Anda di halaman 1dari 63

MINI PROJECT

PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN


KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENGAWAS MINUM OBAT PASIEN
GANGGUAN JIWA TIPE PSIKOTIK DI DESA TRIKARSO KECAMATAN
SRUWENG

Disusun oleh :
dr. Sanda Puspa Rini

Pendamping :
dr. Kukuh Muchrodi
NIP. 19831022 201001 1 019

UPTD UNIT PUSKESMAS SRUWENG


KABUPATEN KEBUMEN
2018
KEGIATAN MINI PROJECT

PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN


KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENGAWAS MINUM OBAT PASIEN
GANGGUAN JIWA TIPE PSIKOTIK DI DESA TRIKARSO KECAMATAN
SRUWENG

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Pelaksanaan Internship Dokter Indonesia


Di Puskesmas Sruweng
Kabupaten Kebumen

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal:

Disusun oleh :
dr. Sanda Puspa Rini

Mengetahui,
Kepala Dinas Kesehatan Pembimbing

Kabupaten Kebumen

dr.Hj.Y. Rini Kristiani. M.Kes dr. Kukuh Muchrodi

NIP. 19621217 198902 2 003 NIP. 19831022 201001 1 019

2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. 5
DAFTAR TABEL....................................................................................................6
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................7
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................. 8
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian..................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Promosi Kesehatan.....................................................................................12
B. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).....................................................23
C. Kepatuhan Minum Obat.............................................................................34
D. Hipotesis.....................................................................................................37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian...........................................................................................38
B. Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................38
C. Subyek Penelitian.......................................................................................38
D. Teknik Sampling........................................................................................ 39
E. Variabel Penelitian..................................................................................... 39
F. Definisi Operasional.................................................................................. 40
G. Instrumen Penelitian.................................................................................. 41
H. Analisis Data..............................................................................................41
BAB IV ANALISIS DATA
A. Profil Puskesmas Sruweng.........................................................................42
B. Analisis Data..............................................................................................46
BAB V PEMBAHASAN.......................................................................................52
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

3
A. Simpulan.................................................................................................... 55
B. Saran...........................................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................56
LAMPIRAN...........................................................................................................58

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Grafik Jumlah ODGJ di Kecamatan Sruweng


Gambar 2. Peta Wilayah Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen
Gambar 3. Grafik Luas Desa Kecamatan Sruweng
Gambar 4. Grafik Persebaran Jumlah Penduduk Kecamatan Sruweng Tahun 2017
Gambar 5. Grafik Hasil Nilai Pretest dan Posttest Responden Desa Trikarso

5
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keadaan Wilayah 21 Desa di Kecamatan Sruweng


Tabel 2. Nilai Pretest dan Posttest Responden Desa Trikarso
Tabel 3. Deskriptif Statistik
Tabel 4. Uji Normalitas
Tabel 5. Korelasi Sampel Berpasangan
Tabel 6. Uji Sampel Berpasangan

6
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Soal Pretest dan Postest


Lampiran 2. Foto Kegiatan
Lampiran 3. Foto Produk Mini Project

7
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan suatu upaya yang dilaksanakan
oleh setiap komponen bangsa Indonesia dalam rangka meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Salah
satu yang menjadi prioritas pembangunan kesehatan nasional adalah
pengendalian penyakit tidak menular (Depkes, 2015). Salah satu contoh
penyakit tidak menular yang saat ini sedang menjadi fokus adalah penyakit
gangguan jiwa / ODGJ / Orang dengan Gangguan Jiwa (Widdyasih, 2008).
Penyakit gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah
kesehatan utama di negara berkembang (Hawari, 2012). Salah satu gangguan
jiwa yang menjadi masalah utama di negara-negara berkembang adalah
gangguan jiwa tipe psikotik. World Health Organization (WHO) dalam Anitri
(2010, hlm.77) mengatakan bahwa gangguan jiwa tipe psikotik dalam hal ini
skizofrenia termasuk jenis psikosis yang menempati urutan atas dari seluruh
gangguan jiwa yang ada.
Menurut WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi,
60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5
juta terkena demensia. Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini
adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 6% dari
populasi dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya
mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-24 tahun
mengalami gangguan jiwa. Jumlah gangguan jiwa berat atau psikosis/
skizofrenia tahun 2013 di Indonesia provinsi-provinsi yang memiliki

8
gangguan jiwa terbesar pertama antara lain adalah Daerah Istimewa
Yogyakarta (0,27%), kemudian urutan kedua Aceh ( 0,27%), urutan ketiga
sulawesi selatan (0,26%), Bali menempati posisi keempat (0,23%), dan Jawa
Tengah menempati urutan kelima (0,23%) dari seluruh provinsi di Indonesia
(Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Jumlah penderita gangguan jiwa di Jawa Tengah dari tahun ke tahun
terus meningkat. Data Dinas Kesehatan Jawa Tengah menyebutkan jumlah
gangguan jiwa pada 2013 adalah 121.962 penderita. Sedangkan pada 2014
jumlahnya meningkat menjadi 260.247 orang dan pada tahun 2015 bertambah
menjadi 317.504 (Wibowo, 2016).
Menurut data puskesmas Sruweng tahun 2018, terdapat 268 pasien
gangguan jiwa yang tersebar di berbagai desa di Kecamatan Sruweng. Hasil
pemantauan selama ini masih banyak pasien yang enggan kontrol ke
puskesmas, hanya beberapa pasien yang mau datang ke puskesmas, sehingga
tenaga kesehatan tidak bisa mengikuti perkembangan pasien. Banyak
beberapa kasus yang dalam pengobatan masih belum patuh terhadap
pengobatan yang diberikan.
Ketidakpatuhan berobat dan follow up pasien menimbulkan tantangan
besar pada efektivitas manejemen dan harapan kesembuhan gangguan
kesehatan (Adeponle et al, 2009). Tujuan pengobatan penderita adalah untuk
mencegah terjadinya kekambuhan dan peningkatan kualitas hidup, namun
sering kali ditemukan terjadinya penderita yang tidak teratur berobat
(Kolegium Psikiatri Indonesia, 2008). Dalam menghadapi penyakit ini,
kontinuitas pengobatan merupakan salah satu faktor utama keberhasilan
terapi. Pasien yang tidak patuh pada pengobatan akan memiliki risiko
kekambuhan lebih tinggi dan akan menimbulkan gejala psikosis lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien yang patuh pada pengobatan (Aswin, 2010).

9
Kekambuhan yang terjadi pada satu tahun pertama setelah
terdiagnosis skizofrenia dialami oleh 60-70% pasien yang tidak mendapat
terapi medikasi; 15,7% pada pasien yang mendapat kombinasi terapi
medikasi, psikoterapi dan mendapat dukungan dari tenaga kesehatan,
keluarga dan masyarakat (Olfson et al., 2000 dalam Stuart dan Laraia, 2005).
Hasil studi literatur menunjukkan fenomena kekambuhan lebih banyak
diakibatkan oleh putus obat. Hasil survei yang dilakukan oleh World
Federation of Mental Health 2006 terhadap 982 keluarga yang mempunyai
anggota keluarga dengan gangguan jiwa menunjukkan 51% pasien kambuh
akibat berhenti minum obat, dan 49% kambuh akibat mengubah dosis sendiri
(Wardani IY et al., 2012).
Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut, maka peneliti
melakukan survei kesehatan untuk mengetahui “Pengaruh Promosi Kesehatan
terhadap Pengetahuan Minum Obat pada Pengawas Minum Obat Pasien
Gangguan Jiwa Tipe Psikotik di Desa Trikarso, Kecamatan Sruweng,
Kabupaten Kebumen”.

B. Perumusan Masalah
Adakah pengaruh promosi kesehatan terhadap pengetahuan kepatuhan
minum obat pada pengawas minum obat pasien gangguan jiwa tipe psikotik
di Desa Trikarso, Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen?

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh promosi kesehatan terhadap pengetahuan
kepatuhan minum obat pada pengawas minum obat pasien gangguan jiwa tipe
psikotik di Desa Trikarso, Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen.

