoglikan.
Indikasi:
1) Untuk mendukung kelembaban
2) Cocok untuk semua tahap jenis luka (nekroik,slough,granulasi,
epitalisasi)
e. Transparent film
- Jenis topical therapy yang berfungsi untuk mempertahankan luka akut
atau bersih dalam keadaan lembab, melindungi luka dari trauma dan
menghindari resiko infeksi.
- Keuntungan topical terapi ini: waterproof dan gas permeable, primary/
secondary dressing, support autolysis debridement dan mengurangi
nyeri.
- Kontraindikasi topical ini adalah pada luka dengan eksudat banyak
dan sinus.
- Contohnya: tegaderm, opsite, fixomull transparent.
Indikasi:
1) Dresing primer dan sekunder
2) Ekonomis, tidak memerlukan penggantian balutan dalam jangka
waktu yang pendek
3) Luka yang memerlukan dressing fiksasi yang tahan air, sehingga
bisa dipakai pada saat mandi
4) Luka insisi
f. Calcium alginate
Balutan topikal yang terbuat dari rumput laut dan telah ada sejak
tahun 1984 (smith 1992). Manfaat rumput laut telah diketahui sejak
berabad-abad yang lalu dan rumput laut dikenal sebagai penyembuh
pelaut (jones,1999). Serat calcium dan sodium alginate memiliki
kemampuan menyerap cairan, tidak merekat pada luka .kelebihan
bahan topikal ini adalah mempercepat proses granulasi dan setiap
bercampur dengan cairan luka, akan berubah menjadi gel sehingga
muda dilepas dan tidak menimbulkan sakit saat menggantikan balutan.
Indikasi:
1) Luka dengan eksudat sedang- banyak
2) Menghentikan perdarahan minor
3) Berubah menjadi sel ketika bercampur dengan cairan luka
4) Luka akut atau kronik
5) Luka yang dalam sehingga berlubang
g. Foam
B. Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama :
Luka jahitan bekas operasi pada daerah perut
2. Riwayat kesehatan:
a. Riwayat kesehatan sekarang :
Pasien mengeluh adanya luka jahitan bekas operasi pada
daerah perut. Dengan stage 2 warna dasar luka granulasi : 0 % ,
Epitalisasi: 100%, Slough 0%, Nekrotik 0%.Ukuran P: 26 cm, L :
1,5 cm,jenis eksudat purulent dan jumlah eksudat sedikit 25 %
tidak ada bau. Daerah sekitar luka normal, tepi luka : batas tepi
menyatu dengan dasar luka, tidak ada Goa dan tidak ada edema.
Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 90 x/menit, suhu 36,7°C dan
pernafasan 20 x/menit.
b. Riwayat kesehatan masa lalu :
Pasien mengeluh susah buang air besar terutama sejak 5
bulan yang lalu riwayat dilakukan operasi laparatomy, pasien
masuk di rumah sakit dengn rencana tutup stoma.
C. Pengkajian Luka
Lokasi luka
Depan Belakang
WOUND ASSESSMENT CHART
Item Pengkajian Tanggal
8/7/19 9/7/19 10/7/19 12/7/19 13/7/19
1. Ukuran 1. P X L < 4 cm 4 4 4 4 4
luka 2. P X L 4 < 16 cm
3. P X L 16 < 36 cm
4. P X L 36 < 80 cm
5. P X L > 80 cm
2. Kedalaman 1. Stage 1 2 2 2 2 2
luka 2. Stage 2
3. Stage 3
4. Stage 4
5. Necrosis wound
3. Tepi luka 1. Samar, tidak jelas ter 3 3 3 3 3
lihat
2. Batas tepi terlihat, m
enyatu
dengan dasar luka
3. Jelas, tidak menyatu
dengan dasar luka
4. Jelas, tidak menyatu
dengan dasar
luka, tebal
5. Jelas, fibrotic, parut,
tebal /
Hyperkeratonic
4. Goa 1. Tidak ada 1 1 1 1 1
2. Goa < 2 cm di di ara
manapun
3. Goa 2-4 cm < 50 %
pinggir luka
4. goa 2-4 cm > 50 %
pinggir luka.
5. goa > 4 cm di area
manapun
5. Tipe 1. Tidak ada 1 3 5 5 5
eksudate 2. Bloody
3. Serosanguineous
4. Serous
5. Purulent
6. Jumlah 1. Kering 1 3 4 4 4
eksudate. 2. Moist
3. Sedikit
4. Sedang
5. Banyak
7. Warna kulit 1. Pink Atau Normal 1 1 1 1 1
sekitar luka 2. Merah terang jika di
tekan
3. Putih, pucat, hitam
atau hipopigmentasi.
4. Merah gelap/abu2.
5. Hitam
hyperpigmentasi
8. Jaringan 1. No swelling atau 1 1 1 1 1
yang edema
edema 2. Non pitting edema ku
rang dari 4 cm di
sekitar luka.
