Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

NON HODGKIN LIMFOMA (NHL)

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Disusun Oleh:
Zulkham Walhudan
2011040057

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020
LAPORAN PENDAHULUAN

NON HODGKIN LIMFOMA (NHL)

1. DEFINISI
Limfoma non-Hodgkin adalah suatu kelompok penyakit heterogen yang
dapat didefinisikan sebagai keganasan jaringan limfoid selain penyakit Hodgkin.
Manifestasinya sama dengan penyakit Hodgkin, namun penyakit ini biasanya
sudah menyebar keseluruh sistem imfatik sebelum pertama kali terdiagnosis.
Apabila penyakitnya masih teralokasi, radiasi merupakan penanganan pilihan.
Jika terdapat keterlibatan umum, digunakan kombinasi kemoterapi. Pemberian
dosis rendah pada penderita HIV positif dianjurkan untuk mencegah terjadinya
infeksi berat yang potensial mematikan. Seperti pada penyakit Hodgkin, infeksi
merupakan masalah utama. Keterlibatan sistem saraf pusat juga sering terjadi.
Limfoma Non-Hodgkin adalah sekelompok keganasan (kanker) yang
berasal dari sistem kelenjar getah bening dan biasaya menyebar ke seluruh tubuh.
Beberapa dari limfoma ini berkembang sangat lambat (dalam beberapa tahn),
sedangkan yang lainnya menyebar dengan cepat (dalam beberapa bulan). Penyakit
ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan penyakit Hodgkin.

2. ETIOLOGI

Belum ditemukan penyebab yang pasti, namun terdapat beberapa faktor


resiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit yaitu :

1) Umur : sebagian besar Limfoma Non-Hodgkin ditemukan pada orang dengan


usia 60 tahun atau lebih. Namun pada beberapa tipe ditemukan juga
menyerang orang yang berusia muda.
2) Gender: sebagian besar resiko terjadinya Limfoma Non-Hodgkin umumnya
terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Namun pada beberapa tipe lebih
banyak terjadi pada wanita dan diketahui peyebabnya.
3) Ras: di AS orang Amerika kulit putih lebih rentan terkena Limfoma Non-
Hodgkin dari pada orang Amerika kulit hitan, maupun orang Amerika
keturunan Asia.
4) Paparan Zat Kimia: beberapa penelitian mengatakan bahwa bahan kimia
seperti benzena dan insektisida berhubungan dalam meningkatkan resiko
terkena Limfoma Non-Hodgkin. Beberapa juga mengatakan obat-obatan yang
digunakan untuk terapi kanker juga dapat meningkatkan resiko terkena NHL
beberapa tahun kemudian.
5) Paparan radiasi: orang yang dapat bertahan hidup pada daerah yang pernah
mengalami ledakan bom nuklir memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena
kanker, salah satunya Limfoma Non-Hodgkin. Orang yang menjalani
pengobatan menggunakan radiasi, juga dapat meningkatkan resiko terkena
NHL di kemudian hari.
6) Sistem imun yang lemah: seseorang dengan sistem imun yang lemah dapat
meningkatkan resiko terkena NHL. Selain itu seseorang yang terinfeksi visurs
HIV juga beresiko terkena NHL.
7) Penyakit Autoimun: suatu penyakit dimana sistem imun menyerang
jaringan/sel tubuh maupun sel asing yang masuk. Contoh penyakit Autoimun
adalag Rheumatoid Arthritis dan Systemic Lupus Erythematosus dapat
meningkatkan resiko terkena NHL.
8) Infeksi virus: infeksi virus yang menyerang DNA maupun lImfosit dapat
mengubah DNA dan Limfosit menjafi sel-sel kanker. Virus tersebut
diantaranya Epstein-Barr Virus (EBV) dan HTLV-1 virus.

