Anda di halaman 1dari 325

Evidence-Based Interventional Pain Medicine

Disusun Oleh:

Rizki Muharani, S.Ked. H1AP14048


Desy Manda Sari, S.Ked. H1AP20038
Angga Gemilang, S.Ked. H1AP19002
Sri Aulia Ulfa, S.Ked. H1AP19018
Muhammad Amiruzzuhra, S.Ked. H1AP14007
Indah Djaja, S.Ked. H1AP14057
Trisna Meliza, S.Ked. H1AP14016
Ririn Puspasari, S.Ked. HA1P14060

Pembimbing:

Dr. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KOTA BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

1. Trigerminal Neuralgia
2. Cervical Radicular Pain
3. Cervical Facet Pain
4. Painful Shoulder Complain
5. Lumbosacral Radicular Pain
6. Pain Originating from The Lumbar Facet Joint
7. Sacroiliaca Joint Pain
8. Discogenic Low Back Pain
9. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia
10. Meralgia Parestica
11. Phantom Pain
12. Complex Regional Pain Syndrome
13. Pancoast Tumor
PENDAHULUAN

Penggunaan teknik manajemen nyeri intervensi secara bertahap


diintegrasikan ke dalam rencana perawatan pasien yang menderita nyeri kronis.
Setelah sekian lama digunakan secara empiris, sekarang saatnya beralih ke
profesionalisasi dan standarisasi praktik ini. Teknik manajemen nyeri intervensi
adalah spesifik target. Ada bukti bahwa pemilihan pasien dengan cara yang lebih
baik meningkatkan rasio keberhasilan. Oleh karena itu, evaluasi pasien standar
untuk "menyempurnakan" diagnosis klinis nyeri wajib untuk dilakukan.
Penjelasan rinci tentang kinerja teknis memberikan pedoman untuk standar
prosedur nyeri intervensi.
Efektivitas teknik ini telah dijelaskan dalam uji coba terkontrol secara
acak, studi observasional, studi retrospektif, dan laporan kasus. Pedoman praktik
berbasis bukti memberikan tinjauan literatur yang baik dalam konteks yang
membuatnya dapat diakses dan berguna bagi dokter dan peneliti.
Bukti yang tersedia diringkas berdasarkan opsi pengobatan atau teknik
yang digunakan. Namun demikian, beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa
peluang keberhasilan pengobatan meningkat dengan pemilihan pasien yang lebih
baik. Strategi manajemen yang baik dimulai dengan proses evaluasi yang akurat
untuk mengidentifikasi diagnosis nyeri. Hal ini sangat penting untuk pertama
memeriksa apa yang disebut flag red yang mungkin merupakan indikasi dari
patologi primer yang mendasari, yang membutuhkan pengobatan yang memadai
sebelum teknik manajemen gejala nyeri. Perawatan bergantung pada penggunaan
dari intervensi konservatif yang akurat, berpotensi terkait dengan teknik
manajemen nyeri intervensi. Akibatnya, pedoman praktik berbasis bukti memiliki
nilai praktis yang lebih besar bila dibuat khusus untuk setiap diagnosis nyeri yang
berbeda.

Dasar Pemikiran Pedoman


Untuk membuat rekomendasi yang diinformasikan, bukti yang tersedia
harus diberi “bobot”. Ketika menilai bukti teknik manajemen nyeri intervensi,
bahkan mungkin lebih dari untuk modalitas pengobatan lainnya, prinsip “Primo
nonnocere” berlaku. Peringkat "tertimbang" harus mempertimbangkan bukti efek
dan menyeimbangkan bukti ini dengan kejadian dan tingkat keparahan efek
samping dan komplikasi. Sistem penilaian yang paling baik mengamati
pertimbangan ini diterbitkan oleh Guyatt et al., “Penilaian kekuatan rekomendasi
dan kualitas bukti dalam pedoman klinis. Metode tersebut kemudian diadaptasi
secara khusus untuk teknik manajemen nyeri intervensi. Pertama, penentuan
ditentukan, apakah manfaat potensial lebih besar daripada risiko dan / atau beban.
Penilaian manfaat / risiko diberi nilai numerik 1 jika manfaat karena efektivitas
pengobatan lebih besar daripada risiko dan beban komplikasi potensial. Nilai 2
diberikan jika manfaat dari efek tersebut sangat seimbang dengan risiko dan
kemungkinan beban efek samping.
Nilai bukti kemudian ditunjukkan dengan huruf: A, B, atau C. Mengikuti
sistem ini, nilai A menunjukkan tingkat bukti tertinggi (berbagai uji coba
terkontrol secara acak [RCT] berkualitas baik), B mewakili bukti yang diturunkan
dari RCT dengan keterbatasan metodologis atau studi observasional besar, dan C
diberikan jika bukti terbatas pada studi observasi atau rangkaian kasus. Selain itu,
skor “0” diberikan untuk teknik yang hanya dijelaskan dalam laporan kasus.
Akhirnya, bukti ditafsirkan untuk mendapatkan hasil, ditunjukkan sebagai berikut:
hasil positif (+), hasil negatif (-), atau, ketika studi positif dan negatif dimasukkan,
maka symbol (±) digunakan.
Grading dan implikasi selanjutnya dirangkum dalam Tabel 1. Dalam
rekomendasi, implikasi praktis "studi terkait" digunakan untuk pilihan pengobatan
yang saat ini memiliki bukti tingkat rendah sebagaimana ditentukan oleh
pencatatan sistematis berikut ini:
• Karakteristik pasien
• Proses diagnostik
• Perawatan termasuk rincian teknik yang bersangkutan
• Evaluasi hasil (sebaiknya menggunakan efek Persepsi Global, VAS, EuroQol,
dan keluhan - skala spesifik pada 3, 6, dan jika perlu pada 12 bulan)
• Efek samping dan komplikasi
Pelaporan hasil yang sistematis dapat membantu mengumpulkan informasi
yang selanjutnya memungkinkan estimasi "nilai" suatu teknik bila telah
diterapkan pada sejumlah besar pasien.
Informasi ini dapat menjadi motivasi untuk studi prospektif acak. Teknik
manajemen nyeri tertentu membutuhkan keahlian yang luas serta bahan dan
peralatan khusus. Oleh karena itu, teknik khusus tersebut sebaiknya dilakukan di
pusat nyeri khusus.

Tabel 1. Ringkasan Skor Bukti dan Implikasinya untuk Rekomendasi.


Skor Deskripsi Implikasi
1A+ Efektivitas ditunjukkan dalam berbagai RCT Rekomendasi Positif
dengan kualitas yang baik. Manfaatnya jelas
lebih besar daripada risiko dan bebannya.

1B+ Satu RCT atau lebih dengan kelemahan


metodologis, menunjukkan efektivitas.
Manfaatnya jelas lebih besar daripada risiko
dan bebannya.

1C+ Satu atau lebih RCT dengan kelemahan


metodologis, menunjukkan efektivitas.
Manfaat sangat diimbangi dengan risiko dan
beban.
2B± Beberapa RCT, dengan kelemahan Dianggap, lebih disukai
metodologis, menghasilkan hasil yang terkait dengan studi.
kontradiktif lebih baik atau lebih buruk
daripada pengobatan kontrol. Manfaat
diimbangi erat dengan risiko dan beban, atau
ketidakpastian dalam perkiraan manfaat,
risiko dan beban.

2C+ Efektivitas hanya ditunjukkan dalam studi


observasional. Mengingat tidak ada bukti
konklusif tentang efeknya, manfaat
diimbangi dengan risiko dan beban.
0 Tidak ada literatur atau laporan kasus yang Hanya yang berkaitan
tersedia, tetapi ini tidak cukup untuk dengan studi.
membuktikan keefektifan dan / atau
keamanan. Perawatan ini sebaiknya hanya
diterapkan dalam kaitannya dengan studi.
2C– Studi observasi menunjukkan “tidak ada” Rekomendasi negative.
atau efektivitas berumur terlalu pendek.
Mengingat tidak ada efek klinis yang positif,
risiko dan beban lebih besar daripada
manfaatnya.

2B- Satu atau lebih RCT dengan kelemahan


metodologis, atau studi observasional besar
yang tidak menunjukkan keunggulan apapun
terhadap perlakuan kontrol. Mengingat tidak
ada efek klinis yang positif, risiko dan beban
lebih besar daripada manfaatnya.

Setiap proses diagnostik telah dijelaskan dengan baik dan bukti pilihan
manajemen yang ditinjau dalam konteks dari diagnosis tertentu. Untuk teknik
intervensi yang direkomendasikan, penjelasan rinci untuk kinerja disediakan.
Pilihan pengobatan umum lainnya berada di luar cakupan dalam seri ini. Yang
penting, literatur untuk pengobatan farmakologis tidak tercakup secara mendalam
dan sedikit perhatian diberikan pada manajemen multidisiplin dan peran
pengobatan perilaku kognitif dalam seri ini.
Buku ini awalnya berdasarkan pedoman praktek tertulis oleh tenaga ahli
Belanda dan Flemish (Belgia) yang dikumpulkan sebagai buku pegangan untuk
dokter berbahasa Belanda. Setelah diterjemahkan, artikel diperbarui dan diedit
bekerja sama dengan spesialis nyeri A.S./ Internasional. Karena proses update ini
dan publikasi artikel berurutan, pembaruan literatur terbaru bervariasi dari satu
artikel ke artikel lainnya. Enam puluh penulis, masing-masing ahli di bidangnya,
telah berkontribusi pada seri ini.
Validasi pedoman tersebut dilakukan dalam proses ulasan sejawat dalam
dua tahap. Edisi pertama pedoman dalam bahasa Belanda diserahkan kepada
anggota Asosiasi ahli anestesi dengan minat khusus untuk manajemen nyeri dari
Belanda (Nederlandse Vereniging voor Anesthesiologie sectie Pijngeneeskunde
[NVAsP]) dan bagian berbahasa Belanda di Belgia (Vlaamse Anesthesiologische
Vereniging voor Pijnbestrijding [VAVP]). Selama proses peninjauan, lebih dari
200 komentar dan pertanyaan diajukan oleh anggota dan ditangani oleh penulis.
Dengan cara ini, pedoman tersebut diterima melalui konsensus yang luas.

Tabel 2. Ringkasan Peringkat Bukti Per Diagnosis.


 Neuralgia trigeminal
 Pengobatan frekuensi radio (RF) dari 2B+ Direkomendasikan
ganglion Gasserian
 Pengobatan RF untuk ganglion 2B– Rekomendasi
Gasserian negative
 Sakit kepala cluster
 Perawatan RF dari ganglion 2C+ Di pertimbangkan
pterygopalatine (sphenopalatinum)
 Stimulasi saraf oksipital 2C+ Dipertimbangkan
di sentral khusus
dan terkait study
 Nyeri wajah idiopatik yang menetap
 Pengobatan RF berdenyut dari ganglion 2C+ Dipertimbangkan
pterygopalatinum (sphenopalatinum)
 Nyeri radikuler servikal
 Pemberian kortikosteroid epidural 2B+ Direkomendasikan

interlaminar
 Pemberian kortikosteroid epidural 2B– Rekomendasi

transforaminal negative

 Pengobatan RF yang berdekatan dengan 2B+ Direkomendasikan

cervical ganglion spinale (DRG)


 Pengobatan RF berdenyut yang 2B+ Direkomendasikan
berdekatan dengan cervical ganglion
spinale (DRG)
 Stimulasi sumsum tulang belakang 0 Terkait dengan
study di sentral
khusus
 Nyeri sisi servikal
 Suntikan intra artikular 0 Terkait dengan
study
 Terapi (repetitif) serviks ramus medialis 2B+ Direkomendasikan
(cabang medial) dari blok ramus
dorsalis (anestesi local dengan atau
tanpa kortikosteroid)
 Pengobatan RF dari ramus medialis 2C+ Dipertimbangkan
serviks (cabang medial) dari ramus
dorsalis
 Sakit kepala servikogenik
 Injeksi nervus oksipitalis mayor dengan 1B+ Direkomendasikan
kortikosteroid + anestesi local
 Injeksi sendi atlanto-aksial dengan 2C– Rekomendasi
kortikosteroid + anestesi local negative
 Pengobatan RF dari ramus medialis 2B± Dipertimbangkan
serviks (cabang medial) dari ramus
dorsalis
 Pengobatan RF berdenyut dari cervical 0 Terkait dengan
ganglion spinale (DRG) (C2 - C3) study
 Gangguan terkait whiplash
 Toksin botulinum tipe A 2B– Rekomendasi
negative

 Injeksi kortikosteroid intra artikular 2C– Rekomendasi

 Pengobatan RF dari ramus medialis negative

serviks (cabang medial) dari ramus 2B+ Direkomendasikan

dorsalis
 Neuralgia oksipital
 Infiltrasi tunggal oksipital nervi dengan 2C+ Dipertimbangkan
anestesi lokal dan kortikosteroid
 Perawatan RF berdenyut pada oksipital 2C+ Dipertimbangkan
nervus
 Pengobatan RF berdenyut dari cervical 0 Tekait Study
ganglion spinale (DRG)
 Stimulasi subkutan dari oksipital nervus 2C+ Dipertimbangkan
pada sentral
khusus
 Toksin botulinum A injeksi 2C± Hanya terkait
study
 Keluhan bahu yang nyeri
 Suntikan kortikosteroid 2B± Dipertimbangkan
 Infus epidural serviks terus menerus 2C+ Dipertimbangkan
 Pengobatan RF berdenyut pada nervus 2C+ Dipertimbangkan
suprascapularis
 Nyeri dada
 Blok interkostal 0 Terkait study
 Pengobatan RF ganglion spinale toraks 2C+ Dipertimbangkan
(DRG)
 Pengobatan RF berdenyut pada 2C+ Dipertimbangkan
ganglion spinale toraks (DRG)
 Nyeri radikuler lumbosakral
 Pemberian kortikosteroid epidural 2B± Dipertimbangkan

interlaminar
 Pemberian kortikosteroid epidural 2 B+ Direkomendasikan

transforaminal dalam "herniasi yang


terkandung"
 Pemberian kortikosteroid epidural 2B– Rekomendasi

transforaminal dalam "herniasi ekstrusi" negative

 Lesi RF berdekatan dengan lumbar 2A– Rekomendasi


ganglion spinale (DRG) negative
 Pengobatan RF berdenyut yang 2C+ Dipertimbangkan
berdekatan dengan lumbar ganglion
spinale (DRG)
 Stimulasi sumsum tulang belakang 2A+ Direkomendasikan
(hanya FBSS) di sentral khusus
 Adhesiolysis – epiduroscopy 2B± Dipertimbangkan
di sentral khusus
 Nyeri yang berasal dari sendi facet lumbal
 Suntikan kortikosteroid intra artikular 2B± Dipertimbangkan
 Pengobatan RF mediales lumbar rami 1B+ Direkomendasikan
(cabang medial) dari ramus dorsal
 Nyeri sendi sakroiliaka
 Injeksi intra-artikular terapeutik dengan 1B+ Direkomendasikan
kortikosteroid dan anestesi local
 Perawatan RF rami dorsales dan rami 2C+ Dipertimbangkan
laterals
 Perawatan RF berdenyut untuk rami 2C+ Dipertimbangkan
dorsales dan rami laterals
 Perawatan berpendingin / RF dari rami 2B+ Direkomendasikan
laterals
 Koksigodinia
 Suntikan lokal kortikosteroid / anestesi 2C+ Dipertimbangkan
lokal
 Injeksi kortikosteroid intradiscal, blok 0 Terkait study
impar ganglion, impar ganglion RF,
blok kaudal
 Neurostimulasi 0 Terkait study

 Nyeri punggung bawah diskogenik


 Pemberian kortikosteroid intradiscal 2B– Rekomendasi
negative

 Pengobatan RF pada diskus 2B± Dipertimbangkan


intervertebralis
 Terapi elektrotermal intradiscal 2B± Dipertimbangkan
 Biacuplasty 0 Terkait study
 Disctrode 0 Terkait study
 RF dari Ramus Communicans 2B+ Direkomendasikan
 Sindrom nyeri regional kompleks
 Blok guanethidine regional intravena 2A– Rekomendasi
negative
 Blok ganglion stellatum (stellate 2B+ Direkomendasikan
ganglion)
 Blok simpatis lumbal 2B+ Direkomendasikan
 Blok pleksus brachialis 2C+ Dipertimbangkan
 Analgesia infus epidural 2C+ Dipertimbangkan
 Stimulasi sumsum tulang belakang 2B+ Direkomendasikan
di sentral khusus
 Stimulasi saraf tepi 2C+ Dipertimbangkan
 Herpes zoster dan neuralgia pasca herpes di sentral khusus
 Pengobatan nyeri intervensi herpes
zoster akut
 Suntikan kortikosteroid epidural 2B+ Direkomendasikan
 Blok saraf simpatis 2C+ Dipertimbangkan
 Pencegahan PHN
 Injeksi kortikosteroid epidural satu kali 2B– Rekomendasi
negative
 Injeksi paravertebral berulang 2C+ Dipertimbangkan
 Blok saraf simpatis 2C+ Dipertimbangkan

 Pengobatan PHN
 Suntikan kortikosteroid epidural 0 Terkait study

 Blok saraf simpatis 2C+ Dipertimbangkan

 Injeksi intratekal ?

 Stimulasi sumsum tulang belakang 2C+ Dipertimbangkan

 Polineuropati diabetik yang menyakitkan di sentral khusus


 Stimulasi sumsum tulang belakang 2C+ Dipertimbangkan
di sentral khusus
 Sindrom karpal turnel
 Suntikan lokal dengan kortikosteroid 1B+ Direkomendasikan
 Pengobatan RF berdenyut Saraf median 0 Terkait study
 Meralgia paresthetica
 Infiltasi saraf kutaneous femoralis 2C+ Dipertimbangkan
lateral (LFCN) dengan anestesi lokal ±
kortikosteroid
 Perawatan RF berdenyut dari LFCN 0 Terkait study
 Stimulasi sumsum tulang belakang 0 Terkait study
 Nyeri phantom
 Pengobatan RF untuk neuroma tunggul 0 Terkait study
 Perawatan RF berdenyut yang 0 Terkait study
berdekatan dengan ganglion tulang
belakang (DRG) Terkait study di
 Stimulasi sumsum tulang belakang 0 sentral khusus

 Lesi pleksus traumatis


 Stimulasi sumsum tulang belakang 0 Terkait study di
sentral khusus

 Nyeri pada penderita kanker


 Pemberian analgesik epidural dan
intratekal
 Pemberian obat intratekal 2 B+ Direkomendasikan

 Pemberian obat epidural 2C+ Dipertimbangkan

 Nyeri onkologis unilateral di bawah


bahu atau dermatom C5
 Kordotomi servikal 2C+ Dipertimbangkan

 Sakit perut bagian atas akibat kanker di sentral khusus

pankreas / lambung
 Blok neurolitik plexus coeliacus 2A+ Dipertimbangkan

 Blok neurolitik saraf 2B+ Direkomendasikan


splanchnicus
 Nyeri perut akibat tumor panggul 2C+ Direkomendasikan
 Blok hipogastrikus pleksus
neurolitik
 Nyeri perineum akibat tumor panggul 0 Terkait study
 Fenolisasi intratekal akar sakral
bawah cauda equina
 Nyeri tulang belakang karena fraktur
kompresi vertebra
 Vertebroplasti 2B+ Direkomendasikan
 Kyphoplasty 2B+ Direkomendasikan
 Angina pektoris refrakter kronis
 Stimulasi sumsum tulang belakang 2 2 B+ Direkomendasikan
 Nyeri iskemik di ekstremitas dan fenomena di sentral khusus
Raynaud
 Penyakit pembuluh darah iskemik
 Simpatektomi 2B± Dipertimbangkan
 Stimulasi sumsum tulang 2B± Dipertimbangkan
belakang di sentral khusus
 Fenomena Raynaud
 Simpatektomi 2C+ Dipertimbangkan
 Nyeri pada pankreatitis kronis
 Blok saraf RF splanchnicus 2C+ Dipertimbangkan
 Stimulasi sumsum tulang belakang. 2C+ Dipertimbangkan
di sentral khusus.

Panduan di Masa Depan


Berkat pengembangan berkelanjutan dari alat diagnostik yang lebih
spesifik dan pemahaman yang lebih baik tentang patofisiologi, dan akibatnya
mekanisme aksi dari pilihan perlakuan yang berbeda; Dipercaya bahwa pemilihan
pengobatan untuk sindrom nyeri kronis akan menjadi lebih berdasarkan
mekanisme. Perhatian yang cermat terhadap evolusi ini dijamin dan, bila perlu,
pembaruan pedoman harus dilakukan.
Buku ini tentang manajemen nyeri intervensi. dapat dianggap sebagai
proyek yang sedang berlangsung. Metodologi untuk pengambilan literatur dan
pemilihan publikasi yang akan ditahan, serta metode penilaian bukti, harus
berkembang dengan setiap pembaruan.
Perawatan hanya dapat direkomendasikan jika efeknya terbukti dalam uji
coba yang dirancang dengan baik. Uji coba terkontrol secara acak memberikan
tingkat bukti tertinggi. Dengan teknik manajemen nyeri intervensi, bagaimanapun,
membutakan pasien dan peneliti bisa menjadi masalah. Hambatan terpenting yang
dihadapi selama pelaksanaan uji coba terkontrol palsu tersamar ganda secara acak
adalah inklusi pasien. Ketika menjelaskan bahwa ada kemungkinan pengobatan
palsu atau plasebo, pasien sering menolak untuk memberikan persetujuan yang
diinformasikan, dan bahkan ketika mereka diikutsertakan dalam penelitian,
mereka dapat menarik diri, memilih untuk pergi berbelanja medis. Oleh karena
itu, metodologi untuk uji klinis acak pada teknik manajemen nyeri intervensi
harus ditinjau kembali.
Rancangan pengacakan dapat membentuk solusi untuk masalah inklusi,
karena pasien diacak ke kelompok intervensi atau ke kelompok pengobatan
konservatif sebelum meminta persetujuan. Pasien dalam kelompok kontrol
diminta untuk mengisi kuesioner yang berhubungan dengan kesehatan mereka
pada titik waktu yang teratur, karena ini bertujuan untuk mengevaluasi efek
pengobatan secara hati-hati.
Para editor ingin mengucapkan terima kasih khusus mereka kepada semua
rekan penulis dari artikel yang berbeda dan terutama Arno Lataster untuk
meninjau setiap makalah mengenai penggunaan yang benar dari ter minologi
anatomi, Rogier Trompert untuk ilustrasi anatomi dan Nicole Van den Hecke
untuk koordinasi seluruh projek.
Seluruh projek didukung oleh World Institute of Pain (WIP), dan asosiasi
anestesiologi nyeri Belanda dan Flemish (NVA dan VAVP).
BAB 1
Neuralgia trigeminal

Pengantar
“Trigeminal Neuralgia adalah nyeri terparah di dunia,” kata Peter J.
Jannetta, MD dalam “Striking Back!”, Panduan orang awam untuk pasien nyeri
wajah.1Neuralgia trigeminal, atau "Tic Doloureux", adalah kondisi wajah yang
menyakitkan. Nyeri ini sudah dikenal sejak zaman kuno; ada deskripsi nyeri
wajah oleh Ibn Sina (980-1073) dalam teks Arab. Contoh pengobatan intervensi
awal dilakukan oleh Locke pada tahun 1677, yang mengoleskan asam sulfat ke
wajah Duchess of Northumberland dalam upaya untuk mengobati neuralgia
trigeminalnya.
Sebuah survei yang dilakukan di 6 negara Eropa menunjukkan bahwa
neuralgia trigeminal secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup dan fungsi
sosial ekonomi pasien yang terkena. 2Neuralgia trigeminal adalah bentuk nyeri
wajah yang paling umum pada orang yang berusia lebih dari 50 tahun. Berbagai
penelitian epidemiologi telah menunjukkan kejadian tahunan menjadi sekitar 4-5
pasien baru per 100.000. Insiden tertinggi terjadi pada usia antara 50 dan 70
tahun; dalam 90% kasus gejala dimulai setelah usia 40 tahun. Neuralgia
trigeminal lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan
perbandingan 1,5: 1.3

Patofisiologinya tidak jelas. Berdasarkan pengamatan klinis, kompresi


nervus trigeminus di dekat pangkal batang otak, yang disebut zona masuk akar,
oleh pembuluh darah atau tumor, dapat menyebabkan neuralgia trigeminal.
Tekanan lokal menyebabkan demielisasi yang mengarah ke depolarisasi abnormal
yang mengakibatkan impuls ektopik.
Gejala
Neuralgia trigeminal dikenali dari nyeri unilateral yang berumur pendek,
kuat, tajam, menusuk di 1 atau lebih cabang dari cabang kelima. urat saraf.
Deskripsi rasa sakit itu sangat penting; itu harus tajam, menembak, menusuk, dan
"sengatan listrik". Rasa sakit bisa disebabkan oleh rangsangan biasa, seperti
makan, mencuci, mencukur, dingin, hangat, dan menghirup udara. Distribusi nyeri
di berbagai cabang nervus trigeminus diberikan pada Tabel 1.1.
Dalam riwayat kasus, 6 pertanyaan harus ditanyakan:
1 Apakah nyeri terjadi dalam serangan?
2 Apakah sebagian besar serangan berdurasi pendek (detik hingga menit)?
3 Apakah terkadang Anda memiliki serangan yang sangat singkat?
4 Apakah serangan itu sepihak?
5 Apakah serangan terjadi di wilayah nervus trigeminus?
6 Adakah gejala otonom unilateral?
Dengan cara ini, diagnosis banding dapat dibuat secara relatif
dengan cepat dan kesan dapat dibentuk apakah itu neuralgia trigeminal esensial.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis jarang menunjukkan adanya kelainan pada pasien dengan
neuralgia trigeminal idiopatik, tetapi semua saraf kranial perlu diuji. Pasien yang
mengalami gangguan neurologis sering kali disebut sebagai neuralgia trigeminal
sekunder, di mana neuralgia trigeminal merupakan gejala penyakit lain, misalnya
tumor angulus pontocerebellaris atau sklerosis multipel.

Tes Tambahan
Ketika diagnosis neuralgia trigeminal dibuat, pasien perlu menjalani pemindaian
magnetic resonance imaging (MRI) untuk menyingkirkan patologi spesifik seperti
tumor atau multiple scle-rosis, yang dapat menyebabkan neuralgia trigeminal
sekunder.

Tabel 1.1. Distribusi nyeri di berbagai cabang saraf di neuralgia trigeminal.

V1 saja 4%
V2 saja 17%
V3 saja 15%
V2 + V3 32%
V1 + V2 14%
V1 + V2 + V3 17%
Lihat Rozen.3
MRI scan juga dapat digunakan jika dicurigai ada kompresi nervus trigeminus di
fossa cranialis posterior. Terkadang pemindaian MRI cukup sensitif untuk
mendeteksi pembuluh darah yang bersentuhan dengan nervus trigeminus. Peran
kompresi vena dalam patogenesis neuralgia trigeminal masih
kontroversial.4,5 Khususnya, pada pemindaian MRI, kompresi pembuluh darah
terlihat pada sepertiga pasien tanpa gejala. Sebuah tinjauan berbasis bukti baru-
baru ini menyimpulkan bahwa tidak ada cukup bukti untuk mendukung atau
menolak kegunaan MRI untuk mengidentifikasi kompresi neu-rovaskular.6

Perbedaan diagnosa
Neuralgia trigeminal yang lebih jarang terlihat pada pasien yang lebih muda.
Sklerosis multipel harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosis banding,
terutama pada kasus bilateral. Inter-national Headache Society menjelaskan
kriteria berikut untuk neuralgia trigeminal esensial. 7
A Nyeri paroksismal yang berlangsung dari sepersekian detik hingga 2 menit,
terjadi di 1 atau lebih cabang nervus trigemi-nus, dan memenuhi kriteria B dan C.
B Nyeri memiliki setidaknya satu dari karakteristik berikut: 1 intens, tajam,
dangkal, atau menusuk.
2 diendapkan dari area pemicu atau oleh faktor pemicu.
C Serangan tersebut secara stereotip dijelaskan oleh pasien.
D Tidak ada tanda-tanda gangguan saraf.
E Serangan tersebut tidak disebabkan oleh gangguan lain.

International Headache Society telah menyarankan kriteria diagnostik


mereka sendiri untuk neuralgia trigeminal (Tabel 1.2). 8 Diagnosis berbeda dari
neuralgia trigeminal esensial sangat luas dan melibatkan semua nyeri unilateral di
jalur nervus trigeminus. Pertimbangan diagnostik diferensial yang paling penting
adalah nyeri wajah spesifik, nyeri wajah nonspesifik, artrosis temporo-mandibula,
gangguan gigi, dan migrain vaskular. Gambaran rinci tentang diagnosis banding
nyeri wajah dapat dilihat pada Tabel 1.3.9
Pilihan pengobatan

Perawatan konservatif
Pemilihan pengobatan farmakologis didasarkan pada tinjauan sistematis dari data
penelitian yang relatif lebih tua10 atau lebih
Tabel 1.2. Neuralgia trigeminal: kriteria diagnostik klinis.

Ciri Deskripsi

Karakter Menembak, seperti sengatan listrik, menusuk,


Dangkal
Keseriusan Sedang hingga sangat intens
Setiap serangan rasa sakit berlangsung beberapa detik tetapi beberapa
Durasi detik
serangan yang berbeda dapat terjadi secara bersamaan setelahnya
yang ada interval bebas rasa sakit

Periode berminggu-minggu hingga berbulan-bulan tanpa rasa


Periodisitas sakit
Lokasi Distribusi T. neuralgia, terutama unilateral
Emanasi Di dalam area saraf trigeminal
Faktor pemicu Sentuhan ringan, seperti saat makan, berbicara
atau mencuci
Faktor-faktor yang
meringankan Sering tidur, anti epilepsi
Karakteristik yang
menyertainya Zona pemicu, penurunan berat badan, kualitas hidup yang buruk,
Depresi

database Cochrane terbaru.11 Obat pilihan adalah karbamazepin. Dari sebuah studi
observasional, terlihat bahwa car-bamazepine dapat mengurangi gejala nyeri pada
sekitar 70% kasus. Oxcarbazepine telah menunjukkan kemanjuran yang
serupa.6Obat lain yang dapat dicoba, meskipun tidak ada bukti klinis untuk
kemanjurannya, adalah gabapentin, pregabalin, dan baclofen. Rozen meringkas
rekomendasi untuk perawatan medis dari trigeminal neuralgia pada Tabel 1.4. 3
Perawatan intervensi
Jika perawatan medis tidak berhasil atau memiliki terlalu banyak efek
samping, perawatan invasif dapat dilakukan. Dalam kasus ini, saat ini terdapat 5
kemungkinan yang sesuai secara klinis:
1 Dekompresi mikrovaskuler bedah (MVD).12
2 Terapi radiasi stereotaktik, pisau Gamma. 13
3 Mikrokompresi balon perkutan.14
4 Rhizolisis gliserol perkutan.15
5 Perawatan frekuensi radio perkutan (RF) dari ganglion Gasserian. 16
6 Stimulasi / neuromodulasi ganglion gasserian (eksperimen-tal).17

MVD bedah
Selama MVD, pembuluh darah yang bersentuhan dengan zona masuk akar
dikoagulasi dan arteri dipisahkan dari saraf menggunakan spons atau kain yang
lembam.18

Terapi radiasi stereotaktik, pisau Gamma


Pisau Gamma, metode terapi radio stereotaktik, memerlukan iradiasi dosis
tinggi dari sebagian kecil nervus trigeminus. Hal ini menyebabkan kerusakan
selektif pada gan-glion Gasserian. Keuntungannya adalah ini adalah perawatan
non-invasif
Tabel 1.3. Diagnosis banding neuralgia trigeminal.
Apakah sebagian
besar Apakah kamu
Apakah serangan itu Apakah ada yang
Apakah itu serangan singkat terkadang Apakah itu terjadi sepihak
nyeri
terjadi durasi (detik memiliki ultra serangan di wilayah otonom
Tunjukkan jawaban dalam serangan
dengan a ✓ Untuk serangan? ke menit)? pendek? sepihak? nervus trigeminus? gejala?
penderitaan berikut Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Iya

• Muskuloskeletal ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
• Dentoalveolar ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
• Telinga, Hidung dan
Tenggorokan ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
• Artritis sel raksasa ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
• Glaukoma ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
• Sakit kepala cluster ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
• Migrain atipikal ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
• Hemikrania paroksismal kronis ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
• Sindrom sendi temporomandibular ✓ ✓ ✓ ✓
• Sindrom gigi retak ✓ ✓ ✓ ✓
• Sakit kepala seperti menusuk
idiopatik ✓ ✓ ✓
• Neuralgia glosofaringeal ✓ ✓
• Neuralgia saraf intermedius ✓ ✓
• SUNCT ✓

Tabel 1.4. Perawatan medis untuk neuralgia trigeminal.


Pengobatan Dosis Saatnya meredakan nyeri

Karbamazepin 400–800 mg / hari 24–48 jam


Fenitoin 300–500 mg / hari 24–48 jam
Baclofen 40–80 mg / hari ?
Clonazepam 1,5–8 mg / hari ?
Valproate 500–1500 mg / hari Minggu
Lamotrigin 150–400 mg 24 jam
Pimozide 4–12 mg ?
Gabapentin 900–2400 mg / hari 1 minggu
Oxcarbazepine 900–1800 mg / hari 24–72 jam

Lihat Rozen.3

dapat diaplikasikan dengan anestesi lokal dan sedasi ringan. Saat ini, sementara
ada peningkatan jumlah studi khasiat yang dilakukan pada pengobatan ini, khasiat awal
tampaknya terbatas; antara 60% dan 70% menunjukkan penurunan nyeri. Efek jangka
panjangnya belum diketahui.13
Mikrokompresi balon perkutan
Dalam mikrokompresi ganglion Gasserian, nervus trigemi-nus dikompresi oleh
balon kecil, yang dimasukkan secara perkutan ke dalam rongga Meckel menggunakan
jarum. Efek dari teknik ini bergantung pada kerusakan iskemik sel ganglion. Meskipun
data kualitatif yang baik tidak mencukupi, teknik ini, sehubungan dengan kemanjuran,
tampaknya sebanding dengan pengobatan RF per kutan untuk ganglion Gasserian.
Keuntungan dari Teknik ini juga cocok untuk pengobatan neuralgia trigeminal pada
cabang pertama, yang memungkinkan refleks kornea tetap utuh. 14,19

Rhizolisis gliserol perkutan


Selama rhizolisis gliserol perkutan, jarum dimasukkan ke dalam cisterna
trigemini, divisualisasikan menggunakan fluoroskopi. Pada pasien yang duduk, dengan
kepala tertekuk, pewarna kontras dapat disuntikkan untuk menentukan ukuran cisterna.
Kemudian, setelah pewarna kontras disedot, gliserol dengan volume yang sama
disuntikkan.15

Pengobatan RF perkutan dari ganglion Gasserian


Perawatan RF untuk ganglion Gasserian harus dipertimbangkan pada pasien
lanjut usia.14 Hasil pengobatan ganglion Gasserian dilaporkan kurang menguntungkan
dibandingkan dengan operasi terbuka (MVD) tetapi kurang invasif dan memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah.20

Stimulasi / neuromodulasi ganglion gasserian (eksperimental)


Stimulasi listrik ganglion gasserian pertama kali dijelaskan oleh Shelden et al.
pada 3 pasien dengan neuralgia trigeminal.17 Meyerson dan Hakansson melaporkan
stimulasi ganglion Gasserian melalui kraniotomi subtemporal pada 5 pasien yang
menderita neuralgia trigeminal atipikal.21 Kemudian, pendekatan perkutan dijelaskan
oleh Meglio, namun, migrasi timbal menghadirkan tantangan teknis.22 Baru-baru ini,
Machado et al. melaporkan stimulasi ganglion Gasserian perkutan pada 8 pasien
dengan nyeri neuropatik trigeminal. Hanya 3 pasien terus >50% peningkatan nyeri
setelah 1 tahun pengobatan.23 Mereka menyimpulkan bahwa mobilitas timbal karena
kesulitan menahan kabel tetap menjadi penghalang yang signifikan untuk mencapai
hasil yang optimal dan memerlukan desain timbal yang inovatif.
Untuk pasien dengan neuralgia trigeminal yang refrakter terhadap terapi medis,
teknik perkutan ganglion Gasserian, pisau Gamma, dan MVD dapat dipertimbangkan,
meskipun bukti kuat tentang kemanjuran intervensi ini masih kurang. 6 Diperlukan lebih
banyak penelitian untuk menetapkan nilai intervensi ini.
Secara umum, diterima bahwa pilihan pengobatan pertama pada pasien yang
lebih muda adalah MVD. Ada beberapa tinjauan sistematik tersedia yang
membandingkan teknik yang paling tepat dalam pengobatan neuralgia trigeminal. 20,24–
27
Berdasarkan studi terbaru, pengobatan MVD tetap menjadi pilihan terapi terbaik
sehubungan dengan peningkatan kualitas hidup pasien neuralgia trigeminal, dan juga
ketika mempertimbangkan pereda nyeri jangka panjang yang dialami setelah operasi.
Tiga terapi invasif minimal lainnya memiliki skor kurang baik karena memiliki lebih
banyak risiko nyeri kambuh setelah pengobatan. Namun, perbedaannya sangat kecil.
Terapi pengobatan mendapat skor paling rendah dalam tinjauan. Hal ini terutama
karena pereda nyeri sering kali disertai dengan efek samping yang parah yang terkait
dengan penggunaan pengobatan kronis. Untuk pasien lanjut usia, pengobatan
menggunakan pengobatan RF untuk ganglion Gas-serian sering lebih disukai daripada
MVD. Hal ini disebabkan oleh peningkatan morbiditas dan mortalitas yang terkait
dengan operasi MVD. Namun, satu publikasi menyatakan bahwa pada orang sehat yang
berusia di atas 70 tahun, MVD tidak menimbulkan peningkatan risiko yang
berarti.28MVD lebih efektif daripada perawatan pisau Gamma. Sekitar 60% dari pasien
yang dirawat bebas dari rasa sakit selama setidaknya 60 bulan, jika pengobatan
diberikan dengan benar. Zakrzewska telah menunjukkan bahwa pada sekitar 50%
pasien, ada gangguan sensorik pada cabang nervus trigeminus yang dirawat. 29Dengan
demikian, teknik ini tidak boleh digunakan pada neuralgia trigeminal sekunder, seperti
yang terlihat pada neuralgia postherpetik. Satu-satunya pengecualian saat ini adalah
neuralgia trigeminal sekunder akibat multiple sclerosis. Sementara pengobatan RF
berdenyut tampaknya menjadi alternatif yang masuk akal untuk RF, dalam satu-satunya
uji coba terkontrol secara acak yang membandingkan teknik ini dalam pengobatan
neuralgia trigeminal, PRF gagal menunjukkan kemanjuran. 30

Komplikasi
Prosedur RF perkutan memiliki morbiditas yang sangat rendah dan hampir tidak
ada mortalitas. Komplikasi yang paling umum adalah hilangnya sensorik pada cabang
yang dirawat atau kelumpuhan muskulus masseter. Dalam jangka panjang, anestesi
dolorosa, hipestesia kornea dan keratitis, dan kelumpuhan sementara pada saraf kranial
ketiga dan keempat dapat terjadi. Komplikasi yang lebih sering dan tidak terlalu serius
adalah hematoma di pipi, yang biasanya menghilang setelah beberapa hari.
Kanpolat dkk. melaporkan hasil pengalaman 25 tahun dengan 1.600 pasien.31
Komplikasi yang disebutkan di atas adalah: refleks kornea menurun (5,7%), kelemahan
dan kelumpuhan muskulus masseter (4,1%), disestesi (1%), anestesi dolorosa
Tabel 1.5. Ringkasan bukti untuk manajemen intervensi dari neuralgia trigeminal.
Teknik Penilaian

Pengobatan frekuensi radio ganglion Gasserian 2B+


Pengobatan frekuensi radio berdenyut ganglion Gasserian 2 B−

Lihat van Kleef et al.33

(0,8%), keratitis (0,6%), dan kelumpuhan sementara saraf kranial ketiga dan keempat
(0,8%).

