Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

ULCER PADA LEPRA

Diajukan untuk memenuhi Tugas Akhir Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

PEMBIMBING : dr. Rani ,Sp.KK, M.kes, FINS DV

DISUSUN OLEH :

Rendra Imawan Syah

SMF KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDRAWASIH
JAYAPURA-PAPUA
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa india
kushta, di kenal sejak 1400 sebelum masehi. Kata kusta disebut dalam kitab injil,
terjemahan dari bahasa hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa
penyakit kulit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini
sangat kabur, apabila dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang. 1
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sabagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1
Berdasarkan data Depkes (2010), jumlah kasus baru tercatat 10.706 orang
dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi 0,86 per
10.000 penduduk. Data triwulan ke tiga 2010, angkacacat tingkat 2 akibat kusta di
Indonesia sebesar 10,37%. Sekitar 10% kasus adalah cacat tingkat 2 dan sekitar
80% adalah kasus kusta MB (Multi Baciller) serta sekitar 10% kasus merupakan
kasus pada anak. Jawa Timur merupakah provinsi dengan kasus kusta tertinggi di
Indonesia terdaftar pada Desember 2010 sebesar 5.496 kasus dengan 7,13% kasus
PB (Pauci Bacilier) dan sisanya (92,87%) adalah kasus MB. Prevalensi kasus
kusta adalah sebesar 1,47 per 10.000 penduduk.2
Ulkus neuropatik adalah kecacatan serius yang paling sering (10-20%)
ditemukan pada pasien MH. Pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012,
terdapat 2.303 pasien MH yang berobat di unit rawat jalan rumah sakit kusta
(RSK) Dr. Sitanala Tangerang. Terdapat 259 (11,3%) pasien MH dengan ulkus
dan 56 (2,4%) di antaranya harus dirawat inap. Ulkus neuropatik MH adalah ulkus
yang terkait dengan hilangnya sensasi protektif pada lengan dan tungkai sebagai
akibat neuropatia perifer pada pasien MH. Ulkus neuropatik MH sulit sembuh dan
sering rekuren. Gangguan sensibilitas, deformitas, trauma, infeksi sekunder, dan
keterlibatan tulang merupakan faktor utama rekurensi ulkus neuropatik MH.3
Penyembuhan ulkus yang tidak baik akan menimbulkan sikatriks yang
dapat memicu siklus ulkus-sikatriks-ulkus sehingga ulkus makin sulit sembuh.

