Oleh:
Pembimbing:
dr. Dian N. Sirait, Sp. BA
SMF
BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
JAYAPURA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
CENDERAWASIH
JAYAPURA
2022
BAB I
PENDAHULU
AN
Muntah pada bayi dan anak merupakan gejala yang sering
ditemukan dan seringkali merupakan gejala dari berbagai macam
penyakit maupun kelainan. Muntah secara klinis merupakan hal yang
penting sebab muntah yang berkepanjangan atau persisten akan
mengakibatkan gangguan metabolisme.
Sifat dan ciri muntah dapat membantu kita untuk mengarahkan
penyebab muntah. Misal muntah yang proyektil dapat dikaitkan
dengan adanya obstruksi gastrointestinal atau tekanan intrakranial
yang meningkat. Bahan muntahan yang masih dalam bentuk apa yang
dimakan menunjukkan bahwa bahan muntahan belum sampai di
lambung dan belum tercerna oleh asam lambung berarti penyebab
muntahnya berasa di esofagus. Muntah yang mengandung gumpalan
susu yang tidak berwarna coklat atau kehijauan mencerminkan bahwa
bahan muntahan berasal dari lambung. Muntah yang berwarna
kehijauan menunjukkan bahwa bahan muntahan berasal dari
duodenum dimana obstruksi terjadi dibawah papila vateri.
Pada bayi yang muntah juga dapat menyebabkan bayi mengalami
gangguan metabolik dan nutrisi. Gangguan metabolik bisa berupa
dehidrasi, alkalosis, kekacauan elektrolit. Dehidrasi disebabkan oleh
karena hilangnya cairan oleh muntah yang terjadi. Sedangkan pada
nutrisi, pertumbuhan pada bayi dapat terhambat oleh karena nutrisi
atau asupan yang masuk berkurang.
Hypertrophic Pyloric Stenosis (HPS) adalah suatu kelainan
bedah anak yang menyebabkan muntah pada bayi. Insidens HPS
diperkirakan sebanyak 2 sampai 4 kasus dalam tiap 1000 angka
2
kelahiran hidup dalam 1 tahun pada kebanyakan populasi kulit putih,
terutama ras kaukasia di Eropa bagian Utara. Keadaan ini lebih jarang
ditemukan diantara populasi orang kulit hitam dan asia dengan
frekuensi kejadian berkisar di angka 1 sampai 3 kasus dari 1000 angka
kelahiran hidup tiap tahunnya.
HPS untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Hildanus pada
tahun 1646, namun deskripsi klinis yang lebih jelas mengenai keadaan
ini diungkapkan oleh Hirschsprung di tahun 1888. Sejak saat itu
berbagai upaya pemahaman akan diagnosis dan penanganan HPS
mulai berkembang dan mengalami kemajuan yang
3
cukup pesat, terutama dalam bidang kedokteran bedah, walaupun
etiologi ataupun penyebab dan mekanisme patofisiologi keadaan ini
secara pasti masih belum dapat diketahui hingga saat ini. HPS bisa
merupakan kejadian kongenital maupun didapat. Ada teori yang
menjelaskan etiologi ini antara lain hiperaktifitas lambung yang
menyebabkan spasme, hipertropi muskulus dan inervasi pilorus yang
abnormal.
Beberapa penelitian menduga kuat adanya predisposisi genetik
pada suatu HPS. Penderita laki-laki lebih banyak ditemukan daripada
perempuan dengan perbandingan sekitar 4-6:1, dimana anak laki-laki
pertama memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami keadaan
ini. Riwayat keturunan dalam keluarga dianggap berkaitan dimana
didapatkan orang tua (ibu atau ayah) yang pernah mengalami suatu
Hypertrophic Pyloric Stenosis (HPS) memiliki sekitar 5-20 % anak
laki-laki dan 3-7% anak perempuan dengan resiko tinggi HPS.
Berdasarkan penelitian sebelumnya anak dari seorang ibu yang
menderita HPS memiliki resiko sekitar 3-4 kali lebih sering untuk
mengalami HPS dibandingkan anak dengan ayah yang menderita
HPS.
Manifestasi klinis HPS adalah obstruksi yang menyebabkan
muntah proyektil sesudah pemberian minuman formula atau ASI.