Bukti untuk pengobatan nyeri intervensi


Bukti untuk pengobatan nyeri intervensi dirangkum dalam Tabel 1.5.
Rekomendasi
Perawatan pasien dengan neuralgia trigeminal esensial harus multidisiplin dan
berbagai pilihan perawatan (MVD, pisau Gamma, dan perawatan RF untuk ganglion
Gasserian) dan risikonya harus didiskusikan dengan pasien. Terapi terkait ini belum
pernah dibandingkan satu sama lain dalam studi acak pro-spektif. Oleh karena itu,
rekomendasi bersifat relatif. Berkenaan dengan pasien lanjut usia dengan komorbiditas,
terapi RF untuk ganglion Gasserian dapat direkomendasikan. Pada pasien yang lebih
muda, MVD menurut Jannetta dapat dipertimbangkan. 18

Algoritma praktek klinis


Algoritma untuk penilaian klinis dan pengobatan diilustrasikan pada Gambar 1.1.

Teknik pengobatan RF ganglion Gasserian


Ganglion Gasserian dinamai menurut Johann Lorenz Gasser, seorang ahli
anatomi Wina. Ganglion terletak di rongga tengkorak Meckel dekat dengan os
petrosum, bagian dari os temporale. Ganglion Gasserian dikelilingi medial oleh sinus
cav-ernosus, di superior oleh bagian bawah lobus temporalis dan di posterior oleh
batang otak. Dari atas ke bawah ganglion memiliki 3 cabang: cabang pertama adalah
nervus ophtalmicus, cabang kedua adalah nervus maxillaris, dan cabang ketiga adalah
nervus mandibularis. Ganglion Gasserian memiliki susunan somatotopic, dimana
nervus ophtalmicus adalah yang paling kranio-medial dan nervus mandibularis terletak
paling lateral. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan fluoroskopi dimana pasien
berbaring telentang di atas meja dan C-arm diputar untuk mendapatkan tampilan
submental, kemudian perlahan dimiringkan miring ke arah sisi yang terkena sampai
foramen ovale divisualisasikan dengan baik secara medial sehubungan dengan prosesus
mandibularis, dan lateral rahang atas. Posisi C-arm kemudian disesuaikan sehingga
foramen terlihat seperti itu
pasien dibiarkan bangun, dengan menghentikan sedasi propofol, dan stimulasi
sensorik dapat dilakukan pada 50 Hz. Paresthesia harus dirasakan antara 0,05 dan 0,2 V
di area yang sesuai sebuah oval. Jika seseorang ingin merawat cabang rahang atas dan
cabang man-dibular, titik masuk jarum adalah 2 cm lateral dari sudut mulut di sisi
ipsilateral lesi. Jarum diarahkan ke bagian tengah foramen. Jika seseorang hanya ingin
merawat cabang mandibula, titik masuk jarum adalah 1 cm lateral dari sudut mulut dan
satu mengarahkan jarum ke bagian lateral foramen ovale. Jika seseorang hanya ingin
merawat cabang oftalmikus, titik masuk jarum terletak 3 cm lateral dari sudut mulut
dan satu lagi mengarahkan jarum ke bagian medial foramen ovale.
Untuk perawatan ini, kami menggunakan kanula Sluijter-Mehta-Kanula, 10 cm
22 G dengan ujung aktif 2 mm. Setelah penanda anatomi telah diidentifikasi, dosis obat
penenang intravena propofol atau agen serupa diberikan. Jarum Sluijter-Mehta-Kanula
kemudian diarahkan ke foramen ovale (tampak terowongan) (lihat Gambar 1.2 dan
1.3). Penting untuk meletakkan jari di mulut untuk memastikan tidak ada penetrasi
mukosa mulut. Setelah jarum melewati foramen ovale ke dalam rongga Meckel,
stimulasi dapat dilakukan. Parameter stimulasi adalah sebagai berikut: pertama-tama
fungsi motorik diuji, di mana harus ada sedikit atau tidak ada kontraksi pada muskulus
masseter, sebaiknya di atas ambang 0,6 V. Dengan stimulasi motorik, jarum perlu
dimajukan dengan hati-hati kira-kira 2 mm. Kemudian sakit pasien. Setelah paresthesia
yang sesuai, perawatan RF 60 ° C dapat dilakukan selama 60 detik. Setelah ini, refleks
kornea diuji dan pasien dievaluasi untuk hipestesia pada dermatom yang dirawat. Jika
tidak ada hypoesthesia, maka perawatan kedua dilakukan pada suhu 65 ° C selama 60
detik, dan jika masih tidak ada hypoesthesia maka perawatan RF ketiga dapat dilakukan
pada 70 ° C selama 60 detik lagi.
Ringkasan
Seperti yang dikemukakan oleh T. Nurmikko, neuralgia trigeminal klasik
(esensial) dapat didiagnosis dengan menanyakan 6 pertanyaan sederhana (Tabel 1.3). 9,32
Penting bahwa MRI otak telah dilakukan pada setiap pasien, untuk
mengecualikan neuralgia trigeminal sekunder yang membutuhkan perawatan yang lebih
kausal, sebelum beralih ke terapi invasif. Pengobatan pilihan pertama adalah
karbamazepin atau oxcarbazepine. Pada pasien yang lebih muda dengan neuralgia
trigeminal, pilihan pertama pengobatan invasif mungkin MVD. Berkenaan dengan
pasien usia lanjut, pengobatan RF untuk ganglion Gasserian direkomendasikan
meskipun terdapat kekurangan data pembanding prospektif. Perawatan ini hanya boleh
dilakukan di pusat-pusat khusus.
Tidak ada cukup data saat ini untuk mendukung penggunaan luas neuromodulasi
trigeminal dan modalitas pengobatan ini hanya boleh disediakan untuk pasien tertentu
dengan nyeri neuropatik trigeminal yang tidak dapat diperbaiki yang gagal membaik
dengan pilihan lain yang lebih konservatif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Weigel G, Kenneth F, Casey M. Menyerang Kembali! Gainsville: Asosiasi


Neuralgia Trigeminal; 2000.
2. Tolle T, Dukes E, Sadosky A. Beban pasien neural-gia trigeminal: hasil dari survei
cross-sectional gangguan status kesehatan dan pola pengobatan di enam negara
Eropa. Praktik Sakit. 2006; 6: 153–160.
3. Rozen TD. Neuralgia trigeminal dan neuralgia glossopharyngeal. Klinik Neurol.
2004; 22: 185–206.
4. Hamlyn PJ, Raja TT. Kompresi neurovaskular di trigeminal neuralgia: studi klinis
dan anatomis. J Neurosurg. 1992; 76: 948–954.
5. Klun B. Dekompresi mikrovaskular dan rhizotomi sensorik parsial dalam
pengobatan neuralgia trigeminal: pengalaman pribadi dengan 220 pasien. Bedah
saraf. 1992; 30: 49–52.
6. Gronseth G, Cruccu G, Alksne J, dkk. Parameter praktik: evaluasi diag-nostik dan
pengobatan neuralgia trigeminal (tinjauan berbasis bukti): laporan dari Sub-komite
Standar Kualitas American Academy of Neurology dan European Federation of
Neurological Societies. Neurologi. 2008; 71: 1183–1190.
7. Subkomite Klasifikasi Masyarakat Sakit Kepala Internasional. Klasifikasi
internasional gangguan sakit kepala: edisi ke-2. Cephalgia. 2004; 24: 9–160.
8. Komite Klasifikasi Sakit Kepala dari International Head-ache Society. Klasifikasi
dan kriteria diagnostik untuk gangguan sakit kepala, neuralgia kranial dan nyeri
wajah. Cephalalgia. 1988; 8 (luwes 7): 1–96.
9. Nurmikko T. Trigeminal neuralgia. Perawatan Int J Sakit Med Pall. 2003; 3: 2–11.
10. McQuay H, Carroll D, Jadad AR, Wiffen P, Moore A. Obat antikonvul-sant untuk
manajemen nyeri: tinjauan sistematis. BMJ. 1995; 311: 1047–1052.
11. Wiffen P, Collins S, McQuay H, Carroll D, Jadad A, Moore A. Obat anti-kejang
untuk nyeri akut dan kronis. Sistem Database Cochrane Rev. 2000; CD001133.
12. Janetta P. Trigeminal neuralgia: pengobatan dengan mikrovaskuler decom-
13. tekanan. Masuk: Wilkins R, Regachary S, eds. Bedah saraf. New York: McGrawy-
Hill; 1996: 3961–3968.
14. RF muda, Vermulen S, Posewitz A. Bedah radio pisau Gamma untuk pengobatan
neuralgia trigeminal. Stereotact Funct Neurosurg. 1998; 70 (suppl 1): 192–199.
15. Mullan S, Lichtor T. mikrokompresi perkutan dari ganglion trigeminal untuk
neuralgia trigeminal. J Neurosurg. 1983; 59: 1007–1012.
16. Neuralgia trigeminal Hakanson S. diobati dengan suntikan gliserol ke dalam tangki
trigeminal. Bedah saraf. 1981; 9: 638–646.
17. WH manis, Wepsic JG. Termokoagulasi ganglion trigeminal terkontrol dan akar
untuk kerusakan diferensial serabut nyeri. Bagian I: neuralgia trigeminal. J
Neurosurg. 1974; 39: 143–156.
18. Shelden CH, Pudenz RH, Doyle J. Kontrol listrik nyeri wajah. Am J Surg. 1967;
114: 209–212.
19. Jannetta PJ, McLaughlin MR, Casey KF. Teknik dekompresi mikrovaskular.
Catatan teknis. Fokus Bedah Saraf. 2005; 18: E5.
20. Belber CJ, Rak RA. Rizolisis kompresi balon dalam manajemen bedah dari
neuralgia trigeminal. Bedah saraf. 1987; 20: 908–913.
21. Lopez BC, Hamlyn PJ, Zakrzewska JM. Review sistematis teknik bedah saraf
ablatif untuk pengobatan neuralgia trigeminal. Bedah saraf. 2004; 54: 973–982;
diskusi 982–973.
22. Meyerson BA, Hakansson S. Pengentasan nyeri trigeminal atipikal dengan
stimulasi ganglion gasserian melalui elektroda yang ditanamkan. Acta Neurochir
Suppl (Wien). 1980; 30: 303–309.
23. Meglio M. elektroda kronis implan perkutan untuk stimulasi frekuensi radio
ganglion gasserian: perspektif dalam manajemen nyeri trigeminal. Acta Neurochir
(Wien). 1984; 33: 521–525.
24. Machado A, Ogrin M, Rosenow JM, Henderson JM. Sebuah studi prospektif 12
bulan tentang stimulasi ganglion gasserian untuk nyeri neuropatik trigeminal.
Stereotact Funct Neurosurg. 2007; 85: 216–224.
25. Lopez BC, Hamlyn PJ, Zakrzewska JM. Bedah radio stereotaktik untuk neuralgia
trigeminal primer: keadaan bukti dan rekomendasi untuk laporan di masa
mendatang. J Neurol Neurosurg Psikiatri. 2004; 75: 1019-1024.
26. Zakrzewska JM, Thomas DG. Penilaian hasil pasien setelah tiga prosedur
pembedahan untuk pengelolaan neural-gia trigeminal. Acta Neurochir (Wien).
1993; 122: 225–230.
27. Spatz AL, Zakrzewska JM, Kay EJ. Analisis keputusan perawatan medis dan bedah
untuk neuralgia trigeminal: bagaimana evaluasi pasien tentang manfaat dan risiko
mempengaruhi kegunaan keputusan pengobatan. Rasa sakit. 2007; 131: 302–310.
28. Tatli M, Satici O, Kanpolat Y, Sindou M. Berbagai modalitas bedah untuk
neuralgia trigeminal: studi literatur tentang hasil jangka panjang masing-masing.
Acta Neurochir (Wien). 2008; 150: 243–255.
29. Javadpour M, Humas Eldridge, Varma TR, Miles JB, Nurmikko TJ. Dekompresi
mikro-vaskular untuk neuralgia trigeminal pada pasien berusia di atas 70 tahun.
Neurologi. 2003; 60: 520.
30. Zakrzewska JM, Jassim S, Bulman JS. Sebuah studi prospektif longitudinal pada
pasien dengan neuralgia trigeminal yang menjalani termokoagulasi frekuensi radio
dari ganglion gasserian. Rasa sakit. 1999; 79: 51–58.
31. Erdine S, Ozyalcin NS, Cimen A, Celik M, Talu GK, Disci R. Perbandingan
frekuensi radio berdenyut dengan frekuensi radio konvensional dalam pengobatan
neuralgia trigeminal idiopatik. Eur J Pain. 2007; 11: 309–313.
32. Kanpolat Y, Savas A, Bekar A, Berk C. Rhizotomi trigeminal frekuensi radio
terkontrol perkutan untuk pengobatan neuralgia trigeminal idiopatik: pengalaman
25 tahun dengan 1.600 pasien. Bedah saraf. 2001; 48: 524–532; diskusi 532–524.
33. Nurmikko T. Neuralgia trigeminal dan neuralgia wajah lainnya. Masuk: Cervero F,
Jensen TS, eds. Buku Pegangan Neurologi Klinis, Vol. 81 (Seri ke-3. Vol. 3),
Nyeri. New York: Elsevier; 2006: 573–596.
34. van Kleef M, Mekhail N, Van Zundert J. Editorial; Pedoman berbasis bukti untuk
pengobatan nyeri intervensi menurut diagnosis klinis. Praktik Sakit. 2009; 9: 247–
251.
Nyeri Radikuler Servikal
Jan Van Zundert , Marc Huntoon , Jacob Patijn , Arno Lataster , Nagy
Mekhailand Maarten van Kleef

Pendahuluan
Nyeri radikuler servikal adalah nyeri yang dirasakan pada tungkai atas, seperti
ditembak atau seperti listrik, yang disebabkan oleh iritasi dan atau cedera saraf
tulang belakang leher. Dalam klasifikasi Internasional Asosiasi untuk Studi Nyeri,
nyeri radikuler servikal didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan timbul di
ekstremitas atas yang disebabkan oleh aktivasi ektopik serat aferen nosiseptif di
saraf tulang belakang atau akarnya atau mekanisme neuropatik lainnya,seperti
adanya aktivasi ektopik jarang, jika pernah, ditunjukkan dalam pengaturan klinis.

Nyeri radikuler servikal harus dibedakan dengan nyeri servikal


radikulopati. Pada gangguan terakhir ada kerugian obyektif fungsi sensorik dan /
atau motorik. Nyeri radikuler dan radikulopati tidak identik meskipun dalam
literatur istilah-istilah ini adalah digunakan secara bergantian. Nyeri radikuler
merupakan gejala yang ditimbulkan oleh pembentukan impuls ektopik, sedangkan
radikulopati juga termasuk tanda-tanda neurologis seperti perubahan sensorik atau
motorik. Dua gangguan ini dapat terjadi secara bersamaan dan mungkin
disebabkan oleh entitas klinis yang sama; misalnya, penyempitan foramen
intervertebralis, herniasi diskus intervertebralis, dan radikulitis akibat artritis,
infeksi, atau eksudat inflamasi. Kedua sindrom tersebut dapat membentuk
kontinum di mana radikulopati dapat berkembang dari nyeri radikuler awal saat
gangguan yang mendasari berkembang.

Riwayat alami nyeri radikuler servikal atau radikulopati tidak dijelaskan


secara rinci dalam literatur. Data tentang insiden dan prevalensinya langka. Data
epidemiologi yang paling sering digunakan berasal dari Rochester, MN, USA
(1976 hingga 1990), dimana insiden tersebut dihitung berdasarkan informasi dari
sistem keterkaitan rekam medis terkomputerisasi untuk Mayo Clinic dan dua
rumah sakit afiliasinya. Para penulis mengklaim bahwa database mereka pada
dasarnya adalah pencacahan populasi Rochester. Mereka ditemukan dalam
populasi antara 13 dan 91 tahun setiap tahun kejadian radikulopati servikal 83 per
100.000. 5 Meskipun penulis mengklasifikasikan pasien sebagai yang menderita
radikulopati, populasi yang dijelaskan kemungkinan besar termasuk servikal
nyeri radikuler, karena perubahan sensorik hanya dilaporkan pada 33% dan
kelemahan 64%. Rata-rata kejadian yang disesuaikan dengan usia tarif per
100.000 orang adalah 107 untuk pria dan 64 untuk wanita. Insiden tertinggi
ditemukan pada kelompok usia antara 50 dan 54 tahun dengan rata-rata 203 per
100.000 orang. Dalam 15% dari pasien, riwayat aktivitas fisik atau trauma
sebelumnya timbulnya gejala, dan 41% pasien memiliki gejala sebelumnya
riwayat radikulopati lumbal. Menurut penelitian ini, tingkat yang paling sering
terkena adalah C7 dalam 45% sampai 60% kasus. Studi lain menunjukkan bahwa
level C6 mewakili kira-kira 20% sampai 25% dan level C5 dan C8 masing-masing
mewakili kira-kira 10% kasus.

Sejarah
Nyeri radikuler servikal ditandai dengan nyeri di leher yang menyebar melalui
bahu posterior ke lengan dan terkadang ke tangan. Radiasi mengikuti segmen -
spesifik serabut c. Nyeri yang berasal dari C4 terbatas pada leher dan daerah
suprascapular. Nyeri yang berasal dari C5 menjalar hingga ke lengan atas, dan
nyeri dari C6 dan C7 menjalar dari leher ke bahu, lengan bawah, dan tangan.
Nyeri menutupi sisi posterolateral lengan atas, tetapi nyeri akibat C7 meluas lebih
ke punggung.

Nyeri dari berbagai dermatom bisa tumpang tindih dan tidak ada wilayah
lengan yang spesifik, yang merupakan karakteristik untuk bagian tertentu segmen.
Nyeri radikuler tidak terbatas pada dermatom tertentu dan dapat dilihat di semua
struktur yang dipersarafi oleh akar saraf yang terkena seperti otot, persendian,
ligamen, dan kulit.

Pemeriksaan fisik
Seperti jenis nyeri tulang belakang lainnya, tidak ada standar baku untuk nyeri
diagnosis nyeri radikuler servikal. Untuk alasan ini diagnosis dibuat berdasarkan
kombinasi riwayat, pemeriksaan klinis, dan tes tambahan.
Pemeriksaan neurologis klasik meliputi pengujian sensasi, kekuatan, dan
exes tendon refl. Uji klinis khusus telah dilakukan dijelaskan untuk diagnosis
nyeri radikuler servikal, termasuk tes kompresi leher (tes spurling), abduksi bahu
uji, dan uji traksi manual aksial. Penjelasan tentang ini tes dapat dilihat pada Tabel
4.1.

Validitas dari ketiga tes ini dalam mendiagnosis kompresi akar pada
penyakit diskus servikal diselidiki mengenai radikuler nyeri, tanda neurologis, dan
tanda kompresi akar pada mielografi. Semua tes ini memiliki kota spesifikasi
tinggi (81% hingga 100%) tetapi sensitivitas rendah. Tes Spurling juga dievaluasi
menggunakan elektromiografi sebagai uji referensi. Hasilnya sebanding:
sensitivitas 30%, kota tertentu 93%. Ketiga ujian ini dianggap sebagai alat bantu
yang berharga dalam diagnosis klinis pasien dengan nyeri leher dan lengan.
Karakteristik neurologis servikal nyeri radikuler diberikan pada Tabel 4.2.

Tes tambahan
Tiga jenis tes tambahan yang paling sering diminta adalah teknik pencitraan
medis, tes elektrofisiologi, dan blok akar saraf selektif diagnostik.

Tabel 4.1. Tes klinis untuk diagnosis nyeri radikuler servikal

Test Deskripsi
Tes spurling Leher diperpanjang dengan kepala diputar ke bahu yang
terkena dimuat secara aksial. Reproduksi bahu atau lengan
pasien nyeri menunjukkan kemungkinan kompresi akar saraf
tulang belakang leher
Tes Abduksi Pasien mengangkat tangan di atas kepalanya. Hasil yang
Bahu positif adalah penurunan atau hilangnya gejala radikuler
Manual aksial Dalam posisi terlentang gaya traksi aksial sesuai dengan
uji traksi 10 sampai 15 kg diterapkan. Temuan positif adalah penurunan
atau hilangnya gejala radikuler.
Tabel 4.2. Karakteristik neurologis nyeri radikuler servikal

Level Root Distribusi Kelemahan Kehilangan Kehilangan


disk nyeri otot sensorik refleks
C4 C5 Margo M. deltoideus, Lengan atas Refleks
sampai medialis m. lateral supinator
C5 scapulae, supraspinatus,
m. infraspinatus
lateral
lengan atas
ke siku
C5 C6 Lengan M. biceps Jari jempol Refleks
sampai bawah brachii, m. dan jari Bisep
C6 lateral, ibu brachioradialis, indeks
jari dan ekstensor
telunjuk pergelangan
jari tangan
C6 C7 Skapula M. triceps Lengan Refleks
sampai medial, brachii, fleksor posterior, Trisep
C7 lengan pergelangan jari ketiga
posterior, tangan,
punggung ekstensor jari
lengan
bawah, jari
ketiga
C7 C8 Bahu, sisi Bagian ibu jari, Jari kelima -
sampai ulnaris penculik, otot
T1 lengan tangan
bawah, intrinsik
jari kelima
Pencitraan medis
Pencitraan medis terutama digunakan untuk mengecualikan patologi primer, yang
disebut "flag merah" (misalnya, tumor, infeksi, dan patah tulang). Computed
tomography (CT) memberikan pencitraan yang baik dari struktur tulang kortikal.
CT scan mampu mereproduksi perubahan tersebut dalam struktur tulang lebih
sensitif daripada gambar resonansi magnetik nuklir (MRI), tetapi memiliki
keterbatasan dalam mendeteksi lunak lesi jaringan. MRI lebih cocok untuk
mendemonstrasikan perubahan pada disci intervertebrales, sumsum tulang
belakang, akar saraf, dan jaringan lunak di sekitarnya.

MRI saat ini dianggap sebagai pencitraan medis yang paling sesuai teknik
untuk pasien dengan nyeri radikuler servikal. Ada tidak ada data yang tersedia
mengenai sensitivitas dan kota spesifik berbagai teknik pencitraan, mengingat
tidak ada "standar emas"untuk diagnosis nyeri radikuler servikal. Hubungan
langsung antara sindrom nyeri dan hasil pencitraan medis tidak ada. Studi
prospektif menunjukkan gambar MRI abnormal pada 19% sampai 28% pasien
asimtomatik.

Uji elektrofisiologi
Dari berbagai studi elektrodiagnostik, elektromiografi jarum dan tes konduksi
saraf dianggap berguna jika Pemeriksaan fisik dan riwayat kasus tidak
memungkinkan untuk membedakan antara nyeri radikuler servikal dan penyebab
neurologis lainnya nyeri di lengan dan leher. Kira-kira 3 minggu setelah saraf
kompresi, seseorang melihat aktivitas penyisipan abnormal yang khas, dengan
potensi gelombang tajam positif dan potensi getaran di lengan otot.

Tes elektrofisiologi dapat diminta jika terjadi kerusakan saraf dicurigai


tetapi tidak akan memberikan informasi apa pun tentang rasa sakit. Untuk alasan
ini, dalam beberapa tahun terakhir, Sensorik Kuantitatif Pengujian (QST) telah
direkomendasikan dalam literatur sebagai tes elektrofisiologi yang dapat
memberikan informasi yang lebih spesifik tentang nyeri. Sebuah studi QST pada
pasien dengan radikuler servikal gejala menunjukkan ambang deteksi meningkat
untuk cahaya sentuhan dan allodynia (nyeri akibat sentuhan), yang berbeda secara
signifikan - dari itu pada subjek sehat. QST mengonfirmasi level keterlibatan
diidentifikasi dengan menggunakan akar saraf selektif diagnostic blok.

Kunci pilihan diagnostik elektif


Gambar radiologis menggambarkan karakteristik morfologi dari patologi. Pada
pasien dengan nyeri kronis pada umumnya, dan khususnya nyeri radikuler
servikal, sangat sulit untuk menentukan dengan pasti diskus intervertebralis atau
akar saraf mana yang menyebabkan rasa sakit. Untuk alasan ini, satu atau lebih
selektif diagnostic blok akar saraf diterapkan untuk menentukan kemungkinan
rasa sakit menghasilkan tingkat akar saraf. Blok diagnostik diterapkan disesi
terpisah per level. Di bawah visualisasi radiologis menggunakan pewarna kontras
(fl uoroskopi), sedikit anestesi local disuntikkan (0,5 mL). 13 Selama jangka
waktu 30 sampai 60 menit setelahnya injeksi, skor nyeri dievaluasi pada interval
waktu yang teratur. Jika terdapat sedikitnya 50% penurunan rasa sakit, perawatan
lebih lanjut di tingkat akar saraf ini diindikasikan.

Diagnosis Banding
Mengingat belum ada standar emas untuk diagnosis servikal nyeri radikuler,
praktik klinis bergantung pada riwayat yang luas dan pemeriksaan klinis dan, jika
diindikasikan, pencitraan medis dan / atau tes elektrofisiologi. Akhirnya, ada
konfirmasi kemungkinan tingkat akar saraf penghasil rasa sakit menggunakan
saraf selektif diagnostic blok akar.

Diagnosis banding awalnya bertujuan untuk menyingkirkan semua warna


merah flags ‖seperti infeksi, gangguan pembuluh darah, dan tumor. Satu dari
tumor yang paling sering muncul yang perlu disingkirkan adalah tumor Pancoast:
tumor apeks paru yang dapat menyebabkan kompresi arteria subclavia, nervus
phrenicus, itu plexus brachialis, dan kompresi ganglion simpatis,mengakibatkan
berbagai gejala yang dikenal sebagai sindrom Horner. Jika nyeri radikuler
berhubungan dengan kuat keluhan tulang belakang, diagnosis banding perlu
disingkirkan tumor tulang belakang primer serta metastasis. Lainnya lebih jarang
tumor saraf tulang belakang termasuk neurofi broma. Menghasilkan rasa sakit dari
carpal tunnel syndrome juga bisa naik ke leher dan mungkin menjadi lebih intens
di malam hari.

Pemeriksaan klinis sangat penting dalam diagnosis banding brachialgia


berdasarkan patologi bahu atau nyeri yang berasal dari sendi facet. Biasanya ada
nyeri bahu gerakan sendi bahu yang terbatas, sedangkan pada nyeri yang berasal
dari sendi facet, biasanya terjadi rotasi yang terbatas kolom tulang belakang leher.
Ada tekanan paravertebral itu tidak terkait dengan pola distribusi radikuler tetapi
kadang-kadang dikaitkan dengan distribusi pseudoradikuler untuk dimasukkan
daerah oksipital dan / atau bahu. Untuk diagnosis mendetail, silakan merujuk ke
bab terkait lainnya.

Pilihan pengobatan
Manajemen konservatif
Obat anti inflamasi nonsteroid terutama direkomendasikan untuk pengobatan
jangka pendek karena keseimbangannya antara efektivitas dan efek samping.
Antikonvulsan, seperti karbamazepin, oxcarbamazepine, gabapentin, dan
pregabalin, sering digunakan untuk mengobati nyeri neuropatik tetapi belum telah
dipelajari dalam pengobatan nyeri radikuler servikal.

Tinjauan Cochrane yang mengevaluasi bukti untuk pendidikan pasien


untuk nyeri leher dengan atau tanpa radikulopati menyimpulkan bahwa bukti yang
tersedia tidak menunjukkan efektivitas untuk pendidikan intervensi untuk
berbagai gangguan dan interval waktu, termasuk rekomendasi untuk
mengaktifkan, menggunakan keterampilan mengatasi stress.

Ulasan Cochrane lainnya menilai nilai potensial dari traksi mekanis untuk
nyeri leher dengan atau tanpa radikulopati dan tidak menemukan bukti untuk
mendukung atau menyangkal keefektifan atau efektivitas traksi yang terus
menerus atau terputus-putus untuk mengurangi nyeri, fungsi yang lebih baik atau
efek yang dirasakan global jika dibandingkan untuk traksi plasebo, atau panas
atau perawatan konservatif lainnya di pasien dengan gangguan leher kronis.

Rehabilitasi multidisiplin dengan fisioterapi direkomendasikan.


Manajemen intervensi
Epidural corticosteroid administrasi

Prinsip pemberian kortikosteroid epidural bergantung pada respon anti inflamasi


yang diinduksi oleh penghambatan fosfolipase A2-dimulai kaskade asam
arakidonat. Ada dua kemungkinan rute administrasi: rute interlaminar dan
transforaminal (Gambar 4.1). Tidak ada perbandingan langsungtersedia antara
administrasi interlaminar dan transforaminal di tingkat servikal.

Administrasi antar: effikasi

Sebuah tinjauan sistematis menemukan dua studi terkontrol yang melibatkan


pemberian kortikosteroid interlaminar servikal. Sebelumnya studi acak
membandingkan interlaminar dan intramuskuler Pemberian kortikosteroid
menemukan bahwa 68% pasien dirawat menggunakan metode interlaminar
memiliki pereda nyeri yang signifikan berlangsung setidaknya 1 tahun
dibandingkan dengan 12% pada kelompok yang diobati secara intramuskular.

Sebuah studi kedua meneliti efek dari pemberian bersama morfin epidural
dengan kortikosteroid dan anestesi lokal vs. kortikosteroid dan anestesi lokal.
Meskipun transient yang lebih baik perbaikan hari pertama setelah intervensi
dalam kelompok menerima morfin tambahan, hasil jangka panjang tidak berbeda
antar kelompok. Pembaruan dari Cochrane sistematis review hanya mencakup
studi pertama.

Sebuah tinjauan sistematis yang diterbitkan baru-baru ini tentang


efektivitas suntikan steroid epidural interlaminar serviks dalam pengelolaan nyeri
leher kronis termasuk 3 uji coba kontrol secara acak (RCT): dua studi yang
disebutkan di atas dan studi yang membandingkan efektivitas suntikan tunggal
dengan infus kontinyu. 23 Pasien dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan durasi
nyeri, dalam setiap kelompok yang terdiri dari 40 pasien, setengahnya diacak
terima hingga 9 suntikan epidural dengan interval 4 hingga 5 hari atau pemberian
anestesi lokal + kortikosteroid melalui epidural kateter diikuti dengan pemberian
anestesi lokal setiap 6, 12, atau 24 jam bersama dengan kortikosteroid setiap 4
sampai 5 hari selama a total jangka waktu 30 hari. Administrasi berkelanjutan
disediakan pereda nyeri yang lebih baik daripada injeksi tunggal pada pasien
dengan nyeri radikuler serviks yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tetapi tidak
ada perbedaan diamati pada pasien dengan keluhan durasi yang lebih pendek. Itu
tinjauan sistematis juga termasuk 5 studi observasional variable kualitas.
Kesimpulan global dari tinjauan sistematis ini adalah bahwa suntikan
kortikosteroid epidural servikal interlaminar efek signifikan pada nyeri radikuler
servikal.

Gambar 4.1. Interlaminar dan transforaminal administrasi di ruang epidural.


Ilustrasi: Rogier

Pemberian interlaminar: komplikasi


Pemberian kortikosteroid servikal interlaminar dijelaskan dalam satu ulasan
sebagai relatif aman. Sebuah tinjauan sistematis literatur menemukan hanya dua
studi yang secara khusus melihat komplikasi pemberian kortikosteroid servikal.
Satu studi menunjukkan tingkat komplikasi <1% sementara yang lain melaporkan
tingkat 16,8%. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh waktu ketika file
komplikasi dicatat dan metode yang digunakan terdaftar. Komplikasi minor yang
menghilang secara spontan, seringkali dalam waktu 24 jam, antara lain meliputi:
peningkatan aksial nyeri leher, postur tubuh - sakit kepala independen, flushing
wajah, dan episode vasovagal. Komplikasi utama disebutkan termasuk hematoma
epidural dan injeksi subdural yang tidak disengaja dengan, sebagai akibatnya,
hipoventilasi dan hipotensi. Subdural yang tidak disengaja injeksi - hipoventilasi
yang diinduksi harus dibedakan dari apnea dan kolaps kardiovaskular akut yang
mungkin terjadi suntikan intratekal. Paresthesia telah dijelaskan setelah root
kerusakan. Ada dua laporan kerusakan permanen pada sumsum tulang belakang
pada pasien yang dibius dan mungkin tidak mampu laporkan gejala peringatan
selama prosedur. Intravaskular penyerapan pewarna kontras juga telah dilaporkan,
meskipun demikian terjadi lebih jarang dalam administrasi interlaminar
dibandingkan ke jalur transforaminal. Saat kortikosteroid interlaminar
administrasi dilakukan dengan benar, dalam pasien yang kooperatif,
menggunakan fluoroskopi dan media kontras, insiden komplikasi rendah.

Administrasi transforaminal: efisiensi


Rute administrasi transforaminal dengan cepat memperoleh popularitas karena
administrasi aktif yang lebih akurat produk di tingkat akar saraf yang terkena.
Studi acak terkontrol pertama yang dilakukan oleh Anderberg et al. mempelajari
40 pasien berturut-turut dengan nyeri radikuler servikal. Mereka secara acak
diberi suntikan epidural transforaminal baik kortikosteroid dengan anestesi lokal
atau saline dengan anestesi lokal. Tiga minggu pasca injeksi tidak ada perbedaan
subyektif efek antara perawatan. Laporan sebelumnya dari calon, studi yang tidak
terkontrol, bagaimanapun, melaporkan hasil yang positif tidak dapat dikonfirmasi
oleh RCT.

Administrasi transforaminal: komplikasi


Ada berbagai kasus komplikasi serius dilaporkan dalam literature. Dalam
survei anonim yang baru-baru ini diterbitkan oleh rasa sakit spesialis, anggota
American Pain Society, 287 responden menyebutkan 78 komplikasi, terutama
bersifat neurologis, dimana 15 di antaranya berakibat fatal.

Komplikasi yang dilaporkan setelah servikal transforaminal suntikan


kortikosteroid dirangkum secara komprehensif review dari Malhotra et al.
meskipun grup ini sudah diidentifikasi laporan kasus kasus tambahan telah
dilaporkan sejak terakhir mereka pembaruan literatur.Ringkasan komplikasi
tersebut diberikan pada Tabel 4.3.

Kecuali untuk kasus yang dilaporkan oleh J.H. Lee dkk. pada tahun 2008,
yang menyangkut lesi langsung pada sumsum tulang belakang karena udara yang
tidak disengaja dan kontras injeksi di kabel serviks, dan kasus yang dilaporkan
oleh J.Y. Lee et al., yang merupakan kompresi medula spinalis akibat epidural
hematoma, kasus dapat dibagi menjadi lesi pada sumsum tulang belakang yang
disebabkan oleh sindrom arteri spinalis anterior, dan efeknya pada sistem saraf
pusat yang melibatkan batang otak dan otak kecil terkait dengan injeksi arteria
vertebralis yang tidak disengaja.

Padahal mekanisme di balik komplikasi serius tersebut belum sepenuhnya


dipahami, dua pertimbangan utama harus digarisbawahi: anatomi dan
farmakologis.

Referen Pasien / Pengobatan Aspirasi Komplika Awal Hasil


si level / si komplik
sisi asi
Brouwer Pria 48 0.5 mL Tidak Paralitik ±1 Meninggal
s et al. tahun, bupivacaine ada di bawah menit setelah 1
2001 C6 0.5% and darah, C3 bulan
tramcinolon -
tersisa tidak karena
hexacetonide
CSF perforasi
2%
perut
McMilla Pria 54 1 mL udara Percoba Nystagmu 45 Setelah 30
n and tahun, dengan an s, agitasi, menit hari habis
Crumpto C5 - C6 ―hilangnya pertama afasia, setelahn dengan
n 2003
tersisa resistansi aspirasi dan ya gangguan
Sejarah ‖radio 2 mL darah. kebutaan injeksi sedang
operasi kontras. Usaha bilateral awal memori
untuk Upaya kedua udara jangka
dekomp terakhir tidak dan pendek
resi untuk ada kontras benar
dari C3 kanulasi C4 - darah, radio hemianops
- C7 C5 tidak tanpa ia sisi
dibatalkan ada CSF obat
karena lain
kegelisahan
dan
agitasi
Rozin et Wanita 3 mL (80 mg) Aspirasi Penuruna segera Meninggal
al. 2003 44 methylprednis darah. n setelah satu hari
tahun, olone and Penentu kesadaran injeksi setelah
0.75%
C7 . an . CT scan 3 mL injeksi
bupivacaine in
Sejarah posisi menunjuk alikuot
aliquots of 1
cedera sampai kan
mL
whiplas tidak hemoragi
h ada a di
darah sekitar
aspirasi batang
otak
Karasek Wanita bolus 0.8 mL Tidak merasa 1 menit Gejala
and 55 of 2% ada tidak setelahn teratasi
Bogduk tahun, lidocaine informa enak ya setelah 20
2004
C6 - C7 si badan, injeksi menit
Baik kelemaha
n dalam
empat
anggota
badan
Tiso et Wanita 0.25% Tidak Tidak setelah Meninggal
al. 2004 48 bupivacaine 2 ada responsif, transfer keesokan
tahun, mL and 80 mg aspirasi koma. sendiri harinya
C6 triamcinolone Ditransfer dari C -
benar ke ICU, meja
bangun 1 lengan
satu jam untuk
kemudian tandu
Rosenkr Pria 53 0.75 mL of Tidak Lemah di 10 Tetraplegi
anz et al. tahun, 0.75% ada lengan menit a tidak
2004 C6 bupivacaine darah kiri dan lengkap
and 0.75 mL
tersisa aspirasi tungkai
triamcinolone
bawah
bilateral
Ludwig Pria 31 60 mg Tidak Sakit Tak Bertahan
and tahun, methylprednis ada kepala lama dengan
Burns C7 - T1 olone and 0.75 aspirasi dan mual, setelah diplopia
2005 mL 1%
tersisa muntah prosedu dan
lidocaine.
sambil r gangguan
Stopped
duduk. Malam pendek
before
Infark hari memori
completion
because of
serebral prosedu jangka

patient dan r
complaints of infark
neck pain and batang
nonspecifi c otak
headache
Beckma Pria 41 3 suntikan Tidak Mual, Selama Meninggal
n et al. tahun, epidural ada muntah ketiga tak lama
2006 C5 - C6 dengan jarak arteri dan prosedu setelah
tersisa satu minggu, kilas sakit r dalam prosedur.
40 mg balik kepala menit Obduksi
metilpredniso Menjadi dari menunjuk
lon asetat bingung ± injeksi kan
dan 1 mL 7.5 perdaraha
larutan jam n
garam setelah di sekitar
injeksi. arteria
Otak vertebralis
infark di sisi kiri
batang di C5
dan
talamus
dan
tanda-
tanda
hidrosefal
us
Ziai et Pria 60 1 mL (40 mg) Tidak Pasien Segera Bisa
al. 2006 tahun, triamcinolone ada menjadi posting meninggal
C5 darah bingung prosedu kan rumah
benar aspirasi dan r sakit
hipertensi setelah 1
. Setelah bulan
8 jam dengan
situasi diplopia,
memburu pidato
k dan
gangguan
keseimban
gan
Muro et Wanita 40 mg Tidak Kelemaha 30 Tidak ada
al. 2007 72 methylprednis ada n menit perbaikan
tahun, olone acetate vaskular ekstremit setelahn transfer
and 0.7 mL of
C5 - C6 penyera as bawah. ya fungsi
0.5%
dan C6 - pan Pemeriks prosedu motorik
bupivacaine
C7 kontras aan: r ke
tersisa paretik di rehabilitas
bagian i
atas
ekstremit
as dan
plegia di
bagian
bawah
ekstremit
as

Table 4.3. Continued.


