Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA

PASIEN DENGAN GANGGUAN


MIASTENIA GRAVIS DAN GBS
By: Dewi zakiyah
Miastenia Gravis

 Myastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya
gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
 Hal ini ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali.
Etiologi

 antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot
pasien dengan Myastenia Gravis.
 Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90%
pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Patofisiologi

 Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline


Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan
dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-
synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah
yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Klasifikasi berdasarkan The Medical Scientific Advisory
Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of
America (MGFA) :
(1) Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal

(2) Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat kelemahannya

(3) Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal

(4) Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas

(5) Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan pada otot okuler

(6) Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal

(7) Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas

(8) Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler

(9) Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal

(10)Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, Juga mempengruhi otot-otot
ekstrimitas

(11)Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)


Gejala Klinis

 Myasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejala-gejala yang timbul
juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot. Otot-otot yang paling
sering diserang adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelopak mata, bicara, menelan
mengunyah, dan bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang pada otot
pernafasan.
Pemeriksaan penunjang
1) Test Wartenberg

 Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test Wartenberg. Penderita diminta untuk
menatap tanpa kedip kepada suatu benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk
beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.

2) Uji Tensilon (edrophonium chloride)


Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan
lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.

3) Uji Prostigmin (neostigmin)

 Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu,
diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka
gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
4) Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per
tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

5) Laboratorium (Tes darah)


Antistriated muscle (anti-SM) antibody : Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang pentingpada penderita miastenia gravis.

6) Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)

 Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal atau keberadaan dari thymoma.

7) Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)

 Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah pernafasan akan gagal dan membawa kepada
krisis Myasthenia.
Komplikasi

1) Myasthenic Crisis
Pasien dengan Myasthenia Gravis sedang ataupun berat, keduanya memiliki
kelainan/kesulitan untuk menelan dan bernapas, seringkali mengalami penurunan kondisi. Ini
biasanya dipicu oleh infeksi penyerta atau penarikan tiba-tiba obat antikolinesterasi, tetapi
mungkin terjadi secara spontan.

2) Cholinergic Crisis
Krisis kolinergik terjadi sebagai hasil dari pemberian obat yang lebih. Efek muskarinik dari
tingkat racun olehkarena obat antikolinesterase menyebabkan kram perut, diare, dan sekresi
paru berlebihan.
ASKEP MIASTENIA

 Pengkajian

1. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dannstatus


2. Keluhan utama : kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah
istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan
setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata
pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
Pemeriksaan Fisik

 B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot diafragma

 B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi

 B3(brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular,jatuhnya mata atau
dipoblia

 B4(bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi urine,hilangnya sensasi saat berkemih

 B5(bowel) : kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan peristaltik usus turun,


hipersalivasi,hipersekresi

 B6(bone) : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih


Diagnosa keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan


2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis,
Intervensi

1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan

 Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi polapernapasan klien


kembali efektif

 Kriteria hasil :

 Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal

 Bunyi nafas terdengar jelas

 Respirator terpasang dengan optimal


Intervensi Rasionalisasi

1. Kaji Kemampuan ventilasi  Untuk klien dengan penurunan kapasitasventilasi,


perawat mengkaji frekuensipernapasan, kedalaman,
dna bunyi nafas,pantau hasil tes fungsi paru-paru tidal,
kapasitas vital, kekuatan inspirasi),dengan interval
yang sering dalammendeteksi masalah pau-paru,
sebelumperubahan kadar gas darah arteri dansebelum
tampak gejala klinik.

2. Kaji kualitas, frekuensi,Dan kedalaman  Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dankedalaman


pernapasan,laporkansetiap perubahan yang terjadi. pernapasan, kita dapatmengetahui sejauh mana
perubahan kondisiklien.

3. Baringkan klien dalamposisi yang nyamandalam  Penurunan diafragma memperluas daerah dada
posisi duduk sehingga ekspansi paru bisa maksimal
2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal

 Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.

 Kriteria hasil :

 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.

 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan


Intervensi Rasionalisasi

1. Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas  Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi
selanjutnya

2. Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan  Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatandan daya
tahan. Menjadi partisipan dalampengobatan, klien
harus belajar tentangfakta-faakta dasar mengenai
agen-agenantikolinesterase-kerja, waktu,
penyesuaiandosis, gejala-gejala kelebihan dosis,
danefek toksik. Dan yang penting padapengguaan
medikasi dengan tepat waktu adalah ketegasan.
GBS (Guillaine Barre Syndrome)

 GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan
kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau
tahun.
 Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialil.
Etiologi
1) Infeksi : Misal radang tenggorokan atau radang lainnya.

2) Iinfeksi Virus : Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis
(vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)

3) Infeksi Lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa, Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis .

4) Vaksinasi : Rabies, Swine flu

5) Pembedahan

6) Penyakit sistematik:

• Keganasan ; Hodgkin’s Disease, Carcinoma,Lymphoma.

• Systemic lupus erythematosus

• Tiroiditis

• Penyakit Addison

7) Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.