3. Non pitting edema >
4 cm disekitar luka.
4. Pitting edema kurang
dari < 4 cm
disekitar luka.
5. Krepitasi atau pitting
edema > 4 cm
9. Jaringan 1. Kulit utuh atau stage 5 5 5 5 5
granulasi. 1
2. Terang 100 % jaringa
ngranulasi.
3. Terang 50 % jaringan
granulsi
4. Granulasi 25 %
5. Tidak ada jaringan
granulasi
1 15 30
25 55
Jaringan
Sehat
Regenerasi X Degenerasi
luka luka
D. Masalah keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor eskternal :
sekresi
E. Tujuan
1. Integritas kulit utuh
F. Intervensi Keperawatan
Perawatan Luka
Definisi : Pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka
1. Cuci tangan 6 langkah dalam 5 moment
2. Angkat balutan dan plester perekat
3. Monitor karekteristik luka, termaksud drainase, warna, eksudat, dan bau.
4. Ukur luas luka yang sesuai
5. Bersihkan dengan normal saline atau pembersih yang tidak beracun
dengan tepat.
6. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
7. Dokumentasi lokasi luka, ukuran, dan tampilan
8. Batasi pengunjung 1-2 orang
G. Implementasi Keperawatan
Hari / No Jam Implementasi
Tanggal Dx
Senin, 8 1 09.40 1. Mencuci tangan 6 langkah dalam 5 moment
Juli 2019 Hasil : tangan tampak bersih dan terbebas dari
kuman
09.43 2. Mengangkat balutan dan plester perekat secara
perlahan searah dengan permukaan kulit
dengan menggunakan kassa yang dibasahi
Nacl 0.9 %
Hasil : tampak luka jahitan post op laparatomy
09.50 3. Memonitor karekteristik luka, drainase, warna,
eksudat, dan bau.
Hasil :
Jumlah jahitan 29
Drainase : 24 cc
Warna : pink (Epitalisasi)
Bau : tidak ada bau
Eksudat : tidak ada eksudat
10.00 4. Melakukan pencucian luka dengan NaCl 0,9 %
Hasil : luka tampak bersih
10.20 5. Mengukur luas luka dengan menggunakan
mistar luka
Hasil : P = 26 cm L : 1,5 cm
10.35 6. Memberikan balutan kasa besar 3 lapis untuk
menyerap eksudat dan difiksasi menggunakan
adhesive tape (Polifix).
Hasil : luka tertutup
10.45 7. Membatasi pengunjung 1-2 orang
Hasil : untuk menghindari paparan patogen
yang dibawah oleh keluarga pasien
PEMBAHASAN
A. Tissue Management
Pada Tn. “D” Tehnik Debridemen yang dilakukan adalah
Mechanical Debridement. Mechanical debridement yang paling sederhana
yakni dengan menggunakan kasa steril. Adapun proses pelaksanaannya
adalah dengan menggunakan kasa yang telah basah menutupi seluruh luka
kemudian dibiarkan hingga kering. Jaringan slought tersebut akan dengan
sendirinya lepas dengan lengket ke kasa, maka jaringaan slought secara
mekanik terlepas dari luka tersebut. Metode ini kemungkinan akan
menyebabkan trauma pada jaringan yang sehat. Mechanical Debridement
dengan menggunakan kasa dan pinset untuk mengangkat jaringan mati dan
membersihkan sisa kotoran pada luka klien agar memudahkan
pertumbuhan jaringan baru. (Bettes-Jensen, Barbara. M, 2017).
B. Inflammation/infeksi control
Tindakan keperawatan pertama yang dilakukan pada Tn. “D”
adalah mencuci luka dengan mengunakan NaCl 0,9 %). Membersihkan
permukaan luka pada prinsipnya agar dapat mengangkat bakteri dan
drainase. Cairan pencuci luka, normal saline sebagi cairan steril fisiologi
diantara nya dapat dipakai untuk membersihkan luka tanpa mmbahayakan
jaringan yang baru tumbuh. (Fatmadona, Rika & Oktarina, Elvi, 2015)
Tujuan dari mencuci luka adalah melunakkan dan mengangkat
jaringan mati, debris, kontaminant, dan residu toksik dari permukaan luka,
memisahkan eschar (jaringan parut) dari jaringan fibrotic dan jaringan
fibrotic dari granulasi, mengangkat debris organic dan an-organik, dan
materi inflamasi dari permukaan luka, mengurangi insiden infeksi luka
dan klonisasi yang berlebihan, memberikan rehidrasi permukaan pada luka
untuk menyediakan lingkungan yang lembab, meminimalkan trauma luka
pada saat melepaskan material balutan yang lengket, memudahkan
pengkajian luka dan memberikan rasa nyaman pada klien. (Maryunani,
2015).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ljubic (2013)
yang meneliti tentang perbandingan penggunaan cleansing NaCl 0,9 %
dengan air mineral pada luka kronik. Dari hasil penelitian tersebut Ljubic
menjelaskan bahwa tidak ada peningakatan infeksi maupun peningkatan
penyembuhan luka antara luka kronik yang dibersihkan dengan NaCl 0,9
% maupun luka kronik yang dibersihkan dengan air mineral. Hal ini
menjelaskan bahwa Air mineral sama aman dan efektifnya dengan NaCl
ketika diperolh dari suplay yang aman dan digunakan berdasarkan suhu
tubuh
Setelah dibersihkan dan dilakukan debridemen luka di berikan
hidrofobik (cutimed sorbact) sebagai balutan primer dan kasa dan foam
sebagai balutan sekunder serta menggunakan adhesive tape (Polifix)
sebagai dressing tersier untuk fiksasi.