Referen Pasie Pengobatan Aspiras Komplikasi Awal Hasil
si n/ i komplik
level asi
/
sisi
JY Lee Wani 3 suntikan Tidak Punggung 4 hari Setelah
et al. ta 38 transforami ada dada bagian setelah operasi
2007 tahun nal. informa atas yang terakhir darurat
, C7 - Tidak ada si parah injeksi dekompres
T1 informasi nyeri dan i tulang
Baik tentang hilangnya belakang
obat-obatan progresif kanal,
sensasi di keuntunga
ekstremitas n fungsi
bawah sebagai
Massa hari 3.
heterogen Pada 6
MRI bulan
mengompresi pemulihan
sumsum penuh
tulang kekuatan
belakang dari dan
T1 sampai sensasi
T5
Pembedahan
mengungkap
kan yang
kental
lapisan darah
yang
terkoagulasi
mengompresi
dura dan
vena epidural
JH Lee Laki Pasien Tidak Pasien 2 sampai Setelah 1
et al. laki injeksi ada berkembang 3 menit tahun
2008 55, kontras informa tidak lengkap masih
C7
melaporkan si tetraplegia. lemah
left
rasa sakit kekuatan
seperti syok cengkeram
menjalar ke an tangan
tangan kiri. kiri.
Prosedur Deformita
dihentikan s cakar
tangan dan
nyeri tahan
api.
Ruppen Laki 40 mg Berkali Mati rasa di 30 detik 1 jam
et al. laki triamcinolone -kali kaki kanan, pasca
2008 4 45, and 1.5 mL negatif berkembang injeksi:
C7 saline
menjadi aspirin
left kehilangan 300 mg,
sensasi heparin
dan plegia 15.000
kaki kanan unit harian
dan
nifedipine
20 mg.
Pemulihan
penuh

Pertimbangan anatomi
Pasokan pembuluh darah normal ke sumsum tulang belakang leher telah
dijelaskan oleh Gillilan dan lainnya pada janin manusia. Cabang dari arteria
subclavia termasuk arteria vertebralis, yang biasanya merupakan cabang pertama
dan terbesar. Yang kedua dan ketiga cabang dari arteria subclavia (truncus
thyrocervicalis dan truncus costocervicalis) akhirnya menimbulkan arteria
cervicalis ascendens, terus berlanjut sebagai arteri tiroid inferior dan arteria
cervicalis profunda, masing-masing.

Arteria vertebralis dapat dibagi lagi menjadi V1, V2, dan Segmen V3.
Segmen V1 mewakili jarak dari berasal dari arteria subclavia sampai pintu
masuknya di foramen transversum. Segmen V2 mencakup area dari pintu masuk
dari foramen transversum ke C2, dan segmen V3 termasuk jalurnya melalui
foramen transversum C1, setelah itu berbelok ke medial dan dorsal melalui sulcus
arteriae vertebralis di permukaan atas C1: arcus posterior menembus membrana
atlantooccipitalis posterior dan dura dan pass melalui foramen magnum ke dalam
rongga tengkorak. Vertebral arteria akhirnya bersatu membentuk arteria basilaris
di permukaan ventral medula, tetapi sebelumnya masing-masing memunculkan
cabang. Cabang-cabang ini bergabung untuk membentuk arteria spinalis anterior
yang berjalan di fi ssura mediana anterior sumsum tulang belakang. Arteria
spinalis membujur di anterior harus diperkuat oleh radikuler arteria segmental
(meduler arteri) yang terutama berasal dari segmen V2 arteria vertebralis, tetapi
juga berasal dari arteria cervicalis ascendens dan arteria cervicalis profunda.
Segmen V2 dan V3 dari arteria vertebralis rentan terhadap variabilitas
yang signifikan dalam perjalanan mereka. Sebuah penelitian baru-baru ini
terhadap 500 vertebra arteria pada 200 MRI dan 50 CT scan dengan kontras
menggambarkan variasi ini. Para penulis menemukan bahwa hanya 93% kasus
arteria vertebralis memasuki foramen transversarium di C6. Sebagian besar dari
anomali ini melihat Segmen V2 dimulai pada C5, tetapi arteria vertebralis dicatat
masuk ke foramen transversarium di C3, C4, atau C7 juga. Kapan arteria
vertebralis memasuki foramen transversarium di sebuah Pada tingkat yang
menyimpang, foramina transversaria yang tidak terisi banyak muncul lebih kecil
pada CT daripada sisi kontralateral. Selain itu, dalam 2% dari semua spesimen
arteria vertebralis membentuk lingkaran medial, yang perbatasan bagian dalam
adalah medial ke sendi uncovertebral atau ke dalam foramen intervertebrale.

Sebuah studi anatomi mayat manusia baru-baru ini mencatat beberapa


lainnya variasi potensial dalam anatomi normal: (1) ada contoh beberapa arteriae
cervicales profundae yang timbul dari arteria subclavia secara langsung, atau dari
trunkus costocervicalis yang sangat pendek (Gambar 4.2). Arteriae cervicales
profundae ini sering masuk ke dalam foramen intervertebrale dalam aspeknya di
dekat lokasi penempatan jarum transforaminal yang direkomendasikan (Gambar
4.3); (2) satu arteria cervicalis ascendens tercatat memasuki foramen
intervertebrale diC4 dan akhirnya memasok arteria spinalis anterior; (3) besar
arteri penyumbang meduler segmental tercatat sebagai pemasok utama ke arteria
spinalis anterior ketika arteria vertebralis ipsilateral memasuki tulang belakang di
C5, bukan C6; (4) beberapa anastomosis dicatat di antara ketiga suplai utama
arteri di beberapa mayat, menunjukkan potensi besar untuk komunikasi; dan (5)
secara umum jika arteria cervicalis profunda cenderung memasuki foramina
intervertebralia itu di C7 / T1 atau C6 / C7, dan arteria cervicalis ascendens
cenderung masuk foramina intervertebralia di C5 / C6 atau lebih tinggi. Penelitian
baru-baru ini menggunakan panduan ultrasound untuk injeksi transforaminal
serviks mencatat persentase yang sangat mirip dari pembuluh arteri di aspek
posterior foramina intervertebralia (20%) sebagai studi mayat yang disebutkan di
atas. Secara kumulatif, ciri-ciri anatomi ini menyarankan bahwa tidak ada "zona
aman" khusus untuk penempatan jarum di foramina intervertebralia serviks
posterior. Tidak jelas apakah arteriae vertebrales hipoplastik atau menyimpang
atau varian arteri lainnya yang dijelaskan di atas benar-benar meningkatkan risiko
suntikan epidural transforaminal, tetapi yang pasti kerentanan pembuluh darah
menjamin perhatian yang lebih besar dalam pelaksanaan prosedur ini.

Gambar 4.2. Tiga cabang dari arteria subclavia ditampilkan. Paling medial (kiri
bawah) arteria vertebralis terlihat, kemudian truncus thyrocervicalis di forsep,
diikuti lebih lateral oleh trunkus costocervicalis. Salah satu cabang arteriae
cervicales profundae dari lintasan trunkus costovertebralis posterior dari C8 ramus
ventralis.
Gambar 4.3. Dalam gambar ini, detail arteria cervicalis profunda
(mata panah) melanjutkan dari truncus costocervicalis profunda dapat dilihat
sebagai itu memasuki aspek posterior foramen intervertebrale ke ramus ventral
C8. Ini adalah area jalur jarum yang ideal untuk injeksi epidural transforaminal.

Pertimbangan farmakologis
Laporan kasus Karasek dan Bogduk melaporkan sementara quadriplegia setelah
injeksi anestesi lokal saja, menunjukkan tusukan yang tidak disengaja pada arteria
radicularis servikal dan transien anestesi sumsum tulang belakang. Namun, ketika
infark sumsum tulang belakang ditunjukkan, setelah injeksi kortikosteroid depot,
hanya pemulihan sebagian dari fungsi motor yang terjadi dan satu kasus tersebut
berakibat fatal karena komplikasi.

Telah didalilkan bahwa setelah disuntikkan secara tidak sengaja ke dalam


arteria radicularis servikal, steroid partikulat dapat bertindak sebagai embolus dan
menyebabkan infark medulla spinalis dan gangguan permanen. Ukuran partikel
dari preparat kortikosteroid berbeda dipelajari tanpa diencerkan dan diencerkan
dalam larutan garam atau anestesi lokal. Itu Hasil penelitian mendalam ini
menggambarkan bahwa perbedaan persentase partikel besar ada di antara senyawa
dan persiapan yang tersedia secara komersial. Karena spesifikasinya sediaan
kortikosteroid yang tersedia secara komersial di berbagai negara mungkin
berbeda, sulit untuk menarik kesimpulan praktek klinis.

Sebuah studi baru-baru ini dalam model babi menggarisbawahi potensi


untuk hasil bencana dari steroid partikulat yang disuntikkan intra -arteri.
Okubadejo dan rekan menginstrumentasi arteriae vertebrales pada babi dan
dengan sengaja disuntik dengan keduanya partikulat (metilprednisolon) atau
steroid nonpartikulat (deksametason). Menariknya, hewan yang menerima
partikulat steroid tidak bisa dihilangkan dari dukungan kehidupan. Masing-
masing4 hewan penerima steroid partikulat memiliki bukti pada pemeriksaan
histologis edema jaringan yang parah, perubahan iskemik, dan patologi lainnya.
Tidak ada hewan yang menerima nonparticulate steroid punya masalah. Kasus
hewan ini tampaknya secara fungsional mirip dengan kasus yang dijelaskan oleh
Beckman et al. Penelitian oleh Dreyfuss dkk. membandingkan triamsinolon
dengan deksametason (nonparticulate) untuk injeksi epidural serviks cukup kecil,
tetapi tentu saja data efektivitas mereka digabungkan dengan studi hewan
dijelaskan di atas tampaknya menyarankan bahwa steroid nonpartikulat mungkin
merupakan alternatif yang baik bagi para dokter yang melanjutkannya melakukan
suntikan transforaminal.

Ketika pasien menunjukkan gejala sentral seperti nistagmus, kebingungan,


dan koma, kurang jelas untuk menunjukkan embolus. disebabkan oleh steroid
partikulat. Di McMillan dan Crumpton 37 kasus, tidak ada steroid yang
disuntikkan. Apalagi ada dua kasus dimana Pasien mengalami beberapa gejala
infark batang otak beberapa jam setelah injeksi dibandingkan dengan yang hampir
langsung efek terlihat pada orang lain. Dalam komentarnya tentang kasus yang
dilaporkan oleh Beckman et al., de Leon - Casasola menyatakan bahwa almarhum
Timbulnya gejala menunjukkan bahwa emboli steroid tidak bertanggung jawab
atas komplikasi tersebut. Ini dengan jelas menggambarkan perjalanan klinis dari
arteria vertebralis diseksi. Diseksi arteria vertebralis dan gangguan sawar darah
otak menyebabkan iskemia dan kematian otak akibat hipertensi intrakranial akut.
Ini mekanisme mungkin terlibat dalam kasus yang dijelaskan oleh Rosenkranz et
al. Komplikasi yang serius dan sampai sekarang tidak bisa dijelaskan memberikan
alasan yang baik untuk sangat berhati-hati dalam melakukan injeksi epidural
servikal transforaminal dengan depot kortikosteroid. Dalam surat kepada editor
setelah review dari komplikasi, kami sangat menyarankan untuk membatasi
penggunaan pemberian kortikosteroid epidural servikal transforaminal sampai
mekanisme komplikasi serius tersebut dan metode untuk mencegahnya telah
dijelaskan dengan lebih baik.

Rekomendasi praktis
Perbandingan langsung antara interlaminar dan transforaminal suntikan
kortikosteroid di ruang epidural servikal tidak tersedia. RCT positif untuk
administrasi interlaminar dan, Selain itu, laporan suksesi yang cepat dari
komplikasi serius setelah injeksi kortikosteroid epidural servikal transforaminal
mendukung preferensi untuk administrasi interlaminar.
Tidak ada penelitian yang menyelidiki keefektifannya dari berbagai depot
kortikosteroid, jadi tidak ada perbedaan yang dapat dibedakan di antara mereka.
Ukuran partikel kortikosteroid depot mungkin terkait dengan komplikasi
neurologis yang dilaporkan, tetapi juga tentang topik ini literatur tidak
meyakinkan. Saat ini ada tidak ada bukti bahwa dosis kortikosteroid yang lebih
tinggi akan menghasilkan efek klinis yang lebih baik. Di sisi lain risiko endokrin
efek sampingnya lebih tinggi.

Dalam uji klinis acak, 1 sampai 3 dosis epidural yang diberikan dengan
interval 2 minggu dijelaskan. Mempersingkat dapat terjadi selang waktu antara
dua pemberian kortikosteroid kadar plasma yang lebih tinggi dan dengan
demikian meningkatkan risiko endokrin dan efek samping sistemik lainnya.

(Pulsed) radiofrequency treatment


Treatment frekuensi radio: efektivitas

Efektivitas pengobatan frekuensi radio (RF) yang berdekatan dengan ganglion


spinale (ganglion akar dorsal (DRG)) dilaporkan pada dua studi klinis acak.

Studi pertama membandingkan RF yang berdekatan dengan ganglion


serviks spinale (DRG) dengan intervensi palsu. Di aktif dirawat kelompok, 8
minggu pasca-intervensi Jumlah yang Dibutuhkan untuk Mengobati, yaitu, jumlah
pasien yang perlu dirawat untuk memilikinya setidaknya satu pasien yang
memiliki setidaknya 50% pengurangan rasa sakit, adalah 1.4.

Penelitian kedua membandingkan RF dengan suhu ujung elektroda 40 ° C


dengan RF pada 67 ° C. 5Pada 6 minggu dan pada 3 bulan setelahnya. pengobatan
ada penurunan yang signifikan pada analog visual skala skor nyeri pada kedua
kelompok. Tidak ada perbedaan hasil yang signifikan antara kedua kelompok.

Treatment frekuensi radio: complications


Dalam studi yang disebutkan di atas, neuritis transien dan / atau asensasi terbakar
di saraf tulang belakang yang dirawat dilaporkan. Selain itu, sedikit kehilangan
kekuatan otot di tangan dan lengan sisi yang dirawat dilaporkan.
Frekuensi frekuensi berdenyut: efektivitas
Preferensi saat ini diberikan pada perawatan frekuensi radio berdenyut (PRF) di
mana suhu ujung elektroda tidak melebihi ambang kritis 42 ° C dan akibatnya di
sana adalah kerusakan saraf minimal. Dalam RCT, PRF tampak seperti itu lebih
efektif daripada plasebo 3 bulan pasca pengobatan. Juga 6 bulan pasca perawatan
ada kecenderungan positif pada PRF pengobatan tetapi dalam penelitian ini
hasilnya kurang dari statistic signifikansi.

Pengobatan frekuensi radio berdenyut: komplikasi

Sampai sekarang belum ada komplikasi yang dilaporkan terkait dengan PRF.

Treatment bedah
Perawatan bedah dapat memberikan pereda nyeri pada pasien yang gejala
tampaknya refrakter terhadap semua pengobatan lainnya. Bedah pengobatan
diindikasikan pada radikulopati servikal dengan medula spinalis kompresi
(myelomalacia) karena risiko defisiensi neurologis yang mungkin ireversibel.

Dalam studi acak di mana perawatan bedah dibandingkan dengan


perawatan konservatif peningkatan yang signifikan dalam pereda nyeri dicatat 3
bulan setelah intervensi. Tahun Namun setelah perawatan tidak ada perbedaan
antara keduanya kelompok. Sebuah penelitian kecil secara acak menunjukkan
tidak ada perbedaan dalam hasil neurologis antara pasien yang menjalani
pembedahan atau perawatan konservatif.

STimulasi tulang belakang


Stimulasi sumsum tulang belakang (SCS) terdiri dari penerapan elektroda
perkutan pada tingkat segmen tulang belakang yang terlibat tali. Ini kemudian
dihubungkan ke generator yang mengalirkan listrik guncangan untuk merangsang
dermatom yang nyeri dan memperkenalkan jalur nyeri yang berubah. Mekanisme
di balik SCS bersandar tentang teori kontrol gerbang nyeri.

Sampai saat ini belum ada literatur tentang hasil SCS di pengobatan nyeri
radikuler servikal.
SCS dapat dipertimbangkan dalam praktik klinis untuk servikal kronis
nyeri radikuler pada pasien yang dipilih dengan baik ketika jenis pengobatan lain
gagal, mengingat efektivitas telah dibuktikan sindrom nyeri neuropatik serupa
lainnya.

Bukti untuk penatalaksanaan intervensi


Ringkasan dari bukti yang tersedia disajikan pada Tabel 4.4.

Rekomendasi

Berdasarkan bukti yang tersedia mengenai khasiat dan komplikasi, perawatan


berikut ini direkomendasikan untuk servikal nyeri radikuler:

Tabel 4.4. Ringkasan bukti untuk manajemen intervensi nyeri radikuler servikal

Tehnik Skor
Pemberian kortikosteroid interlaminar 2B + 2B +

Pemberian kortikosteroid transforaminal 2B -

Pengobatan frekuensi radio berdekatan dengan ganglion spinale 2B +


(akar dorsal
ganglion (DRG))

Pengobatan frekuensi radio berdenyut berdekatan dengan ganglion 1B +


spinale (dorsal
ganglion akar (DRG))

Stimulasi sumsum tulang belakang 0

1 Pada fase subakut, pemberian epidural interlaminaranestesi lokal dan


kortikosteroid dianjurkan. Kortikosteroid epidural transforaminal servikal
negative rekomendasi.
2 Untuk nyeri radikuler servikal kronis, PRF berdekatan dengan servikal DRG
adalah teknik manajemen nyeri intervensi yang direkomendasikan lini pertama,
karena hingga saat ini tidak ada laporan komplikasi neurologis dengan PRF. Jika
ini memiliki orang miskin atau efek jangka pendek pengobatan RF yang
berdekatan dengan DRG servikal direkomendasikan.

3 Jika gejalanya menetap, SCS yang berhubungan dengan penelitian dapat


dipertimbangkan setelah evaluasi multidisiplin yang ekstensif. Sumsum tulang
belakang stimulasi harus dilakukan di pusat-pusat khusus.

Algoritma praktik klinis


Algoritme praktik klinis yang disarankan ditunjukkan pada Gambar 4.4.

Teknik
Pemberian terapi interlaminar c ervical e pidural
Selama perencanaan infiltrasi epidural serviks, kaji ulang a MRI praprosedural
harus sangat dipertimbangkan. Prosedur harus dilakukan dengan fluoroskopi.
Korelasi gambar fluoroskopi dengan MRI dapat mencegah komplikasi potensial
kasus tonjolan cakram besar yang secara mekanis merusak ruang epidural
posterior.

Infeksi epidural serviks lebih disukai dilakukan dengan pasien dalam


posisi duduk. Kolom tulang belakang leher adalah membungkuk ke depan. Kulit
didesinfeksi. Untuk posisi C5 sampai C6 atau C6 sampai C7, ahli anestesi
menempatkan jari tengah dan jari telunjuknya kedua sisi prosesus spinosi. 65
Setelah penempatan jarum di garis tengah "ke bawah laras," dengan jarum tetap
terpasang, operator dapat beralih ke tampilan lateral dan menggerakkan jarum
dengan sangat lambat saat mendekati dasar prosesus spinosi, sementara secara
bersamaan menggunakan jarum suntik kaca kehilangan resistensi atau sebagai
alternative menggunakan teknik drop gantung di bawah bimbingan fluoroskopi.
(Gambar 4.5)

Sedikit pewarna kontras dapat disuntikkan untuk itu pastikan penempatan


epidural jarum yang benar menggunakan fluoroskopi (Gambar 4.6). Saat jarum
dimasukkan dengan benar, semprit berisi larutan administrasi dipasang. Aspirasi
adalah dilakukan dengan hati-hati untuk mengidentifikasi cairan serebrospinal
atau darah.

Larkin dkk. menjelaskan teknik lain, menggunakan styletted kateter yang


ditempatkan di area yang berpotensi lebih aman dari T2 ke T4 ruang epidural dan
maju menuju akar serviks yang diinginkan dengan fluoroskopi terus menerus.
Peringatan penting baru-baru ini diterbitkan oleh Racz dan Memperhatikan risiko
menghasilkan tekanan tinggi di ruang epidural jika aliran terhalang. Mereka
menekankan kebutuhan akan memastikan aliran keluar transforaminal dan
anjurkan untuk segera membalik dan memutar kepala pasien pada tanda pertama
iskemia sumsum tulang belakang.

(Pulsed) radiofrequency treatment 59


Kunci b iagnostik
Setelah diagnosis klinis nyeri radikuler servikal dibuat, konfirmasi segmen yang
paling terpengaruh dilakukan dengan menggunakan blok akar saraf selektif
diagnostik. Pasien ditempatkan posisi terlentang di atas meja operasi tembus
pandang. C - lengan dari fluoroskop ditempatkan sedemikian rupa sehingga balok
sejajar dengan sumbu dari foramen intervertebrale. Titik sumbu 25 hingga 35 °
miring dan 10 ° ekor. Dengan cara ini, titik masuk ditentukan oleh proyeksi
penggaris logam di atas bagian ekor yang foramen intervertebrale.
Neuroradiografi 60 - mm 24G jarum dimasukkan sejajar dengan balok (tampilan
terowongan) (Gambar 4.7). Kemudian arah berkas sinar diubah ke anteroposterior
posisi dan jarum pengenal selanjutnya dimasukkan sampai ujung diproyeksikan
secara lateral ke kolom faset. Ketika saraf segmental diidentifikasi menggunakan
pewarna kontras ioheksol 0,4 mL, 0,5 sampai 1,0 mL lidokain disuntikkan
perlahan di sekitar saraf. Arus berlebih ke dalam ruang epidural dihindari dengan
pengamatan "waktu nyata" dari radio - campuran buram. Penghilang rasa sakit
diamati selama 30 menit setelah infiltrasi. Blok diagnostik positif setidaknya
memberikan 50% pereda nyeri.
Teknik PRF - penempatan lektroda
Titik masuk ditentukan dengan cara yang sama seperti untuk diagnostic blok,
dengan memproyeksikan penggaris logam di atas ekor dan posterior bagian dari
foramen intervertebrale. The cannula (SMK 22G -Jarum C5 54 mm dengan ujung
aktif 4 mm. Cotop International B.V., Amsterdam, Belanda) diperkenalkan sejajar
dengan balok dan jika diperlukan arahnya dikoreksi sementara kanula berada
masih di lapisan subkutan paling atas. Posisi yang benar tercapai saat kanula
diproyeksikan sebagai titik di layar. Titik ini harus berada tepat di atas bagian
punggung foramen intervertebrale. Ini adalah transisi antara tengah dan paling
kaudal bagian ketiga dari foramen intervertebrale. Posisi ini dipilih untuk
menghindari kemungkinan kerusakan pada arteria vertebralis yang berjalan di
anterior foramen intervertebrale. Arah pancaran kemudian diubah menjadi
anteroposterior posisi dan kanula digerakkan ke atas sampai ujungnya
diproyeksikan di tengah kolom fasetal (Gambar 4.8).

Stylet kemudian ditukar dengan elektroda RF. Impedansi diukur untuk


memeriksa apakah sirkuit listrik tertutup hadir. Kemudian stimulasi dimulai pada
50 Hz untuk menentukan ambang stimulasi sensorik. Pasien harus merasakan
kesemutan kurang dari 0,5 V. Ini menunjukkan bahwa ujungnya sudah masuk
dekat dengan DRG.

Frekuensi frekuensi berdenyut


Arus RF dikirim dalam semburan kecil pada 45 V; keluaran ini selalu dapat
disesuaikan jika suhu naik di atas 42 ° C. Empat puluh - dua derajat adalah suhu
maksimum, tetapi bukan suhu wajib suhu yang akan dicapai. Arus berdenyut
dikirim selama 120 detik.
Ringkasan
1 Tidak ada standar emas untuk diagnosis radikuler servikal

2 Sejarah kasus dan pemeriksaan klinis merupakan landasan dariproses


diagnostik.

3 Pencitraan medis, dengan sedikit preferensi untuk MRI, diindikasikan ketika


patologi spesifik dan / atau gejala neurologis abnormal dicurigai.

4 Tingkat yang dicurigai dapat dikonfirmasi menggunakan selektif diagnostik

blok akar saraf.

5 Setiap kali pengobatan konservatif gagal:

 Dengan nyeri radikuler servikal (sub) akut, pemberian kortikosteroid


interlaminar dianjurkan
• Dengan nyeri radikuler servikal kronis, PRF berdekatan dengan DRG
dianjurkan.

6 Jika terapi ini gagal, stimulasi sumsum tulang belakang terkait penelitian dapat

dipertimbangkan di pusat-pusat khusus.

Gambar 4.5. Pemberian kortikosteroid epidural interlaminar C6 - C7, lateral

Gambar 4.6. Pemberian kortikosteroid epidural interlaminar C6-C7:


lateralmelihat. Jarum dan penyebaran pewarna kontras.
Gambar 4.7. Pengobatan frekuensi radio ganglion servikal (DRG) (berdenyut).
dengan lengan C dalam posisi miring lateral. Jarum di ekor posterior kuadran dari
foramen intervertebrale.

Gambar 4.8. Pengobatan frekuensi radio ganglion servikal (DRG) (berdenyut):


jarum berada di tengah kolom faset dalam tampilan AP.
References

1. Rathmell JP , Aprill C , Bogduk N . Cervical transforaminal injection of steroids .


Anesthesiology. 2004 ; 100 : 1595 – 1600 .

2. Bogduk N. Medical Management of Acute Cervical Radicular Pain: and Evidence -


based Approach . 1st ed . Newcastle, Australia : The Newcastle Bone and Joint Institute ;
1999 .

3. Merskey H , Bogduk N . Classifi cation Descriptions of Chronic Pain Syndromes and


Defi nitions of Pain Terms . 2nd ed . Seattle, WA : IASP Press ; 1994 .

4. Van Zundert J , Harney D , Joosten EA , et al. The role of the dorsal root ganglion in
cervical radicular pain: diagnosis, pathophysiology, and rationale for treatment . Reg
Anesth Pain Med. 2006 ; 31 : 152 – 167 .

5. Radhakrishnan K , Litchy WJ , O ’ Fallon WM , Kurland LT. Epidemiology of cervical


radiculopathy. A population - based study from Rochester, Minnesota, 1976 through 1990
. Brain . 1994 ; 117 (Pt 2 ): 325 – 335 .

6. Sluijter ME. Radiofrequency Part I . Meggen, Switzerland : Flivopress . 2001 .

7. Slipman CW , Plastaras CT , Palmitier RA , Huston CW , Sterenfeld EB . Symptom


provocation of fl uoroscopically guided cervical nerve root stimulation. Are dynatomal
maps identical to dermatomal maps? Spine. 1998 ; 23 : 2235 – 2242 .

8. Fager CA. Identifi cation and management of radiculopathy . Neurosurg Clin N Am.
1993 ; 4 : 1 – 12 . 9. Carette S , Fehlings MG. Clinical practice. Cervical radiculopathy .
N Engl J Med. 2005 ; 353 : 392 – 399

10. Boden SD , McCowin PR , Davis DO , Dina TS , Mark AS , Wiesel S. Abnormal


magnetic - resonance scans of the cervical spine in asymptomatic subjects. A prospective
investigation . J Bone Joint Surg Am. 1990 ; 72 : 1178 – 1184 .

11. Teresi LM , Lufkin RB , Reicher MA , et al. Asymptomatic degenerative disk disease


and spondylosis of the cervical spine: MR imaging . Radiology. 1987 ; 164 : 83 – 88 .

12. Voerman VF , van Egmond J , Crul BJ. Elevated detection thresholds for mechanical
stimuli in chronic pain patients: support for a central mechanism . Arch Phys Med
Rehabil. 2000 ; 81 : 430 – 435 .
13. Anderberg L , Saveland H , Annertz M . Distribution patterns of transforaminal
injections in the cervical spine evaluated by multi - slice computed tomography . Eur
Spine J. 2006 ; 15 : 1465 – 1471 .

14. Mumenthaler M , Mattle H . Intervertabral disk disease as a cause of radicular


syndromes . In: Mumenthaler M , Mattle H , eds. Neurology . 4th ed (revised and
enlarged). Stuttgart, Germany and New York : Georg Thieme Verlag ; 2004 ; 728 – 738 .

15. Haines T , Gross A , Burnie SJ , Goldsmith CH , Perry L . Patient education for neck
pain with or without radiculopathy . Cochrane Database Syst Rev. 2009 ; 1 : CD005106 .

16. Graham N , Gross A , Goldsmith CH , et al. Mechanical traction for neck pain with or
without radiculopathy . Cochrane Database Syst Rev. 2008 ; 3 : CD006408 .

17. Persson LC , Lilja A . Pain, coping, emotional state and physical function in patients
with chronic radicular neck pain. A comparison between patients treated with surgery,
physiotherapy or neck collar — a blinded, prospective randomized study . Disabil
Rehabil. 2001 ; 23 : 325 – 335 .

18. Abdi S , Datta S , Trescot AM , et al. Epidural steroids in the management of chronic
spinal pain: a systematic review . Pain Physician. 2007 ; 10 : 185 – 212 .

19. Stav A , Ovadia L , Sternberg A , Kaadan M , Weksler N . Cervical epidural steroid


injection for cervicobrachialgia . Acta Anaesthesiol Scand. 1993 ; 37 : 562 – 566 .

20. Castagnera L , Maurette P , Pointillart V , Vital JM , Erny P , Senegas J . Long - term


results of cervical epidural steroid injection with and without morphine in chronic
cervical radicular pain . Pain. 1994 ; 58 : 239 – 243 .

21. Peloso P , Gross A , Haines T , Trinh K , Goldsmith CH , Burnie S . Medicinal and


injection therapies for mechanical neck disorders . Cochrane Database Syst Rev. 2007 ; 3
: CD000319 .

22. Benyamin RM , Singh V , Parr AT , Conn A , Diwan S , Abdi S . Systematic review


of the effectiveness of cervical epidurals in the management of chronic neck pain . Pain
Physician. 2009 ; 12 : 137 – 157 .

23. Pasqualucci A , Varrassi G , Braschi A , et al. Epidural local anesthetic plus


corticosteroid for the treatment of cervical brachial radicular pain: single injection versus
continuous infusion . Clin J Pain. 2007 ;
24. Rowlingson JC , Kirschenbaum LP . Epidural analgesic techniques in the
management of cervical pain . Anesth Analg. 1986 ; 65 : 938 – 942 .

25. Ferrante FM , Wilson SP , Iacobo C , Orav EJ , Rocco AG , Lipson S . Clinical


classifi cation as a predictor of therapeutic outcome after cervical epidural steroid
injection . Spine. 1993 ; 18 : 730 – 736 . 26. Grenier B , Castagnera L , Maurette P , Erny
P , Senegas J. [Chronic cervico - brachial neuralgia treated by cervical epidural injection
of corticosteroids. Long - term results] . Ann Fr Anesth Reanim. 1995 ; 14 : 484 – 488 .

27. Cicala RS , Westbrook L , Angel JJ . Side effects and complications of cervical


epidural steroid injections . J Pain Symptom Manage. 1989 ; 4 : 64 – 66 .

28. Abbasi A , Malhotra G , Malanga G , Elovic EP , Kahn S . Complications of


interlaminar cervical epidural steroid injections: a review of the literature . Spine. 2007 ;
32 : 2144 – 2151 .

29. Anderberg L , Annertz M , Persson L , Brandt L , Saveland H . Transforaminal steroid


injections for the treatment of cervical radiculopathy: a prospective and randomised study
. Eur Spine J. 2007 ; 16 : 321 – 328 .

30. Scanlon GC , Moeller - Bertram T , Romanowsky SM , Wallace MS. Cervical


transforaminal epidural steroid injections: more dangerous than we think? Spine. 2007 ;
32 : 1249 – 1256 .

31. Malhotra G , Abbasi A , Rhee M . Complications of transforaminal cervical epidural


steroid injections . Spine. 2009 ; 34 : 731 – 739 .

32. Lee JH , Lee JK , Seo BR , Moon SJ , Kim JH , Kim SH . Spinal cord injury produced
by direct damage during cervical transforaminal epidural injection . Reg Anesth Pain
Med. 2008 ; 33 : 377 – 379 .

33. Lee JY , Nassr A , Ponnappan RK . Epidural hematoma causing paraplegia after a fl


uoroscopically guided cervical nerve - root injection. A case report . J Bone Joint Surg
Am. 2007 ; 89 : 2037 – 2039 .

34. Brouwers PJ , Kottink EJ , Simon MA , Prevo RL . A cervical anterior spinal artery


syndrome after diagnostic blockade of the right C6 - nerve root . Pain. 2001 ; 91 : 397 –
399 .
35. Rosenkranz M , Grzyska U , Niesen W , et al. Anterior spinal artery syndrome
following periradicular cervical nerve root therapy . J Neurol. 2004 ; 251 : 229 – 231 .

36. Ludwig MA , Burns SP . Spinal cord infarction following cervical transforaminal


epidural injection: a case report . Spine. 2005 ; 30 : E266 – E268 .

37. McMillan MR , Crumpton C. Cortical blindness and neurologic injury complicating


cervical transforaminal injection for cervical radiculopathy . Anesthesiology. 2003 ; 99 :
509 – 511 .

38. Rozin L , Rozin R , Koehler SA , et al. Death during transforaminal epidural steroid
nerve root block (C7) due to perforation of the left vertebral artery . Am J Forensic Med
Pathol. 2003 ; 24 : 351 – 355 .

39. Tiso RL , Cutler T , Catania JA , Whalen K . Adverse central nervous system


sequelae after selective transforaminal block: the role of corticosteroids . Spine J. 2004 ; 4
: 468 – 474 .

40. Beckman WA , Mendez RJ , Paine GF , Mazzilli MA . Cerebellar herniation after


cervical transforaminal epidural injection . Reg Anesth Pain Med. 2006 ; 31 : 282 – 285 .

41. Ziai WC , Ardelt AA , Llinas RH . Brainstem stroke following uncomplicated


cervical epidural steroid injection . Arch Neurol. 2006 ; 63 : 1643 – 1646 .

42. Suresh S , Berman J , Connell DA . Cerebellar and brainstem infarction as a


complication of CT - guided transforaminal cervical nerve root block . Skeletal Radiol.
2007 ; 36 : 449 – 452 .

43. Ruppen W , Hugli R , Reuss S , Aeschbach A , Urwyler A . Neurological symptoms


after cervical transforaminal injection with steroids in a patient with hypoplasia of the
vertebral artery . Acta Anaesthesiol Scand. 2008 ; 52 : 165 – 166 .

44. Muro K , O ’ Shaughnessy B , Ganju A . Infarction of the cervical spinal cord


following multilevel transforaminal epidural steroid injection: case report and review of
the literature . J Spinal Cord Med. 2007 ; 30 : 385 – 388 .

45. Gillilan LA. The arterial blood supply of the human spinal cord . J Comp Neurol.
1958 ; 110 : 75 – 103 . 46. Bruneau M , Cornelius JF , Marneffe V , Triffaux M , George
B . Anatomical variations of the V2 segment of the vertebral artery . Neurosurgery. 2006
; 59 : ONS20 – ONS24 ; discussion ONS - 24 .
47. Huntoon MA. Anatomy of the cervical intervertebral foramina: vulnerable arteries
and ischemic neurologic injuries after transforaminal epidural injections . Pain. 2005 ;
117 : 104 – 111 .

48. Narouze S. Ultrasonography in pain medicine: a sneak peak at the future . Pain Pract.
2008 ; 8 : 223 – 225 .

49. Karasek M , Bogduk N . Temporary neurologic defi cit after cervical transforaminal
injection of local anesthetic . Pain Med. 2004 ; 5 : 202 – 205 .

50. Benzon HT , Chew TL , McCarthy RJ , Benzon HA , Walega DR. Comparison of the


particle sizes of different steroids and the effect of dilution: a review of the relative
neurotoxicities of the steroids . Anesthesiology. 2007 ; 106 : 331 – 338 .

51. Okubadejo GO , Talcott MR , Schmidt RE , et al. Perils of intravascular


methylprednisolone injection into the vertebral artery. An animal study . J Bone Joint
Surg Am. 2008 ; 90 : 1932 – 1938 .

52. Dreyfuss P , Baker R , Bogduk N . Comparative effectiveness of cervical


transforaminal injections with particulate and nonparticulate corticosteroid preparations
for cervical radicular pain . Pain Med. 2006 ; 7 : 237 – 242 .

53. de Leon - Casasola OA. Transforaminal cervical epidural injections . Reg Anesth Pain
Med. 2008 ; 33 : 190 – 191 .

54. Van Zundert J , Huntoon M , van Kleef M. Transforaminal cervical epidural steroid
injections: time to stop? Spine. Phila Pa 1976) 2009 ; 34(22) : 2477 .

55. Owlia MB , Salimzadeh A , Alishiri G , Haghighi A . Comparison of two doses of


corticosteroid in epidural steroid injection for lumbar radicular pain . Singapore Med J.
2007 ; 48 : 241 – 245 .

56. Van Zundert J , le Polain de Waroux B. Safety of epidural steroids in daily practice:
evaluation of more than 4000 administrations . In: The International Monitor , ed. XX
Annual ESRA Meeting . Rome, Italy : ESRA ; 2000 ; 122 .

57. van Kleef M , Liem L , Lousberg R , Barendse G , Kessels F , Sluijter M.


Radiofrequency lesion adjacent to the dorsal root ganglion for cervicobrachial pain: a
prospective double blind randomized study . Neurosurgery. 1996 ; 38 : 1127 – 1131 ;
discussion 1131 – 1132 .
58. Slappendel R , Crul BJ , Braak GJ , et al. The effi cacy of radiofrequency lesioning of
the cervical spinal dorsal root ganglion in a double blinded randomized study: no
difference between 40 degrees C and 67 degrees C treatments . Pain. 1997 ; 73 : 159 –
163 .

59. Van Zundert J , Patijn J , Kessels A , Lame I , van Suijlekom H , van Kleef M. Pulsed
radiofrequency adjacent to the cervical dorsal root ganglion in chronic cervical radicular
pain: a double blind sham controlled randomized clinical trial . Pain. 2007 ; 127 : 173 –
182 .

60. Cahana A , Van Zundert J , Macrea L , van Kleef M , Sluijter M. Pulsed


radiofrequency: current clinical and biological literature available . Pain Med. 2006 ; 7 :
411 – 423 .

