Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

“Delayed Milestone ec Cerebral Palsy Spastic Type”

Diajukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh:

Desnal Rantetampang. NIM: 2022086016620


Renaldy Nayoan Sutrahitu. NIM: 2019086016539
Yacob Sarwuna. NIM: 2020086016387

Pembimbing:
dr. Rini L Ansanay Sp.KFR
dr. Octaviany Hidemi M Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


SMF REHABILITASI MEDIK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2023

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
“Delayed Milestone ec Cerebral Palsy Spastic Type”

Dipresentasikan oleh:
Desnal Rantetampang. NIM 2022086016620
Renaldy Nayoan Sutrahitu. NIM: 2019086016539
Yacob Sarwuna. NIM: 2020086016387

Telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Tugas Akhir Kepaniteraan
Klinik Madya (KKM) pada bagian SMF Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Daerah
Jayapura / Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih periode 19 Juni 2023 sampai
01 Juli 2023.

Jayapura, 30 Juli 2023

Pembimbing

dr. Rini Lestari Ansanay, Sp.KFR dr. Octaviany Hidemi M Sp.KFR

ii
LEMBAR PENILAIAN LAPORAN KASUS

Hari/Tanggal : 30 Juni 2023


Pembimbing : dr. Rini Lestari Ansanay, Sp.KFR
dr. Octaviany Hidemi M Sp.KFR

Judul : “Delayed Milestone ec Cerebral Palsy Spastic Type”

NO NAMA NILAI
1. Desnal Rantetampang
(2022086016620)

2. Renaldy Nayoan Sutrahitu.


NIM: 2019086016539

3. Yacob Sarwuna.
NIM: 2020086016387

Pembimbing

dr. Rini Lestari Ansanay, Sp.KFR dr. Octaviany Hidemi M Sp.KFR

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................ii

LEMBAR PENILAIAN LAPORAN KASUS.........................................................................iii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iv

DAFTAR TABEL.......................................................................................................................v

DAFTAR GAMBAR................................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3

2.1 Definisi.............................................................................................................................3

2.2 Epidemiologi....................................................................................................................3

2.3 Etiologi.............................................................................................................................3

2.4 Faktor Risiko....................................................................................................................4

2.5 Patofisiologi.....................................................................................................................5

2.6 Klasifikasi........................................................................................................................5

2.7 Gejala Klinis.....................................................................................................................9

2.8 Manifestasi Klinis..........................................................................................................10

2.9 Diagnosis........................................................................................................................11

BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................................15

3.1 Identitas..........................................................................................................................15

3.2 Anamnesis......................................................................................................................15

3.3 Pemeriksaan fisik...........................................................................................................16

BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................................21

BAB V PENUTUP...................................................................................................................24

5.1 Kesimpulan....................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................25

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Faktor Resiko Cerebral Palsy.......................................................................................4


Tabel 2. GMFCS Anak Usia Kurang dari 2 Tahun.....................................................................9

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. GMFCS pada anak usia 6 sampai 12 tahun..............................................................8

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Cerebral palsy (CP) merupakan suatu keadaan dimana terjadi kelumpuhan otak yang
menghambat tumbuh kembang anak. Brunner dan Suddarth mengartikan kata cerebral itu
sendiri adalah otak, sedangkan palsy adalah kelumpuhan, kelemahan, atau kurangnya
pengendalian otot dalam setiap pergerakan atau bahkan tidak terkontrol. Kerusakan otak
tersebut mempengaruhi system dan penyebab anak mempunyai kordinasi yang buruk,
keseimbangan yang buruk, pola-pola gerakan yang abnormal atau kombinasi dari karakter –
karakter tersebut (hidayat, 2010).
Berdasarkan gejala klinis dan fisiologis gangguan gerak spastik ditandai dengan adanya
kekakuan pada sebagian atau seluruh otot. Letak kelainan cerebral palsy jenis ini ada di
tractus pyramidalis (motor cortex). American Academy for Cerebral Palsy mengemukakan
klasifikasi gambaran klinis cerebral palsy sebagai berikut, klasifikasi neuromotorik yaitu,
spastik, atetosis, rigiditas, ataxia, tremor, dan mixed. Klasifikasi distribusi topografi
keterlibatan neuromotorik: diplegi, hemiplegi, triplegi, dan quadriplegi yang pada masing-
masing dengan tipe spastik (Sunusi dan Nara, 2007).
Berdasarkan penelitian National Intitute of Neurogical Disorder and Stroke (NINDS)
pada tahun 2000, menyatakan bahwa 2-3 bayi per 1000 kelahiran menderita cerebral palsy.
Menurut Garrison pada 2005, angka kejadiannya adalah kurang lebih 5.5 per 1000 kelahiran
dan tersebar merata pada kedua jenis kelamin, segala ras dan berbagai Negara. Resiko
terkena cerebral palsy meningkat tajam seiring dengan berat badan lahir rendah, bayi yang
berat badan lahir kurang dari 1000 gram mempunyai resiko tinggi 40 kali lipat dibandingkan
dengan bayi yang berat badan lahirnya normal (2,5 kg–4 kg). Serta menurut Trombly (1989)
usia ibu saat hamil > 40 tahun lebih beresiko melahirkan anak dengan cerebral palsy
dibandingkan ibu hamil < 40 tahun.
Permasalahan yang sering terjadi pada kasus diatas adalah gangguan postur dan control
gerakan yang bersifat non progresif yang disebabkan oleh karena lesi atau perkembangan
abnormal pada otak yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya yang ditandai
dengan meningkatnya reflek tendon, stretch reflek yang berlebihan, lingkup gerak sendi
menurun, gangguan keseimbangan hipertonus dan spasme otot pada keempat ekstremitas dan
klonus yang terjadi pada anggota gerak bawah.