2
Ulkus kronik dapat mengakibatkan berbagai komplikasi, termasuk keganasan.
Sebuah survei memperlihatkan bahwa 81% responden tidak mengetahui bercak
hipopigmentasi yang mati rasa adalah gejala dan tanda MH. Namun 89,6%
responden di kelompok yang sama mengasosiasikan MH dengan deformitas atau
ulkus. Ulkus kronik juga dapat menyebabkan pasien MH dikucilkan oleh
masyarakat. Oleh karena itu, prioritas tenaga kesehatan tidak hanya untuk
mencegah terjadinya ulkus tetapi juga harus mempercepat proses penyembuhan
ulkus agar pasien dapat kembali ke komunitas dan beraktivitas lagi. 3
Ulkus neuropatik MH dapat dibagi menjadi ulkus sederhana dan
komplikata. Yang termasuk ulkus neuropatik sederhana adalah ulkus neuropatik
yang hanya melibatkan kulit dan subkutis tanpa keterlibatan struktur lebih dalam,
misalnya tulang atau tendon. Terdapat berbagai pendekatan medis pada
penatalaksanaan ulkus neuropatik sederhana MH, antara lain salap seng oksida
(ZnO) 10%. Meskipun memberikan hasil cukup baik, berbagai metode tersebut
belum optimal dan menunjukkan keterbatasan. Hidayat dkk.14 meneliti efektivitas
salap ZnO 10% untuk pengobatan ulkus plantar sederhana pasien MH dan
mendapatkan proporsi tingkat kesembuhan baik (pengecilan ulkus > 75%) hanya
35%. Oleh karena itu banyak ahli masih mencari serta mengembangkan metode
dan zat aktif terbaru untuk mengobati ulkus neuropatik sederhana MH yang
efektif, aman, mudah diperoleh, dan murah. 3
Ulkus neuropatik adalah kecacatan serius yang paling sering (10-20%)
ditemukan pada pasien MH. Ulkus neuropatik MH sulit sembuh, sering rekuren,
dan dapat mengakibatkan berbagai komplikasi serius. Ulkus kronik juga dapat
menyebabkan pasien MH dikucilkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, prioritas
tenaga kesehatan tidak hanya untuk mencegah terjadinya ulkus, tetapi juga harus
mempercepat proses penyembuhan ulkus agar pasien dapat kembali ke komunitas
dan beraktivitas lagi. 3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae, satu-satunya bakteri patogen yang menyerang saraf
perifer. Sekitar 30% orang dengan kusta akan mengalami kerusakan saraf.
Kerusakan saraf mengakibatkan gangguan sensitifitas, motorik, dan otonom,
dengan ulkus yang sebagian besar terdapat pada kaki dan tangan.4
2.2. Epidemiologi
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) yang diterima
dari 145 negara di seluruh dunia, prevalensi kusta tahun 2015 sebesar 174.608
kasus, dengan angka prevalensi 0,29 per 10.000 penduduk. Indonesia menempati
urutan prevalensi ketiga di dunia setelah India, dan Brazil dengan jumlah kasus
baru terbanyak merupakan tipe multibasiler (MB). Berdasarkan data registrasi di
rumah sakit umum pusat Sanglah terdapat 172 kasus baru kusta selama kurun
waktu 2 tahun sejak tahun 2015 hingga 2016, dengan 37 kasus merupakan kusta
tipe borderline-lepromatous (BL).7 Jumlah Kasus Eritema Nodosum Leprosum
(ENL) berdasarkan catatan kunjungan Poliklinik Kulit Kelamin RSUP Sanglah
tercatat 33 kasus setelah pengobatan MDT dan 8 kasus sebelum mendapat
pengobatan MDT selama periode waktu 2015-2016.5
2.3. Patogenesis
Pada pasien MH terjadi gangguan saraf sensoris, motoris, dan autonom.
Gangguan saraf sensoris menyebabkan hipoestesia atau anestesia yang berakibat
hilangnya sensasi protektif. Hilangnya sensasi protektif akan menyebabkan
hilangnya kemampuan seseorang untuk mendeteksi trauma pada dirinya. Daerah
yang sering mengalami hilangnya sensasi adalah mata, telapak tangan dan telapak
kaki. Gangguan motorik mengakibatkan kelemahan atau kelumpuhan kelompok
otot tertentu dan menyebabkan distribusi tekanan yang tidak rata sehingga ada
bagian tubuh yang sering mendapatkan tekanan fokal berulang secara berlebihan.
Tekanan berlebihan dan berulang adalah salah satu faktor pencetus timbulnya
ulkus. Faktor risiko lain adalah kalus dan deformitas. Gangguan otonom akan

4
menimbulkan anhidrosis yang mengakibatkan kekeringan kulit sehingga mudah
terjadi fisura. Kerusakan saraf otonom juga menyebabkan gangguan vaskular
setempat yang memudahkan terjadinya kerusakan kulit dan gangguan
penyembuhan luka. Gangguan motoris, sensoris, dan fungsi saraf autonom
mendasari kerusakan dan ketidakmampuan tangan dan kaki yang menjadi faktor
predisposisi timbulnya salah guna (misuse). Mekanisme ini mengakibatkan
mudahnya terjadi trauma sehingga akhirnya timbul ulkus, kemudian dapat terjadi
infeksi sekunder dan sikatriks. Terjadi siklus ulkus-sikatriks-ulkus yang
mengakibatkan ulkus sering rekuren.3

2.4. Gejala klinik


Gejala klinik pada tinea umumnya sama perbedaan dari klasifikasi adalah
tempat terjadinya penyakit tersebut, Tinea imbrikata merupakan kelainan kronis
dari tinea korporis memiliki gejala klinik yang dapat dijumpai pada pasien berupa
papul berwarna cokelat yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum
pada kulit yang terkena agen akan terlepas dari dasarnya dan melebar, dan proses
ini akan mulai lagi dari bagian tengah sehingga membentuk lingkaran-lingkaran
berskuama yang konsentris.1,2,8
Pasien dengan tinea imbrikata akan didapatkan beberapa gejala bila
dilakukan perabaan dengan jari tangan terasa skuama yang menghadap kedalam
dan lingkaran-lingkaran dari skuama menghadap kedalam tersebut bila bertemu
dengan lesi lainnya yang berdekatan akan menimbulkan pinggiran yang
polisiklik.1
2.5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan tinea
imbrikata dapat dilakukan melalui pemeriksaan langsung sediaan basah. Untuk
menentukan diagnosis melalui pemeriksaan langsung diperlukan bahan klinis
berupa kerokan lesi kulit menggunakan pisau tumpul steril dari tepi kelainan kulit
sampai bagian yang sedikit lebih luas. Pemeriksaan langsung dilakukan
menggunakan mikroskop dengan pembesaran 10x10 dan 10x45. Serta sediaan
basah ditetesi kalium hidroksida (KOH) 20%. Dan diberikan pewarnaan tinta