Muntah yang terus menerus menyebabkan terjadinya pengosongan
lambung. Tampak peristaltik
lambung dan teraba masa di perut yang bentuk olive di kuadran kanan
atas. Frekuensi dan volume muntah sering kuat dan berkepanjangan,
sehingga produk muntah bisa berupa darah kebiruan karena gastritis.
Muntah merupakan tanda kegagalan proses pengosongan
4
lambung yang mengakibatkan dehidrasi berat, gangguan elektrolit,
gangguan keseimbangan asam basa, penurunan berat badan dan dapat
berlanjut syok. Salah satu penyebab HPS diduga karena gangguan
koordinasi antara gerakan peristaltik gaster dan relaksasi pilorus.
Berdasarkan beberapa penelitian di dunia didapatkan angka
kematian akibat HPS diperkirakan mencapai sekitar 50-75% sebelum
tahun 1912, ketika piloromiotomi belum diperkenalkan. HPS telah
berhasil ditangani selama beberapa dekade dengan teknik bedah
Ramstedt pyloromyotomi ekstramukosal, yang
5
merupakan gold-standart penatalaksanaan HPS didukung dengan
perawatan sebelum dan sesudah operasi yang adekuat. Tatalaksana
gizi dan nutrisi juga tidak dilupakan guna mempertahankan keadaan
bayi tetap stabil dan siap untuk dilakukan tindakan operasi serta post
operasi. Terapi gizi atau terapi diet adalah bagian dari perawatan
penyakit atau kondisi klinis yang harus diperhatikan. Dengan
demikian didapatkan angka kematian HPS menjadi sangat menurun
dengan jumlah yang diperkirakan kurang dari 1 % dan saat ini HPS
tidak lagi dianggap sebagai suatu keadaan yang bersifat mengancam
kehidupan.
6
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipertropi pyloric stenosis (HPS) merupakan suatu
kondisi yang terjadi pada bayi dengan lambung bagian pilorus
mengalami penebalan yang abnormal. Definisi menurut
Wikipedia encyclopedia, HPS adalah penyempitan di jalan
keluar lambung sampai bagian pertama dari duodenum
menyebabkan pembesaran (hipertropi) muskulus sekitar jalan
keluar tersebut (pilorus) dan mengalami spasme saat lambung
kosong.
2.2 Anatomi Lambung
Lambung merupakan organ berbentuk kantong seperti
huruf ‘J’, dengan volume pada orang dewasa 1200-1500cc pada
saat berdilatasi. Sedang lambung bayi baru lahir mempunyai
kapasitas 10-20cc, bayi usia 1 minggu 30-90cc, bayi usia 2-3
minggu 75-100cc, bayi usia 1 bulan 90- 150cc, bayi usia 3
bulan 90-150cc, dan bayi usia 1 tahun 210-360cc. Pada bagian
superior, lambung berbatasan dengan bagian distal esofagus,
sedangkan bagian inferior berbatasan dengan duodenum.
7
Lambung terletak pada daerah epigastrium dan meluas ke
hipokhondrium kiri. Kecembungan lambung yang meluas ke
gastroesofageal junction disebut kurvatura mayor.
Kelengkungan lambung bagian kanan disebut kurvatura minor,
dengan ukuran ¼ dari panjang kurvatura mayor. Seluruh organ
lambung terdapat di dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh
omentum. Gambar 1 dan 2 merupakan anatomi lambung. Secara
anatomi terbagi atas 5 daerah yaitu: (1) Kardia, daerah yang
kecil terdapat pada bagian superior di dekat gastroesofageal
junction;
(2) Fundus, bagian berbentuk kubah yang berlokasi pada bagian
kiri dari kardia dan meluas ke superior melebihi tinggi
gastroesofageal junction; (3) Korpus, merupakan 2/3 bagian
dari lambung dan berada di bawah fundus sampai ke bagian
paling bawah yang melengkung ke kanan membentuk huruf ‘J’
(4) Antrum pilori, adalah bagian 1/3 bagian distal dari lambung.
Keberadaannya secara horizontal meluas dari korpus hingga ke
sphincter pilori (5) Sphincter pilori, merupakan bagian tubulus
yang paling distal dari lambung. Bagian ini secara
kelesuluruhan dikelilingi oleh lapisan otot yang tebal dan
berfungsi mengontrol lewatnya makanan ke duodenum.
Permukaan fundus dan korpus banyak dijumpai lipatan rugae
lambung. Pembuluh darah yang mensuplai lambung merupakan
percabangan dari arteri celiac, hepatik dan splenik. Aliran
pembuluh vena lambung dapat secara langsung masuk ke sistem
portal atau secara tidak langsung melalui vena splenik dan vena
mesenterika superior. Nervus vagus mensuplai persyarafan
8
parasimpatik ke lambung dan pleksus celiac merupakan inervasi
simpatik. Banyak ditemukan pleksus saluran limfatik dan
kelenjar getah bening lainnya. Dinding lambung terdiri dari
empat lapisan yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis
eksterna (propria) dan serosa. Permukaan mukosa dilapisi oleh
sel epitel kolumnar penghasil mukus dan meluas ke sebagian
foveolar atau pit. Lapisan mukosa terbagi atas dua lapisan yaitu
lamina propria dan lapisan muskularis mukosa. Pada lapisan
muskularis mukosa, terdapat lapisan otot sirkuler pada bagian 6
dalam dan lapisan otot longitudinal pada bagian luarnya. Otot-
otot ini berkelanjutan
9
membentuk kelompokan kecil (fascia) otot polos yang tipis
menuju ke bagian dalam lamina propria hingga ke permukaan
epitel. Pada lapisan sub- mukosa, jaringannya longgar dan
mengandung sejumlah jaringan ikat elastik, terdapat pleksus
arteri, vena, pembuluh limfe dan pleksus nervus Meissner.
Muskularis eksterna terdiri dari tiga lapisan yaitu longitudinal
luar (outer longitudinal), sirkuler dalam (inner sirkuler) dan
oblik yang paling dalam (innermost oblique). Lapisan sirkuler
sphincter pilorik pada gastroesofageal junction. Pleksus
Auerbach (myenteric) berlokasi pada daerah di antara lapisan
sirkular dan longitudinal dari muskularis eksterna.
2.3 Epidemiologi
HPS sering terjadi pada bayi dengan usia kehidupan 2-10
minggu, namun beberapa literatur 2-12 minggu. Insidensinya di
populasi barat 2-4 per 1000 bayi lahir hidup tetapi pada
populasi asia dan afrika lebih rendah. Bayi laki-laki lebih
banyak terkena daripada perempuan dengan perbandingan 4:1.
Alasan kenapa lebih banyak pada laki-laki tidak diketahui.
Terdapat beberapa eviden kejadian HPS meningkat pada
kelahiran anak pertama dan 7% terjadi pada keluarga yang
mempunyai riwayat serupa. HPS lebih sering terjadi pada bayi
yang mendapatkan minum dari botol pada populasi pedesaan.
Resiko yang rendah terjadi pada umur ibu yang lebih tua,
pendidikan ibu yang tinggi, dan berat badan lahir rendah.
2.4 Etiologi
Etiologi HPS sampai saat ini belum diketahui. HPS bisa
merupakan kejadian kongenital maupun didapat. Teori yang
menjelaskan etiologi ini antara lain hiperaktifitas lambung yang
10
menyebabkan spasme, hipertropi muskulus dan inervasi pilorus
yang abnormal. Adanya predisposisi genetik disertai faktor
lingkungan merupakan penjelasan yang paling banyak diterima.
Abnormalitas kromosom yang dilaporkan antara lain adanya
translokasi kromosom 8 dan 17 serta trisomi sebagian dari
kromosom 9. Kontribusi genetik didukung oleh suatu fakta 19%
laki-laki dan 7% perempuan dengan ibu yang mengalami
stenosis pilorus. Stenosis pilorus
11
terjadi hanya pada 5% laki-laki dan 2,5% perempuan dengan
ayah yang mempunyai 8 penyakit serupa. Sedangkan hubungan
HPS dengan bayi kembar monozigot terlihat pada 0,25–0,44
sedangkan kembar dizigot 0,05- 0,19.
2.5 Gejala Klinis
Manifestasi kinis HPS adalah obstruksi yang
menyebabkan muntah proyektil non bilous sesudah pemberian
minuman formula atau ASI. Muntah yang terus 7 menerus
menyebabkan terjadinya pengosongan lambung. Tampak
peristaltik lambung dan teraba masa di perut yang bentuk olive
di kuadran kanan atas. Frekuensi dan volume muntah sering
kuat dan berkepanjangan, sehingga produk muntah bisa berupa
darah kebiruan karena gastritis. Pada suatu penelitian, 66 %
pasien disertai hematemesis karena esofagitis atau gastritis8 .
Tergantung berapa lama gejala terjadi, sebagian pasien
mengalami dehidrasi, alkalosis hipokalemia, irritable, berat
badan turun, dan pertumbuhan lambat. Keadaan jaundice terjadi
pada kira- kira 2% bayi dengan HPS sekunder. Tujuh persen
berhubungan dengan malformasi. Tiga malformasi utama yaitu
malformasi intestinal, obsruksi uropati dan atresia esofagus.
Selain itu anomali lain yang berhubungan dengan stenosis
pilorus antara lain hiatal hernia, gangguan aktifitas hepatic
glucovenyl transferase (sindrom Gilbert).
2.6 Patogenesis
Meskipun HPS pada bayi adalah kondisi paling umum
yang membutuhkan pembedahan dalam beberapa bulan pertama
kehidupan, namun patogenesisnya tidak sepenuhnya dipahami.
12
Perkembangan terbaru patogenesis HPS pada bayi antara lain:
(1) Adanya bukti menunjukkan sel- sel otot polos di HPS pada
bayi tidak mempunyai inervasi yang baik (2) Karena non-
adrenergik, saraf non-kolinergik merupakan mediator relaksasi
otot halus, sehingga terdapat kemungkinan tidak adanya saraf
ini di otot pilorus menyebabkan kontraksi berlebihan dan terjadi
hipertrofik otot pilorus sirkuler (3) Terdapat sejumlah protein
matriks ekstraseluler yang abnormal dalam otot pilorus
hipertrofik. Sel otot sirkuler pada HPS secara
13
aktif mensintesis kolagen dan hal ini bertanggung jawab
tehadap karakter dari tumor pilorus (4) Peningkatan ekspresi
insulin-like growth factor-I, transforming growth factor- beta 1,
dan plateletderived growth factor-BB dan reseptor otot
hipertrofik pilorus menunjukkan peningkatan sintesis lokal dari
faktor pertumbuhan dan mungkin memainkan peran penting
dalam hipertrofi otot polos HPS. Teori lain yang menyebabkan
terjadinya HPS pada bayi antara lain teori abnormalitas genetik,
teori kausa infeksi dan teori hiperasiditas. Selain itu defisiensi
lokal dari neuronal nitric oxide synthase di pylorus bertanggung
jawab terhadap manifestasi klinis dari HPS. Defisiensi neuronal
nitric oxide synthase menyebabkan kurangnya oksidasi nitrat
dan menyebabkan relaksasi otot sehinggga terjadi obstruksi
pilorus.
2.7 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis HPS diperlukan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan USG
dan pemeriksaan gastrointestinal dengan kontras.
1. Pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan klinis didapatkan
15
2. Foto polos radiografi. Foto polos radiografi tidak mempunyai
17
secara langsung. Pemeriksaan menggunakan transduser linear
5-7,5 MHz. Transduser sampai 10 MHz dapat digunakan
tergantung ukuran bayi dan dalamnya pilorus.
18
Gambaran klasik sonografi HPS adalah lingkaran
hipoekoik muskulus pilorus yang hipertropi yang
mengelilingi mukosa yang ekogen di tengahnya pada
potongan melintang dan disebut sebagai doughnut sign atau
bull’s eye atau target sign (gambar 6). Muskulus biasanya
tampak hipoekoik tetapi kadang-kadang membentuk pola
yang tidak seragam. Tampak muskulus lebih ekoik di
banding area dekatnya namun kurang ekoik di sisi yang lain.
Hal itu disebabkan efek anisotropik yang berhubungan
dengan tranduser USG dan serabut silindris muskulus pilorus.
Pada potongan longitudinal muskulus silindris relatif lebih
hipoekoik dibanding hepar. Diameter pilorus pada potongan
20
(misalnya saluran pilorus tidak pernah membuka secara
normal). Batas ini lebih rendah pada bayi umur kurang dari
30 hari. Menurut Chan et al, pada bayi kurang dari 21 hari
menggunakan ‘cut off’ tebal muskulus pylorus 3,5 mm.