1
Pada kasus cerebral palsy tipe spastic quadriplegy permasalahan utama yang terjadi
adalah gangguan motoris berupa spastisitas antara lain peningkatan ketegangan otot pada
keempat anggota gerak seperti lengan atas, lengan bawah, tungkai atas, tungkai bawah, dan
kaki. Selain itu juga menghambat tumbuh kembang motorik pada anak dimana terjadi
keterbatasan untuk melakukan aktivitas-aktivitas sehari-hari yang seharusnya bisa dilakukan
sesuai dengan umur perkembangan anak. Adanya permasalahan akibat gangguan motorik
menyebabkan diperlukannya rehabilitasi medis agar dapat membantu pasien untuk dapat
beraktifitas secara mandiri melalui latihan dan penanaman pola gerak yang fungsional dengan
baik dan benar.
Rehabilitasi adalah semua upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari semua
keadaan yang menimbulkan disabilitas dan atau handicap serta memungkinkan penyandang
disability dan atau handicap untuk berpartisipasi secara aktif dalam lingkungan keluarga atau
masyarakat.
Rehabiliasi dilakukan oleh suatu tim rehabilitasi yang terdiri dari dokter rehabilitasi
medis, fisioterapis, terapi okupasi, perawat rehabilitasi, pekerja social medis, terapis wicara,
psikolog, ortotis prostetis, dan lain-lain. Tim rehabilitasi akan menjadi sangat efektif, apabila
upaya-upaya tersebut di kordinasikan dan diadakan pertemuan secara berkala untuk
membahas megenai kemajuan dan kendala tiap pasien serta ditunjang oleh adanya interaksi
yang baik antara penderita dan keluarganya dengan personal medik.
Manfaat rehabilitasi pada anak dengan cerebral palsy adalah agar penderita cerebral
palsy dapat memaksimalkan kemandirian, mengurangi hambatan, mengatasi emosional,
meningkatkan inklusi (pendekatan dan perubahan) sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup anak-anak dengan cerebral palsy seiring pertumbuhan. Rehabilitasi yang diberikan
pada penderita cerebral palsy akan disesuaikan dengan usia anak, berat atau ringan penyakit,
juga disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga perlakuan ke setiap anak berbeda.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Cerebral palsy (CP) adalah kelompok gangguan motorik yang menetap, tidak
progresif yang terjadi pada anak yang disebabkan oleh kerusakan pada otak akibat
trauma lahir atau patologi intrauterin. Gambaran klinisnya dapat berubah seiring
berjalannya waktu. Gangguan ini ditandai dengan perkembangan motorik yang abnormal
atau terlambat, seperti paraplegia spastik, hemiplagia, atau tetraplagia yang sering
disertai dengan retardasi mental, kejang, atau ataksi (Dorlan, 2008).
Definisi ini menekankan bahwa CP terkait dengan berbagai gangguan yang
disebabkan oleh berbagai faktor yang yaitu seperti masalah pada perkembangan janin
dan juga menyoroti pentingnya komorbiditas yang berhubungan dengan manifestasi
klinis ortopedi dan neurologis (Susan A. Rethlefsen, 2010).
2.2 Epidemiologi
Studi berbasis populasi dari seluruh dunia melaporkan bahwa perkiraan prevalensi
penderita CP mulai dari 1,5 sampai lebih dari 4 per 1.000 kelahiran hidup atau anak-anak
dari rentang usia yang ditentukan. Namun secara keseluruhan prevalensi anak dengan CP
sekitar 2 per 1.000 kelahiran hidup. National Survey of Children’s Health (NSCH) tahun
2012-2013 dan National Health Interview Survey (NHIS) tahun 2011-2013 menetapkan
prevalensi CP melalui laporan orang tua di kalangan anak-anak dengan rentang usia 2-17
tahun. Survei ini menemukan prevalensi CP per 1.000 kelahiran hidup yang berkisar
antara 2,6 pada NSCH dan sampai 2,9 pada NHIS. Rata-rata survei yang dilakukan
menyatakan bahwa penderita CP relatif stabil, namun kontribusi prematuritas serta
komplikasinya terhadap prevalensi sindrom ini terus meningkat akibat dari perbaikan
pada perawatan kebidanan dan neonatal yang masih kurang (Moshe Stavsky, 2017).
Di Indonesia sendiri prevalensi penderita CP diperkirakan sekitar 1-5 per 1000
kelahiran hidup. Diketahui laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, serta sering
kali didapati pada anak pertama (Rizky Wulandri, 2016).
2.3 Etiologi
Cedera pada otak yang belum berkembang dengan sempurna dapat mengakibatkan
CP yang terjadi selama periode prenatal, perinatal, atau postnatal pada kelahiran matur
maupun prematur. Namun sekarang baru diketahui penyebab terbanyak CP berasal dari
cedera selama periode prenatal. Penyebab prenatal yang umum termasuk TORCH

3
(Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex) atau infeksi lainnya, stroke
intrauterin (iskemik dan hemoragik), toksemia, dan malformasi genetik. Etiologi CP pada
periode perinatal yaitu luka-luka yang terjadi selama atau didekat waktu kelahiran yang
mencakup abruptio plasenta, prolaps tali pusat, ruptur uteri atau proses serupa yang dapat
menyebabkan asfiksia. Untungnya hal ini relatif jarang terjadi, dan beberapa studi
berbasis populasi terkontrol telah menunjukkan bahwa masalah pada suplai oksigen ke
janin tidak termasuk kedalam sebagian besar kasus CP. Sedangkan etiologi CP periode
postnatal yaitu termasuk infeksi SSP, masalah serebrovaskular (iskemik dan hemoragik),
cedera kepala, anoxia, kernikterus, dan hidrosefalus progresif (Ratna D, 2008).
2.4 Faktor Risiko
Tabel 1. Faktor Resiko Cerebral Palsy

