Anda di halaman 1dari 20

GANGGUAN TIDUR DAN MANAGEMEN TIDUR PADA

PASIEN KRITIS

Dosen Pembimbing : Ns. Ani Haryani, S.Kep, M.Kep

Disusun Oleh :

Argo kelana 109031024


Dwita ayu Pratiwi 1019031039
Lisda Hartati 1019031075
M. Agus Sofyan 1019031078
Putria zyahara n 10190311114

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS FALETEHAN
SEPTEMBER,2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala kuasa-Nya yang telah memberikan
kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Makalah dengan tema “Gangguan Tidur Dan
Managemen Tidur Pada Pasien Kritis” ini disusun sebagai tugas mata kuliah
Keperawatan Kritis. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Ns. Ani
Haryani, S.Kep, M.Kep, yang telah memberikan waktu dan arahannya dalam
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalamnya, sehingga kritik dan


saran sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu penulisan yang akan datang.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Serang, 14 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................2

B. Rumusan Masalah.................................................................................3

C. Tujuan Penulisan...................................................................................3

D. Manfaat Penulisan.................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tidur....................................................................................5

B. Konsep Gangguan Tidur..................................................................9

C. Konsep Managamen Tidur ............................................................13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................16

B. Saran.....................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Pasien kritis mempunyai masalah yang kompleks dalam proses perawatannya.


Salah satu masalah yang paling sering dialami oleh pasien kritis adalah adanya
kesulitan tidur. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Zolfaghari (2012) menginformasikan bahwa gangguan tidur banyak dialami
oleh pasien kritis di Intensive Care Unit (ICU). Secara ilmiah, tidur
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas hidup
seseorang, mempertahankan fungsi fisiologis tubuh, dan mempercepat proses
penyembuhan jaringan yang luka (Pasien yang mengalami gangguan tidur
akan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menurunkan kualitas
hidup)

Menurut Stacy (2012) mendeskripsikan gangguan tidur pada pasien kritis


sebagai ketidakcukupan durasi atau kelengkapan fase tidur yang dapat
mempengaruhi kenyamanan dan kualitas hidup pasien. Beberapa penelitian
menghasilkan bahwa sebagian besar pasien kritis mengalami gangguan tidur
dan banyak yang menerima pengobatan untuk membantu gangguan tidur
tersebut. Faktor yang dapat mempengaruhi gangguan tidur pada pasien kritis
beragam. Menurut Stacy (2012), menyatakan bahwa gangguan tidur pada
pasien kritis dapat dipengaruhi oleh stress seperti kondisi lingkungan
perawatan, tindakan operasi, suara/kebisingan, pemberian perawatan, nyeri,
cahaya yang terlalu terang, dan ketidaknyamanan pada otot dan sendi karena
bed rest yang lama.

2
Berdasarkan kondisi di atas, maka perlu dilakukan penatalaksanaan gangguan
tidur secara non farmakologi. Terapi nonfarmakologi dipilih karena
banyaknya efek yang ditimbulkan pada pasien jika hanya menerima
farmakologi saja. Urden (2012) menyebutkan bahwa efek penggunaan obat-
obatan untuk mengatasi gangguan tidur dapat berupa berkeringat,
meningkatkan peka terhadap rangsang, lebih banyak bicara, anorexia, masalah
di GI, insomnia, dan palpitasi, tergantung dengan jenis obat yang diberikan.
Terapi non farmakologis untuk managemen tidur sudah cukup banyak
dilakukan penelitian diantaranya penggunaan accupressure, aromaterapi, eye
mask dan ear plug, dan sebagainya. Semua terapi tersebut sudah terbukti
efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pasien kritis. Makalah ini
diharapkan dapat menjadi gambaran bagi pemberi pelayanan keperawatan
untuk dapat menggunakan terapi non farmakologi dalam meningkatkan
kualitas tidur pasien kritis.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas


mengenai gangguan tidur serta manajemen tidur pada pasien kritis dengan
tujuan untuk memberikan pemahaman baru mengenai konsep gangguan tidur
serta manajemen tidur kepada perawat.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Konsep Gangguan Tidur dan Manajemen Tidur Pada Pasien
Kritis
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui Konsep Gangguan Tidur dan anajemen Tidur Pada
Pasien Kritis.