5
parker superchroom blue black. Hasil dari pemeriksaan akan tampak hifa sebagai
dua garis sejajar yang terbagi oleh sekat dan bercabang maupun spora berderet.1,8
Pemeriksaan biakan kadang tidak diperlukan namun untuk menunjang
pemeriksaan yang telah dilakukan yakni pemeriksaan langsung dan pemeriksaan
basah agar penyebab terjadinya dapat dipastikan adalah jamur. Oleh karena itu
pemeriksaan biakan hanya menggunakan media biakan agar sabourd yang telah
diolesi hasil kerokan lesi dari pasien dan dengan kloramfenikol yang diletakan
agar menunjukan adanya daya hambat atau pertahanan dari agent penyebab.Selain
itu pemeriksaan berupa pemeriksaan histopatologik, dan imunologik tidak
diperlukan pada kasus Tinea imbrikata.1,8
2.6. Diagnosa banding
1. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik umumnya mengenai daerah yang berambut. Penampilan
kulit kepala yang terkena dermatitis seboroik bervariasi dari ringan, bercak
bersisik yang luas, bisa menjadi tebal dan mengeras. Distribusi lesi umumnya
terjadi pada daerah berminyak dan berambut di kepala dan leher, seperti kulit
kepala, dahi, alis, bulu mata lipatan nasolabial, jenggot dan kulit postaurikuler.6

Gambar dermatitis seboroik mempengaruhi garis kulit kepala dan alis dengan kulit merah dan skuama.
(Dikutip dari atlas berwarna saripati penyakit kulit) 7

2. Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit dengan tanda dan gejala adanya plak kemerahan
kadang berskuama putih yang disertai dengan bintik-bintik perdarahan bila
skuama dilepas. Penyakit ini dapat menyerang kulit, kuku, mukosa dan sendi
tetapi tidak mengenai rambut pada psoriasis sering dijumpai fenomena koebner
dan auspitz.1

6
Gambar psoriasis pada tubuh disertai dengan kemerahan dan adanya
skuama halus
3. Pitriasis Rosea
(Dikutip dari atlas berwarna saripati penyakit kulit) 7
Pitriasis rosea merupakan penyakit kulit yang ditandai dengan adanya eritema
pada kulit yang biasanya ditutupi dengan skuama halus, lesi biasanya menyebar
namun terdapat tanda khusus pada kasus ini yakni didapatkan adanya herald patch
yang merupakan tanda atau gejala khas dari Pitriasis rosea.1

Gambar pitriasis rosea pada tubuh disertai dengan kemerahan dan adanya skuama halus
(Dikutip dari atlas berwarna saripati penyakit kulit) 7

2.7. Penatalaksanaan
2.7.1. Medikamentosa
1. Sistemik
Pengobatan tinea imbrikata dapat dilakukan melalui sistemik dan topikal,obat
sistemik pada tinea imbrikata adalah griseofulvin 0,5-1gr untuk pasien dewasa
dan 0,25-0,5gr untuk anak-anak atau 10-25mg/kgBB diberikan 1-2x sehari dengan
lama pengobatan bergantung pada lokasi,penyakit, dan keadaan imunitas
penderita, pengobatan dilanjutkan setelah 2 minggu sembuh klinis.
Ketokonasol 200mg/hari selama 10 hari atau 2 minggu merupakan obat lainnya
yang digunakan bila terjadi resistensi griseofulvin namun pemberian obat ini
kontraindikasi terhadap pasien dengan gangguan hepar Itrakonazol 2x 100-200mg
sehari selama 3 hari merupakan obat yang digunakan sebagai pengganti
ketokonazol.1
2. Topikal
Pengobatan tinea imbrikata dapat dilakukan pula menggunakan pengobatan
topikal yang bertujuan mempercepat proses penyembuhan obat topikal yang
digunakan ialah asam salisilat 2-4%, asam benzoate 6-12%, tolnaflat 2%