3. MANIFESTASI KLINIS

Gejala umum penderita Limfoma Non-Hodgkin yaitu:

1) Pembesaran kelenjar getah bening tanpa adanya rasa sakit


2) Demam
3) Keringat malam
4) Rasa lelah yang dirasakan terus menerus
5) Gangguan pencernaan dan nyeri perut
6) Hilangnya nafsu makan
7) Nyeri tulang
8) Bengkak pada wajah dan leher dan daerah-daerah nodus limfe yang terkena

4. PATOFISIOLOGI

Usia, gender, ras, paparan zat kimia dan radiasi, infeksi virus, penyakit
autoimun dan sistem imun yang lemah dapat menyebabkan terjadinya pembesaran
kelenjar getah bening. Poliferasi jaringan limfoid yang tidak terkendali karena
faktor-faktor resiko diatas menyebabkan terjadinya perubahan rangsangan
imunologik yang nantinya akan menimbulkan masalah yaitu adanya ancaman
status kesehatan, proses penyakit yang akan mengakibatkan destruksi gangguan
syaraf serta menimbulkan gangguan metabolisme tubuh.

Masalah ancaman perubahan status kesehatan akan mengakibatkan fungsi


peran pasien berkurang sehingga pola interaksi juga menurun. Penurunan pola
interaksi menyebabkan terjadinya perolehan informasi yang kurang mengenai
penyakitnya sehingga biasanya pasien akan cemas.

Proses penyakit yaitu pembesaran kelenjar limfoid akan menyebabkan


terjadi gangguan pada syaraf yaitu adanya tekanan pada saraf oleh kelenjar yang
membesar/tumor sehingga akan memunculkan rasa nyeri.

Perubahan rangsangan imunologik secara tidak langsung akan


mempengaruhi metabolisme tubuh, sehingga ketika rangsangan imunologik
berubah menjadi tidak baik, maka akan terjadi gangguan pada metabolisme tubuh.
Gangguan metabolisme ini akan menimbulkan perasaan mual, kurang nafsu
makan, maupun iritasi lambung karena proses metabolisme yang terganggu.
Semua hal tersebut mengakibatkan pemasukan nutrisi untuk tubuh menjadi
terganggu. Semua hal tersebut mengakibatkan penurunan berat badan, sehingga
memunculkan masalah gangguan nutrisi.
5. PATHWAY

Mutasi gen pada salah satu


sel dari sekelompok sel
limfosit

Menyerang sel limfosit


yang ada di kelenjar getah Proliferasi
Benjolan
bening abnormal tumor

Menekan Organ Menyebar ke dalam


darah

Ketidakefektifan
bersihan jalan Penurunan sistem Anemia/trombositopenia
nafas imun

Menyebar ke sumsum Gangguan


Nyeri akut tulang, saluran pencernaan penyerapan nutrisi
Pembengkakan tungkai dan kulit dan defisiensi folat

Ruam Kulit dan Intake nutrisi turun


Gejala neurologis (anoreksia)

Lemah lesu, Parestesia, mati Ketidakseimbangan


rasa, ataksia, gangguan nutrisi kurang dari
koodinasi, bingung kebutuhan tubuh

Intoleransi
aktivitas
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan biopsi kelenjar atau massa tumor untuk mengetaui subtioe LNH,
bila perlu sitologi jarum halus (FN HB) ditempat lain yang dicurigai
2) Ct-Scan atau USG abdomen, untuk mengetaui adanya pembesaran kelenjar
getah bening pada aorta abdominal atau KGB lainnya, massa tumor abdomen,
dan metastase kebagian intraabdominal
3) Pencitraan toraks (PA dan lateran) untuk mengetahui pembesaran kelenjar
media stinum, bila perlu CT scan toraks
4) Pemeriksaan YHT untuk melihat keterlibatan cincin waldeyer terlibat
dilanjutkan dengan tindakan gastroskopi
5) Jika diperlukan pemeriksaan bone scan atau bone survey untuk meliat
keterlibatan tulang

7. PENATALAKSANAAN

Terapi ditentukan berdasarkan tipe dan stadium penyakit, usia, dan status
kesehatan secara umum, pilian terapinya yaitu :

