Intususepsi Usus
Disusun oleh:
11.2012.215
Dr. Pembimbing:
2013
EMEL: froggycun@yahoo.com
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Referat ini membahas tentang deinisi, etiologi, pemeriksaan, manifestasi klinik dan
penatalaksanaan intususepsi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2
Gambar 1: Penampang usus yang mengalami intususepsi
Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Panjang duodenum
26cm, sedangkan jejunum ileum: 6m. Dimana 2/5 bagian adalah jejunum. Sedangkan
menurut Shrock 1988 panjang usus halus manusia dewasa adalah 5-6 m. Batas antara
duodenum dan jejunum adalah ligamentum Treits.
3
3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen diatas dan kiri aorta,
sedangkan mesenterium ileum melekat dibawah dan kanan aorta.
4. Pembuluh darah mesenterium jejunum hanya membentuk satu atau dua arkade
dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang yang berjalan ke dinding usus halus.
Ileum menerima banyak pembuluh darah yang pendek, yang berasal dari 3 atau 4 atau
malahan lebih arkade.
5. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan dekat pangkalan dan lemak jarang
ditemukan didekat dinding usus halus. Pada ujung mesenterium ileum lemak
disimpan di seluruh bagian , sehingga lemak ditemukan dari pangkal sampai dinding
usus halus.
6. Kelompokan jaringan limfoid (Agmen Feyer) terdapat pada mukosa ileum bagian
bawah sepanjang pinggir anti mesentrik.3,4
Perbedaan interna
1. Mucosa usus halus mempunyai lipatan yang permanen yang dinamakan plica
silcularis, sedangkan pada usus besar tidak ada.
2. Mukosa usus halus mempunyai fili, sedangkan mukosa usus besar tidak mempunyai.
3. Kelompokan jaringan limfoid (agmen feyer) ditemukan pada mukosa usus halus ,
jaringan limfoid ini tidak ditemukan pada usus besar.3,4,5
2.3 FISIOLOGI
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu (1) Pencernaan, yaitu proses
pemecahan makanan menjadi bentuk yang dapat tercerna melalui kerja berbagai enzim dalam
saluran gastrointestinal dan (2) absorpsi bahan-bahan nutrisi dan air. Semua aktifitas lainnya
mengatur dan mempermudah berlangsungnya proses ini. Proses pencernaan di mulai di dalam
4
mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, HCl, pepsin, mukus, renin dan lipase lambung
terhadap makanan yang masuk. Mucus juga memberikan perlindungan terhadap asam.
Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak
sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas. Proses
pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim yang terdapat dari getah usus (sukus
enterikus). Banyak enzim ini terdapat pada brush border vili dan mencerna zat-zat makanan
sambil diabsorpsi. 6,7,8
Absorpsi adalah pemindahan hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak, dan
protein (gula sederhana, asam lemak, dan asam amino) melalui dinding usus ke dalam
sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu juga diabsorpsi air,
elektrolit, dan vitamin. Absorpsi berbagai zat berlangsung dengan mekanisme transport aktif
dan pasif yang sebagian besar belum begitu dipahami. Walaupun banyak zat yang diabsorpsi
di sepanjang usus halus, namun terdapat tempat-tempat absorpsi khusus bagi zat-zat gizi
tertentu.
Absorpsi gula, asam amino, hampir selesai pada saat kimus mencapai pertengahan
jejunum. besi dan kalsium sebagian besar diabsorpsi dalam duodenum dan jejunum, dan
absorpsi kalsium memerlukan vitamin D. 6,7
Vitamin larut lemak (A,D,E, dan K) diabsorpsi dalam duodenum dan untuk absorpsi
dibutuhkan garam-garam empedu. Sebagian besar vitamin yang larut air diabsorpsi dalam
usus halus di bagian atas. Absorpsi vitamin B12 berlangsung dalam ileum terminalis melalui
mekanisme transport khusus yang membutuhkan faktor intrinsik lambung. Sebagian besar
asam empedu yang dikeluarkan oleh kandung empedu ke dalam duodenum untuk membantu
pencernaan lemak, akan direabsorpsi dalam ileum terminalis dan masuk kembali ke hati.