7
pemberian obat topikal dilakukan dengan memnggosokan salep atau sediaan obat
pada lesi tinea imbrikata.1
2.8. Prognosis
Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan
konsisten. Pengobatan dapat dilakukan dengan obat sistemik dan obat topikal,
sehingga prognosis dari pasien dapat dikatakan membaik atau pada dasarnya baik
bila pasien memiliki ketekunan dan konsistensi dalam melakukan pengobatan dan
upaya untuk memperbaiki factor-faktor eksternal seperti menjaga kebersihan diri
hygenitas. Prognosis dikatakan membaik ditandai dengan adanya penyembuhan
pada lesi dan dapat didukung dengan pemeriksaan.2,8

8
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas pasien


Nama : An. S. P
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 9 tahun
Alamat : Mamberamo
Suku : Papua
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : tidak ada
Status pernikahan : belum menikah
No. DM : 459148
Tanggal Pemeriksaan : 25 Maret 2019

1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan di ruang rawat inap orthopedi wanita RSUD Jayapura pada
tanggal 25 Maret 2019 pukul 15.25 WIT secara autonamnesis.
3.2.1. Keluhan Utama
Terdapat bercak putih berskuama, gatal yang hampir berada di seluruh
tubuh, dan ektremitas. Keluhan lainnya berkaitan dengan status ortopedi yakni
fraktur pada Os humerus dan Os ulnaris pasien
3.2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien merupakan pasien konsul dari ruang rawat inap ortopedi. Hasil
anamnesa berupa heteroanamnesa yakni melalui keluarga pasien menyatakan kulit
terkelupas “kaskado” sejak 2 tahun yang lalu, awal mula terjadinya ketika pasien
tinggal bersama dengan kerabat (tantenya), yang menderita sakit yang sama atau
mengalami “kaskado” kebiasaan dari masyarakat di sekitar adalah mandi bersama
di kolam yang sudah disiapkan di kampung mereka akibat dari susahnya air dan
keadaan air yang berwarna coklat dari kali tempat mengalirnya air ke kolam.

9
Pasien terbiasa menggunakan baju yang sama dengan tantenya. Dengan tujuan
tidak banyak cuci baju. Awal mula terjadinya sakit pasien mengeluhkan adanya
gatal dan sedikit biji-biji berwarna coklat dan biji-biji merah tidak ada nanah
kecil-kecil samping dari dada pasien. Pasien tidak berobat ke tempat pelayanan
kesehatan (puskesmas) karena keluarga meyakini ada pengobatan tradisional yang
dapat dilakukan yaitu mandi dengan air rebusan daun sirih. Karena pasien tinggal
bersama tantenya pasien mengaku biasa-biasa saja sampai kemudian pasien
merasa biji-biji cokelat dan bening kecil itu menyebar ke tempat lain yaitu di
belakang, dada, tangan dan kaki lama kelamaan karena pasien tidak mau berobat
maka kulitnya pasien terkupas terkupas atau pasien kena “kaskado”. Setelah
pasien mengalami banyaknya badan yang terkelupas kerabat (tantenya) pasien
membawa pasien ke orang tua. Orang tua dari pasien karena lihat badan pasien
yang kena “kaskado” sehingga dibawa ke Puskesmas setelah mendapatkan obat
minum dan salep dari puskesmas pasien tidak mau pakai atau minum lagi dengan
alasan salep yang diberikan oleh petugas membuat badan dari pasien terasa
terbakar. Pasien datang ke RSUD Dok II Jayapura sebagai rujukan dari
Puskesmas Mamberamo bukan karena “kaskado” melainkan akibat adanya fraktur
pada humerus dan ulnaris. Namun pasien dikonsulkan ke Polik Kulit dan Kelamin
akibat dari adanya tinea imbrikata “kaskado” pada sebagian besar tubuh.
3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit yang sama disangkal pasien
- Riwayat alergi obat (-) (disangkal pasien)
- Riwayat alergi makanan tertentu (-)
3.2.4. Riwayat Keluarga
Pasien mengaku ada yang sakit seperti ini mengalami “kaskado”
dalam keluarga dan bermukim dalam rumah yang sama yaitu tante dari
pasien. juga mayoritas di perkampungan tempat tinggal pasien memiliki
sakit yang sama.
3.2.5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien menggunakan jaminan kesehatan KPS. Belum memiliki
pekerjaan, pekerjaan orang tua adalah petani dan ibu rumah tangga.