1. Kemoterapi terutama diberikan untuk limfoma jenis derajat keganasan


sedang-tinggi dan pada stadium lanjut

2. Radiasi. Radiasi dosis tinggi bertujuan untuk membunuh sel kanker dan
mengecilkan ukuran tumor. Terapi radiasi umumnya diberikan untuk
limfoma derajat rendah keganasan sedang atau untuk terapi tempat
tertentu, seperti di otak

3. Transplantasi sel induk. Terutama jika akan diberikan kemoterapi dosis


tinggi, yaitu pada kasus kambuh. Terapi ini umumnya digunakan untuk
limfoma derajat sedang-tinggi yang kambuh setelah terapi awal pernah
berhasil

4. Observasi jika limfoma bersifat lambat dalam pertumbuhan, maka dokter


mungkin akan memutuskan untuk observasi saja. Limfoma yang tumbuh
lambat dengan gejala ringan mungkin tidak memerlukan terapi selama satu
tahun atau lebih.
5. Radioimunoterapi merupakan terapi terkini untuk limfoma non-hodgkin.
Obat yang telah mendapat pengakuan dari FDA untuk radioimunotrapi
adalah ibritumomab dan tositumomab. Terapi ini menggunakan antibodi
monoclonal bersamaan dengan isotop radioaktif. Antibodi tersebut akan
menempel pada sel kanker dan radiasi akan menghancurkan sel kanker.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Aktivitas/istirahat
1. Gejala
a) Kelelahan, kelemaan, malaise umum
b) Kehilangan produktivitas dan penurunan toleransi latihan
c) Kebutuan tidur dan istirahat lebih banyak
2. Tanda
a) Penurunan kekuatan
b) Bahu merosot
c) Jalan lamban
d) Kelelahan
b. Sirkulasi
1. Gejala : palpitasi, angina/nyeri dada
2. Tanda :
a) Takikardi, disritmia
b) Sianosis wajah dan leher
c) Iterus sklera dan ikterik umum
d) Pucat (anemia)
e) Pembengkakan pada wajah, leher, raang atau tangan kanan
f) Edema ekstermitas bawah seubungan dengan obstruksi vena
kava inverior
c. Integritas ego
1. Gejala :
a) Faktor stres
b) Takut/ansietas
c) Masala finansial
d) Status hubungan
2. Tanda : berbagai perilaku misalnya marah, menarik diri, pasif
d. Eliminasi
1. Gejala : perubahan karakteristik urine/feses dan riwayat obstruksi
usus
2. Tanda :
a) Nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran pada
palpasi
b) Nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan pembesaran pada
palpasi
c) Penurunan keluaran urine
d) Disfungsi usus dan kandung kemih
e. Makanan/cairan
1. Gejala : anoreksia, disfagia, penurunan BB
2. Tanda : membran mukosa dan konjungtiva pucat, kelemahan otot

PEMERIKSAAN FISIK (HEAD TO TOE)


1. Keadaan Rambut dan Higiene Kepala

 Inspeksi : Rambut hitam, coklat, pirang, berbau.

 Palpasi : Mudah rontok, kulit kepala kotor, berbau secara umum


menunjukkan tingkat hygiene seseorang.
2. Hidrasi Kulit Daerah Dahi

 Palpasi : Penekanan ibu jari pada kulit dahi, karena mempunyai


dasar tulang. Pada dehidrasi bias ditemukan “finger print”pada
kulit dahi
3. Palpebrae

 Inspeksi : Bisa terlihat penumpukan cairan atau edema pada


palpebrae, selain itu bias juga terlihat cekung pada pasien dehidrasi

 Palpasi : Dengan cara meraba menggunakan tiga jari pada


palpebrae untuk merasakan apakah ada penumpukan cairan, atau
pasien dehidrasi bila teraba cekung
4. Sclera dan Conjungtiva

