EKLAMSIA + IUFD
OLEH
PENDAHULUAN
Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan
salah satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi,
dan juga banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil.
Pada tahun 2001, menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional
telah di identifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan
kawan-kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang
berhubungan dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah
akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.
2
Preeklampsia adalah penyakit multisistem yang tidak dapat diprediksi dengan
etiopatogenesis yang masih belum jelas hingga saat ini. Adanya disfungsi endotel-
trofoblas yang disebabkan oleh sejumlah mekanisme kompleks diduga berperan dalam
terjadinya preeklampsia. Meskipun dengan etiopatogenesis yang belum jelas,
preeklampsia berkontribusi sebanyak 10% sebagai komplikasi dalam kehamilan
(Mosayebi et al., 2013). Berdasarkan klasifikasi menurut derajat, preeklampsia dibagi
menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Preeklampsia ringan
ditandai dengan tekanan darah < 160/110 dan proteinuria < +2, Sedangkan
preeklampsia berat ditandai dengan tekanan darah > 160/110 dan proteinuria > +3.
Preeklampsia ringan yang tidak dikontrol dengan baik melalui asuhan antenatal dapat
berkembang menjadi preeklampsia berat bahkan menyebabkan eklampsia. Eklampsia
adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang tonik klonik dan/atau koma.
Preeklampsia-eklampsia dapat berdampak pada fetal outcome, seperti BBLR hingga
kematian ibu.dan janin. 3
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
4
Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2 – 0,5 % dari seluruh persalinan dan lebih
banyak ditemukan di negara berkembang (0,3 – 0,7 %) dibandingkan dengan negara
maju (0,05 – 0,1 %). Insiden yang bervariasi yang dipengaruhi oleh paritas, gravida,
obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan lingkungan yang merupakan faktor
resikonya. Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di Indonesia.
Menurut laporan KIA provinsi pada tahun 2011, jumlah kematian ibu yang di laporkan
sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu terbanyak masih di dominasi oleh
perdarahan (32 %), hipertensi dalam kehamilan (25 %), infeksi (5%), partus lama (5%),
dan abortus (1%).
Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu hamil
nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4-
18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat terjadi 25%.
Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang dari 34
minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia,
kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada ibu hamil primigravida
terutama dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan
multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau
diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.(2) Walaupun belum ada
teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia-eklampsia, tetapi
beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya
preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:(3)
a. Usia
5
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada
wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil
berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko
lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko
meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang
ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan
penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari
ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia
dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian
lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka
kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
e.Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang
jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang cukup
selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.
f. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa
6
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus
mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan
ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya preeklampsia
jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita dengan Body
Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita dengan Body Mass Index
(BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari
105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena
eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah
dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan
menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah janin
lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai
jumlah janin lebih dari satu.
2.3 ETIOLOGI
7
disebut “penyakit teori”. Namun belum ada yang memberikan jawaban yang
memuaskan. Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori
“iskemia plasenta”. Teori ini pun belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan
dengan penyakit ini.(2,4)
Adapun teori-teori tersebut adalah:
8
4.Iskemik dari uterus.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah
iskemik uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta
yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.
Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan
kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi
penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan penyediaan
kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang mengekskresi
paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang mengakibatkan
peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra
sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi
pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.(3)
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan
plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan merupakan
faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran darah uterus dan
plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan
ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi
darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus menjadi rangsangan
produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular
daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat
vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh
darah yang lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi
penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan
pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.(3)
9
mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil
dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester
pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan
kehamilan.(2)
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress
hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan
hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut disfungsi
endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga
dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan permeabilitas
vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema dan proteinuria. Jika terjadi
disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan molekul adhesi.