No. Faktor Risiko yang Terkait dengan Cerebral Palsy


1. General
 Usia gestasi <32 minggu
 Berat lahir <2500 gr
2. Riwayat gestasi
 Retardasi mental
 Seizure disorder
 Hipertiroidisme
 Riwayat 2 atau lebih kematian janin
 Riwayat keluarga dengan defisit motorik
3. Periode gestasi
 Multipel gestasi
 Fetal growth retardation
 Perdarahan pada trimeser 3
 Premature placental separation
 Korionitis
 Peningkatan sekresi proteinuria
 Berat placenta kurang
4. Faktor janin
 Presentasi janin abnormal
 Malformasi janin
 Denyut jantung janin rendah (bradikardia)
 Neonatal seizures
4
2.5 Patofisiologi
Kerusakan pada fase pertumbuhan dapat terjadi pada setiap komponen jaringan otak.
Perubahan neuropatik pada kasus CP bergantung pada patogenesis, derajat, serta lokasi
lesi pada jaringan tersebut. Kerusakan otak yang terjadi dalam masa pertumbuhan sendiri
yaitu pada masa prenatal, perinatal dan postnatal, dimana pada tahun-tahun pertama
kehidupannya. Sedangkan kerusakan pada otak dapat merupakan suatu ensefalopati yang
terjadi akibat hipoksia dan iskemia jaringan otak, perdarahan intrakranial, serta bilirubin
ensefalopati yang terjadi akibat adanya peningkatan serum bilirubin, dengan gambaran
patologi berupa deposit bilirubin pada basal ganglia, hipokampus, nukleus batang otak
dan serebelum, nekrosis neuron dan kelainan kortikal (Ratna D, 2008).
2.6 Klasifikasi
Cerebral palsy dapat diklasifikasikan menurut topografi atau distribusi keterlibatan
anggota badan dan pola spasme, yaitu sebagai berikut:
a. Distribusi keterlibatan anggota badan
 Tetraplegia (quadriplegia)
Melibatkan semua ekstremitas dan tubuh, dimana ekstremitas atas sama atau lebih
terpengaruhi dibandingkan ekstremitas bawah. Pada kebanyakan kasus lebih
asimetrikal atau satu sisi tubuh lebih terpengaruhi.
 Diplegia
Ekstremitas bawah lebih terpengaruhi dibandingan dengan ekstremitas atas.
 Triplegia
Merupakan gabungan dari diplegia dan quadriplegia namun dengan keterlibatan
ekstremitas atas yang asimetris.
 Hemiplegia
Salah satu sisi tubuh serta ekstremitas lebih terpengaruhi dibandingkan dengan sisi
tubuh lainnya.

b. Pola spasme

5
Diperkirakan sekitar 80% anak dengan CP memiliki beberapa tipe gangguan
pergerakan. Cerebral palsy paling sering diklasifikasikan dengan tipe spastik,
diskinetik, ataupun ataxic. Walaupun spasitisitas sering menjadi gagguan yang
utama, namun kebanyakan anak dengan CP juga memiliki gangguan gabungan
antara spastisitas dan distonia. (classification system)
1. Spastik
Spastik adalah keadaan otot yang hipertonik dimana resistensi terhadap
gerakan pasif meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan gerakan dan
bervariasi dengan arah gerakan naik dengan cepat diatas ambang batas. Spastik
pada umumnya merupakan komponen sindrom upper neuron motor (UNM) yang
disertai hiperfreksia, klonus, refleks melimpah, tanda Babinski positif, dan
kelemahan distribusi piramida (ekstensor ekstremitas atas, fleksor ekstremitas
bawah).
Menurut Surveillance Cerebral Palsy Europe (SCPE) CP tipe spastik dikatakan
positif jika didapati 2 dari 3 tanda dibawah ini:
- Postur dan atau gerakan tubuh yang abnormal
- Peningkatan tonus otot (tidak harus konstan)
- Refleks patologis positif (peningkatan refleks: hiperrefleksia dan atau disertai
respon Babinski)
Cerebral palsy spastik bisa bilateral atau unilateral, CP spastik bilateral dapat
didiagnosis jika melibatkan ekstremitas di kedua sisi tubuh. Sedangkan CP spastik
unilateral dapat didiagnosis jika melibatkan ekstremitas di satu sisi tubuh saja.
2. Diskinetik
Diskinetik adalah distorsi atau gangguan kemampuan gerak volunter, seperti
kedutan, spasme dan mioklonus. Diskinetik yang disebabkan oleh lesi yang
mempengaruhi basal ganglia adalah sebuah tabel klinis dimana gerakan tak
terkontrol dan tidak terkendali sangat tampak dan dapat terjadi dengan berbagai
indikasi.
a. Athetosis
Athetosis merupakan suatu bentuk diskinetik yang ditandai dengan terjadinya
gerakan-gerakan menggeliat yang lambat, melekuk-lekuk tanpa henti yang
dilakukan secara tidak sadar. Bentuk paling berat ditemukan pada ekstremitas
atas disebut juga mobile spasme. Dapat dijumpai pada penderita CP hemiplegia.

6
b. Choreiform
Choreiform adalah timbulnya berbagai gerakan yang cepat dan bervariasi luasnya
tanpa henti, sangat kompleks, menyentak-nyentak, tampak seperti terkoordinasi dengan
baik tetapi secara involunter.
c. Ballistic
Ballistic merupakan gerakan menyentak atau kedutan yang berkenaan atau
ditandai dengan balismus.
d. Ataxic
Ataxic adalah kegagalan koordinasi otot atau tidak teraturnya gerakan otot.
3. Hipotonik
Hipotonik adalah suatu keadaan dimana tonus otot berkurang, ketahanan otot
tehadap peregangan pasif berkurang, dan tidak terjadi gerakan involunter.
Hipotonik juga merupakan tahap transisi dalam perkembangan atetosis atau
spastisitas. Hal ini ditunjukan dengan penurunan tonus otot saat istirahat,
penurunan refleks peregangan dan penurunan pola refleks yang sederhana. Pada
anak-anak dapat dilihat dengan sulitnya mengangkat kepala saat berada dalam
posisi telungkup, fleksibilitas yang berlebihan dalam artikulatif terutama di
pergelangan kaki dan pergelangan tangan, kelemahan refleks Moro dan isap
adalah temuan khas pada fase awal.
4. Campuran
Tipe ini merupakan kombinasi dari spastisitas, distonia dan atetoid (Joyce
Oleszek, 2011).
Klasifikasi Berdasarkan Activity Limitation
Gross Motor Fuction Classification System (GMFCS)
Sistem ini menilai fungsi ambulatori pasien, termasuk penggunaan alat bantu
mobilitas dan kinerja dalam aktivitas duduk, berdiri dan berjalan. Penilaian GMFCS
berdasarkan penggunaan alat bantu mobilitas dan kinerja dalam aktivitas duduk, berdiri, dan
berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk mengklasifikasikan tingkat kemampuan motorik pasien
berdasarkan kinerjanya yang khas, dan bukan kemampuan terbaik mereka. Sistem ini
mengklasifikasikan fungsi motorik kasar pada skala ordinal 5 poin, dengan deskripsi
keterampilan yang diberikan untuk 5 kelompok usia, yaitu <2 tahun, 2 - 4 tahun, usia 4 - 6
tahun, 6 - 12 tahun , dan akhirnya berusia 12 - 18 tahun (Susan A. Rethlefsen, 2010).
Level I : Berjalan tanpa batasan
Tingkat II : Berjalan dengan keterbatasan