D. Manfaat Penelitian

10
1. Manfaat bagi peneliti
a. Peneliti mengetahui secara langsung permasalahan yang ada di
lapangan.
b. Peneliti menjadi terbiasa melaporkan masalah.
c. Sebagai media yang menambah wawasan pengetahuan tentang
penyakit gangguan jiwa terutama tipe psikotik.
d. Sebagai modal dasar untuk melakukan penelitian pada tataran yang
lebih lanjut.

2. Manfaat bagi masyarakat


a. Masyarakat mengetahui mengenai penyakit gangguan jiwa terutama
tipe psikotik.
b. Masyarakat mengetahui manfaat kepatuhan minum obat.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Promosi Kesehatan
1. Definisi
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui pembelajaran diri oleh dan untuk masyarakat agar
dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung
oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kemenkes, 2011).
Menurut Green (Notoatmodjo, 2007), promosi kesehatan adalah segala
bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait
dengan ekonomi, politik, dan organisasi, yang direncanakan untuk
memudahkan perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan.

2. Tujuan promosi kesehatan


Promosi kesehatan merupakan suatu proses yang bertujuan
memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan
meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai
pemberdayaan diri sendiri. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dari,
oleh, untuk dan bersama masyarakat serta sesuai dengan sosial budaya
setempat. Demi mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik dari
fisik, mental maupun sosial, masyarakat harus mampu mengenal dan
mewujudkan aspirasi dan kebutuhannya, serta mampu mengubah atau
mengatasi lingkungannya (Kemenkes, 2011).

3. Sasaran promosi kesehatan

12
Menurut Maulana (2009), pelaksanaan promosi kesehatan dikenal
memiliki 3 jenis sasaran yaitu sasaran primer, sekunder dan tersier.
a. Sasaran primer
Sasaran primer kesehatan adalah pasien, individu sehat dan
keluarga (rumah tangga) sebagai komponen dari masyarakat.
b. Sasaran sekunder
Sasaran sekunder adalah para pemuka masyarakat, baik pemuka
informal (misalnya pemuka adat, pemuka agama dan lain-lain)
maupun pemuka formal (misalnya petugas kesehatan, pejabat
pemerintahan dan lain-lain), organisasi kemasyarakatan dan media
massa.
c. Sasaran tersier
Sasaran tersier adalah para pembuat kebijakan publik yang
berupa peraturan perundangundangan di bidang kesehatan dan bidang
lain yang berkaitan serta mereka yang dapat memfasilitasi atau
menyediakan sumber daya.

4. Strategi promosi kesehatan


Berdasarkan rumusan WHO (1994), dalam Notoatmodjo (2007),
strategi promosi kesehatan secara global terdiri dari tiga hal, yaitu :
a. Advokasi (advocacy)
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain, agar
orang lain tersebut membantu atau mendukung terhadap tujuan yang
akan dicapai. Dalam konteks promosi kesehatan, advokasi adalah
pendekatan kepada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan di
berbagai sektor, dan di berbagai tingkat, sehingga para pejabat
tersebut dapat mendukung program kesehatan yang kita inginkan.
b. Dukungan sosial (social support)

13
Strategi dukungan sosial adalah suatu kegiatan untuk mencari
dukungan sosial melalui tokoh-tokoh formal maupun informal. Tujuan
utama kegiatan ini adalah agar tokoh masyarakat sebagai penghubung
antara sektor kesehatan sebagai pelaksana program kesehatan dengan
masyarakat penerima program kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan
sosial antara lain pelatihan-pelatihan para tokoh masyarakat, seminar,
lokakarya, bimbingan kepada tokoh masyarakat dan sebagainya.
c. Pemberdayaan masyarakat (empowerment)
Pemberdayaan merupakan strategi promosi kesehatan yang
ditujukan kepada masyarakat langsung. Tujuan utama pemberdayaan
adalah mewujudkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan untuk diri mereka sendiri. Bentuk kegiatan
ini antara lain penyuluhan kesehatan, keorganisasian dan
pengembangan masyarakat dalam bentuk koperasi, pelatihan-pelatihan
untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga (Notoatmodjo,
2007).

5. Ruang lingkup promosi kesehatan


Ruang lingkup promosi kesehatan berdasarkan aspek pelayanan
kesehatan menurut Notoatmodjo (2007), meliputi :
a. Promosi kesehatan pada tingkat promotif
Sasaran promosi kesehatan pada tingkat pelayanan promotif
adalah pada kelompok orang sehat, dengan tujuan agar mereka
mampu meningkatkan kesehatannya.
b. Promosi kesehatan pada tingkat preventif
Sasaran promosi kesehatan pada tingkat ini selain pada orang
yang sehat juga bagi kelompok yang berisiko. Misalnya, ibu hamil,
para perokok, para pekerja seks, keturunan diabetes dan sebagainya.

14
Tujuan utama dari promosi kesehatan pada tingkat ini adalah untuk
mencegah kelompok-kelompok tersebut agar tidak jatuh sakit
(primary prevention).
c. Promosi kesehatan pada tingkat kuratif
Sasaran promosi kesehatan pada tingkat ini adalah para
penderita penyakit, terutama yang menderita penyakit kronis seperti
asma, diabetes mellitus, tuberkulosis, hipertensi dan sebagainya.
Tujuan dari promosi kesehatan pada tingkat ini agar kelompok ini
mampu mencegah penyakit tersebut tidak menjadi lebih parah
(secondary prevention).
d. Promosi kesehatan pada tingkat rehabilitatif
Sasaran pokok pada promosi kesehatan tingkat ini adalah pada
kelompok penderita atau pasien yang baru sembuh dari suatu
penyakit. Tujuan utama promosi kesehatan pada tingkat ini adalah
mengurangi kecacatan seminimal mungkin. Dengan kata lain, promosi
kesehatan pada tahap ini adalah pemulihan dan mencegah kecacatan
akibat dari suatu penyakit (tertiary prevention) (Notoatmodjo, 2007).

6. Metode dan media promosi kesehatan


a. Metode promosi kesehatan
Pemikiran dasar promosi kesehatan pada hakikatnya ialah suatu
kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada
masyarakat, kelompok atau individu. Suatu proses promosi kesehatan
yang menuju tercapainya tujuan pendidikan kesehatan yakni
perubahan perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya
yaitu metode. Metode harus berbeda antara sasaran massa, kelompok
atau sasaran individual.
1) Metode individual (perorangan)

15
Dasar digunakannya pendekatan individual ini karena setiap
orang mempunyai masalah atau alasan yang berbeda-beda
sehubungan dengan penerimaaan atau perilaku baru tersebut.
Agar petugas kesehatan mengetahui dengan tepat bagaimana cara
membantunya maka perlu menggunakan bentuk pendekatan
(metode) berikut ini, yaitu:
a) Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling)
Cara ini kontak antara klien dan petugas lebih intensif.
Setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat digali dan
dibantu penyelesaiannya. Akhirnya klien akan dengan
sukarela, berdasarkan kesadaran, dan penuh pengertian akan
menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku).
b) Wawancara (interview)
Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan
dan penyuluhan. Wawancara antara petugas kesehatan
dengan klien untuk mengetahui apakah klien memiliki
kesadaran dan pengertian yang kuat tentang informasi yang
diberikan (perubahan perilaku yang diharapkan), juga untuk
menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima
perubahan, ia tertarik atau belum menerima perubahan yang
disampaikan. Jika belum berubah, maka perlu penyuluhan
yang lebih mendalam lagi.