Patofisiologi

 Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang membungkus saraf
perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala GBS menghilang pada saat
serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel
terjadi selama serangan, beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi.
 Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun lewat mekanisme
limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation.
Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responnya terhadap antigen.
Manifestasi klinis
 Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung
selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali.
 Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1) Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal
sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik;
derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita.

2) Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan
ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai
dimulai fase penyembuhan

3) Fase penyembuhan .
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan.
Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-
angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi.
Pemeriksaan Diagnostik

1) Cairan serebrospinal (CSS)


Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein
(100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel).
2) Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
3) Pemeriksaan darah
4) Elektrokardiografi (EKG)
Komplikasi

1) Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian. Kegagalan


pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak di tangani
dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan
otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita.

2) Kelemahan beberapa otot dapat menetap (Corwin, 2009).

3) Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam
paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis
permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi (Israr, dkk, 2009).
Contoh kasus

 Tn. Ali usia 45 tahun masuk UGD RSUD Dr.Soetomo Surabaya dengan keluhan susah
napas, dada terasa berat, gelisah. Hasil pengkajian didapatkan Tn. Ali menderita demam 3
hari yang lalu, kemudian kaki tidak bisa digerakkan. TD: 130/80 mmHg, nadi 85x
permenit, RR 26x permenit, Suhu 37’C.
Pengkajian

1. Identitas :
Nama : Tn. A
Umur : 45 th
Jenis kelamin : Laki-laki
2. Keluhan utama : susah napas

3. Riwayat penyakit sekarang : Tn.A mengeluh susah napas, dada terasa berat, serta gelisah. Tn. A telah menderita demam
sejak 3 hari yang lalu, serta kakinya tidak bisa digerakkan.

4. Riwayat penyakit dahulu : Perlu dikaji apakah ada riwayat penyakit ISPA dan infeksi saluran pernapasan, selain itu juga
apakah Tn. A pernah mengkonsumsi obat jenis kortikosteroid, antibiotik, atau sebagainya dalam jangka waktu yang lama.

5. Riwayat penyakit keluarga : -


Pemeriksaan fisik

 B1 [Breathing] : RR 26x/menit, susah napas, dada terasa berat [yang paling sering didapatkan
pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot
pernapasan.
 B2 [Blood] : N 85x/menit, TD 130/80 mmHg, [ pada pasien GBS juga sering ditemukan
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.

 B3 [Brain] : Tingkat kesadaran : pada pasien GBS biasanya kesadaran pasien compos mentis.
 B4 [ Bladder] : Pemeriksaan pada system kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume
haluaran urine.
 B5 [ Bowel] : Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambunng.
 B6 [ Bone] : Penurunan kekuatan otot dam penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas
pasien secara umum.
Analisa Data
No. Data Etiologi Masalah
keperawatan
1. Ds : Pasien mengeluh susah Infeksi saluran pernafsan Pola napas tidak
napas, dada berat, gelisah. Proses demielinisasi efektif
Do : RR 26x permenit, Td Konduksi saltory tidak terjadi
130/80 mmHg, nadi 85x dan tidak ada transmisi impuls
permenit, S: 37 saraf
  Gangguan fungsi saraf perifer
dan neuro muskular
Insufisiensi pernapasan
kelemahan otot pernapasan
Ketidakefektifan pola napas
Diagnosa keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan

2. Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.

3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan


kekuatan otot.
Intervensi
Diagnosa Tujuan & Kritria hasil Intervensi
keperawatan
Pola napas tidak efektif Tujuan : mempertahankan pola napas agar Observasi
  kembali efektik - monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Sdki : D.0005 hal : 26   - monitor bunyi napas tambahan (gurgling, mengi, wheezing, ronkhi)
KH : - monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
-Pola napas cukup membaik Terapeutik
- frekuensi napas cukup membaik - pertahankan keatenan jalan napas
  - posisikan semi fowler
Slki : L.01001 hal : 18 - berikan minum hangat
- lakukan fisioterapi dada jika perlu
- berikan oksigen jika perlu
Edukasi
- anjurkan asupan cairan 2000 ml/hr jika tidak kontraindikasi
- ajarkan teknik batuuk efektif
Kolaborasi
- kolaborasi pemberian brnkodilator, ekspektoran, mukolitik jika perlu.
 
Siki : I.01001 hal : 186
Implementasi

Tgl/jam Implementasi

13/4/21 - Memonitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)


- Memonnitor bunyi napas tambahan
- Memonitor sputum (jumlah, warna, aroma)
- Mempertahankan kepatenan pola napas
- Memberikan posisi semi fowler
- Memberikan oksigen jika perlu
- Mengajarkan teknik batuk efektif
- Mengkolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik jika
perlu
Evaluasi
Tgl/jam No. Dx keperawatan Evaluasi

D.0005 S : px mengatakan sesak napas


O : px tampak lemah
TD : 130/80 mmHg
N : 85 x/mnt
RR : 26x/mnt
S : 37
- Terdapat suara tambahan (ronkhi)
A : Pola napas tidak efektif
P : - monitor pola napas
- Posisikan semi fowler
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai