Anda di halaman 1dari 48

UNIVERSITAS INDONESIA

DISCHARGE PLANNING MENGGUNAKAN APLIKASI “MOBILE STROKE


WARD” UNTUK PERAWATAN PASIEN STROKE DI RUMAH

TUGAS MAKALAH KELOMPOK


MATA KULIAH PROMOSI KESEHATAN

Disusun oleh:
KELOMPOK 7
Dewi Gemilang Sari (2206004674)
Kenvin Marfian (2206005090)
Khaula Karima (2206005102)
Meina Ridha (2206005241)
Rona Monika Sihaloho (2206005651)
Tri Agustina Rosita (2206118436)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu tugas akhir Mata Kuliah Promosi Kesehatan Intermediet yang diampu
oleh Dr. drg. Ella Nurlaella Hadi, M.Kes pada Program Studi Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Akhir kata, semoga
Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga
makalah ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin maju.

Depok, Desember 2022


Tim Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………ii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….……..iv
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………….…….v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….…...1
1.2 Tujuan Intervensi…………………………………………………………………3
1.2.1 Maksud……………………………………………………………….……3
1.2.2 Tujuan………………………………………………………………….…..3
1.2.3 Indikator……………………………………………………………….…...3
BAB II ISI
2.1 Kajian Pustaka……………………………………………………………………5
2.1.1 Definisi dan Penyebab Stroke……………………………………………..5
2.1.2 Epidemiologi Stroke………………………………………………………5
2.1.3 Faktor Risiko Stroke………………………………………………………8
2.1.4 Pencegahan/Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Mencegah Stroke…….11
2.1.5 Edukasi dan Persiapan Perawatan di Rumah Setelah Stroke…………….13
2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Readmisi pada Pasien
Stroke di Rumah Sakit…………………………………………………...16
2.1.7 Promosi Kesehatan……………………………………………………….17
2.1.7.1 Contoh Upaya Promosi Kesehatan terkait Stroke………………..18
2.1.7.2 Mengimplementasikan Intervensi Promosi Kesehatan…………..20
2.1.7.3 Monitoring dan Evaluasi Intervensi Promosi Kesehatan dan
Program…………………………………………………………..24
2.1.7.4 Standar Promosi Kesehatan di Rumah Sakit……………………..27
2.1.7.5 Promosi Kesehatan untuk Pasien…………………………………29
2.2 Aktivitas Intervensi……………………………………………………………...30
2.2.1 Rancangan Organogram…………………………………………….……32
2.2.2 Rancangan Kronogram………………………………………….………..32

ii
2.2.3 Monitoring dan Evaluasi…………………………………………………33
2.2.3.1 Evaluasi Hasil (indikator) ……………………………………….33
2.2.3.2 Evaluasi Proses (umpan balik) …………………………………..33
2.3 Budget Program…………………………………………………………………33
2.4 Media yang Digunakan untuk Intervensi: Aplikasi “Mobile Stroke Ward”
(MSW)……….………………………………………………………………….34
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………....38
3.2 Saran ………………………………………………………………………….38
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….……39

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Dua Puluh Peringkat Teratas Penyebab DALYs di Indonesia
Tahun 1990 dan 2017……………………………………………………7
Gambar 2.2 The Policy Rainbow……………………………………………..……...17

iv
DAFTAR SINGKATAN

DALYs : Disability-Adjusted Life Years


DASH : Dietary Approach to Stop Hypertension
DHA : docosahexaenoic acid
DM : Diabetes Melitus
DPJP : Dokter Penanggung Jawab Pelayanan
EPA : eicosapentaenoic acid
ESUS : Embolic Stroke of Unknown Source
FGD : Focus Group Discussion
GERMAS : Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
IMT : Indeks Massa Tubuh
MSW : Mobile Stroke Ward
NO : Nitric Oxide
PKRS : Promosi Kesehatan Rumah Sakit
PPA : Profesional Pemberi Asuhan
PTM : Penyakit Tidak Menular
RCT : Randomized Control Trial
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
RS : Rumah Sakit
RSPON : Rumah Sakit Pusat Otak Nasional
SCD : Sickle Cell Disease
SPO : Standar Prosedur Operasional
TEE : Transesophageal Echocardiography
TIA : Transient Ischemic Attack
WHO : World Health Organization

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


World Health Organization (WHO, 2016) menyebutkan stroke menyebabkan
kematian sebesar 7,9% dari seluruh jumlah kematian di Indonesia. Sedangkan
menurut Kementerian Kesehatan RI, setiap tahunnya lebih dari 17,3 juta kematian
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan
stroke. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Kementerian Kesehatan RI
mengatakan bahwa prevalensi stroke di Indonesia naik dari 7% pada tahun 2013
menjadi 10,9% pada tahun 2018, Jika melihat tren saat ini, diperkirakan akan terus
meningkat hingga mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030.
RS Pusat Otak Nasional (RSPON) Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono adalah RS
pusat rujukan nasional untuk penyakit stroke. Sesuai data dari Instalasi Rekam Medis
RSPON, jumlah pasien stroke di RSPON pada Januari sampai September 2022
sebanyak 3.170 (42.64%) pasien stroke iskemik dan 684 (9.20%) pasien stroke
perdarahan. Dengan total pasien stroke sebanyak 3.854 (51.84%) pasien. Dari data ini
menunjukkan separuh pasien RSPON adalah pasien stroke.
Hal yang paling penting dari perawatan pasien stroke adalah mengetahui hal-
hal yang dapat mencegah stroke berulang. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan
discharge planning. Discharge planning menjadi fitur penting dalam sistem kesehatan
di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk meningkatkan koordinasi layanan dari
rumah sakit kepada masyarakat, untuk memastikan arus yang mulus bagi pasien, yang
mengakibatkan penurunan waktu hospitalisasi pasien di rumah sakit dan penurunan
tingkat readmisi atau kekambuhan pasien. (Triwijayanti dan Annisa Rahmania, 2022)
Lebih lanjut Triwijayanti dan Annisa Rahmania (2022) menjelaskan bahwa
discharge planning pasien bertujuan memberikan motivasi untuk kesembuhan pasien,
berdampak terhadap hari rawat pasien menjadi lebih singkat, menurunkan anggaran
kebutuhan rumah sakit, dan akan menurunkan angka kekambuhan dan memungkinkan
intervensi rencana pulang tepat waktu. Hal tersebut menandakan kualitas rumah sakit
yang cukup baik yang mampu memberikan perawatan yang berkualitas pada pasien-

1
pasiennya. Oleh karena itu discharge planning sangat diperlukan oleh pasien stroke
sebelum keluar dari rumah sakit agar tidak terjadi readmisi. Readmisi adalah
hospitalisasi atau rawat inap kembali yang sebelumnya telah mendapatkan layanan
rawat inap di rumah sakit.
Readmisi pasien stroke mengakibatkan morbiditas dan biaya perawatan
kesehatan yang tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Department of
Rehabilitation Medicine, Tan Tock Seng Hospital, Singapura dimana meneliti
sebanyak 1.235 pasien selama 3 tahun pasca rehabilitasi stroke. Dari pasien-pasien ini,
296 (24,0%) dirawat kembali dalam tahun pertama, dan 87 (7,0%) dirawat kembali 1-
3 tahun pasca stroke. Faktor risiko signifikan readmisi antara lain pasien dengan usia
yang lebih tua, skor fungsional yang lebih rendah saat masuk rumah sakit, kondisi
medis kronis, dan komplikasi medis selama di rumah sakit awal. Studi ini
menunjukkan bahwa ada readmisi yang tinggi bahkan setelah tahun pertama pasca
stroke. (Jie Tay, 2021). Data dari RSPON menunjukkan jumlah pasien stroke yang
mengalami readmisi di RSPON pada Januari sampai September 2022 sebanyak 157
pasien (4%). Penelitian Tay (2021) menyimpulkan beberapa faktor yang
mempengaruhi readmisi, diantaranya jatuh, usia yang lebih tua, komplikasi dalam hal
ini komplikasi dapat terjadi saat pasien dirawat di RS, dan infeksi.
Discharge planning merupakan salah satu program intervensi keperawatan yang
dimulai sejak pasien datang baik dengan penyakit akut maupun penyakit terminal untuk
memberikan kesempatan bagi pasien untuk melakukan perawatan mandiri saat kembali
ke rumah (Fox et al. 2013). Discharge planning yang terstruktur dapat meningkatkan
kemampuan fungsional, meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan psikososial,
dukungan Sosial, kepuasan dalam perawatan kesehatan, efektivitas biaya dan
mengurangi readmisi atau hospitalisasi kembali (Courtney et al. 2011).
Discharge planning sangat penting dan dibutuhkan untuk pasien stroke
sebelum pulang ke rumah agar tidak terjadi readmisi. Berdasarkan hal tersebut kami
tertarik untuk membuat sebuah aplikasi discharge planning untuk pasien stroke dan
keluarganya saat di rumah agar tidak terjadi readmisi. Aplikasi ini kami namakan
“Mobile Stroke Ward” (MSW).

2
Stroke Ward (Bangsal/Ruang Rawat Inap Stroke) adalah salah satu ruang rawat
inap yang khusus merawat pasien stroke pasca serangan akut yang sebelumnya dirawat
dalam ruang akut Stroke Care Unit. Stroke Ward merupakan ruangan terpadu yang
terdiri dari tim multidisipliner yang masing-masing dari mereka sudah mengetahui
tugasnya dalam menangani pasien stroke. Harapannya adalah output pasien bisa
menjadi lebih baik. Dalam Stroke Ward, pasien stroke akan diberikan program
rehabilitasi. Program rehabilitasi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang terpadu
dengan pendekatan medik, psikososial, educational, vocational yang bertujuan
mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin dan mencegah serangan
berulang (Putu E et al, 2016).
Aplikasi “Mobile Stroke Ward” (MSW) merupakan aplikasi digital yang dapat
diinstal di handphone. Program-program kegiatan yang ada dalam Stroke Ward dapat
dilihat pasien dan keluarga dari rumah ataupun tempat lainnya. Aplikasi ini penting
untuk mempertahankan kontinuitas perawatan. Pasien dan keluarga dapat mengikuti
apa saja kegiatan yang harus dilakukan selama perawatan saat sudah pulang ke rumah.
Diharapkan melalui aplikasi ini dapat menurunkan readmisi pasien stroke.

1.2 Tujuan Intervensi


1.2.1 Maksud
Melalui aplikasi MSW diharapkan pasien mampu melakukan program
rehabilitasi mandiri dengan optimal dibantu oleh keluarga di rumah.
1.2.2 Tujuan
Aplikasi MSW diharapkan dapat menjadi inovasi yang mampu meningkatkan
kesehatan pasien stroke saat menjalani perawatan di rumah.
1.2.3 Indikator
Indikator keberhasilan intervensi ini antara lain:
1) Mampu mengedukasi penderita stroke (skala ringan sampai dengan sedang)
dan keluarga tentang konsep dasar penyakit Stroke, faktor risiko, dan
pencegahannya.

3
2) Mampu mengedukasi penderita Stroke (skala ringan sampai dengan sedang)
dan keluarga tentang terapi dan gaya hidup sehat yang harus dijalankan
setiap hari.
3) Mudah diaplikasikan oleh penderita stroke dan/atau keluarga.
4) Fitur checklist yang terisi lengkap setiap hari.
5) Melatih perubahan perilaku dan gaya hidup sehat pada penderita Stroke
melalui alarm khusus yang telah didesain pada aplikasi seperti: jadwal
terapi, jadwal minum obat, dll.
6) Menurunkan persentase readmisi pasien stroke akibat stroke berulang.

4
BAB II
ISI

2.1 Kajian Pustaka


2.1.1 Definisi dan Penyebab Stroke
Kementerian Kesehatan RI (2019) mendefinisikan stroke sebagai
manifestasi klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak, medulla spinalis,
dan retina baik sebagian atau menyeluruh yang menetap selama ≥ 24 jam atau
menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh darah. Stroke dapat
disebabkan oleh infark (dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi, patologi, atau
bukti lain yang menunjukkan iskemia otak, medulla spinalis, atau retina) disebut
stroke iskemik. Stroke perdarahan dapat disebabkan oleh perdarahan intrakranial
atau subaraknoid.
Perdarahan intrakranial terjadi pada parenkim otak maupun ventrikel tanpa
didahului trauma, sementara perdarahan subaraknoid terjadi di rongga
subarachnoid (antara membran araknoid dan pia mater). Sementara itu, transient
ischemic attack (TIA) didefinisikan sebagai disfungsi neurologis sementara
akibat iskemia fokal termasuk iskemia retina dan medulla spinalis, tanpa bukti
adanya infark (Sacco et al., 2013).

2.1.2 Epidemiologi Stroke


Pertumbuhan ekonomi dan transisi demografi di Indonesia berdampak
terhadap transisi epidemiologi. Penyakit menular mulai menurun dan terjadi
peningkatan penyakit tidak menular (PTM). PTM merupakan beban penyakit
terbesar di dunia karena periode sakitnya lama, menyebabkan banyak kematian
dan disabilitas (Balitbangkes, 2020).
Prevalensi stroke di Indonesia meningkat cukup tinggi pada tahun 2013
dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu 12,1 per 1000 penduduk dan 8,3 per 1000
penduduk. Sementara itu, pada tahun 2018 prevalensi stroke cenderung stagnan
di angka 10,9 per 1000 penduduk (Riskesdas 2007; Riskesdas, 2013; Riskesdas,
2018). Pada tahun 2007 provinsi dengan prevalensi stroke tertinggi adalah Aceh

5
(16,6 per 1000 penduduk) dan terendah adalah Papua (3,8 per 1.000 penduduk).
Pada tahun 2013 prevalensi stroke di Aceh menurun menjadi 10,5 per 1000
penduduk. Namun, terjadi kenaikan yang signifikan di beberapa daerah seperti
Sulawesi Selatan dari 7,4 menjadi 17,9, Daerah Istimewa Yogyakarta dari 8,4
menjadi 16,9, Sulawesi Tengah dari 10,0 menjadi 16,6 dan Jawa Timur dari 7,7
menjadi 16 per 1000 penduduk. Berdasarkan data stroke registry tahun 2012-
2014, sebanyak 67% dari total stroke adalah iskemik, dan 33% lainnya adalah
stroke hemoragik.
Menurut Balitbangkes (2018), pada tahun 2017, 69,90% dari total beban
penyakit di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM). Untuk
PTM adalah penyakit stroke, diabetes dan cirrhosis yang tingkat
perkembangannya lebih tinggi daripada yang diperkirakan. Hasil estimasi
Disability-adjusted Life Year (DALYs) lost akibat stroke di Indonesia pada
tahun 2007 menunjukkan nilai kerugian 2.337.718 tahun produktif yang hilang
dengan perkiraan beban ekonomi Rp 3 triliun (setara 20% anggaran Kementerian
Kesehatan 2007). Hasil analisis beban penyakit yang menyebabkan kematian di
Indonesia menunjukan pada tahun 1990 dan tahun 2017 Stroke masih
menempati posisi pertama penyebab kematian di Indonesia. Stroke menduduki
peringkat pertama baik pada laki-laki maupun perempuan, menyebabkan
2.968,6 tahun hilang per 100.000 penduduk laki-laki dan 2745,3 tahun hilang
per 100.000 penduduk perempuan.

6
Gambar 2.1 Dua Puluh Peringkat Teratas Penyebab DALYs di Indonesia Tahun
1990 dan 2017. (Sumber: Balitbangkes, 2018)

Data Badan Penyelenggara Kesehatan (BPJS) tahun 2015 menyatakan


bahwa stroke menghabiskan biaya pelayanan kesehatan sebesar Rp1,15 triliun

7
dan meningkat menjadi Rp 1,27 triliun pada tahun 2016. Hal ini berarti terjadi
peningkatan pembiayaan sebesar 10,4% untuk stroke dalam kurun waktu 1
tahun.

2.1.3 Faktor Risiko Stroke


Identifikasi faktor risiko dalam pencegahan dan pengobatan stroke sangat
penting. Pencegahan stroke pada pasien dilakukan dengan cara mengoptimalkan
pengendalian faktor risiko, terutama faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Pedoman
Tatalaksana Stroke yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI (2019) menyebutkan
beberapa faktor risiko stroke yaitu:
a. Riwayat Keluarga
Faktor genetik merupakan salah satu faktor risiko stroke di kemudian hari.
Untuk memperkirakan adanya faktor genetik penyebab stroke dapat dilakukan
anamnesis riwayat keluarga pasien stroke.
b. Penyakit Kardiovaskular
Risiko stroke meningkat pada orang dengan riwayat penyakit
aterosklerotik, seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung dan klaudikasio
intermiten. Pencegahan stroke pada orang dengan faktor risiko tersebut dapat
dilakukan dengan pemberian antiplatelet.
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang paling banyak termasuk
stroke lacunar. The Joint National Committee Eighth (JNC 8) dan European
Stroke Organization (ESO) merekomendasikan skrining tekanan darah secara
teratur dan penanganan yang sesuai (kelas I, peringkat bukti A), termasuk
modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologi dengan target tekanan darah
sistolik <150 mmHg dan diastolic <90 mmHg.
d. Merokok
Bukti epidemiologi menunjukkan rokok berisiko menyebabkan stroke
iskemik dan perdarahan subarachnoid. Beberapa hal yang perlu diketahui terkait
rokok:

8
i. Merokok menyebabkan peningkatan koagulabilitas darah, viskositas darah,
kadar fibrinogen, mendorong agregasi platelet, meningkatkan tekanan
darah, meningkatkan hematokrit, menurunkan kolesterol HDL dan
meningkatkan kolesterol LDL.
ii. Berhenti merokok dapat memperbaiki fungsi endotel.
iii. Perokok pasif berisiko sama dengan perokok aktif. Setiap pasien perlu
ditanyakan apakah merokok atau tidak. Pasien disarankan untuk berhenti
merokok mengingat. Strategi penghentian merokok yang dapat dilakukan
diantaranya konseling, penggunaan pengganti nikotin atau pemakaian obat
oral untuk berhenti merokok.
e. Diabetes
Pasien yang mengalami Diabetes meningkatkan risiko stroke. Sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan gula darah teratur. Kontrol gula darah dilakukan
dengan modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologi. Pada pasien diabetes
disarankan untuk mengontrol tekanan darah (target 130/80 mmHg sesuai JNC
8) dan dislipidemia.
f. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan penyebab stroke keempat terbanyak di
Indonesia, terutama pada stroke iskemik. Pasien dislipidemia disarankan
melakukan modifikasi gaya hidup dan diberikan inhibitor HMG-CoA reductase
(statin), terlebih pada pasien berisiko tinggi seperti riwayat jantung koroner dan
diabetes. Pasien dengan LDL-C >150 mg/dL sebaiknya mendapat terapi.
g. Fibrilasi atrium
Setiap pasien berusia >65 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan nadi
dan EKG untuk melihat adanya fibrilasi atrium. Pasien AF yang tidak bisa
mendapatkan antikoagulan oral dapat diberikan aspirin. Pasien AF dengan katup
jantung prostetik perlu mendapat antikoagulan jangka panjang dengan target
INR berdasarkan tipe katup prostetiknya, tetapi tidak kurang dari INR 2,0 – 3,0.
h. Patent foramen ovale (PFO) dengan right to left shunt
Foramen ovale adalah celah yang ada antara dinding atrium kanan dan kiri,
sehingga menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan dan kiri. Pada sekitar

