Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Appendisitis adalah peradangan pada organ appendix vermiformis atau


yang dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya, appendisitis dibagi
menjadi beberapa macam, dari appendisitis akut hingga kronis. Appendisitis akut
sendiri adalah salah satu penyebab keadaan bedah emergensi terbanyak, yang
ditandai dengan gejala berupa nyeri perut pada ulu hati / epigastrium yang
menjalar ke kuadran kanan bawah. Hingga saat ini penyebab keadaan akut
abdomen di negara – negara (Negara berkembang dan negara maju) terbanyak
adalah appendisitis akut. Appendisitis akut menyebabkan komplikasi yang
berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah.1,2

Apendisitis selama kehamilan adalah komplikasi penting yang patut


mendapat perhatian. Mungkin merupakan indikasi tersering untuk melakukan
laparotomi bagi lesi ekstra uterus. Berbagai perubahan anatomi dan fisiologi yang
terjadi selama kehamilan menyebabkan sulitnya menegakkan diagnosis pada
kelainan ini. Gejala dan tanda apendisitis selama kehamilan sama seperti yang
ditemui pada pada keadaan tidak hamil.

Diagnosis dan penatalaksanaan apendisitis dalam kehamilan dapat menjadi


sebuah tantangan karena gambaran klinis tidak klasik dan komplikasi apendisitis
adalah perforasi yang mengakibatkan tingginya angka kematian maternal dan
janin. Dengan demikian mencapai diagnosis yang akurat dan memulai pengobatan
dini penting untuk mencegah komplikasi.2,3

Terapi definitif dari appendisitis, baik akut maupun kronis adalah dengan
melakukan pengangkatan appendix yang meradang. Tindakan ini dilakukan secara
bedah, dan dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik laparotomy,
laparoscopy, maupun dengan simple appendectomy (insisi pada McBurney) sesuai
dengan indikasinya. Appendisitis akut yang tidak ditangani dengan adekuat /
definitif maka akan dapat menyebabkan perforasi diikuti dengan peritonitis yang

1
dapat menyebabkan shock dan akhirnya bisa menyebabkan kematian. Namun
dengan penanganan segera dan cepat maka prognosis dari appendisitis adalah
sangat baik.1,2,3

Appendisitis dalam kehamilan memerlukan perhatian khusus, terutama


dalam mendiagnosis dan penanganan lebih lanjut untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Oleh karena itu, tujuan pembuatan referat ini untuk dapat mengetahui
diagnosis apendisitis dalam kehamilan, serta penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada masa kehamilan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara


Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan

2
Appendix terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada
Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi
dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses
perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan
bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena
itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.4

Gambar 1. Appendix vermicularis.1

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul
limfoid. Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa.4

3
Gambar 2. Potongan transversa Appendix. 5

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-
rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia
caealis pada dasar caecum, ujung appendix memiliki variasi lokasi seperti yang
terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi
lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan.5

Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis.4

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,


Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix
merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT), fungsinya tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu
predisposisi sepsis atau penyakit imunodefisiensi lainnya.5

4
B. PERUBAHAN APENDISITIS PADA KEHAMILAN.2,3

Dalam keadaan tidak hamil, apendiks berada pada kuadran kanan bawah pada
sekitar 65%, dalam 30% kasus berada pada daerah pelvis, dan hanya 5% berada
retrosekal pada posisi terakhir, atau ketika terpengaruh oleh perlekatan, apendiks
terfiksasi jauh didalam pelvis. Pada keadaan hamil, karena pengaruh pembesaran
uterus, akan menyebabkan bergesernya basis apendiks keatas. Hal ini ditemukan
oleh Baer dan kawan-kawan pada tahun 1932. Penulis ini melacak pergeseran
apendiks selama hamil pada wanita sehat yang tidak mempunyai riwayat
apendisitis sebelumnya dengan menggunakan barium, populasi penelitian
dievaluasi pada keadaan terlentang. Penulis melaporkan pergeseran letak
apendiks akibat pembesaran uterus, kearah atas dan luar, sebagai mana gerakan
searah jarum jam. Pergeseran kearah kuadran kanan atas, efek ini menjadi sangat
jelas terutama pada 2 minggu terakhir kehamilan dimana apendiks akan berada di
atas ginjal kanan. Perubahan posisi seperti yang dijabarkan oleh Baer dan kawan-
kawan mungkin akan terhalang dengan adanya perlengketan, yang akan
menghalangi apendiks untuk bergerak bebas. Apendiks dalam letak retrosekal
juga terbatas pergerakannya. 2,3