Siklus ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik garam empedu dan sangat penting untuk
mempertahankan cadangan empedu. Dengan demikian asam atau garam empedu mampu
bekerja untuk mencerna lemak berkali-kali sebelum dikeluarkan dalam feses. Penyakit atau
reseksi pada ileum terminalis dapat menyebabkan terjadinya defisisensi garam-garam
empedu dan mengganggu pencernaan lemak. Masuknya garam empedu ke dalam kolon
dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan terjadinya iritasi kolon dan diare.7
2.4 KLASIFIKASI
Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :
1. Enterik : usus halus ke usus halus
2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan
menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari intususepsi.
5
3. Kolokolika : kolon ke kolon.
4. Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi mengenai valvula
ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan insidensi untuk masing-masing jenis
intususepsi. Perrin dan Linsay memberikkan gambaran : 39% ileosekal, 31,5 % ileokolika,
6,7% enterik, 4,7 % kolokolika, dan sisanya adalah bentuk-bentuk yang jarang dan tidak khas
(Tumen 1964).3,7
6
sekitar 1-3%. Namun jika tidak ditangani dengan segera, kondisi ini dapat menjadi fatal
dalam 2 sampai 5 hari. Angka kekambuhan terjadi pada sekitar 3-11% kasus.4,6
2.6 ETIOLOGI
Ada perbedaan yang mencolok pada etiologi invaginasi, antara anak anak dan
dewasa. Pada anak anak penyebab atau etiologi terbanyak adalah idiopatik yang mana lead
pointnya tidak ditemukan. Penyebab terjadinya invaginasi bervariasi, diduga tindakan
masyarakat tradisional berupa pijat perut serta tindakan medis pemberian obat anti diare
juga berperan pada timbulnya invaginasi sedangkan pada dewasa penyebab terbanyak adalah
keadaan patologik intra lumen oleh suatu neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada
saat operasi lead pointnya dapat ditemukan. 3,5
Keadaan patologik ini terjadi pada lumen usus, yaitu suatu neoplasma baik yang
bersifat jinak dan ganas, seperti apa yang pernah dilaporkan ada perbedaan kausa antara usus
halus dan kolon. Ataupun akibat hyperplasia kelenjar limfe usus halus ( Peyers patches /
Kelenjar limfe mesenterika). 3,5
Penyebab non idiopatik dari intususepsi dapat berupa polip, lipoma, divertikulum
Meckel, duplikasi intestinal, purpura Henoch-Schnlein, limfoma, hipertropi plak peyeri
akibat infeksi, infeksi adenovirus, benda asing, infestasi parasit, penyakit celiac, dan kista
fibrosis. Riwayat bedah abdomen juga merupakan faktor predisposisi untuk suatu intususepsi.
Pada intususepsi dewasa, sekitar 80-90% disebabkan oleh etiologi yang spesifik. Sebanyak
2/3 dari kasus patologis dideteksi akibat neoplasma jinak atau ganas. Lebih dari setengahnya
adalah keganasan yang berasal dari usus besar dan hanya sekitar 10% kasus yang bersifat
idiopatik. Bila didasarkan pada lokasi terjadinya, intususepsi yang melibatkan usus halus
biasanya disertai dengan proses patologi jinak seperti adhesi, hiperplasia kelenjar limfe,
trauma, lipoma, leiomioma, dan hemangioma. Kelainan yang jarang, diakibatkan oleh
keganasan. 3,5
2.7 PATOFISIOLOGI
Berbagai variasi etiologi yang mengakibatkan terjadinya intususepsi pada dewasa
pada intinya melibatkan gangguan motilitas usus yang terdiri dari dua komponen yaitu satu
bagian usus yang bergerak bebas dan satu bagian usus lainya yang terfiksir atau kurang bebas
dibandingkan bagian lainnya. Karena arah peristaltik adalah dari oral ke anal sehingga bagian
yang masuk ke lumen usus adalah yang arah oral atau proksimal. Keadaan lainnya terjadi
akibat suatu disritmik peristaltik usus. Pada keadaan khusus dapat terjadi hal yang sebaliknya
7
yang disebut retrograd intususepsi pada pasien pasca gastrojejunostomi . Akibat adanya
segmen usus yang masuk ke segmen usus lainnya akan menyebabkan dinding usus yang
terjepit sehingga akan mengakibatkan aliran darah menurun dan keadaan akhir adalah akan
menyebabkan nekrosis dinding usus. 9,10
Gambar 4: Gambaran dua bagian usus yang terlibat dalam terjadinya intususepsi.