9
25% orang, celah ini tidak menutup, walaupun begitu sebagian besar orang tidak
mengalami gejala. Pada pasien PFO, beberapa faktor seperti adanya right to left
shunt (RLS) saat istirahat, RLS saat valsalva, atau PFO disertai aneurisma
septum arteria tau peningkatan mobilitas septum intra arteri diketahui
berhubungan dengan stroke kriptogenik, dimana bentuk terseringnya adalah
embolic stroke of unknown source (ESUS). ESUS paling baik dideteksi dengan
transesophageal echocardiography (TEE) yang juga dapat mendeteksi PFO.
Namun, untuk mendeteksi RLS saat valsava paling baik. Berdasarkan penelitian
yang ada, PFO diketahui dapat berhubungan dengan stroke terutama pada usia
<55 tahun.
i. Penyakit jantung lain
j. Stenosis karotis asimtomatik
k. Sickle cell disease (SCD)
l. Polisitemia
Polisitemia reaktif adalah peningkatan kadar hematokrit lebih dari 48%,
dan dapat menyebabkan hiperviskositas serta gangguan perfusi.
m. Terapi sulih hormon
Terapi sulih hormon (estrogen dengan atau tanpa progestin) tidak
dibenarkan sebagai pencegahan stroke primer pada pasien pasca-menopause.
n. Kontrasepsi oral
Kontrasepsi oral dapat berbahaya pada pasien dengan faktor risiko
tambahan seperti merokok dan riwayat kejadian tromboemboli. Mereka yang
tetap memilih menggunakan kontrasepsi oral meskipun dapat menambah risiko,
perlu diterapi agresif terhadap faktor risiko stroke yang sudah ada (kelas III,
peringkat bukti C).
o. Obesitas dan lemak tubuh
Pada individu dengan berat berlebih dan obesitas, penurunan BB (berat
badan) direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah. Pada individu
dengan berat berlebih dan obesitas, penurunan BB dipandang cukup beralasan
dapat menurunkan risiko stroke.

10
2.1.4 Pencegahan/Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Mencegah Stroke
Pedoman Tatalaksana Stroke yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI
(2019) merekomendasikan sejumlah hal sebagai upaya untuk pencegahan primer
stroke. Hal ini penting untuk menjamin perbaikan kualitas hidup penderita stroke di
samping penatalaksanaan yang lebih efektif untuk menekan angka kejadian stroke.
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya perbaikan hidup dan pengendalian
berbagai faktor risiko, diantaranya:
a. Menjaga pola makan (Diet dan nutrisi)
Direkomendasikan untuk menurunkan asupan natrium dan meningkatkan
asupan kalium untuk menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Pola
makan berpengaruh terhadap viskositas (kekentalan) darah maupun koagulasi
darah serta terhadap risiko injury pembuluh darah. Pemilihan makanan harus
sesuai dengan kondisi individu dan risiko yang dimiliki. Metode dietary approach
to stop hypertension (DASH) yang menekankan konsumsi buah, sayur dan produk
susu rendah lemak merupakan diet yang direkomendasikan dan dapat menurunkan
tekanan darah. Selain itu, beberapa jenis makanan lain yang dianjurkan untuk
pencegahan primer stroke diantaranya:
Bahan makanan yang dapat membantu menurunkan kadar kolesterol
diantaranya biji-bijian, oat, dan kacang-kacangan. Serat larut dalam biji-bijian
seperti beras merah, jagung dan gandum, oat (beta glucan) akan menurunkan
kadar kolesterol total dan LDL, menurunkan tekanan darah, dan menekan nafsu
makan bila dimakan di pagi hari (memperlambat pengosongan usus). Kacang
kedelai serta produk olahannya dapat menurunkan lipid serum, menurunkan
kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida tetapi tidak mempengaruhi kadar
kolesterol HDL. Kacang-kacangan, termasuk biji kenari dan kacang almond,
menurunkan kolesterol LDL dan mencegah aterosklerosis.
Makanan lain yang membantu mencegah stroke adalah susu yang
mengandung protein, kalsium, dan seng (Zn) mempunyai efek proteksi terhadap
stroke. Beberapa jenis seperti ikan tuna dan ikan salmon mengandung omega-3,
Eicosapentaenoic Acid (EPA), dan Docosahexaenoic Acid (DHA) yang
merupakan pelindung jantung. Hal ini dapat mencegah risiko kematian mendadak,

11
mengurangi risiko aritmia, menurunkan kadar trigliserida, menurunkan
kecenderungan adhesi platelet, sebagai prekursor prostaglandin, inhibisi sitokin,
anti-inflamasi dan stimulasi nitric oxide (NO) endothelial. Makanan jenis ini
sebaiknya dikonsumsi dua kali seminggu.
Diet kaya buah-buahan dan sayuran bervariasi minimal 5 porsi setiap hari.
Sayuran hijau dan jeruk yang menurunkan risiko stroke. Sumber kalium yang
merupakan prediktor kuat untuk mencegah mortalitas akibat stroke, terutama buah
kurma dan pisang. Apel yang mengandung quercetin dan phytonutrient dapat
menurunkan risiko stroke. Teh, terutama teh hijau yang mengandung antioksidan
catechins and theanine terbukti mengurangi risiko stroke. Sumber lemak
sebaiknya berasal dari sayuran, ikan, buah polong, dan kacang-kacangan.
Utamakan makan yang mengandung polisakarida.
Anjuran lain tentang makanan mencakup menambah asupan kalium dan
mengurangi asupan natrium (4,7 gr/hari); meminimalkan makanan tinggi lemak
jenuh dan mengurangi asupan asam lemak trans seperti kue, crackers, telur,
makanan yang digoreng, dan mentega; mengutamakan makanan berserat, protein
nabati, polyunsaturated fatty acids dan monounsaturated fatty acids; nutrien harus
diperoleh dari makanan, bukan suplemen; jangan makan berlebihan dan
perhatikan menu seimbang; makanan sebaiknya bervariasi dan tidak tunggal;
hindari makanan dengan densitas kalori tinggi dan kualitas nutrisi rendah.

b. Aktivitas fisik
Peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan karena dapat menurunkan
risiko stroke, namun tetap di imbangi dengan istirahat yang cukup. Pada orang
dewasa, direkomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik aerobik minimal
selama 150 menit (2 jam 30 menit) setiap minggu dengan intensitas sedang, atau
75 menit (1 jam 15 menit) setiap minggu dengan intensitas lebih berat. Melakukan
aktivitas fisik aerobik (jalan cepat, bersepeda, berenang dan lain-lain) secara
teratur dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki kontrol diabetes,
memperbaiki kebiasaan makan, menurunkan berat badan dan meningkatkan kadar
kolesterol HDL.

12
c. Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
Hal yang dapat dilakukan untuk menangani dan menghindari stres
diantaranya tidur teratur antara 6-8 jam sehari. Menghindari stres, berpikir positif,
mampu mengukur kemampuan diri, hindari sikap terburu-buru, mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan, suka menolong, menggunakan keluarga
sebagai tempat untuk mencurahkan isi hati, bersikap ramah, menghindari
perbuatan yang melanggar agama dan peraturan, selalu mendekatkan diri pada
Tuhan Yang Maha Esa, dan mensyukuri hidup. Stres kronis dapat meningkatkan
tekanan darah. Penanganan stres menghasilkan respon relaksasi yang menurunkan
denyut jantung dan tekanan darah.

d. Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat anjuran dokter perihal diet dan obat
Faktor-faktor risiko, seperti penyakit jantung, hipertensi, dislipidemia,
diabetes melitus (DM), harus dipantau secara teratur. Faktor-faktor risiko ini
dapat dikoreksi dengan pengobatan teratur, diet, dan gaya hidup sehat.
Pengendalian hipertensi dilakukan dengan target tekanan darah. Terdapat bukti-
bukti tentang faktor risiko yang bersifat infeksi / inflamasi misalnya, infeksi gigi.
Kesehatan gigi dan mulut sebaiknya diperhatikan secara teratur.

2.1.5 Edukasi dan Persiapan Perawatan di Rumah Setelah Stroke


Penyampaian informasi kepada pasien dilakukan melalui proses edukasi,
yaitu suatu proses penyampaian materi pendidikan oleh pendidik kepada sasaran
pendidikan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku (Notoatmodjo,
2003). Edukasi kepada pasien stroke diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
tentang faktor risiko stroke dan pola hidup sehat, sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan penyakit stroke. Edukasi kolaborasi pasien dan keluarga adalah hak
pasien dan keluarga, Profesional Pemberi Asuhan (PPA), baik dokter, perawat, ahli
gizi, fisioterapis maupun farmasis bertanggung jawab untuk memberikan edukasi.
Edukasi kolaborasi merupakan komponen penting dari pelayanan kesehatan modern
yang dapat meningkatkan derajat kesehatan yang optimal.