Hidrofobik merupakan pengikat bakteri dan mencegah
perkembangbiakan bakteri (Maryumi Anik, 2015).
Penggunaan dressing primer hidrofobik (cutimed sorbact) pada hari
kedua dan ketiga diaktifkan atau diaplikasikan dengan menggunakan NaCl
0,9 %. Menurut Kartika, R. W (2015) dressing antimikrobial digunakan
untuk luka kronis dan akut yang terinfeksi atau beresiko infeksi. Balutan
antimikrobial tidak disarankan digunakan dalam jangka waktu lama dan
tidak direkomendasikan bersamaan NaCl 0,9 %. Sedangkan pada hari
keempat diberikan dresssing primer yaitu hidrofobik (cutimed sorbact)
yang diaplikasikan bersama gel (Suprasorb G)
C. Moisture Balance
Pada luka Tn. “D” di berikan dressing sekunder kasa besar
sebanyak 3 lapis dan diberikan foam (cutimed siltec) untuk
memaksimalkan penyerapan eksudat
Kasa adalah jenis balutan yang umum digunakan, terbuat dari
material katun yang tersusun atas serabut-serabut anyaman. Adanya
serabut anyaman tersebut menyebabkan kasa melekat pada permukaan
luka sehingga pada saat penggantian, pembalut akan mengangkat jaringan
granulasi yang sudah terbentuk sehingga sebagian dari penyembuhan luka
akan kembali ke fase inflamasi yang akan menyebabkan penyembuhan
luka terhambat, serta mengakibatkan nyeri saat mengganti pembalut. Kasa
konvensional memiliki tingkat permeabilitas terhadap gas dan uap air yang
paling tinggi. Oleh karna tingkat permeabilitas yang tinggi, penguapan
oksigen di permukaan luka tinggi sehingga kelembaban jaringan luka
menurun dengan akibat konsentrasi oksigen dalam jaringan luka menurun.
Hal ini menyebabkan proses penyembuhan luka berlangsung lebih lama
akibat pembentukan kolagen yang terhambat (Novriansyah, 2008).
Kasa dapat dibasahi dengan larutan normal saline dan dapat
digunakan untuk membersihkan dan menutup luka. Tujuan balutan ini
untuk memberikan kelembaban pada luka, namun balutan ini harus lebih
sering diganti untuk mempertahankan kelembaban (Morison, 2004; Perry
& Potter, 2009).
Foam berfungsi untuk menyerap cairan luka yang jumlahnya
sangat banyak. (Kartika, R. W, 2015).
D. Epitelitation Advancement
Tidak dilakukan dilakukan manajemen tepi luka
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada kegiatan ganti verban yang dilakukan pada hari pertama Tn. “D”
keadaan verban nampak kering dan tidak terdapat eksudat yang terlihat
menempel,baik di verban maupun di area luka., berbeda dengan ganti
verban pada hari kedua sampai hari kelima, keadaan verban nampak
merembes dikarenakan adanya produksi eksudat yang berlebih dari luka.
Penerapan Time Mangement yang dilakukan pada Tn. “D” yaitu
Tissue Management menggunakan Mechanical Debridement untuk
mengangkat jaringan mati pada luka. Infection/Inflamasi control
menggunakan Antimikrobial dressing yang berfungsi membunuh dan
mencegah perkembangbiakan bakteri serta pencucian luka untuk
melunakkan dan membersihkan jaringan mati pada luka. Moist Balance
yang digunakan kasa besar 3 lapis dan FOAM yang berfungsi menyerap
cairan luka sehingga luka tetap dalam keadaaan lembab serta menutup luka
agar tetap bersih. Sedangkan epitelisasi advancement tidak dilakukan.
Setelah dilakukan perawatan luka sebanyak 5 kali yaitu pada tanggal
8,9,10,12,13 Juli 2019 pada luka Tn “D”, tidak mengalami perubahan hal
ini disebabkan karena infeksi dari rembesan kotoran yang keluar dari luka
jahitan post op laparatomy yang nampak ada beberapa jahitan yang
terbuka..