7
Tingkat III : Berjalan menggunakan perangkat mobilitas genggam
Tingkat IV : Mobilitas diri dengan keterbatasan
Level V : Diangkut di kursi roda manual.
Gambar 1. GMFCS pada anak usia 6 sampai 12 tahun

8
Tabel 2. GMFCS Anak Usia Kurang dari 2 Tahun

2.7 Gejala Klinis


Gejala klinis CP tergantung dimana letak lesi di otak serta derajat kerusakan otak.
Kondisi ini sering terlihat di awal-awal kehidupan. Seorang bayi mungkin tampak 'disket'
dan bisa mendapat masalah saat makan (otot di tenggorokan yang digunakan untuk
menelan mungkin tidak dapat bekerja dengan benar). Kemudian diikuti dengan
diskinetik otot. Seringkali seorang anak dengan CP akan gagal mencapai 'tonggak'
perkembangan yang diharapkan dan pola pergerakannya tidak biasa (seperti tangan yang
mengepul atau pergelangan kaki kaku) seolah-olah mereka mencoba berjalan berjinjit.
Beberapa akan mengalami kesulitan berjalan. Masalah lainnya dapat mencakup kesulitan
berbicara dan makan, masalah keseimbangan dan koordinasi, masalah pendengaran dan
penglihatan seperti strabismus, serta kesulitan belajar. Anak-anak dan remaja dengan CP
juga dapat terkena epilepsi.
Seorang dengan CP juga dapat meunjukan beberapa gejala berikut:
1. Kurangnya koordinasi otot saat melakukan gerakan volunter (ataxia)
2. Kekakuan atau kekencangan otot dan refleks berlebihan (spastisitas)
3. Kelemahan dalam satu atau lebih pada ekstremitas atas dan bawah
4. Berjalan di atas jari kaki (jinjit), gaya berjalan berjongkok, atau gaya berjalan
"gunting"
5. Variasi pada tonus otot, terlalu kaku atau terlalu floppy (terkulai)
6. Meneteskan air liur (drooling) atau kesulitan menelan atau berbicara
7. Gemetar (tremor) atau gerakan acak yang tidak disengaja
8. Keterlambatan dalam kemampuan motorik
9. Kesulitan dengan gerakan yang tepat seperti menulis atau mengancingkan kemeja
atau daily activities (Susan A. Rethlefsen, 2010).

9
2.8 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari CP dapat berupa:
1. Kecerdasan sering baik dan mungkin sangat tinggi, namun tak jarang penurunan
kecerdasan intelektual juga terkadang hadir.
2. Kehilangan pendengaran pada tipe frekuensi tinggi yang spesifik dikaitkan dengan
athethoid yang disebabkan oleh kernikterus, namun jarang terjadi.
3. Pengendalian kepribadian yang keluar sering diamati. Keadaan emosional yang tidak
stabil lebih sering terjadi dibandingkan jenis CP lainnya.
4. Kesulitan bicara (artikulatoris) dan masalah pernapasan mungkin ada, dan juga
masalah oromotor akan membuat anak kesulitan makan. Selain itu fungsi lengan
yang buruk juga dapat mempengaruhi perkembangan self-feeding anak.
5. Deformitas spinal dan osteoartritis, kelainan pada tulang belakang seperti skoliosis,
kyphosis dan lordosis akibat CP dapat terjadi. Cacat tulang belakang bisa membuat
duduk, berdiri, dan berjalan sulit serta menyebabkan sakit punggung yang kronis.
Tekanan dan misalignment sendi dapat menyebabkan osteoporosis (pemecahan
tulang rawan pada persendian dan pembesaran tulang).
6. Abnormalitas persepsi dan sensasi, beberapa penderita CP mengalami masalah
dengan nyeri atau mengalami kesulitan merasakan sensasi sederhana, seperti
sentuhan.
7. Infeksi dan long-term illnesses, banyak penderita CP memiliki risiko penyakit
jantung dan paru yang lebih tinggi, serta pneumonia (sering kali makanan masuk ke
paru-paru karena tersedak akibat dari kekakuan pada otot-otot menelan).
8. Permasalahan gigi, banyak anak dengan CP berisiko terkena penyakit gusi dan gigi
berlubang karena kebersihan gigi yang buruk.
9. Epilepsi, banyak anak dengan kecacatan intelektual dan CP juga memiliki epilepsi.
Secara umum, obat-obatan diresepkan berdasarkan jenis kejang yang dialami
individu, karena tidak ada satu obat yang mengendalikan semua jenis. Beberapa
individu mungkin memerlukan kombinasi dua atau lebih obat untuk mencapai
kontrol kejang yang baik.
Seorang anak dengan CP yang berat, mungkin saja memiliki gangguan tidur, badan
lemas, masalah dalam makan dan kekurangan gizi, penurunan kepadatan mineral tulang,
nyeri muskuloskeletal atau nyeri akibat gastroesofageal refluks berat. Kebanyakan
masalah ini berkembang pada masa kanak-kanak lanjut. Terlepas dari itu, seorang dokter
atau terapis harus waspada terhadap kelompok anak dengan CP berat karena terdapat