2) Metode kelompok
Dalam memilih metode kelompok, harus mengingat
besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal dari
sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan lain
dengan kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan tergantung

16
pada besarnya sasaran pendidikan.
a) Kelompok besar
Kelompok besar disini adalah apabila peserta
penyuluhan itu lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk
kelompok besar ini, antara lain ceramah dan seminar.
(1) Ceramah
Metode ini baik untuk sasaran pendidikan tinggi
maupun rendah. Merupakan metode dengan
menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan.
Metode ini mudah dilaksanakan tetapi penerima
informasi menjadi pasif dan kegiatan menjadi
membosankan jika terlalu lama
(2) Seminar
Metode ini hanya cocok untuk pendidikan formal
menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian
(presentasi) dari seorang ahli atau beberapa orang ahli
tentang suatu topik yang dianggap penting dan dianggap
hangat di masyarakat.
b) Kelompok kecil
Apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang
biasanya kita sebut kelompok kecil. Metode-metode yang
cocok untuk kelompok kecil antara lain:
(1) Diskusi kelompok
Metode yang dilaksanakan dalam bentuk diskusi
antara pemberi dan penerima informasi, biasanya untuk
mengatasi masalah. Metode ini mendorong penerima
informasi berpikir kritis, mengekspresikan pendapatnya
secara bebas, menyumbangkan pikirannya untuk

17
memecahkan masalah bersama, mengambil satu
alternatif jawaban atau beberapa alternatif jawaban untuk
memecahkan masalah berdasarkan pertimbangan yang
seksama.
Dalam diskusi kelompok agar semua anggota
kelompok dapat bebas berpartisipasi dalam diskusi, maka
formasi duduk para peserta diatur sedemikian rupa
sehingga mereka dapt berhadap-hadapan atau saling
memandang satu sama lain, misalnya dalam bentuk
lingkaran atau segi empat
(2) Curah pendapat (Brain Storming)
Prinsipnya sama dengan metode diskusi kelompok.
Bedanya, pada permulaan pemimpin kelompok
memancing dengan satu masalah dan kemudian tiap
peserta memberikan jawaban atau tanggapan (curah
pendapat). Tanggapan atau jawaban-jawaban tersebut
ditampung dan ditulis dalam flipchart atau papan tulis.
Sebelum semua peserta mencurahkan pendapatnya, tidak
boleh dikomentari oleh siapa pun. Baru setelah semua
anggota dikeluarkan pendapatnya, tiap anggota dapat
mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi.
(3) Bola salju (Snow Balling)
Metode dimana kesepakatan akan didapat dari
pemecahan menjadi kelompok yang lebih kecil,
kemudian bergabung dengan kelompok yang lebih besar.
Kelompok dibagi dalam pasangan-pasangan (1 pasang 2
orang) dan kemudian dilontarkan suatu pertanyaan atau

18
masalah. Setelah lebih kurang 5 menit maka tiap 2
pasang bergabung menjadi satu. Mereka tetap
mendiskusikan masalah tersebut, dan mencari
kesimpulannya. Kemudian tiap 2 pasang yang sudah
beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan
pasangan lainnya, demikian seterusnya sehingga
akhirnya akan terjadi diskusi seluruh anggota kelompok.
(4) Kelompok-kelompok kecil (Buzz Group)
Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok-
kelompok kecil (buzz group) yang kemudian diberi suatu
permasalahan yang sama atau tidak sama dengan
kelompok lain. Masing-masing kelompok mendiskusikan
masalah tersebut. Selanjutnya hasil dan tiap kelompok
didiskusikan kembali dan dicari kesimpulannya.
(5) Memainkan peran (Role Play)
Dalam metode ini beberapa anggota kelompok
ditunjuk sebagai pemegang peran tertentu untuk
memainkan peranan, misalnya sebagai dokter
Puskesmas, sebagai perawat atau bidan, dan sebagainya,
sedangkan anggota yang lain sebagai pasien atau anggota
masyarakat. Mereka memperagakan, misalnya
bagaimana interaksi atau berkomunikasi sehari-hari
dalam melaksanakan tugas.
(6) Permainan simulasi (Simulation Game)
Metode ini merupakan gabungan antara role play
dengan diakusi kelompok. Pesan-pesan kesehatan
disajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti

19
permainan monopoli. Cara memainkannya persis seperti
bermain monopoli, dengan menggunakan dadu, gaco
(petunjuk arah), selain beberan atau papan main.
Beberapa orang menjadi pemain, dan sebagian lagi
berperan sebagai narasumber.
3) Metode massa
Metode pendidikan kesehatan secara massa dipakai untuk
mengkomunikasikan pesanpesan kesehatan yang ditujukan
kepada masyarakat yang sifatnya massa atau publik. Beberapa
contoh metode pendidikan kesehatan secara massa ini, antara lain:
a) Ceramah umum (public speaking), acara-acara tertentu,
misalnya pada Hari Kesehatan Nasional, Menteri Kesehatan
atau pejabat kesehatan lainnya berpidato dihadapan massa
rakyat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan. Safari
KB juga merupakan salah satu bentuk pendekatan massa.
b) Pidato-pidato/diskusi tentang kesehatan melalui media
elektronik, baik TV maupun radio, pada hakikatnya
merupakan bentuk promosi kesehatan massa.
c) Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas
kesehatan lainnya tentang suatu penyakit atau masalah
kesehatan adalah juga merupakan pendekatan pendidikan
kesehatan massa.
d) Tulisan-tulisan di majalah atau koran, baik dalam bentuk
artikel maupun tanya jawab atau konsultasi tentang kesehatan
adalah merupakan bentuk pendekatan promosi kesehatan
massa.
e) Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster,
dan sebagainya juga merupakan bentuk promosi kesehatan

20
massa.
b. Media promosi kesehatan
Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk
menampilkan pesan informasi yang ingin disampaikan oleh
komunikator sehingga sasaran dapat meningkat pengetahuannya yang
akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya ke arah positif
terhadap kesehatan.
Berdasarkan peran fungsinya sebagai penyaluran
pesan/informasi kesehatan, media promosi kesehatan dibagi menjadi 3
yakni :
1) Media cetak
Media ini mengutamakan pesan-pesan visual, biasanya
terdiri dari gambaran sejumlah kata, gambar atau foto dalam tata
warna. Yang termasuk dalam media ini adalah booklet, leaflet,
flyer (selebaran), flip chart (lembar balik), rubrik atau tulisan
pada surat kabar atau majalah, poster, foto yang mengungkapkan
informasi kesehatan. Ada beberapa kelebihan media cetak antara
lain tahan lama, mencakup banyak orang, biaya rendah, dapat
dibawa kemana-mana, tidak perlu listrik, mempermudah
pemahaman dan dapat meningkatkan gairah belajar. Media cetak
memiliki kelemahan yaitu tidak dapat menstimulir efek gerak dan
efek suara dan mudah terlipat.
2) Media elektronik
Media ini merupakan media yang bergerak dan dinamis,
dapat dilihat dan didengar dan penyampaiannya melalui alat bantu
elektronika. Yang termasuk dalam media ini adalah televisi,
radio, video film, kaset, CD, VCD, internet (komputer dan
modem), SMS (telepon seluler). Seperti halnya media cetak,

21
media elektronik ini memiliki kelebihan antara lain lebih mudah
dipahami, lebih menarik, sudah dikenal masyarakat, bertatap
muka, mengikut sertakan seluruh panca indera, penyajiannya
dapat dikendalikan dan diulang-ulang serta jangkauannya lebih
besar. Kelemahan dari media ini adalah biayanya lebih tinggi,
sedikit rumit, perlu listrik dan alat canggih untuk produksinya,
perlu persiapan matang, peralatan selalu berkembang dan
berubah, perlu keterampilan penyimpanan dan keterampilan
untuk mengoperasikannya.
3) Media luar ruang
Media menyampaikan pesannya di luar ruang, bisa melalui
media cetak maupun elektronik misalnya papan reklame,
spanduk, pameran, banner dan televisi layar lebar, umbul-umbul,
yang berisi pesan, slogan atau logo. Kelebihan dari media ini
adalah lebih mudah dipahami, lebih menarik, sebagai informasi
umum dan hiburan, bertatap muka, mengikut sertakan seluruh
panca indera, penyajian dapat dikendalikan dan jangkauannya
relatif besar. Kelemahan dari media ini adalah biaya lebih tinggi,
sedikit rumit, perlu alat canggih untuk produksinya, persiapan
matang, peralatan selalu berkembang dan berubah, memerlukan
keterampilan penyimpanan dan keterampilan untuk
mengoperasikannya.
4) Media lain, seperti :
 Iklan di bus
 Mengadakan acara, merupakan suatu bentuk kegiatan yang
diadakan di pusat perbelanjaan atau hiburan yang menarik
perhatian pengunjung seperti, road show, sampling, dan

22
pameran.

B. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)


1. Definisi
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2010) adalah suatu perubahan
pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa
yang menimbulkan penderitaan pada individu dan hambatan dalam
melaksanakan peran sosial. Gangguan jiwa atau mental illness adalah
kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena hubungannya
dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan
sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Budiman, 2010). Gangguan
jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan
(volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).

2. Jumlah ODGJ di Kecamatan Sruweng

23
Jumlah ODGJ di wilayah kerja UPTD Unit Puskesmas Sruweng,
baik yang sudah pengobatan maupun belum pengobatan dapat dilihat
dalam diagram di bawah ini:

Gambar 1. Grafik Jumlah ODGJ di Kecamatan Sruweng

3. Faktor penyebab gangguan jiwa


Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab
terjadinya gangguan jiwa. Menurut pendapat Sigmund Freud dalam
Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi karena tidak dapat dimainkan
tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan tuntutan
super ego (tuntutan normal sosial). Orang ingin berbuat sesuatu yang
dapat memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan tersebut akan
mendapat celaan masyarakat. Konflik yang tidak terselesaikan antara
keinginan diri dan tuntutan masyarakat ini akhirnya akan mengantarkan

24
orang pada gangguan jiwa. Menurut Stuart & Sundeen (2008) penyebab
gangguan jiwa dapat dibedakan atas :
a. Faktor biologis/jasmani
1) Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin
terbatas dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami
gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor
lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.
2) Jasmani
Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang
berhubungan dengan gangguan jiwa tertentu. Misalnya yang
bertubuh gemuk/endoform cenderung menderita psikosa manik
depresif, sedang yang kurus/ectoform cenderung menjadi
skizofrenia.
3) Temperamen
Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai
masalah kejiwaan dan ketegangan sehingga memiliki
kecenderungan mengalami gangguan jiwa.
4) Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung,
kanker, dan sebagainya mungkin dapat menyebabkan merasa
murung dan sedih. Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu
dapat menyebabkan rasa rendah diri.
b. Faktor psikologis
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan
yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya
dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7 masa dan
pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.

25
1) Masa bayi
Masa bayi adalah menjelang usia 2 – 3 tahun, dasar
perkembangan yang dibentuk pada masa tersebut adalah
sosialisasi dan pada masa ini, cinta dan kasih sayang ibu akan
memberikan rasa hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian hari
menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat.
Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan menolak
dikemudian hari akan berkembang kepribadian yang bersifat
menolak dan menentang terhadap lingkungan. Sebaiknya
dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberi rasa aman
dan terlindungi, sebaliknya, pemberian yang kaku, keras dan
tergesa-gesa akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.
2) Masa anak pra sekolah (antara 2 sampai 7 tahun)
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh
disiplin dan otoritas. Penolakan orang tua pada masa ini, yang
mendalam atau ringan, akan menimbulkan rasa tidak aman dan ia
akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia mungkin
menurut, menarik diri atau malah menentang dan memberontak.
Anak yang tidak mendapat kasih sayang akan sulit memahami
disiplin karena tidak ada panutan, hal ini merupakan dasar yang
kuat untuk timbulnya tuntutan tingkah laku dan gangguan
kepribadian pada anak dikemudian hari.
3) Masa anak sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmani dan intelektual
yang pesat. Pada masa ini, anak mulai memperluas lingkungan
pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga. Kekurangan atau
cacat jasmani dapat menimbulkan gangguan penyesuaian diri.

26
Dalam hal ini sikap lingkungan sangat berpengaruh, anak
mungkin menjadi rendah diri atau sebaliknya melakukan
kompensasi yang positif atau kompensasi negatif. Sekolah adalah
tempat yang baik untuk seorang anak mengembangkan
kemampuan bergaul dan memperluas sosialisasi, menguji
kemampuan, dituntut prestasi, mengekang atau memaksakan
kehendaknya meskipun tak disukai oleh si anak.
4) Masa remaja
Secara jasmani, pada masa ini terjadi perubahan-perubahan
yang penting yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri
kewanitaan atau kelaki-lakian). Sedang secara kejiwaan, pada
masa ini terjadi pergolakan-pergolakan yang hebat. Pada masa ini,
seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di suatu
pihak ia merasa sudah dewasa (hak-hak seperti orang
dewasa), sedang di lain pihak belum sanggup dan belum
ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya.
Egosentris bersifat menentang terhadap otoritas, senang
berkelompok, idealis adalah sifat-sifat yang sering terlihat. Suatu
lingkungan yang baik dan penuh pengertian akan sangat
membantu proses kematangan kepribadian di usia remaja.
5) Masa dewasa muda
Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan
aman dan bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan
kepercayaan diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi
kesulitan-kesulitan pada masa ini. Sebaliknya yang mengalami
banyak gangguan pada masa sebelumnya, bila mengalami
masalah pada masa ini mungkin akan mengalami gangguan jiwa.

27
6) Masa dewasa tua
Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan
sosial seseorang sudah mantap. Sebagian orang berpendapat
perubahan ini sebagai masalah ringan seperti rendah diri, pesimis.
Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung, kesedihan yang
mendalam disertai kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh
diri.
7) Masa tua
Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada
masa ini Berkurangnya daya tanggap, daya ingat, berkurangnya
daya belajar, kemampuan jasmani dan kemampuan sosial
ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta
sering mengakibatkan kesalahpahaman orang tua terhadap orang
di lingkungannya. Perasaan terasing karena kehilangan teman
sebaya keterbatasan gerak dapat menimbulkan kesulitan
emosional yang cukup hebat.
c. Faktor sosio-kultural
Beberapa penyebab gangguan jiwa menurut Wahyu (2012) yaitu :
1) Penyebab primer (primary cause)
Kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya
gangguan jiwa, atau kondisi yang tanpa kehadirannya suatu
gangguan jiwa tidak akan muncul.
2) Penyebab yang menyiapkan (presdiposing cause)
Menyebabkan seseorang rentan terhadap salah satu bentuk
gangguan jiwa.
3) Penyebab yang pencetus (presipitating cause)
Ketegangan-ketegangan atau kejadian-kejadian traumatik
yang langsung dapat menyebabkan gangguan jiwa atau

28
mencetuskan gangguan jiwa.
4) Penyebab menguatkan (reinforcing cause)
Kondisi yang cenderung mempertahankan atau
mempengaruhi tingkah laku maladaptif yang terjadi.
5) Multiple cause
Serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta saling
mempengaruhi. Dalam kenyataannya, suatu gangguan jiwa jarang
disebabkan oleh satu penyebab tunggal, bukan sebagai hubungan
sebab akibat, melainkan saling mempengaruhi antara satu faktor
penyebab dengan penyebab lainnya.
d. Faktor presipitasi
Faktor stresor presipitasi mempengaruhi dalam kejiwaan
seseorang. Sebagai faktor stimulus dimana setiap individu
mempersepsikan dirinya melawan tantangan, ancaman, atau tuntutan.
Lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri dan komponennya.
Lingkungan dan stresor yang dapat mempengaruhi gambaran diri dan
hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses patologi penyakit,
perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh kembang, dan
prosedur tindakan serta pengobatan (Stuart&Sundeen, 2008).