10
3.2. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda Vital :
TD : 120/80 mmHg
N : 60x/menit
RR : 20x/menit
SB : 370C
Jantung : Kesan tampak normal
Paru : Kesan tampak normal
Abdomen : Kesan tampak normal
Ekstremitas : Terdapat open fraktur 1/3 distal Os humerus sinistra
dan close fraktur 1/3 distal Os ulnaris.
3.3. Status dermatologis

Lokasi : Pada punggung bawah, perut,dada,ekstremitas superior dan


inferior
Efloresensi : terdapat skuama papul hiperpigmentasi kecoklatan pada tepian
lesi dan skuama yang membentuk pola lingkaran-lingkaran
konsentris pada perut,dada, punggung, dan ektremitas.
3.4. Foto klinis (25-03-2019)

11
12
3.5. Diagnosis banding
1. Dermatitis seboroik
2. Psoriasis
3. Pitriasis rosea
3.6. Diagnosis kerja
Tinea Imbrikata
3.7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang kulit pada Pasien tidak dilakukan karena secara
langsung telah di periksa melalui pemeriksaan fisik.
3.8. Penatalaksanaan
3.8.1. Medikamentosa
1. CTM tablet 4mg 2 x 1/2 hari digunakan bila pasien merasa gatal
2. Griseofulfin 125mg tablet 2x1 hari diminum selama 7 hari
3. Ketokonazole Cream digunakan 2x1 setelah mandi oleskan pada
lesi.
3.8.2. Non Medikamentosa
1. Edukasi orang tua pasien cara penggunaan obat cream, dan
menjaga kebersihan diri.

13
3.9. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia

14
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pasien An.S mendapatkan diagnose kerja berupa tinea imbrikata, berdasarkan


anamnesa, dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Tinea imbrikata dapat dianggap
sebagai tinea korporis karena memiliki gejala berupa gambaran lesi dan tempat
predileksi yang sama, dikatakan tinea imbrikata berkaitan dengan agen penyebab
terjadinya yakni Trichophyton concentricum. 1
Berdasarkan hasil anamnesis pada pasien dan orang tua dari pasien awal mula
lesi terjadi berupa papul-papul kecil berwarna kehitaman sejak kurang lebih 2-3
tahun ketika pasien berusia 6 tahun. Kemudian papul perlahan-lahan menjadi
besar dan ditemukan adanya skuama atau kulit yang terkelupas pada lesi. Menurut
kepustakaan keterangan anamnesis yang disampaikan oleh pasien dan orang tua
menunjuk kepada kasus kronik tinea imbrikata serta dibuktikan dengan adanya
skuama pada lesi , papul kecoklatan pada pinggiran lesi dan adanya vesikel pada
tengah lesi yang terjadi pada seluruh tubuh pasien. Selain itu tidak didapatkan
adanya tanda-tanda radang akut berupa eritema, vesikel pada bagian tengah lesi
dan papul pada tepi lesi.1,2
Faktor predisposisi merupakan faktor-faktor yang mendukung terjadinya tinea
imbrikata baik melalui diri pasien ataupun dari lingkungan serta kebiasaan yang
sering dilakukan. Faktor yang mempengaruhi secara eksogen pada pasien, pasien
memiliki keluarga atau kerabat menderita sakit yang sama dan juga mayoritas
masyarakat pada tempat tinggal pasien memiliki penyakit yang sama serta
kebiasaan pasien menggunakan baju secara bersamaan. Teori menyatakan Faktor
predisposisi tinea imbrikata dibagi menjadi dua yaitu faktor endogen dan eksogen.
Endogen:kesadaran dalam menjaga kebersihan diri, imunitas tubuh.Eksogen:
kontak langsung dengan pasien atau kontak langsung dengan peralatan yang
sering digunakan bersama,suhu yang tinggi dan kelembapan yang tinggi
merupakan penyebab lain yang menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit
dengan cepat.1,2,8
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien, didapatkan adanya lingkaran-
lingkaran skuama pada lesi-lesi yang berbentuk seperti polisiklik pada hampir