21
menjadi andalan diagnosis gangguan gastric outlet
obstruction selama bertahuntahun. Pemeriksaan UGI dengan
kontras pada HPS menunjukkan tanda tidak langsung berupa
adanya efek pilorus pada lumen. Pada kasus-kasus yang
meragukan pada pemeriksaan USG diperlukan pemeriksaan
UGI dengan kontras untuk memastikan diagnosis. Selama
pemeriksaan UGI dengan kontras lambung harus
dikosongkan melalui selang naso gastric tube (NGT) sebelum
dan sesudah dilakukan pemeriksaan agar tidak terjadi
refluks dari isi
22
lambung. Kriteria primer diagnosis HPS pada pemeriksaan
UGI dengan kontras adalah adanya penyempitan saluran
pilorus, elongasi saluran pilorus dengan efek masa pilorus ke
lambung dan duodenum. Bahan kontras yang melalui saluran
pilorus menyebabkan lumen kanal terurai, pada beberapa
kasus bahan kontras terlihat melalui lebih dari satu saluran
dengan lipatan mukosa, yang dikenal sebagai double atau
triple track sign (gambar 9). Gambaran lain yang ditemukan
adalah string sign yang disebabkan karena penyempitan
saluran pilorus menyebabkan kontras yang lewat hanya
sedikit dan shoulder sign yang disebabkan karena adanya
efek masa dari pilorus yang mengalami hipertropi pada
antrum (gambar 10,11). Gambaran teat sign merupakan
puncak dari kontras di sisi curvatura minor antrum akibat
adanya peristaltik sedang gambaran beak sign merupakan
gambaran puncak kontras yang masuk ke dalam saluran
pylorus yang menyempit. Dasar dari bulbus terindentasi oleh
penebalan muskulus pilorus menimbulkan gambaran
mushroom sign/umbrella sign (gambar 12). Temuan
tambahan yang lain adalah adanya hiperperistaltik lambung
(caterpillar sign), volume residu lambung yang besar dan
pengosongan lambung yang terlambat1 . Namun
pengosongan lambung yang terlambat bukan indikator HPS
karena dapat terjadi pada kasus pylorospasme, hipotonia
lambung, sepsis dan ileus.
23
24
2.8 Penatalaksanaan
1. Koreksi elektrolit dan rehidrasi Pasien dengan HPS biasanya
25
dari aktifitas glucoronyl transferase. Keadaan ini self limited
setelah operasi. Standar operasi pada pasien HPS adalah
Ramstedt pyloromyotomy. Secara klasik operasi dilakukan
dengan insisi di perut kuadran kanan atas atau insisi secara
melintang di daerah supra umbilikal. Insisi secara vertikal di
buat di permukaan mid anterior muskulus superfisial dan
serosa, 1- 2 mm dari pyloroduodenal junction
26
sampai 0,5 cm ke antrum bagian bawah. Serabut dibawahnya
dibagi dengan diseksi tumpul dan penjepit. Dilakukan
perawatan untuk mencegah perforasi mukosa terutama di
bagian bawah insisi. Tampak protusio dari mukosa gaster
mengindikasikan tanda obstruksi. Perforasi mukosa biasanya
terjadi di duodenal end dan terindikasi dengan adanya cairan
empedu. Namun ketika hal ini terjadi, perbaikan dilakukan
dengan menggunakan sutura monofilamen absorbable jangka
panjang dan ditempatkan melintang dan ditutup dengan
omentum. Selanjutnya udara dimasukkan melalui NGT untuk
evaluasi integritas mukosa duodenal.
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding bayi dengan HPS adalah GERD
(gastroesophageal reflux disease), pylorospasme, atresia
pylorus, stenosis duodeni, malrotasi atau midgut volvulus.
Selama bertahun-tahun ahli radiologi menganggap pylorospasm
terjadi karena spasme cincin pilorus atau spingter pilorus.
Spasme cincin (atau "sphincter") menutup apertura pilorus,
sehingga menunda pengosongan lambung dan menyebabkan
retensi. Dengan kata lain, jika lambung terisi penuh oleh kontras
barium, menunjukkan pengosongan tertunda, atau kegagalan
pengosongan lambung dalam waktu tertentu (tanpa adanya lesi
organik), ahli radiologi yang lebih tua cenderung menyebut
sebagai "pylorospasm". Namun beberapa ahli menyatakan
pylorospasme merupakan kontraksi tonik dari antrum bukan
hanya kontraksi dari spingter. Penyakit yang mendasari
pylospasme dapat berupa ulkus duodenum, ulkus lambung,
gangguan nervus, atau spasme reflek akibat penyakit di organ
27
perut lainnya. Atresia pilorus merupakan kasus yang jarang.
Insidennya 1 per 100.000 bayi hidup dan kir-kira 1% dari semua
kasus atresia intestinal. Diagnosis suspek atresia pilorus bisa
didapatkan gejala muntah non bilious pada hari pertama
kehidupan dengan didukung adanya distensi abdomen dengan
atau tanpa gangguan nafas. Diagnosis dikonfirmasi dengan foto
polos abdomen dan ditemukan gambaran dilatasi gaster (single
bubble appearance) namun tidak disertai
28
adanya gambaran udara usus di distal gaster. Pemeriksaaan
USG tidak dapat memberikan gambaran yang khas.
Namun pada USG prenatal didapatkan gambaran distensi
gaster dengan polihidramnion. Stenosis duodeni adalah
penyempitan atau striktura lumen duodenum yang abnormal
menyebabkan obstruksi yang tidak lengkap. Berbeda dengan
atresia duodeni yang menyebabkan obstruksi lengkap. Stenosis
dan atresia duodeni umumnya terdapat pada bagian pertama dan
kedua duodenum, terutama di daerah sekitar papilla vateri.
Saluran empedu utama dapat berhubungan dengan mukosa
intraluminal web. Bila lumen sangat kecil, gejala menyerupai
atresia. Bila lumen agak longgar, gejala muncul saat berumur
beberapa bulan/tahun. Manifestasinya berupa muntah bilious
dan non bilious. Malformasi atau midgut volvulus merupakan
suatu kondisi usus menjadi terpelintir yang disebabkan karena
malrotasi selama masa perkembangan janin. Malrotasi usus
terjadi ketika sekuen embriologi normal saat perkembangan dan
fiksasi usus terganggu atau terputus. Usus yang mengalami
malrotasi rentan terhadap puntiran, dan dapat menyebabkan
midgut volvulus. Pada neonatus, malrotasi dengan midgut
volvulus mempunyai tanda khas berupa muntah empedu dengan
tanda radiografi menunjukkan adanya obstruksi usus letak
tinggi dan gambaran double bubble.
2.10 Prognosis
Sebagian besar bayi membaik setelah operasi dan tidak
memerlukan tambahan intervensi medis lebih jauh. Setelah
pembedahan pyloromyotomy muskulus pilorus menjadi ke
29
ukuran normal dan ketika dilihat selama operasi hanya tampak
garis halus 17 diatas pilorus di sisi myotomy. Namun, beberapa
kasus pilorus bisa tetap menebal setelah pembedahan dan bisa
sampai 5 bulan untuk kembali ke ketebalan normal. Pada
minggu pertama setelah operasi, ketebalan muskulus bisa sama
atau bahkan lebih tebal dari sebelum operasi dan secara
bertahap dapat kembali normal. Bagian anterior muskulus
cenderung untuk normal lebih dahulu, dan biasanya berkurang 3
mm selama 3 bulan. Bagian posterior merupakan bagian yang
terakhir untuk
30
menjadi normal, biasanya terjadi setelah 5 bulan.
Pyloromyotomy inkomplet dapat terjadi namun sulit dinilai
selama fase awal paska operasi. Pencitraan paska operasi
biasanya sulit di interpretasi dan tidak membantu. Namun jika
terjadi obstruksi gatric outlet komplet maka diperlukan
pyloromyotomy ulang. Mortalitas jarang, dan jika terjadi
biasanya disebabkan karena kurangnya cairan dan elektrolit
pada pasien.
31
BAB III
LAPORAN
KASUS
3.2 Anamnesis
33
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-)
Diabetes mellitus (-)
TB paru (-)
Jantung (-)
Asma (-)
3.3. Tanda-Tanda
1 Vital
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : E4V5M6
(Composmentis)
Nadi : 100x/menit
Respirasi : 30x/menit
Suhu : 36,6°C
SpO2 : 98% spontan
3.3. Status Generalis
2
A. Kepala dan Leher
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
34
Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis
(-/-), refleks pupil (+/+), diameter pupil (3mm/3mm)
35
Hidung : Deformitas cuping hidung (-), Sekret (-),
deviasi septum (-)
Mulut : Bibir kering (-), mulut mencong (-),
Telinga : Deformitas cuping telinga (-), sekret (-)
Leher : Papul (-), Pembesaran Kelenjar Getah
Bening (-), Peningkatan JVP (-)
B. Thoraks
1. Paru-paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris,
bentuk dada normal
Palpasi : Gerak dinding dada simetris
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-
)
2. Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba dilinea
midclavicula sinistra
Perkusi :
Batas Jantung Kanan : ICS IV linea parasternalis
dekstra Batas Jantung Kiri :ICS V 1
jari lateral linea
midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, gallop
(-), murmur (-)
C. Abdomen
Inspeksi : Bentuk perut datar, distensi (-),
papul (-) Auskultasi : Bising usus (+)
36
normal
Palpasi : hepar & lien tidak teraba membesar, nyeri
tekan (+) pada regio lumbal dekstra.
37
Perkusi : Timpani
D. Ekstremitas : Akral hangat, udem (-/-), papul (-), jejas (-), CRT
<2 detik
E. Genitalia : Dalam batas normal
F. Vegetatif : Makan/minum (+/+), BAB/BAK (+/+)
2. USG
38
Kesan : Gambaran Hypertropic Pyloric Stenosis
3. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil
Jenis Pemeriksaan 08/04/20 Nilai
22 Rujukan
Hematologi Rutin + Diff
Kadar Hemoglobin 9,9 (L) 13.6-17.3 g/dL
Hitung Hematokrit 27,2 (L) 41.3-52.1 %
Hitung Jumlah 8,90 4.79-11.34
Leukosit 103/uL
Hitung Jumlah 473 (H) 216-451
Trombosit 103/uL
PDW 10,8 9,6-15,2 fL
MPV 9,3 (L) 9,6-15,2 fL
Hitung Jumlah Eritrosit 3,34 (L) 4.11-5.55
106/uL
MCV 81,4 (H) 71,8-92,0 fL
MCH 29,6 22,6-31,6 pg
MCHC 36,4 30,8-35,2 g/L
Hitung Jenis Leukosit
Sel Basofil - 0-1 %
Sel Eosinofil - 0.7-5.4%
Sel Neutrofil 22.2 (L) 42.5-71.0%
Sel Limfosit 70,6 (H) 20.4-44.6%
Sel Monosit 7,2 3.6-9.9%
NLR 0,31 <3.13
Malaria (DDR) Negati
f
KIMIA DARAH
SGOT 106,0 (H) <=40 U/L
SGPT 82,7 (H) <=41 U/L
BUN 4,3 (L) 7-18 mg/dL
Creatinin 0.21 <=0.95 mg/dL
39
Na, K, Cl
40
Natrium Darah 135,30 135-148
mEq/L
Kalium Darah 3.30 (L) 3.50-5.30
mEq/L
CL Darah 105,60 98-106 mEq/L
Calcium Ion 1,22 1.15-1.35
mEq/L
Serologi
HBs Ag Non Non reaktif
reaktif
Anti HCV Non Non reaktif
reaktif
Mikrobiologi
PCR (Swab 1-2
Nasofaring) hari
PCR (Swab Orofaring) 1-2
hari
Antigen Covid-19 Non Non Reaktif
Reaktif
3.5 Diagnosis
Observasi Vomiting
Profuse Dehidrasi
ringan-sedang Suspek
Stenosis Pilorus
3.6 Terapi IGD
- Infus RL 262,5 cc / 4 jam
- Injeksi Ondansentron 0,35 mg
- Ranitidin 3,5 mg
- Cek darah
- Pro USG Abdomen = Evaluasi diameter dan Panjang segmen dari piloric
- Cek elektrolit
- Cek PCR
- DPJP dr. Dian, Sp. BA Raber dengan dr. Helena, Sp. A
3.7 Follow Up
41
HARI PERAWATAN KE-1 (09/04/2022)
RKK Sp. A
S Muntah (+) setiap minum susu, demam (-), batuk (-), sesak (-), pilek
(-), BAB/BAK
(+/+), Makan/minum (+/+) lewat NGT 40 ml/3 jam
42
O KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6 (compos mentis)
TTV:
HR
125x/m
RR :
32x/m SB
: 36,00C
SPO2 :
97%
Kepala/leher : normocephal, CA (-/-), SI (-/-), OC (-), pem>>KGB (-),
Thoraks : simetris ikut gerak nafas, suara nafas vesikuler +/+, rhonki
-/-, wheezing-
/-, BJ I-II regular
Abdomen : datar, supel, BU (+), turgor abdomen kembali cepat, hepar
& lien tidak teraba
Ekstremitas akral HKM, CRT < 2’, ulkus -/-
A Hipokalemia
Observasi vomiting dd Hipertrofi Piloric Stenosis
P Infus KAEN 3B 12 cc/jam
Injeksi Ondansentron Stop
Injeksi Ranitidin 2 x 3,5 mg (IV)
Urdahex 3x1 pulv (PO)
Diet susu via NGT 8x40 ml
43
S demam (-), kembung (+) di epigastrium, muntah (+) tadi malam, OGT
O KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6 (compos mentis)
44
Status lokalis :
I : distensi (+) epigastrium, gastrik
wave (+) A : Peristaltik (+)
P : Supel, Olive sign sulit dinilai
P : Timpani (+)
A Gastric Outlet ec Hipertrofi Piloric Stenosis
Jumlah Perdarahan + 1 cc
45
- Dilakukan prosedur aseptic, medan operasi
dipersempit dengan doek steril
- Dilakukan insisi supine umbilical kanan,
perdalam lapis demi lapis sampai dengan
peritoneum dibuka keluar darah jernih
- Dilakukan identifikasi pilorik, teraba
penebalan dan massa dilakukan
piloromitomi sampai mukosa tampak bulging
dilakukan pasase udara dapat melewati
pilorik
- Kontrol bleeding
- Tes leakage dengan NaCl no bubble
- Tutup luka operasi lapis demi lapis
- Operasi selesai
- Awasi KU dan KS
46
- OGT alirkan saat mulai diet. Klem OGT
47
- Infus D5 ¼ NS 18 tpm
- Puasa sampai dengan pukul 15.00
- Injeksi Cefotaxim 15mg/8jam
- Injeksi Antrain 35mg/8jam
- Imobilisasi
75cc
S Demam (-), rewel (-), muntah (+) 2x isi lender, susu (-), muntah
diawali batuk (+),
BAB (-)
O KU : Tangis Kuat, Gerak
48
aktif, Status Abdomen :
49
P : Timpani (+)
KU Aff
OGT
rewel)
Diet susu pagi ini jam 09.00 60cc, jam 12.00 75cc, > 12.00 semaunya
Mobilisasi gendong-gendong
50
BAB IV
PEMBAHAS
AN
Penegakan diagnosa awal pasien masuk yaitu Hypertrophy Pylorus Stenosis dapat
ditegakkan dengan dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan keluhan utama berupa muntah sejak 1 minggu SMRS. Pasien
muntah proyektil 4-5x/hari, tiap kali muntah 10 cc, isi muntah sesuai yang diminum
(susu formula), tak tampak warna kehijauan. Pasien minum susu formula 10 cc. Pasien
muntah 1 kali SMRS. Pasien juga susah BAB, kadang sehari tidak bisa BAB, BAB cair
(+) berwarna kuning.
Berdasarkan faktor risiko dan riwayat sosial pasien. Pasien berjenis kelamin laki-
laki dimana insiden HPS lebih tinggi dibanding perempuan, dan hanya melakukan ANC
sebanyak 2x. Maka pada status generalis pasien didapatkan Inpeksi : distensi (+)
epigastrium, gastrik wave (+), Auskultasi : Peristaltik (+), Palpasi : Supel, Olive sign
sulit dinilai, Perkusi : Timpani (+).
Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan pada awal pasien masuk dan di
rawat, pengelolaan berikutnya yang direncanakan adalah tindakan Piloromiotomi untuk
51
menegakkan diagnosa dan setelah dilakukan laparotomi didapatkan hasil evaluasi pada
daerah pilorus dengan kesan adanya massa dan penebalan.. Setelah prosedur laparotomi
piloriomotomi dilakukan pasien di rawat di ruangan selama beberapa hari dan kemudian
diresepkan obat untuk rawat jalan. Pemberian infus D5 ¼ NS/18tpm dan dianjutkan
puasa sampai pukul 15:00, injeksi cefotaxim 15mg/8jam, injeksi antrain 35mg/8jam,
imobilisasi gerak, Pasien juga diberikan program diet menggunakan Pedialyte sebanyak
30cc yang merupakan obat rehidrasi, dan pemberian susu formula secara bertahap.
52
BAB V
KESIMPULAN
53
DAFTAR PUSTAKA
55