8
usus tersebut masuk ke lumen usus distal. Usus bagian distal yang menerima (intussucipient)
ini kemudian berkontraksi, terjadi edema. Akibatnya terjadi perlekatan yang tidak dapat
kembali normal sehingga terjadi invaginasi.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sekitar dua puluh persen dari kasus
intususepsi timbul setelah infeksi virus (infeksi pernafasan bagian atas atau gastroenteritis)
yang menimbulkan pembesaran dari jaringan limfoid ileum distal. Intususeptum akan
didorong masuk oleh peristalsik ke dalam usus yang lebih distal dengan mesenterium dari
intususeptum ikut terjepit masuk. Hal ini kemudian diikuti terjadinya sembab, kongesti vena
dan limfa, dan edema yang akan menyebabkan keluarnya tinja yang berwarna kemerahan
akibat darah yang tercampur mukus (current jelly stool). Selanjutnya, jika tekanan kongesti
melampaui tekanan arteri maka akan terjadi nekrosis. 9,10
Bentuk intususepsi yang paling umum adalah ileokolik yaitu sekitar 80-90 % dari
seluruh kasus, bentuk jarang yaitu ileoileal dengan prevalensi sekitar 15 % dan yang paling
jarang adalah kaekokolik, jejunojejunal atau ileoileokolik. 9,10
9
mengalami intususepsi. Terdapatnya sedikit darah adalah khas, sedangkan perdarahan yang
banyak biasanya tidak ditemukan.
Pada orang dewaasa sering ditemukan perjalanan penyakit yang jauh lebih panjang,
dan kegagalan yang berulang-ulang dalam usaha menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan
radiologis dan pemeriksaan-pemeriksaan lain (Cohn,1976). Adanya gejala obstruksi usus
yang berulang, harus dipikirkan kemungkinan intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat
diagnosis dengan pemeriksaan radiologis seringkali menyebabkan tidak ditegakkanya
diagnosis. Pemeriksaan radiologis sering tidak berhasil mengkonfirmasikan diagnosis karena
tidak terdapat intususepsi pada saat dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang terjadi
beberapa saat sebelumnya telah tereduksi spontan. Dengan demikian diagnosis intussusepsi
harus dipikirkan pada kasus orang dewasa dengan serangan obstruksi usus yang berulang,
meskipun pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-pemeriksaan lain tidak memberikan hasil
yang positif. 11,12,13
Pada kasus intususepsi kronis ini, gejala yang timbul seringkali tidak jelas dan
membingungkan sampai terjadi invaginasi yang menetap. Ini terutama terdiri dari serangan
kolik yang berulang, yang seringkali disertai muntah, dan kadang-kadang juga diare. Pada
banyak kasus ditemukan pengeluaran darah dan lendir melalui rektum, namun kadang-
kadang ini juga tidak ditemukan. Gejala-gejala lain yang juga mungkin didapatkan adalah
tenesmus dan anoreksia. Masa abdomen dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada
saat serangan. 11,12,13
Pada palpasi abdomen, teraba massa yang umumnya berbentuk seperti sosis (sausage
shape mass) di kuadran kanan atas atau di tengah abdomen. Ketiga hal tersebut merupakan
trias klinis intususepsi yang klasik yaitu: nyeri abdomen akut, hematokesia atau red currant
jelly stool, dan massa yang teraba jelas seperti sosis.
Dalam keadaan lanjut, muncul tanda obstruksi usus, yaitu distensi abdomen dan
muntah hijau fekal, sedangkan masa intra abdomen sulit teraba lagi. Bila invaginasi panjang
hingga daerah rektum, pada pemeriksaan colok dubur mungkin teraba ujung invaginat seperti
porsio uterus, yang biasa disebut pseudoportio, dan pada sarung tangan terdapat lendir dan
darah.