15
sebagian tubuh pasien serta terdapat papul-papul pada tepian lesi yang berbentuk
polisiklik tersebut. Menurut kepustakaan lesi tinea imbrikata biasanya berbentuk
lingkaran skuama yang konsentris dan tampak skuama mengarah dari tegah
kearah luar dengan bentuk-bentuk yang polisiklik pada kasus kronik sering papul
dan vesikel tidak tampak pada lesi yang terjadi. 1,6,8
Pemeriksaan penunjang pada pasien tidak dilakukan akibat dari adanya fraktur
pada humerus dan ulnaris pasien, dan diagnosa dapat ditegakan melalui
pemeriksaan fisik langsung tanpa adanya pemeriksaan penunjang karena kasus
tinea imbrikata menunjukan bentuk yang khas. Kepustakaan menyatakan
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan berupa pemeriksaan mikologik baik
secara langsung maupun pemeriksaan sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan
langsung yang dilakukan biasanya diambil kerokan kulit dan diperiksa melalui
mikroskop dengan perbesaran 10x10 dan 10x45 hal ini juga dilakukan pada
pemeriksaan basah yang ditambahkan KOH pada sampel pemeriksaan. 1,6
Diagnosis banding pada kasus ini adalah dermatitis seboroik, psoriasis dan
pitriasis rosea. Dermatitis seboroik adalah dermatosis papuloskuamosa yang
kronis dan sering dijumpai pada bayi dan dewasa. Gambaran lesi bervariasi sesuai
lokasinya. Pada wajah, lesi tampak merah dengan atau tanpa skuama putih
diatasnya atau mungkin terlihat sebagai bercak-barcak berminyak kekuningan.
Diagnosa banding dermatitis seboroik tidak sesuai dengan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik pasien, karena skuama yang terjadi pada dermatitis seboroik
umumnya lebih tebal dan putih seperti mika, kelainan kulit juga terjadi pada
pembatasan wajah dan scalp dan tempat-tempat lain sesuai dengan tempat
predileksinya yang mengandung banyak berambut sehingga tidak sesuai dengan
tinea imbrikata yang sering terjadi pada glabous skin. 1,6,8
Psoriasis merupakan peradangan kulit kronik dengan penyebab yang diduga
akibat gangguan imunologik dan biokimiawi serta imunologik sehingga tampak
pada perusak mediator kulit. Umumnya lesi pada psoriasis berupa plak
eritematousa berskuama yang berlapis sering berrwarna putih dengan keperakan
batas yang tegas serta lokalisasi dari lesi biasanya terlokalisir pada beberapa
tempat. Diagnosa banding psoriasis tidak sesuai dengan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik yang dilakukan berdasarkan teori tempat predileksi terjadinya

16
psoriasis terlokalisir sedangkan tinea imbrikata terjadi pada beberapa bagian serta
lesi penyebarannya dan lesi berskuama pada tinea imbrikata berbentuk lingkaran
pilosiklik sedangkan psoriasis tidak berbentuk polisiklik.1,6
Dermatitis seboroik merupakan kelainan kulit papuloskuamosa dengan tempat
predileksi di daerah yang kaya akan kelenjar sebacea atau kelenjar minyak dan
scalp seperti wajah dan badan. Manifestasi klinik pada pasien dengan dermatitis
seboroik sering dijumpai adanya skuama berwarna kuning berminyak,eksematosa
ringan dan kala disertai dengan rasa yang gatal. Diagnosa banding dermatitis
seboroik tidak sebanding dengan tinea imbrikata karena berdasarkan teori tinea
imbrikata memiliki tempat yang general dan sering terjadi pada tempat yang tidak
mengandung banyak kelenjar sebacea dan yang tidak memiliki banyak rambut
(glabous skin) sedangkan dermatitis seboroik biasanya terjadi pada tempat yang
banyak mengandung kelenjar minyak.1
Penatalaksanaan pada kasus tinea imbrikata adalah griseofulvin 125 mg 2x1
digunakan selama 7 hari, dan CTM 4mg 1x1 digunakan bila pasien merasa gatal
pada tempat terjadinya lesi, selain itu diberikan obat topikal berupa ketoconazole
cream tube digunakan dengan cara dioleskan 2x1 tipis-tipis pada tempat
terjadinya lesi. Teori menyatakan kegunaan dari obat CTM atau kloramfenikol
maleat adalah untuk mengurangi rasa alergi, gatal,serta memiliki efek sedative
yang bertujuan untuk pasien tidak menggaruk bagian lesi pada kulit dan tidak
terjadinya luka pada lesi-lesi tersebut. 6,8
Griseofulvin merupakan obat yang digunakan pada infeksi jamur superficial
pada kulit karena cara kerja dari obat tersebut menghambat mitosis jamur yang
berkaitan dengan mikrotubulus dan menghambat polimerasi tubulin menjadi
mikrotubulus.Griseofulvin efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti
Trichopyton, Epidermophyton, dan Microsporum Absorbsi meningkat bila
diberikan bersamaan makanan yang mengandung lemak karena griseofulvin tidak
dapat larut dalam air dan penyerapan griseofulvin tidak terjadi pada saluran cerna
atas. Griseofulvin dimetabolisme pada hepar dengan dealkilasi dan metabolit yang
inaktif dieksresikan keluar dari tubuh melalui urin. Kulit yang sakit mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap obat ini, dimana obat tersebut bereaksi dalam sel
yang membentuk keratin lalu muncul bersama sel baru yang berdiferensiasi terikat