2. Tujuan khusus
a. Konsep tidur
b. Gangguan tidur pada pasien kritis (apa sih yang

3
menyebabkan pasien kritis mengalami gangguan tidur.
c. Manajemen gangguan tidur pada pasien kritis
d. Dukungan hasil penelitian tentang intervensi
keperawatan pada gangguan tidur pasien kritis. (luar dalam
negeri)
Jika ingin dibuat tabel di dalam bab 2 maka buatlah
seperti berikut ini)
No Judul, Metode hasil
peneliti, (desain
lokasi penelitian,
(negara), jumlah
jurnal sampel,
apa tehnik
sampling,
cara
intervensi,
alat ukur

e. Manfaat Penulisan (mahasiswa)


Memberikan pengetahuan yang relevan bagi mahasiswa
yang akan belajar merawat pasien kritis.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep tidur
1. Definisi Tidur
Tidur merupakan hal mendasar yang harus dipenuhi oleh setiap manusia termasuk pasien
kritis. Menurut Stacy (2012) mendefinisikan tidur sebagai perubahan persepsi menjadi
tidak respon terhadap lingkungan. Manusia menghabiskan waktu hampir sepertiganya
untuk tidur .

Tidur adalah keadaan istirahat alami yang diamati di sebagian besar mamalia. Hal ini
ditandai dengan penurunan gerakan tubuh sukarela, penurunan reaksi terhadap
rangsangan eksternal, peningkatan laju anabolisme sintesis struktur sel, dan penurunan
tingkat katabolisme (pemecahan struktur sel). tidur yang teratur diperlukan untuk
kelangsungan hidup (Urden, 2012).

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tidur adalah suatu kondisi dimana
terjadi penurunan respon terhadap rangsangan eskternal serta terjadi reaksi metabolisme
di dalam tubuh.

2. Fisiologi tidur
Pengkajian tidur dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti penggunaan alat
Polysomnography (PSG) yang dapat mengkaji tidur serta gangguannya menggunakan
elektroda. Electroencephalographic (EEG) juga dapat digunakan untuk mengukur
gelombang otak pasien selama tidur, dimana gelombang otak tersebut dapat memberikan
klasifikasi fase tidur pasien. Electrooculography (EOG) digunakan untuk mengukur
aktivitas pergerakan mata, sehingga dapat dikaji apakah pasien sudah masuk ke dalam
fase REM (Rapid Eye Movement) atau tidak.

5
Electromyography (EMG) dapat mengidentifikasi aktivitas otot selama tidur, seperti pada
perekaman daerah intercostal berguna untuk mengetahui usaha nafas pasien selama tidur.
Electrocardiogram (ECG) menunjukan ketidaknormalan aktivitas jantung.

a. Fase tidur
Tidur memiliki 3 fase, yaitu saat terjaga, REM (Rapid Eye Movement), dan NREM (Non-
Rapid Eye Movement). NREM menyumbang sekitar 70%-75% dari siklus tidur, REM
sekitar 20%-25%. Beberapa teori menjelaskan bahwa fase NREM merupakan fase yang
dapat mengurangi stress ketika bangun, sedangkan fase REM dapat meningkatkan
kreativitas otak. Fase NREM didominasi oleh aktivitas saraf parasimpatis. Pada fase ini,
tubuh mencoba untuk mempertahankan homeostatis, dan hal tersebut menyebabkan
penurunan energi.