61. Persson LC , Carlsson CA , Carlsson JY . Long - lasting cervical radicular pain


managed with surgery, physiotherapy, or a cervical collar. A prospective, randomized
study . Spine. 1997 ; 22 : 751 – 758 .

62. Kadanka Z , Bednarik J , Vohanka S , et al. Conservative treatment versus surgery in


spondylotic cervical myelopathy: a prospective randomised study . Eur Spine J. 2000 ; 9 :
538 – 544 .

63. Melzack R , Wall PD . Pain mechanisms: a new theory . Science. 1965 ; 150 : 971 –
979 .

64. Huntoon MA. Cervical spine: case presentation, complications, and their prevention .
Pain Med. 2008 ; 9 : S35 – S40 .

65. Waldman SD. Interventional Pain Management . Philadelphia, PA : Saunders, W.B. ;


2001 .

66. Larkin TM , Carragee E , Cohen S . A novel technique for delivery of epidural


steroids and diagnosing the level of nerve root pathology . J Spinal Disord Tech. 2003 ;
16 : 186 – 192 .

67. Racz GB , Heavner JE . Cervical spinal canal loculation and secondary ischemic cord
injury — PVCS — perivenous counter spread — danger sign! Pain Pract. 2008 ; 8 : 399 –
403 .
Nyeri Bagian Servical

Pengantar
Nyeri leher didefinisikan sebagai rasa sakit di daerah antara pangkal
tengkorak dan vertebra toraks pertama. Nyeri yang meluas ke daerah yang
berdekatan didefinisikan sebagai nyeri leher. Nyeri dapat menjalar ke kepala
(servicogenik), bahu, atau lengan atas (nyeri radikular atau nonradikular).1

Nyeri leher umum terjadi pada populasi umum dengan prevalensi 12 bulan
yang bervariasi antara 30% dan 50%. Nyeri leher mengakibatkan
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dalam 2% hingga 11%
dari kasus. Ini terjadi lebih sering pada wanita, dengan prevalensi puncak di usia
pertengahan.

Faktor risiko termasuk disposisi genetik dan merokok.2 Meskipun korelasi


antara jenis pekerjaan dan nyeri leher belum ditunjukkan, tuntutan pekerjaan
kuantitatif yang tinggi (misalnya, pekerjaan menetap di komputer atau pekerjaan
presisi berulang dengan tingkat ketegangan otot yang tinggi) dan kurangnya
dukungan sosial di lingkungan kerja tampaknya memiliki efek.3,4 Faktor psiko-
logis seperti perilaku penghindaran dan bencana tidak terkait dengan gejala leher ,
berbeda dengan pasien dengan masalah punggung bawah.3 Meskipun sakit leher
terkait trauma (gangguan terkait cambuk;wad) dan masalah leher degeneratif
keduanya mungkin disebabkan oleh degenerasi kronis sendi facet, perbedaan
dibuat berdasarkan etiologis, karena gumpalan mungkin melibatkan struktur
penyakit lainnya.3 Penyebab nyeri leher sering tidak jelas, tetapi struktur berikut
di bagian leher mungkin adalah sumber rasa sakit: vertebra, intervertebrale diski,
sendi uncovertebral (Luschka), ligamen, otot, dan sendi zygapophyseal.3
Gangguan degeneratif osseous dan fibrocartilaginous, dapat diidentifikasi dengan
radiografi. Hubungan antara tanda-tanda degeneratif dan rasa sakit, tidak jelas.
Ada banyak penelitian tentang tanda-tanda degeneratif servical vertebral. Dalam
intervertebralis diskus, (1) air mata annular, (2) prolaps disk, (3) kerusakan
endplate dan disk internal yang pecah telah diidentifikasi sebagai patologi disk
struktural potensial.5 Struktur lain di leher, seperti sendi segi dan sendi vertebral
unco, juga menunjukkan tanda-tanda degeneratif. Hipotesis bahwa degenerasi
disk dan penyempitan disk meningkatkan muatan sendi dan akibatnya
menghadapi osteoartritis, tampaknya plausible, tetapi belum terbukti. Beberapa
peneliti mengklaim bahwa disk dan sendi dapat dilihat sebagai nyeri independen-
erators.6 Penyakit degeneratif didasarkan pada temuan radiologis. Spondolysis
(gangguan sendi nonsyno-botol) dan osteoartritis (osteoarthritis facet) sering
terjadi di usia lanjut. Gangguan degeneratif biasanya terlihat pada tingkat rendah
dan midcervical (C4 hingga C5, C5 hingga C6, dan C6 hingga C7). Pengetahuan
tentang innervasi berbagai struktur di leher penting untuk menafsirkan blok
diagnostik dan untuk mengarahkan suguhan lokal-ments7 (Gambar 5.1).

Pasien yang hadir ke klinik nyeri biasanya menderita nyeri kronis (nyeri
berlangsung lebih dari 3 bulan). Faktor prognostik untuk kronisitas termasuk usia
(lebih dari 40 tahun), episode sebelumnya nyeri leher, trauma, dan gejala nyeri
punggung bawah simultan.8

Penting untuk menentukan apakah gejala nyeri menghasilkan keterbatasan


fungsional (misalnya, dalam berpakaian, mengangkat, membaca, tidur, dan
bekerja).

Baru-baru ini, klasifikasi berikut untuk nyeri leher dan gejala terkait telah
diusulkan:9

• Nyeri leher kelas I: tidak ada gejala yang menunjukkan patologi serius dan
pengaruh minimal pada aktivitas sehari-hari.
• Nyeri leher kelas II: tidak ada gejala yang menunjukkan patologi serius, tetapi
memiliki pengaruh pada aktivitas sehari-hari.
• Nyeri leher kelas III: tidak ada gejala yang menunjukkan patologi serius,
adanya gangguan neurologis seperti penurunan refleks, kelemahan otot, atau
penurunan fungsi sensorik.
• Nyeri leher kelas IV: indikasi patologi yang mendasari serius seperti patah
tulang, myelopathy, atau neoplasma.
Nyeri yang berasal dari sendi facet serviks
(sindrom sendi facet)

Nyeri yang berasal dari sendi bagian servikal (Sindrom bagian sendi)

Nyeri leher dapat disebabkan oleh sendi facet. Dibandingkan dengan penelitian
tentang nyeri sendi lumbal, penelitian tentang disfungsi facet servikal dimulai
jauh kemudian. Pada tahun 1988, Bogduk dan Marsland menggambarkan efek
positif dari suntikan anestesi lokal yang dekat dengan sendi aspek pada pasien
dengan nyeri leher.

Sementara diagnosis didefinisikan sebagai gambaran klinis dengan


etiologi dan prognosis yang dikenal, sindrom adalah kombinasi dari gejala yang
terjadi pada frekuensi yang lebih tinggi pada populasi tertentu.

Sindrom bagian servikal didefinisikan sebagai kombinasi gejala:


• Nyeri leher ganda (melewati bahu)
• nyeri dengan tekanan pada sisi punggung tulang belakang pada bagian sendi
• nyeri dan keterbatasan ekstensi dan rotasi
• tidak adanya gejala neurologis

Tidak jelas seberapa sering nyeri leher berasal dari bagian sendi . Prevalensi
rasa sakit yang berasal dari bagian sendi, populasi yang menderita sakit leher,
telah dilaporkan 25% hingga 65%, tergantung pada kelompok pasien dan metode
seleksi. Dalam kelompok pasien yang menghadiri di klinik dengan gejala nyeri
khususnya untuk nyeri leher, kemungkinan lebih dari 50%.11,12. Ini adalah
persentase yang lebih tinggi dari pada nyeri di daerah pinggang.

Anatomi bagian sendi cervical

Sendi bagian servical adalah sendi diartrotik dengan permukaan sendi, membran
sinovial, dan kapsul sendi. Ini membentuk sudut sekitar 45° dengan sumbu
memanjang di seluruh tulang belakang serviks. Dibandingkan dengan sendi facet
lumbar, sendi bagian leher Rahim memiliki kepadatan mechanoreceptors yang
lebih tinggi. Sendi bagian dari C3 hingga C7 didalami oleh ramus medialis
(cabang medial) dari ramus dorsalis saraf segmental. Setiap sendi didalami oleh
cabang saraf dari segmen atas dan bawah7 (Gambar 5.1).

Diagnosis

Sejarah

Selama sejarah, perhatian harus diberikan pada tanda-tanda dan gejala berpotensi
menunjukkan patologi yang mendasari serius ("bendera merah"). Penting untuk
mempertanyakan pasien tentang trauma sebelumnya dan perawatan onkologis
sebelumnya atau yang sedang berlangsung. Tanda-tanda metastasis tulang
belakang potensial adalah (1) riwayat keganasan, (2) nyeri mulai setelah usia 50,
(3) nyeri terus menerus, independen dari postur atau gerakan, dan (4) nyeri di
malam hari. Ketika gejala seperti penurunan berat badan, demam, mual, muntah,
disphagia, batuk, atau infeksi yang sering dilaporkan, riwayat yang luas dan
pemeriksaan lebih lanjut adalah wajib.
Gejala yang paling umum terkait dengan rasa sakit yang timbul dari sendi
adalah nyeri sepihak, tidak menyebar melewati bahu. Rasa sakit sering memiliki
komponen statis, karena tidak selalu terjadi dalam kaitannya dengan gerakan.
Rotasi dan retroflexion biasanya dilaporkan menyakitkan atau terbatas. Dwyer
dkk menunjukkan bahwa suntikan zat iritasi ke dalam sendi aspek menghasilkan
pola radiasi tertentu13 (Gambar 5.2). Pola radiasi yang sama terlihat dengan
stimulasi mekanis dan elektrik. Pola radiasi tidak khas untuk masalah aspek tetapi
dapat menunjukkan lokalisasi segmental.

Pemeriksaan fisik

Tes neurologis (refleks, sensibilitas, dan fungsi motorik) diperlukan untuk


mengecualikan radikulopati. Untuk memeriksa fungsi leher, tes berikut penting:

• ekstensi dan ekstensi—pasif dan aktif


• flexion lateral—pasif dan aktif
• rotasi—pasif dan aktif
• rotasi dalam fleksi maksimal—pasif dan aktif
• rotasi dalam ekstensi—pasif dan aktif

Rotasi dalam posisi netral melibatkan gerakan rotasi seluruh tulang


belakang servikal. Rotasi dalam fleksi menilai pergerakan di segmen servikal
yang lebih tinggi. Rotasi dalam extension menilai pergerakan di segmen servikalis
bawah. Nyeri tekanan lokal di atas sendi facet dapat menunjukkan masalah yang
timbul
dari sendi aspek. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa nyeri tekanan lokal,
didefinisikan sebagai rasa sakit yang dilaporkan setelah menerapkan tekanan
setidaknya 4 kg, adalah prediktor keberhasilan untuk pengobatan radiofre- quency
(RF) konsekuensi (lihat Pilihan Pengobatan).14

Ketika nyeri leher disertai dengan radiasi ke daerah bahu, patologi bahu
harus dikecualikan.

Tidak ada bukti untuk mendukung hubungan antara hasil pemeriksaan


klinis dan anamnesis dengan nyeri dari sendi bagian servikal.15 Dalam praktik
klinis harian, sejarah dan pemeriksaan fisik berguna untuk mengecualikan
patologi serius dan untuk mendapatkan diagnosis kerja. Indikasi ke tingkat
segmental (high-mid-low-cervical) yang terlibat dapat diperoleh.
Tes tambahan

Dalam kasus tertentu, radiografi polos dari tulang belakang servikal dapat
diindikasikan untuk mengecualikan tumor atau patah tulang. Radiografi polos
tidak memberikan informasi dalam menetapkan diagnosis masalah sendi, tetapi
dapat membantu dalam mengevaluasi tingkat degenerasi. Tulang belakang
anterior diperiksa untuk penyempitan pembentukan osteofil disk, anterior, dan
posterior. Tulang belakang posterior diperiksa untuk osteoartritis (sklerosis facet
dan pembentukan osteofil). Pada tahun 1963, Kellgren dkk menyatakan bahwa
begitu perubahan degeneratif terlihat pada radiografi polos, degenerasi telah
mencapai tahap lanjutan.

Dengan bertambahnya usia, perubahan degeneratif lebih sering terlihat:


25% pada usia 50, hingga 75% pada usia 70,17 Sebuah studi prevalensi terkait usia
mengenai keterlibatan sendi aspek dalam nyeri leher kronis menunjukkan
prevalensi yang sebanding di antara semua kelompok usia.18

Perubahan degeneratif kolom tulang belakang serviks hadir pada pasien


asimptomatik, menunjukkan bahwa perubahan degeneratif tidak selalu
menyebabkan rasa sakit. Namun, kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara
degenerasi dan rasa sakit tidak dapat ditarik. Ada penelitian yang menunjukkan
hubungan antara perubahan degeneratif dan gejala nyeri.17,19

Singkatnya, hubungan antara identifikasi radiologi perubahan degeneratif


dan gejala nyeri belum terbukti. Jika etimologi neurologis gejala nyeri dicurigai,
pemindaian magnetic resonance imaging (MRI) atau computer tomography (CT)
ditunjukkan. Tergantung pada pengaturan klinis, konsultasi atau rujukan ke ahli
saraf harus dipertimbangkan. Penggunaan diskografi servikal dapat membantu
dalam mengidentifikasi sumber rasa sakit, tetapi nilainya mengenai perawatan
terapeutik berikutnya tidak ditetapkan.

Blok diagnostik

Diagnosis kerja nyeri sendi facet, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan clini-cal,
dapat dikonfirmasi dengan melakukan blok diagnostik. Anestesi lokal dapat
disuntikkan secara intra-artikular atau berdekatan- sen ke ramus medialis (cabang
medial) ramus dorsalis dari saraf segmental.3,20 Prosedur ini dilakukan di bawah
fluoroskopi. Tidak ada konsensus tentang definisi blok diagnostik yang suc-
cessful. Beberapa penulis mengklaim bahwa 100% nyeri harus dicapai.21 Tetapi
Cohen dkk menunjukkan bahwa tidak ada dif- ference dalam hasil pengobatan RF
pasien yang melaporkan 80% dan mereka yang melaporkan lebih dari 50%
pengurangan rasa sakit setelah blok diag-nostik.14 Dalam praktik klinis harian,
kami mempertimbangkan blok diagnostik berhasil jika lebih dari 50%
pengurangan rasa sakit dilaporkan.

Telah ditunjukkan bahwa innervasi sendi aspek terjadi melalui ramus


medialis (cabang medial) dari ramus dor- salis. Kami lebih suka blok ramus
medialis (cabang medial) daripada blok intra-artikular, karena tidak selalu techni-
cally mungkin untuk memposisikan jarum ke sendi facet. Menurut Bogduk dan
McGuirk,3 sendi aspek dari C3 hingga C7 adalah bagian dalam- di ppn oleh
cabang medial saraf di atas dan di bawah sendi. Untuk perawatan blok atau RF,
misalnya, sendi c4 hingga C5 facet agar efektif, cabang medial dorsales rami C4
dan C5 harus dirawat.

Blok prognostik dapat digunakan sebelum perawatan RF terbentuk. Blok


prognostik mengasumsikan bahwa jika struc anatomi- ture disuntikkan dengan
anestesi lokal yang mengakibatkan penurunan rasa sakit, struktur ini adalah
sumber rasa sakit. Ini tampaknya menjadi konsep yang berguna. Namun,
penelitian dan pengalaman klinis menunjukkan bahwa setelah satu blok, hanya
sebagian kecil (2/47; ∼4%) pasien tidak memiliki pengurangan rasa sakit.22 Ini
berarti bahwa setelah satu blok diagnostik, ada sangat sedikit hasil negatif palsu.
Untuk meminimalkan jumlah positif palsu, sejumlah penelitian-ers telah
menyarankan bahwa blok kedua harus dilakukan menggunakan anestesi lokal
dengan durasi efek yang berbeda, misalnya, lidokain vs. bupivacaine (blok ganda
komparatif). Hanya jika pasien merespons secara bersamaan (pengurangan rasa
sakit yang lebih lama atau lebih pendek tergantung - ing pada durasi tindakan
anestesi lokal) adalah indica- tive nyeri sendi aspek ini. Ini adalah kriteria
farmakologis. Para peneliti ini menunjukkan bahwa blok ganda adalah standar
emas untuk diagnosis nyeri facet. Standar emas, bagaimanapun, harus diterima
dan digunakan secara umum.

Konsep blok ganda memiliki kekurangan teoritis dan praktis. Penurunan


jumlah positif palsu dapat terjadi dengan biaya jumlah reaksi negatif palsu: pasien
merespons positif anestesi lokal, tetapi tidak sesuai dengan kriteria farmakologis
yang sebelumnya terstandardisasi. Selain itu, suntikan serviks mewakili beban
bagi pasien. Akhirnya, dipertanyakan jika blok ganda hemat biaya.23 Sintesis
bukti terbaik pada penilaian nyeri leher menyimpulkan bahwa diagnosa - suntikan
tic facet belum divalidasi untuk mengidentifikasi nyeri sendi facet.24 Selama
hubungan dengan etiologi nyeri facet tidak ditetapkan dengan jelas, beban ekstra
melakukan blok ganda tidak dapat dibenarkan. Be bertentangan dengan blok
aspek lumbar, hanya sebagian kecil pasien yang memiliki respons negatif
terhadap satu blok aspek serviks.

Singkatnya, berdasarkan sejarah dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja


nyeri aspek serviks didefinisikan. Confirma- tion dari diagnosis kerja dapat
direkomendasikan dengan blok diagnostic pada tingkat minimum 3 ramus
medialis (cabang medial) dari ramus dorsalis serviks dalam satu sesi. Blok
diagnostik dianggap positif ketika pasien mengalami pengurangan nyeri 50%.14

Diagnosis diferensial

Penyebab serius nyeri leher seperti tumor, infeksi, patah tulang, dan penyakit
sistemik jarang terjadi. Disk prolaps yang relevan secara klinis atau serviks
spondylotic myelopathy keduanya dapat menyebabkan gejala neuro-logis. Setiap
pasien dengan kehilangan fungsi motorik dan/atau perubahan refleks dan/atau
kehilangan sensorik harus dinilai secara menyeluruh. Metastasis, serviks hernia
nukleus pulposus dengan radiculopa- thy, discitis, dan fraktur vertebral harus
dikecualikan melalui sejarah dan (tambahan) tes. Diagnosis seperti dis- fungsi
segmental, ketidakstabilan, dan ketegangan otot karena diagnosis nyeri kronis
tidak cukup didokumentasikan untuk dimasukkan dalam diagnosis dif- ferential.3
Pilihan perawatan

Manajemen konservatif

Terapi fisioterapi/latihan

Dalam sebuah penelitian yang membandingkan fisioterapi dengan intervensi


singkat con- sisting dari program manajemen diri yang mendorong pasien untuk
melanjutkan pola aktivitas normal, fisioterapi menghasilkan hasil yang lebih
baik.25 Peningkatan dengan kedua intervensi, namun, kecil (pada semua skala
hasil). Latihan fisik memiliki efek pengurangan rasa sakit, terutama jika pasien
menerima informasi relatif terhadap latihan. Fisioterapi, berdasarkan instruksi
untuk latihan yang juga dapat dilakukan di rumah, adalah pilihan terbaik ketika
memilih perawatan konservatif.

Manipulasi/mobilisasi

Dalam analisis subkelompok studi pada pasien dengan nyeri leher dalam praktik
umum, ada efek jangka pendek positif dari terapi manipu- lation, terutama pada
pasien yang lebih tua (>50 tahun).26

Terapi multidisiplin

Tidak ada konsensus tentang komponen terapi multidisiplin yang diperlukan.


Pendekatan harus diarahkan ke rehabilitasi biopsikososial. Apakah ini dapat
ditawarkan sebagai pendekatan multimodal oleh satu spesialis atau dalam
pengaturan multidisiplin masih belum jelas dan belum didukung secara ilmiah.
Terapi perilaku kogni- tive menunjukkan peningkatan gejala somatik, berperilaku-
ioral, dan kognitif, tetapi efek pada gejala nyeri kecil. Pada pasien dengan nyeri
leher, sedikit, atau tidak ada hubungan telah ditemukan antara faktor psikologis
dan rasa sakit. Perawatan plinary multidisci harus, selain perawatan konservatif,
termasuk teknik intervensi invasif minimal.
Manajemen intervensi

Intra-artikular steroid suntikan

Tidak ada laporan dari studi kualitas mengenai efek intra- suntikan steroid
artikular saat ini diketahui.27 Tidak ada studi komparatif antara injeksi steroid
intra-artikular dan terapi RF.

Infiltrasi lokal ramus medialis (cabang medial) dari ramus dorsalis

Blok cabang medial ramus dorsalis dari saraf segmental terutama dianggap
sebagai bantuan diagnostik; namun, (berulang) infiltrasi anestesi lokal terbukti
memberikan efek terapeutik.22,28 Dalam uji coba terkontrol acak (RCT)
membandingkan efek blok cabang medial dengan bupivacaine saja untuk blok
dengan anestesi lokal yang sama ditambah steroid, pengurangan rasa sakit yang
sebanding diamati dalam kedua kelompok untuk durasi rata-rata Masing-masing
14 dan 16 minggu. Selama periode tindak lanjut 1 tahun, jumlah rata-rata prosedur
serupa (masing-masing 3,5 dan 3,4). Pasien dipilih untuk partisipasi dalam
penelitian ini oleh blok terkontrol yang memberikan bantuan nyeri ≥80%.28 Ings
temuan ini menunjukkan bahwa penambahan kortikosteroid untuk anestesi lokal
tidak memberikan hasil yang lebih baik. Selain itu, seperti yang dijelaskan di atas,
prosedur diagnostik yang digunakan dalam RCT memberatkan pasien,
membutuhkan infiltrasi berulang setiap 14 hingga 16 minggu. Di sana- depan, ini
tidak dapat direkomendasikan sebagai terapi baris pertama.

Perawatan RF dari ramus medialis (cabang medial) dari ramus dorsalis

Pengobatan RF perkutan nyeri serviks telah dipelajari secara intensif. Data dari
artikel asli dirangkum dalam tujuh ulasan sistematis.20,27–29–32 Hanya ada satu
RCT yang mengevaluasi pengobatan RF ramus medialis (cabang medial) ramus
dorsalis, tetapi ini pada pasien dengan WADs.21 Akibatnya, RCT ini tidak dapat
dinilai dalam penilaian bukti untuk nyeri sendi aspek degeneratif- vical.
Efektivitas pengobatan RF untuk patologi leher degen- erative ditunjukkan dalam
studi observasional.14,33,34 Analisis bagan retrospektif tentang efek denervasi facet
RF berulang menggambarkan bahwa durasi rata-rata efek intervensi pertama
adalah 12,5 bulan. Pasien yang menanggapi posi- secara tively terhadap intervensi
pertama yang diterima dari satu hingga enam intervensi tambahan. Setelah setiap
intervensi (pengobatan beberapa tingkat medialis ramus ramus dorsalis), lebih dari
90% pasien memiliki nyeri yang memuaskan, dan durasi efeknya antara 8 dan 12
bulan.35

Lord et al.21 menggambarkan teknik untuk mendekati ramus medialis


(cabang medial) ramus dorsalis secara lateral maupun posterior. Ini hanya dapat
dilakukan dalam posisi rawan.

Hasil yang baik juga telah dilaporkan menggunakan teknologi alternatif-


nique seperti yang dijelaskan oleh Sluijter, van Kleef dan van Suijlekom.36,37
Secara teoritis, blok ramus medialis (cabang medial), dekat dengan ramus
dorsalis, berdasarkan parameter sensorik dan motorik stimula- tion, dapat
menghasilkan efek yang sama sebagai denervasi yang luas selama seluruh panjang
saraf. Meskipun tidak ada penelitian yang membandingkan kedua teknik, kami
menganggap yang pertama sebagai pendekatan yang paling invasif. Denervasi
aspek serviks perkutan adalah pilihan pengobatan yang dapat diterima untuk
diagnosis clini- cal nyeri aspek serviks degeneratif kronis, mengingat banyak
deskripsi observasional dari efek positif.

Complications of interventional management

Complications are rare. Nevertheless, one should be aware that arteria vertebralis
dapat ditusuk jika jarum didorong terlalu jauh secara anterior ke dalam melaut
foramen. Verifikasi posisi jarum harus dilakukan di bawah fluoroskopi antero-
posterior untuk mencegah injeksi intrathecal atau suntikan anestesi lokal ke dalam
sumsum tulang belakang. Dalam sebuah studi observasional, insiden penetrasi
intravaskular yang tidak disengaja untuk blok cabang medial pada tingkat tulang
belakang dilaporkan 3,9%, compa- dapat berklasuk dengan insiden di tingkat
lumbar (3,7%). Beberapa pasien mengalami reaksi vasovagal jangka pendek.
Penyerapan intravaskular dari larutan anestesi dan kontras lokal (karena injeksi
langsung ke dalam wadah) dianggap bertanggung jawab atas blok diagnostik
negatif palsu. Tidak ada efek sistemik yang dilaporkan.38 Sebuah laporan tentang
tetraplegia sementara setelah injeksi sendi aspek serviks, dilakukan tanpa
pencitraan, menggambarkan kerentanan arteri serviks.39 Pemantauanappropriate
dari tanda-tanda vital dan availabil - ity peralatan resusitasi sangat penting.

Infeksi telah dijelaskan, tetapi insiden tidak diketahui dan mungkin sangat
rendah.40

Laporan terbaru tentang radang sendi septik sendi aspek termasuk dua
kasus sendi aspek serviks. Dalam kasus ini, pelabuhan masuk tidak dapat
diidentifikasi, tetapi dalam satu laporan kasus lumbar, injeksi kecokelatan secara
langsung terkait dengan komplek yang parah ini - tion.41 Potensi komplikasi lain
dari intervensi sendi facetterkait dengan penempatan jarum dan pemberian obat;
mereka termasuk tusukan dural, trauma sumsum tulang belakang, anestesi tulang
belakang,meningitis kimia, trauma saraf, pneumothorax, paparan radiasi, pecah
kapsul segi, pembentukan hematoma, dan efek samping kortikosteroid.42

Setelah perawatan RF, nyeri pembakaran pasca operasi secara teratur


dilaporkan. Rasa sakit ini menghilang setelah 1 hingga 3 minggu.43 Smith et al.44
menemukan peningkatan kontras pada MRI khas untuk abses paraspinal, bahkan
tanpa infeksi yang jelas, yang dikaitkan dengan proses pascainflamasi yang tidak
menular. Tidak ada data insiden-dence pada efek samping dan komplikasi setelah
denervasi aspek RF serviks. Pada tingkat lumbar, insiden koma-tion lebih rendah
dari 1%.45

Perawatan bedah

Fusi serviks anterior digambarkan sebagai teknik yang mungkin untuk nyeri leher
nonradikular. Satu studi menunjukkan efek yang jelas pada rasa sakit dan fungsi,
tetapi efek jangka panjang dari pengobatan invasif ini tidak diketahui.46
Bukti untuk manajemen intervensi.

Ringkasan bukti yang tersedia diberikan dalam Tabel 5.1

Tabel 5.1. Ringkasan bukti untuk manajemen intervensi nyeri aspek serviks.

Teknik Skor

Suntikan intra-artikular 0

Terapi (berulang) ramus medialis (cabang medial) serviks

ramus dorsalis blok (anestesi lokal dengan atau tanpa kortikosteroid) 2B+

Perawatan radiofrekuensi ramus medialis (cabang medial)

ramus dorsalis serviks 2C+

Rekomendasi

Untuk pasien yang menderita nyeri leher kronis yang disebabkan oleh arthro
serviks- sis, tidak menanggapi pengobatan konservatif, pengobatan RF ramus
medialis (cabang medial) ramus dorsalis dari seg- saraf mental dari C3 ke C6
dapat dipertimbangkan.

Penggunaan blok berulang dengan anestesi lokal dengan atau tanpa


kortikosteroid menempatkan beban serius pada pasien dan karena itu tidak
dianjurkan sebagai perawatan baris pertama.

Algoritma praktik klinis

Algoritma praktik untuk manajemen nyeri sendi favet adalah ilusi- trated pada
Gambar 5.3.
Teknik

Denervasi facet perkutan

Pendekatan lateral (posterior) dalam posisi supine dijelaskan di bawah ini


(Gambar 5.4). Keuntungan dari teknik ini adalah bahwa adalah mungkin untuk
menjaga kontak mata dengan pasien. Sedasi jarang diperlukan.

Pasien ditempatkan di posisi supine dengan kepala sedikit diperpanjang


pada bantal kecil. C-arm ditempatkan di posisi miring (20 hingga 30° lateral).
Dalam posisi ini, balok berjalan

sejajar dengan akar saraf keluar yang berjalan agak caudo frontal. Dalam
posisi ini, pedikel dari sisi kontralateral diproyeksikan ke setengah anterior dari
corpus vertebrae

Nyeri leher uni/bilateral yang tera lokal

> 6 minggu
Tidak Iya
Mengecualikan tanda merah

Radiasi tidak melewati bahu Nyeri dengan Tes neurologis


tekanan pada sendi aspek Potensi Iya
menyakitkan dan / atau ekstensi terbatas
dan / atau rotasi

Gangguan neurologis?

Diagnosis kerja Servikal "nyeri


aspek"

Diagnostik blok > 50 % nyeri

Iya Tidak

Evaluasi Ulang

RF ramus medialis (cabang medial) dari ramus dorsalis serviks


/ facet Therapeutic (berulang) ramus medialis (cabang medial)
dari blok ramus dorsalis serviks (anestesi lokal dengan atau
tanpa kortikosteroid. (anestesi lokal dengan atau tanpa
kortikosteroid.
Gambar 5.3. Algoritma praktik klinis untuk pengobatan nyeri aspek serviks. RF, perawatan
radiofrekuensi
Gambar 5,5. Dalam proyeksi AP, C-arm diposisikan 10 untuk 20° secara
caudally. Dalam posisi ini, ruang intervertebralis diskus dan intervertebrale
foramen terlihat (Gambar 5.6). Ramus medialis (cabang medial) ramus dorsalis
berjalan di atas dasar artikularis processus atas. Titik injeksi ditandai pada kulit,
sedikit posterior dan caudal ke titik akhir jarum yang dorsal ke batas posterior
kolom aspek. Jarum pertama diperkenalkan dalam bidang horizontal, sedikit
cranially sehingga ujung jarum menunjuk ke arah titik akhir. Penting untuk
dipahami bahwa ini bukan teknik "tampilan terowongan". Jarum perlahan-lahan
maju secara anterior dan cranially sampai kontak bertulang dengan kolom aspek
terjadi. Semakin jauh jarum maju, semakin sulit untuk mengubah arah. Oleh
karena itu, posisi jarum perlu sering diperiksa. Jika jarum menunjuk terlalu
banyak ke arah merobangkan foramen, tanpa berhubungan dengan tulang, arahnya
perlu diperbaiki agar lebih posterior. Jika tidak ada kontak tulang ke arah
posterior,
ada risiko bahwa jarum akan memasuki vertebralis canalis antara laminae.
Untuk mencegah hal ini, posisi jarum dapat diperiksa ke arah AP. Posisi akhir
jarum ke arah AP ada di "pinggang" cekung dari kolom aspek. Setelah
penempatan jarum pertama, jarum lainnya diperkenalkan dengan cara yang sama.
Jarum pertama bertindak sebagai pedoman untuk arah dan kedalaman. Teknik
yang sama digunakan untuk sendi aspek C3–C4 hingga C6–C7.

Setelah lokasi anatomi optimal tercapai dan dikendalikan-dipimpin


menggunakan fluoroskopi, posisi ujung jarum di ramus medialis (cabang medial)
ramus dorsalis dikonfirmasi menggunakan stimulasi listrik. Ambang batas
stimulasi ditentukan: stimulasi listrik 50 Hz harus memberikan reaksi (kesemutan)
di leher kurang dari 0,5 V. Kemudian stimulasi dilakukan di 2 Hz. Kontraksi otot
paraspinal dapat terjadi. Kontraksi otot di lengan menunjukkan posisi yang dekat
dengan saraf segmental yang keluar. Jarum kemudian harus ditempatkan lebih
posteri- orly. Setelah posisi yang benar ditentukan, 0,5 hingga 1 mL anestesi lokal
(1% atau 2% lidokain) diberikan. Lesi RF pada suhu 80 °C selama 60 detik
dilakukan.
Ringkasan

Nyeri leher adalah umum pada populasi umum. Etiologi sulit


dikonfirmasi berdasarkan sejarah, pemeriksaan fisik, dan tes radiologi. Perawatan
konservatif adalah pilihan pertama.

Pada tingkat servikal, sendi aspek tampaknya menjadi sumber nyeri


penting dengan gejala leher degeneratif. Di mana ada indikasi bahwa rasa sakit
timbul dari sendi aspek, teknik invasif mini-mally seperti pengobatan RF ramus
medialis (cabang medial) ramus dorsalis dapat dipertimbangkan.

References

1. Guzman J, Hurwitz EL, Carroll LJ, et al. A new conceptual model of neck
pain: linking onset, course, and care: the bone and joint decade 2000–2010
task force on neck pain and its associated disorders. Spine. 2008;33:S14–
S23.
2. Hogg-Johnson S, van der Velde G, Carroll LJ, et al. The burden and
determinants of neck pain in the general population: results of the bone
and joint decade 2000–2010 task force on neck pain and its associated
disorders. Spine. 2008;33:S39–S51.
3. Bogduk N, McGuirk B. Management of Acute and Chronic Neck Pain.
Pain Research and Clinical Management. Philadelphia, PA: Elsevier;
2006.
4. Cote P, van der Velde G, Cassidy JD, et al. The burden and determi- nants
of neck pain in workers: results of the bone and joint decade 2000–2010
task force on neck pain and its associated disorders. Spine (Phila Pa 1976).
2008;33:S60–S74.
5. Adams MA, Roughley PJ. What is intervertebral disc degeneration, and
what causes it? Spine. 2006;31:2151–2161.
6. Bogduk N, Aprill C. On the nature of neck pain, discography and cervical
zygapophysial joint block7. Groen GJ, Baljet B, Drukker J. Nerves and
nerve plexuses of the human vertebral column. Am J Anat. 1990;188:282–
296.
7. Groen GJ, Baljet B, Drukker J. Nerves and nerve plexuses of the human
vertebral column. Am J Anat. 1990;188:282–296.
8. Hoving JL, de Vet HC, Twisk JW, et al. Prognostic factors for neck pain
in general practice. Pain. 2004;110:639–645.
9. Haldeman S, Carroll L, Cassidy JD, et al. The bone and joint decade
2000–2010 task force on neck pain and its associated disorders: exec-
utive summary. Spine. 2008;33:S5–S7.
10. Bogduk N, Marsland A. The cervical zygapophysial joints as a source of
neck pain. Spine. 1988;13:610–617.
11. Manchikanti L, Boswell MV, Singh V, et al. Prevalence of facet joint pain
in chronic spinal pain of cervical, thoracic, and lumbar regions. BMC
Musculoskelet Disord. 2004;5:15.
12. Yin W, Bogduk N. The nature of neck pain in a private pain clinic in the
United States. Pain Med. 2008;9:196–203.
13. Dwyer A, Aprill C, Bogduk N. Cervical zygapophyseal joint pain
patterns. I: a study in normal volunteers. Spine. 1990;15: 453–457.
14. Cohen SP, Bajwa ZH, Kraemer JJ, et al. Factors predicting success and
failure for cervical facet radiofrequency denervation: a multi-center
analysis. Reg Anesth Pain Med. 2007;32:495–503.
15. Kirpalani D, Mitra R. Cervical facet joint dysfunction: a review. Arch
Phys Med Rehabil. 2008;89:770–774.
16. Kellgren J, Jeffrey M, Ball J. The Epidemiology of Chronic Rheumatism.
Oxford: Blackwell; 1963.
17. Friedenberg ZB, Miller WT. Degenerative disc disease of the cervical
spine. J Bone Joint Surg Am. 1963;45:1171–1178.
18. Manchikanti L, Manchikanti KN, Cash KA, et al. Age-related preva-
lence of facet-joint involvement in chronic neck and low back pain. Pain
Physician. 2008;11:67–75.
19. van der Donk J, Schouten JS, Passchier J, et al. The associations of neck
pain with radiological abnormalities of the cervical spine and personality
traits in a general population. J Rheumatol. 1991;18:1884–1889.
20. Manchikanti L, Boswell MV, Singh V, et al. Comprehensive evidence-
based guidelines for interventional techniques in the management of
chronic spinal pain. Pain Physician. 2009;12:699–802.
21. Lord SM, Barnsley L, Wallis BJ, et al. Percutaneous radio-frequency
neurotomy for chronic cervical zygapophyseal-joint pain. N Engl J Med.
1996;335:1721–1726.
22. Barnsley L, Lord S, Bogduk N. Comparative local anaesthetic blocks
in the diagnosis of cervical zygapophysial joint pain. Pain. 1993;55:99–
106.
23. Bogduk N, Holmes S. Controlled zygapophysial joint blocks: the trav- esty
of cost-effectiveness. Pain Med. 2000;1:24–34.
24. Nordin M, Carragee EJ, Hogg-Johnson S, et al. Assessment of neck pain
and its associated disorders: results of the bone and joint decade 2000–
2010 task force on neck pain and its associated disorders. J
Manipulative Physiol Ther. 2009;32:S117–S140.
25. Klaber Moffett JA, Jackson DA, Richmond S, et al. Randomised trial of a
brief physiotherapy intervention compared with usual physi- otherapy
for neck pain patients: outcomes and patients’ preference. BMJ.
2005;330:75.
26. Schellingerhout JM, Verhagen AP, Heymans MW, et al. Which sub-
groups of patients with non-specific neck pain are more likely to benefit
from spinal manipulation therapy, physiotherapy, or usual care? Pain.
2008;139:670–680.
27. Falco FJ, Erhart S, Wargo BW, et al. Systematic review of diagnostic
utility and therapeutic effectiveness of cervical facet joint interven-tions.
Pain Physician. 2009;12:323–344.s. Pain. 1993;54:213–217.
28. Manchikanti L, Singh V, Falco FJ, et al. Cervical medial branch blocks
for chronic cervical facet joint pain: a randomized, double- blind,
controlled trial with one-year follow-up. Spine. 2008;33: 1813–1820.
29. Geurts JW, van Wijk RM, Stolker RJ, et al. Efficacy of radiofrequency
procedures for the treatment of spinal pain: a systematic review of
randomized clinical trials. Reg Anesth Pain Med. 2001;26:394–400.
30. Niemisto L, Kalso E, Malmivaara A, et al. Radiofrequency denervation for
neck and back pain: a systematic review within the framework of the
cochrane collaboration back review group. Spine. 2003;28:1877–1888.
31. Manchikanti L, Singh V, Vilims BD, et al. Medial branch neurotomy in
management of chronic spinal pain: systematic review of the evi- dence.
Pain Physician. 2002;5:405–418.
32. Boswell MV, Trescot AM, Datta S, et al. Interventional techniques:
Evidence-based practice guidelines in the management of chronic spinal
pain. Pain Physician. 2007;10:7–111.
33. McDonald GJ, Lord SM, Bogduk N. Long-term follow-up of patients
treated with cervical radiofrequency neurotomy for chronic neck pain.
Neurosurgery. 1999;45:61–67; discussion 67–68.
34. Barnsley L. Percutaneous radiofrequency neurotomy for chronic neck
pain: outcomes in a series of consecutive patients. Pain Med.
2005;6:282–286.
35. Husted DS, Orton D, Schofferman J, et al. Effectiveness of repeated
radiofrequency neurotomy for cervical facet joint pain. J Spinal
Disord Tech. 2008;21:406–408.
36. Sluijter ME. Radiofrequency Part 2. Meggen (LU), Switzerland: Flivo-
press, SA; 2003.
37. van Kleef M, van Suijlekom JA. Treatment of chronic cervical pain,
brachialgia, and cervicogenic headache by means of radiofrequency
procedures. Pain Pract. 2002;2:214–223.
38. Verrills P, Mitchell B, Vivian D, et al. The incidence of intravascular
penetration in medial branch blocks: cervical, thoracic, and lumbar spines.
Spine. 2008;33:E174–E177.
39. Heckmann JG, Maihofner C, Lanz S, et al. Transient tetraplegia after
cervical facet joint injection for chronic neck pain adminis- tered
without imaging guidance. Clin Neurol Neurosurg. 2006;108:709–711.
40. Rathmell JP, Lake T, Ramundo MB. Infectious risks of chronic pain
treatments: injection therapy, surgical implants, and intradiscal tech-
niques. Reg Anesth Pain Med. 2006;31:346–352.
41. Michel-Batot C, Dintinger H, Blum A, et al. A particular form of
septic arthritis: septic arthritis of facet joint. Joint Bone
Spine.2008;75:78–83.
42. Boswell MV, Colson JD, Sehgal N, et al. A systematic review of thera-
peutic facet joint interventions in chronic spinal pain. Pain Physician.
2007;10:229–253.
43. Haspeslagh SR, Van Suijlekom HA, Lame IE, et al. Randomised
controlled trial of cervical radiofrequency lesions as a treatment for
cervicogenic headache [isrctn07444684]. BMC Anesthesiol. 2006; 16:1.
44. Smith M, Ferretti G, Mortazavi S. Radiographic changes induced after
cervical facet radiofrequency denervation. Spine J. 2005;5:668–671.
45. Kornick C, Kramarich SS, Lamer TJ, et al. Complications of lumbar facet
radiofrequency denervation. Spine. 2004;29:1352–1354.
46. Garvey TA, Transfeldt EE, Malcolm JR, et al. Outcome of anterior cer-
vical discectomy and fusion as perceived by patients treated for domi- nant
axial-mechanical cervical spine pain. Spine. 2002;27:1887–1895;
discussion 1895.
BAB 9
Keluhan Bahu yang Nyeri

Pengantar
Insiden keluhan bahu dalam praktik umum sehari-hari cukup tinggi. Diperkirakan
24 episode untuk setiap 1.000 pasien dalam praktik umum telah dihitung dengan
prevalensi 35 untuk setiap 1.000 pasien per tahun, 60% di antaranya adalah wanita. 1
Meskipun 60% pasien dengan keluhan bahu sembuh setelah satu tahun, nyeri bahu
cenderung kambuh dari waktu ke waktu.1
Tidak selalu jelas mengapa pasien mengalami keluhan bahu kecuali karena
trauma. Patologi seperti peradangan aseptik pada membran sinovial sendi gleno-
humerus, sendi acromioclavicular dan sternoclavicular, dan peradangan jaringan lunak
luar yang mengelilingi sendi ini dapat menyebabkan keluhan bahu. Tinjauan sistematis
menetapkan bahwa ada hubungan antara arterosklerosis dan nyeri shoul-der.2Selain itu,
gangguan fungsi tulang belakang leher dan transisi cervicothoracic berperan dalam
penyebab keluhan bahu. Oleh karena itu, penting juga untuk melibatkan kolom tulang
belakang servikal dan transisi serviks dalam pemeriksaan fungsi bahu. Keluhan Shoul-
der mungkin disebabkan oleh banyak penyebab dan / atau menjadi bagian dari penyakit
yang sudah ada.