17
kuat pada sel keratin yang baru sehingga jamur akan resisten terhadap serangan
jamur dan keratin yang terinfeksi akan terkelupas dan diganti dengan sel kulit
yang normal, obat ini memberikan hasil yang baik terhadap penyakit kulit, rambut
dan kuku yang disebabkan oleh jamur yang sensitif. Gejala pada kulit akan
berkurang dalam 48 sampai 96 jam setelah pengobatan griseofulvin, sedangkan
penyembuhan secara total akan berlansung dalam beberapa minggu. Bila
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pengamatan secara langsung kerokan
kulit yang dibiakan dan diamati pada mikroskop dalam 1-2 minggu setelah
pengobatan dengan griseofulvin biakan jamur akan menjadi negatif tetapi
disarankan agar pengobatan terhadap griseofulvin dilakukan dalam 3-4
minggu.6,8,9
Teori mengatakan digunakan obat topikal apabila lesi terjadi pada lesi
yang menyebar dan banyak maka sebaiknya ditambahkan obat sistemik.
Pengobatan yang dianjurkan pada obat sistemik antara lain griseofulvin 500 mg-1
gr pada orang dewasa dan 125-500 mg pada anak-anak diberikan sesuai dengan
berat badan, 1-2x sehari untuk lama penggunaan biasanya bergantung pada
tempat terjadinya lesi. Dan untuk mempercepat penyembuhan dapat dilakukan
penambahan obat topikal. Selain griseofulvin dapat pula diberikan ketoconazole
oral pada pasien-pasien yang resistensi griseofulvin sebanyak 200mg/ hari selama
10 hari hingga 14 hari. Namun pemberian obat ini kontraindikasi pada pasien
dengan gangguan fungsi hepar. Terdapat juga pengobatan sistemik lain sebagai
pengganti ketoconazole yakni itrakonazole dengan dosis 100-200 mg.1
Penatalaksanaan non medikamentosa pada kasus tinea imbrikata adalah
edukasi tentang pengetahuan perawatan lesi dan perawatan kebersihan diri.
Berdasarkan teori hal ini merupakan faktor eksogen yang dapat menyebabkan
terjadinya tinea imbrikata akibat kontak secara terus menerus pada lesi yang
mengandung banyak agen penyebab sehingga edukasi yang baik untuk menjaga
hygenitas sangatlah diperlukan.8
Prognosis pada pasien dikatakan dubia atau mungkin membaik dan tidak
dapat dipastikan secara pasti, karena pengobatan tidak diteruskan oleh pasien dan
pasien menolak untuk dilakukan perawatan yang lebih lama terhadap lesi tinea
imbrikata yang dialaminya serta memilih untuk menggunakan obat tradisional di

18
tempat tinggal pasien. Teori menyatakan pengobatan tinea imbrikata dapat
dikatakan membaik bila pasien tekun dan selalu menggunakan obat selama masih
terdapat lesi. Dan juga tingkat pengetahuan pasien dalam menjaga kebersihan diri
agar tidak memperpanjang terjadinya infeksi pada tubuh pasien.2

19
Daftar pustaka

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Pitriasis Versikolor. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit


dan Kelamin. Editor : Sri Menaldi, Kusmarinah Bramono, dan Wresti Indriatmi.
Edisi VII. Cetakan I. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018.
2. Astutik E, Kiptiyah N.M. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia. Faktor-
faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Perawatan Diri Eks-Penderita Kusta di
Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Eks-Penderita Kusta Nganget, Tuban,
Jawa Timur . Factors Related to Self-Care in The Technical Implementation Unit
of Social Rehabilitation of Ex-Leprosy, Nganget, Tuban, East Java. Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga.
Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia. 2016.
3. Satriyo A. Tesis. Perbandingan Tingkat Kesembuhan Pengobatan Topikal
Konsentrat Fibrin Kaya Trombosit Dengan Salap Seng Oksida 10% Pada Ulkus
Neuropatik Sederhana Morbus Hansen Di Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala
Tangerang. Fakultas Kedokteran Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Kesehatan Kulit Dan Kelamin. Jakarta, Juni 2013.
4. Sari D.K, Listiawan M.Y, Indramaya D.M. Efek Pemberian Topikal Gel Plasma
Kaya Trombosit (PKT) pada Proses Penyembuhan Ulkus Plantar Kronis Pasien
Kusta (The Effects of Platelet Rich Plasma Topical Gel on Chronic Plantar Ulcer
Healing in Leprosy Patient). Departemen/Staf Medik Fungsional Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum
Daerah Dr.Soetomo Surabaya. 2016.
5. Wiryo I.T. Kusta Tipe Borderline Lepromatosa Dengan Eritema Nodosum Leprosum
Berat, Anemia Dan Cacat Kusta Tingkat 2. Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Bagian/Smf Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Unud/Rsup Sanglah
Denpasar 2018.
6. Prameswari R, Listiawan M.Y, Prakoeswa C.R.S. Peran TNF-Α Pada
Imunopatogenesis ENL Dan Kontribusinya Pada Penatalaksanaan ENL (The Role
Of TNF-Α In Immunopathogenesis Of ENL And The Contribution In Management