Tekanan darah, nadi, pernafasan, dan metabolisme rate dikembalikan ke level yang paling
dasar. Selama fase slow-wave sleep, 80% dari total hormon dari tubuh dihasilkan yang
berguna untuk menstimulasi sintesis protein dan mengurangi kerusakan katabolik. Tidur
fase ini juga menghasilkan hormon prolaktin dan testosteron yang dapat membantu proses
anabolisme yang terjadi selama fase tidur lambat. Puncak kortisol dihasilkan pada saat
pagi, sedangkan melatonin dihasilkan ketiga gelap, dan tiroid dihambat penghasilannya
ketika tidur.
1) Non Rapid Eye Movement Sleep (NREM)
NREM dibagi menjadi 3 tahap (N1-N3), dimana setiap tahap akan menjadi semakin
dalam kualitas tidurnya. Fase N1 mempunyai prosentase sekitar 2%-5% saat tidur
malam, dan dapat ditunjukan dari pemeriksaan EEG.
Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:
a) Tidur stadium Satu (N1)
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan
kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata ke kanan
dan ke kiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan.
Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa, beta dan kadang
gelombang teta dengan amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang

6
sleep spindle dan kompleks K. Hasil pemeriksaan EOG selama fase N1 terdapat
pergerakan bola mata namun masih lemah. Pasien yang melaporkan banyak gangguan
selama tidur dapat diprediksi bahwa mengalami gangguan pada fase ini. Menurut
Stacy (2012), pada fase transisi antara terjaga dan tidur pasien banyak mengalami
kerusakan memori.
b) Tidur stadium dua (N2)
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang,
tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang teta
simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K.
Fase N2 sekitar 45%-55% dari waktu tidur malam, dengan kondisi tidur yang lebih
dalam dibandingkan fase N1.
Pada stadium ini karakteristik yang diperlihatkan adalah :
(1) Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara
(2) Kemajuan relaksasi
(3) Terbangun masih relatif mudah
(4) Tahap berakhir 10 hingga 20 menit
(5) Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban
c) Tidur stadium tiga (N3)
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih
banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep
spindle. Fase N3 menyumbang sekitar 15%-20% dari siklus tidur. Pada tahap ini,
gelombang lambat terus terjadi sampai 50% dari total gelombang EEG. Pada fase
N3 ini, dihasilkan sintesis protein dan perbaikan jaringan seperti perbaikan sel
epitel dan sel tertentu dalam orak, kulit, sumsum tulang, dan mukosa lambung.
Karakteristik dari stadium ini adalah:
(1) Tahap 3 meliputi tahap awal dari tidur yang dalam
(2) Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak
(3) Otot-otot dalam keadaan santai penuh
(4) Tanda-tanda vital menurun tapi tetap teratur
(5) Tahap berakhir 15 hingga 30 menit

7
d) Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG
didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle.
Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit,
setelah itu akan masuk ke fase REM. Karakteristik yang ditunjukan dari stadium
ini adalah:
(1) Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam
(2) Sangat sulit untuk membangunkan orang yang tidur
(3) Orang yang kurang tidur akan menghabiskan porsi malam yang seimbang
pada tahap ini.
(4) Tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama jam terjaga
(5) Tahap berakhir kurang lebih 15 hingga 30 menit
(6) Tidur sambil berjalan dan anuresis dapat terjadi
2) Rapid Eye Movement Sleep (REM)
REM menempati sekitar 20%-25% dari malam pada manusia normal, dan fase ini
disebut dream stage atau paradoxic sleep. Paradox adalah sebuah daerah di otak
yang sangat aktif, sedangkan daerah otak lain mengalami penekanan (lumpuh) saat
tidur. Pada fase ini, terdapat gerakan mata dengan ditandai atonia otot yang
mengindikasikan terdapat paralisis pada otot rangka. Sistem saraf simpatis
mendominasi selama fase REM. Manusia akan merasakan peningkatan konsumsi
oksigen, dan tekanan darah, curah jantung, pernafasan serta nadi. Saraf vagus akan
mengalami penekanan selama fase ini, dan pola nafas yang tidak teratur dapat
menurunkan penurunan oksigen, terutama untuk pasien yang memiliki masalah
pada paru atau penyakit jantung.
b. Siklus tidur
Siklus tidur dimulai dari tidur stage 1, lalu berlanjut ke stage 2 dan 3, kembali ke
stage 2, pada saat itu biasanya manusia mulai memasuki fase REM. Siklus pertama
tersebut biasanya terjadi selama 70-100 menit, dengan siklus selanjutnya selama
90-120 menit. Pada manusia normal, siklus dapat terjadi sebanyak 4-5 kali, dimana
NREM terjadi sebanyak 1/3 pertama dari malam, sedangkan REM pada 1/3
terakhir.