10
masalah nyeri dan penurunan kepadatan tulang, sehingga program terapinya dapat
disesuaikan (Circle, 2014).
2.9 Diagnosis
Sebagian besar anak-anak dengan CP didiagnosis selama 2 tahun pertama
kehidupan. Tapi jika gejala anak ringan, bisa jadi sulit bagi dokter untuk melakukan
diagnosa yang andal sebelum usia 4 atau 5 tahun (Circle, 2014).
Pemeriksaan
1. Anamnesa pasien untuk mendapatkan kemungkinan faktor risiko yang yang menjadi
penyebab utama selama periode prenatal, perinatal dan postnatal.
2. Lakukan pemeriksaan yang meliputi:
 Pemeriksaan motorik kasar dan halus
 Pemeriksaan speech dan language
 Psiko-sosial
Pemeriksaan terdiri dari:
 Tonus otot (hipotonus, hipertonus atau berfluktuasi)
 Refleks primitif (+/- , ada keterlambatan, menetap atau hiperaktif)
 Posturing
 Perkembangan motorik
 Motoric behaviour
3. Pemeriksaan penunjang
 MRI
 Cranial Ultrasound
 CT Scan
 Electroencephalogram

Diagnosa Banding
Diagnosa banding CP, yaitu antara lain:
 Tumor otak
 Penyakit degeneratif serebral
 Penyakit metabolik
 Kelainan kromosom
 Kongenital miopati

11
 Penyakit motor neuron
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita CP sangat memerlukan pendekatan yang multidisiplin, yaitu:
1. Penegakkan diagnosa
2. Menentukan kelainan organik bukan motorik serta komplikasi yang ada
3. Menentukan klasifikasi klinis
4. Terapi medika mentosa
Untuk mengatasi spasitisitas berikan diazepam 0,4 - 0,6 mg/kgBB per oral sampai
tidak mengganggu fungsi. Sedangkan untuk mengatasi adanya gerakan involunter
berikan haloperidol 1 – 4 mg/3xsehari, dan tak lupa lakukan perbaikan gizi.
5. Terapi surgical
 Ortopedi : untuk mengoreksi deformitas
 Neurosurgical : untuk mengatasi masalah spastisitas yang berat
 Bedah plastik : untuk mengatasi drooling yang menetap
6. Menentukan sasaran terapi
Goal dari dilakukannya terapi pada penderita CP adalah antara lain:
 Dapat melakukan Activites of Daily Living (ADL)
 Self control mobilization / ambulasi
 Mampu berkomunikasi secara verbal atau non verbal
 Memperbaiki penampilan penderita
7. Membuat program rehabilitasi medik (Ratna D. Soebadi, 2008).

2.1 Program Rehabilitasi Medik


Pendekatan rehabilitasi pada anak dengan CP bersifat komprehensif, disamping aplikasi
tindakan medis dan bedah, pendekatan fisioterapi seperti, terapi okupasi, terapi bicara,
orthosis dan peralatan adaptif lainnya, kegiatan rekreasi, adaptasi sekolah dan pendidikan
serta dukungan psikososial, dan sebagainya termasuk dalam pendekatan rehabilitasi.
Tujuan rehabilitasi adalah untuk meminimalkan dampak gangguan fisik, untuk
mendapatkan kebebasan di masyarakat dan untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anak
cacat dan yang terutama keluarga mereka yang memiliki peran utama dalam prosesnya.
Sedangkan pada prinsipnya program rehabilitasi dilakukan harus sedini mungkin dan
dilakukan dengan teratur serta berkesinambungan. Metode yang diberikan pun harus sesuai
dengan klasifikasi klinis, usia, dan perkembangan anak. Umumnya metode yang digunakan

12
adalah metode bobath. Latihan peregangan dan massage dapat dilakukan dengan terlebih
dahulu memposisikan penderita agar dapat mempermudah gerakan. Latihan dapat dihentikan
apabila telah mencapai target atau goal dilakukannya terapi. Dan yang tak kalah pentingnya
edukasikan perihal terapi dan perawatan yang dapat dilakukan sendiri di rumah kepada orang
tua atau keluarga penderita (Gunel, 2011).
Terapi Bobath
Terapi Bobath yang juga dikenal dengan Neuro Developmental Treatment (NDT) adalah
pendekatan atau konsep, bukan metode. Pendekatan ini didasarkan pada one to one terapi
dengan fokus pada partisipasi, aktivitas, struktur tubuh dan fungsi. Terapi ini dilakukan untuk
dapat mengenali kebutuhan menyeluruh tentang keterampilan fungsional pasien yang
memiliki kemampuan neurodisabilitas seperti anak-anak dengan CP atau orang dewasa
dengan stroke. Pasien yang menjalani terapi Bobath dilatih untuk mengendalikan postur dan
gerakan tubuh. Strategi dan teknik intervensi utama untuk terapi Bobath terdiri dari
penanganan terapeutik, fasilitasi, hambatan dan titik kontrol utama.
Indikasi dilakukannya terapi ini, yaitu pada anak dengan severe atau CP yang kompleks,
ataksis CP, athetoid CP, anak-anak dengan kesulitan menyusui yang parah, dystonic CP, dan
defisit neurologis akut (motor defisit dengan atau tanpa gangguan gerakan) akibat kerusakan
otak yang tiba-tiba (Council, 2015).
Terapi Wicara
Terapi wicara dimulai sedini mungkin, dan harus dipastikan terlebih dahulu anak tidak
memiliki gangguan pendengaran. Untuka anak usia sekolah, pertama-tama agar dilakukan tes
intelligency terlebih dahulu. Latihan ini dimulai dengan pre-speech activity. Sedangkan untuk
msalah feeding dan drooling dapat diatasi dengan modiifikasi perilaku, posisi yang tepat serta
kontrol kepala dan dagu.
Terapi Okupasi
Latihan ADL, latihan kelompok (sosialisasi, rekreasi, olahraga) dan latihan pre-
vokasional.
Ortesa
Penggunaan ortesa dapat diberikan atas indikasi yang tepat, untuk mendapatkan
keuntungan mekanik, memperbaiki jajaran tubuh, membantu mencegah kontraktur dan
membantu memperbaiki stabilitas dan postur. Contohnya splint, foot orthose (FO), ankle foot
orthose (AFO), knee ankle foot orthose (KAFO), hip knee ankle foot orthose (HKAFO),
ortesa dengan twister, ortesa untuk skoliosis dan lainnya.