Diagnosa
Sejarah
Secara umum, pola gejala ditandai dengan nyeri yang mencegah pasien tidur pada
sisi yang sakit. Lokalisasi dan pola radiasi nyeri dapat memberikan indikasi apakah
seseorang sedang menghadapi penyakit primer bahu.
sendi atau dengan penyebab di luar sendi bahu. Kondisi serius lainnya seperti nyeri
pada persendian lain, demam, malaise, penurunan berat badan, dispnea, dan angina
pektoris harus disingkirkan: khusus untuk nyeri bahu nontraumatik yang memiliki
perjalanan alami yang tidak normal. Yang terpenting, tumor Pancoast harus
disingkirkan. Oleh karena itu, temuan dari pemeriksaan bahu menjadi sangat penting.

Pemeriksaan fisik dan kategorisasi nyeri bahu


Tiga tes bahu penting untuk pemeriksaan keluhan bahu: abduksi bahu, rotasi
eksternal bahu, dan adduksi bahu horizontal. Dengan ketiga tes ini, dimungkinkan
untuk menetapkan patologi bahu yang paling penting, yang biasanya diekspresikan
sebagai brachialgia.

Penculikan bahu aktif dan pasif normal


Selama abduksi bahu aktif dan pasif, pemeriksa berdiri di belakang pasien yang
sedang duduk. Ketika shoul-der kanan diperiksa, pemeriksa memfiksasi tubuh pasien
dengan meletakkan tangan kirinya (fiksasi) di bahu kiri pasien dengan menjaga ibu jari
kirinya setinggi C7. Ini untuk mencegah pasien dari fleksi lateral ke kiri selama abduksi
bahu kanan. Dengan tangan kanan pemeriksa (terbuka) ditempatkan di siku pasien,
abduksi aktif lengan diarahkan ke titik di mana pasien berhenti karena nyeri, dan jika
memungkinkan, abduksi bahu pasif dilakukan lebih lanjut. Penculikan dilakukan di
bidang frontal sebanyak mungkin dengan menjaga tangan kanan pemeriksa (terbuka)
agak ke sisi ventral siku pasien (Gambar 9. 1) untuk mencegah transformasi ventral
lengan selama penculikan. Dalam keadaan normal, rotasi eksternal spontan humerus
akan terjadi antara penculikan lengan 145 ° dan 180 °. Ini sudah waktunya
Gambar 9.1. Penculikan bahu aktif dan pasif. Ilustrasi: Rogier Trompert. Seni Kedokteran.
(www.medical-art.nl)
dengan fakta bahwa, untuk melakukan lintasan penculikan ini, tuber-culum majus
dari humerus harus berputar ke posterior di bawah akromion. Sangat penting bahwa
penculikan dilakukan di bidang frontal sebanyak mungkin karena penculikan normal
biasanya dapat dilakukan di bidang gerakan lain terlepas dari fungsi bahu yang
terganggu dan potensi patologi bahu selanjutnya dapat terlewatkan.

Rotasi eksternal bahu aktif dan pasif normal


Selama rotasi eksternal bahu aktif dan pasif, pemeriksa berdiri di belakang pasien
yang sedang duduk. Saat bahu kanan diperiksa, pemeriksa menempelkan siku kanan
pasien ke tubuh pasien dengan tangan kiri (Gambar 9.2). Ini untuk mencegah bahu
kanan dari penculikan selama rotasi eksternal. Dengan tangan kanan pemeriksa
ditempatkan di pergelangan tangan, rotasi eksternal aktif dari bahu diarahkan ke titik di
mana pasien berhenti karena rasa sakit, dan jika memungkinkan, rotasi eksternal bahu
pasif dijalankan lebih lanjut.
Adduksi bahu horizontal aktif dan pasif normal
Pemeriksa berdiri di sisi pasien yang sedang diperiksa selama adduksi bahu
horizontal aktif dan pasif. Ketika bahu kanan diperiksa, pemeriksa meletakkan tangan
kirinya (fiksasi) di bahu kiri pasien dengan menjaga ibu jari kirinya pada tingkat C7.
Hal ini untuk mencegah pasien dari fleksi lateral ke kiri selama adduksi bahu horizontal
pada bahu kanan (Gambar 9.3). Dengan hak pemeriksaan

Gambar 9.2. Rotasi eksternal bahu. Ilustrasi Rogier Trompert. Seni Kedokteran. (www.medical-
art.nl)
Tangan diletakkan di siku kanan pasien, adduksi bahu horizontal aktif diarahkan
ke titik di mana pasien berhenti karena nyeri dan, jika mungkin, adduksi bahu
horizontal pasif dilakukan lebih lanjut.
Karena etiologi keluhan bahu biasanya tidak jelas atau bahkan tidak diketahui,
temuan dari pemeriksaan rentang gerak aktif dan pasif digunakan untuk
mengklasifikasikan keluhan bahu.3
Atas dasar penculikan aktif dan pasif, rotasi eksternal dan adduksi horizontal
bahu, seseorang dapat mendeteksi penyebab yang mendasari keluhan bahu dan
mengkategorikannya dalam tiga kelompok berikut: 4
Tabel 9.1. Keluhan bahu dengan rentang gerak terbatas.
Penculikan pasif
Eksternal pasif Penculikan aktif masuk Horizontal pasif
dalam posisi lengan rotasi
Kasih sayang rotasi netral. lengan eksternal penculikan

Osteoartritis / Artritis sendi glenohumeral +++ +++ +++ +


Kapsulitis sendi glenohumeral +++ +++ +++ +
Sindrom rotator cuff ++ +++ +++ +
Osteoartritis / Artritis sendi akromioklavikularis - +++ +++ +++
Gangguan degeneratif pada ruang subakromial (misalnya endapan
kalsium) - +++ - -

+, derajat terbatas; -, normal; Pos., Posisi.


• Keluhan bahu dengan jangkauan gerak pasif yang terbatas
• Keluhan bahu tanpa batasan gerak pasif tetapi dengan nyeri pada abduksi bahu atau
penculikan kembali
Keluhan bahu tanpa batasan gerak pasif dan tidak ada lintasan penculikan yang
menyakitkan

Keluhan bahu dengan gerakan pasif yang terbatas


Tabel 9.1 menunjukkan keluhan bahu dengan rentang gerak terbatas. Ini tidak
termasuk nyeri bahu yang dianggap sebagai akibat dari kondisi sistemik seperti
rheumatoid arthritis, misalnya.

Keluhan bahu tanpa batasan jangkauan pasif


gerakan tetapi dengan kursus penculikan yang menyakitkan
Tabel 9.2 merepresentasikan keluhan bahu tanpa rentang gerak terbatas tetapi
dengan busur nyeri pada abduksi bahu aktif maupun pasif. Selain itu, satu atau lebih
struktur di ruang subakromial dapat terpengaruh. Ini juga disebut sindrom pelampiasan
dalam ortopedi. Bursitis subakromial adalah gejala klinis yang umum.

Keluhan bahu tanpa rentang gerak pasif yang terbatas dan tanpa kursus
penculikan yang menyakitkan
Jika pemeriksaan gerak aktif dan pasif bahu tidak menunjukkan adanya kelainan,
nyeri biasanya disebabkan oleh struktur luar bahu atau nyeri bahu dapat menjadi bagian
dari pola radiasi seperti brakialgia akibat sindrom radikuler servikal atau a lesi pleksus
brakialis. Ini juga termasuk kondisi neurologis seperti sindrom Parsonage-Turner
(neuralgia bahu amyotrophic)5dan sindrom nyeri bahu yang dirujuk; yang terakhir
dapat memiliki genesis visceral. Pengecualian adalah bahu yang tidak stabil seperti
pada dislokasi bahu yang biasa terjadi. Tabel 9.3 memberikan gambaran keluhan bahu
yang paling umum tanpa batasan gerak pasif.
Tes tambahan
Tes diagnostik dan laboratorium tidak diindikasikan selama fase awal keluhan
bahu tanpa komplikasi. Tes darah tambahan (protein C-reaktif, hemoglobin, tingkat
sedimentasi eritrosit, faktor rheumatoid) harus dilakukan jika keluhan bahu menetap
jika dicurigai adanya kondisi sistemik atau kondisi serius lainnya. 6 Radiografi, USG,
dan a
Tabel 9.2. Keluhan bahu tanpa rentang gerak yang terbatas tetapi dengan perjalanan
yang menyakitkan.

Pilihan pengobatan
Secara umum, keluhan bahu pada awalnya ditangani secara konservatif. Jika
diindikasikan, perawatan intervensi biasanya melibatkan suntikan lokal dengan
kortikosteroid dan anestesi lokal. Perawatan interventional biasanya terbatas pada
keluhan bahu berdasarkan kapsulitis sendi bahu, baik yang timbul secara spontan atau
dalam konteks kapsulitis pasca operasi. Selain itu, perawatan intervensi dapat
dipertimbangkan untuk sindrom pelampiasan atau bursitis subakromial, penyakit pada
sendi akromio-klavikula, dan penyakit pada sendi glenohumeral seperti bahu beku.
Manajemen konservatif
Pengobatan konservatif awal terdiri dari obat antiinflamasi nonsteroid,1 mungkin
dikombinasikan dengan pengobatan manual7dan / atau terapi olahraga, terutama bila
ada gangguan fungsional pada tulang belakang leher dan bagian servik-toraks.
Penerapan panas dan dingin secara lokal belum cukup dipelajari.1

Manajemen intervensi
Bergantung pada kondisinya, suntikan lokal dengan anestesi dan kortikosteroid
diberikan untuk mengobati bursitis subakromial,
Tabel 9.3. Keluhan bahu tanpa batasan gerak pasif.
Penculikan pasif
Eksternal pasif Penculikan aktif di masuk Horizontal pasif
Kasih sayang rotasi pos netral. lengan lengan rotasi eksternal penculikan
Ketidakstabilan bahu (dislokasi
kebiasaan) - +++ - -
Neuralgia bahu amiotrofik - - - -
(Sindrom Parsonage – Turner)
Sindrom radikuler serviks - - - -
Lesi pleksus brakialis - - - -
Spondylarthrosis serviks - - - -
Sindrom nyeri yang dirujuk
Kondisi kandung empedu - - - -
Pneumotoraks - - - -
Kondisi kardiovaskular - - - -
Patologi subdiafragma - - - -
Tumor intratoraks - - - -
Metastasis - - - -

+, derajat terbatas; -, normal; Pos., Posisi.

Penyakit pada sendi akromioklavikularis, kapsulitis adhesif (bahu beku) dan


penyakit manset rotator.1 Berdasarkan ulasan Cochrane,8 hanya ada sedikit bukti yang
mendukung atau menolak efektivitas suntikan kortikosteroid.

Dengan sindrom pelampiasan atau bursitis subakromial, biasanya diberikan 40 mg
depot kortikosteroid dengan anestesi lokal. 8Penculikan aktif harus bebas dari rasa sakit
segera setelah injeksi jika dilakukan dengan benar. Ada bukti terbatas untuk
kemanjurannya dalam jangka pendek.1

Dalam kasus penyakit sendi akromioklavikularis, injeksi intra-artikular diindikasikan
untuk nyeri persisten.9 Penculikan pasif harus bebas rasa sakit dan dinormalisasi dalam
hal rentang gerak terbatas segera setelah injeksi jika dilakukan dengan benar.

Dalam kasus penyakit sendi glenohumeral, seperti bahu beku, suntikan intra-artikular
dengan anestesi dan kortikosteroid dapat dipertimbangkan bila ada rasa sakit yang
1
parah. Bukti terbatas untuk perawatan ini, tetapi setelah 3 sampai 6 bulan, suntikan
tidak lagi bermanfaat daripada perawatan konservatif lainnya. 1
Perjalanan alami dari bahu beku tanpa komplikasi adalah penyakit yang sembuh
sendiri dari mana sebagian besar pasien sembuh total. 10 Pada fase pertama (2 hingga 9
bulan) nyeri menonjol, pada fase kedua (4 hingga 12 bulan) rentang gerak terbatas
lebih menonjol dari pada nyeri, dan pada fase terakhir (5 hingga 24 bulan) pemulihan
secara bertahap terjadi.
Infus epidural serviks kontinyu dengan anestesi lokal dan opioid dosis kecil telah
digunakan untuk memberikan analgesia berkelanjutan pada pasien dengan kapsulitis
adhesif pada bahu (bahu beku).11 Kateter epidural terowongan dipertahankan selama
rata-rata 6 minggu untuk memfasilitasi rehabilitasi. Sampai saat ini, hanya studi
retrospektif observasional ini yang tersedia.
Perawatan pulsed radiofrequency (PRF) dari nervus supras-capularis dapat
dipertimbangkan untuk bahu yang membeku atau kapsulitis sendi bahu. Sampai saat
ini, hanya studi retrospektif yang tersedia

Tabel 9.4. Ringkasan bukti penatalaksanaan intervensi keluhan nyeri bahu.

Teknik Evaluasi

Suntikan kortikosteroid 2B±

Infus epidural serviks berkelanjutan (bahu beku) 2C+

PRF nervus suprascapularis 2C+

PRF, frekuensi radio berdenyut.

yang menyelidiki efek pengobatan PRF pada nervus supras-capularis untuk nyeri
bahu.12–17

Bukti untuk manajemen intervensi


Ringkasan dari bukti yang tersedia disajikan pada Tabel 9.4.
Rekomendasi
Terutama, keluhan bahu harus ditangani secara konservatif dengan obat-obatan dan
terapi manual dan / atau olahraga. Intervensi dengan injeksi anestesi dan kortikosteroid
lokal dan pengobatan PRF pada nervus suprascapularis hanya dapat dipertimbangkan
untuk afeksi spesifik yang resisten terhadap terapi. Infus epidural servikal terus
menerus dari anestesi lokal dan dosis kecil opioid dapat dipertimbangkan untuk bahu
beku dan kapsulitis, untuk memfasilitasi rehabilitasi sebaiknya sebagai bagian dari
penelitian.

Teknik
Bursitis subakromial
Pasien harus dalam posisi terlentang. Setelah area perawatan steril, 4 mL
bupivacaine 0,25% dengan depot kortikosteroid 40 mg disuntikkan. Sudut lateral
akromion adalah teridentifikasi. Bursa subacromialis disuntikkan tepat di tengah.
Dalam kasus kalsifikasi serius di bursa subacromialis, kalsifikasi harus diangkat
melalui pembedahan. Komplikasi injeksi yang paling penting adalah infeksi.
Perdarahan subkutan kecil dapat menyebabkan peningkatan nyeri sementara setelah
injeksi.

Gangguan sendi akromioklavikularis


Injeksi intra-artikular pada sendi akromioklavikularis diterapkan dengan pasien
dalam posisi terlentang. Setelah sediaan steril, 1 mL bupivakain 0,25% dengan depot
kortikosteroid 40 mg disuntikkan. Bagian atas (bagian paling cephalad) dari akromion
diidentifikasi. Ruang intra-artikular diidentifikasi 2,5 cm medial dari titik ini. Harus ada
resistensi saat menyuntikkan karena melibatkan ruang intra-artikular yang relatif kecil.
Ujung jarum mungkin terletak di dalam lapisan jaringan ikat kapsul sendi jika ada
resistensi yang substansial. Dengan resistensi yang terlalu kecil, ruang intra-artikular
mungkin tidak lagi utuh dan MRI harus dibuat. Komplikasi terpenting adalah infeksi.
Sendi glenohumeral
Injeksi bahu intraartikular dilakukan dengan pasien dalam posisi terlentang.
Setelah penutup steril, 2 mL bupi- vacaine 0,25% dengan depot kortikosteroid 40 mg
disuntikkan. Titik tengah akromion diidentifikasi. Ruang intra-artikular diidentifikasi
2,5 cm di bawah titik ini. Harus ada sedikit resistensi selama injeksi. Jika resistansi
tinggi, ujung jarum mungkin terletak di dalam lapisan jaringan ikat kapsul. Komplikasi
terpenting adalah infeksi. Dua puluh lima persen pasien mengeluhkan nyeri yang
memburuk sementara setelah injeksi.

Nervus suprascapularis
Perawatan PRF pada nervus suprascapularis dilakukan seperti yang dijelaskan di
bawah ini. Pasien duduk di tepi tempat tidur dengan leher sedikit menekuk ke samping.
Tidak perlu menggunakan teknik pencitraan untuk prosedur ini. Lokalisasi dan
perawatan menggunakan landmark anatomis lebih efisien, lebih murah, dengan bahaya
radiasi yang lebih sedikit dan hasil yang lebih baik. Anatomi dan persarafan bahu,
dengan perhatian khusus diberikan pada nervus suprascapularis dan landmark untuk
perawatan PRF ditunjukkan pada Gambar 9.4.
Skapula spina teraba dan dibatasi dari sisi tengkorak. Di tengah garis yang
membentang dari akromion ke margo medialis scapulae (batas skapula medial), sebuah
garis ditarik sejajar dengan kolom tulang belakang leher; sudut lateral kemudian dibagi
menjadi dua bagian yang sama dengan sebuah garis dan sebuah X (the
situs injeksi) digambar pada garis ini 2,5 cm dari titik sudut. Jarum SMK 10/5
dimasukkan tegak lurus ke kulit ke segala arah sampai terjadi kontak tulang dengan
skapula di fossa supraspinata; ini biasanya terjadi pada kedalaman 5 sampai 6,5 cm. Di
perbatasan tengkorak fossa supraspinata, yang disebut margo superior scapulae (batas
skapula superior), terletak incisura scapu-lae (Gambar 9.5). Ini adalah tempat suntikan
untuk nervus suprascapularis. Seseorang harus berhati-hati untuk tidak memasukkan
elektroda terlalu jauh ke bagian perut; ada kemungkinan kecil kontak tulang rusuk atau
pneu-mothorax. Elektroda dihubungkan ke generator dan dengan stimulasi motorik (2
Hz)<Kedutan 0,3 V harus terlihat di korset bahu. Selanjutnya dilakukan perlakuan PRF
dengan frekuensi 2 Hz, 20 ms dan 45 V selama 4 menit. Biasanya ada perbaikan segera
sehubungan dengan gerakan dan nyeri pada kebanyakan pasien. Dalam beberapa kasus,
perawatan harus diulangi setelah beberapa minggu. Dengan teknik injeksi, seseorang
harus menyadari potensi injeksi intravaskular di arteria atau vena suprascapularis.
Pneumotoraks juga merupakan komplikasi yang dijelaskan.

Ringkasan
Riwayat klinis dan pemeriksaan gerak aktif dan pasif bahu adalah landasan
proses diagnostik.
Jika pengobatan konservatif gagal, injeksi dengan anestesi lokal dan
kortikosteroid serta pengobatan PRF pada nervus suprascapularis dapat
dipertimbangkan. Dalam kasus bahu beku atau kapsulitis, infus epidural serviks terus
menerus dari anestesi lokal dan dosis kecil opioid dapat dipertimbangkan, lebih disukai
dalam konteks penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Winters D. Schouderklachten standar NHG. Huisarts Basah. 2008; 51: 555–565.


2. Viikari-Juntura E, Shiri R, Solovieva S, dkk. Faktor risiko athero-sklerosis dan
nyeri bahu — adakah hubungannya? Tinjauan sistematis. Eur J Pain. 2008; 12:
412–426.
3. De Winter J, Sobel J. Diagnosis dan Klasifikasi Keluhan Bahu. Amsterdam:
Universitas Gratis Amsterdam; 1999.
4. Groenier KH, Winters JC, van Schuur WH, De Winter AF, Meyboom-De Jong
B. Sistem klasifikasi sederhana direkomendasikan untuk pasien dengan rentang
gerak bahu atau leher yang terbatas. J Clin Epi-demiol. 2006; 59: 599–607.
5. Hussey AJ, O'Brien CP, Regan PJ. Laporan kasus sindrom Parsonage-Turner
dan tinjauan pustaka. Tangan (NY). 2007; 2: 218–221.
6. Mitchell C, Adebajo A, Hay E, Carr A. Nyeri bahu: diagnosis dan manajemen
dalam perawatan primer. BMJ. 2005; 331: 1124–1128.
7. Bergman GJ, Winters JC, Groenier KH, dkk. Terapi manipulatif selain
perawatan medis biasa untuk pasien dengan dis-fungsi bahu dan nyeri: uji coba
terkontrol secara acak. Ann Intern Med. 2004; 141: 432–439.
8. Buchbinder R, Green S, suntikan kortikosteroid Youd J. untuk nyeri bahu
(ulasan). Perpustakaan Cochrane. 2008; 3: CD004016.
9. Arroll B, Injeksi kortikosteroid Goodyear-Smith F. untuk nyeri bahu: meta-
analisis. Br J Gen Pract. 2005; 55: 224–228.
10. Burbank KM, Stevenson JH, Czarnecki GR, Dorfman J. Nyeri bahu kronis:
bagian II. Pengobatan. Apakah Dokter Fam. 2008; 77: 493– 497.
11. Narouze SN, Pemerintah H, Guirguis M, Mekhail NA. Analgesia epidural
serviks berkelanjutan untuk rehabilitasi setelah operasi bahu: evaluasi retro-
spektif. Dokter Sakit. 2009; 12: 189–194.
12. Shah RV, Racz GB. Lesi frekuensi radio mode pulsa pada saraf suprascapular
untuk pengobatan nyeri bahu kronis. Dokter Sakit. 2003; 6: 503–506.
13. Rohof OJJM. Pengobatan frekuensi radio saraf perifer. Praktik Sakit. 2002; 2:
257–260.
14. Rohof OJJM, Dongen VCPCv. Frekuensi radio berdenyut dari nervi supras-
kapular dalam pengobatan nyeri bahu kronis yang tidak bisa diobati. Kongres
Nyeri Dunia ke-2, Edisi Praktik Nyeri. Diedit oleh Raj PP. Istanbul, Blackwell
Science, 2001, hlm 114.
15. Liliang PC, Lu K, Liang CL, Tsai YD, Hsieh CH, Chen HJ. Lesi frekuensi radio
berdenyut pada saraf suprascapular untuk nyeri bahu kronis: laporan awal. Sakit
Med. 2009; 10: 70–75.
16. Keskinbora K, Aydinli I. [Hasil jangka panjang dari frekuensi radio berdenyut
suprascapular pada nyeri bahu kronis]. Agri. 2009; 21: 16–21.
17. Kane TP, Rogers P, Hazelgrove J, Wimsey S, Harper GD. Frekuensi radio
berdenyut diterapkan ke saraf suprascapular pada artropati robekan manset yang
menyakitkan. J Shoulder Elbow Surg. 2008; 17: 436–440.
BAB 11

NYERI RADIKULER LUMBOSAKRAL

Pengantar
Sindrom radikuler lumbosakral (LRS) ditandai dengan nyeri yang
menjalar pada satu atau lebih dermatom lumbal atau sakral; ini mungkin atau
mungkin tidak disertai dengan gejala iritasi radikuler lainnya dan /atau gejala
penurunan fungsi. Dalam literatur, kelainan ini juga bisa disebut sebagai linu
panggul, iskia, atau nyeri akar saraf. Pendekatan konsensus terhadap standarisasi
definisi nyeri punggung dengan jelas menyoroti perbedaan besar dalam deskripsi
nyeri punggung bawah, yang membuat perbandingan data epidemiologis menjadi
sangat sulit.1 Istilah nyeri radikuler dan radikulopati juga kadang-kadang
digunakan secara bergantian, meskipun jelas bukan sinonim. Dalam kasus nyeri
radikuler, hanya nyeri yang menjalar, sedangkan dalam kasus radikulopati,
kehilangan sensorik dan /atau motorik yang dapat diobjektivasi dapat diamati.
Kedua sindrom tersebut sering terjadi bersamaan dan radikulopati dapat menjadi
kontinum nyeri radikuler. Dalam ulasan ini, nyeri radikuler lumbosakral dianggap
sebagai nyeri yang menjalar ke satu atau lebih dermatom yang disebabkan oleh
iritasi /peradangan dan /atau kompresi akar saraf.
Prevalensi tahunan pada populasi umum, digambarkan sebagai nyeri
punggung bawah dengan nyeri kaki yang menjalar di bawah lutut, bervariasi dari
9,9% hingga 25%. Juga prevalensi titik (4,6% hingga 13,4%) dan prevalensi
seumur hidup (1,2% hingga 43%) sangat tinggi, 2 yang berarti bahwa nyeri
radikuler lumbosakral mungkin merupakan bentuk nyeri neuropatik yang paling
sering terjadi.3,4 Faktor risiko yang paling penting adalah: laki-laki, obesitas,
merokok, riwayat lumbalgia, kecemasan dan depresi, pekerjaan yang
membutuhkan waktu lama berdiri dan membungkuk ke depan, kerja manual yang
berat, mengangkat benda berat, dan terkena getaran.5
Nyeri sepenuhnya atau sebagian hilang pada 60% pasien dalam waktu 12
minggu setelah onset.6 Namun, sekitar 30% pasien masih merasakan nyeri setelah
3 bulan sampai 1 tahun. Ternyata, populasi wanita dengan LRS memiliki hasil
yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan populasi pria. Peluang yang
diperkirakan tidak disesuaikan untuk hasil yang buruk dalam jangka panjang
adalah 3,3 kali lebih tinggi untuk pasien wanita dibandingkan pria. 7
Pada pasien di bawah usia 50 tahun, herniasi diskus adalah penyebab LSR
yang paling sering. Setelah usia 50 tahun, nyeri radikuler sering disebabkan oleh
perubahan degeneratif pada tulang belakang (misalnya stenosis foramen
intervertebrale).8

Diagnosis
Sejarah
Pasien mungkin mengalami nyeri yang menjalar tajam, tumpul, menusuk,
berdenyut, atau terbakar. Nyeri yang disebabkan oleh hernia diskus biasanya
meningkat dengan membungkuk ke depan, duduk, batuk, atau tekanan
(berlebihan) pada diskus lumbal dan dapat dihindari dengan berbaring atau
terkadang dengan berjalan.5 Sebaliknya, nyeri akibat stenosis kanal tulang
belakang lumbal biasanya dapat meningkat saat berjalan dan segera membaik
setelah membungkuk ke depan.8 Selain nyeri, pasien juga sering melaporkan
paresthesia pada dermatom yang terkena. Distribusi nyeri di sepanjang dermatom
dapat menjadi indikasi dalam penentuan tingkat yang terlibat. Namun, ada variasi
yang besar dalam pola radiasi. Dermatom S1 tampaknya paling dapat diandalkan. 9
Jika ada, distribusi dermatom paresthesia lebih spesifik. 8

Pemeriksaan Fisik
Nilai diagnostik dari anamnesis dan pemeriksaan fisik belum dipelajari
secara memadai. Hanya distribusi nyeri yang dianggap sebagai parameter
bermakna dari anamnesis.10 Uji klinis yang paling sering dijelaskan untuk LSR
adalah uji Lasegue. Jika nyeri radikuler dapat timbul di bawah 60°, ada
kemungkinan besar terdapat disk hernia lumbal. Namun, sensitivitas tes ini untuk
mendeteksi LSR akibat herniasi disk sangat bervariasi: sensitivitas global 0,91
dengan spesifisitas 0,26.7,11 Spesifikasi ini semakin menurun ketika tes positif di
atas 60°. Tes Lasegue bersilangan adalah satu-satunya pemeriksaan dengan
spesifikasi yang baik (0,88), tetapi ini mengorbankan sensitivitas (0,29). 11 Kedua
pengujian tersebut dijelaskan pada Tabel 11.1.
Tidak ada konsensus tentang kekhususan tanda-tanda neurologis lainnya
(paresis, kehilangan sensorik, atau hilangnya refleks). 10 Dalam prakteknya, selain
itu adanya tanda-tanda yang menunjukkan keterlibatan L4 (refleks patela
berkurang, inversi kaki) atau hernia L5-S1 (refleks tendon Achilles) diperiksa
dalam pemeriksaan neurologis. Sebuah paresis motor L5 mungkin akan ditandai
secara klinis dengan “kaki menginjak”, penurunan dorsi pergelangan kaki dan
/atau ekstensi jari-jari kaki dan paresis S1 karena penurunan plantar fleksi, antara
lain8 (Tabel 11.2).
Singkatnya, diagnosis LSR tampaknya dibenarkan jika pasien melaporkan
nyeri radikuler di satu kaki, dikombinasikan dengan satu atau lebih tanda
neurologis positif yang menunjukkan iritasi akar saraf atau hilangnya fungsi
neurologis.12

Tes Tambahan
Studi Pencitraan
Mengingat bahwa perjalanan alami nyeri radikuler lumbosakral
menguntungkan pada 60% hingga 80% pasien dan nyeri membaik secara spontan
atau bahkan hilang sama sekali setelah 6 hingga 12 minggu, pemeriksaan
tambahan memiliki sedikit nilai pada fase akut. 6,13

Tabel 11.1. Lasegue dan tes Crossed Lasegue.


Tes Lasegue dilakukan dengan menempatkan pasien dalam posisi terlentang dan
meminta pasien mengangkat kaki yang sakit (dengan lutut lurus). Tesnya positif
jika manuver ini mereproduksi gejala. Rotasi, abduksi, dan adduksi pada pinggul
harus dihindari, karena gerakan-gerakan ini dapat mempengaruhi hasil.
Tes Crossed Lasegue dilakukan oleh pasien dalam posisi terlentang mengangkat
kaki kontralateral. Tes ini positif jika pengangkatan disertai dengan reaksi nyeri di
kaki yang terkena mengikuti pola yang sama seperti yang muncul pada tes
Lasegue biasa.
Tabel 11.2. Pemeriksaan Neurologis Sindrom Radikuler Lumbosakral.
Paresthesia
kehilangan Gangguan atau
Tingkat Rasa sakit sensorik kelemahan motorik Gangguan pada refleks

Paha depan M. quadriceps


hingga Bagian medial femoris, m. iliopsoas, Refleks patela, refleksi
L3 lutut paha dan lutut adduktor pinggul adduktor

Kaki
bagian Kaki bagian M. tibialis anterior, m.
L4 medial medial paha depan femoris refleks Patela

Ektensor dan fleksor


jari kaki dan fleksor
Tungkai bagian pergelangan kaki,
Paha dan lateral, punggung eversi dan inversi
tungkai kaki, jari kaki pergelangan kaki,
L5 bagian pertama pinggul abduktor
lateral,
punggung
kaki
Paha
bagian
posterior, M. gastrocnemius,
betis dan Telapak kaki, kaki biseps femoris, m.
S1 tumit bagian lateral dan gluteus Refleks Achilles
pergelangan kaki,
dua jari kaki paling maximus, ujung jari
lateral kaki
Pencitraan medis, terutama magnetic resonance imaging (MRI), dapat
memastikan keberadaan herniasi disk; teknik ini lebih disukai karena visualisasi
jaringan lunak yang lebih baik.12
Spesifik MRI dan tomografi komputer (CT) sangat rendah mengingat disk
hernia diidentifikasi oleh CT atau MRI pada 20% sampai 36% populasi
asimtomatik,14 dan ada sedikit korelasi antara tingkat keparahan kemungkinan
radikulopati dan besarnya herniasi diskus tulang belakang. Kebetulan, gejala
dapat hilang setelah terapi konservatif tanpa penurunan volume herniasi disk yang
sesuai.15–17
Selain itu, hernia tidak dapat ditunjukkan pada pemindaian beberapa
pasien dengan gejala klinis sindrom radikuler. 18,19 Jika gambaran klinis tidak jelas
atau tidak ada argumen radiologis untuk keluhan radikuler, studi elektromiografi
(EMG) /konduksi saraf (NCS) dapat dilakukan untuk membedakan sindrom
radikuler lumbal dari neuropati perifer (sensitivitas 0,45 hingga 0,65). 20 Penyebab
umum lainnya dari nyeri radikuler lumbal, seperti stenosis foramen
intervertebrale, dapat diungkap dengan MRI atau CT. Jebakan saraf skiatik seperti
sindrom piriformis tidak termasuk dalam bab ini.