8
c. Sistem sirkadian
Sistem sirkadian mempunyai arti ritme tidur-bangun selama 24 jam. Irama
sirkadian diatur oleh sekelompok sel di anterior hipotalamus yang disebut
suprachiasmatic nuclues, yang fungsinya sebagai pemicu ritme tesebut. Irama
sirkadian dapat dipengaruhi oleh kondisi lain dari setiap manusia seperti
aktivitas sosial, postur, dan kondisi lingkungan fisik. Pengaruh eksternal yang
dapat mempengaruhi irama sirkadian disebut zeitgebers. Menurut stacy (2012),
cahaya adalah zeitgebers yang paling berpengaruh pada tidur pasien kritis,
sehingga perawat sebaiknya mengatur cahaya ruangan agar dapat meningkatkan
kualitas tidur pasien.
B. Gangguan tidur pada pasien kritis
a. Definisi
Menurut Stacy (2012) mendeskripsikan gangguan tidur pada pasien kritis
sebagai ketidakcukupan durasi atau kelengkapan fase tidur yang dapat
mempengaruhi kenyamanan dan kualitas hidup pasien. Beberapa penelitian
menghasilkan bahwa sebagian besar pasien kritis mengalami gangguan tidur dan
banyak yang menerima pengobatan untuk membantu gangguan tidur tersebut.
b. Etiologi dan patofisiologi
Penyebab terbesar gangguan tidur pada pasien kritis adalah adanya nyeri. Nyeri
dipengaruhi oleh somatostatin dan substansi P. Pada kondisi tidur dalam orang
normal, somatistatin dapat diproduksi, tanpa zat tersebut maka nyeri akan
dialami oleh pasien. Substansi P dihasilkan ketika pasien dalam kondisi tidur
yang dalam, dan substansi P dapat menyebabkan nyeri pada pasien. Ketika
pasien kritis berada pada kondisi tidur yang dalam, somatostatin akan lebih
sedikit dihasilkan dan substansi P mengalami peningkatan produksi, hal tersebt
yang dapat menyebabkan nyeri yang lebih hebat dan gangguan tidur.
Gangguan tidur pada pasien kritis dapat dipengaruhi oleh stress seperti kondisi
lingkungan perawatan, tindakan operasi, suara/kebisingan, pemberian perawatan,
nyeri, cahaya yang terlalu terang, dan ketidaknyamanan pada otot dan sendi
karena bed rest yang lama.