13
Rehabilitasi pada anak dengan CP dapat berbeda karena tipe klinis dan tingkat keparahan,
cacat tambahan, usia fisiologis anak, serta faktor sosial ekonomi (Anttila et al., 2008). Dokter
dan fisioterapis berfokus pada keterampilan motorik kasar dan mobilitas fungsional dalam
pengelolaan defisit motorik pada penderita CP. Posisi duduk, transisi dari duduk ke berdiri,
berjalan dengan atau tanpa alat bantu dan orthoses, penggunaan kursi roda dan transfer,
adalah area dimana fisioterapis bekerja. Pada dasarnya dokter dan fisioterapis melakukan
terapi, merencanakan program di rumah, memberikan penyuluhan atau pengertian dengan
sekolah serta merekomendasikan peralatan (Butler & Darrah 2001, Yigit et al., 2002).
Terapi fisik biasanya dimulai pada beberapa tahun pertama kehidupan atau segera setelah
diagnosis ditegakan. Penerapan latihan khusus (seperti program latihan endurance atau
strengthening) dan aktivitas sehari-hari dapat mempertahankan bahkan memperbaiki
kekuatan otot, keseimbangan, kemampuan motorik, dan mencegah kontraktur. Terapi
dilakukan selama 4-24 minggu, dengan frekuensi 1-2 kali per minggu, dan rata-rata jumlah
jam per minggu 30 menit sampai 2 jam. Terapi okupasi berfokus pada optimalisasi fungsi
tubuh bagian atas, memperbaiki postur tubuh, dan memanfaatkan mobilitas anak-anak. Terapi
ini membantu individu mengatasi cara baru untuk memenuhi aktivitas sehari-hari seperti
berpakaian, pergi ke sekolah, dan berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari. Terapi wicara dan
berbahasa dapat meningkatkan kemampuan anak untuk berbicara lebih jelas, membantu
mengatasi gangguan menelan, dan belajar cara baru untuk berkomunikasi. Contohnya
termasuk bahasa isyarat atau perangkat komunikasi khusus seperti komputer dengan
synthesizer suara, atau papan khusus yang diliputi dengan simbol benda dan aktivitas sehari-
hari yang dapat ditunjukkan oleh seorang anak untuk menunjukkan keinginannya. Perawatan
untuk masalah dengan makan dan drooling kadang-kadang diperlukan jika seorang anak
memiliki masalah dalam mengendalikan otot mulut, rahang atau lidah mereka. Namun yang
tak kalah penting adalah terapi rekreasi, mendorong anak dengan CP untuk berpartisipasi
dalam program seni dan budaya, olahraga, dan acara lainnya dapat membantu anak
mengembangkan keterampilan dan kemampuan fisik serta kognitif mereka. Penelitian telah
menunjukkan adanya peningkatan dalam kepercayaan diri anak, berbahasa dan emosional
anak (Inge Franki, 2012).
2.2 Prognosis
Meskipun CP adalah penyakit non-progresif, perbedaan dalam perjalanan klinis penyakit
cukup besar dan ditandai oleh perubahan fungsi yang luas selama bertahun-tahun masa
pertumbuhan. Prognosis dari CP sendiri tergantung pada seberapa besar tingkat kerusakan
atau gangguan fungsi yang disebabkan oleh lesi (Joyce Oleszek, 2011).

14
2.3 Edukasi
Orang Tua dengan anak CP sebaiknya membawa anak sedini mungkin setelah curiga
anaknya terlihat memiliki gangguan motorik dan postur sehingga dapat ditangani lebih awal
(Anerson C, 2011).

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : AN. KL
Nomor RM : 507881
Nomor BPJS :
Umur : 1 Tahun 1 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku :-
Agama : Kristen Protestan
Status : Anak
MRS : 14 Desember 2022
KRS :-
Alamat /HP : Perumnas 1 Waena
Pekerjaan Orang tua : Swasta
Asal rujukan dengan diagnosa : Cerebral Palsy Spastik

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: anak belum tengkurap dan angkat kepala
1. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluarga pada tanggal 14 Desember 2022 dan merupakan
pasien rujukan dari RS Merauke. Pasien datang karena tidak bisa tengkurap dan
belum bisa mengangkat kepala
2. Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat
Riwayat Prenatal Post Natal (0-2 y.o)
Antenatal/Perinatal
 Lahir spontan
 Tidak menangis
 BBL: 5500 gram
 Hamil dengan COVID-
 G0P0A0  Kejang
19
 Masuk NICU selama
2 minggu
 Imunisasi (-)

16
2.1 Millestone (Riwayat development 14-12-2022):
 Angkat kepala (head lift) : Belum bisa.
 Tengkurap(prone position) : Belum bisa.
 Merangkak (Crowling) : Belum bisa.
 Duduk (sitting) : Belum bisa.
 Berdiri (standing) : Belum bisa.
 Berjalan (walking) : Belum bisa
3. Riwayat Penyakit Keluarga
4. Riwayat Sosial Ekonomi
3.3 Pemeriksaan fisik
1. Kesadaran : Compos Mentis.
2. Status ambulasi : Tidak mampu berjalan.
3. Kepala/leher : Dalam batas normal.
4. Thorak /Abdomen : Pectus carinatum / simetris.
5. Ekstremitas atas & bawah : Kesulitan gerak aktif pada semua ekstrimitas, karena
adanya spastisitas.
6. Milestone
 Gross motor : belum bisa berjalan sendiri,
 Fine Motor : belum bisa memegang benda dengan kedua tangan
 Social skill : belum bisa beraktivitas (1 / 2 aktivitas)
 Hearing : belum bisa memusatkan pada musik
 Vision : belum bisa mengejar objek bergerak
 Language : belum bisa merespon nama dan mengulang kata
 Self care : belum bisa minum dari gelas botol/ dot=

5. `Kriteria POSTER (LEVINE):


o Posturing : Extensor posturing dan scissoring.
o Oropharyngeal problems : (-).
o Strabismus : (+).
o Tone (muscle) : Hipertonus.
o Asworth scale :4

17
o Evolutionary responses : Develope
o Reflexes
Refleks Ket
Suckling Reflex +
Palmar Grasp Reflex +
Rooting Reflex +
Moro Refleks. +
Babinski Reflex +
Swallowing Reflex +
Breathing Reflex, +
Eyeblink Reflex, +
Puppilary Reflex, +
Refleks Tonic Neck:
ATNR (+)
-Asymmetrical Tonic Neck Reflex (ATNR)
-Symmetrical Tonic Neck Reflex (STNR). STNR (+)
Crawling Reflex -
Stepping Reflex -

18
6. DDST :

o Gross motor : Kepala terangkat 45o (1-3 bln)


o Language : Menoleh ke bunyi (3-5 bln)
o Fine motor : Memegang icik icik (3 bln)
o Sosial personal : Menatap muka (1 bln)

19
7. ICF :

Kondisi Kesehatan
Cerebral Palsy
Spastic Diplegy

Struktur tubuh dan Aktivitas Partisipasi


fungsi tubuh
Tidak bisa: Mengangkat Tidak dapat
white matter kepala, tengkurap, bermain
lobus frontal merangkak, duduk,
cerebrum berdiri, berjalan.