20
Of ENL). Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Soetomo Surabaya. 2016.
7.
8. Burns C, Valentine J, Lindsey B,(editor) dalam Jurnal The New England Journal
of Medicine Tinea Imbricata, images in clinical medicine,
https://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMicm1516757 / 2016,p.2272.
9. Leung A, Fon K,Lam J, dalam jurnal: The Journal of Pediatric.Tinea Imbricata,
departments of pediatric and dermatology skin science, University of British
Columbia, https://www.jpeds.com/article/S0022-3476(18)30502-X/pdf/09/2018,
p.285-286
10. Pongtiku Ari, 2019: An Overview of Necglated Tropical Diseases in
Indonesia and Papua. international public health seminar Indonesia.
https://www.academia.edu/necglated tropical diseases in Papua/2019/03/19
11. Sondakh C, Pandakele T, Mawu F. Jurnal e-clinic volume 4: Profil
dermatofitosis di Polikklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof.DR R.D Kandou
Manado periode Januari-Desember 2013;Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratu Langi Manado, 2016. https://www.e-jurnal/profil dermatologi di poliklinik
kulit dan kelamin RSUP Prof DR R D Kandou Manado/2016/06.
12. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan M, Siswati A, Triwahyudi D
et al. Kusta. Dalam : Panduan Praktik Klinis : Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
(PERDOSKI), 2017. (127-129).
13. Siregar RS. Electronic book Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi
2 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2013.
14. Kurniati, Rosita C,dalam jurnal etiopatogenesis dermatofitosis,
Departemen SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,Fakultas Kedokteran
Airlangga Surabaya.volume 2 periode 3 desember 2008.
https://www.e-jurna/etiopatogenesisdermatofitosis/DR.Soetomo
Surabaya/2008/12.
15. Gunawan S,Setiabudy R,Elysabeth,dalam Farmakologi dan Terapi Edisi
5,Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2012.

21
Astutik E, Kiptiyah N.M. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku
Perawatan Diri Eks-Penderita Kusta di Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial
Eks-Penderita Kusta Nganget, Tuban, Jawa T imur Factors Related to Self-Care
in The Technical Implementation Unit of Social Rehabilitation of Ex-Leprosy,
Nganget, Tuban, East JavaProgram Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga.

Satriyo A. Tesis. Perbandingan Tingkat Kesembuhan Pengobatan Topikal


Konsentrat Fibrin Kaya Trombosit Dengan Salap Seng Oksida 10% Pada Ulkus
Neuropatik Sederhana Morbus Hansen Di Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala
Tangerang. Fakultas Kedokteran Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Kesehatan Kulit Dan Kelamin. Jakarta, Juni 2013

3.

Sari D.K, Listiawan M.Y, Indramaya D.M. Efek Pemberian Topikal Gel Plasma
Kaya Trombosit (PKT) pada Proses Penyembuhan Ulkus Plantar Kronis Pasien
Kusta (The Effects of Platelet Rich Plasma Topical Gel on Chronic Plantar Ulcer
Healing in Leprosy Patient)
Departemen/Staf Medik Fungsional Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Soetomo
Surabaya

Wiryo I.T. Kusta Tipe Borderline Lepromatosa Dengan Eritema Nodosum


Leprosum Berat, Anemia Dan Cacat Kusta Tingkat 2. Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Bagian/Smf Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Unud/Rsup Sanglah Denpasar 2018.

Prameswari R, Listiawan M.Y, Prakoeswa C.R.S. Peran TNF-Α Pada


Imunopatogenesis ENL Dan Kontribusinya Pada Penatalaksanaan ENL (The Role
Of TNF-Α In Immunopathogenesis Of ENL And The Contribution In Management
Of ENL). Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Soetomo Surabaya. 2016.

22

Anda mungkin juga menyukai