9
Pemasangan ventilator pada pasien kritis juga dapat menyebabkan gangguan
tidur pada pasien. Cooper dan Colleagues melakukan penelitian pada 20 pasien
yang terpasang ventilator, didapatkan hasil bahwa tidak ada pasien yang
mengalami fase tidur normal. Dua belas pasien mengatakan tidak tidur, dan
delapan pasien sisanya terdeteksi mengalami gangguan tidur. Mode ventilator
juga dapat mempengaruhi kualitas tidur pasien. Bosma melakukan penelitian
dengan membandingkan mode ventilator Proportional Assist Ventilation (PAV)
dan Pressure Support saat tidur. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa PAV
lebih baik untuk meningkatkan kualitas tidur pasien, sedangkan perbandingan
antara Assist Control ventilation (AC) dan low level dari pressure support
menghasilkan bahwa AC lebih dapat meningkatkan kualitas tidur.
c. Pengkajian dan diagnosa (adakah alat ukur yang dapat digunakan oleh
perawat untuk menilai kualitas tidur pada pasien kritis)
Pengkajian tidur pada pasien kritis meliputi pola tidur normal (termasuk bangun,
tidur siang, jam tidur normal dan jam bangun, serta kebiasaan tidur (ritual
sebelum tidur, jumlah bantal yang dipakai, selimut, dan penggunaan obat),
perubahan tidur selama mengalami sakit, riwayat gangguan tidur, mendengkur,
nafas terengah-engah ketika malam hari, berhenti nafas ketika malam, tidur
siang yang terlalu lama, frekuensi dan durasi tidur siang, dan keparahan dari
penyakit yang diderita yang dapat mempengaruhi kualitas tidur (COPD, artiritis,
angina, reflux esofagitis, atau nokturia).
Perawat sebaiknya juga melakukan pengkajian mengenai level kebisingan yang
dapat menganggu tidur pasien, riwayat mendengkur karena hal tersbeut
berhubungan dengan sleep apnea dan gangguan tidur. Hal termudah yang dapat
dilakukan perawat untuk melakukan pengkajian kualitas tidur pasien adalah
dengan membandingkan bagaimana pola tidur ketika di rumah (sebelum sakit)
dengan ketika di rumah sakit.
d. Gangguan tidur pada pasien kritis
Gangguan tidur diantaranya Sleep apneu syndrome terjadi ketika aliran udara
tidak ada atau mengalami penurunan. Apneu dalam tidur dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, yaitu obstruktif, pusat, dan campuran. Pada jenis apneu

10
obstruktif, tidak ada aliran udara disebabkan oleh obstruksi pada saluran nafas
bagian atas. Obstruksi total akan terjadi dalam waktu 10 detik atau lebih lama
atau yang biasa disebut obstructive apneu, sedangkan obstruksi parsial disebut
hypopnea.
Pada apneu pusat, aliran udara menjadi tidak ada karena adanya otot pernafasan
yang tidak adekuat dalam bekerja, sedangkan pada tipe ketiga merupakan
campuran dari tipe pertama serta kedua dalam satu periode apneu. Penegakan
diagnosa apneu syndrome dilakukan perhitungan pada apneu-hypopnea index,
yaitu jumlah apneu dan hypopnea/jam dibagi dengan jumlah jam tidur), jika
hasilnya lebih dari 5 atau lebih berati menunjukan adanya sleep apneu syndrome.
Semua tipe dari sleep apneu syndrome diikuti oleh desaturasi arteri dan
berpotensi menimbulkan hipoksemia, yang dapat menyebabkan vasokontriksi
pulmonal serta meningkatkan tahanan sistemik vaskular.
Diagnosa keperawatan yang dapat diambil dari sleep apneu syndrome adalah:
a) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan muskulosketal atau
kegagalan neuromuskular.
b) Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakadekuatan preload.
c) Gangguan pola tidur berhubungan dengan tidur yang terpotong
d) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketergantungan fungsional
terhadap teknologi pertahanan hidup.
e) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kekurangan informasi
Intervensi keperawatan yang diberikan berfokus kepada optimalisasi oksigenasi
dan ventilasi, menyediakan kenyamanan dan dukungan emosi, mempertahankan
pengawasan untuk pencegahan komplikasi serta memberikan pendidikan
kesehatan pada pasien dan keluarga.
1) Obstructive sleep apnea
Penyebab Obstructive Sleep Apnea (OSA) belum dapat diketahui secara pasti,
tapi beberapa faktor dapat menyebabkan terjadinya OSA, seperti penyempitan
saluran nafas bagian atas, peningkatan pemenuhan jaringan dari saluran nafas
atas, reflek kemampuan saluran nafas bagian atas, fungsi otot paringeal.