Faktor Lingkungan Faktor Personal

Dukungan fisioterapist, Umur, Gizi


keluarga

9. Status lokal:
 Inspeksi
- Pasien tidak mampu untuk tidur miring kekanan dan kekiri.
- Kepala pasien cenderung menoleh kearah 1 arah dan tangan menggenggam.
- Ankle dorso fleksi
 Palpasi. Tonus postural tinggi, adanya spasctic, klonus (-)
10. Diagnosa: Cerebral Palsy Spastic
11. P. Diagnosa: Delay Milestone ec. Cerebral Palsy Spastic Diplegy
12. P. Terapi:
 Exercise: massage, latihan duduk, latihan berdiri
 Heating: Infrared

20
13. P. Monitoring:
Pasien telah melakukan sebanyak satu kali fisioterapi. Namun sejauh ini pasien baru
mampu mengangkat kepala. Sedangkan goal terapinya adalah pasien mampu untuk
bisa: berdiri tanpa berpengangan, memegang benda dengan kedua tanganm,
memanggil papa mama, bermain dengan orang lain
14. P.Edukasi(HE/HEP) :
Memberikan penjelasan kepada orang tua tentang kondisi anak dengan cerebral palsy
spastik diplegy. Orang tua diajarkan tentang tahap-tahap latihan sehingga dapat
dilakukan di rumah secara berulang - ulang.
15. Prognosa
Qua ad vitam : Bonam. Harapan hidup Cerebral Palsy tergantung pada tingkat
keparahan kondisi dan penyakit yang menyertainya. Dalam hal
ini, tidak ada jangka waktu yang ditetapkan untuk harapan
hidup pasien cerebral palsy. Harapan hidup pasien cerebral
palsy umumnya sama dengan seseorang tanpa Cerebral Palsy.
Qua ad sanationam : Malam. Cerebral Palsy merupakan kondisi seumur hidup
Qua ad fungsional : Dubia ad bonam. Anak yang mendapatkan intervensi dini dan
penanganan medis yang baik akan tumbuh dewasa dengan
angka kesintasan 90% hingga usia 20 tahun. Sebanyak 2 dari 3
anak dengan cerebral palsy dapat mandiri dengan atau tanpa
bantuan, 3 dari 4 anak dapat berbicara, dan 1 dari 2 anak
memiliki kemampuan kognitif yang normal

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Cerebral palsy merujuk kepada beberapa kondisi yang erat kaitannya dengan defisit
sistem saraf pusat yang bersifat tidak progresif dan didapat awal kehidupan. Pada pasien ini
berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat meunjukkan beberapa gejala berikut
kurangnya koordinasi otot saat melakukan gerakan volunter, kekakuan atau kekencangan
otot, variasi pada tonus otot, terlalu kaku, meneteskan air liur (drooling) atau kesulitan
menelan atau berbicara dan keterlambatan dalam kemampuan motorik dan juga pemeriksaan
refleks patologis yang positif. Ditemukan dada pectus carinatum dan spasme melibatkan
semua ekstremitas dan tubuh.
Menurut Surveillance Cerebral Palsy Europe (SCPE) CP tipe spastik dikatakan positif jika
didapati 2 dari 3 tanda dibawah ini:
 Postur dan atau gerakan tubuh yang abnormal
 Peningkatan tonus otot
 Refleks patologis positif (peningkatan refleks: hiperrefleksia dan atau disertai respon
Babinski)
Pada kasus cerebral palsy tipe spastic diplegy permasalahan utama yang terjadi adalah
gangguan motoris berupa spastisitas antara lain peningkatan ketegangan otot pada keempat
anggota gerak seperti lengan atas, lengan bawah, tungkai atas, tungkai bawah, dan kaki tetapi
didiominasi oleh kedua tungkai. Tumbuh kembang motorik yang terhambat pada anak terjadi
keterbatasan untuk melakukan aktivitas-aktivitas sehari-hari yang seharusnya bisa dilakukan
sesuai dengan umur perkembangan anak. Pada pasien ini berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik didiagnosa Cerebral Palsy Spastic Diplegy.
Penatalaksanaan dalam kasus ini antara lain:
1. Terapi medika mentosa
Untuk mengatasi spasitisitas berikan diazepam 0,4 - 0,6 mg/kgBB per oral sampai
tidak mengganggu fungsi. Sedangkan untuk mengatasi adanya gerakan involunter
berikan haloperidol 1 - 4 mg / 3x sehari bila perlu, dan tak lupa lakukan perbaikan
gizi.
2. Terapi surgical
 Ortopedi : untuk mengoreksi deformitas
 Neurosurgical : untuk mengatasi masalah spastisitas yang berat