seperti vascular cell adhesion molecule-1(VCAM-1) dan intercellular cell adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam
supernatant kultur sel endotel yang diinkubasi dengan serum penderita
preeklampsia, tetapi tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-
1 dan E-selektin. Oleh karena itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada
preeklampsia.(2)
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum
mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga
mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,
sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi dapat
diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1 dan 2 atau
fibrin monomer.(5)
2.4 PATOFISIOLOGI
10
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif (vasopresor),
sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan
normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar
prostacyclin dengan akibat meningkatnya thromboksan yang mengakibatkan
menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka terhadap rangsangan bahan
vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.(2)
2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai
45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga
mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma menimbulkan
hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan
atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada
pertukaran bahan-bahan metabolik dan oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke
dalam jaringan utero-plasenta mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga
sering terjadi pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation),
gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.(2)
11
Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif bahwa
preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang
menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat
nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan
sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah
ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa
merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos
pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan
menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin,
tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida,
prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan
pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah
termasuk platelet dan fibrinogen.(2,6)
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada
fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek
terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara
simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap
perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme,
serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena
penurunan perfusi uteroplasenta.(6)
12
diduga sebagai etiologi kejang adalah edema cerebral, perdarahan cerebral, infark
cerebral, vasospasme, koagulopati intravaskuler cerebral, dan ensefalopati hipertensi.
Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
a. Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg
atau lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani perawatan di RS dan
tirah baring
13
b. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4 dipstik
c. Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam.
d. Kenaikan kreatinin serum
e. Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma,
dan pandangan kabur
f. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen karena
teregangnya kapsula Glisson
g. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis
h. Hemolisis mikroangiopatik
i. Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT
j. Pertumbuhan janin terhambat
k. Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan trombosit
dengan cepat
l. Sindroma Hellp.
2.6 DIAGNOSIS
a. Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-
gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia). Tekanan darah pun
akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.(7) Pada
umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya preeklampsia dan
14
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual
keras, nyeri di regio epigastrium, dan hiperefleksia. Tanpa memandang waktu dari
onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang
di daerah wajah. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi
otot yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 – 15 detik. Pada saat yang
bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan
terjadi pada kelopak mata, otot-otot wajah yang lain dan pada akhirnya seluruh otot
akan mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat.
Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat menyebabkan penderita
terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak di jaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh
karena kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai satu menit,
kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang serta pada
akhirnya penderita tidak bergerak.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30mmHg dan
diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90mmHg pada preeklampsia
ringan dan≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita juga akan
menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi
ensefalopati, hiperefleksia, sampai tanda-tanda pendarahan otak.(7)
c. Penemuan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif ≥ +3.(7)
15
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi benang
fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl.
Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia berat.
Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat dehidrogenase bisa sedikit
meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit pada pasien
preeklampsia biasanya dalam batas normal.(2)
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan
preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran
darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada
ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga
bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan
volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan kejadian
edema.Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli dan
meningkatkan dieresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan ekskresi natrium,
menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme.
Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah
oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.(2,8)
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda, berarti
16
fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang
mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah cukup.
Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan
janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila komsumsi garam
hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi cairan yang banyak,
berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak,
garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak diberikan obat-obat diuretik
antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan laboratorium HB, hematokrit,
fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal.Apabila preeklampsia tersebut tidak
membaik dengan penanganan konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran
kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.(2,8)
Rawat inap
Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di
rumah sakit ialah
a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria selama 2
minggu.
b) Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik.
Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya
untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress
test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung dan lain
lain.(8)
17
itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset
persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran
tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila perlu
memperpendek kala II.(8)
2. Preeklampsia Berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativ yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah diatasi,
tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.(2)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta
baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada
saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.(8)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti
diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala,
gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu
dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan
darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.(8)
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia
ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian
obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya ialah manajemen
agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah
stabil.(8)
Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting
18
pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia
dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria.
Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat
menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia, vasospasme,
kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary
capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral
ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya
harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan
dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan
tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa:
a. 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam
b. infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer
laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(8)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi
bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(8)
19
kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang
pada preeklampsia atau eklampsia.
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24
jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium
sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari
pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
20
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan otak
dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium
diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50
mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian
fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.
b. Diuretik
Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung kongestif atau anasarka. Diuretik yang dipakai ialah furosemid. Pemberian
diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk
perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada
janin, dan menurunkan berat janin.
c. Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut
off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi
ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg.
Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan
sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis
antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus
dihindari secara mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga
memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah labetalol injeksi,
suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat antihipertensi yang tersedia
dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin (catapres). Satu ampul
21
mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam
faal atau larutan air untuk suntikan.
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5
menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
d. Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah
jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat
kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat menjadi
buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada
sindrom HELLP.
22
a. Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik. Diberi
pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara
aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya
observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri.
Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia
ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelaah 24 jam tidak ada
perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan
harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-
gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.
b. Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah ini,
yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
23
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat
2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia.
Komplikasi tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan
eklampsia.
Nama : Ny. W
Umur : 27 tahun
24
Agama : Islam
Alamat : Maros
A. KELUHAN UTAMA
Pasien wanita dengan P1A0 post SC H1 dengan indikasi eklampsia dan gawat
janin sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit datang ke IGD Kebidanan RSUD Undata
Palu dengan keluhan kejang- kejang sebelum melahirkan di Rumah pada pukul 05.00
WITA, kejang yang terjadi dengan frekuensi dua kali di rumah dan dua kali di Ruang
IGD Kebidanan RSUD Undata Palu yang berlangsung sekitar 50 detik. Sakit kepala
(+), Nyeri ulu hati (+), muntah (+) 2 kali dengan isi makanan, penglihatan kabur (+).
Kejang yang berlangsung disertai dengan kekakuan seluruh badan hingga pasien
hampir jatuh dari tempat tidur, dan berselang 1 jam kemudian pasien tidak bergerak
dan mengalami penurunan kesadaran serta gelisah. BAB (-), BAK (+) via kateter.
E. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
25
Pasien tidak merokok dan minum minuman beralkohol.
F. RIWAYAT PENGOBATAN
G. RIWAYAT PERSALINAN
1. Anak pertama, lahir dengan operasi sectio caesarea di tolong oleh Dokter
H. RIWAYAT ANTENATALCARE
Pertama kali haid saat berusia 14 tahun, teratur, durasi haid 7 hari, siklus 28
hari.
J. RIWAYAT ALERGI
K. RIWAYAT OPERASI
L. RIWAYAT KB
C. TANDA VITAL :
26
Tekanan Darah : 160/120 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 36,50C Axilla
D. STATUS GENERALISATA
Kepala :
Bentuk : Normochepal
Mata : Eksoftalmus (-/-), penglihatan kabur (+/+)
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sclera : Ikterik (-/-)
Leher :
Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax :
Paru paru :
Jantung :
27
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavivula sinistra
- Perkusi : batas jantung normal
- Auskultasi : bunyi jantung 1 & 2 murni regular, gallop (-), murmur (-)
Ekstremitas
- Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-), Tremor (-/-)
- Inferior : akral hangat (+/+), edema (+/-), Tremor (-/-)
E. STATUS OBSTETRI
Abdomen :
F. HASIL LABORATORIUM
28
Trombosit 346.000 150 rb- 400 rb mm3
Protein Urin +++ - -
HbsAg Non- Reaktif Non-Reaktif
Anti-HIV Non- Reaktif Non-Reaktif
SGOT 35 0-35 U/L
SGPT 18 0-45 U/L
UREA 16,2 15-43 Mg/dl
CREATININ 1,24 0,50-0,90 Mg/dl
G. DIAGNOSIS
H. PENTALAKSANAAN
1. Pemasangan O2 5 liter/menit
2. MgSO4 40% : pertama 4 gram dalam 100cc NaCl 0,9% habis dalam 30 menit
kemudian dilanjutkan 6 gram dalam 500cc RL 28tpm
3. IVFD Ringer laktat 2 line
4. Nefedipin 3x10 mg dan Nifedipine 10 mg sublingual
29
11. Pasang kateter, pantau produksi urin
12. Obs TTV, PPV, Kontraksi, produksi urine
13. Terapi post SC
- Drips oksitosin 10 IU /kolf
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
- Drips metronidazole 500 mg
- Cek Hb 2 jam post op
- Observasi KU, TTV, dan Perdarahan
I. FOLLOW UP
Subject :
Kejang (-), Penglihatan Kabur (-) , Sesak (-), Sakit kepala (+) berkurang, Nyeri Perut
(-), Mual (-), Muntah (-), Nyeri Ulu Hati (-), perdarahan pervaginam (+), BAK (+)
menggunakan kateter 400 cc, BAB (-)
Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD :130/82 mmHg Nadi : 148x/menit
RR : via ventilator Suhu : 36.50C,
TFU : 1 jari dibawah pusat Edema: (-)
Kontraksi : (+)
Assessment :
P1A0 Post SC H1 + Eklampsia + IUFD
30
Planing :
Ivfd RL + oksitosin 10 iu10 tpm hingga 12 jam lalu STOP
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/iv
Inj. Ranitidine 50 mg/ 8 jam/iv
Drips metronidazole
Nefedipin 3x10 mg
Terapi anestesi lanjutkan
Subject :
Kejang (-), Penglihatan Kabur (-) , Sesak (-), Sakit kepala (-), Nyeri Perut (-), Mual (-
), Muntah (-), Nyeri Ulu Hati (-), perdarahan pervaginam (+), BAK (+) menggunakan
kateter 600 cc, BAB (-)
Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 130/100 mmHg Nadi : 107x/menit
RR : 29 x/m Suhu : 36.50C,
TFU : 1 jari dibawah pusat Edema: (-)
Kontraksi : (+)
Assessment :
P1A0 Post SC H2 + Eklampsia + IUFD
31
Planing :
O2 masker 6 Lpm
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/iv
Inj. Ranitidine 50 mg/ 8 jam/iv
Nifedipin 3x10 mg
Terapi anestesi lanjutkan
Aff NGT dan Ventilator
Subject :
Kejang (-), Penglihatan Kabur (-) , Sesak (-), Sakit kepala (-), Nyeri Perut (-), Mual (-
), Muntah (-), Nyeri Ulu Hati (-), perdarahan pervaginam (+), BAK (+), BAB (+)
Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 130/90 mmHg Nadi : 100 x/menit
RR : 25 x/m Suhu : 36.50C,
TFU : 2 jari dibawah pusat Edema: (-)
Kontraksi : (+)
Assessment :
P1A0 Post SC H3 + Eklampsia + IUFD
32
Planing :
O2 masker 4 Lpm
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/iv
Inj. Ranitidine 50 mg/ 8 jam/iv
Nifedipin 3x10 mg
J. RESUME
Pasien wanita dengan P1A0 post SC H1 dengan indikasi eklampsia dan gawat
janin sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit datang ke IGD Kebidanan RSUD Undata
Palu dengan keluhan kejang- kejang sebelum melahirkan di Rumah pada pukul 05.00
WITA, kejang yang terjadi dengan frekuensi dua kali di rumah dan dua kali di Ruang
IGD Kebidanan RSUD Undata Palu yang berlangsung sekitar 50 detik. Sakit kepala
(+), Nyeri ulu hati (+), muntah (+) 2 kali dengan isi makanan, penglihatan kabur (+).
Kejang yang berlangsung disertai dengan kekakuan seluruh badan hingga pasien
hampir jatuh dari tempat tidur, dan berselang 1 jam kemudian pasien tidak bergerak
dan mengalami penurunan kesadaran serta gelisah. BAB (-), BAK (+) via kateter.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD : 160/120 mmHg, Nadi : 100x/menit,
Pernafasan : Via ventilator, Suhu : 36.5oC Axilla
Pemeriksaan obstetrik :
Inspeksi : Tampak cembung
Palpasi :
o Leopold I : setinggi umbilikus, kontraksi (+)
o Leopold II :-
o Leopold III :-
o Leopold IV :-
Hasil laboratorium yang didapatkan bermakna : protein urin : +3
33
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien wanita dengan P1A0 post SC H1 dengan indikasi eklampsia dan gawat
janin sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit datang ke IGD Kebidanan RSUD Undata
Palu dengan keluhan kejang- kejang sebelum melahirkan di Rumah pada pukul 05.00
34
WITA, kejang yang terjadi dengan frekuensi dua kali di rumah dan dua kali di Ruang
IGD Kebidanan RSUD Undata Palu yang berlangsung sekitar 50 detik. Sakit kepala
(+), Nyeri ulu hati (+), muntah (+) 2 kali dengan isi makanan, penglihatan kabur (+).