Uterus yang membesar mendorong peritoneum parietalis kearah luar dan


omentum mayus keatas, membuat apendiks sukar dijangkau sewaktu dalam
keadaan meradang. Perubahan ini menyebabkan meluasnya peritonitis jika
apendisitis terjadi pada kehamilan lanjut. Kontraksi uterus yang intermiten juga
akan memudahkan penyebaran peradangan jika persalinan berada pada fase aktif.

Gejala appendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang


gejalanya serupa dengan appendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi,
menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil
dengan usia kehamilan trimester, gejala appendisitis berupa nyeri perut, mual, dan
muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia
ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan appendix terdorong ke

5
kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih
ke regio lumbal kanan. 2,3

Gambar 4. Perubahan Posisi Appendix pada Wanita Hamil. 2

C. EPIDEMIOLOGI APPENDISITIS PADA KEHAMILAN

Orang menganggap apendisitis terjadi lebih sering dalam kehamilan


dibandingkan dalam keadaan tidak hamil dikarenakan peningkatan kadar
progesteron yang ditemui pada kehamilan menyebabkan hipomotilitas usus.
Kejadian penyakit ini ternyata sama saja pada keadaan hamil maupun tidak hamil.
Apendisitis akut terjadi lebih dari 70% pada wanita yang berusia dibawah 35
tahun. Karena itulah penyakit ini lebih sering dijumpai pada wanita usia
reproduksi. Selama kehamilan apendisitis menempati 2/3 dari semua bedah
saluran cerna, kejadiannya rata – rata 0,69 per 1000 kelahiran dan berkisar dari
1,2 per 1000 pada pusat rujukan tertier (24 kasus dalam 19,187 persalinan) hingga
0,87 per 1000 (29 kasus dalam 33,300 persalinan) 067 per 1000 (503,000
kehamilan) 5,5 per 1000 (25 kasus dalam 50,089 persalinan) dalam sebuah
penelitian pada kota Aberdeen dan Suburbs, dan 0,37 per 1000 perlu dicatat
bahwa, berdasarkan pada hasil dua penelitian berskala besar, kejadian apendisitis

6
pada wanita hamil secara praktis sama pada semua trimester. Sebuah institusi
dalam 7 tahun terakhir, ditemukan 12 kasus apendisitis selama kehamilan diantara
22.000 persalinan, insidensnya 0,55 per 1000. 2,3
Apendisitis dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, meski penyakit ini
terjadi paling sering selama trimester kedua (45%) dan 30% selama trimester
pertama dan sisanya 25% pada trimester ketiga. Keseluruhan insiden 0,15 hingga
2,10 per 1000 kehamilan. 2,3
Penelitian yang dilakukan di Swedia menunjukan bahwa terdapat hubungan
yang bertolak belakang antara kehamilan dan apendisitis yang menunjukkan
bahwa kehamilan melindungi dari apendisitis, khususnya selama trimester ketiga.
Kematian maternal jarang dalam kasus apendisitis sederhana, tetapi
meningkat hingga 2% dengan perkembangan kehamilan dan apendisitis
terperforasi sementara mortalitas janin berentang dari 0-1,5% dalam kasus kasus
apendisitis sederana hingga 20-35% dalam apendisitis terperforasi. 2,3