4. Klasifikasi Gangguan Jiwa


Klasifikasi berdasarkan diagnosis gangguan jiwa menurut Dalami
(2009) dibagi menjadi:

a. Gangguan jiwa psikotik


Gangguan jiwa psikotik yang meliputi gangguan otak organik
ditandai dengan hilangnya kemampuan menilai realita, ditandai
waham (delusi) dan halusinasi, misalnya skizofrenia

29
1) Skizofrenia
a) Definisi
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai
dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan perilaku,
pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak
salaing berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian
yang keliru afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai
gangguan aktifitas motorik yang bizzare (perilaku aneh),
pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan,
sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh
delusi dan halusinasi.
Orang-orang yang menderita skozofrenia umunya
mengalami beberapa episode akut simtom–simtom, di antara
setiap episode mereka sering mengalami simtom–simtom
yang tidak terlalu parah namun tetap sangat mengganggu
fungsi mereka. Komorbiditas dengan penyalahgunaan zat
merupakan masalah utama bagi para pasien skizofrenia,
terjadi pada sekitar 50 persennya. (Konsten & Ziedonis.
1997, dalam Davison 2010).
b) Jenis- jenis Skizofrenia
Kraeplin (dalam Maramis, 2009) membagi skizofrenia
menjadi beberapa jenis. Pembagiannya adalah sebagai
berikut:
(1) Skizofrenia paranoid
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah mulai 30
tahun. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat
digolongkan schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka

30
menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada
orang lain.
(2) Skizofrenia hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan
sering timbul pada masa remaja atau antara 15 – 25
tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses
berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi
atau double personality. Gangguan psikomotor seperti
mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan
sering terdapat pada skizofrenia heberfrenik, waham dan
halusinasinya banyak sekali.
(3) Skizofrenisa katatonik
Timbulnya pertama kali antara usia 15 sampai 30
tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres
emosional.
Gejala yang penting adalah gejala psikomotor seperti:
- Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup, muka
tanpa mimik, seperti topeng, stupor penderita tidak
bergerak sama sekali untuk waktu yang sangat lama,
beberapa hari, bahkan kadang-kadang beberapa bulan.
- Bila diganti posisinya penderita menentang.
- Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga
terkumpul di dalam mulut dan meleleh keluar, air seni
dan feses ditahan.
- Terdapat grimas dan katalepsi.
(4) Skizofrenia simpleks
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas.
Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan

31
emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali ditemukan.
(5) Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia
dengan riwayat sedikitnya satu episode psikotik yang
jelas dan gejala-gejala berkembang kearah gejala negatif
yang lebih menonjol. Gejala negatif terdiri dari
kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas,
penumpukan afek, pasif dan tidak ada inisiatif,
kemiskinan pembicaraan, ekspresi non-verbal yang
menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi
sosial.
b. Gangguan jiwa neurotik
Gangguan kepribadian dan gangguan jiwa yang lainnya
merupakan suatu ekspresi dari ketegangan dan konflik dalam jiwanya,
namun umumnya penderita tidak menyadari bahwa ada hubungan
antara gejala-gejala yang dirasakan dengan konflik emosinya.
Gangguan ini tanpa ditandai kehilangan intrapsikis atau peristiwa
kehidupan yang menyebabkan kecemasan (ansietas), dengan gejala-
gejala obsesi, fobia, dan kompulsif. Depresi merupakan salah satu
jenis gangguan jiwa neurotik. Depresi adalah penyakit jiwa akibat
dysphoria (merasa sedih), tak berdaya, putus asa, mudah tersinggung,
gelisah atau kombinasi dari karakteristik ini. Penderita depresi sering
mengalami kesulitan dengan memori, konsentrasi, atau mudah
terganggu dan juga sering mengalami delusi atau halusinasi.

32
5. Terapi Pasien Gangguan Jiwa
a. Terapi psikofarmaka
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja
secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek
utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi
gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup
klien (Hawari, 2001).
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan,
diantaranya: antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas,
antiinsomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif. Pembagian
lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic,
antidepressants dan psikomimetika (Hawari, 2001).
b. Terapi somatik
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat
gangguan jiwa sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem
tubuh lain. Salah satu bentuk terapi ini adalah Electro Convulsive
Therapy (ECT).
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup
menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang
terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui,
tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan
biokimia di dalam otak (Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin)
mirip dengan obat anti depresan. (Townsend alih bahasa Daulima,
1998).
c. Terapi Modalitas

33
Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien
gangguan yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien
gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang
adaptif.
Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:
1) Terapi individual
2) Terapi lingkungan
3) Terapi kognitif
4) Terapi keluarga
5) Terapi kelompok
6) Terapi bermain

C. Kepatuhan Minum Obat


1. Pengertian Kepatuhan Minum Obat
Ada beberapa macam terminologi yang biasa digunakan dalam
literatur untuk mendeskripsikan kepatuhan pasien diantaranya
compliance, adherence, dan persistence. Compliance adalah secara pasif
mengikuti saran dan perintah dokter untuk melakukan terapi yang sedang
dilakukan (Osterberg & Blaschke, 2005). Adherence adalah sejauh mana
pengambilan obat yang diresepkan oleh penyedia layanan kesehatan.
Tingkat kepatuhan (adherence) untuk pasien biasanya dilaporkan sebagai
persentase dari dosis resep obat yang benar-benar diambil oleh pasien
selama periode yang ditentukan (Osterberg & Blaschke, 2005).
Di dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan mengacu kepada
situasi ketika perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang
dianjurkan atau nasehat yang diusulkan oleh seorang praktisi kesehatan
atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya seperti
nasehat yang diberikan dalam suatu brosur promosi kesehatan melalui

34
suatu kampanye media massa (Ian & Marcus, 2011).
Menurut Kozier (2010) kepatuhan adalah perilaku individu
(misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya
hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat
dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi
rencana.
Kemudian Taylor (1991), mendefinisikan kepatuhan terhadap
pengobatan adalah perilaku yang menunjukkan sejauh mana individu
mengikuti anjuran yang berhubungan dengan kesehatan atau penyakit.
Dan Delameter (2006) mendefinisikan kepatuhan sebagai upaya
keterlibatan aktif, sadar dan kolaboratif dari pasien terhadap perilaku
yang mendukung kesembuhan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
kepatuhan terhadap pengobatan adalah sejauh mana upaya dan perilaku
seorang individu menunjukkan kesesuaian dengan peraturan atau anjuran
yang diberikan oleh professional kesehatan untuk menunjang
kesembuhannya.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan


Menurut Kozier (2010), faktor yang mempengaruhi kepatuhan
adalah sebagai berikut:
a. Motivasi pasien untuk sembuh
b. Tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan
c. Persepsi keparahan masalah kesehatan
d. Nilai upaya mengurangi ancaman penyakit
e. Kesulitan memahami dan melakukan perilaku khusus
f. Tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi
g. Keyakinan bahwa terapi yang diprogramkan akan membantu atau

35
tidak membantu
h. Kerumitan, efek samping yang diajukan

3. Pengawas Minum Obat (PMO) pada ODGJ


a. Definisi PMO
Menurut Depkes RI (1999) PMO adalah seseorang yang
ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita
dalan meminum obatnya secara teratur. PMO bisa berasah dari
keluarga, tetangga, kader, atau tokoh masyarakat atau petugas
kesehatan.
Pengawas Minum Obat merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk menjamin kepatuhan penderita untuk minum obat sesuai dengan
dosis dan jadwal yang telah ditetapkan.
b. Tugas PMO
Menurut Depkes RI (1999), seseorang yang telah ditunuk
menjadi PMO mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1) Mengikuti pelatihan singkat dari petugas kesehatan
mengenai penyakit, perlunya minum obat dengan teratur.
2) Mengawasi minum obat di rumah
3) Mencatat obat yang telah di minum dan keluhan yang
dialami
4) Ikut serta dalam pengambilan obat.
5) Memberikan motivasi agar patuh minum obat.

D. Hipotesis
Terdapat pengaruh dari promosi kesehatan terhadap pengetahuan kepatuhan
minum obat pada pengawas minum obat pasien gangguan jiwa tipe psikotik
di Desa Trikarso, Kecamatan Sruweng.

36
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian
eksperimental kuasi dengan rancangan one group pre-posttest design. Bentuk
rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Subyek Pre test Perlakuan Post test
K O I O1
Time 1 Time 2 Time 3

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Desa Trikarso Kecamatan Sruweng, yang
merupakan wilayah desa Puskesmas Sruweng. Penelitian dilaksanakan pada
tanggal 12 Oktober 2018.