Kejang yang berlangsung disertai dengan kekakuan seluruh badan hingga pasien
hampir jatuh dari tempat tidur, dan berselang 1 jam kemudian pasien tidak bergerak
dan mengalami penurunan kesadaran serta gelisah. BAB (-), BAK (+) via kateter.
Menurut teori yang ada gejala yang diderita pasien ini disebabkan oleh
preeklamsi berat yang merupakan penyebab tersering terjadinya hipertensi pada
kehamilan dimana hipertensi pada kehamilan ditandai dengan kenaikan tekanan darah
yang terjadi selama kehamilan, yang diklasifikasikan menjadi hipertensi kronik,
preeklamsia-eklamsia, hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia dan
hipertensi gestasional. Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai proteinuria, dimana dalam kasus ini usia kehamilan > 20 minggu
atau gravid aterm, serta pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya proteinuria
+3. Pada preeklamsia berat juga sering didapatkan adanya keluhan sakit kepala, mual
dan muntah, hal ini disebabkan karena adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
merupakan kompensasi tubuh yang disebabkan karena hipoperfusi otak sehingga
menimbulkan vasogenik edema, sama seperti yang dialami pada pasien ini. Penglihatan
kabur yang dialami pada pasien ini disebabkan karena spasme arteri retina dan edema
retina yang menyebabkan terjadinya gangguan visus. Pada pasien ini juga didapatkan
sesak nafas hal ini disebabkan karena pada preeklamsi berat mempunyai resiko
terjadinya edema paru yang disebabkan karena kerusakan endotel pada pembulu darah
kapiler paru dan menurunnya diuresis bisa juga karena gagal jantung kiri. Nyeri
epigastrium pada pasien ini juga didapatkan karena subscapular hematoma dimana
terjadi perdarahan pada sel perioral lobus perifer yang meluas hingga dibawah kapsula
hepar sehingga akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Hal inilah
yang mendasari terjadinya keluhan pada pasien ini yang mengarahkan pada tanda
impending dalam preeklamsi berat dan eklampsia.(1)
35
Pada pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium pada pasien ini didapatkan TD :
160/120 mmHg, Nadi : 100 x/menit, Pernafasan : Via Ventilator, Suhu : 36.8oC
Axilla, BJF : - , protein urin : +3.
Terapi yang diberikan pada pasien ini pada saat di IGD kebidanan MgSO4 40% :
pertama 4 gram dalam 100cc NaCl 0,9% habis dalam 30 menit kemudian
dilanjutkan 6 gram dalam 500cc RL 28tpm, Inj. Dexametasone 5 mg/6 jam/im,
Inj. Diazepam 0,3 cc/iv, Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/iv, Nifedipin 3x10 mg, pasang
kateter, pantau produksi urin, observasi BJF, TTV, dan stabilisasi KU.
Terapi ini sesuai karena pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih
efektif, Magnesium sulfat akan menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat,
36
magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi
kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium), sehingga terjadi
keseimbangan antara neuron eksitasi dan inhibisi pada jaringan cerebral dan adanya
proses kejang yang terjadi dapat menurun secara perlahan. Kadar kalsium yang tinggi
dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat
ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau
eklampsia.(1)
Pada pasien ini setelah 3 hari perawatan ada perbaikan dimana tekanan darah
pada pasien ini mulai kembali normal dimana pada hari pertama perawatan TD : 130/82
37
mmHg, hari kedua perawatan TD : 130/100 mmHg, hari ketiga TD : 130/90 mmHg
dan tidak ditemukan adanya tanda edema tungkai.
DAFTAR PUSTAKA
38
5. Doddy, A. K., et al. 2008. Standar Pelayanan Medik SMF Obstetri dan Ginekologi
RSU Mataram. RSU Mataram : Mataram
6. Gopar adul, pdf.Preeklampsi, 12 mey 2014, diakses tanggal 12 januari 2018 dari,
http://adulgopar.files.wordpress.com/preeklampsia.pdf
7. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta. Disfungsi
Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005
8. Wagner, L., (2015), Diagnosis And Management Of Preeclampsia, Available:
http://www.aafp.org/afp/20041215/2317.html. (Accesed: 2018, january 20)
9. Mardjono. Mahar. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2011. Hal 56-
8
39