11
Fokus pengkajian yang dilakukan perawat kritis adalah monitoring saturasi
oksigen dan pola nafas pasien. Pasien dengan OSA memiliki faktor yang
berpengaruh seperti, mendengkur, obesitas, pendek, leher pendek, penyakit
jantung, hipertensi sistemik, hipertensi pulmonal, riwayat tidur yang terpotong,
refluks gastroesophageal, dan penurunan kualitas hidup.
Apnea dapat terjadi pada orang dengan tenggorokan yang kecil. Otot tidak dapat
menahan tenggorokan secara normal ketika tenggorokan terbuka saat pasien
tidur. Mendengkur terjadi disebabkan karena jaringan halus di sekitar
tenggorokan bergetar. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk penegakan
diagnosa menggunakan PSG yang dapat menentukan jumlah dan panjang
episode apnea dan fase tidur, jumlah aliran udara, usaha nafas, dan desaturasi
oksigen.
Intervensi medis yang dapat diberikan pada pasien OSA adalah dengan
memberikan CPAP sebagai alat bantu nafas. CPAP dapat menahan jalan nafas
tetap terbuka dan mencegah terjadinya collaps, mengatasi dengkuran, tersedak,
dan terengah-engah, dan dapat memperbaiki kondisi kardiovaskular. Alternatif
lain selain CPAP adalah BiPAP (Bimodal Positive Airway Pressure), Laser
Uvulopalato Pharingoplasty (LAUP), yaitu laser untuk menghilangkan jaringan
di palatum.
Peran perawat dalam managemen pasien dengan OSA diantarannya memberikan
pendidikan kesehatan kepada keluarga dan pasien termasuk mengenai tindakan
operasi seperti UPPP. Monitoring pasien juga harus dilakukan meliputi
monitoring pola nafas, jam tidur, dan saturasi oksigen.
2) Central Sleep Apnea
CSA dapat diidentifikasi melalui PSG dengan melihat aliran udara dan usaha
nafas selama minimal 10 detik. Kemoreseptor sensitif terhadap kada CO 2 dalam
otak. Ketika kadar CO2 mengalami peningkatan, maka usaha nafas adalah
mengeluarkan kelebihan CO2 tersebut untuk membuat keadaan yang homeostatis
antara CO2 dan oksigen dalam tubuh. OSA disebabkan oleh obstruksi jalan
nafas, sedangkan pasien dengan CSA disebabkan karena usaha nafas yang tidak

12
adekuat. Hal tersebut banyak ditemui pada pasien yang memiliki masalah
pernafasan atau gagal jantung dimana kedua penyakit tersebut dapat
meningkatkan kadar CO2 dalam otak.
Karakteristik klinis yang dapat diidentifikasi dari CSA adalah adanya gagal
nafas, edema perifer, polisitemia, mengantuk sepanjang siang, mendengkur,
terbangun dengan diikuti terdedak atau nafas pendek dan cepat.
Peran perawat dalam penanganan pasien ini adalah sama dengan pasien OSA,
yaitu memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga. Perawat juga
sebaiknya mengkaji ketakutan atau kecemasan pasien ketika akan tidur,
memperingatkan pasien untuk tidak mengonsumsi alkohol dan sedatif.
C. Managemen Gangguan Tidur
a. Managemen medis
Terapi farmakologi sering digunakan untuk mengatasi gangguan tidur pada
pasien. Obat yang biasa dipakai untuk mengatasi insomnia adalah hypnotic
benzodiazepine. Hypnotic dapat memperdalam fase tidur dan mempunyai kadar
lipophilicity yang tinggi, dimana hal tersebut dapat menyebabkan lansia
mengalami ketergantungan konsumsi obat selama hidupnya. Hypnotic juga dapat
menyebabkan anterograde amnesia, yaitu kerusakan memori yang disebabkan
oleh konsumsi obat.
Pengobatan dengan tujuan agar pasien terjaga juga dapat meningkatkan aktivasi
tingkah laku, dan kewaspadaan. Hal tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelas, yaitu
direct-acting symptomimetics (contoh: phenylephrine), indirect-acting
symptomimetics (methylphenidate, amphetamine, mazindol), dan stimulan yang
bukan sympythomimetics (caffeine). Efek samping yang dihasilkan dari
konsumsi obat-obatan tersebut adalah berkeringat, meningkatkan peka terhadap
rangsang, lebih banyak bicara, anorexia, masalah di GI, insomnia, dan palpitasi.
Obat-obatan tersebut dapat diberikan untuk pasien yang mengalami gangguan
tidur seperti narkolepsi, hipersomnia saraf pusat idiopatik, atau deprivasi tidur.
Beberapa orang menggunakan alkohol untuk membantu tidur. Mekanisme
tersebut terjadi karena alkohol adalah sedatif pada sistem saraf pusat dan akan
menyebabkan penekanan pada fase REM. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas

13
dapat menyebabkan peningkatan fase NREM stage 1 dan 2 serta menurunkan
onset slow-wave sleep, namun alkohol juga dapat menyebabkan tidur yang
dangkal, tidur yang terpotong, dan Osbstructive Sleep Apnea (OSA). Pada
ruangan intensive atau area keperawatan kritis, obat yang paling sering
digunakan untuk mengatasi gangguan tidur pada pasien adalah beta blocker.
Efek samping yang dihasilkan dari penggunaan obat ini adalah mimpi buruk
serta efek yang menganggu terhadap kualitas tidur pada beberapa orang.

b. Managemen keperawatan
1) Aromaterapi
Aromaterapi dapat menjadi alternatif dalam mengatasi gangguan tidur pasien
kritis. Penelitian yang dilakukan oleh. Mi Yeon (2013). mengungkapkan bahwa
aromaterapi terbukti efektif untuk mengatasi gangguan tidur pada pasien kritis.
Penelitian dilakukan pada 30 orang yang dilakukan pemasangan stent setelah
angiografi dan masuk ICU. Pasien diberikan aromaterapi lavender, roman
chamomile, dan neroli oils yang dihisap selama 10 detik. Efektifitas aromaterapi
juga diteliti oleh Lytle (2011). yang menggunakan aromaterapi bunga lavender
selama 9 jam pada 50 pasien ICU. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa
pasien yang diberikan aromaterapi mempunyai kualitas tidur yang lebih baik
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
a) Foot massage
Terapi ini sudah dilakukan penelitian oleh Oshvandi (2014). yang menghasilkan
bahwa foot massage efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pasien. Foot
massage dilakukan selama 20 menit pada 30 responden penelitian. Alasan
ilmiah yang dikemukakan peneliti mengenai efektifitas terapi tersebut adalah
karena sentuhan dan kontak kulit menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin
atau zat endogenous dan menyebabkan seluruh tubuh merasa relaks dan juga
meningkatkan energi. Melalui relaksasi, massage memblok stress dan kecemasan
dan aktivitas saraf simpatis berkurang sehingga dapat meningkatkan kualitas
tidur.

14
b) Ear plugs dan eye mask
Terapi tersebut efektif dilakukan pada pasien ICU dan dapat mempengaruhi
kualitas tidur pasien. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yazdanik (2014) yang menginformasikan bahwa penggunaan penutup telinga
dan mata terbukti efektif meningkatkan kualitas tidur 50 pasien ICU di RS Iran.
Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mashayekhi
(2013), yang menghasilkan bahwa penutup mata terbukti efektif dalam
menigkatkan kualitas tidur pada 60 pasien dengan infark miokard. Guen (2013)
juga mengungkapkan hal serupa, yaitu penggunaan penutup telinga dan mata
efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pada pasien post operasi di ICU.
c) Stroke back massage
Penelitian mengenai terapi tersebut sudah pernah dilakukan oleh Shinde (2014)
yang menghasilkan bahwa stroke back massage terbukti efektif dalam
meningkatkan kualitas tidur pasien ICU.
d) Accupressure
Accupressure mempunyai banyak jenis. Penelitian yang dilakukan oleh Nesami
(2015) mengatakan bahwa baik pijat accupressure maupun pijat accupressure
dengan minyak valerian efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pasien
dengan ACS. Penelitian dilakukan pada 90 responden pasien dengan ACS.
Peneliti menyebutkan bahwa minyak valerian memiliki efek relaksasi dan
meredakan nyeri sehingga mengurangi terbanggunnya pasien ACS dimalam
hari, karena minyak ini mengaktifkan aktifitas reseptor GABA. Penelitian lain
yang mengungkapkan hal yang serupa dengan Nesami (2015) adalah Chen
(2012) yang mengungkapkan bahwa accupressure dengan minyak valerian 2,5%
juga terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pasien. Pijatan
menggunakan jempol yang diberikan pada daerah pergelangan tangan dan
telapak kaki.