Blok Saraf Segmental Selektif


Meskipun blok akar saraf diagnostik adalah teknik yang umum digunakan
untuk menentukan tingkat nyeri radikuler, ada ketidakpastian mengenai
sensitivitas dan spesifisitasnya. Dalam LSR tanpa tanda-tanda yang jelas dari
defisit neurologis fokal, tampaknya ada variabel hypoesthesia sudah ada pada
sebagian besar pasien sebelum pelaksanaan blok akar saraf diagnostik. 21
Perubahan fungsi sensorik ini juga dapat bervariasi dalam waktu dan lokasi.
Dengan blok intraforaminal, ada juga kemungkinan nyata blok nervus
sinuvertebralis secara simultan. Saraf ini bertanggung jawab atas masukan aferen
dari intervertebralis diskus di dekatnya (anulus fibrosis superfisial), ligamentum
longitudinal posterius, dan duramater ventral serta lengan akar saraf. Selain itu,
serat sensorik ramus dorsalis saraf segmental melewati ganglion spinal (ganglion
akar dorsal, DRG) yang juga tersumbat. Saraf ini menginervasi punggung lokal
otot dan sendi facet di dekatnya. Lebih lanjut, diketahui bahwa jika etiologi nyeri
terletak di proksimal blok saraf, nyeri ini dapat dikurangi dengan blok saraf
perifer. Akibatnya, nyeri yang berasal dari iritasi akar saraf tulang belakang
proksimal dengan nyeri yang sesuai di tungkai dan punggung sebenarnya dapat
dipengaruhi oleh blok yang lebih perifer. 22
Hal ini dibenarkan dalam penelitian North23 dimana pasien dengan nyeri
radikuler sebagai keluhan utama mereka, dalam urutan acak, 4 blok berbeda
dengan anestesi lokal. Blok akar lumbosakral paraspinal dan blok ramus primer
posterior cabang medial (pada tingkat yang sama atau proksimal) serta blok
nervus ischiadicus (saraf skiatik) (secara kolateral atau distal patologi) dengan 3
mL bupivakain 0,5% memberikan pengurangan nyeri sementara yang lebih besar
pada mayoritas kasus, dibandingkan dengan pemberian subkutan lumbal dari
produk yang sama dalam volume yang identik. Spesifikasi blok diagnostik tingkat
tunggal lebih jauh dipengaruhi oleh volume yang diinjeksikan, karena kontras 0,5
mL sudah mencapai tingkat yang berdekatan dalam 30% kasus, dan 1,0 mL
bahkan pada 67% kasus.24 Akibatnya, tampak bahwa spesifik blok akar saraf
diagnostik terbatas: blok negatif memiliki nilai prediksi tertentu, tetapi blok
positif terisolasi tidak spesifik.25
Contoh variabilitas efek blok akar saraf pada pasien dengan LSR tanpa
defisit neurologis adalah kejadian, lokasi, dan luasnya area dermatom dengan
hipestesia. Yakni, area total di mana hipestesia dapat ditemukan sangat luas,
namun luar biasa bahwa pada beberapa pasien, sama sekali tidak ada hipestesia
yang berkembang meskipun teknik yang dilakukan sama.25 Pola hipestesia dan
nyeri radikuler ini biasanya melampaui batas grafik dermatom standar, tetapi lebih
baik dipahami jika tumpang tindih dengan dermatom yang berdekatan juga
diperhitungkan. Dermatom teradaptasi yang dihasilkan berukuran dua kali lebih
besar dari pada bagan dermatom standar, tetapi sebagai akibatnya, efek sensorik
blok akar saraf diagnostik terletak lebih dalam batas bagan dermatom (yang telah
disesuaikan).25
Sebaliknya, variabilitas paresthesia akibat elektrostimulasi tampak jauh
lebih kecil; biasanya terdaftar di bagian tengah dari dermatom standar.
Reproduksibilitas paresthesia dengan elektrostimulasi juga tampaknya tinggi:
80% dari paresthesia dapat ditelusuri dalam batas-batas grafik dermatomal
standar, dan 98% dalam batas-batas grafik dermatom yang disesuaikan. Meskipun
demikian, hubungannya dengan rasa sakit tetap tidak jelas. Jika nyeri dilaporkan
dalam dermatom yang "disesuaikan", hanya 1/3 kasus yang dapat mengurangi
nyeri, paresthesia, dan hipoestesi yang sesuai dengan diinduksi oleh
elektrostimulasi dan blok akar saraf.
Setelah blok akar saraf, rata-rata kekuatan otot berkurang di dalam miotom
yang sesuai, tetapi kekuatan otot di dalam miotom meningkat jika penyumbatan
telah mengurangi rasa sakit.26 Penjelasan yang mungkin untuk peningkatan
kekuatan otot pada pasien dengan sindrom radikuler lumbar kronis adalah
penemuan bahwa nyeri memiliki efek penghambatan pada kekuatan otot (kontrol
penghambatan noxious difus atau DNIC).27 Setelah pengurangan rasa sakit,
penghambatan berkurang yang menghasilkan normalisasi kekuatan otot.28

Tabel 11.3. Red Flags


Munculnya keluhan punggung pertama sebelum tanggal 20 atau setelah tahun k3
55
Trauma
Nyeri punggung progresif yang konstan
Gangguan ganas dalam riwayat medis
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang
Penggunaan narkoba, imunosupresi, HIV
(Sering) malaise umum
Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
Cacat struktur tulang belakang
Gangguan infeksi (misalnya herpes zoster, abses epidural, HIV, penyakit Lyme)
Hilangnya fungsi neurologis (kelemahan motorik, gangguan sensorik, dan /atau
gangguan berkemih)

Dalam prakteknya, metode paling rasional yang digunakan untuk


memastikan tingkat keluhan radikuler yang dicurigai masih menggunakan satu
atau lebih blok diagnostik selektif. Infiltrasi selektif ini harus terjadi dengan
anestesi lokal dalam jumlah terbatas (maksimal 1 mL) per level dan dalam sesi
terpisah.
Diagnosis Banding
Dalam kasus nyeri punggung bawah yang akut, kelainan fisik, yang dapat
menyebabkan keluhan, dikesampingkan terlebih dahulu atas dasar apa yang
disebut "red flags"; namun pada kasus nyeri punggung bawah kronis, sebaiknya
juga dilakukan pemeriksaan apakah terdapat tanda-tanda yang dapat
mengindikasikan patologi yang mendasari seperti tumor dan infeksi (Tabel 11.3).
Saat membuat diagnosis banding, penyebab inflamasi/metabolik (diabetes,
ankylosing spondylitis, Penyakit Paget, arachnoiditis, sarkoidosis) juga harus
diperhitungkan; ini harus dikesampingkan terlebih dahulu. 8
Sindrom cauda equine akut biasanya akibat dari herniasi diskus sentral
yang besar dengan kompresi akar saraf lumbal dan sakralis bawah, biasanya pada
tingkat L4-L5. Sebagai akibat dari poliradikulopati sakral, disfungsi usus dan
miksi yang signifikan dapat timbul dengan anestesi pelana yang khas. Jika akar
saraf lumbal juga terlibat, ini menyebabkan kelemahan pada kaki yang mungkin
dapat menyebabkan paraplegia. Pengenalan cepat dari gejala-gejala ini dan
rujukan untuk operasi darurat direkomendasikan. 8

Pilihan Pengobatan
Manajemen Konservatif
Keluhan Radikuler (Sub)akut
Ada kontroversi mengenai pendekatan konservatif terhadap LSR karena
tidak ada bukti kuat tentang keefektifan sebagian besar pengobatan.29 Pemberian
yang memadai informasi kepada pasien tentang penyebab dan prognosis LSR
dapat menjadi langkah logis dalam pengelolaan masalah ini, tetapi hal ini belum
dipelajari dalam studi terkontrol secara acak. 12 Tidak ada perbedaan antara saran
untuk istirahat di tempat tidur kapan dibandingkan dengan nasehatnya untuk tetap
aktif.30
Penggunaan Obat Anti Radang Non-Steroidal atau Penghambat Cox-2
dapat memiliki efek yang signifikan pada nyeri radikuler akut dibandingkan
dengan plasebo.31,32 Namun tidak ada hasil jangka panjang pada evolusi LRS.
Terapi olahraga mungkin dapat memiliki efek yang menguntungkan. Untuk
alasan ini, ini sering dianggap sebagai pengobatan lini pertama. Namun, hingga
saat ini, nilai pembuktiannya masih kurang. 10,29 Sebuah studi acak mampu
menunjukkan hasil yang lebih baik setelah 52 minggu pada pasien yang menerima
fisioterapi berupa terapi olahraga yang dikombinasikan dengan terapi konservatif
dari dokter umum dibandingkan dengan pasien yang hanya menerima terapi
konservatif (79% versus 56% Global). Efek yang dirasakan, masing-masing).
Namun, ini tampaknya tidak hemat biaya. 33
Untuk populasi tertentu, intervensi bedah menghasilkan pengurangan yang
lebih cepat dari keluhan radikuler akut dibandingkan dengan pendekatan
konservatif, tetapi hasil setelah 1 sampai 2 tahun adalah setara. 34–36 Selain itu,
efek pembedahan pada perjalanan alami penyakit hernia diskus tidak jelas dan
tidak ada argumen yang terbukti untuk jangka waktu yang optimal untuk
pembedahan.37
Untuk pasien dengan hilangnya fungsi neurologis akibat hernia diskus,
perawatan bedah segera biasanya disarankan. Dari penelitian yang tersedia,
tampak bahwa hilangnya fungsi ini tetap stabil pada awalnya, tetapi setelah
operasi masih dapat menurun (hingga 50% dari pasien).38,39 Oleh karena itu dapat
dinyatakan bahwa hasil dalam kasus herniasi disk yang berkaitan dengan
hilangnya fungsi neurologis ditentukan oleh tingkat keparahan lesi di awal dan
bukan oleh apakah intervensi terjadi cepat atau lambat. 40
Pada pasien dengan stenosis kanal tulang belakang dengan hilangnya
fungsi neurologis sekunder dimana pembedahan telah dilakukan, gangguan
refleks dan defisit sensorik dan motorik akan permanen atau hanya akan pulih
sebagian dengan sangat lambat. Hingga 70% pasien akan terus mengalami sisa
kelainan neurologis setelah dekompresi41 dan risiko neuropati permanen lebih
besar pada stenosis kanal tulang belakang sentral dibandingkan dengan stenosis
kanal tulang belakang lateral.42

Keluhan Radikuler Kronik


Tempat fisioterapi dalam kasus ini juga tidak jelas, karena tidak ada
penelitian acak yang tersedia.43 Untuk LSR kronis, masa percobaan dengan
pengobatan diindikasikan. Secara klasik, nyeri neuropatik diobati dengan resep
antidepresan trisiklik (TCA) seperti amitriptilin.44 Meskipun kebijakan
pengobatan obat masih berada di depan, dalam praktiknya hal ini tidak selalu
terbukti. Dengan demikian, untuk kondisi neurogenik ini, kurang dari 1/3 pasien
akan mengalami penurunan nyeri yang lebih baik dari pada “sedang”. 44
Selanjutnya, berbagai review dilakukan terkait tempat TCAs45 dan antikonvulsan
4,44
dalam perawatan nyeri neuropatik.
Sungguh mengejutkan bahwa studi yang disertakan itu kebanyakan
dilakukan pada pasien dengan neuropati diabetik dan neuralgia postherpetik.
Perluasan hasil ini untuk pasien dengan LRS, dengan fisiopatologi yang lebih
didasarkan pada kompresi dan peradangan akar saraf dan ganglion spinale (DRG)
belum terbukti secara ilmiah.3
Antikonvulsan adalah alternatif yang mungkin untuk pengobatan nyeri
neuropatik jika antidepresan trisiklik tidak dapat ditoleransi atau merupakan
kontraindikasi. Gabapentin paling sering dipelajari dalam indikasi ini dan
didukung oleh uji coba terkontrol secara acak (RCT). 46 Hasilnya bervariasi dan
pengoptimalan dosis sering kali terhalang oleh efek samping. Peran opioid dalam
pengobatan nyeri neuropatik telah lama dianggap kontroversial. Pedoman terbaru
mengenai pengobatan nyeri neuropatik menyebutkan tramadol dan oksikodon
sebagai pilihan terapi yang memungkinkan. 4 Dalam uji coba label terbuka
menggunakan fentanil transdermal pada 18 pasien dengan nyeri radikuler,
pengurangan nyeri rata-rata 32% tercapai.47

Manajemen Intervensi
Teknik pengobatan anestesi diindikasikan untuk pasien dengan nyeri
radikuler. Pemberian kortikosteroid epidural umumnya diindikasikan pada kasus
nyeri radikuler subakut. Pada pasien dengan keluhan radikuler kronis,
kortikosteroid tidak akan memberikan perbaikan pada hasil dibandingkan dengan
anestesi lokal saja. Hal ini menunjukkan bahwa kortikosteroid epidural lebih
efektif untuk (sub) nyeri radikuler akut di mana terdapat komponen nyeri
inflamasi yang signifikan.48 (Perawatan pulsed) radiofrequency (PRF) adalah
pilihan pengobatan untuk nyeri radikuler kronis.

Pemberian Kortikosteroid Epidural


Logika pemberian kortikosteroid epidural bertumpu pada efek antiradang
dari kortikosteroid, yang diberikan langsung ke akar saraf yang radang. Ada tiga
pendekatan: interlaminar, transforaminal, dan kaudal.
Kortikosteroid Interlaminar
Bukti yang tersedia mengenai administrasi kortikosteroid interlaminar
telah dipelajari dalam tinjauan sistematis. Kesimpulan dari tinjauan ini berbeda
tergantung pada parameter evaluasi yang dipilih. McQuay dan Moore menghitung
Number Needed to Treat (NNT). Untuk mencapai pengurangan nyeri 50% dalam
jangka pendek (1 hari sampai 3 bulan), diperoleh satu NNT dari 3 dan NNT 13
untuk pereda nyeri jangka panjang (3 bulan sampai 1 tahun). 49
Sebuah tinjauan sistematis RCT menyimpulkan bahwa ada bukti yang
cukup tentang kemanjuran teknik ini. Jika ada manfaatnya, maka durasinya
pendek.50 Sebuah tinjauan sistematis terbaru dari RCT menunjukkan bahwa di
antara 11 RCT injeksi steroid interlaminar untuk radikulopati, empat uji coba
dinilai berkualitas tinggi.51 Tiga dari empat percobaan menggunakan injeksi salin
ligamantum interspinal (interspinous ligament) sebagai intervensi kontrol. Ketiga
percobaan menunjukkan hasil positif untuk keuntungan jangka pendek (≤1
bulan).52– 54 Percobaan lain menggunakan injeksi salin epidural sebagai kontrol
dan tidak menunjukkan manfaat apapun.55

Kortikosteroid Transforaminal
Hasil variabel kortikosteroid yang diberikan secara interlaminar dikaitkan
dengan fakta bahwa tidak ada kepastian jarum mencapai ruang epidural dan
bahkan jika itu terjadi, tidak ada kepastian bahwa obat mencapai bagian ventral
dari ruang epidural.56 Pemberian transforaminal memungkinkan aplikasi
kortikosteroid yang lebih tepat pada tingkat akar saraf yang radang. Tiga uji coba
terkontrol plasebo berkualitas tinggi yang mengevaluasi pendekatan
transforaminal melaporkan hasil yang beragam. 51
Satu menunjukkan keuntungan jangka panjang dalam satu tahun, 57 satu
menunjukkan keuntungan jangka pendek yang beragam,58 dan satu tidak
menunjukkan manfaat.48 Dalam studi double-blind, acak, pasien yang dijadwalkan
untuk intervensi bedah menerima suntikan epidural dengan anestesi lokal saja atau
anestesi lokal dengan kortikosteroid diacak. Dengan tindak lanjut (13 sampai 28
bulan), 20/28 pasien dalam kelompok anestesi lokal dengan kortikosteroid telah
memutuskan untuk tidak menjalani operasi, sedangkan pada kelompok anestesi
lokal saja, 9/27 memutuskan untuk tidak melakukan intervensi bedah. 57 Mayoritas
(81%) pasien yang belum menjalani operasi 1 tahun setelah infiltrasi dapat
menghindari operasi setelah 5 tahun.59 Tidak ada perbedaan statistik antara
kelompok perlakuan.
Sebuah studi prospektif terkontrol dari kortikosteroid epidural
transforaminal menunjukkan keunggulan prosedur ini dibandingkan injeksi
triggerpoint pada pasien dengan herniasi diskus.60 Kelompok Karpinnen58
melakukan studi acak terkontrol pada pasien dengan nyeri radikuler dan herniasi
diskus yang didokumentasikan oleh MRI, di mana pemberian transforaminal
anestesi lokal dengan kortikosteroid dibandingkan dengan injeksi transforaminal
larutan saline normal. Dua minggu setelah pengobatan, hasil klinis pada kelompok
kortikosteroid lebih baik daripada kelompok yang diobati dengan larutan garam
normal, sebaliknya setelah 3 sampai 6 bulan, pasien dalam kelompok dengan
larutan garam normal berada dalam kondisi yang lebih baik karena rebound. efek
yang dicatat pada kelompok kortikosteroid. Sebuah subanalisis di mana hasil
pasien dengan herniasi "terkandung" dibandingkan dengan pasien dengan herniasi
"ekstrusi" menunjukkan bahwa pada kelompok pertama.61 Dalam penelitian ini,
herniasi yang terkandung diartikan sebagai herniasi dengan dasar yang luas, yang
masih terdapat di dalam ligamentum longitudinale posterius. “Herniasi ekstrusi”
adalah herniasi yang menerobos ligamentum longitudinale posterius.
Dalam studi perbandingan, efektivitas pemberian kortikosteroid kaudal,
interlaminar, dan transforaminal di ruang epidural dibandingkan pada pasien
dengan nyeri radikuler akibat herniasi diskus. Pendekatan transforaminal
memberikan hasil klinis terbaik.62 Sebuah studi double-blind, acak
membandingkan kemanjuran pemberian kortikosteroid interlaminar dan
transforaminal pada pasien dengan nyeri radikuler lumbal sebagai akibat dari disk
hernia yang dikonfirmasikan dengan CT atau MRI yang berlangsung kurang dari
30 hari. Enam bulan setelah pengobatan, hasil pada kelompok pengobatan
transforaminal secara signifikan lebih baik daripada kelompok yang diobati secara
interlaminar di area pengurangan rasa sakit, aktivitas sehari-hari, waktu luang dan
aktivitas kerja, serta kecemasan dan depresi. 63
Kortikosteroid Kaudal
Empat uji coba terkontrol plasebo dilakukan, tetapi tidak ada yang dinilai
berkualitas tinggi.51 Hasilnya beragam dan tidak ada kesimpulan pasti yang dapat
ditarik dari penelitian ini. Singkatnya, seseorang dapat menyatakan bahwa
pemberian kortikosteroid epidural transforaminal lebih disukai. Dalam
prakteknya, karena komplikasi neurologis yang jarang dijelaskan dan jarang
terkait dengan rute administrasi transforaminal, pendekatan interlaminar dan
kaudal juga masih dapat dipertimbangkan.

PRF
Penerapan pengobatan RF konvensional (pada 67 °C) yang berdekatan
dengan lumbar ganglion spinale (DRG) telah kehilangan minat karena tidak ada
nilai tambahan yang dapat ditampilkan dibandingkan dengan prosedur sampingan
dalam studi acak, tersamar ganda, dan terkontrol palsu. 64
Pengobatan PRF yang berdekatan dengan lumbar ganglion spinale (DRG)
dipelajari dalam studi retrospektif. Dalam kelompok 13 pasien yang direncanakan
intervensi bedah, pengobatan PRF yang berdekatan dengan ganglion spinal
(DRG) saraf yang terlibat menghalangi intervensi pada 11 pasien. Satu pasien
menjalani operasi disk dan 1 menjalani fusi tulang belakang 1 tahun setelah
perawatan tanpa nyeri radikuler pada saat operasi.65 Dalam studi retrospektif lain,
perawatan PRF dilakukan pada pasien dengan sindrom radikuler akibat herniasi
diskus, stenosis kanal tulang belakang, atau sindrom operasi punggung gagal
(FBSS). Penurunan nyeri yang signifikan dan konsumsi analgesik dicapai pada
pasien dengan herniasi diskus (NNT:1,38) dan stenosis kanal tulang belakang
(NNT: 1,19), tetapi tidak pada mereka dengan FBSS (NNT: 6,5).66
Sebuah RCT bertujuan untuk mengidentifikasi efek tambahan potensial
dari pengobatan RF konvensional langsung setelah pengobatan PRF yang
berdekatan dengan lumbar ganglion spinale (DRG). Tiga puluh tujuh pasien
dirawat dengan PRF dan 39 pasien dengan PRF dan RF. Penurunan skor nyeri
VAS yang nyata diamati pada kedua kelompok, tetapi tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kelompok dalam pengurangan nyeri dan durasi kerja yang dapat
diidentifikasi.67
Adhesiolisis dan Epiduroskopi
Tujuan dari lisis adhesi epidural adalah untuk menghilangkan penghalang
di ruang epidural yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri dan mencegah
pengiriman obat pereda nyeri ke lokasi target. Pengembangan kateter berujung
lunak yang dapat dinavigasi, radio-opak, tahan kusut, dan berujung lunak telah
memungkinkan penempatan di atau dekat lokasi target ini pada kebanyakan
pasien. Dalam literatur, adhesiolysis dengan atau tanpa kontrol endoskopi
terkadang dinilai bersama. Ada 2 RCT pada adhesiolisis dengan panduan
uoroskopi. Pasien yang termasuk dalam RCT menderita nyeri punggung bawah
kronis dan linu panggul dan mungkin pernah menjalani operasi punggung
sebelumnya, selain itu protokol pengobatannya berbeda. Heavner dkk.68
membandingkan efeknya dari adhesiolisis mekanis dengan (1) kombinasi
hyaluronidase dan hypertonic saline; (2) larutan garam hipertonik; (3) larutan
garam isotonik; dan (4) larutan garam hyaluronidase dan isotonik. Perawatan
terdiri dari prosedur 3 hari dimana kateter dimasukkan dan obat disuntikkan
selama tiga hari berturut-turut.
69
Manchikanti dkk menilai prosedur satu hari dalam 3 kelompok pasien:
kelompok kontrol yang diobati dengan injeksi kortikosteroid anestesi lokal dan
saline normal tanpa adhesiolisis; kelompok kedua terdiri dari pasien yang
menjalani adhesiolisis, dengan injeksi anestesi lokal, steroid, dan normal saline;
dan kelompok ketiga terdiri dari pasien yang menjalani adhesiolisis, dengan
suntikan larutan natrium klorida 10%, selain anestesi lokal dan steroid. Percobaan
ketiga membandingkan efek adhesiolisis dan injeksi kortikosteroid dan anestesi
lokal diikuti, 30 menit kemudian, dengan injeksi larutan garam hipertonik (10%)
dengan pengobatan konservatif.70 Percobaan ini dan semua percobaan pengamatan
tetapi satu menemukan hasil jangka pendek dan jangka panjang yang positif. Uji
coba tentang efek adhesiolisis dengan larutan garam hipertonik hanya menemukan
hasil positif jangka pendek.71
Epiduroskopi juga disebut endoskopi tulang belakang, adalah cara
alternatif untuk melakukan maddesiolisis di bawah kendali visual. Ini
memasangkan kemungkinan intervensi diagnostik dan terapeutik dalam satu sesi.
Teknik ini dievaluasi dalam 2 tinjauan sistematis. 72,73 Sebuah uji coba acak
prospektif menunjukkan peningkatan yang signifikan tanpa efek samping pada
80% pasien yang menerima epiduroscopy pada 3 bulan, 56% pada 6 bulan, dan
48% pada 12 bulan, dibandingkan dengan 33% dari pasien pada kelompok kontrol
yang menunjukkan peningkatan pada satu bulan dan tidak ada setelahnya. 74
Dalam RCT, 60 pasien dengan riwayat linu panggul 6 sampai 18 bulan
menerima anestesi lokal epidural yang ditargetkan dan penempatan steroid dengan
manipulasi adhesi menggunakan endoskopi tulang belakang atau anestesi lokal
epidural kaudal dan pengobatan steroid. Tidak ada perbedaan signifikan yang
ditemukan antara kelompok untuk setiap pengukuran pada setiap saat.75Studi
observasi menunjukkan pereda nyeri jangka pendek dan jangka panjang yang
baik.76–81

Stimulasi sumsum tulang belakang di FBSS


FBSS adalah nyeri punggung persisten yang mungkin termasuk atau tidak
termasuk nyeri yang menjalar ke kaki setelah satu atau lebih operasi punggung.
Stimulasi sumsum tulang belakang (SCS) terdiri dari penerapan elektroda
perkutan pada tingkat segmen sumsum tulang belakang yang terlibat. Elektroda
ini kemudian dihubungkan ke generator yang mengirimkan pulsa listrik untuk
menstimulasi dermatom yang nyeri dan untuk menyebabkan perubahan
konduktivitas, transmisibilitas, dan persepsi nyeri. Tinjauan sistematis dari
efektivitas SCS untuk pengobatan nyeri punggung bawah dan kaki kronis pada
pasien dengan FBSS termasuk RCT, studi kohort dan 72 laporan kasus. RCT
menunjukkan keuntungan yang jelas dari SCS dibandingkan dengan operasi
berulang. Namun, hasil laporan kasus tersebut sangat heterogen. 82
Sebuah studi acak yang membandingkan SCS dengan pengobatan
konvensional pada pasien FBSS menunjukkan bahwa lebih sedikit pasien dari
kelompok SCS yang beralih ke pengobatan konvensional dibandingkan pasien
yang awalnya menerima pengobatan konvensional dan kemudian beralih ke SCS.
Jumlah pasien yang puas dengan pengobatan lebih tinggi pada kelompok SCS. 83
Komplikasi Manajemen Intervensi
Komplikasi dan Efek Samping Kortikosteroid Epidural
Kortikosteroid Epidural Interlaminar
Efek samping yang paling sering adalah tusukan dural (2,5%) dengan atau
tanpa sakit kepala sementara (2,3%). 84 Efek samping minor, seperti peningkatan
sementara dalam keluhan atau munculnya gejala neurologis baru lebih dari 24 jam
setelah infiltrasi, terjadi pada 4% pasien; durasi rata-rata keluhan adalah 3 hari (1-
20 hari).85 Dalam sebuah penelitian yang meneliti efek samping pada 4.722
infiltrasi dengan betametason dipropionat dan betametason natrium fosfat, 14
(0,7%) efek samping serius dilaporkan (kardiovaskular, gastrointestinal, alergi), 7
di antaranya dikaitkan dengan produk.86 Komplikasi yang lebih serius adalah
kasus meningitis aseptik, arachnoiditis, dan sindrom konus medullaris, tetapi ini
biasanya terjadi setelah beberapa suntikan subarachnoidal yang tidak disengaja.
Dua kasus abses epidural, 1 kasus meningitis bakterial, dan 1 kasus meningitis
aseptik juga dilaporkan.87

Kortikosteroid Epidural Transforaminal


Pada saat penyusunan naskah ini, 7 publikasi melaporkan 9 kasus
komplikasi neurologis seperti paraplegia setelah pemberian kortikosteroid
epidural transforaminal lumbal.88–94 Mekanisme yang mungkin terjadi adalah
cedera pada arteri radikulomeduler dominan rendah yang tidak biasa. 88 Arteri
radikuler terbesar adalah arteria radicularis magna (arteri Adamkiewicz); pada
80% populasi, arteri ini ada di kanal tulang belakang antara T9 dan L1. Namun,
dalam sebagian kecil kasus, ini dapat terjadi antara T7 dan L4, yang menghasilkan
kemungkinan bahwa arteri berada di sekitar posisi ujung jarum pada infiltrasi
transforaminal. Injeksi depot kemudian dapat meniru emboli; jika ini terjadi di
arteri kritis yang memasok arteri spinalis anterior, iskemia medulla spinalis dapat
terjadi.95 Dari kasus komplikasi neurologis yang dilaporkan, 1 terjadi setelah
Th12-L1, 1 kasus di L1-L2, 2 kasus di L2-L3, 3 kasus di L3-L4, 1 setelah injeksi
L3-L4 dan L4-L5 secara bersamaan, dan akhirnya , 1 kasus setelah injeksi S1.
Hematoma retroperitoneal dilaporkan pada pasien yang menjalani terapi
antikoagulan yang menerima suntikan transforaminal. 58 Dua kasus tusukan
dural,96 satu entri disk,97 satu kasus cauda equina 98
dan satu kasus kebutaan
sementara yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan intra-epidural sementara.99
Komplikasi infeksi seperti abses epidural yang disebabkan oleh MRSA (1
kasus),100 diskitis (1 kasus)101 dan satu kasus osteomielitis vertebra102 dilaporkan.
Kasus komplikasi serius yang baru-baru ini dilaporkan dengan pendekatan
transforaminal memerlukan kebijakan yang hati-hati. Dianjurkan untuk hanya
melakukan infiltrasi transforaminal di bawah level L3 dan untuk selalu
memberikan cairan injeksi selama pencitraan waktu nyata, penggunaan tambahan
angiografi pengurangan digital mungkin bermanfaat. Dianjurkan juga untuk
terlebih dahulu memberikan dosis uji anestesi lokal sebelum memasukkan depot
kortikosteroid setelah menunggu 1 sampai 2 menit untuk mengamati tanda-tanda
neurologis potensial.103
Komplikasi neurologis jarang terjadi saat menggunakan teknik yang benar
dan bila sedasi dihindari. Jika peningkatan nyeri yang signifikan dilaporkan
selama injeksi agen kontras, anestesi lokal dan / atau kortikosteroid, prosedur
harus segera dihentikan untuk memastikan penyebab nyeri.

Efek Samping Endokrin


Sindrom Cushing dilaporkan dalam studi prospektif tentang efek samping
betametason dipropionat dan betametason natrium fosfat yang diberikan secara
epidural.86

Efek Samping dan Komplikasi Perawatan RF


Perawatan RF Konvensional
Nyeri terbakar ditemukan terjadi pada 60% pasien yang diobati RF, dan
hiposensitivitas pada dermatom terkait pada 35% pasien yang diobati RF.104 Efek
samping ini menghilang secara spontan setelah 6 minggu. Namun, dalam
penelitian selanjutnya, tidak ada perbedaan dalam efek samping dan komplikasi
antara kelompok RF klasik dan kelompok palsu.64

Perawatan PRF
Dalam tinjauan ekstensif literatur tentang penggunaan PRF yang
mencakup lebih dari 1.200 pasien, tidak ada komplikasi neurologis yang
teridentifikasi.105 Dua belas publikasi saat ini tersedia mengenai pengobatan PRF
yang berdekatan dengan ganglion spinale (DRG). Delapan dari publikasi tersebut
secara khusus melaporkan pengobatan PRF yang berdekatan dengan lumbar
ganglion spinale (DRG).65–67–106–110 Secara total informasi pada 295 prosedur PRF
terdaftar dan tidak ada efek samping atau komplikasi yang disebutkan.

Efek Samping dan Komplikasi Adhesiolisis Epidural dan Epiduroskopi


Empat penelitian secara khusus mengamati komplikasi adhesiolisis
epidural.111–114 Komplikasi adhesiolisis perkutan yang paling sering dilaporkan
adalah pungsi dural, pemotongan kateter, dan infeksi. Komplikasi potensial
lainnya termasuk injeksi intravaskular, cedera vaskular, vaskular serebral atau
emboli paru, reaksi terhadap steroid, saline hipertonik, atau hyaluronidase, dan
pemberian cairan dalam volume tinggi secara potensial, mengakibatkan tekanan
hidrostatik epidural yang berlebihan, kerusakan otak, dan kematian.
Talu dan Erdine111 meninjau komplikasi adhesiolisis perkutan pada 250
pasien. Tiga pasien (1,2%) mengalami abses epidural, dan 1 pasien mengalami
sakit kepala parah. Kateter adhesiolisis geser yang dipertahankan dijelaskan pada
pasien yang menjalani adhesiolisis perkutan untuk mengobati nyeri punggung
dan kaki yang persisten setelah 2 operasi lumbal sebelumnya. 112
Pungsi subarachnoid atau subdural yang tidak disengaja dengan injeksi
anestesi lokal atau saline hipertonik adalah salah satu komplikasi utama prosedur
dengan adhesiolisis kateter. Untuk epiduroskopi, efek samping dan komplikasi
sebanding dengan adhesiolisis tanpa kontrol endoskopi. Namun ada potensi
tambahan dari peningkatan tekanan di ruang epidural karena injeksi cairan
bertekanan terus menerus,mdiperlukan untuk mendapatkan citra yang jelas.
Hingga saat ini, hanya satu laporan gangguan penglihatan karena peningkatan
tekanan minuman keras yang telah dilaporkan. Pemantauan yang cermat terhadap
fluktuasi tekanan dijamin untuk mengurangi risiko peningkatan tekanan likuor
yang berkepanjangan dan durasi prosedur harus dibatasi hingga maksimal 60
menit.

Efek Samping dan Komplikasi SCS


Dalam tinjauan komplikasi SCS, 18 studi pada 112 pasien yang menerima
SCS untuk FBSS diidentifikasi. Empat puluh delapan pasien (42%) melaporkan
efek samping atau komplikasi. Komplikasi dapat dibagi lagi menjadi: teknis,
biologis (pasca operasi), dan lain-lain. Mayoritas (> 25%) komplikasi adalah
masalah teknis seperti migrasi timbal, kerusakan timbal, kerusakan perangkat
keras, kegagalan baterai, dan koneksi longgar. Komplikasi pasca bedah dapat
berupa infeksi, kebocoran cairan serebrospinal, dan hematoma. Stimulasi yang
tidak diinginkan, nyeri pada implan, erosi kulit, dan alergi juga telah
dilaporkan.115

Bukti Untuk Manajemen Intervensi


Ringkasan bukti penatalaksanaan intervensi nyeri radikuler
lumbosakral disajikan pada Tabel 11.4.

Rekomendasi
Berdasarkan bukti yang tersedia mengenai efek dan komplikasi, kami
merekomendasikan teknik berikut untuk pengobatan LRS:
• Karena suntikan kortikosteroid epidural memiliki efek jangka pendek; teknik ini
direkomendasikan untuk pasien dengan gejala nyeri radikuler subakut.
•Pada pasien dengan nyeri di tingkat lumbosakral (L4, L5, S1) sebagai akibat dari
"herniasi yang terkandung", injeksi epidural transforaminal dengan anestesi lokal
dan kortikosteroid direkomendasikan.

Tabel 11.4. Ringkasan Bukti untuk Manajemen Intervensi Sindrom Radikuler


Lumbosakral.
Teknik Penilaian
Pemberian kortikosteroid interlaminar 2 B±

Pemberian kortikosteroid transforaminal dalam


"herniasi yang terkandung” 2B+

Pemberian kortikosteroid transforaminal dalam


"herniasi terekstruksi” 2 B-

Lesi frekuensi radio di tingkat ganglion spinale 2 A-


(DRG)
Pengobatan frekuensi radio berdenyut di tingkat
ganglion spinal 2C+

Stimulasi sumsum tulang belakang (hanya untuk


Sindrom Operasi Punggung yang Gagal) 2A+
Adhesiolysis — epiduroscopy 2 B±

Tampaknya ada preferensi untuk pemberian kortikosteroid epidural


transforaminal daripada kortikosteroid kaudal dan interlaminar di bawah level L3.
• Perawatan RF yang berdekatan dengan ganglion spinale (DRG) tidak
dianjurkan. Perawatan PRF yang berdekatan dengan ganglion spinale (DRG)
dapat dipertimbangkan.
• Stimulasi sumsum tulang belakang direkomendasikan untuk pasien
dengan FBSS, tetapi hanya di pusat-pusat spesialis.
• Epiduroskopi dan adhesiolisis dapat dipertimbangkan untuk pasien
dengan sindroma radikuler yang resistan terhadap terapi dalam konteks
penelitian dan hanya di pusat-pusat spesialis.

Algoritma Praktek Klinis


Gambar 11.1 mewakili algoritma pengobatan berdasarkan bukti yang tersedia.

Teknik
Rekomendasi Praktis Pemberian Kortikosteroid Epidural
Ada 7 tinjauan sistematis tentang pemberian kortikosteroid epidural untuk
pengobatan LRS. Berkenaan dengan pendek efektivitas jangka, 6 dari 7 tinjauan
sistematis memberikan penilaian positif dan 1 memberikan penilaian negatif
(bukti yang bertentangan).84–116–120 Tidak ada studi perbandingan yang tersedia
untuk keefektifan dan / atau komplikasi dari berbagai depot kortikosteroid, yang
berarti bahwa perbedaan antara produk ini tidak dapat diverifikasi.
Ada kemungkinan bahwa ukuran partikel dari depot kortikosteroid terkait
dengan komplikasi neurologis yang dilaporkan, tetapi literatur tentang
kemungkinan ini juga tidak dapat disimpulkan.121 Sampai sekarang, tidak ada
komplikasi neurologis yang dilaporkan dengan deksametason kortikosteroid
nonpartikulat. Satu abstrak secara prospektif membandingkan penggunaan
transforaminal triamcinolone dengan deksametason pada 50 pasien.122 Penurunan
nyeri yang lebih besar secara signifikan dicatat setelah 2 minggu pada pasien yang
diobati dengan triamcinolone, sejauh ini bukti tentang kemanjurannya pada
tingkat lumbal masih kurang. Saat ini, tidak ada bukti bahwa dosis kortikosteroid
yang lebih tinggi menghasilkan efek klinis yang lebih baik,123 namun risiko efek
samping endokrin jauh lebih tinggi. Karena alasan inilah dosis depot
kortikosteroid terendah saat ini direkomendasikan. Berkenaan dengan jumlah
infiltrasi, tidak ada studi komparatif yang menunjukkan bahwa implementasi
sistematis dari 3 infiltrasi akan menghasilkan hasil yang superior. 124
Dari RCT yang tersedia mengenai administrasi transforaminal
kortikosteroid, seseorang menemukan rata-rata 1 sampai 2 infiltrasi.
Mempertimbangkan potensi efek samping endokrin, dianjurkan mengikuti interval
minimal 2 minggu antara dua infiltrasi.
Gambar 11. Algoritma Praktek untuk Pengobatan Sindrom Radikuler
Lumbosakral. FBSS, Sindrom Operasi Punggung Gagal

Pemberian Kortikosteroid Epidural Interlaminar


Teknik ini dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi tengkurap,
berbaring miring atau duduk; Dalam dua postur terakhir, letakkan pasien dalam
rangsangan atau pada posisi "janin".125 Postur duduk dianggap yang paling
nyaman bagi pasien dan juga bagi dokter nyeri. Posisi ini memungkinkan
penilaian garis tengah yang benar dan menghindari rotasi posisi dekubitus lateral.
Penentuan tingkat yang benar dapat dilakukan dengan mengacu pada cresta iliaca
(krista iliaka) atau melalui fluoroskopi. Dalam medial pendekatan,pertama
anestesi lokal akan diinfiltrasi di tengah dua prosesus spinosi yang berdekatan,
setelah itu, jaringan subkutan dan ligamentum supraspinale didekati dengan jarum
epidural. Yang terakhir menawarkan ketahanan yang cukup untuk menjaga jarum
epidural pada posisinya saat jarum dilepaskan.
Selanjutnya, jarum memasuki ligamentum interspinale dan ligamentum
flavum, yang keduanya memberikan resistensi tambahan. Sensasi palsu
kehilangan resistensi dapat terjadi saat memasuki ruang antara ligamentum
interspinale dan ligamentum flavum. Ligamentum flavum memberikan resistensi
terbesar terhadap jarum epidural karena hampir seluruhnya terdiri dari serat
kolagen. Menerobos ligamen ini ke ruang epidural disertai dengan hilangnya
resistensi yang signifikan. Saat menyuntikkan obat ke dalam ruang epidural,
biasanya tidak ada resistensi yang dirasakan karena diisi dengan lemak, pembuluh
darah, jaringan getah bening dan jaringan ikat. Ruang epidural memiliki lebar 5
hingga 6mm pada level L2-L3 pada pasien dalam posisi flesia. Selain itu, injeksi
zat kontras dapat memverifikasi posisi yang benar di ruang epidural.
Dalam kasus aspirasi darah, jarum harus diorientasikan kembali; dalam
kasus aspirasi cairan serebrospinal, prosedur harus diulangi pada tingkat lain.
Dalam kasus terakhir, mungkin terjadi aliran berlebih ke cairan serebrospinal;
oleh karena itu, prosedur ini harus dilakukan dengan hati-hati. Secara klasik,
infiltrasi terdiri dari suntikan anestesi lokal dengan kortikosteroid. Ada
kecenderungan untuk melakukan prosedur ini di bawah fluoroskopi, namun sejauh
ini, tidak ada keuntungan dari kontrol fluoroskopi yang ditunjukkan. 126.127

Pemberian Kortikosteroid Epidural Transforaminal


Dalam pendekatan transforaminal, C-arm diatur sedemikian rupa sehingga
sinar-X berjalan sejajar dengan pelat penutup pada level yang relevan. Setelah itu,
C-arm diputar sampai prosesus spinosus memproyeksikan di atas kolom segi
kontralateral. Dengan C-arm dalam proyeksi ini, titik injeksi ditemukan dengan
memproyeksikan logam penggaris di atas bagian medial foramen intervertebrale.
Jika terdapat superposisi dari processus articularis superius (proses artikular
superior) pada sendi yang mendasarinya, C-arm harus diputar secara kranial.
Sebuah jarum sepanjang 10 cm, 25-G atau 22-G dengan pipa sambungan
yang pertama kali digunakan dengan media kontras dimasukkan di sini secara
lokal ke arah pancaran radiasi. Setelah itu, arahnya dikoreksi sehingga jarum
diproyeksikan sebagai titik di layar (Gambar 11.2). Kemudian, dalam tampilan
lateral, kedalaman ujung jarum diperiksa. Pendekatan klasik pada kuadran
dorsokranial, harus diperhatikan bahwa tidak ada aliran arteri / vena yang terlihat
selama pencitraan waktu nyata dari injeksi kontras. Kami merekomendasikan
untuk menghindari munculnya jarum paresthesia pada pasien. Paresthesia
dianggap tidak menyenangkan oleh pasien dan, sebagai tambahan, pembuluh
darah meduler segmental dapat mengenai. 89.128 Oleh karena itu, “segitiga aman”
harus diperhitungkan (Gambar 11.3). Segitiga ini dibentuk kranial oleh bagian
bawah pedikulus atas, lateral oleh garis antara tepi lateral dari pedikulus atas dan
bawah dan di medial oleh akar saraf tulang belakang (sebagai dasar tangensial
segitiga). Ini dianggap sebagai zona aman; jika nyeri yang menjalar masih terjadi
selama prosedur, jarum harus ditarik ke belakang beberapa milimeter.
Arah pancaran radiasi sekarang diubah menjadi maju-mundur (AP view);
Akibatnya, ujung jarum harus ditempatkan di antara tepi lateral dan tengah kolom
faset. Setelah injeksi sejumlah kecil zat kontras selama pencitraan real-time,
jalannya ramus ventralis (saraf tulang belakang), ke arah epidural atau
laterocaudal menjadi terlihat. Jika gambar ini tidak diperoleh karena posisi yang
terlalu tinggi lateral, jarum harus dimasukkan lebih dalam ke arah ganglion
spinale (DRG). Pelaksanaan prosedur ini selama pencitraan waktu-nyata
memungkinkan perbedaan dibuat antara injeksi intratekal, intra-arteri, atau
intravena yang tidak disengaja.
Setelah visualisasi ramus ventralis (saraf tulang belakang) yang benar, tes
dilakukan dengan 1mL bupivacaine 0,5% atau xylocaine, 1 hingga 2 menit
kemudian, pasien diminta untuk menggerakkan kaki untuk menyingkirkan
paresthesia mendadak berdasarkan iskemia meduler.89,95 Dosis kortikosteroid
kemudian bisa disuntikkan.
Gambar 11.2. Injeksi Epidural Transforaminal Lumbal: titik
injeksi (penyisipan miring).

pediculus

Processus transversus

“save” triangle

Ganglion spinal
Ramus ventralis

Gambar 11.3. “Safe Triangle” untuk memasukkan


jarum ke dalam injeksi epidural transforaminal
(ilustrasi: Rogier Trompert Medical Art. Www.
Medical-art.nl).
Prosedur Epidural transforaminal S1
Teknik yang digunakan pada tingkat S1 dapat dianalogikan dengan yang
digunakan untuk tingkat lumbal; namun, kali ini jarum diposisikan melalui
foramen sacrale dorsale dari S1 pada pedikel S1. Untuk ini, target terletak pada
tepi ekor pedikulus S1 pada lokasi yang homolog dengan kasus infiltrasi
transforaminal lumbal. Secara radiologis, foramen ini tidak dapat dibedakan
dengan jelas, tetapi dengan reorientasi C-arm sefalokaudal dan memutarnya
secara ipsilateral, dapat menyebabkan foramen sacrale ventrale dan foramen
sacrale dorsale dari S1 tumpang tindih. Titik tusukan dipilih pada tingkat tepi
lateral foramen sacrale dorsale S1. Dalam posisi optimal, titik jarum diposisikan
pada 5mm dari lantai canalis sacralis dalam tampilan lateral.

Perawatan PRF
Blok Diagnostik
Dalam blok diagnostik, C-arm diatur sedemikian rupa sehingga sinar-X
berjalan sejajar dengan pelat ujung pada level yang relevan. Setelah itu, C-arm
diputar sampai prosesus spinosus memproyeksikan di atas kolom segi
kontralateral. Dengan C-arm dalam proyeksi ini, titik injeksi ditemukan dengan
memproyeksikan penggaris logam di atas bagian lateral dari foramen
intervertebrale. Jarum sepanjang 10 cm, 22-G dimasukkan di sini secara lokal
searah sinar. Setelah itu, arahnya dikoreksi sehingga jarum diproyeksikan sebagai
titik di layar (Gambar 11.4). Arah berkas radiasi sekarang diubah menjadi
tampilan profil (lateral), dan jarum dimasukkan sampai titik tersebut berada di
bagian kraniodorsal dari foramen intervertebrale (Gambar 11.5).
Dalam pandangan AP, perjalanan sejumlah kecil zat kontras diikuti
dengan "pencitraan waktu nyata"; itu menyebar secara laterokudal
sepanjang saraf tulang belakang (Gambar 11.6). Akhirnya, maksimal 1 mL
lidokain 2% atau bupivakain 0,5% diinjeksikan. Blok prognostik dianggap positif
jika gejala berkurang 50% 20 sampai 30 menit setelah intervensi. Tingkat yang
paling memenuhi kriteria yang disebutkan di atas dipilih untuk pengobatan PRF.
Gambar 11.4. Lumbar diagnostic block ganglion spinale (DRG): pandangan
miring.

Gambar 11.5. Lumbar diagnostic block ganglion spinale (DRG): pandangan


lateral
Gambar 11.6. Lumbar diagnostic block ganglion spinale (DRG): penyebaran
cairan kontras di sepanjang saraf segmental.

Lumbal Perkutan PRF


Titik penyisipan untuk pengobatan PRF ditentukan dalam yang sama
seperti untuk blok diagnostik; kali ini, proyeksi disimpan medial semaksimal
mungkin untuk mencapai ganglion nale (DRG) secara maksimal. Kanula
disisipkan searah dengan sinar diasi. Saat kanula masih berada di superfisial,
arahnya dikoreksi sehingga kanula diproyeksikan seperti salep di layar. Setelah
itu, kanula dimasukkan dengan hati-hati sampai titik tersebut terletak di tengah
foramen ervertebrale pada tampilan lateral. Stylet dilepas dan ditukar dengan
probe RF. Pedance diperiksa, dan setelah itu, stimulasi pada 50Hz adalah ne.
Pasien sekarang akan merasa kesemutan pada tegangan <0,5V.
Jika kriteria ini terpenuhi, posisi kanula direkam dua arah pada printer video.
Setelah itu, arus berdenyut seluruhnya 20ms dan 480ms tanpa arus) diterapkan
120 detik dengan keluaran 45V; selama prosedur ini, suhu di ujung elektroda
tidak boleh melebihi 42 °C. Outputnya mungkin perlu dikurangi. Targetnya
adalah impedansi kurang dari 500 Ω. Jika lebih tinggi, injeksi id dapat
mengurangi nilai ini. Ada laporan bahwa refleksi agen kontras secara paradoks
dapat meningkatkan impedansi. Setelah memposisikan ulang, seseorang dapat
mencari ambang stimulasi yang lebih rendah untuk perawatan tambahan.
Adhesiolisis129
Kontrol dereroskopi tingkat target diidentifikasi. Lengan kemudian diputar
15 sampai 20° miring ke sisi ipsilateral dari foramen intervertebrale yang
ditargetkan. Setelah usia “Scotty Dog” diperoleh, fluoroscop diputar dalam bentuk
caudal-cephalad selama 15 sampai 20°. Rotasi caudal-cephalad memanjang proses
artikular superior ("ear of the Scotty Dog"). Ujung telinga, atau processus
articularis superior, pada “laras senapan” dengan corak yang ditandai pada kulit
sebagai titik masuk. Jarum 18-G yang digunakan untuk membuat luka tusuk.
Melalui luka ini, jarum epidural RK 16-G ditanamkan ke anterior sampai tulang
ontacted. Gambar fluoroskopi lateral diperoleh sebelum roduksi jarum lebih
lanjut.
Untuk memfasilitasi lewatnya jarum melewati prosesus articularis
superior, jarum epidural diputar secara vertikal untuk meluncur melewati tulang
dan berhenti tepat setelah “letupan” dirasakan. Ujung jarum pada tampilan lateral
harus berada di aspek posterior foramen intervertebrale. Kateter epidural Tun-L-
XL Epimed kemudian dimasukkan melalui jarum epidural. Terkadang, jarum
epidural harus dimiringkan di hub secara lateral untuk membantu masuknya
kateter epidural ke dalam ruang epidural anterior. Kateter dimajukan ke medial
pedikulus. Setelah pemasangan kateter dipastikan berada di ruang epidural
anterior di bawah pandangan anteroposterior dan lateral, stylet dikeluarkan dari
kateter dan konektor dipasang di ujung proksimal kateter epidural.
Aspirasi harus negatif sebelum kontras radiografi 3mL diinjeksikan.
Injeksi kontras harus menunjukkan pembukaan dari foramen intervertebrale,
dengan kontras keluar di sepanjang jalur akar saraf. Lisis biasanya dilakukan
dengan larutan garam hipertonik tetapi tetap kontroversial karena potensi
neurotoksisitasnya jika terjadi penyebaran intratekal. Setelah melakukan lisis,
anestesi lokal dan kortikosteroid disuntikkan. Saat melakukan adhesiolysis sesuai
dengan prosedur Racz, kateter tetap di tempatnya dan lisis diulangi selama 3 hari
berturut-turut.130 Manchikanti sebaliknya menganjurkan prosedur satu hari. 131

Epiduroskopi
Epiduroskopi dilakukan dengan pasien dalam posisi tengkurap diatas meja
tembus cahaya. Akses intravena, elektrokardiografi, tekanan darah, dan
pemantauan saturasi oksigen harus dilakukan. Pasien dibius ringan, untuk
memastikan komunikasi dapat dilakukan selama prosedur. Kornua sakralis
diidentifikasi. Jika hal ini terbukti sulit, rotasi internal kaki akan memperlebar
celah gluteal, sehingga memudahkan identifikasi hiatus sakralis. Setelah anastesi
pada kulit dan jaringan dibawahnya, jarum Touhy 18-G dimasukan 2-3cm ke
dalam kanalis sakralis. Perawatan harus dilakukan agar tidak melebihi tingkat S3
untuk mencegah penempatan jarum secara intradural dan peralatan selanjutnya.
Melalui jarum Touhy, kawat pemandu diarahkan ke tengkorak, sedekat mungkin
ke area target.
Grup Machikanti merekomendasikan untuk tidak memposisikan kawat
pemandu melebihi S3. Namun, dalam kasus ini ada peningkatan resiko dislokasi
saat menempatkan pengantar dan melakukan dilatasi. Sayatan kecil dibuat di
tempat pengenalan dan setelah pencabutan jarum Touhy, dilator dilewatkan diatas
kabel pemandu diikuti oleh selubung pengantar. Lengan samping selubung
pengantar dibiarkan terbuka untuk meningkatkan drainase garam berlebih.
Endoskopi fiberoptik 0,9 mm (diameter x luar) yang fleksibel (perbesaran 45)
dimasukan melalui salah satu port akses dua domain dari kateter kemudi 2,2 mm
(diameter luar) sekali pakai. Kateter kemudi juga berisi 2 saluran samping untuk
menanamkan cairan. Satu sisi cairan kateter kemudi untuk aliran saline normal
yang terputus-putus. Saluran sisi lain dihubungkan ke system pemantauan
otomatis melalui pemantauan tekanan arteri standar. Untuk memungkin
pemantauan terus-menerus dari tekanan pengiriman epidural/garam.
Setelah distensi ruang epidural sacral dengan saline normal, kateter
kemudi dengan endoskopi serat secara perlahan dimajukan ke area target. Ruang
epidural dipertahankan distensi dengan saline normal, tetapi tekanan harus
dibatasi untuk meminimalkan resiko perfusi. Volume total garam berkisar antara
50 sampai 250 mL. ketika fibrosis atau adhesi terlihat selama epiduroskopi, ini
dapat dimobilisasi dengan ujung endoskopi. Dianjurkan untuk membatasi durasi
prosedur hingga maksimal 60 menit.

Ringkasan
Tidak ada standar emas untuk diagnosis nyeri radikuler lumbosacral.
• Riwayat dan pemeriksaan klinis merupakan landasan proses diagnostik.
• Jika terdapat gejala kemerahan atau jika pengobatan intervensi sedang
dipertimbangkan, pencitraan medis disarankan dengan sedikit preferensi untuk
MRI.
• Jika pengobatan konservatif gagal:
- pada (sub) nyeri radikuler lumbosakral akut di bawah kadar L3 akibat
herniasi yang tertahan, dianjurkan pemberian kortikosteroid
transforaminal.
- Pada nyeri radikuler lumbosacral kornis, pengobatan PRF pada tingkat
gangion spinal (DRG) dapat dipertimbangkan
- Untuk nyeri radikuler lumbosacral refrakter, adesiolisis dan epuduroskopi
dapat dipertimbangkan, terutama terkait studi
- Pada pasien dengan nyeri radikuler yang resisten terhdap terapi dalam
konteks FBSS, etimulasi medulla spinalis direkomendasikan dalam desain
penelitian.

Referensi:
1. Dionne CE , Dunn KM , Croft PR , et al. A consensus approach toward
the standardization of back pain defi nitions for use in prevalence studies
. Spine. 2008 ; 33 : 95 – 103 .
2. Konstantinou K , Dunn KM. Sciatica: review of epidemiological studies
and prevalence estimates . Spine (Phila Pa 1976) . 2008 ; 33 : 2464 –
2472 .
3. Khoromi S , Patsalides A , Parada S , et al. Topiramate in chronic lumbar
radicular pain . J Pain. 2005 ; 6 : 829 – 836 .
4. Dworkin RH , O ’ Connor AB , Backonja M , et al. Pharmacologic
management of neuropathic pain: evidencebased recommendations .
Pain. 2007 ; 132 : 237 – 251 .
5. Younes M , Bejia I , Aguir Z , et al. Prevalence and risk factors of disk -
related sciatica in an urban population in Tunisia . Joint Bone Spine.
2006 ; 73 : 538 – 542 .
6. Weber H. The natural course of disc herniation . Acta Orthop Scand
Suppl. 1993 ; 251 : 19 – 20 .
7. Peul WC , Brand R , Thomeer RT , Koes BW . Infl uence of gender and
other prognostic factors on outcome of sciatica . Pain. 2008 ; 138 : 180 –
191 .
8. Tarulli AW , Raynor EM. Lumbosacral radiculopathy . Neurol Clin.
2007 ; 25 : 387 – 405 .
9. Murphy DR , Hurwitz EL , Gerrard JK , Clary R . Pain patterns and
descriptions in patients with radicular pain: does the pain necessarily
follow a specifi c dermatome? Chiropr Osteopat. 2009 ; 17 : 9 .
10. Vroomen PC , de Krom MC , Knottnerus JA. Diagnostic value of history
and physical examination in patients suspected of sciatica due to disc
herniation: a systematic review . J Neurol. 1999 ; 246 : 899 – 906 .
11. Deville WL , van der Windt DA , Dzaferagic A , Bezemer PD , Bouter
LM. The test of Lasegue: systematic review of the accuracy in
diagnosing herniated discs . Spine. 2000 ; 25 : 1140 – 1147 .
12. Koes BW , van Tulder MW , Peul WC. Diagnosis and treatment of
sciatica . BMJ. 2007 ; 334 : 1313 – 1317 .
13. Hofstee DJ , Gijtenbeek JM , Hoogland PH , et al. Westeinde sciatica
trial: randomized controlled study of bed rest and physiotherapy for acute
sciatica . J Neurosurg. 2002 ; 96 : 45 – 49 .
14. Jensen MC , Brant - Zawadzki MN , Obuchowski N , et al. Magnetic
resonance imaging of the lumbar spine in people without back pain . N
Engl J Med. 1994 ; 331 : 69 – 73 .
15. Delauche - Cavallier MC , Budet C , Laredo JD , et al. Lumbar disc
herniation. Computed tomography scan changes after conservative
treatment of nerve root compression . Spine. 1992 ; 17 : 927 – 933 .
16. Wiesel SW , Tsourmas N , Feffer HL , Citrin CM , Patronas N . A study
of computer - assisted tomography. I. The incidence of positive CAT
scans in an asymptomatic group of patients . Spine. 1984 ; 9 : 549 – 551 .
17. Maigne JY , Rime B , Deligne B . Computed tomographic follow - up
study of forty - eight cases of nonoperatively treated lumbar
intervertebral disc herniation . Spine. 1992 ; 17 : 1071 – 1074 .
18. Modic MT , Obuchowski NA , Ross JS , et al. Acute low back pain and
radiculopathy: MR imaging fi ndings and their prognostic role and effect
on outcome . Radiology. 2005 ; 237 : 597 – 604 .
19. Modic MT , Ross JS , Obuchowski NA , et al. Contrast - enhanced MR
imaging in acute lumbar radiculopathy: a pilot study of the natural
history . Radiology. 1995 ; 195 : 429 – 435 .
20. Tullberg T , Svanborg E , Isaccsson J , Grane P . A preoperative and
postoperative study of the accuracy and value of electrodiagnosis in
patients with lumbosacral disc herniation . Spine. 1993 ; 18 : 837 – 842 .
21. Wolff AP , Groen GJ , Wilder - Smith OH. Infl uence of needle position
on lumbar segmental nerve root block selectivity . Reg Anesth Pain Med.
2006 ; 31 : 523 – 530 .
22. Xavier AV , Farrell CE , McDanal J , Kissin I. Does antidromic
activation of nociceptors play a role in sciatic radicular pain? Pain. 1990 ;
40 : 77 – 79 .
23. North RB , Kidd DH , Zahurak M , Piantadosi S . Specifi city of
diagnostic nerve blocks: a prospective, randomized study of sciatica due
to lumbosacral spine disease . Pain. 1996 ; 65 : 77 – 85 .
24. Furman MB , Lee TS , Mehta A , Simon JI , Cano WG . Contrast fl ow
selectivity during transforaminal lumbosacral epidural steroid injections .
Pain Physician. 2008 ; 11 : 855 – 861 .
25. Wolff AP , Groen GJ , Crul BJ . Diagnostic lumbosacral segmental nerve
blocks with local anesthetics: a prospective double - blind study on the
variability and interpretation of segmental effects . Reg Anesth Pain
Med. 2001 ; 26 : 147 – 155.
26. Wolff AP , Wilder Smith OH , Crul BJ , van de Heijden MP , Groen GJ.
Lumbar segmental nerve blocks with local anesthetics, pain relief, and
motor function: a prospective double - blind study between lidocaine and
ropivacaine . Anesth Analg. 2004 ; 99 : 496 – 501 , table of contents.
27. Le Bars D . The whole body receptive fi eld of dorsal horn multireceptive
neurones . Brain Res Brain Res Rev. 2002 ; 40 : 29 – 44 .
28. Wolff A , Wilder - Smith O. Diagnosis in patients with chronic radiating
low back pain without overt focal neurological defi - cits: what is the
value of segmental nerve root blocks? Therapy. 2005 ; 2 : 577 – 585 .
29. Luijsterburg PA , Lamers LM , Verhagen AP , et al. Cost - effectiveness
of physical therapy and general practitioner care for sciatica . Spine. 2007
; 32 : 1942 – 1948 .
30. Hagen KB , Jamtvedt G , Hilde G , Winnem MF . The updated cochrane
review of bed rest for low back pain and sciatica . Spine. 2005 ; 30 : 542
– 546 .
31. Amlie E , Weber H , Holme I . Treatment of acute low - back pain with
piroxicam: results of a double - blind placebo - controlled trial . Spine
(Phila Pa 1976) . 1987 ; 12 : 473 – 476
32. Dreiser RL , Le Parc JM , Velicitat P , Lleu PL. Oral meloxicam is
effective in acute sciatica: two randomised, double - blind trials versus
placebo or diclofenac . Infl amm Res. 2001 ; 50 ( suppl 1 ): S17 – S23 .
33. Luijsterburg PA , Verhagen AP , Ostelo RW , et al. Physical therapy plus
general practitioners ’ care versus general practitioners ’ care alone for
sciatica: a randomised clinical trial with a 12 - month follow - up . Eur
Spine J. 2008 ; 17 : 509 – 517 .
34. Atlas SJ , Keller RB , Wu YA , Deyo RA , Singer DE . Long - term
outcomes of surgical and nonsurgical management of lumbar spinal
stenosis: 8 – 10 year results from the maine lumbar spine study . Spine.
2005 ; 30 : 936 – 943 .
35. Weinstein JN , Tosteson TD , Lurie JD , et al. Surgical vs nonoperative
treatment for lumbar disk herniation: the Spine Patient Outcomes
Research Trial (SPORT): a randomized trial . JAMA. 2006 ; 296 : 2441 –
2450 .
36. Peul WC , van Houwelingen HC , van den Hout WB , et al. Surgery
versus prolonged conservative treatment for sciatica . N Engl J Med.
2007 ; 356 : 2245 – 2256 .
37. Gibson JN , Waddell G . Surgical interventions for lumbar disc prolapse:
updated Cochrane Review . Spine. 2007 ; 32 : 1735 – 1747 .
38. Jonsson B , Stromqvist B . Clinical characteristics of recurrent sciatica
after lumbar discectomy . Spine. 1996 ; 21 : 500 – 505 .
39. Postacchini F , Giannicola G , Cinotti G . Recovery of motor defi cits
after microdiscectomy for lumbar disc herniation . J Bone Joint Surg Br.
2002 ; 84 : 1040 – 1045 .
40. CBO . Het Lumbosacrale radiculaire syndroom . In: Toetsing CbvdI , ed.
Consensus Richtlijnen . Utrecht : CBO ; 1996 .
41. Guigui P , Cardinne L , Rillardon L , et al. Per - and postoperative
complications of surgical treatment of lumbar spinal stenosis. Prospective
study of 306 patients . Rev Chir Orthop Reparatrice Appar Mot. 2002 ;
88 : 669 – 677 .
42. Jonsson B , Stromqvist B . Motor affl iction of the L5 nerve root in
lumbar nerve root compression syndromes . Spine. 1995 ; 20 : 2012 –
2015 .
43. Hahne AJ , Ford JJ . Functional restoration for a chronic lumbar disk
extrusion with associated radiculopathy . Phys Ther. 2006 ; 86 : 1668 –
1680 .
44. Finnerup NB , Otto M , McQuay HJ , Jensen TS , Sindrup SH. Algorithm
for neuropathic pain treatment: an evidence based proposal . Pain. 2005 ;
118 : 289 – 305 .
45. Saarto T , Wiffen PJ . Antidepressants for neuropathic pain . Cochrane
Database Syst Rev. 2007 ; 4 : CD005454 .
46. Yildirim K , Kataray S . The effectiveness of gabapentin n patients with
chronic radiculopathy . Pain Clin. 2003 ; 15 : 213 – 218 .
47. Dellemijn PL , van Duijn H , Vanneste JA. Prolonged treatment with
transdermal fentanyl in neuropathic pain . J Pain Symptom Manage. 1998
; 16 : 220 – 229 .
48. Ng L , Chaudhary N , Sell P . The effi cacy of corticosteroids in
periradicular infi ltration for chronic radicular pain: a randomized, double
- blind, controlled trial . Spine. 2005 ; 30 : 857 – 862 .
49. McQuay HJ , Moore RA. Epidural Corticosteroids for Sciatica . Oxford,
New York, Tokyo : Oxford University Press ; 1998 .
50. Koes BW , Scholten RJPM , Mens JMA , Bouter LM. Epidural steroid
injections for low back pain and sciatica: an updated systematic review of
randomized clinical trials . Pain Digest. 1999 ; 9 : 241 – 247 .
51. Chou R , Atlas SJ , Stanos SP , Rosenquist RW . Nonsurgical
interventional therapies for low back pain: a review of the evidence for
an American Pain Society clinical practice guideline . Spine (Phila Pa
1976) . 2009 ; 34 : 1078 – 1093 .
52. Arden NK , Price C , Reading I , et al. A multicentre randomized
controlled trial of epidural corticosteroid injections for sciatica: the
WEST study . Rheumatology (Oxford) . 2005 ; 44 : 1399 – 1406 .
53. Dilke TF , Burry HC , Grahame R . Extradural corticosteroid injection in
management of lumbar nerve root compression . Br Med J. 1973 ; 2 : 635
– 637 .
54. Wilson - MacDonald J , Burt G , Griffi n D , Glynn C. Epidural steroid
injection for nerve root compression. A randomised, controlled trial . J
Bone Joint Surg Br. 2005 ; 87 : 352 – 355 .
55. Carette S , Leclaire R , Marcoux S , et al. Epidural corticosteroid
injections for sciatica due to herniated nucleus pulposus . N Engl J Med.
1997 ; 336 : 1634 – 1640 .
56. Bogduk N. Epidural steroids . Spine. 1995 ; 20 : 845 – 848 .
57. Riew KD , Yin Y , Gilula L , et al. The effect of nerveroot injections on
the need for operative treatment of lumbar radicular pain. A prospective,
randomized, controlled, doubleblind study . J Bone Joint Surg Am. 2000
; 82 - A : 1589 – 1593 .
58. Karppinen J , Malmivaara A , Kurunlahti M , et al. Periradicular infi
ltration for sciatica: a randomized controlled trial . Spine. 2001 ; 26 :
1059 – 1067 .
59. Riew KD , Park JB , Cho YS , et al. Nerve root blocks in the treatment of
lumbar radicular pain. A minimum fi ve - year follow - up . J Bone Joint
Surg Am. 2006 ; 88 : 1722 – 1725 .
60. Vad VB , Bhat AL , Lutz GE , Cammisa F . Transforaminal epidural
steroid injections in lumbosacral radiculopathy: a prospective
randomized study . Spine. 2002 ; 27 : 11 – 16 .
61. Karppinen J , Ohinmaa A , Malmivaara A , et al. Cost effectiveness of
periradicular infi ltration for sciatica: subgroup analysis of a randomized
controlled trial . Spine. 2001 ; 26 : 2587 – 2595 .
62. Ackerman WE , 3rd , Ahmad M. The effi cacy of lumbar epidural steroid
injections in patients with lumbar disc herniations . Anesth Analg. 2007 ;
104 : 1217 – 1222 , tables of contents.
63. Thomas E , Cyteval C , Abiad L , et al. Effi cacy of transforaminal versus
interspinous corticosteroid injectionin discal radiculalgia — a
prospective, randomised, double - blind study . Clin Rheumatol. 2003 ;
22 : 299 – 304 .
64. Geurts JW , van Wijk RM , Wynne HJ , et al. Radiofrequency lesioning
of dorsal root ganglia for chronic lumbosacral radicular pain: a
randomised, double - blind, controlled trial . Lancet. 2003 ; 361 : 21 – 26.
65. Teixeira A , Grandinson M , Sluijter M . Pulsed radiofrequency for
radicular pain due to a herniated intervertebral disc — an initial report .
Pain Prac. 2005 ; 5 : 111 – 115 .
66. Abejon D , Garcia - del - Valle S , Fuentes ML , et al. Pulsed
radiofrequency in lumbar radicular pain: clinical effects in various
etiological groups . Pain Pract. 2007 ; 7 : 21 – 26 .
67. Simopoulos TT , Kraemer J , Nagda JV , Aner M , Bajwa ZH . Response
to pulsed and continuous radiofrequency lesioning of the dorsal root
ganglion and segmental nerves in patients with chronic lumbar radicular
pain . Pain Physician. 2008 ; 11 : 137 – 144 .
68. Heavner JE , Racz GB , Raj P . Percutaneous epidural neuroplasty:
prospective evaluation of 0.9% NaCl versus 10% NaCl with or without
hyaluronidase . Reg Anesth Pain Med. 1999 ; 24 : 202 – 207 .
69. Manchikanti L , Rivera JJ , Pampati V , et al. One day lumbar epidural
adhesiolysis and hypertonic saline neurolysis in treatment of chronic low
back pain: a randomized, doubleblind trial . Pain Physician. 2004 ; 7 :
177 – 186 .
70. Veihelmann A , Devens C , Trouillier H , et al. Epidural neuroplasty
versus physiotherapy to relieve pain in patients with sciatica: a
prospective randomized blinded clinical trial . J Orthop Sci. 2006 ; 11 :
365 – 369 .
71. Manchikanti L , Pakanati R , Bakhit CE , Pampati V . Role of
adhesiolysis and hypertonic saline neurolysis in management of low back
pain. Evaluation of modifi cation of Racz protocol . Pain Digest. 1999 ; 9
: 91 – 96 .
72. Gillespie G , MacKenzie P. Epiduroscopy — a review . Scott Med J.
2004 ; 49 : 79 – 81 .
73. Boswell MV , Trescot AM , Datta S , et al. Interventional techniques:
evidence - based practice guidelines in the management of chronic spinal
pain . Pain Physician. 2007 ; 10 : 7 – 111 .
74. Manchikanti L , Boswell MV , Rivera JJ , et al. [ISRCTN 16558617] A
randomized, controlled trial of spinal endoscopic adhesiolysis in chronic
refractory low back and lower extremity pain . BMC Anesthesiol. 2005 ;
5 : 10 .
75. Dashfi eld AK , Taylor MB , Cleaver JS , Farrow D . Comparison of
caudal steroid epidural with targeted steroid placement during spinal
endoscopy for chronic sciatica: a prospective, randomized, double - blind
trial . Br J Anaesth. 2005 ; 94 : 514 – 519 .
76. Manchikanti L , Pampati V , Bakhit CE , Pakanati RR . Non - endoscopic
and endoscopic adhesiolysis in postlumbar laminectomy syndrome: a one
- year outcome study and cost effectiveness analysis . Pain Physician.
1999 ; 2 : 52 – 58 .
77. Geurts JW , Kallewaard JW , Richardson J , Groen GJ . Targeted
methylprednisolone acetate/hyaluronidase/clonidine injection after
diagnostic epiduroscopy for chronic sciatica: a prospective, 1 - year
follow - up study . Reg Anesth Pain Med. 2002 ; 27 : 343 – 352 .
78. Ruetten S , Meyer O , Godolias G . Endoscopic surgery of the lumbar
epidural space (epiduroscopy): results of therapeutic intervention in 93
patients . Minim Invasive Neurosurg. 2003 ; 46 : 1 – 4 .
79. Igarashi T , Hirabayashi Y , Seo N , et al. Lysis of adhesions and epidural
injection of steroid/local anaesthetic during epiduroscopy potentially
alleviate low back and leg pain in elderly patients with lumbar spinal
stenosis . Br J Anaesth. 2004 ; 93 : 181 – 187 .
80. Raffaeli W , Righetti D . Surgical radio - frequency epiduroscopy
technique (R - ResAblator) and FBSS treatment: preliminary evaluations
. Acta Neurochir Suppl. 2005 ; 92 : 121 – 125 .
81. Sakai T , Aoki H , Hojo M , et al. Adhesiolysis and targeted steroid/ local
anesthetic injection during epiduroscopy alleviates pain and reduces
sensory nerve dysfunction in patients with chronic sciatica . J Anesth.
2008 ; 22 : 242 – 247 .
82. Taylor RS , Van Buyten JP , Buchser E. Spinal cord stimulation for
chronic back and leg pain and failed back surgery syndrome: a systematic
review and analysis of prognostic factors . Spine. 2005 ; 30 : 152 – 160 .
83. Kumar K , Taylor RS , Jacques L , et al. Spinal cord stimulation versus
conventional medical management for neuropathic pain: a multicentre
randomised controlled trial in patients with failed back surgery syndrome
. Pain. 2007 ; 132 : 179 – 188 .
84. Watts RW , Silagy CA . A Meta - Analgysis on the effi cacy of epidural
corticosteroids in the treatment of sciatica . Anaesth Intensive Care. 1995
; 23 : 564 – 569 .
85. Armon C , Argoff CE , Samuels J , Backonja MM . Assessment: use of
epidural steroid injections to treat radicular lumbosacral pain: report of
the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the
American Academy of Neurology . Neurology. 2007 ; 68 : 723 – 729 .
86. Van Zundert J , le Polain de Waroux B. Safety of epidural steroids in
daily practice: evaluation of more than 4,000 administrations . In:
Monitor TI , ed. XX Annual ESRA Meeting . Rome : ESRA ; 2000 : 122.
87. Abram SE , O ’ Connor TC. Complications associated with epidural
steroid injections . Reg Anesth. 1996 ; 21 : 149 – 162 .
88. Houten JK , Errico TJ . Paraplegia after lumbosacral nerve root block:
report of three cases . Spine J. 2002 ; 2 : 70 – 75 .
89. Huntoon MA , Martin DP . Paralysis after transforaminal epidural
injection and previous spinal surgery . Reg Anesth Pain Med. 2004 ; 29 :
494 – 495 .
90. Glaser SE , Falco F . Paraplegia following a thoracolumbar
transforaminal epidural steroid injection . Pain Physician. 2005 ; 8 : 309
– 314 .
91. Somayaji HS , Saifuddin A , Casey AT , Briggs TW . Spinal cord
infarction following therapeutic computed tomography - guided left L2
nerve root injection . Spine (Phila Pa 1976) . 2005 ; 30 : E106 – E108 .
92. Quintero N , Laffont I , Bouhmidi L , et al. Transforaminal epidural
steroid injection and paraplegia: case report and bibliographic review .
Ann Readapt Med Phys. 2006 ; 49 : 242 – 247 .
93. Kennedy DJ , Dreyfuss P , Aprill CN , Bogduk N . Paraplegia following
image - guided transforaminal lumbar spine epidural steroid injection:
two case reports . Pain Med. 2009 ; 10 : 1389 – 1394 .
94. Lyders EM , Morris PP . A case of spinal cord infarction following
lumbar transforaminal epidural steroid injection: MR imaging and
angiographic fi ndings . AJNR Am J Neuroradiol. 2009 ; 30 : 1691 –
1693 .
95. Rathmell JP , Benzon HT . Transforaminal injection of steroids: should
we continue? Reg Anesth Pain Med. 2004 ; 29 : 397 – 399 .
96. Goodman BS , Bayazitoglu M , Mallempati S , Noble BR , Geffen JF .
Dural puncture and subdural injection: a complication of lumbar
transforaminal epidural injections . Pain Physician. 2007 ; 10 : 697 – 705.
97. Finn KP , Case JL . Disk entry: a complication of transforaminal epidural
injection — a case report . Arch Phys Med Rehabil. 2005 ; 86 : 1489 –
1491 .
98. Bilir A , Gulec S . Cauda equina syndrome after epidural steroid
injection: a case report . J Manipulative Physiol Ther. 2006 ; 29 : 492 e1
–3.
99. Young WF. Transient blindness after lumbar epidural steroid injection: a
case report and literature review . Spine. 2002 ; 27 : E476 – E477 .
100. Kabbara A , Rosenberg SK , Untal C . Methicillinresistant
Staphylococcus aureus epidural abscess after transforaminal epidural
steroid injection . Pain Physician. 2004 ; 7 : 269 – 272 .
101. Hooten WM , Mizerak A , Carns PE , Huntoon MA . Discitis after
lumbar epidural corticosteroid injection: a case report and analysis of the
case report literature . Pain Med. 2006 ; 7 : 46 – 51 .
102. Simopoulos TT , Kraemer JJ , Glazer P , Bajwa ZH . Vertebral
osteomyelitis: a potentially catastrophic outcome after lumbar epidural
steroid injection . Pain Physician. 2008 ; 11 : 693 – 697 .
103. Bogduk N. Lumbar transforaminal injections of corticosteroids . In:
Bogduk N , ed. International Spine Intervention Society Practice
Guidelines for Spinal Diagnoses and Treatment . San Francisco, USA :
ISIS ; 2004 .
104. van Kleef M , Spaans F , Dingemans W , et al. Effects and side effects of
a percutaneous thermal lesion of the dorsal root ganglion in patients with
cervical pain syndrome . Pain. 1993 ; 52 : 49 – 53 .
105. Cahana A , Van Zundert J , Macrea L , van Kleef M , Sluijter M. Pulsed
radiofrequency: current clinical and biological literature available . Pain
Med. 2006 ; 7 : 411 – 423 .
106. Sluijter ME , Cosman ER , Rittman IIWB , van Kleef M. The effects of
pulsed radiofrequency fi eld applied to the dorsal root ganglion — a
preliminary report . Pain Clin. 1998 ; 11 : 109 – 117
107. Munglani R. The longer term effect of pulsed radiofrequency for
neuropathic pain . Pain. 1999 ; 80 : 437 – 439 .
108. Pevzner E , David R , Leitner Y , et al. Pulsed radiofrequency treatment
of severe radicular pain . Harefuah. 2005 ; 144 : 178 – 180 , 231 .
109. Ramanavarapu V , Simopoulos TT . Pulsed radiofrequency of lumbar
dorsal root Ganglia for chronic postamputation stump pain . Pain
Physician. 2008 ; 11 : 561 – 566 .
110. Chao SC , Lee HT , Kao TH , et al. Percutaneous pulsed radiofrequency
in the treatment of cervical and lumbar radicular pain . Surg Neurol. 2008
; 70 : 59 – 65 .
111. Talu G , Erdine S . Complications of epidural neuroplasty: a retrospective
evaluation . Neuromodulation. 2003 ; 6 : 237 – 347 .
112. Perkins WJ , Davis DH , Huntoon MA , Horlocker TT . A retained Racz
catheter fragment after epidural neurolysis: implications during magnetic
resonance imaging . Anesth Analg. 2003 ; 96 : 1717 – 1719 , table of
contents.
113. Wagner KJ , Sprenger T , Pecho C , et al. Risks and complications of
epidural neurolysis — a review with case report . Anasthesiol
Intensivmed Notfallmed Schmerzther. 2006 ; 41 : 213 – 222 .
114. Richter H. Is the so - called epidural neuroplasty (Racz catheter) a
harmless procedure? In: Neurochirurgie DGf , ed. Deutsche Gesellschaft
Fur Neurochirurgie . Strasbourg, Germany : Deutsche Gesellschaft fur
Neurochirurgie ; 2005 .
115. Kumar K , Buchser E , Linderoth B , Meglio M , Van Buyten JP.
Avoiding Complications from spinal cord stimulation: practical
recommendations from an international panel of experts .
Neuromodulation. 2007 ; 10 : 24 – 33 .
116. Luijsterburg PA , Verhagen AP , Ostelo RW , et al. Effectiveness of
conservative treatments for the lumbosacral radicular syndrome: a
systematic review . Eur Spine J. 2007 ; 16 : 881 – 899 .
117. Abdi S , Datta S , Trescot AM , et al. Epidural steroids in the
management of chronic spinal pain: a systematic review . Pain Physician.
2007 ; 10 : 185 – 212 .
118. DePalma MJ , Bhargava A , Slipman CW. A critical appraisal of the
evidence for selective nerve root injection in the treatment of
lumbosacral radiculopathy . Arch Phys Med Rehabil. 2005 ; 86 : 1477 –
1483 .
119. Vroomen PC , de Krom MC , Slofstra PD , Knottnerus JA. Conservative
treatment of sciatica: a systematic review . J Spinal Disord. 2000 ; 13 :
463 – 469 .
120. Koes B , Scholten RJ , Mens JMA , Bouter LM . Effi cacy of epidural
steroid injections for low - back pain and sciatica: a systematic review of
randomized clinical trials . Pain. 1995 ; 63 : 279 – 288 .
121. Benzon HT , Chew TL , McCarthy RJ , Benzon HA , Walega DR.
Comparison of the particle sizes of different steroids and the effect of
dilution: a review of the relative neurotoxicities of the steroids .
Anesthesiology. 2007 ; 106 : 331 – 338 .
122. O ’ Donnell C , Cano W , D ’ Eramo G. Comparison of triamcinolone to
dexamethasone in the treatment of low back and leg pain via lumbar
transforaminal epidural steroid injection . In: ISIS , ed. North American
Spine Society 23rd Annual Meeting . Toronto : ISIS ; 2008 .
123. Owlia MB , Salimzadeh A , Alishiri G , Haghighi A . Comparison of two
doses of corticosteroid in epidural steroid injection for lumbar radicular
pain . Singapore Med J. 2007 ; 48 : 241 – 245 .
124. Novak S , Nemeth WC . The basis for recommending repeating epidural
steroid injections for radicular low back pain: a literature review . Arch
Phys Med Rehabil. 2008 ; 89 : 543 – 552 .
125. Waldman SD. Waldman Interventional Pain Management . Philadelphia,
PA : W.B. Saunders ; 2001 .
126. Merrill DG , Rathmell JP , Rowlingson JC . Epidural steroid injections .
Anesth Analg. 2003 ; 96 : 907 – 908 , author reply 8 .
127. Cluff R , Mehio AK , Cohen SP , et al. The technical aspects of epidural
steroid injections: a national survey . Anesth Analg. 2002 ; 95 : 403 –
408 , table of contents.
128. Botwin K , Gruber R , Bouchlas C , et al. Complications of fl
uoroscopically guided transforaminal lumbar epidural injections . Arch
Phys Med Rehabil. 2000 ; 81 : 1045 – 1050 .
129. Lou L , Racz G . Spinal decompressive neuroplasty via the caudal and
cervical approaches . In: Beltrutti D , Benzon HT , Erdine S , et al., eds.
Raj: Textbook of Regional Anesthesia . 1st ed . Philadelphia,
Pennsylvania, US : Churchill Livingstone ; 2002 .
130. Heavner J , Chokhavatia S , Kizelshteyn G . Percutaneous evaluation of
the epidural and subarachnoid space with a fl exible fi berscope . Reg
Anesth. 1991 ; 15 : 85 .
131. Manchikanti L , Pampati V . Role of one day epidural adhesiolysis in
managemnt of chronic low back pain: a radomized clinical trial . Pain
Physician. 2001 ; 4 : 153 – 166 .
12. Nyeri yang Berasal dari Sendi Facet Lumbar

Maarten van Kleef, Pascal Vanelderen, Steven P. Cohen, Arno Lataster, Jan
Van Zundert and Nagy Mekhail

Pendahuluan

Nyeri yang berasal dari sendi facet lumbal (sendi zygapophysial) adalah
penyebab umum nyeri punggung bawah pada populasi orang dewasa. Golthwaite
adalah orang pertama yang menggambarkan sindrom ini pada tahun 1911, dan
Ghormley orang yang diakui menciptakan istilah "sindrom faset" pada tahun 1933.
Nyeri facet didefinisikan sebagai nyeri yang timbul dari setiap struktur yang
merupakan bagian dari sendi faset, termasuk kapsul berserat , membran sinovial, tulang
rawan hialin, dan tulang. 1–3

Tingkat prevalensi yang dilaporkan dari berbagai studi yang berbeda sangat
bervariasi yaitu kurang dari 5% hingga 90%, sangat bergantung pada kriteria
4–11
diagnostik dan metode pemilihan. Berdasarkan informasi dari penelitian yang
dilakukan pada populasi pasien yang dipilih dengan baik, kami memperkirakan
prevalensi berkisar antara 5% dan 15% dari populasi dengan nyeri punggung bawah
aksial. Karena artritis adalah penyebab utama nyeri facetogenic, tingkat prevalensinya
meningkat seiring bertambahnya usia. 16,17

Meskipun beberapa ahli telah menyatakan keraguan tentang validitas dari


"sindrom facet," penelitian yang dilakukan pada pasien dan relawan telah
mengkonfirmasi keberadaannya. 18–23 Dalam kasus yang jarang terjadi, nyeri sendi
facet dapat terjadi akibat peristiwa traumatis tertentu (yaitu, trauma energi tinggi yang
24
terkait dengan kombinasi hiperfleksi, ekstensi, dan distraksi). Lebih umum, ini
adalah hasil dari stres berulang dan / atau trauma tingkat rendah yang terjadi secara
kumulatif. Hal ini menyebabkan peradangan, yang dapat menyebabkan sendi facet
terisi cairan dan bengkak, yang selanjutnya menyebabkan peregangan kapsul sendi dan
timbulnya nyeri. 25 Perubahan inflamasi di sekitar sendi facet juga dapat mengiritasi
saraf tulang belakang melalui penyempitan foraminal, yang menyebabkan linu panggul.
26
Selain itu, Igarashi dkk, menemukan bahwa sitokin inflamasi yang dilepaskan
melalui kapsul sendi ventral pada pasien dengan degenerasi sendi zygapophysial
mungkin sebagian bertanggung jawab atas gejala neuropatik pada individu dengan
stenosis tulang belakang. Faktor predisposisi untuk nyeri sendi zygapophysial
termasuk spondylolisthesis/lysis, penyakit diskus degeneratif, dan usia lanjut. 3

Perawatan nyeri facet adalah kontroversi besar. Pada tahun 1963, Hirsch dkk,
19
adalah kelompok pertama yang mendeskripsikan teknik injeksi sendi faset, dan pada
pertengahan 1970-an, Shealy menerbitkan laporan pertama pengobatan frekuensi radio
(RF) dari sendi zygapophysial di bawah panduan radiografi. 27,28 Karena setiap sendi
facet menerima persarafan ganda dari tingkat yang berdekatan dan kebanyakan
individu memiliki patologi yang bertingkat, beberapa level biasanya memerlukan
perawatan29–31 (Gambar 12.1).