10
2.9 DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisik,
namun pada orang dewasa diagnosis preoperatif keadaan intususepsi sangatlah sulit,
meskipun pada umumnya diagnosis preoperatifnya adalah obstruksi usus tanpa dapat
memastikan kausanya adalah intususepsi, pemerikasaan fisik saja tidaklah cukup sehingga
diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan radiologi (barium enema, ultra
sonography dan computed tomography), meskipun umumnya diagnosisnya didapat saat
melakukan pembedahan.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisik.
Pada penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon, barium enema mungkin dapat
memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin akan didapatkan obstruksi aliran barium pada apex
dari intususepsi dan suatu cupshaped appearance pada barium di tempat ini.
Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan intususepsi mungkin akan
tereduksi. Jika barium dapat melewati tempat obstruksi, mungkin akan diperoleh suatu coil
spring appearance yang merupakan diagnostik untuk intususepsi. Jika salah satu atau semua
tanda-tanda ini ditemukan, dan suatu masa dapat diraba pada tempat obstruksi, diagnosis
telah dapat ditegakkan (Cohn 1976).14,15
11
Gambar 5 : Intususepsi. Posisi erect menunjukkan air fluid level.
Foto polos abdomen menjadi pilihan pencitraan pertama yang digunakan pada pasien
intususepsi. Sebagian besar tanda-tanda intususepsi pada foto polos abdomen anak kurang
sensitifitas dan spesifitasnya. Pada anak-anak, gambaran paling khas adalah masa jaringan
lunak dengan penurunan gas pada kolon dan ileus pada usus kecil. Pada orang dewasa, yang
tidak umum teraba massa, gambarannya tidak jelas. Tanda air crescent yang terbentuk akibat
udara intraluminal yang terjebak di antara dinding intususeptum dan intususipien juga dapat
ditemukan, tapi gambaran ini juga tidak sensitif dan spesifik. Foto polos abdomen ini sangat
berguna untuk menilai dan mengamati derajat dari obstruksi usus, dan juga mendeteksi tanda-
tanda komplikasi seperti pneumoperitonium dan pneumatosis.8
12
Anak
o Soft tissue mass dikelilingi gas
o Obstruksi usus halus bagian distal
o Tidak ada / adanya pengurangan gas di kolon
o Pneumoperitoneum atau bisa normal
Dewasa
o Gambaran gas dalam usus normal
2. Barium enema
Gambaran khas foto barium dari intususepsi adalah coiled spring dengan aliran barium
yang menipis di tengah yang disertai dengan atau tanpa penunjukan massa. Gambaran ini
dihasilkan oleh kontras yang berada di dalam lumen yang tertekan pada bagian intususeptum
(aliran barium pusat yang membujur tipis) dan dalam ruang sempit intraluminal antara
intussusceptum dan intussuscipiens (coiled spring). Gambaran stretched spring dimana
tampak cincin konsentris dari barium yang terpaksa terpisah akibat peningkatan edema pada
dinding usus dan lipatan mukosa merupakan tanda dari kompromi vaskular. Semua tanda ini
mungkin akan tidak nampak jika edema usus yang terjadi memungkinkan untuk mencegah
masuknya kontras ke ruang yang lain. Dalam kemungkinan ini, gambaran intususepsi akan
tampak seperti masa obstruktif di intra luminal.8
Barium enema merupakan gold standard bagi anak yang dicurigai menderita
intususepsi. Pada penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon, barium enema mungkin
dapat memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin akan didapatkan obstruksi aliran barium pada
apex dari intususepsi dan suatu cupshaped appearance pada barium di tempat ini. Fungsi dari
foto ini adalah untuk:
1. mendiagnosis cupping sign, letak invaginasi dan
2. terapi reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda-tanda obstruksi dan
kejadian kurang dari 24 jam. Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube
ditarik dari anus barium keluar bersama feses dan udara.8
13
Gambar 6 : Intususepsi Ileokolonik. Potongan transversal usus yang ditunjukkan oleh barium
enema.
Pencitraan dengan menggunakan barium enema ini adalah kontraindikasi untuk kasus
perforasi.8
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) juga dapat digunakan untuk mendiagnosis intususepsi. Pada USG
didapatkan 2 gambaran yaitu: 4,8,11,12
1. Doughnut sign atau target sign pada potongan transversal
14
USG telah digunakan dengan tingkat keberhasilan yang cukup dalam mendiagnosis
intususepsi pada anak-anak, namun peran dalam diagnosis intususepsi dewasa kurang jelas.