13
Tujuan edukasi bagi pasien untuk memberikan pengetahuan kepada pasien
dan keluarga dalam perawatan berkelanjutan di rumah pada pasien stroke sehingga
tidak terjadi kecemasan dan kekhawatiran. Sedangkan manfaat dari pelaksanaan
edukasi antara lain pasien dapat menjaga kesehatannya dengan terapi perubahan pola
hidup sesuai dengan yang dianjurkan, keluarga dapat merawat pasien di rumah
dengan pengetahuan yang telah diberikan serta mencegah komplikasi akibat penyakit
stroke serta penyakit stroke tidak terjadi kekambuhan kembali karena apabila terjadi
kekambuhan akan memperberat penyakitnya (Ngatini, 2019).
Dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Stroke yang
diterbitkan Kementerian Kesehatan RI (2019) berikut merupakan hal-hal yang perlu
disampaikan kepada pasien dan keluarga pasien saat edukasi pasien stroke:
a. Persiapan Pulang
i. Pasien, keluarga dan pengasuh dijelaskan mengenai persiapan dan seluruh
aspek pelayanan kesehatan serta keamanan yang dibutuhkan.
ii. Keluarga dan pengasuh mendapatkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk
keamanan pasien dalam pemindahan dari RS ke rumah.
iii. Pasien mendapatkan pendidikan dan kesempatan mendapat penghasilan.
Pasien stroke yang bekerja sebelum terjadinya stroke sebaiknya dibesarkan
hatinya untuk dievaluasi terhadap potensi kembali bekerja, jika kondisi
mereka memungkinkan. Konseling sebaiknya dilakukan jika dibutuhkan.
iv. Aktivitas di waktu luang diketahui dikembangkan, kemudian pasien dapat
berpartisipasi dalam aktivitas ini.
v. Penanganan dilakukan di tempat pasien dan situasi keluarga yang kompleks.
vi. Rekomendasi perawatan fase akut di RS dan mempertahankan pelayanan
neurorestorasi/neurorehabilitasi yang bersumberdayakan masyarakat,
menyediakan informasi bagi pasien stroke dan keluarga serta pengasuh, dan
menawarkan bantuan dalam menemukan kebutuhan yang diperlukan.
Pasien sebaiknya diinformasikan dan ditawarkan untuk kontak dengan
sukarelawan yang ada.

14
b. Edukasi untuk Perawatan di Rumah pada Perawat dan Keluarga
i. Pasien sebaiknya mendapat edukasi dan saran terkait stroke serta
kemungkinan komplikasi yang dapat disebabkan oleh stroke.
ii. Keluarga/perawat pasien stroke dilibatkan dalam membuat keputusan dan
rencana terapi sesegera mungkin, jika memungkinkan, dalam keseluruhan
proses terapi.
iii. Perawat sebaiknya waspada terhadap stres pada keluarga / pengasuh dan
secara spesifik menyadari stres berhubungan dengan kendala, seperti
menurunnya fungsi kognitif, inkontinensia urin, dan perubahan kepribadian,
dengan memberi semangat yang diperlukan.
iv. Perawatan akut di RS dan fasilitas rehabilitasi sebaiknya dilakukan dengan
memperhatikan beberapa hal, yaitu memberikan informasi terbaru
mengenai sumber-sumber komunitas pada tingkat lokal dan nasional,
menyediakan informasi pada pasien stroke dan keluarga/pengasuh, dan
menawarkan bantuan untuk memperoleh layanan yang dibutuhkan.
v. Pasien dan pengasuh mendapatkan pandangan psikososial dan semangat
secara reguler melalui pekerja sosial atau pekerja kesehatan yang sesuai
untuk mengurangi stres pada pengasuh.
c. Persiapan Kembali Bekerja
i. Keluarga pasien stroke dilibatkan dalam membuat keputusan dan rencana
untuk mendukung pasien dapat kembali bekerja sesuai dengan kemampuan
yang ada saat ini dibawah tanggung jawab dokter penanggung jawab
pelayanan (DPJP) dan tim multidisipliner yang terlibat untuk menetapkan
jenis pekerjaan yang dapat dilakukan.
ii. Perawat dan keluarga sebaiknya waspada terhadap stres pada pasien akibat
ketidakmampuannya dalam aktivitas sehari-hari dan perlu bimbingan
khusus dari perawat terlatih dalam pendekatan psikososial.
iii. Perawat terlatih atau tenaga terapis terlatih di layanan tertentu dapat
berkoordinasi dengan unit layanan neurorestorasi / neurorehabilitasi di
wilayah kerja untuk mendapatkan bimbingan pemulihan fungsional agar
dapat kembali melakukan aktivitas atau kembali bekerja.

15
iv. Tenaga kesehatan (dokter umum, perawat senior) pada tingkat layanan
tertentu yang bertindak sebagai penanggung wilayah layanan kesehatan
dianjurkan untuk membentuk tim untuk membantu pemulihan pasien
terutama dalam upaya pemulihan fungsi dan masalah psikososial.

2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Readmisi pada Pasien Stroke


di Rumah Sakit
Penelitian Tay (2021) menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi
readmisi, diantaranya jatuh, usia yang lebih tua, komplikasi dalam hal ini komplikasi
dapat terjadi saat pasien dirawat di RS, dan infeksi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya readmisi pasien stroke di RS sebagai berikut:
a. Jatuh
Jatuh merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi readmisi
pasien stroke. Penting melakukan asesmen risiko jatuh untuk mencegah
terjadinya jatuh pada pasien stroke. Hasil penelitian Lee et al (2018) juga
menyimpulkan hal serupa bahwa pasien yang jatuh dalam satu bulan terakhir,
aktivitas fisik yang kurang, berhubungan dengan readmisi setelah 6 bulan pasien
selesai dirawat.
b. Infeksi
Yang Hsien et al. (2017) menyebutkan infeksi yang terjadi pada saluran
napas seperti pneumonia dan infeksi saluran kemih yang disebabkan karena
kateter urin yang menetap, dan risiko terjadinya aspirasi merupakan faktor yang
mempengaruhi readmisi pada pasien yang sering berbaring.
c. Usia
Usia merupakan faktor yang mempengaruhi readmisi pasien stroke
(Zhong et al. 2019). Tay (2021) menyebutkan usia pasien >55 tahun secara
signifikan mempengaruhi readmisi pasien stroke.
d. Komorbiditas
Penyakit penyerta (Komorbiditas) seperti diabetes, gagal jantung dan
gagal ginjal dikaitkan dengan peningkatan risiko readmisi dan risiko kematian.
Riwayat infeksi, imobilitas, dan komplikasi gastrointestinal sebelumnya adalah

16
risiko yang umum dan ketiganya dikaitkan dengan peningkatan risiko dirawat di
rumah sakit untuk alasan yang sama dalam satu tahun setelah keluar dari rumah
sakit setelah stroke (Lawsley, 2015).
e. Status sosial
Penelitian Lawsley et al. (2015) menyatakan bahwa status sosial
ekonomi yang paling kekurangan memiliki tingkat risiko readmisi dan kematian
yang lebih tinggi. Sosial ekonomi terbukti menjadi faktor risiko untuk readmisi
dan kematian. Telah ditunjukkan bahwa kekurangan sosial-ekonomi merupakan
faktor risiko untuk readmisi.

2.1.7 Promosi Kesehatan


Menurut WHO (1986) Promosi kesehatan merupakan proses untuk membuat
(enabling) orang untuk meningkatkan kontrol dan meningkatkan kesehatannya
(Cragg et.al., 2013). Laporan Lalonde (1974) mengusulkan kerangka kerja untuk
menggambarkan determinan kesehatan yang terdiri dari empat kategori yang
mempengaruhi kesehatan. Kategori ini diketahui dengan mengidentifikasi
determinan dan faktor yang mendasari penyakit dan kematian di Kanada, yaitu:
biologi manusia, lingkungan, gaya hidup, dan organisasi pelayanan kesehatan.

Gambar 2.2. The Policy Rainbow (Dahlgren dan Whitehead, 1991).

17
Sejak Laporan Lalonde (1974), sejumlah model lain yang mencoba
mengidentifikasi faktor-faktor penentu determinan kesehatan dan jalur yang
dilaluinya telah dikembangkan. Salah satunya model yang sering digunakan dalam
dokumen kebijakan internasional dan nasional adalah model Dahlgren dan
Whitehead “policy rainbow” Dahlgren dan Whitehead (1991) yang
menggambarkan lapisan pengaruh pada potensi kesehatan individu. Lapisan-lapisan
ini terdiri dari faktor yang bersifat tetap (seperti usia, jenis kelamin, dan genetika)
dan faktor yang berpotensi dimodifikasi, dinyatakan sebagai serangkaian lapisan
pengaruh, termasuk faktor gaya hidup individu, sosial dan visual, jaringan,
komunitas, kondisi sosial ekonomi, budaya, dan lingkungan secara umum.

2.1.7.1 Contoh Upaya Promosi Kesehatan terkait Stroke


Terdapat sejumlah upaya promosi kesehatan yang dilakukan untuk mencegah
stroke, diantaranya:
a. Cegah Stroke dengan Perilaku CERDIK
Kementerian Kesehatan (2017) mengkampanyekan peningkatan gaya
hidup sehat dengan Cegah Stroke dengan perilaku CERDIK.
Stroke dapat dicegah dengan pengendalian perilaku yang berisiko seperti
penggunaan tembakau, diet yang tidak sehat dan obesitas, kurang aktivitas
fisik serta penggunaan alkohol.
Untuk mencegah terkena penyakit tidak menular seperti stroke maka
dianjurkan untuk setiap individu meningkatkan gaya hidup sehat dengan
perilaku “CERDIK”, yaitu:
i. Cek Kesehatan secara berkala,
ii. Enyahkan asap rokok,
iii. Rajin aktivitas fisik,
iv. Diet sehat dan seimbang,
v. Istirahat cukup, dan
vi. Kelola stress.

18
CERDIK adalah slogan yang berisi pesan yang mudah diingat agar
masyarakat memahami dan mempraktekkan gaya hidup sehat untuk
mencegah terkena penyakit tidak menular. Cerdik menjadi slogan utama
dalam upaya kesehatan berbasis masyarakat yang dikembangkan oleh
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dalam
wadah Posbindu PTM yang dibina oleh 4.820 puskesmas di seluruh Indonesia
untuk menggerakkan masyarakat melakukan deteksi dini dan memonitoring
faktor risiko PTM.

b. “SEGERA KE RS”
Konsep utama dalam penanganan stroke adalah memberikan
pengobatan yang spesifik dalam waktu sesegera mungkin sejak serangan
terjadi. Terdapat Periode Emas Penanganan Stroke yaitu waktu yang sangat
berharga untuk penanganan Stroke, yaitu kurang dari 4,5 jam sejak pertama
kali muncul gejala dan tanda sampai dilakukan penanganan stroke di Rumah
Sakit. Sehingga penderita harus sudah tiba di RS kurang dari 2 jam. Proses
pemeriksaan sampai pengobatan membutuhkan waktu maksimal 2,5 jam. Bila
terlambat penanganannya atau sudah lebih dari 4,5 jam maka Stroke akan
menjadi parah bahan berisiko kematian atau kecacatan permanen.
Masalah yang muncul adalah tidak dikenalnya gejala awal serangan
stroke oleh masyarakat. Kementerian Kesehatan RI mensosialisasikan alat
penilaian sederhana untuk stroke yang disingkat menjadi “SEGERA KE RS”,
yaitu:
i. Senyum tidak simetris,
ii. Gerak separuh anggota tubuh melemah tiba-tiba,
iii. BicaRa pelo atau tiba-tiba tidak dapat bicara atau tidak mengerti kata-
kata/bicara,
iv. Kebas atau baal,
v. Rabun,
vi. Sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba dan gangguan fungsi
keseimbangan.

19
Bila merasakan gejala atau tanda tanda terserang stroke seperti diatas,
jangan tunggu sampai menjadi parah segera berobat ke rumah sakit. Anjuran
ini juga untuk keluarga atau teman yang kebetulan menjumpai
saudaranya/temannya menunjukan gejala dan tanda tersebut segera dibawa ke
rumah sakit untuk mendapatkan penanganan secepat mungkin, karena ada
periode emas penanganan stroke agar penderita tertolong dan mengurangi
risiko kematian atau kecacatan menetap/permanen.

c. GERMAS untuk Cegah Stroke


Dalam pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular termasuk
stroke, pemerintah fokus pada upaya promotif dan preventif dengan tidak
meninggalkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Di antaranya dengan: Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 2017, yang tahun ini difokuskan pada kegiatan deteksi dini,
peningkatan aktivitas fisik serta konsumsi buah dan sayur.
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, sejalan dengan
agenda ke-5 Nawacita yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia
yang dimulai dari keluarga, di antaranya penderita hipertensi berobat teratur
dan tidak ada anggota keluarga yang merokok.

d. Pemeriksaan Tekanan Darah dan Kolesterol Rutin


Peningkatan self-awareness melalui pemeriksaan tekanan darah dan
kolesterol secara rutin di Posbindu PTM minimal satu tahun sekali atau di
Faskes. POSBINDU-PTM diharapkan dapat melakukan pemeriksaan
kesehatan rutin setiap bulan (Venketasubramanian, 2022).

2.1.7.2 Mengimplementasikan Intervensi Promosi Kesehatan


Suksesnya pencapaian promosi Kesehatan memerlukan manajemen
proyek yang baik dari perencanaan, implementasi, sampai penyelesaian.
Bagian ini akan menjabarkan bagaimana pelaksanaan proyek dengan
menggunakan tools manajemen proyek, yang juga menjelaskan proses

20
penganggaran, anggaran monitoring, tools untuk menjaga ketepatan waktu
proyek, dan pelaporan ke pemangku kepentingan (Nutland dan Cregg, 2015).
Proses perencanaan merupakan hal yang krusial untuk implementasi
dan penyelesaian proyek. Metode yang mungkin biasa digunakan untuk
proyek besar adalah PRINCE2 (PRoject IN Controlled Environments) yang
cukup sederhana (Nutland dan Cregg, 2015).
a. Setting up struktur proyek manajemen, biasanya terdiri dari project board,
steering group, seorang manajer proyek, dan kelompok proyek. Meski
demikian, penyusunannya akan tergantung struktur organisasi.
i. Project board: individu kunci dari organisasi pemangku kepentingan,
senior yang bertanggung jawab secara menyeluruh terhadap proyek dan
mendukung manajer proyek.
ii. Steering group: terdiri dari senior manajer yang juga dapat
mengikutsertakan penerima manfaat. Perannya untuk mengawasi dan
mereviu perkembangan proyek, bertanggung jawab dan berkomitmen.
Umumnya bertemu secara reguler saat implementasi proyek. Satu
organisasi selanjutnya harus menjadi penanggung jawab manajemen
proyek.
iii. Manajer proyek: berperan mengkoordinasikan proyek, menyusun, dan
mendiseminasikan perkembangan proyek, dan mengkoordinasikan tim
proyek.
iv. Tim proyek: memerlukan peningkatan kapasitas untuk membentuk tim
agar dapat dipastikan sumber daya yang diperlukan, ekspertis, dan
komitmen terhadap proyek, dapat dilakukan dengan pelatihan. Penting
untuk memahami peran tiap anggota tim.
b. Menyusun organogram: menunjukkan visualisasi struktur organisasi dan peran
setiap anggota tim.
c. Menyusun kegiatan dan menentukan waktu pelaksanaan kegiatan.
d. Menyusun analisis/metode critical path dilaksanakan dengan menyusun:
i. semua kegiatan proyek yang perlu diselesaikan;
ii. waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan kegiatan;

21
iii. keterkaitan setiap kegiatan;
iv. tahap penyelesaian aktivitas sebagai milestone atau deliverable.
Contoh critical path adalah Milestone dan Chronogram, Early
Wins, Assigning responsibilities, Milestone dan Chronogram yaitu sinyal
penyelesaian atau titik progress yang dapat melihat apakah proyek on track
atau tidak. Chronogram menggambarkan kegiatan proyek dan milestone
yang terkadang disebut Gantt chart. Early wins, merupakan kesuksesan
yang terlihat di awal proyek yang akan membangun komitmen proyek
seluruh stakeholder. Namun hal ini tidak boleh menjadi fokus untuk
progres jangka panjang. Assigning responsibilities, pemberian tanggung
jawab terhadap anggota tim, saat Menyusun work plan perlu diidentifikasi
mana saja kegiatan yang dapat dilakukan staf dan kegiatan yang perlu
dilakukan oleh professional.
e. Evaluasi, penting untuk dimasukkan dalam rencana kegiatan. Perlu ditetapkan
pertanyaan evaluasi yang perlu dijawab, metode apa yang akan digunakan, dan
informasi apa yang diperlukan. Hal ini dapat diketahui setelah implementasi
proyek dimulai.
f. Mencapai standar kualitas, terdapat standar kualitas internal dan eksternal
yang dapat diaplikasikan, misalnya ada standar prosedur internal. Perlu ada
pertimbangan dalam mengupayakan kesehatan dan keamanan staf dan
sukarelawan yang bekerja pada program. Pelatihan tambahan mungkin
diperlukan.
g. Mempersiapkan dan memonitor anggaran
Anggaran merupakan dokumen yang menggambarkan berapa dana
yang diperlukan untuk melaksanakan aktivitas yang diperlukan untuk
mencapai tujuan. Dengan memiliki anggaran, kita dapat menentukan berapa
anggaran yang telah direalisasikan. Kode akun menggambarkan kategori yang
berbeda dapat disusun untuk mengelompokkan jenis anggaran. Anggaran juga
menggambarkan rencana penyerapan anggaran dalam waktu tertentu, yaitu
tahunan, triwulanan, atau bulanan. Finalisasi anggaran biasanya dilakukan
oleh manajer keuangan. Anggaran dapat bersumber dari pemerintah, atau dari

22
badan pengelola dana hibah, atau mitra organisasi. Langkah menyusun
anggaran:
i. Menyusun kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
ii. Menyusun biaya setiap kegiatan (beberapa pemberi dana menetapkan
batasan dan untuk setiap kegiatan)
iii. Menyusun biaya dengan heading atau chart of account
iv. Menyiapkan narasi anggaran yang menggambarkan dasar dari nilai yang
diperlukan
v. Meminta tim keuangan untuk mengecek anggaran
vi. Mendapat persetujuan anggaran
Perlu disediakan narasi informasi berikut:
• Rincian dari nilai keseluruhan
• Asumsi jumlah penerima manfaat
• Asumsi terkait risiko
• Dasar estimasi biaya yang diperlukan
h. Memonitor dan melaporkan perkembangan
Monitoring perkembangan sangat penting dalam manajemen proyek
untuk memastikan perkembangan dan kepatuhan dengan standar kualitas,
memastikan kegiatan kunci dilaksanakan. Perlu ditentukan sejak awal cara
pengumpulan data untuk monitoring dan siapa yang akan melakukan
monitoring.
Tool sederhana untuk memvisualisasi progress milestone adalah RAG
(Red, Amber, Green) status criteria. Dapat dilakukan pemberian warna
sebagai koding pencapaian milestone.
i. Penyelesaian proyek
Dikenal dengan exit strategy, perlu diidentifikasi hal yang dilakukan untuk
sustainabilitas proyek. Perlu dilakukan evaluasi apakah proyek mencapai
tujuan yang ditetapkan. Elemen kunci dalam laporan proyek:
ii. Manajemen staf yang ada, dapat dilakukan dengan memberikan umpan
balik secara regular. Umpan balik sangat penting karena staf proyek akan

23
berpindah ke proyek selanjutnya. Dapat dilakukan appraisal staff setiap
tahun dan di akhir proyek.
iii. Mengakhiri dan handover proyek, tergantung dari natur proyek, hal ini
dapat dilakukan dengan melakukan serah terima kepada organisasi lain.
Sedangkan untuk proyek yang sifatnya fix term seperti riset maka perlu
diakhiri. Penting untuk dipikirkan status asset, kontrak staff, dan membuat
arrangement dengan agensi lain jika ada pengalihan.
iv. Mendiseminasikan informasi, untuk memastikan transfer pengetahuan dan
pembelajaran proyek. Dapat dilakukan dengan mendiseminasikan hasil
laporan akhir proyek. Diseminasi dapat dilakukan melalui website, forum,
pertemuan, atau publikasi. Untuk memastikan keberlanjutan pembelajaran
untuk jangka panjang, dapat juga dilakukan dengan membuat pedoman
kebijakan, pelatihan, atau tools pembelajaran.
Selain hal-hal yang perlu dilakukan dalam implementasi proyek di
atas, terdapat faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan proyek:
a. Memiliki perencanaan yang jelas dengan tujuan yang achievable,
feasible, dan realistis.
b. Memiliki sumber daya yang cukup serta memiliki sumber daya manusia
untuk melaksanakan intervensi.
c. Memiliki proses manajemen proyek yang transparan dan sesuai, dengan
ekspektasi dan tanggung jawab yang jelas.
d. Bekerja sama dengan stakeholder yang relevan melalui perencanaan,
implementasi, dan penyelesaian intervensi.
e. Mengidentifikasi risiko potensial dan strategi untuk mitigasinya
(Nutland dan Cregg, 2015).

2.1.7.3 Monitoring dan Evaluasi Intervensi Promosi Kesehatan dan Program


Menurut Nutland dan Cragg (2015), kesehatan masyarakat didasari
dan dibangun dari evidence sehingga monitoring dan evaluasi merupakah hal
yang esensial. Bagi perencana promosi kesehatan menjadi sangat penting
karena:

24
a. Pemberi dana biasanya meminta intervensi yang disertai evaluasi untuk
mengetahui hasil dari pendanaan yang diberikan.
b. Merupakan bagian yang terintegrasi dari siklus promosi kesehatan.
c. Menambah evidence yang dapat memberi intervensi pada intervensi
selanjutnya.

Kualitas intervensi yang perlu diketahui saat evaluasi:


a. Feasibility
b. Cost
c. Acceptability
d. Coverage and access
e. Relevance
f. Effectiveness
g. Efficiency

Jenis Evaluasi:
a. Evaluasi outcome: untuk mengetahui apakah intervensi mencapai tujuan
b. Evaluasi proses: untuk mengetahui apakah outcome yang dihasilkan sesuai
tujuan, atau justru menghasilkan tujuan lain, dapat menyediakan:
• deskripsi intervensi terlaksana/tdk;
• identifikasi feasibility, ketepatan, dan kualitas intervensi;
• penerimaan intervensi di kelompok sasaran;
• perubahan yang dihasilkan;
• hal yang mempengaruhi intervensi;
• kemungkinan untuk replikasi
c. Evaluasi formatif: Dilaksanakan sebelum meluncurkan suatu
intervensi/program. Berupa literatur review, asesmen kebutuhan, pre test.
Monitoring intervensi promosi Kesehatan Monitoring melibatkan
proses pengumpulan data dan informasi terkait intervensi untuk mengawal
dalam memahami capaian kinerja terhadap rencana. Penting untuk realistis
terhadap data yang dikumpulkan. Monitoring dapat memperoleh gambaran

25
secara regular dalam jangka waktu tertentu, seperti bulanan, triwulanan.
Penting ditekankan bahwa rutin monitoring berbeda dengan evaluasi.
Outcome terkait dengan tujuan intervensi yang dapat diukur. Outcome
dapat diukur dalam beberapa tahun, perubahan proksi dapat diidentifikasi.
Output terkait langsung dengan outcome, merupakan tujuan strategis, dapat
diukur, dan merupakan kegiatan untuk mencapai outcome. Sering disebut
dengan “deliverables”. Indikator Output mendeskripsikan level kegiatan yang
dilaksanakan. Outcome terkait dengan evaluasi dan Output terkait dengan
monitoring.
Randomized Control Trial (RCT) merupakan gold standard desain
evaluasi untuk mengevaluasi intervensi pelayanan. Namun terdapat
perdebatan apakah metode RCT efektif untuk mengevaluasi promosi
kesehatan, karena banyaknya faktor confounding yang mempengaruhi
outcome. Penting melakukan evaluasi yang sederhana daripada evaluasi yang
kompleks. Metode/tools evaluasi dapat dilakukan dengan:
a. Survey: biasanya dengan jumlah responden yang banyak, dapat
dilaksanakan dengan mengisi kuesioner langsung oleh responden maupun
wawancara terstruktur dengan evaluator. Dapat digunakan untuk
mengexplore outcome dan proses.
b. Wawancara semi-terstruktur: metode untuk mendapat informasi yang
mendalam, evaluator wawancara dengan percakapan yang tidak terlalu
terstruktur. Digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif, biasanya
mengeksplorasi pengalaman yang diwawancara.
c. Focus Group Discussion (FGD), untuk mendapatkan informasi data
kualitatif yang mendalam dari jumlah peserta yang sedikit. Biasanya
dilakukan wawancara dalam kelompok beranggotakan 6-12 orang dengan
semi terstruktur. FGD memungkinkan peserta untuk berbagi pandangan.
Mengkombinasikan FGD dan wawancara dapat membandingkan
pandangan yang berbeda. Persiapan dan analisis FGD memakan waktu
yang lebih lama.

26
Diseminasi hasil evaluasi Biasanya yang dipublikasi dalam bentuk lesson
learnt, hasil evaluasi dapat dipublikasikan di jurnal, conference, seminar,
webinar, workshop, policy framework, guideline, koran, dan majalah.

2.1.7.4 Standar Promosi Kesehatan di Rumah Sakit


Menurut International Network of Health Promoting Hospitals and
Health Services (2020), terdapat sejumlah standar dalam promosi kesehatan
Rumah sakit, diantaranya:
a. Komitmen organisasi terhadap promosi kesehatan
Memperlihatkan komitmen organisasi terhadap promosi kesehatan di RS
Organisasi berkomitmen agar tata kelola, model, kebijakan, struktur, proses, dan
kultur organisasinya mengoptimalkan kesehatan untuk pasien, staf, dan populasi
yang dilayani dan mendukung masyarakat yang berkelanjutan, yang terdiri dari
3 sub standar, yaitu: 1) kepemimpinan; 2) kebijakan; 3) monitoring,
implementasi, dan evaluasi
b. Memastikan akses ke layanan
Organisasi mengimplementasikan dan melakukan langkah untuk
mengukur ketersediaan, akses, dan penerimaan fasilitas. Hal ini terdiri dari
beberapa sub standar, yaitu: 1) hak dan ketersediaan; 2) informasi dan akses; 3)
penerimaan sosiokultural.
c. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang people-centered dan melibatkan
penerima layanan. Organisasi berupaya sebaik mungkin untuk memberikan
layanan yang berorientasi pada pasien dan outcome kesehatan serta
memampukan penerima layanan/komunitas untuk berpartisipasi dan
berkontribusi dalam kegiatan. Terdapat enam sub standar, yaitu: 1) Respon
terhadap kebutuhan layanan; 2) komunikasi pasien dan penyedia layanan; 3)
mendukung pasien untuk merubah perilaku dan memberdayakan pasien; 5)
melibatkan pasien, keluarga, perawat, dan komunitas; 6) kolaborasi dengan
penyedia layanan.

27
d. Menciptakan tempat kerja dan setting sehat
Organisasi mengembangkan tempat kerja yang sehat dan mengupayakan
setting sehat untuk meningkatkan kesehatan pasien, keluarga pasien, staf, dan
sukarelawan. Terdapat dua sub standar untuk standar ini, yaitu: 1) kebutuhan
kesehatan staf, pelibatan, dan promosi kesehatan; 2) setting sehat.
e. Mempromosikan kesehatan kepada masyarakat yang lebih luas
Organisasi memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan kesehatan
kepada komunitas setempat dan populasi yang dilayani. Hal ini terdiri dari sub
standar: 1) kebutuhan kesehatan populasi; 2) mengatasi kesehatan komunitas; 3)
kesehatan lingkungan; 4) berbagi informasi, penelitian, dan kapasitas.
Berdasarkan Permenkes no 44 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan
Promosi Kesehatan RS (PKRS), disebutkan bahwa standar PKRS terdiri dari:
a. Rumah Sakit memiliki regulasi Promosi Kesehatan;
b. Rumah Sakit melaksanakan asesmen Promosi Kesehatan bagi Pasien,
Keluarga Pasien, SDM Rumah Sakit, Pengunjung Rumah Sakit, dan
Masyarakat Sekitar Rumah Sakit;
c. Rumah Sakit melaksanakan intervensi Promosi Kesehatan; dan
d. Rumah Sakit melaksanakan monitoring dan evaluasi Promosi Kesehatan

Permenkes 44 tahun 2018 juga mengatur penyelenggaraan PKRS agar


terselenggara secara optimal, efektif, efisien, dan berkesinambungan, Rumah
Sakit diminta untuk membentuk atau menunjuk satu unit kerja fungsional yang
mempunyai tanggung jawab dalam menyelenggarakan PKRS yang memiliki
tugas:
a. melaksanakan perencanaan;
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan PKRS;
c. melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan;
d. menggerakkan Masyarakat Sekitar Rumah Sakit untuk mengidentifikasi
dan menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat masyarakat yang

28
bekerjasama dengan kelompok masyarakat peduli kesehatan serta sektor
lain terkait;
e. menyusun pedoman/panduan, Standar Prosedur Operasional (SPO),
pelaksanaan, dan regulasi internal PKRS;
f. membuat dan/atau mengembangkan media Promosi Kesehatan;
g. memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan kepada Kepala atau
Direktur Rumah Sakit;
h. melaksanakan pencatatan, pelaporan, pemantauan, dan penilaian
pelaksanaan Promosi Kesehatan yang terintegrasi;
i. melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia
penyelenggara PKRS;
j. melaksanakan pengembangan metode dan penelitian;
k. mengkoordinasikan pelaksanaan pelayanan PKRS yang terintegrasi dengan
profesional pemberi asuhan (PPA) pada setiap unit pelayanan di Rumah
Sakit; dan
l. mendorong terwujudnya Rumah Sakit sebagai tempat kerja yang sehat dan
aman.

Selain itu, diatur pula hal-hal yang berkaitan dengan penilaian PKRS,
yaitu: 1) Penilaian penyelenggaraan PKRS dilakukan secara internal dan
eksternal; 2) Penilaian internal PKRS dilakukan paling sedikit enam bulan
sekali oleh unit kerja fungsional PKRS sebagai bagian kegiatan monitoring dan
evaluasi; 3) Penilaian eksternal PKRS terintegrasi dengan pelaksanaan
akreditasi Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

2.1.7.5 Promosi Kesehatan untuk Pasien


Untuk memberikan promosi kesehatan kepada pasien, International
Network of Health Promoting Hospitals and Health Services (2020)
menekankan hal-hal yang perlu menjadi perhatian:

29
a. Membuat pelayanan berdasarkan bukti terbaik, staf yang ahli, dan sesuai
preferensi pasien
b. Meningkatkan partisipasi aktif pasien dan keluarga dalam memberikan layanan
dengan meningkatkan komunikasi dan edukasi efektif.
c. Membuat lingkungan yang sehat dan aman untuk pelayanan kesehatan ("do no
harm").
d. Tenaga promosi kesehatan memiliki kapasitas intervensi promosi kesehatan
e. Bekerja sama dengan sumber daya di komunitas untuk promosi kesehatan dan
keberlanjutan kesehatan pasien.

2.2 Aktivitas Intervensi


Intervensi yang kami lakukan bertujuan untuk menerapkan konsep healthy
settings, atau secara spesifik health-promoting hospital, dengan menggunakan metode
berbasis informasi, yang sangat relevan di era informasi dan transformasi digital. Hal
ini juga selaras dengan upaya digitalisasi sektor kesehatan yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu kami tertarik untuk mengembangkan sebuah
aplikasi seluler yang diberi nama Mobile Stroke Ward, yang mengacu kepada ruang
perawatan pasien stroke (“stroke ward”) namun tidak terkurung di dalam sebuah
ruangan fisik di rumah sakit, melainkan bersifat “mobile”. Di dalam aplikasi ini akan
ada checklist komprehensif tentang hal-hal yang harus diperhatikan oleh pasien stroke,
untuk memaksimalkan upaya meningkatkan gaya hidup sehat pada pasien stroke dan
mencegah readmisi akibat berulangnya kejadian stroke.
Aplikasi ini dimaksudkan untuk digunakan setelah pasien dipulangkan dari
rumah sakit, sebagai bagian dari discharge planning yang diupayakan pihak RS untuk
mempromosikan kesehatan pasien-pasien yang telah ditanganinya. Setelah dokter
penanggungjawab menyatakan bahwa seorang pasien stroke sembuh dan dapat
dipulangkan, pasien dan keluarganya akan diarahkan untuk berkonsultasi dengan
petugas yang sudah dilatih. Setelah mendapat persetujuan dari pihak pasien untuk
terlibat dalam intervensi, petugas akan menjelaskan mekanisme pengisian checklist
kepada keluarga, yang diberikan kepercayaan untuk merawat pasien dan memastikan
bahwa checklist yang disarankan bisa terpenuhi.

30
Keunggulan dari intervensi ini dibandingkan intervensi serupa yang
menggunakan cara konvensional (seperti log book fisik yang diberikan pihak Rumah
Sakit kepada pihak pasien) adalah bahwa petugas dapat memantau kinerja pasien dan
keluarganya secara real time, karena aplikasi ini dapat terhubung dengan sistem
informasi rumah sakit. Terpenuhi atau tidaknya checklist yang sudah disediakan, akan
langsung diketahui petugas tanpa harus menunggu pihak pasien dan keluarga datang
ke rumah sakit. Selain itu, aplikasi ini juga dapat memudahkan proses konsultasi pihak
pasien dengan petugas promosi kesehatan, maupun proses feedback dari petugas ke
pihak pasien dengan fitur instant messaging yang terdapat di dalam aplikasi.
Satu pertimbangan yang menurut kami perlu untuk diperhatikan dalam
penerapan intervensi ini adalah bahwa keberhasilannya sangat bergantung kepada
kesediaan pihak pasien dan keluarganya untuk dilibatkan. Selain itu, kesediaan saja
tidak cukup, namun pihak pasien dan keluarga juga harus mampu mengoperasikan
aplikasi dengan baik. Sehingga, petugas perlu memastikan agar seluruh penjelasan
yang harus diberikan, dapat dipahami dan dikerjakan oleh pihak pasien dan
keluarganya.
Aplikasi ini dimaksudkan untuk memiliki tiga fitur utama, yakni:
1. Identitas dan riwayat berobat pasien
Fitur ini memberikan informasi mengenai identitas singkat pasien
dan timeline yang menginformasikan kapan pasien datang berobat ke RS.
Hal ini memudahkan pihak pasien untuk mendapat gambaran besar
mengenai perjalanan penyakit pasien. Fitur ini tidak berisi informasi
mengenai riwayat gejala, pemeriksaan, diagnosis, dan terapi pasien untuk
memastikan kerahasiaan rekam medis pasien terjaga.
2. Checklist perawatan pasien di rumah
Bagian ini berisi checklist tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh
pasien di rumah sebagai upaya mempromosikan kesehatan pasien stroke.
Setiap kali pasien memenuhi atau menjalankan hal-hal yang disarankan,
pihak pasien dapat memberikan tanda centang. Hal ini akan langsung
terhubung dengan sistem RS, sehingga kinerja pihak pasien langsung dapat
diketahui dan dipantau secara real time. Checklist yang dimaksud

31
mencakup peralatan yang perlu disediakan dan kegiatan sehari-hari yang
perlu dilakukan.
3. Instant messaging
Fitur ini dimaksudkan untuk memudahkan komunikasi antara
petugas dengan pihak pasien, sehingga kendala apapun yang muncul dapat
segera didiskusikan dan ditangani.

2.2.1 Rancangan Organogram

2.2.2. Rancangan Kronogram (untuk enam bulan pertama)

32
2.2.3. Monitoring dan Evaluasi
2.2.3.1 Evaluasi Hasil (indikator)
● Jangka pendek (Output):
➢ Persentase pihak pasien yang bersedia melakukan intervensi
➢ Persentase pemenuhan checklist
➢ Konsistensi pengisian checklist oleh pihak pasien
● Jangka panjang (outcome): persentase readmisi pasien stroke
karena stroke berulang
2.2.3.2 Evaluasi Proses (umpan balik)
• Umpan balik dari pihak pasien/keluarga
• Umpan balik dari petugas pelaksana

2.3 Budget Program


Adapun rancangan anggaran belanja (RAB) program ini dibuat untuk berbagai
pertimbangan dengan rincian sebagai berikut:

No. Komponen Detail Unit Cost Total

1 Pengembangan aplikasi 1 Orang 6 Bulan 5.000.000 30.000.000

2 Sosialisasi:
- Transport 6 Orang 3 Kali 150.000 2.700.000
- ATK 1 Set 3 Kali 300.000 100.000

3 Pelatihan:
- Honor Trainer 1 Orang 2 Kali 1.000.000 2.000.000
- Honor Fasilitator 6 Orang 2 Kali 300.000 3.600.000
- Makan + Snack 1 Orang 2 Kali 30.000 60.000
Trainer
- Makan + Snack 6 Orang 2 Kali 30.000 360.000
Fasilitator
- Makan + Snack 10 Orang 2 Kali 30.000 600.000
Peserta
- ATK 1 Set 2 Kali 100.000 200.000

4 Maintenance aplikasi 1 Set 1 Kali 3.000.000 3.000.000

5 Insentif petugas SMW 10 Orang 6 Bulan 750.000 45.000.000

33
6 Proses pengajuan HAKI 1 Set 1 Kali 10.000.000 10.000.000

TOTAL 97.620.000

2.4 Media yang Digunakan untuk Intervensi: Aplikasi “Mobile Stroke Ward” (MSW)

Halaman Login Halaman Utama

34
Riwayat Berobat Fitur Edukasi Seputar Stroke

Fitur Edukasi Seputar Stroke

35
Fitur Edukasi Seputar Stroke

36
Fitur Checklist Kegiatan

Fitur Checklist Peralatan Fitur Konsultasi dengan Petugas


(Instant Messaging)

37
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Prevalensi stroke di Indonesia semakin meningkat. Jumlah kematian akibat
stroke juga masih tinggi. Salah satu faktor penting dalam keberhasilan mengurangi
readmisi pasien stroke adalah melalui keberhasilan discharge planning. Discharge
planning penting untuk mempertahankan kontinuitas perawatan. Dibutuhkan metode
atau strategi baru untuk mendukung keberhasilan discharge planning ini. Aplikasi
“Mobile Stroke Ward” ini merupakan metode dan strategi baru untuk mengurangi
readmisi pasien stroke.

3.2 Saran
Guna penyempurnaan aplikasi agar dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
membandingkan angka readmisi kelompok pasien yang mengikuti intervensi dan
kelompok pasien yang tidak mengikuti intervensi, sehingga dampak dari intervensi ini
dapat dievaluasi.

38
DAFTAR PUSTAKA

J Tay, Matthew Rong. 2021. “Hospital Readmission In Stroke Survivors One Year Versus
Three Years After Discharge From Inpatient Rehabilitation: Prevalence And
Associations In An Asian Cohort. From the Department of Rehabilitation Medicine,
Tan Tock Seng Hospital, Singapore”. Journal of Rehabilitation Medicine.
Accepted May 28, 2021; Epub ahead of print Jun 7, 2021. doi: 10.2340/16501977-
2849.
Triwijayanti, Renny dan Annisa Rahmania. 2022. “Faktor yang Memberikan Impact pada
Angka Readmission terhadap Pelaksanaan Discharge Planning Stroke”. Jurnal
Keperawatan Silampari Volume 5, Nomor 2, Juni 2022. e-ISSN: 2581-1975. p-
ISSN: 2597-7482. DOI: https://doi.org/10.31539/jks.v5i2.3003.
Kurniya, Darmawati, dkk. 2020. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya
Readmission pada Pasien Stroke di Rumah Sakit”. Literature Review. Proceeding
of Sari Mulia University Nursing National Seminars.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI RI. 2018.
“Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)”. Laporan Nasional 2018. Hal 164.
Balitbangkes. 2007. “Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)”. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI
Balitbangkes. 2013. “Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)”. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI
Balitbangkes. 2018. “Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)”. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI
Balitbangles. 2018. “Analisis Beban Penyakit Nasional dan Sub Nasional Indonesia 2017”.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Balitbangkes. laporan_BoD2017.pdf (acehprov.go.id). Diakses pada 27 November 2022
Balitbangles. 2020. “Kinerja Pembangunan Kesehatan di Indonesia Tantangan, Masalah,
dan Solusi.” Jakarta: Balitbangkes.
https://repository.bkpk.kemkes.go.id/4143/1/Buku Kinerja Pembangunan
Kesehatan di Indonesia.pdf. Broughton B.R., Reutens D.C., Sobey C.G. 2009.

39
Apoptotic mechanisms after cerebral ischemia. Stroke. 2009;40:e331–e339. doi:
10.1161/STROKEAHA.108.531632.
WHO. 2016. “Stroke, Cerebrovascular Accident.”
doi:http://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/index.html.
Data Instalasi Rekam Medis RSPON. (2022).
Dahlgren G dan Whitehead M. 1991. “Policies and Strategies to Promote Social Equity in
Health. Stockholm: Institute of Futures Studies.” By permission of the World
Health Organization
Flaherty M.L., Woo D., Haverbusch M., Sekar P., Khoury J., Sauerbeck L., Moomaw C.J.,
Fox, M.T. et al., 2013. “Effectiveness of early discharge planning in acutely ill or injured
hospitalized older adults .” : a systematic review and metaanalysis. pp.1–9.
Courtney, M.D. et al., 2011. “A randomised controlled trial to prevent hospital
readmissions and loss of functional ability in high risk older adults : a study
protocol.”
Ni Putu E , Agnes Widayu E , Dolly Irbantoro. 2016. “Unit Stroke di Rumah Sakit: Arti
Penting dan Model Pelayanan.”
https://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/1664. Jurnal Kedokteran Brawijaya
, pp. 273-278 Online Published First: 26 Agustus 2016 Article History: Received
17 Maret 2016, Accepted 15 Juni 2016.
International Network of Health Promoting Hospitals and Health Services. 2020.
“Standards for Health Promoting Hospitals and Health Services.” Hamburg,
Germany: International HPH Network; December, 2020
Kementerian Kesehatan RI. 2017. “Germas Cegah Stroke.” Germas Cegah Stroke -
Direktorat P2PTM (kemkes.go.id)
Kementerian Kesehatan RI. 2018. “Peraturan Menteri Kesehatan nomor 44 Tahun 2018
tentang Penyelenggaraan Promosi Kesehatan Rumah Sakit.” Permenkes Nomor 44
Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
(kemkes.go.id)
Kementerian Kesehatan RI. 2019. Peraturan Menteri Kesehatan nomor
HK.01.07/MENKES/394/2019 tentang Pedoman Tatalaksana Stroke.
fileunduhan_1610420235_482259.pdf (kemkes.go.id)

40
Kuriakose D dan Xiao Z. 2020. “Physiology and Treatment of Stroke: Present Status and
Future Perspectives.”. Int J Mol Sci. 2020 Oct; 21(20): 7609.
Lalonde, M. 1974. “A New Perspective on the Health of Canadians: A Working
Document.” Ottawa: Government of Canada [reprin ted 1981: http://www.phac-
aspc.gc.ca/ph- sp/pdf/perspect- eng.pdf].
Lee DC, Williams C, Lalor AF, Brown T, Hainers TP. 2018. “Hospital readmission risks
in older adults following inpatient subacute care: A six-month follow-up study.”
Epub 2018 Jul-Aug;77:142-149.
Lewsey J, Ebueku O, Jhund PS, Gillies M, Chalmers J, Redpath A, Briggs A, Walters M,
Langhorne P, Capewell S, McMurray J, MacIntyre K. 2015. “Temporal trends and
risk factors for readmission for infections, gastrointestinal and immobility
complications after an incident hospitalisation for stroke in Scotland between 1997
and 2005.” BMC Neurol. 2015 Jan 16;15:3.
Musuka T.D., Wilton S.B., Traboulsi M., Hill M.D. 2015. “Diagnosis and management of
acute ischemic stroke: Speed is critical.” CMAJ. 187:887–893.
Ngatini. 2019. “Peran Edukasi Kolaborasi Terhadap Pasien Stroke Dalam Meningkatkan
Optimalisasi Derajat Kesehatan”. RSUP Dr. Sardjito | Peran Edukasi Kolaborasi
Terhadap Pasien Stroke Dalam Meningkatkan Optimalisasi Derajat Kesehatan
Notoatmodjo S. 2003. “Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.” Jakarta: Rineka Cipta.
Nutland W dan Cragg L. 2015. “Health Promotion Practice 2nd Edition.” New York:
McGraw-Hill
Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et al. 2013. “An
updated definition of stroke for the 21st century. Stroke.” 2013;44:1–26.
Schneider A., Kissela B., Kleindorfer D., et al. 2005. “Racial variations in location and risk
of Intracerebral Hemorrhage Stroke.” 36:934–937
Tay MR. 2021. “Hospital Readmission in Stroke Survivors One Year Versus Three Years
after Discharge from Inpatient Rehabilitation: Prevalence and Associations in an
Asian Cohort.” J Rehabil Med 2021; 53: jrm
Venketasubramanian N, Yudiarto FL, Tugasworo D. 2022. “Stroke Burden and Stroke
Services in Indonesia.” Cerebrovasc Dis Extra 2022;12:53–57

41
World Health Organization (WHO). 1986. “The Ottawa Charter for Health Promotion”
https://www.who.int/health[1]pro mo tion/conferences/prev ous/ottawa/en/
Yang Hsieh C , Juan Lin Huey , Han Hu Ya , Feng Sung S. 2017. “Stroke severity may
predict causes of readmission within one year in patients with first ischemic stroke
event.” J Neurol Sci. 2017 Jan 15;372:21-27. Stroke severity may predict causes of
readmission within one year in patients with first ischemic stroke event - PubMed
(nih.gov)
Zhong W, Geng N, Wang P, Li Z, Cao L. 2016. “Prevalence, causes and risk factors of
hospital readmissions after acute stroke and transient ischemic attack: a systematic
review.” Neurol Sci;37(8):1195-202.

42

Anda mungkin juga menyukai