 Icterus tampak lebih jelas di sclera disbanding pada kulit. Teknik


memeriksa sclera dengan palpasi menggunakan kedua jari menarik
palpebrae, pasien melihat kebawah radang pada conjungtiva bulbi
maupun conjungtiva palpebrae. Keadaan anemic bias diperiksa
pada warna pucat pada conjungtiva palpebrae inferior.
5. Tekanan Intra Okular (T.I.O)

 Dengan dua jari telunjuk memeriksa membandingkan TIO bola


mata kiri dan kanan dengan cara tekanan berganti pada bola mata
atas dengan kelopak mata tertutup kewaspadaan terhadap glaucoma
umumnya terhadap pasien berumur lebih dari 40 tahun
6. Hidung

 Inspeksi : Hidung simetris, pada rongga dikaji apakah ada kotoran


hidung, polip atau pembengkakan
7. Higiene Rongga Mulut, Gigi-Geligi, Lidah, Tonsil dan Pharynk

 Rongga mulut : diperiksa bau mulut, radang mocosa (stomatitis),


dan adanya aphtae

 Gigi-geligi : diperiksa adanya makanan, karang gigi, caries, sisa


akar, gigi yang tanggal, perdarahan, abses, benda asing,(gigi
palsu), keadaan gusi, meradang

 Lidah : kotor/coated, akan ditemui pada keadaan: hygiene mulut


yang kurang, demam thypoid, tidak suka makan, pasien coma,
perhatikan pula tipe lidah yang hipertemik yang dapat ditemui pada
pasien typoid fever

 Tonsil : Tonsil diperiksa pakah ada pembengkakan atau tidak.


Diukur berdasarkan panduan sebagai berikut
 T0 – bila sudah dioperasi
 T1- ukuran normal yang ada
 T2- pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
 T3- pembesaran mencapai garis tengah
 T4- pembesaran melewati garis tengah

 Pharinx : dinding belakang oro pharink diperiksa apakah ada


peradangan, pembesaran adenoid, dan lender/secret yang ada
8. Kelenjar Getah Bening Leher

 Pembesaran getah bening dapat terjadi karena infeksi, infeksi


toxoplasmosis memberikan gejala pembesaran getah bening leher
9. Kelenjar Tyroid

 Inspeksi : bentuk dan besarnya bila pembesarannya telah nyata

 Palpasi : satu tangan dari samping atau dua tangan dari arah
belakang, jari-jari meraba permukaan kelenjar dan pasien diminta
menelan rasakan apakah terasa ada pembengkakan pada jaringan
sekitar.
10. Dada/ Punggung

 Inspeksi : kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan nafas


(frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya pernafasan/penggunaan
otot-otot bantu pernafasan), warna kulit, lesi, edema,
pembengkakan/ penonjolan. Normal: simetris, bentuk dan postur
normal, tidak ada tanda-tanda distress pernapasan, warna kulit
sama dengan warna kulit lain, tidak ikterik/sianosis, tidak ada
pembengkakan/penonjolan/edema

 Palpasi: Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri, tractile


fremitus. (perawat berdiri dibelakang pasien, instruksikan pasien
untuk mengucapkan angka “tujuh-tujuh” atau “enam-enam” sambil
melakukan perabaan dengan kedua telapak tangan pada punggung
pasien). Normal: integritas kulit baik, tidak ada nyeri
tekan/massa/tanda-tanda peradangan, ekspansi simetris, taktil
vremitus cendrung sebelah kanan lebih teraba jelas.

 Perkusi: paru, eksrusi diafragma (konsistensi dan bandingkan satu


sisi dengan satu sisi lain pada tinggi yang sama dengan pola
berjenjang sisi ke sisi). Normal: resonan (“dug dug dug”), jika
bagian padat lebih daripada bagian udara=pekak (“bleg bleg
bleg”), jika bagian udara lebih besar dari bagian padat=hiperesonan
(“deng deng deng”), batas jantung=bunyi rensonan----
hilang>>redup.