C. Subyek Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota keluarga dari
pasien yang terdiagnosis gangguan jiwa tipe psikotik.

2. Sampel penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau
yang dapat dipergunakan sebagai subyek penelitian terpilih melalui
sampling. Karakteristik sampel penelitian adalah :
a. Kriteria inklusi
1) Anggota keluarga pasien yang terdiagnosis gangguan jiwa
tipe psikotik

37
2) Bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi
1) Tidak mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
2) Buta huruf / tidak bias baca tulis

D. Teknik Sampling
Teknik sampling adalah teknik yang digunakan untuk mengambil
sampel dari populasi. Sampling adalah suatu proses penyaringan proporsi dari
populasi yang dapat mewakili populasi (Setiadi, 2007). Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik accidental sampling, yaitu
teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan dimana siapa saja yang
secara kebetulan/ incidental bertemu dengan peneliti dan dapat digunakan
sebagai sampel penelitian karena memenuhi kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi (Sugiyono, 2012).

E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah promosi kesehatan
tentang kepatuhan minum obat pada pengawas minum obat pasien
gangguan jiwa tipe psikotik.

2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pengetahuan pengawas
minum obat mengenai kepatuhan minum obat pasien gangguan jiwa tipe
psikotik.

F. Definisi Operasional

38
1. Promosi kesehatan
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui pembelajaran diri oleh dan untuk masyarakat agar
dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung
oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kemenkes, 2011).
Pada penelitian ini responden penelitian akan diberikan promosi
kesehatan berupa penyuluhan tentang kepatuhan minum obat gangguan
jiwa tipe psikotik.
Promosi kesehatan tentang kepatuhan minum obat ini adalah upaya
penyebarluasan dengan memberikan informasi tentang kesehatan jiwa,
tindakan penanganan pasien jiwa dan kepatuhan minum obat, secara
tatap langsung kepada pengawas minum obat (keluarga pasien) dan
menggunakan metode ceramah dan tanya jawab.

2. Pengetahuan
Pengetahuan yaitu pengetahuan yang dimiliki responden mengenai
kepatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa tipe psikotik.
Pengetahuan yang diharapkan dimiliki oleh responden yaitu meliputi :
a. Pengertian sehat jiwa, pengertian stres dan cara kelola stres
b. Pengertian dan jenis–jenis gangguan jiwa
c. Tindakan menangani pasien–pasien gangguan jiwa
d. Pemberian obat secara rutin pada pasien gangguan jiwa
e. Prinsip pemberian obat dan efek samping obat
f. Tanda kegawatan psikiatri dan tanda kekambuhan pada pasien dengan
gangguan jiwa
Tingkat pengetahuan diukur dengan instrumen yang berupa
kuisioner tingkat pengetahuan. Untuk keperluan statistik maka skor

39
menggunakan skala rasio dengan nilai persentase jawaban benar.

G. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner untuk
mengumpulkan data mengenai pengetahuan, sedangkan media yang
digunakan untuk penyuluhan kesehatan yaitu slide penyuluhan dengan media
laptop untuk presentasi.

H. Analisis Data
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan diuji
normalitas serta homogenitasnya dengan uji Saphiro Wilk-Kolmogorov
Smirnov, kemudian dilanjutkan dengan uji T berpasangan menggunakan
program SPSS 21.

40
BAB IV
ANALISIS DATA

A. Profil Puskesmas Sruweng


1. Pemetaan Wilayah
a. Keadaan geografi
UPTD Unit Puskesmas Sruweng memiliki wilayah yang terdiri dari
21 Desa terletak pada posisi 7⁰ - 8⁰ lintang selatan dan posisi 109⁰ -
110⁰ bujur timur, dan berbatasan wilayah dengan :
sebelah barat : Kecamatan Karanganyar
sebelah timur : Kecamatan Pejagoan
sebelah utara : Kecamatan Karanggayam
sebelah selatan : Kecamatan Petanahan
Gambar 2. Peta Wilayah Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen

41
Luas wilayah UPTD Unit Puskesmas Sruweng yakni 437.243,85
Ha, yang terlintasi jalur selatan Pulau Jawa dengan topografi 40% daerah
pegunungan/bukit dan 60% merupakan daerah dataran, UPTD Unit
Puskesmas Sruweng juga terlintasi jalur rel kereta api yang
menghubungkan Jakarta - Surabaya.
Secara adminstratif UPTD Unit Kecamatan Sruweng mempunyai
21 desa dengan keadaan wilayah :

1 Menganti Dataran 12 Karangsari Bukit


2 Trikarso Dataran 13 Karangpule Bukit
3 Sidoharjo Dataran 14 Pakuran Bukit
4 Giwangretno Dataran 15 Pengempon Bukit
5 Jabres Dataran 16 Kejawang Bukit
6 Sruweng Dataran 17 Karangjambu Bukit
7 Karanggedang Dataran 18 Penusupan Bukit
8 Purwodeso Dataran 19 Donosari Bukit
9 Klepusanggar Dataran 20 Pandansari Bukit
10 Tanggeran Dataran 21 Condongcampur Bukit
11 Sidoagung Dataran
Tabel 1. Keadaan Wilayah 21 Desa di Kecamatan Sruweng

Analogi pembagian dan pemanfaatan lahan di wilayah kerja UPTD


Unit Puskesmas Sruweng adalah sebagai berikut ;
tanah sawah : 1.367.000 Ha
tanah kering : 740.000 Ha
pekarangan/ bangunan : 2.261.000 Ha

42
Gambaran lebih rinci luas wilayah per desa dapat dilihat pada
grafik dibawah ini:

Gambar 3. Grafik Luas Desa Kecamatan Sruweng

b. Keadaan dermografi
Jumlah penduduk Kecamatan Sruweng Kabupaten Kebumen Tahun
2017 adalah 61.803 jiwa (Sumber Disdukcapil) yang tersebar di 21 desa
di Kecamatan Sruweng dengan 19.030 KK atau rata-rata ART per rumah
tangga 3,25. dengan pengertian bahwa setiap rumah tangga di Kecamatan
Sruweng pada umumnya terdiri dari 3 anggota rumah tangga. Jumlah
penduduk terbesar di Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen berada

43
di Desa Sidoagung karena Desa Sidoagung adalah desa terluas di
Kecamatan Sruweng dengan jumlah penduduk 6.791 jiwa. Sedangkan
penduduk terkecil berada di Desa Karangsari dengan jumlah penduduk
890 jiwa.
Gambaran penyebaran jumlah penduduk lebih rinci dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :

Gambar 4. Grafik Persebaran Jumlah Penduduk Kecamatan Sruweng


Tahun 2017
c. Sarana Kesehatan
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, UPTD Puskesmas
Sruweng mempunyai:
1) Sarana gedung

44
Sarana gedung berupa 1 Puskesmas induk yang berada di Desa
Karanggedang dan 4 Puskesmas Pembantu (Karangjambu,
Karangpule, Trikarso & Pengempon).
2) Sarana kesehatan bersumber daya masyarakat
Dalam rangka memberdayakan yang bersumber daya masyarakat
wilayah Puskesmas Sruweng memiliki Posyandu sejumlah 104,
PKD/POSKESDES 18.

d. Tenaga Kesehatan
Pada tahun 2017 Puskesmas Sruweng memiliki sejumlah tenaga
kesehatan yang terdiri dari :
1. Tenaga medis : 2 orang yaitu 1 dokter umum dan 1 dokter gigi
2. Perawat / bidan : perawat 10 orang /bidan 25 orang
3. Perawat gigi : 1 orang
4. Farmasi : 1 orang
5. Gizi : 1 orang
6. Teknis medis : 1 orang
7. Sanitasi : 1 orang
8. Sarjana kesehatan : 1 orang
9. Wiyata bakti : 13 orang
Tenaga penunjang kesehatan lain
1. Penunjang administrasi :3
2. Juru mudi :1

B. Analisa Data
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen untuk mengetahui
promosi kesehatan terhadap pengetahuan kepatuhan minum obat pada
pengawas minum obat pasien gangguan jiwa tipe psikotik. Rancangan

45
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu one group pretest-
posttest design. Berdasarkan rancangan one group pretest-posttest design,
eksperimentasi hanya dilakukan pada satu kelompok dimana pada kelompok
tersebut diberikan tes awal (pretest) lalu diberikan perlakuan kemudian
diadakan tes akhir (posttest). Adapun kelompok yang dijadikan sebagai
sampel penelitian adalah pengawas minum obat pada pasien gangguan jiwa
tipe psikotik di Desa Trikarso yang berjumlah 16 orang.
Pengumpulan data penelitian dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada
saat tes awal (pretest) dan pada saat tes akhir (posttest) sesudah perlakuan.
Adapun bentuk perlakuan yang diberikan adalah promosi kesehatan tentang
kepatuhan minum obat pada pengawas minum obat pasien gangguan jiwa tipe
psikotik. Dalam setiap tes baik itu tes awal maupun tes akhir, setiap pengawas
minum obat mengerjakan soal kuisioner yang sudah disediakan. Untuk lebih
jelasnya, ringkasan data hasil penelitian tes awal dan tes akhir dapat dilihat
pada tabel sebagai berikut.