Gambar 5. Angka Appendisitis Perforasi berdasarkan Usia.2

D. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dasar appendisitis adalah obstruksi lumen appendiks yang diikuti


oleh infeksi. Obstruksi lumen appendiks menyebabkan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan dan produksi mukus yang terus-menerus sehingga terjadi distensi
intraluminal dan peningkatan tekanan dinding appendiks,1,5

7
Jika obstruksi appendix berlanjut, menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, mengakibatkan hilangnya integritas epitel dan
memungkinkan invasi bakteri dari dinding appendix. 1,5
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.7
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.7
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.7
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. 7
Patologi apendisitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha
pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks
dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang
dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh
dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai
diri secara lambat. 7

8
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah. 1,7
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest). 7
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut. 1,7

E. MANIFESTASI KLINIS
1) Anamnesis
Gejala Appendisitis akut umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.3.7 Gejala utama Appendisitis
akut adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di
epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi
nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap
ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix
berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang panjang
dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah
tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal
Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.4.6

9
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendisitis.
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau
dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya,
urutan munculnya gejala Appendisitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut
dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis
Appendisitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen
mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 1
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare
timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah
terjadinya perforasi Appendix. 1,6

Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendisitis akut dibuat skor Alvarado
dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6.
Selanjutnya ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah
Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan
hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan
radang akut.1

Tabel 1. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.1


Gejala Klinik Value

10
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6
maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.1

2) Pemeriksaan fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,50C. Bisa terdapat
perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 10C sudah bermakna. Bila suhu
lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi, massa infiltrat , dan peritonitis.
1,6

Pada inspeksi perut dapat ditemukan kembung dan tidak ikut gerak napas
sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Appendisitis
infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di
perut kanan bawah. 1,6
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirawakan nyeri di perut
kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau
retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. 1,6
Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang
dengan cepat membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa
iliaka kanan selama 3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan

11
abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan
dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka massa
dapat diraba pada RT (Rectal Toucher) sebagai massa yang hangat. 1,4
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan
iritasi peritoneum. Sering positif pada Appendisitis namun tidak spesifik.1
 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan
pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini
menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak
bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen. 1

Gambar 6. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign.1

 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian

12
pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan
articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri
pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abses lokal,
iritasi M. Obturatorius oleh Appendisitis letak retrocaecal, atau adanya
hernia obturatoria. 1

Gambar 7. Cara melakukan Obturator sign. 1

 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini
dikatakan positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di
RLQ. 1
 Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat
tungkai kanannya ditekuk. 1
 Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix. 1
 Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abses di cavum
Douglasi atau Appendisitis letak pelvis. 1
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium

13
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya
didapatkan pada keadaan akut, Appendisitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis
Appendisitis akut harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah
putih lebih dari 18.000/ mm3 pada Appendisitis tanpa komplikasi. Hitung
jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan
terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa abses. 1,2
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.2
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung
leukosit ≥ 11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas
86%, dan spesifisitas 90.7%.2
Pemeriksaan darah, khususnya hitung sel darah putih (WBC) biasanya
dilakukan untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi suspek apendisitis
pada pasien dengan nyeri kuadran kanan bawah. Namun, mungkin tidak
membantu dan tidak dapat diandalkan pada wanita hamil karena
leukositosis (hitung WBS setinggi 16000/µL) dan bandemia (WBC yang
tidak matur) merupakan gangguan fisiologis normal selama kehamilan.
Selanjutnya, tidak semua wanita hamil dengan apendisitis mengalami
leukositosis. C reaktif protein (CRP) juga dapat digunakan tetapi tidak
dapat diandalkan.2,3
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi
dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau
eritrosit dari iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan
oleh inflamasi Appendix, pada Appendisitis akut dalam sample urine
catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.1,8