 Auskultasi: suara nafas, trachea, bronchus, paru. (dengarkan


dengan menggunakan stetoskop di lapang paru kika, di RIC 1 dan
2, di atas manubrium dan di atas trachea). Normal: bunyi napas
vesikuler, bronchovesikuler, brochial, tracheal.
11. Abdomen
 Inspeksi : pada inspeksi perlu disimak apakah abdomen
membusung/membuncit atau datar saja, tepi perut menonjol atau tidak,
umbilicus menonjol atau tidak, amati apakah ada bayangan vena, amati
juga apakah didaerah abdomen tampak benjolan-benjolan massa.
Laporkan bentuk dan letakknya

 Auskultasi : mendengar suara peristaltic usus, normal berkisar 5-35


kali per menit : bunyi peristaltic yang yang keras dan panjang disebut
borborygmi, ditemui pada gastroenteritis atau obstruksi usu pada tahap
awal. Peristaltic yang berkurang ditemui pada ileus paralitik. Apabila
setelah 5 menit tidak terdengar suara peristaltic sama sekali maka kita
katakana peristaltic negative (pada pasien post operasi)

 Palpasi : sebelum dilakukan palpasi tanyakan terlebih dahulu kepada


pasien apakah daerah yang nyeri apabila ada maka harus dipalpasi
terakhir, palpasi umum terhadap keseluruhan dinding abdomen untuk
mengetahui apakah ada nyeri umum (peritonitis, pancreatitis).
Kemudian mencari dengan perabaan ada atau tidaknya massa/benjolan
(tumor). Periksa juga turgor kullit perut untuk menilai hidrasi pasien.
Setelah itu periksalah dengan tekanan region suprapubika (cystitis),
titik MC Burney (appendicitis), region epigastrica (gastritis), dan
region iliaca (adnexitis) barulah secara khusus kita melakukan palpasi
hepar. Palpasi hepar dilakukan dengan telapak tangan dan jari kanan
dimulai dari kuadrant kanan bawah berangsur-angsur naik mengikuti
irama nafas dan cembungan perut. Rasakan apakah ada pembesaran
hepar atau tidak. Hepar membesar pada keadaan :
 Malnutrisi
 Gangguan fungsi hati/radang hati (hepatitis, thyroid fever,
malaria, dengue, tumor hepar)
 Bendungan karena decomp cordis
12. Anus
 Posisikan pasien berbaring miring dengan lutut terlipat menempel
diperut/dada. Diperiksa adannya :
 Hemhoroid externa
 Fisurra
 Fistula
 Tanda keganasan

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan sekret pada jalan nafas
sekunder dan obstruksi traekonkial akibat pembesaran kelenjaran limfa
servikal, mediastrinum
2. Nyeri akut b/d kompresi saraf perifer, pembesaran kelenjar limfe, efek
sekunder pemberian agen antileukimia, peningkatan produksi asam laktat
jaringan lokal
3. Intoleransi aktivitas b/d peningkatan kebutuan metaboik (proses
keganasan) dan perubahan kimiawi tubuh sebagai efek kemoterapi
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang
kurang, meningkatnya kebutuhan metabolik dan menurunnya absorbsi zat
gizi

3. INTERVENSI KEPERAWATAN

Dx 1

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam jalan napas klien kembali efektif

Kriteria hasil : secara subjektif pernyataan sesak berkurang, RR 26-24x/menit,


tidak ada penggunaaan otot aksesori, tidak terdengar bunyi napas tambahan

Intervensi :