Beberapa seri kecil dan laporan kasus telah mendokumentasikan penggunaan USG untuk
mendiagnosis intususepsi dewasa. Dalam banyak kasus, USG dilakukan jika teraba sebuah
massa abdomen, sehingga lokasi pemeriksaan bisa ditargetkan. Gambaran USG untuk
intususepsi pada orang dewasa sama dengan yang dilaporkan dalam populasi pediatrik. Bila
transduser USG berorientasi relatif melintang terhadap suatu intususepsi, maka tampilan
khasnya adalah target atau massa donat dengan lingkaran luar hipoechoic (menggambarkan
pembengkakan dinding usus intususipien) dan peningkatan echogenicity di bagian tengah
(mewakili intussusceptum dan lemak mesenterika yang terinvaginasi). Dalam beberapa
kasus, dapat dijumpai cincin hipoechoic yang menggambarkan dinding intususeptum.
15
USG Longitudinal :
16
Dalam posisi longitudinal, intususepsi ini menunjukkan penampilan layering dengan
hipoechoic berselang-seling dan lapisan hiperechoic mewakili lapisan dinding usus dan
mesenterium. Ketika suatu intususepsi divisualisasikan obliq, gambaran sonografi
diistilahkan sebagai pseudokidney. Pembengkakan dinding usus memberikan gambaran
hipoechoic seperti korteks ginjal, dan bagian intususeptum memberikan gambaran
hiperechoic seperti sinus lemak ginjal. Walaupun tampilan ini merupakan gambaran yang
sangat sugestif dari suatu intususepsi, tampilan sonografi ini tidak patognomonik karena pada
penyakit dengan edema dinding usus yang lainnya, juga dapat memberikan gambaran yang
sama, termasuk enterocolitis dan volvulus. Cairan bebas di peritoneal mungkin terdeteksi
pada USG, tetapi tidak selalu menunjukkan peritonitis atau kompromi usus. Warna Doppler
dapat membantu dalam menentukan tingkat kompromi vaskular dari segmen usus yang
terlibat. 11
17
USG (tidak patognomonik)
Transversa:Targetordoughnutsigndimanaterdapatgambaranhipoechoic(udem
dindingusus)mengelilingihiperechoic(mesentericfatyangdisertaiintususepsi).
Longitudinal
o Sausage-shaped mass (massa berbentuk sosis) yang lapisannya kelihatan.
18
19
a. PENATALAKSANAAN
Adapun dasar pengobatan pada intususepsi adalah : 1
1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Antibiotik
4. Laparotomi eksplorasi
Penatalaksanaan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua
tindakan :
20
1. Reduksi hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan kateter dengan
tekanan tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd tahun 1913 dan
diulang keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976. 1
21
adalah reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat dengan memastikan lead pointnya,
baik itu neoplasma yang bersifat jinak maupun yang ganas. 1
Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko: 1
1. Ruptur dinding usus selama manipulasi
2. Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3. Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4. Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan otilitas
5. Pembengkakan segmen usus yang terlibat
Batas reseksi pada umumnya adalah 10 cm dari tepi tepi segmen usus yang terlibat.