b) Ultrasonografi

14
Pencitraan diagnosis dapat dipertimbangkan dalam kasus kasus yang
meragukan. Ultrasonography (USG) telah digunakan untuk investigasi
nyeri kuadran kanan bawah pada pasien ginekologi selama beberapa
decade. Juga dapat memvisualisasikan apendiks yang inflamasi.2
Beberapa gambaran yang ditemukan selama ultrasonografi antara
lain: ukuran diameter apendiks lebih dari 6 mm atau lebih, penebalan
dinding apendiseal, dan adanya cairan periependiseal atau faecolith. USG
dengan demikian merupakan alat yang sangat berguna untuk
mendiagnosis apendisitis dalam kehamilan karena sensitivitasnya (75-
90%) dan spesifisitasnya (75-100%) yang tinggi, relatif murah, cepat dan
non invasif.2

Gambar 8. Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendisitis.2

c) Pemeriksaan radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendisitis akut,
tetapi dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Pada pasien Appendisitis akut, kadang dapat terlihat gambaran abnormal
udara dalam usus, hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya
fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat
mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk

15
menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan
bawah.2
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan
radioisotop leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih
akurat daripada USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek
radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abses
appendix untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat.4.6.7
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada
penemuan yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum
dan Appendix yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang
berkisar antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek
Appendisitis harus dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya
diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan operasi
segera saat ada indikasi klinis.2,6

Gambar 9. Gambaran CT Scan abdomen: Appendisitis perforata dengan


abses dan kumpulan cairan di pelvis.2

16
Tabel 2. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Appendisitis

USG CT Scan Appendix

Sensitivitas 85% 90-100%

Spesifitas 92% 95-97%

Penggunaan Evaluasi pasien pada pasien Evaluasi pasien pada


Appendisitis pasien Appendisitis
Keuntungan Aman Lebih akurat
Relatif murah Lebih baik dalam
Dapat menyingkirkan mengidentifikasi
penyakit pelvis pada wanita Appendix normal,
Lebih baik pada anak-anak phlegmon dan abses

Kerugian Tergantung operator Mahal


Secara teknik tidak adekuat Radiasi ionisasi
dalam menilai gas Kontras
Nyeri

F. DIAGNOSIS BANDING.2,3
Baik itu kondisi obstetrik atau ginekologis dan kondisi non obstetrical atau
non ginekologis mungkin hadir dengan nyeri abdomen dan dapat menyerupai
apendisitis. Berikut merupakan diagnosis banding yang mungkin:
Obstetrikdan ginekologis :
 KehamilanEctopic
 Keguguran(usia gestasi awal)
 Twisted ovarian cyst atau kista ovarium yang pecah
 Pelvic infammatory disease
 Kelahiran preterm (usia gestasi yang lebih berkembang)
 Abruption Placenta
 Degenerating uterine leiomyoma
Non-Obstetrical dan Ginekologis

17
 Infeksi saluran kencing
 cholecystitis akut
 Gastroenteritis
 ureteric colic kanan
 pyelonephritis kanan
 ulkus peptikum yang perforasi
 Mesenteric adenitis

G. KOMPLIKASI
Dalam apendisitis akut, komplikasi yang paling parah adalah perforasi
apendisitis. Dalam kehamilan, persentase apendiks perforate bisa jadi setinggi
43%, dibandingkan dengan 19% dalam populasi umum. Resiko perforasi juga
meningkat dengan usia gestasional, dimana insiden apendiks perforata lebih tinggi
selama trimester ketiga. Perforasi apendiks menyebabkan keluarnya isi apendiks
ke dalam rongga abdomen. Hal ini dapat mengakibatkan peritonitis, keguguran,
persalinan preterm dan kematian janin atau maternal. Berdasarkan berbagai
penelitian apendiks perforate meningkatkan angka kontraksi preterm dan
persalinan preterm.2,3
Namun, resiko persalinan preterm tertinggi pada minggu pertama setelah
pembedahan dan menunjukkan bahwa kontraksi preterm dapat diakibatkan oleh
baik itu apendisitis sendiri dan komplikasi pembedahan. 2,3
Untuk janin, apendisitis dihubungkan dengan resiko kehilangan janin 1,5%
hingga 9%, namun resiko meningkat hingga 35% setelah perforasi. Mortalitas
maternal telah dilaporkan; namun, angka kejadiannya jauh lebih rendah berentang
dari 0 hingga 2%.2,3

H. PENATALAKSANAAN.2,3
Penatalaksanaan pasien Appendisitis akut yaitu
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia.