NO Nilai Pretest Nilai Posttest


1 73 87
2 87 100
3 87 93
4 67 87
5 53 80
6 27 73
7 73 80
8 60 80
9 73 87
10 53 73
11 67 93
12 80 87

46
13 53 67
14 67 80
15 73 87
16 40 67
Tabel 2. Nilai Pretest dan Posttest Responden Desa Trikarso
Besarnya perbedaan antara data hasil tes awal (pretest) dan hasil tes
akhir (posttest) tersebut jika dikonversi dalam bentuk histogram, maka
hasilnya akan terlihat sebagai berikut.

Gambar 5. Grafik Hasil Nilai Pretest dan Posttest Responden Desa Trikarso

Berdasarkan bentuk histogram data hasil tes awal (pretest) dan data tes
akhir (posttest), dapat dilihat dengan jelas dimana ada perbedaan antara data
hasil tes awal (pretest) dan data tes akhir (posttest). Namun, perbedaan hasil
tersebut perlu pengujian sesuai dengan metode statistika pengujiannnya.

N Minimum Maximum Mean Std.


Deviation
pretest 16 27 87 64,56 16,297
posttest 16 67 100 82,56 9,359
Valid N
16
(listwise)
Tabel 3. Deskriptif Statistik

47
Berdasarkan pada tabel 2 dan tabel 3 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Skor tertinggi pada pretest adalah 87 kemudian pada posttest skor
tertinggi meningkat yaitu 100 dengan selisih 13.
2. Skor terendah pada pretest adalah 27 kemudian pada posttest skor
terendah meningkat yaitu 67 dengan selisih 40.
3. Rata-rata skor pada pretest adalah 64,56 kemudian pada posttest skor
rata-rata menjadi 82,56 dengan selisih keduanya adalah 18,00.
4. Standar deviasi skor pada pretest adalah 16,297 kemudian pada posttest
nilai standar deviasi skor yaitu 9,359 dengan selisih keduanya adalah
6,941.

Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan uji T-test. Pengujian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah hasil penelitian ini sesuai dengan
hipotesis yang diajukan atau tidak. Adapun kriteria pengujian sebagai berikut.
Ho: 1 ≥ 2
H1: 1 < 2
Keterangan
H0 = tidak terdapat perbedaan rata-rata setelah diberikan promosi
kesehatan berupa penyuluhan tentang kepatuhan minum obat pada
pengawas minum obat pasien gangguan jiwa tipe psikotik
H1 = terdapat perbedaan rata-rata setelah diberikan promosi kesehatan
berupa penyuluhan tentang kepatuhan minum obat pada pengawas
minum obat pasien gangguan jiwa tipe psikotik
Selanjutnya untuk mempermudah pengujian, perlu diadakan
perhitungan data. Perhitungan data hasil penelitian ini menggunakan program

48
Microsoft Excel 2010. Sebelum diadakan uji rata-rata, perlu diadakan uji
normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan Saphiro-Wilk.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
pretest ,184 16 ,148 ,935 16 ,297
posttest ,182 16 ,161 ,947 16 ,436
Tabel 4. Uji Normalitas

Pada tabel di atas menunjukkan signifikasi distribusi data > 0,05.


Sehingga dapat disimpulkan hasil analisis normalitas data bahwa data
terdistribusi normal.

Selanjutnya dilakukan uji T berpasangan untuk mengetahui korelasi


data.

N Correlation Sig.
Pair 1 pretest & posttest 16 ,825 ,000
Tabel 5. Korelasi Sampel Berpasangan

Paired Differences t df Sig. (2-


Mean Std. Std. 95% Confidence tailed)
Deviat Error Interval of the
ion Mean Difference
Lower Upper
Pair pretest - -
10,073 2,518 -23,368 -12,632 -7,148 15 ,000
1 posttest 18,000
Tabel 6. Uji Sampel Berpasangan

49
Dari hasil uji dengan menggunakan T-test didapatkan hasil berupa
korelasi kuat dengan nilai 0,825 dan hipotesis terbukti bahwa terdapat
pengaruh promosi kesehatan terhadap pengetahuan kepatuhan minum obat
pada pengawas minum obat pasien gangguan jiwa tipe psikotik dengan nilai
signifikansi P = 0,000 dimana H0 ditolak, artinya terdapat pengaruh promosi
kesehatan terhadap pengetahuan kepatuhan minum obat pada pengawas
minum obat pasien gangguan jiwa tipe psikotik di Desa Trikarso.

50
BAB V
PEMBAHASAN

Penyuluhan yang merupakan suatu bentuk promosi kesehatan mengenai


kepatuhan minum obat pada pasien dengan gangguan jiwa tipe psikotik dilakukan
selama bulan Oktober 2018. Sampel yang diambil dalam penyuluhan ini ialah
salah satu dari anggota keluarga pasien dengan gangguan jiwa tipe psikotik di
Desa Trikarso, Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen. Sebelum dilakukan
penyuluhan, para responden diperintahkan untuk mengisi kuisioner tentang
pengetahuan kepatuhan minum obat pada pasien dengan gangguan jiwa tipe
psikotik (pretest). Selanjutnya, para responden diberikan materi penyuluhan
mengenai kesehatan jiwa dan kepatuhan minum obat, selanjutnya diteruskan
dengan sesi diskusi serta tanya jawab mengenai materi yang telah disampaikan. Di
akhir acara, para responden kembali mengisi kuisioner yang sama (posttest).
Kuisioner yang digunakan berisi 15 pertanyaan mengenai pengertian sehat
jiwa, jenis dan ciri gangguan jiwa, pemberian obat secara rutin pada ODGJ,
prinsip pemberian obat dan efek samping obat, tanda kekambuhan pada ODGJ,
dan tanda kegawatan psikiatri.
Hasil dari penelitian yang dapat dilihat pada tabel uji T-test menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap pengetahuan pengawas
minum obat pasien dengan gangguan jiwa tipe psikotik setelah diberikan promosi
kesehatan berupa kepatuhan minum obat (P=0,000). Korelasi yang kuat dari
pemberian promosi kesehatan dengan tingkat pengetahuan pengawas minum obat
mengenai kepatuhan minum obat pada pasien dengan gangguan jiwa tipe psikotik
juga nampak pada hasil pengujian dengan nilai 0,825.
Pengetahuan yang baik diharapkan dapat membawa dampak positif terhadap
perilaku mengenai kesehatan, dalam hal ini utamanya kesehatan jiwa. Hal ini