Pendapat lain mengatakan pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan
anastosmose end to end atau side to side. 1
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya tidak
ditemukan, maka tindakan reduksi dapat dianjurkan. Begitu juga pada kasus retrograd
intususepsi pasca gastrojejunostomi, tindakan reduksi dapat dibenarkan. Keadaan lainya
seperti intususepsi pada usus halus yang kausa pastinya adalah lesi jinak, tindakan reduksi
dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa riwayat pembedahan abdomen
sebelumnya, sebaiknya dilakukan reseksi anastosmose.1
3. Pasca Operasi
Yang perlu diperhatikan setelah pembedahan dilakukan adalah: 1
a. Hindari dehidrasi
Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai penyebabnya adalah
besar, maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung dilakukan reseksi. Bila
invaginasinya pada usus halus, reduksi boleh dicoba dengan hati-hati , tetapi bila terlihat ada
tanda nekrosis, perforasi, edema, shock, iritasi peritoneal, perforasi usus, atau intestinalis
pneumatosis, reduksi tidak boleh dilakukan, dan langsung direseksi saja. Apabila akan
22
melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa, hendaknya dipertimbangkan juga sisa
usus halus yang ditinggalkan. Hal ini untuk menghindari atau memperkecil timbulnya short
bowel syndrom. Adapun gejala short bowel syndrom yaitu adanya reseksi usus yang etensif,
diarrhea, steatorhe dan malnutrisi.1,4
2. Peritonitis
3. Septisemia
b. PROGNOSIS
Intususepsi akan berakhir fatal bila reduksi tidak segera dilakukan. Kebanyakan bayi
pulih jika intususepsi ditangani dalam 24 jam pertama, tetapi tingkat kematian meningkat
dengan cepat setelah melewati saat tersebut, terutama setelah hari kedua. Angka kematian
berkisar antara 1-2%. Angka kekambuhan setelah reduksi hidrostatik kira-kira 10%,
sedangkan setelah reposisi manual sekitar 1%.4,6
Kortikosteroid dapat mengurangi frekuensi intususepsi berulang. Intususepsi berulang
biasanya dapat dikurangi dengan penanganan radiologis. Namun, cara ini tidak berhasil
dilakukan pada intususepsi yang disebabkan oleh lesi seperti limfosarkoma, polip, atau
divertikulum. Dengan manajemen yang memadai, operasi membawa tingkat kematian sangat
rendah dalam kasus-kasus intususepsi awal.
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Asisten Biokimia FKUGM. Invaginasi [online]. [cited: 2011 Februari
23]; Available from:URL: http://kedokteranugm.com/?tag=anak.
2. Gayer G., R.Zissin, S.Apter, M. Papa, M. Hertz. Adult Intussusception-A CT
Diagnostic. The British Journal Radiology [online]. [cited 2011 Februari 23 ];
Available from: URL: http://bjr.birjournals.org/cgi/content/full/75/890/185.
23
4. Wyllie, Robert. Ileus, Adhesion, Intussusception, and Closed-Loop Obstruction. In:
Kliegman, Robert M., Richard E. Behrman, Hal B. Jenson, Bonita F. Stanton, Editors.
Nelson Textbook of Pediatrics. 18th Edition. USA: McGrawHill; 2008. p.3301-6.
5. Spalding, Shaun C., Bruce Evans. Intussusception [online]. [cited 2011 Februari 23].
Available from: URL: http://www.emedmag.com/html/pre/gic/consults/111504.asp
7. King, Lonnie. Intussusception in Emergency Medicine [online]. 2010 June 15. [cited
2011 Februari 23]; Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/802424-overview.
9. A, Alpha Fardah., Reza GR., Subijanto MS. Intususepsi [online]. [cited 2011 Februari
23]; Available from: URL: http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-
dzti231.htm.
10. Waag, Karl Ludwig. Intussusception. In: P. Puri, M.E. Hallowarth, Editors. Pediatric
Surgery. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006. p. 313-6.
11. Huang, Benjamin Y., David M. Warshauer. Adult Intussusception: Diagnosis and
Clinical Relevance in Radiologic Clinics of North America. USA: Elsefer Saunders;
2003. p. 1137-51.
13. Anonim. Tindakan Bedah Pada Anak II [online]. [cited 2011 Februari 23]; Available
from: URL: http://www.permatacibubur.com/en/see.php?id=Jan01-1&lang=id.
14. Lindseth, Glenda N. Gangguan Usus Halus. Dalam Price, Sylvia A., Lorraine M.
Wilson. Patofisiologi Volume 1. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2006. hal.437-41.
15. Wahdiyat, Iskandar. Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jilid 1. Cetakan Kesebelas. Jakarta:
Infomedika; 1985. hal.943-4.
24
16. Hardy, Maryann., Stephen Boynes. Pediatric Radiography. UK: School of Health
Studies, University of Bradford; 2003. p. 65-6.
17. Conder, Gabriel., J. Rendle, S. Kidd, R. Misra . A-Z Abdominal Radiologi. USA:
Cambridge University Press; 2009. p. 200-4.
25