18
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan
didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.

Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika


profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan
single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob. 5.12

19
Segera setelah apendisitis akut terdiagnosis, intervensi pembedahan dini
direkomendasikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pembedahan dalam 24
jam secara relatif memiliki angka perforasi apendiks yang lebih rendah. Setelah
36 jam onset gejala angka perforasi antara 16% dan 36%. Juga diketahui bahwa
resiko perforasi meningkat 5% untuk setiap periode 12 jam berikutnya.3
Dengan demikian, setelah diagnosis apendisitis akut dibuat, apendektomi
seharusnya dilakukan segera. Kebanyakan pasien diberikan antibiotik spectrum
luas sebelum operasi, yang mana terbukti menurunkan infeksi luka dan
pembentukan abses pasca operasi. 3
Karena resiko potensial teratogenesisnya, sepalosporin generasi kedua
biasanya digunakan sebelum operasi. Selain sebagai profilaksis, juga
dipergunakan dalam pengobatan perforasi, peritonitis, dan apendiks ganggren. 3
Sepalosporin digunakan dalam kombinasi dengan metronidazole pada
apendisitis perforata. Untuk melegakan gejala, analgesic dan agen tokolitik
biasanya digunakan. Seperti antibiotik, kekhawatiran dalam penggunaan analgesic
adalah resiko teratogenesis. Lebih jauh lagi, hal ini juga dapat menyamarkan
gambaran klinis dan mengakibatkan diagnosis yang salah. Agen tokolitik
digunakan untuk mencegah iritasi uterus. Namun efektifitasnya masih belum
dibuktikan. 3

PEMBEDAHAN
Operasi terbuka dan laparoskopi merupakan teknik pembedahan yang
digunakan dalam mengobati apendisitis. Apendiks diakses melalui insisi Lanz
terbuka, dimana biasanya dibuat melalui titik McBurneys. Metode ini memiliki
keuntungan utama yakni visualisasi peritoneum yang lebih baik, waktu operasi
yang lebih pendek, paparan janin terhadap karbon dioksida yang lebih sedikit,
resiko pneumoperitoneum yang lebih rendah dan biaya yang lebih rendah. Karena
paparan karbondioksida lebih rendah pada operasi terbuka dibandingkan pada
laparoskopi dan efek jangka panjang paparan terhadap gas tidak pasti, operasi
terbuka dipercaya lebih baik dan umumnya lebih dipilih daripada metode
laparoskopi pada trimester kedua akhir dan ketiga.3

20
Meskipun laparoskop awalnya dikontraindikasikan pada kehamilan, penelitian
terkini menunjukkan bahwa metode ini ditoleransi oleh ibu dan janin selama
periode kehamilan. 3
Pertimbangan utama metode laparoskopi adalah penggunaan karbon dioksida
untuk membentukmpneumoperitoneum. Hal ini mempaparkan janin terhadap
karbon dioksida, meningkatkan tekanan intraabdomen, yang mana dapat
mengakibatkan kelahiran preterm, penurunan aliran darah uterus, dan
mengakibatkan asidosis janin. 3
Penempatan masukan port primer atau jarum Veress dapat juga menciderai
janin dan menyebabkan pneumoamnion. Namun, karena kemajuan terkini teknik
laparoskopik, terdapat beberapa keuntungan laparoskopi dibandingkan operasi
terbuka. Diantaranya adalah penurunan insiden infeksi luka, nyeri pasca operasi
yang berkurang, penggunaan narkotik yang rendah dan resiko ileus yang lebih
rendah. 3
Penelitian juga menunjukkan bahwa hal ini dihubungkan dengan waktu rawat
inap yang berkurang, mobilisasi dini, berkurangnya resiko tromboembolisme,
berkurangnya resiko hernia insisional, dan depresi janin yang lebih rendah akibat
nyeri dan penggunaan narkotik. 3

I. PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi
bila appendiks tidak diangkat.8

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien masuk dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan sejak 3 hari yang
lalu, nyeri dirasakan terus menerus dan terasa memberat serta menetap diperut
kanan bawah, kemudian nyeri menjalar ke seluruh bagian perut. Pasien juga
mengalami demam sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam
dirasakan naik turun. Selain itu pasien merasakan mual, muntah tidak ada, nafsu
makan baik, Pasien juga mengeluh perutnya terasa penuh, tidak ada pengeluaran
darah atau lendir dari jalan lahir. buang air besar biasa, buang air kecil lancar.
Warna urin kuning tua. Riwayat abortus 2 kali
Dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital: tekanan darah 110/70, nadi 80
x/m, pernapasan 22 x/m, suhu 38,5ºC. Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri
tekan abdomen regio inguinal dekstra (titik Mc Burney), tinggi fundus uterus 2
jari diatas umbilicus, Rovsing Sign dan Blumberg Sign (+)
Pemeriksaan laboratorium, menunjukkan leukositosis yaitu 15,8 109/L dan
HbsAG reaktif. Hasil pemeriksaan USG, menunjukkan gambaran appendisitis
disertai dilatasi loop usus dan cairan bebas dalam cavum peritoneum pada area
Mc Burney dengan gravid tunggal intrauterine, DJJ (+), estimasi UK 27
minggu.
Berdasarkan temuan di pasien dan perbandingan teori, pasien didiagnosis
G3P0A2, gravid 27-28 minggu + Suspek Appendisitis perforasi. Apendisitis akut
merupakan kedaruratan pembedahan ekstra uterine yang paling sering ditemukan
selama kehamilan. Apendisitis akut dapat terjadi kapan saja selama kehamilan,
meski penyakit ini terjadi paling sering selama trimester kedua (45%) dan 30%
selama trimester pertama dan sisanya 25% pada trimester ketiga. Keseluruhan
insiden 0,15 hingga 2,10 per 1000 kehamilan.
Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis. Appendiks.
Sjamsuhidajat (2002) membagi apendisitis menjadi apendisitis akut, apendisitis
rekuren, dan apendisitis kronik. Peradangan akut appendiks menyebabkan
komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah.2

22
Komplikasi dari appendisitis yang paling berbahaya adalah perforasi. Adanya
fekalit di dalam lumen, usia, keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang
berperan dalam terjadinya perforasi apendiks. Umumnya, diagnosis apendisitis
akut dapat dilakukan secara klinis berdasarkan riwayat menyeluruh dan
pemeriksaan fisik.
Pada kasus ini didapatkan anamnesis bahwa pasien mengeluh nyeri perut
yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu, nyeri dirasakan terus menerus dan terasa
memberat serta menetap diperut kanan bawah. Insidensi tinggi apendisitis
perforasi pada kehamilan disebabkan oleh karena sulitnya untuk mendiagnosis
appendisitis pada wanita hamil karena perubahan fisiologi dan anatomi yang
terjadi selama kehamilan. Hal ini karena gejala seperti mual, muntah, anoreksia,
dan ketidaknyamanan abdomen sama dengan pada kehamilan itu sendiri sehingga
memperpanjang waktu diagnosis dan walling off kurang sempurna akibat
perforasi yang berlangsung cepat.
Menurut pasien nyeri perut yang dirasakan memberat sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit, disertai demam naik turun dan mual. Berdasarkan teori,
perforasi apendiks akan menyebabkan peritonitis yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri perut yang semakin hebat bahkan meliputi seluruh perut, bahkan
mungkin disertai pungtum maksimum di region iliaca dextra.
Apendiks umumnya terletak disekitar titik McBurney, namun perlu diingat
bahwa letak anatomis apendiks dapat pada semua titik, 3600 mengelilingi pangkal
caecum. Pada pemeriksaan fisik, yang ditemukan pada pasien adalah nyeri tekan
pada perut pada titik McBurney, adanya rovsing sign, psoas sign. Rovsing sign
yaitu jika LLQ ditekan, maka pasien akan merasa nyeri pada RLQ, hal ini
menggambarkan iritasi peritoneum. Obturator sign yaitu pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat dilakukan eksorotasi pada tungkai kanan. Maneuver ini
menunjukkan adanya perforasi apendiks atau adanya abses lokal pada letak
retrocaecal.