51
sejalan dengan teori bahwa promosi kesehatan direncanakan untuk memudahkan
perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
Banyaknya jumlah penderita gangguan jiwa di Jawa Tengah semakin
meningkat, khususnya di Kabupaten Kebumen, Kecamatan Sruweng. Hal ini
menimbulkan permasalahan lain, yaitu munculnya ketidakpatuhan minum obat
dan follow up pada pasien-pasien yang sudah terdeteksi gangguann jiwa dimana
hal tersebut akan mengganggu efektivitas manajemen dari pengobatan dan
harapan kesembuhan pada penderita gangguan jiwa (Adeponle et al, 2009).
Ketidakpatuhan terhadap minum obat merupakan masalah utama dalam
kekambuhan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam minum
obat yaitu kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya
tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan
dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit, mahalnya
harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin
bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat itu kepada pasien
(Tambayong, 2002).
Keluarga pasien perlu mempunyai sikap yang positif untuk mencegah
kekambuhan pada pasien skizofrenia. Keluarga perlu memberikan dukungan
(support) kepada pasien untuk meningkatkan motivasi dan tanggung jawab untuk
melaksanakan perawatan secara mandiri. Keluarga perlu mempunyai sikap
menerima pasien, memberikan respon positif kepada pasien, menghargai pasien
sebagai anggota keluarga dan menumbuhkan sikap tanggung jawab pada pasien.
Sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga terhadap pasien akan
berpengaruh terhadap kekambuhan pasien. Dukungan keluarga sangat penting
untuk membantu pasien bersosialisasi kembali, menciptakan kondisi lingkungan
suportif, menghargai pasien secara pribadi dan membantu pemecahan masalah
pasien (Keliat, 1996).

52
Dibentuknya Pengawas Minum Obat bertujuan untuk menjamin kepatuhan
penderita untuk minum obat sesuai dengan dosis dan jadwal yang telah ditetapkan
(Depkes RI, 1999). PMO bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader, atau tokoh
masyarakat atau petugas kesehatan dan bermanfaat dalam keberhasilan terapi
terhadap pasien gangguan jiwa tipe psikotik. Dengan adanya PMO, diharapkan
cakupan keberhasilan pengobatan pada pasien gangguan jiwa tipe psikotik dapat
mencapai target.

53
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian kegiatan yang dilakukan di Desa Trikarso,
Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen mengenai pengaruh promosi
kesehatan terhadap pengetahuan kepatuhan minum obat pada pengawas
minum obat pasien gangguan jiwa tipe psikotik didapatkan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh promosi kesehatan terhadap pengetahuan kepatuhan
minum obat pada pengawas minum obat pasien gangguan jiwa tipe
psikotik di Desa Trikarso, Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen.
2. Terdapat korelasi yang kuat anatara promosi kesehatan dengan
pengetahuan kepatuhan minum obat pada pengawas minum obat pasien
gangguan jiwa tipe psikotik di Desa Trikarso, Kecamatan Sruweng,
Kabupaten Kebumen
B. Saran
1. Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan lebih aktif berpartisipasi dalam menyukseskan
program Pengawas Minum Obat pada pasien dengan gangguan jiwa tipe
psikotik demi tercapainya harapan kesembuhan yang lebih tinggi.
2. Bagi Puskesmas
a. Mendorong para Pengawas Minum Obat untuk menjaga komitmen
dalam mengawasi dan memberikan perhatian terhadap kepatuhan
minum obat pada pasien dengan gangguan jiwa tipe psikotik.
b. Mengadakan penyegaran pengetahuan para Pengawas Minum Obat
mengenai kepatuhan minum obat pada pasien dengan gangguan jiwa
tipe psikotik setidaknya setiap tiga bulan sekali.
DAFTAR PUSTAKA

54
Albery, Ian P. & Marcus Munafo. 2011. Psikologi Kesehatan Panduan Lengkap
dan Komprehensif Bagi Studi Psikologi Kesehatan. Cetakan I.
Yogyakarta : Palmall.
Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes RI.
Dalami, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa.
Jogjakarta : Trans Info Media.
Davidson, G.C.2010. Psikologi Abnormal. Jakarta : PT Rajagrafindo permai.
Delamater, AM. 2006. Improving Patient Adherence. Clinical Diabetes. 24 (2) :
71-77.
Hawari D. 2001. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa. Jakarta : FKUI
Hidayat, A.A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data,.
Penerbit Salemba medika
Iyus, Yosep. 2007. Keperawatan Jiwa, Edisi 1. Jakarta : Refika Aditama.
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat. Jakarta: Kementrian Kesehatan.
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Promosi Kesehatan. Jakarta: Kementria
Kesehatan.
Kozier, Erb., Berman., Snyder. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses &Praktik. Edisi 7. Jakarta:EGC
Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga.
Maslim. R.. 2002. Gejala Depresi, Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
Dari PPDGJ-III. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya, 58-65.
Maulana, Heri, d.j. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka

55
Cipta.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Osterberg L dan Blaschke T. 2005. Adherence to Medication, The New England
Journal of Medicine. 353, 487-97.
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Stuart GW dan Laura MT. 2005. Principle and Practice of Psychiatric Nursing
(7th Ed.). St Louis: Mosby, Inc.
Stuart GW dan Sundeen. 2008. Buku Saku Keperawatan Jiwa (edisi 3), alih
bahasa, Achir Yani, editor Yasmin Asih. Jakarta: EGC.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Cetakan ke
17. Bandung: Alfabeta.
Taylor, SE. 1991. Health Psychology 2 nd Edition. University of California, Los
Angeles: MGraw-Hill, Inc.
Townsend MC. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan
Psikiatri. Alih Bahasa Daulima. Edisi 3 Jakarta : EGC
Wardani IY et al. 2012. Dukungan Keluarga: Faktor Penyebab Ketidakpatuhan
Klien Skizofrenia Menjalani Pengobatan. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 15 (1); 1-6.

56
LAMPIRAN

Lampiran 1

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Yang bertanda tangan dibawah ini


Nama :
Umur :
Alamat :

Maka dengan sadar saya menyatakan bersedia untuk menjadi responden program
Pengawas Minum Obat pada pasien dengan gangguan jiwa.

Kebumen, .......................................
Yang memberi persetujuan

(..........................................)

Nama :

57
Umur :

KUISIONER PRETEST/POSTEST
Berikan tanda centang ( √) pada jawaban yang Anda anggap benar.
Benar Salah
1 Seseorang dikatakan sehat apabila Ia sehat fisik dan sehat
jiwa
2 Mudah bergaul, emosi stabil, cukup bahagia merupakan
contoh dari ciri – ciri orang sehat jiwa
3 Stres merupakan reaksi fisik dan psikis
apabilaadaperubahandarilingkungan yang
mengharuskanseseorangmenyesuaikandiri
4 Orang dengan gangguan cemas memiliki rasa khawatir
yang berlebihan dan tidak mengganggu aktivitasnya
5 Beberapa ciri – ciri gangguan depresi : merasa sedih, tidak
nafsu makan, ide bunuh diri, semangat menurun
6 Tuan A, 40 tahun, sering berbicara sendiri, percaya bahwa
dirinya seorang utusan dari Nyi Roro Kidul, sulit tidur dan
sering mengamuk. Tuan A mengalami gangguan jiwa tipe
psikotik
7 Tuan A (pada soal nomor 6), tidak perlu berobat
8 Tuan A (pada soal nomor 6), perlu di pasung
9 Pemberian obat secara rutin pada penderita gangguan jiwa
dapat memperbaiki fungsi mental dan menurunkan fungsi
otak
10 Prinsip pemberian obat ada 5 benar yaitu benar pasien,
benar obat, benar dosis, benar waktu dan benar cara
pemberian

58
11 Penderita bosan minum obat sehingga penderita teratur
minum obat
12 Penderita tidak teratur minum obat sehingga pengobatan
penderita akan menjadi lebih lama
13 Membantu berinteraksi sosial dan mengawasi minum obat,
merupakan peran keluarga dalam proses penyembuhan
penderita gangguan jiwa
14 Penderita dimarahi agar teratur minum obat
15 Kejang otot merupakan salah satu efek samping obat dan
sekaligus tanda kegawatan

59
Lampiran 2
Foto Kegiatan

60
Lampiran 3
Foto produk
1. Buku Pengawas Minum obat

61
2. Lembar Anamnesis Psikiatri dan Buku Pedoman Diagnosis Psikiatri

3. Poster

62
63

Anda mungkin juga menyukai