22
Rehabilitasi adalah semua upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari semua
keadaan yang menimbulkan disabilitas dan atau handicap serta memungkinkan penyandang
disability dan atau handicap untuk berpartisipasi secara aktif dalam lingkungan keluarga atau
masyarakat. Rehabiliasi dilakukan oleh suatu tim rehabilitasi yang terdiri dari dokter
rehabilitasi medis, fisioterapis, terapi okupasi, perawat rehabilitasi, pekerja social medis,
terapis wicara, psikolog, ortotis prostetis. Tim rehabilitasi akan menjadi sangat efektif,
apabila upaya-upaya tersebut di kordinasikan dan diadakan pertemuan secara berkala untuk
membahas megenai kemajuan dan kendala tiap pasien serta ditunjang oleh adanya interaksi
yang baik antara penderita dan keluarganya dengan personal medik. Adanya permasalahan
akibat gangguan motorik menyebabkan diperlukannya rehabilitasi medis agar dapat
membantu pasien untuk dapat beraktifitas secara mandiri melalui latihan dan penanaman pola
gerak yang fungsional dengan baik dan benar.
Menentukan sasaran terapi yang baik denganGoal terapi pada penderita CP adalah antara
lain:
 Dapat melakukan Activites of Daily Living (ADL)
 Self control mobilization / ambulasi
 Mampu berkomunikasi secara verbal atau non verbal
 Memperbaiki penampilan penderita
Umumnya metode yang digunakan adalah metode bobath. Latihan peregangan dan
massage dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memposisikan penderita agar dapat
mempermudah gerakan. Pada pasien ini yang dilakukan terapi fisioterapis dan okupasi.
Penangan fisioterapi pada kasus cerebral palsy yaitu dengan mengejar suatu
keterlambatan tahap perkembangan motorik kasar sesuai usia anak, guna mencapai manfaat
yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap perkembangan yang berkelanjutan. Tujuan
dari fisioterapi disini adalah membantu anak mencapai perkembangan terpenting secara
maksimal bagi sang anak, yang berarti bukan untuk menyembuhkan penyakit cerebral palsy.
Hal ini harus dikomunikasikan sejak dari awal antara fisioterapis dengan pengasuhnya agar
tujuan terapi tercapai. Metode yang diberikan untuk kasus Cerebral Palsy adalah metode
bobath.
Manfaat rehabilitasi pada anak dengan cerebral palsy adalah agar penderita cerebral
palsy dapat memaksimalkan kemandirian, mengurangi hambatan, mengatasi emosional,
meningkatkan inklusi (pendekatan dan perubahan) sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup anak-anak dengan cerebral palsy seiring pertumbuhan. Rehabilitasi yang diberikan

23
pada penderita cerebral palsy akan disesuaikan dengan usia anak, berat atau ringan penyakit,
juga disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga perlakuan ke setiap anak berbeda.

24
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Cerebral palsy (CP) adalah kelompok gangguan anggota gerak yang heterogen dengan
berbagai etiologi dengan gangguan fungsional utama adalah dalam hal gerakan dan postur
tubuh, yaitu gangguan gerakan yang bukan gangguan sekunder yang berasal dari gangguan /
kecacatan fungsi saraf lainnya.
Pada anamnesis didapatkan ibu hamil dengan riwayat COVID-19, riwayat anak
kejang dan masuk NICU selama 2 minggu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan gerak
aktif pada semua ekstrimitas, karena adanya spastisitas. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik diatas, dapat disimpulkan bahwa An. KL mengalami Delay Milestone ec
Cerebral Palsy Spams Diplegy.
Tatalaksana pada pasien ini yaitu dengan medikamentosa dan non medikamentosa.
Medikamentosa antara lain: Untuk spasitisitas berikan diazepam 0,4 - 0,6 mg/kgBB per oral
sampai tidak mengganggu fungsi. Sedangkan untuk mengatasi adanya gerakan involunter
berikan haloperidol 1-4 mg / 3x sehari bila perlu. Sedangkan tatalaksana non medikamentosa
berupa perbaikan gizi dan fisioterapi seperti, Neurosensomotor Reflex Integration, terapi
pendekatan Neuro Development Treatment (NDT), re-patterning (belajar kembali dan skema
re-coding), Neuro Senso (NS), fasilitasi, body massage, serta mobilisasi trunk

25
DAFTAR PUSTAKA

Anerson C, D. M.-A. (2010). Prevelence of Cerebral Palsy: Autism and Developmental


Disabilities Monitoring. United Cerebral Palsy, 2.
Circle, 3. C. (2014). Cerebral Refers to the Brain; Palsy Refers to The Loss or Impairment of
Motor Function. Cerebral Palsy Foundation Discovery For Disability , 7-8.
Council, H. P. (2015). Bobath Therapy fo Children with Cerebral Palsy. Norfolk County
Council, 5.
F, M. (2007). Physical Therapy of Cerebral Palsy. Springer Science and Bussiness Inc, 347.
Gunel, M. K. (2011). Physiotherapy for Children with Cerebral Palsy. Dalam D. Z. Gadze,
Epilepsy in Children - Clinical and Social Aspects (hal. 220-224). Rijeka, Croatia: In
Tech.
Health, N. I. (2000). Cerebral Palsy. National Institute of Neurological Disorder and Stroke.
Inge Franki, P. K. (2012). The Evidence-base for Basic Physical Therapy Techniques
Targeting Lower Limb Function in Children With Cerebral Palsy: a Systematic
Review Using the International Classification of Functioning, Disability and Heatlh as
a Conceptual Framework. J Rehabil Med, 387.
Joyce Oleszek, L. D. (2011). Cerebral Palsy. Dalam R. L. Braddom, Physical Medicine &
Rehabilitation (hal. 1254-1255). Philadelphia: Elsevier Saunders.
Moshe Stavsky, O. M. (2017). Cerebral Palsy-Trends in Epidemiology and Recent
Development in Prenatal Mechanisms of Disease, Treatment, and Prevention.
Frontiers In Pediatrics, 2.
Ratna D. Soebadi, S. M. (2008). Cerebral Palsy. Dalam S. R. Medik, Pedoman Diagnosis
dan Terapi (hal. 15-19). Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya.
Rizky Wulandri, I. W. (2016). Penambahan Latihan Hidroterapi Pada Terapi Bobath Lebih
Meningkatkan Kecepatan Berjalan Pada Cerebral Palsy Spastik Diplegi. Sport and
Fitness Journal, 27.
Sunusi, S. &. (2007). Cerebral Palsy. Jaakarta: EGC.
Susan A. Rethlefsen, P. D. (2010). Classification Systems in Cerebral Palsy. Childrens
Orthopaedic Center, Childrens Hospital Los Angeles, 460-463.

26

Anda mungkin juga menyukai