1. Kaji/awasi frekuensi pernapasan, kedalaman, irama, adanya dispneu,


penggunaan otot bantu pernapasan dan gangguan ekspansi dada
Rasional : perubahan seperti takipneu, dispnea, penggunaan otot aksesori
dapat mengindikasikan berlanjutnya keterlibatan kelenjar limfe
mediastinal yang membutuhkan intervensi lebih lanjut.
2. Bantu perubahan posisi secara periodik
Rasional : meningkatkan aerasi semua segmen paru dan membantu
mobilisasi sekresi
3. Ajarkan teknik napas dalam (bibir, diafragma, abdomen)
Rasional : meningkatkan aerasi semua segmen paru dan membantu
mobilisasi sekresi
4. Kaji warna kulit, perhatikan adanya tana pucat/sianosis
Rasional : proliferasi sel darah putih dapat menurunkan kapasitas
pembawa oksigen darah dan menimbulkan hipoksia
5. Kaji respon terhadap aktivitas
Rasional : penurunan oksigenasi seluler menurunkan toleransi aktivitas,
istirahat menurunkan kebutuhan oksigen serta mencegah kelelahan dan
dispnea
6. Observasi distensi vena leher, nyeri kepala, pusing, edema preorbital,
dispneu, stridor
Rasional : klien LNH dengan sindrom vena superior dan obstruksi jalan
napas menunjukkan kedaruratan onkologis

Dx 2

Tujuan : dalam waktu 3x24 jam terapat penurunan respon nyeri

Kriteria hasil : secara subjektif klien menyatakan penurunan rasa nyeri secara
objektif didapatkan ttv dalam batas normal, wajah rileks, tidak terjadi penurunan
perifer.

Intervensi :

1. Catat karakteristik nyeri lokal, intensitas, serta lama dan penyebaranya


Rasional : variasi penampilan dan perilaku klien karena nyeri terjadi
sebagai temuan pegkajian
2. Lakukan manajemen nyeri keperawatan: atur posisi fisiologis
Rasional : posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 ke jaringan yang
mengalami nyeri sekunder dan iskemia
3. Lakukan manajemen nyeri : Istirahatkan klien
Rasional : istirahat akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer,
sehingga akan menurunkan kebutuhan oksigen jaringan
4. Manajemen lingkungan : lingkungan tenang dan batasi pengunjung
Rasional : lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal
dan pembatas penunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2
ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada
diruanan
5. Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam
Rasional : meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder dari iskemia jaringan
6. Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri
Rasional : distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus
internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin dan enkefalin
yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks
serebrii sehingga menurunkan persepsi nyeri
7. Kolaborasi pemberian terapi analgetik
Rasional : digunakan untuk mengurangi nyeri sehubungan dnegan
hematoma otot yang besar dan perdarahan sendi. Analgetika oral non
oploid diberikan untuk menghindari ketergantungan terhadap narkotika
pada nyeri kronis
Dx 3

Tujuan : melaporkan peningkatan intoleransi aktivitas

Kriteria hasil : Mampu melakukan aktivitas sehari hari secara mandiri

Intervensi

1. Bantu pasien untuk mengidentfikasi aktivitas yang mampu dilakukan


Rasional : pasien mampu memilah aktivitas yang akan dilakukan
2. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda
Rasional : memudahkan pasien untuk beraktivitas meskipun dengan
bantuan

Dx 4

Tujuan : kebutuhan nutrisi seimbang sesuai berat badan

Kriteria hasil : mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak ada tanda


malnutrisi, menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan.

Intervensi

1. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai


Rasional: mengidentifikasi defisiensi nutrisi dan juga untuk intervensi
selanjutnya

2. Observasi dan catat masukan makanan klien


Rasional: mengawasi masukan kalori
3. Timbang berat badan klien setiap hari
Rasional: mengawasi penurunan berat badan dan efektivitas intervensi
nutrisi
4. Berikan makan sedikit namun frekuensi sering
Rasional: meningkatkan pemasukan kalori secara total dan juga untuk
mencegah distensi gaster
5. Kolaborasi dalam pemberian suplemen nutrisi
Rasional: meningkatkan masukan protein dan kalori
DAFTAR PUSTAKA

Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC edisi


revis jilid 1,2,3 205, Medi Action. Yogyakarta.

Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol 2
Jakarta :EGC. 2002carpenito. L. J (2004). Buku Saku Diagnosa Keperawatan
(10th ed)

Anda mungkin juga menyukai