Pada pemeriksaan laboratorium, leukositosis berkisar antara 10.000-


18.000/mm3 biasanya didapatkan pada keadaan apendisitis akut tanpa komplikasi.

23
Jarang leukositosis > 18.000mm3 tanpa komplikasi dan dapat dipertimbangkan
kemungkinan terjadinya perforasi apendiks. Pada pasien ini, ditemukan
leukositosis pre operasi dengan hasil 19,700 mm3+ dan neutrofil 90%.
Pemeriksaan darah, khususnya hitung sel darah putih (WBC) biasanya dilakukan
untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi suspek apendisitis pada pasien dengan
nyeri kuadran kanan bawah. Namun, mungkin tidak membantu dan tidak dapat
diandalkan pada wanita hamil karena leukositosis (hitung WBS setinggi
16000/µL) dan bandemia (WBC yang tidak matur) merupakan gangguan
fisiologis normal selama kehamilan.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) cukup bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis apendisitis yang dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah,
serta digunakan untuk investigasi nyeri kuadran kanan bawah pada pasien
ginekologi selama beberapa decade. Juga dapat memvisualisasikan apendiks yang
inflamasi. Beberapa gambaran yang ditemukan selama ultrasonografi antara lain:
ukuran diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiseal, dan
adanya cairan periependiseal atau faecolith. USG dengan demikian merupakan
alat yang sangat berguna untuk mendiagnosis apendisitis dalam kehamilan karena
sensitivitasnya (75-90%) dan spesifisitasnya (75-100%) yang tinggi, relatif
murah, cepat dan non invasif. Namun, ketika kehamilan berkembang, diagnosis
menjadi makin sulit karena perpindahan posisi apendiks. Pemeriksaan USG yang
dilakukan pada pasien ini ditemukan appendisitis disertai dilatasi loop usus dan
cairan bebas dalam cavum peritoneum pada area Mc Burney dengan gravid
tunggal intrauterine, DJJ (+), estimasi UK 27 minggu
Perbaikan keadaan umum dengan pemasangan infuse, pemberian antibiotic
untuk kuman gram positif, gram negatif dan bakteri anaerob disertai terapi
pemasangan kateter sewaktu masuk di IGD rumah sakit. Resusitasi cairan dan
pemberian antibiotik ceftriaxon juga telah diberikan, namun tidak diberikan
antibiotik sentisiv bakteri anaerob.
Tindakan operasi dengan laparatomi dilakukan pada pasien ini sehari setelah
ditegakkan diagnosis. Menurut teori, pasien dengan apendisitis perforasi perlu
dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, agar dapat dilakukan pencucian