15
BAB III
KESIMPULAN

Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tidur memiliki
peranan penting dalam proses penyembuhan termasuk pada pasien kritis, namun
kebutuhan tidur pada pasien kritis mengalami banyak kendala dalam proses
pemenuhannya. Kendala yang paling sering dilaporkan adalah nyeri, suara serta cahaya
yang terlalu terang. Gangguan tidur pada pasien kritis yang dapat terjadi diantarannya
sleep apneu syndrome, dimana jika tidak ditangani dengan segera bisa menyebabkan
kematian pada pasien. Penanganan sleep apneu syndrome dengan memberikan
ventilator sebagai alat bantu nafas atau oksigen, serta perawat harus terus memonitor
pola pernafasan pasien.

Salah satu cara untuk membantu pemenuhan kebutuhan tidur pasien adalah dengan
memberikan terapi baik farmakologi maupun non-farmakologi. Terapi farmakologi
sering disertai efek samping yang dapat memperburuk kondisi pasien, maka perlu
diberikan terapi pendamping seperti aromaterapi, accupressure, foot massage, slow
back massage, dan pemberian eye mask & ear plug.
Mengkaji kualitas tidur pasien, dalam mengkaji menggunakan alat ukur yang valid,
intervensi yg dilakukan… ada evidence dan hasilnya baik…

16
DAFTAR PUSTAKA

Zolfaghari M, Farokhnezhad AP, Asadi NA, Ajri KM. Modification of Environmental Factors on
Quality of Sleep among Patients Admitted to CCU. Hayat 2012;18:61-8.

Lytle, Mwatha, Davis. 2014. Effect Of Lavender Aromatherapy On Vital Signs And Perceived Quality
Of Sleep In The Intermediate Care Unit: A Pilot Study. AJCC american Journal Of Critical Care,
January 2014, Volume 23, No. 1 doi: http://dx.doi.org/10.4037/ajcc2014958

Yazdannik, Zareie, Hasanpour, Kashefi. 2014. The effect of earplugs and eye mask on patients’
perceived sleep quality in intensive care unit. Iranian journal of nursing and midwifery research
Volume : 19, Issue: 6, Page : 673-678

Mashayekhi, Arab, Pilevarzadeh, Amiri, Rafiei. 2013. The effect of eye mask on sleep quality in
patients of coronary care unit. Sleep Science Volume : 6, Issue: 03, Page : 108-111

Le Guen, Robin, Lebard, Arnulf, Langeron. 2013. Earplugs and eye masks vs routine care prevent
sleep impairment in post-anaesthesia care unit: a randomized study. British Journal of Anaesthesia
Page 1 of 7 doi:10.1093/bja/aet304.

Shinde, Anjum. 2014. Effectiveness of Stroke Back Massage in Quality of Sleep Intensive Care Unit
Patients. International Journal Of Science and Research (IJSR) ISSN online): 2319-7064 volume: 3
Issue: 3 Pages: 292-298.

Nesami, Gorji, Rezaie, Zahra, Jamshid. 2015. Effect of acupressure with valerian oil 2.5% on the
quality and quantity of sleep in patients with acute coronary syndrome in a cardiac intensive care unit.
Journal of Traditional And Complementary Medicine Volume: 5 Hal : 241-247.

17
Chen, Chao, Fen Lu , Fen Shiung, Chao. 2012. The effectiveness of valerian acupressure on the sleep
of ICU patients: A randomized clinical trial. International Journal of Nursing Elseiver ltd.
doi:10.1016/j.ijnurstu.2012.02.012.

18

Anda mungkin juga menyukai