24
rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat. Namun
akhir akhir ini menurut penelitian banyak dilakukan laparaskopi apendektomi.
Hasilnya tidak berbeda jauh dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya
adalah lama perawatan lebih pendek dam secara kosmetik lebih baik.
Setelah dilakukan operasi laparatomi, pasien pada kasus ini dilakukan
pemasangan drain non-vacum intraabdominal. Pada dasarnya, penggunaan drain
intraabdominal adalah profilaksis setelah operasi untuk mengalirkan sisa bekuan
darah maupun pus yang berasal dari intraabdominal. Menurut teori, sampai saat
ini masih kontroversi penggunaan drain intraabdominal pada pasien pasca operasi
appendisitis perforasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sub Bagian Bedah
Digestif Fakultas Kedokteran Universital Sebelas Maret di RSUD dr. Moewardi
Surakarta pada tahun 2017 menemukan bahwa penyembuhan luka pasca operasi
apendisitis perforasi baik yang menggunakan drain maupun yang tidak
menggunkan drain semuanya mengalami penyembuhan luka yang baik.
Selain dilakukan laparotomi, pasien ini juga diberikan analgetik ketorolac
30mg/8jam sebagai obat simptomatik untuk menghilangkan nyeri pasien.
Ceftriaxone 1g/12 jam diberikan sebagai antibiotic spectrum luas yang mana salah
satu penyebab apendisitis adalah infeksi yang juga ditandai dengan leukositosis
pada hasil pemeriksaan laboratorium pasien. Ranitinin 50mg/12 jam diberikan
sebagai protector lambung. Ranitidin merupakan agen H2 blocker. Ranitidin
diberikan untuk melindungi lambung akibat kerja dari NSAID yang mengurangi
prostaglandin (COX-1 & COX-2) untuk perbaikan sel epitel lambung. Ranitidin
mengurangi produksi asam lambung, sehingga dapat mencegah iritasi pada
lambung, mengurangi rasa mual dan muntah.
Resiko perforasi juga meningkat dengan usia gestasional, dimana insiden
apendiks perforata lebih tinggi selama trimester ketiga. Perforasi apendiks
menyebabkan keluarnya isi apendiks ke dalam rongga abdomen. Hal ini dapat
mengakibatkan peritonitis, keguguran, persalinan preterm dan kematian janin atau
maternal. Berdasarkan berbagai penelitian apendiks perforate meningkatkan
angka kontraksi preterm dan persalinan preterm. Terapi dan pembedahan yang

25
segera pada pasien ini dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien
sehingga prognosis yang baik masih bisa dicapai.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Sjamsuhidajat R. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum: Apendiks
Vermiformis. In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Theddeus OHP,
Rudiman Reno. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-deJong. 3rd ed.
Jakarta:EGC, 2010.
2. Cunningham, F. Gary, Leveno, J, Kenneth, dkk. Williams Obstetrics 24th
Ed. McGraw-Hill Education: 2014. Halaman. 1097 – 1099
3. Franca, A.Henriques de , Ramos , M. Maria, dkk. Acute appendicitis in
pregnancy: literature review. 2015; 61(2):170-177
4. Volker S, Bernard D, Kerstin O. APPENDIX AND CECUM, Embryology,
Anatomy and Surgical Applications. Surgycal Clinics of North America.
Departmet of Surgery, Anatomy, Universuty of Technology at Germany.
Volume 80, 2000
5. Eroschenko, Viktor P. Atlas Histologi di Fiore Edisi 12. Jakarta. EGC. 2003.
Hal. 207
6. Bahan Ajar Kuliah DR.dr.Warsinggih, Sp.B-KBD, Appendisitis Akut
7. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook
of Surgery: The Biological Basis of Modern Surgical Practice, 19th Ed.
Philadelphia, Elseviers Saunders. 2012
8. Andy P, Averida A. Pathophysiology of Acute Appendicitis. JSM
Gastroenterology and Hepatology. Departmet of Surgery Federal University
Brazil. SciMedCentral. 2016.
9. Decherney AH, Pernoll ML. General Medical Disorders During Pregnancy.
Viral Hepatitis. Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis and treatment.
10th ed. USA.2007;479-480.
10. Lavanchy, D. Hepatitis B virus epidemiology, disease burden, treatment,
and current and emerging prevention and control measures. Journal of Viral
Hepatitis, (Online), (http://www.hbvadvocate.org/jvh_487.pdf, diakses 26
Juli 2018).

27

Anda mungkin juga menyukai