Diagnosa

Sejarah

Sejumlah peneliti telah mencoba untuk menjelaskan entitas klinis dari "nyeri
facetogenic," yang sebagian besar dilakukan melalui provokasi nyeri pada sukarelawan.
21–32–37

Keluhan yang paling sering adalah nyeri punggung bawah aksial. Meskipun
gejala bilateral lebih umum daripada nyeri sendi sakroiliaka, sentralisasi nyeri kurang
dapat memprediksi respons terhadap blok analgesik daripada nyeri diskogenik. 38,39
Kadang-kadang, nyeri dapat terlokalisir pada selangkangan atau paha.21 Nyeri yang
berasal dari sendi faset atas sering menjalar ke daerah panggul, pinggul, dan paha
lateral, sedangkan nyeri dari sendi faset bawah biasanya menjalar ke paha posterior.
Nyeri di bagian distal lutut jarang dikaitkan dengan patologi faset (Gambar 12.2).
Gambar 12.1. Anatomi tulang
belakang lumbar. “Illustration:
Rogier Trompert Medical
Art.www.medical-art.nl.” DRG,
dorsal root ganglion.

Gambar 12.2. Pola rujukan


nyeri pada nyeri lumbal facet
diadaptasi dari McCall et al.
“Ilustrasi: Rogier Trompert
Medical Art. www.medical-
art.nl. ”
Pemeriksaan Fisik

Tidak ada temuan pemeriksaan fisik yang patogenik untuk diagnosis. Karena
nyeri faset berasal dari unsur pergerakan di punggung, pemeriksaan gerak tampaknya
relevan. Dalam serangkaian studi kadaver, Ianuzzi dkk, 40 menentukan bahwa regangan
terbesar pada sendi facet lumbal bawah terjadi selama fleksi dan tekukan secara lateral,
dengan ekstensi yang juga menekan L5 / S1. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa
nyeri yang diperburuk oleh fleksi dan ekstensi menunjukkan patologi yang berasal dari
segmen lumbal terbawah.

Revel adalah orang pertama yang menghubungkan gejala dan tanda


pemeriksaan fisik dengan respons terhadap blok yang dikontrol dengan plasebo.
Kriteria Revel untuk nyeri sendi facet lumbal adalah sebagai berikut: 12,37

• Nyeri tidak bertambah parah dengan batuk.


• Nyeri tidak bertambah parah dengan meluruskan posisi pada gerakan fleksi.
• Nyeri tidak bertambah parah dengan ekstensi-rotasi.
• Nyeri tidak bertambah parah karena hiperekstensi.
• Nyeri membaik pada posisi terlentang

Namun, penelitian sebelumnya dan selanjutnya gagal untuk membenarkan


temuan ini. 41–43 Diakui secara luas bahwa nyeri tekan paravertebral lumbal merupakan
indikasi nyeri facetogenic, yang merupakan klaim yang didukung oleh uji klinis. 44
Baru-baru ini, indikator nyeri faset telah dijelaskan oleh berdasarkan survei panel yang
dilakukan para ahli. 45 Mereka menentukan panel dengan 12 indikator yang membuat
kerangka untuk diagnosis nyeri wajah. Indikator tersebut tidak sejalan dengan
penelitian sebelumnya. 37,44,46

Pemeriksaan Tambahan

Tingkat prevalensi perubahan patologis pada sendi faset pada pemeriksaan


radiologis bergantung pada usia rata-rata subjek, teknik radiologis yang digunakan, dan
definisi "kelainan". Sendi facet degeneratif dapat divisualisasikan dengan baik melalui
pemeriksaan computed tomography (CT). 47

Studi CT yang dilakukan pada pasien dengan nyeri punggung bawah


menunjukkan tingkat prevalensi degenerasi sendi facet berkisar antara 40% dan
80%.10,48 Magnetic resonance imaging mungkin agak kurang sensitif dalam
mendeteksi patologi facet.5,47 Menariknya, jumlah penelitian yang menunjukkan
korelasi positif antara kelainan radiologis dan respons terhadap blok diagnostik secara
kasar setara dengan jumlah yang tidak menunjukkan korelasi. 5–9–12,30,34,35,41–48–50

Diagnosa Banding

Seperti yang ditunjukkan sebelumnya dalam literatur tentang pedoman untuk


keluhan punggung bawah kronis nonspesifik, pemeriksaan radiologis tambahan
mungkin juga diperlukan untuk menyingkirkan apa yang disebut "tanda bahaya" seperti
keganasan, fraktur kompresi, atau infeksi tulang belakang. 16,51

Penyebab lain dari nyeri punggung bawah terutama bagian aksial yang harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding termasuk nyeri diskogenik, patologi sendi
sakroiliaka, cedera ligamen, dan nyeri myofascial. Dalam konteks patologi facet,
artritis inflamasi, seperti rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, gout, psoriatic
arthritis, reactive arthritis, dan spondylarthropathies lainnya, serta osteoarthrosis dan
synovitis, juga harus dipertimbangkan.

Blok Diagnosis

Blok diagnostik paling sering dilakukan dengan panduan radiografi tetapi juga
dapat dilakukan dengan ultrasound. 52,53

Meskipun injeksi intra-artikular dan blok cabang medial (saraf sendi facet)
sering digambarkan sebagai "ekuivalen", hal ini belum dibuktikan dalam desain studi
persilangan komparatif.3 Tak satu pun dari pendekatan ini yang terbukti lebih unggul.20
Baik cabang medial dan blok intra-artikular berhubungan dengan angka positif palsu
dan negatif palsu yang signifikan. Untuk kedua teknik tersebut, rasio positif palsu
paling sering dikutip berkisar antara 15% dan 40%.3 Mengenai angka negatif palsu,
Kaplan dkk menemukan bahwa 11% sukarelawan mempertahankan kemampuan untuk
merasakan distensi kapsul setelah dilakukan blok cabang medial yang tepat, yang
dikaitkan dengan persarafan yang menyimpang. 54 Penyebab lain dari blok negatif palsu
termasuk penempatan jarum yang tidak tepat, kegagalan untuk mendeteksi
pengambilan vaskular, dan ketidakmampuan pasien untuk membedakan dasar dari
nyeri terkait prosedur. 55

Hasil positif palsu dapat dianggap berasal dari beberapa kejadian termasuk
respon plasebo, penggunaan sedasi, dan / atau penggunaan anestesi lokal superfisial
yang berlebihan, yang dapat mengaburkan nyeri myofascial. 56,57 Selain itu, anestesi
lokal dapat menyebar ke struktur penghasil nyeri di sekitarnya. Lebih dari 70 tahun
yang lalu, Kellegren mencatat bahwa 0,5 mL cairan pada injeksi intramuskular
menyebar di area yang mencakup 6 cm2 jaringan, dan ini kemudian dikonfirmasi oleh
Cohen dan Raja. 3,58 Dreyfuss dkk,55 menemukan bahwa penyebaran foraminal epidural
atau intervertebralis terjadi pada 16% blok yang menggunakan titik target tradisional
pada sambungan superior dari prosesus transversus dan prosesus articularis superior.
Mengingat kedekatan ramus lateralis dan intermedius dengan ramus medialis (cabang
medial) dari ramus dorsalis primer, tidak mungkin untuk secara selektif memblokir satu
tanpa memblok yang lain. Selama blok faset intraartikular, kapsul dapat pecah setelah
injeksi 1 sampai 2 mL cairan injeksi dengan hasil penyebaran anestesi lokal ke struktur
penghasil nyeri potensial lainnya.

Mungkin karena keamanan, kesederhanaan, dan nilai prognostiknya, blok


cabang medial diagnostik dilakukan lebih sering daripada injeksi intra-artikular.
Dreyfuss dkk, 55 meneliti posisi jarum yang ideal untuk blok cabang medial diagnostik.
Mereka membandingkan 2 lokasi target yang berbeda; satu dengan ujung jarum
ditempatkan di tepi atas prosesus transversus dan yang lainnya dengan ujung jarum
terletak di tengah antara tepi atas prosesus transversus dan ligamentum
mammilloaccessorium. Para penulis menemukan bahwa posisi target yang lebih rendah
(yaitu, yang terakhir) dikaitkan dengan insiden yang lebih rendah dari penyebaran
suntikan yang tidak disengaja ke saraf segmental dan ruang epidural ketika volume 0,5
mL digunakan. Oleh karena itu, disarankan untuk menggunakan situs target yang lebih
rendah saat melakukan blok cabang medial diagnostik.

Setelah prosedur, pasien diberi buku harian nyeri dengan instruksi untuk
mengurangi ketidaknyamanan terkait prosedur dan melakukan aktivitas normal untuk
memungkinkan penilaian efektivitas yang memadai. Kegagalan untuk membedakan
dengan tepat antara nyeri dasar dan yang terkait dengan prosedur adalah penyebab
umum negatif palsu pada blok.

Secara umum, pengobatan definitif dilakukan jika pasien mengalami


pengurangan nyeri 50% atau lebih yang berlangsung selama durasi kerja anestesi lokal
(misalnya, >30 menit dengan lidokain dan 3 jam dengan bupivakain). Karena
pemblokiran ganda dan komparatif dikaitkan dengan tingkat negatif palsu yang
signifikan dan belum terbukti hemat biaya, paradigma "blok ganda" tidak disarankan
untuk saat ini. 59–61

Pilihan Pengobatan

Manajemen konservatif

Perawatan nyeri facet idealnya harus dilakukan dalam mode multidisiplin dan
termasuk konservatif (pengobatan farmakologis, terapi perilaku kognitif, pengobatan
manual, terapi olahraga dan rehabilitasi, dan, jika perlu, evaluasi psikologis yang lebih
rinci) serta teknik manajemen nyeri intervensi.

Karena tidak ada studi klinis yang mengevaluasi pengobatan farmakologis atau
non-intervensi untuk pasien dengan nyeri sendi facet yang dikonfirmasi dengan injeksi,
seseorang harus mengekstrapolasi dari studi yang telah dilakukan pada pasien dengan
keluhan punggung bawah kronis nonspesifik. Meskipun obat antiinflamasi nonsteroid
sering digunakan, bukti ilmiah yang mendukung penggunaan jangka panjang untuk
keluhan punggung bawah masih sedikit. 51 Antidepresan tampaknya efektif, meskipun
efek pengobatannya kecil. 62 Manipulasi juga bisa efektif, 63,64 meskipun 1 penelitian
menunjukkan tidak ada perbedaan dengan terapi "palsu".65
Manajemen Intervensi

Saat ini, standar emas untuk mengobati nyeri facetogenic adalah pengobatan RF.
Keuntungan utama dari pengobatan RF yang dikendalikan suhu dibandingkan dengan
teknik “neurolitik” yang dikendalikan tegangan dan lainnya adalah bahwa ia
menghasilkan dimensi lesi yang terkontrol dan dapat direproduksi. 66 Perawatan faset
RF juga dapat diulang tanpa kehilangan efektivitas, yang penting karena durasi manfaat
dibatasi oleh kecepatan regenerasi saraf yang tak terhindarkan. 67 Saat ini tidak ada
penelitian acak yang membandingkan pengobatan faset RF dengan suntikan
intraartikular. 3

Suntikan Kortikosteroid Intraartikular

Penggunaan suntikan kortikosteroid intra-artikular pada sendi facet masih


kontroversial. Studi yang tidak terkontrol sebagian besar menunjukkan efek
menguntungkan sementara, tetapi hasil studi terkontrol sebagian besar mengecewakan.
Lilius dkk, 68 melakukan studi acak terbesar yang melibatkan 109 pasien. Mereka tidak
menemukan perbedaan antara suntikan saline intra-artikular volume besar (8 mL),
kortikosteroid intra-artikular, dan anestesi lokal, dan campuran yang sama disuntikkan
di sekitar 2 sendi facet. Dalam studi acak terkontrol, Carette dkk, 69 hanya menemukan
perbedaan kecil antara injeksi saline (10% efek baik) dan depot korticosteroid (22%
efek baik) hingga 6 bulan setelah pengobatan. Satu keadaan dengan uji coba terkontrol
plasebo yang tidak dikenali secara umum adalah bahwa injeksi intra-artikular saline
70
sendiri dapat memberikan manfaat terapeutik. Studi observasi yang melibatkan
anestesi lokal intra-artikular dan kortikosteroid biasanya menunjukkan gejala paliatif
yang berlangsung hingga 3 bulan. 49,71 Berdasarkan literatur, dapat disimpulkan bahwa
suntikan kortikosteroid intra-artikular memiliki nilai yang sangat terbatas dalam
pengobatan pasien yang tidak diskrining dengan dugaan nyeri facetogenic. Namun,
analisis subkelompok telah mengungkapkan bahwa pasien dengan CT scan emisi foton
tunggal positif mungkin lebih mungkin untuk merespons daripada pasien tanpa proses
inflamasi akut. 71,72
Perawatan RF

Perawatan RF sering dilakukan untuk berbagai bentuk nyeri tulang belakang, meskipun
bukti ilmiah untuk intervensi ini masih kontroversial. Studi terkontrol pertama
diterbitkan oleh Gallagher dkk pada tahun 1994. 73 Para penulis memilih 41 pasien
dengan keluhan nyeri punggung bawah kronis yang diterapi dengan beberapa
penghilang rasa sakit untuk injeksi intra-artikular diagnostik dan mengacak mereka
untuk menerima baik “plasebo” ataupun pengobaran RF yang sebenarnya dari ramus
mediales (cabang medial). Kedua kelompok studi kemudian dibagi lagi menjadi pasien
yang memperoleh bantuan "good" dan " equivocal" setelah blok diagnostik. Setelah 6
bulan, perbedaan yang signifikan ditemukan hanya antara subjek perlakuan dan kontrol
yang telah mengalami kemajuan dari blok uji. Dalam studi terkontrol plasebo yang
dirancang dengan baik, Van Kleef dkk,74 menunjukkan hasil yang baik setelah
pengobatan RF berlangsung hingga 12 bulan setelah pengobatan. Leclaire dkk, 75 tidak
menetapkan efek terapeutik untuk pengobatan RF dalam uji coba terkontrol plasebo,
tetapi penelitian ini telah dikritik karena kriteria untuk blok "diagnostik" positif adalah
≥24 jam pereda nyeri setelah infiltrasi lidokain, yang tidak konsisten dengan
farmakokinetika obat. Selain itu, 94% dari pasien yang diskrining dengan nyeri
punggung dipilih untuk berpartisipasi, yang jauh lebih besar daripada prevalensi yang
diduga untuk nyeri facetogenic lumbal (17% hingga 30%) pada kohort ini. Karena
alasan ini, penelitian ini dinilai memiliki kelemahan metodologis utama. Van Wijk dkk,
76
juga tidak menemukan perbedaan antara kelompok perlakuan dan kontrol dalam hal
skor nyeri visual analog scale, penggunaan obat, dan fungsi. Namun, kelompok RF
dalam penelitian ini melaporkan pengurangan keluhan ≥ 50% secara signifikan lebih
sering (62% vs. 39%) dibandingkan mereka yang menerima prosedur placebo.
Akhirnya, dalam uji coba terkontrol plasebo acak terbaru yang dilakukan pada 40
pasien yang memperoleh pereda nyeri yang signifikan setelah 3 blok diagnostik,
peningkatan yang signifikan lebih besar dalam gejala nyeri, perbaikan persepsi secara
global, dan kualitas hidup yang diamati setelah 6 bulan subjek-subjek tersebut
15
dialokasikan untuk pengobatan RF. Dalam 2 studi acak yang membandingkan
pengobatan RF konvensional dan denyut nadi untuk nyeri facetogenic, keduanya
menunjukkan RF konvensional lebih unggul. 77,78

Dari 7 studi terkontrol ini, dapat disimpulkan bahwa pengobatan RF pada sendi
facet dapat memberikan manfaat jangka menengah pada pasien yang dipilih dengan
cermat.

Namun, dalam tinjauan baru-baru ini, nilai intervensi ini dipertanyakan.79


Dalam sebuah surat kepada editor, metodologi tersebut dipertanyakan, dan meta-
analisis dilakukan. Ketika memasukkan 6 uji coba terkontrol secara acak, RF secara
signifikan lebih baik daripada plasebo. Bahkan ketika hanya 2 percobaan tanpa
kekurangan yang dimasukkan, perbedaan yang mendukung pengobatan RF tetap
signifikan. 80

Komplikasi Manajemen Intervensi

Komplikasi Blok Diagnostik

Komplikasi blok diagnostik yang paling umum terjadi adalah akibat aliran anestesi
lokal yang berlebihan ke saraf segmental. Ini dapat menyebabkan parestesia sementara
di kaki dan hilangnya fungsi motorik.

Komplikasi reaksi RF

Komplikasi dan efek samping dari pengobatan RF telah dijelaskan sebelumnya dalam
penelitian retrospektif kecil oleh Kornick dkk. Dari 116 prosedur, 2 komplikasi yang
paling sering terjadi bersifat sementara; nyeri terbakar lokal dan nyeri punggung yang
sembuh sendiri yang berlangsung lebih dari 2 minggu , masing-masing terjadi dengan
frekuensi 2,5% per prosedur. Dalam penelitian ini, tidak ada infeksi, motorik, atau
defisit sensorik baru yang diidentifikasi.

Tidak seperti blok diagnostik, yang, dalam kasus yang jarang, telah dipersulit oleh
infeksi tulang belakang, pengobatan RF tidak pernah dikaitkan dengan komplikasi
infeksi. Ini mungkin karena lesi panas berfungsi sebagai pelindung. 82 Dalam kasus
yang jarang terjadi, luka bakar lokal dan kelemahan motorik telah dilaporkan. 3,83
Pilihan Pengobatan Lainnya

Saat ini tidak ada bukti yang mendukung penggunaan intervensi operatif untuk nyeri
facetogenic yang dikonfirmasi dengan injeksi.3 Meskipun beberapa perangkat telah
digunakan dan dianjurkan untuk fusi sendi facet perkutan, tidak ada yang telah
dievaluasi dalam uji coba yang ketat.

Bukti untuk Manajemen Intervensi

Ringkasan dari bukti yang tersedia disajikan pada Tabel 12.1.

Rekomendasi

Pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronis yang diduga berasal dari sendi facet,
pengobatan RF dari ramus mediales (cabang medial) yang timbul dari ramus dorsales
saraf segmental lumbal dapat direkomendasikan setelah blok diagnostik positif.

Algoritma Praktek Klinis

Algoritma latihan untuk manajemen nyeri lumbal facet diilustrasikan pada Gambar
12.3.

Teknik Asesmen
Injeksi intraartikular 2 B±
Pengobatan frekuensi radio dari rami mediales 1 B+
(cabang medial) dan rami dorsales primer L5
Tabel 12.1. Ringkasan bukti untuk manajemen intervensi nyeri facetogenic lumbal.
Nyeri punggung bawah terlokalisasi dalam durasi> 6
minggu

Adakah tanda bahaya / Red


Flags

Ya

Nyeri pada sendi facet


Nyeri kaki rujukan terbatas di atas lutut kecuali dalam keadaan yang jarang
terjadi; Nyeri bertambah parah dengan ekstensi, fleksi atau rotasi ke arah sisi
ipsilateral

Blok diagnostik menghasilkan pengurangan nyeri Indikatif untuk keluhan


≥50% faset

Ya

Pengobatan frekuensi radio (RF)


ramus medialis (cabang medial)
dan rami dorsales primer L5

Gambar 12.3. Algoritma praktek klinis untuk pengobatan nyeri lumbal facet.

Teknik

Prosedur untuk perawatan RF pada sendi facet lumbal

Ada beberapa cara untuk melakukan pengobatan RF sisi lumbal, dan studi
perbandingan antara teknik yang berbeda masih kurang. Bagian ini menjelaskan hanya
1 teknik. Perawatan RF adalah prosedur yang membutuhkan umpan balik terus
menerus dari pasien selama prosedur. Oleh karena itu, jika obat penenang digunakan,
itu harus cukup ringan untuk memungkinkan percakapan. Pasien ditempatkan dalam
posisi tengkurap di atas meja pemeriksaan. Sebuah bantal ditempatkan di bawah perut
untuk meluruskan lordosis lumbal fisiologis. Pertama, struktur anatomi diidentifikasi
dengan pemeriksaan anterior-posterior. Selanjutnya, C-arm diputar secara aksial untuk
menyelaraskan berkas sinar-X sejajar dengan cakram L4 – L5 untuk menghilangkan
paralaks dari pelat ujung. C-arm kemudian diputar kira-kira 15 ° secara miring ke sisi
ipsilateral sehingga persimpangan antara processus articularis superior dan processus
transversus, titik target tradisional, lebih mudah dijangkau. Beberapa studi praklinis
telah menunjukkan bahwa menempatkan ujung aktif sejajar dengan jalannya saraf
memaksimalkan ukuran lesi.84,85 Oleh karena itu, jika praktisi ingin mengarahkan
elektroda sejajar dengan saraf target dalam pandangan koaksial untuk memfasilitasi
penempatan, intensifier gambar bisa lebih miring ke arah caudad.

Titik injeksi kemudian ditandai di kulit. Target tradisional adalah persimpangan


cephalad antara prosesus artikularis superior dan prosesus transversus. Namun, 1 studi
kadaver dan tinjauan literatur menentukan posisi jarum yang optimal dengan ujung
elektroda terletak di leher lateral prosesus articularis superior.84

Saat memasukkan elektroda, pertama-tama seseorang harus melakukan kontak


dengan prosesus transversus sedekat mungkin dengan prosesus articularis superior.
Setelah menyentuh tulang, jarum dimajukan sedikit ke arah tengkorak sehingga
ujungnya meluncur di atas prosesus transversus (Gambar 12.4). Dalam tampilan
fluoroskopi lateral, ujung elektroda sekarang harus terletak di dasar processus
articularis superior di bidang yang dibentuk oleh apa yang disebut kolom faset di aspek
bawah foramen intervertebrale, kira-kira 1 mm dorsal ke batas posteriornya (Gambar
12.5). Ketika posisi jarum yang tepat dikonfirmasi dalam beberapa tampilan,
impedansinya diperiksa dan arus stimulus sensorik 50 Hz diterapkan. Posisi elektroda
umumnya dianggap memadai jika diperoleh rangsangan yang sesuai pada ≤0,5 V.
Stimulasi motorik pada 2 Hz berfungsi untuk memastikan penempatan jarum yang
benar melalui kontraksi muskulus multifidus dan untuk memastikan tidak adanya
kontraksi otot distal di tungkai, yang mengindikasikan ketidaksesuaian penempatan.
Kontraksi otot lokal di punggung umumnya dapat diamati dan diraba oleh praktisi,
meskipun hal ini tidak selalu dapat dideteksi. Jika diamati gerakan tungkai atau pasien
merasakan kontraksi di tungkai, jarum harus diposisikan ulang. Ketika praktisi yakin
bahwa jarum ditempatkan dengan benar, 0,5 mL anestesi lokal disuntikkan.

Setelah selang waktu singkat di mana anestesi lokal bekerja, lesi ≥67 °
diterapkan setidaknya selama 1 menit. Lokasi saraf dan teknik sama untuk ramus
medialis (cabang medial) saraf L1-L4. Untuk L5, ramus dorsalis itu sendiri yang dapat
menerima lesi, karena ia mengalir di sepanjang persimpangan antara ala dan processus
articularis ossis sacri. Pada level ini, stimulasi 2 Hz tidak selalu menghasilkan kontraksi
muskulus multifidus yang menonjol, namun stimulasi motorik harus dilakukan untuk
mencegah lesi yang tidak disengaja terlalu dekat dengan saraf segmental.

Gambar 12.4. Perawatan frekuensi radio L3, L4,


dan L5 rami / facet punggung, pandangan miring.
Gambar 12.5. Perawatan frekuensi radio L3, L4,
dan L5 rami / facet punggung, tampilan lateral.

Kesimpulan

Nyeri sendi facet lumbal adalah sumber nyeri punggung bawah yang umum
namun kontroversial. Meskipun diagnosis umumnya dibuat dengan ramus medialis
(cabang medial) atau suntikan intra-artikular, keduanya memiliki angka positif palsu
yang tinggi dan, mungkin, angka negatif palsu. Sampai saat ini, superioritas atau
kesetaraan belum ditetapkan dalam studi crossover komparatif. Pada pasien dengan
nyeri sendi zygapophysial yang dikonfirmasi dengan injeksi, intervensi prosedural
dapat dilakukan dalam konteks rejimen pengobatan multidisiplin, multimodal yang
mencakup farmakoterapi, terapi fisik dan olahraga teratur, dan, jika diindikasikan dapat
dilakukan psikoterapi. Saat ini, "gold standard" untuk mengobati nyeri facetogenic
adalah pengobatan RF, meskipun ukuran efeknya sedang, dan durasinya dibatasi
kurang dari satu tahun.

Ringkasan
Tidak ada standar emas untuk membuat diagnosis keluhan punggung bawah
yang berasal dari sendi facet.

Nyeri punggung terlokalisasi unilateral tanpa rujukan radikuler dan nyeri pada
pemeriksaan gerakan bersama dengan nyeri tekanan paravertebral tampaknya
mendukung diagnosis ini.

Namun, diagnosis harus dipastikan dengan blok diagnostik dari sendi facet
yang diduga nyeri. Jika pengobatan ini menghasilkan pengurangan nyeri setidaknya
50%, pindah ke pengobatan RF tampaknya dibenarkan. Jika pengobatan RF
merupakan kontraindikasi, injeksi intra-artikular 1 kali dengan anestesi lokal dapat
dipertimbangkan.

Referensi

1. Goldthwaite J. The lumbosacral articulation: an explanation of many cases of


lumbago, sciatica, and paraplegia. Boston Med Surg J. 1911;365–372.
2. Ghormley R. Low back pain with special reference to the articu- lar facets, with
presentation of an operative procedure. JAMA. 1933;1773–1777.
3. Cohen SP, Raja SN. Pathogenesis, diagnosis, and treatment of lumbar
zygapophysial (facet) joint pain. Anesthesiology. 2007;106:591–614.

4. Long DM, BenDebba M, Torgerson WS, et al. Persistent back pain and sciatica in
the United States: patient characteristics. J Spinal Disord. 1996;9:40–58.
5. Murtagh FR. Computed tomography and fluoroscopy guided anesthe- sia and
steroid injection in facet syndrome. Spine. 1988;13:686–689.
6. Destouet JM, Gilula LA, Murphy WA, Monsees B. Lumbar facet joint injection:
indication, technique, clinical correlation, and preliminary results. Radiology.
1982;145:321–325.
7. Lau LS, Littlejohn GO, Miller MH. Clinical evaluation of intra- articular injections
for lumbar facet joint pain. Med J Aust. 1985;143:563–565.
8. Moran R, O’Connell D, Walsh MG. The diagnostic value of facet joint injections.
Spine. 1988;13:1407–1410.
9. Raymond J, Dumas JM. Intraarticular facet block: diagnostic test or therapeutic
procedure? Radiology. 1984;151:333–336.
10. Carrera GF. Lumbar facet joint injection in low back pain and sciatica: description
of technique. Radiology. 1980;137:661–664.
11. Lewinnek GE, Warfield CA. Facet joint degeneration as a cause of low back pain.
Clin Orthop Relat Res. 1986;213:216–222.
12. Revel ME, Listrat VM, Chevalier XJ, et al. Facet joint block for low back pain:
identifying predictors of a good response. Arch Phys Med Rehabil. 1992;73:824–
828.
13. Dreyfuss P, Halbrook B, Pauza K, Joshi A, McLarty J, Bogduk N. Effi- cacy and
validity of radiofrequency neurotomy for chronic lumbar zygapophysial joint pain.
Spine. 2000;25:1270–1277.
14. Manchikanti L, Boswell MV, Singh V, Pampati V, Damron KS, Beyer CD.
Prevalence of facet joint pain in chronic spinal pain of cervical, thoracic, and
lumbar regions. BMC Musculoskelet Disord. 2004;5:15.
15. Nath S, Nath CA, Pettersson K. Percutaneous lumbar zygapophysial (facet) joint
neurotomy using radiofrequency current, in the man- agement of chronic low back
pain: a randomized double-blind trial. Spine. 2008;33:1291–1297, discussion 8.
16. Hicks GE, Morone N, Weiner DK. Degenerative lumbar disc and facet disease in
older adults: prevalence and clinical correlates. Spine (Phila Pa 1976).
2009;34:1301–1306.
17. Manchikanti L, Manchikanti KN, Cash KA, Singh V, Giordano J. Age- related
prevalence of facet-joint involvement in chronic neck and low back pain. Pain
Physician. 2008;11:67–75.
18. Cavanaugh JM, Ozaktay AC, Yamashita HT, King AI. Lumbar facet pain:
biomechanics, neuroanatomy and neurophysiology. J Biomech. 1996;29:1117–
1129.
19. Hirsch C, Ingelmark BE, Miller M. The anatomical basis for low back pain. Studies
on the presence of sensory nerve endings in ligamen- tous, capsular and
intervertebral disc structures in the human lumbar spine. Acta Orthop Scand.
1963;33:1–17.
20. Marks RC, Houston T, Thulbourne T. Facet joint injection and facet nerve block:
a randomised comparison in 86 patients with chronic low back pain. Pain.
1992;49:325–328.
21. McCall IW, Park WM, O’Brien JP. Induced pain referral from posterior lumbar
elements in normal subjects. Spine. 1979;4: 441–446.
22. Kuslich SD, Ulstrom CL, Michael CJ. The tissue origin of low back pain and
sciatica: a report of pain response to tissue stimulation during operations on the
lumbar spine using local anesthesia. Orthop Clin North Am. 1991;22:181–187.
23. Mooney V, Robertson J. The facet syndrome. Clin Orthop Relat Res.
1976;115:149–156.

24. Song KJ, Lee KB. Bilateral facet dislocation on L4-L5 without neuro- logic deficit.
J Spinal Disord Tech. 2005;18:462–464.
25. Yang KH, King AI. Mechanism of facet load transmission as a hypoth- esis for
low-back pain. Spine. 1984;9:557–565.
26. Igarashi A, Kikuchi S, Konno S. Correlation between inflammatory cytokines
released from the lumbar facet joint tissue and symptoms in degenerative lumbar
spinal disorders. J Orthop Sci. 2007;12: 154–160.
27. Shealy CN. Facet denervation in the management of back and sciatic pain. Clin
Orthop Relat Res. 1976;115:157–164.
28. Shealy CN. Percutaneous radiofrequency denervation of spinal facets.
J Neurosurg. 1975;43:448–451.

29. Bogduk N, Long DM. The anatomy of the so-called “articular nerves” and their
relationship to facet denervation in the treatment of low- back pain. J Neurosurg.
1979;51:172–177.
30. Schwarzer AC, Aprill CN, Derby R, Fortin J, Kine G, Bogduk N. The false-
positive rate of uncontrolled diagnostic blocks of the lumbar zygapophysial
joints. Pain. 1994;58:195–200.
31. Schwarzer AC, Wang SC, Bogduk N, McNaught PJ, Laurent R. Preva- lence and
clinical features of lumbar zygapophysial joint pain: a study in an Australian
population with chronic low back pain. Ann Rheum Dis. 1995;54:100–106.
32. Marks R. Distribution of pain provoked from lumbar facet joints and related
structures during diagnostic spinal infiltration. Pain. 1989;39:37–40.
33. Fukui S, Ohseto K, Shiotani M, Ohno K, Karasawa H, Naganuma Y.
Distribution of referred pain from the lumbar zygapophyseal joints and dorsal
rami. Clin J Pain. 1997;13:303–307.
34. Fairbank JC, Park WM, McCall IW, O’Brien JP. Apophyseal injection of local
anesthetic as a diagnostic aid in primary low-back pain syn- dromes. Spine.
1981;6:598–605.
35. Helbig T, Lee CK. The lumbar facet syndrome. Spine. 1988;13:61–64.
36. Schwarzer AC, Aprill CN, Derby R, Fortin J, Kine G, Bogduk N. The relative
contributions of the disc and zygapophyseal joint in chronic low back pain. Spine.
1994;19:801–806.
37. Revel M, Poiraudeau S, Auleley GR, et al. Capacity of the clinical picture to
characterize low back pain relieved by facet joint anesthe- sia. Proposed criteria to
identify patients with painful facet joints. Spine. 1998;23:1972–1976, discussion 7.
38. Cohen SP. Sacroiliac joint pain: a comprehensive review of anatomy, diagnosis,
and treatment. Anesth Analg. 2005;101: 1440–1453.
39. Laslett M, McDonald B, Aprill CN, Tropp H, Oberg B. Clinical predic- tors of
screening lumbar zygapophyseal joint blocks: development of clinical prediction
rules. Spine J. 2006;6:370–379.
40. Ianuzzi A, Little JS, Chiu JB, Baitner A, Kawchuk G, Khalsa PS. Human lumbar
facet joint capsule strains: I. During physiological motions. Spine J.
2004;4:141–152.
41. Jackson RP, Jacobs RR, Montesano PX. 1988 Volvo award in clinical sciences.
Facet joint injection in low-back pain. A prospective statisti- cal study. Spine.
1988;13:966–971.
42. Schwarzer AC, Aprill CN, Derby R, Fortin J, Kine G, Bogduk N. Clini- cal
features of patients with pain stemming from the lumbar zygapo- physial joints. Is
the lumbar facet syndrome a clinical entity? Spine. 1994;19:1132–1137.
43. Laslett M, Oberg B, Aprill CN, McDonald B. Zygapophysial joint blocks in
chronic low back pain: a test of Revel’s model as a screening test. BMC
Musculoskelet Disord. 2004;5:43.

44. Cohen SP, Hurley RW, Christo PJ, Winkley J, Mohiuddin MM, Sto- janovic MP.
Clinical predictors of success and failure for lumbar facet radiofrequency
denervation. Clin J Pain. 2007;23:45–52.
45. Wilde VE, Ford JJ, McMeeken JM. Indicators of lumbar zygapophy- seal joint pain:
survey of an expert panel with the Delphi technique. Phys Ther. 2007;87:1348–
1361.
46. Cohen SP, Argoff CE, Carragee EJ. Management of low back pain.
BMJ. 2008;337:a2718.

47. Weishaupt D, Zanetti M, Boos N, Hodler J. MR imaging and CT in osteoarthritis


of the lumbar facet joints. Skeletal Radiol. 1999;28: 215–219.
48. Carrera GF, Williams AL. Current concepts in evaluation of the lumbar facet joints.
Crit Rev Diagn Imaging. 1984;21:85–104.
49. Dolan AL, Ryan PJ, Arden NK, et al. The value of SPECT scans in identifying
back pain likely to benefit from facet joint injection. Br J Rheumatol.
1996;35:1269–1273.
50. Schwarzer AC, Wang SC, O’Driscoll D, Harrington T, Bogduk N, Laurent R.
The ability of computed tomography to identify a painful zygapophysial joint in
patients with chronic low back pain. Spine. 1995;20:907–912.
51. Airaksinen O, Brox JI, Cedraschi C, et al. Chapter 4. European guide- lines for the
management of chronic nonspecific low back pain. Eur Spine J. 2006;15(suppl
2):S192–S300.
52. Greher M, Kirchmair L, Enna B, et al. Ultrasound-guided lumbar facet nerve block:
accuracy of a new technique confirmed by com- puted tomography. Anesthesiology.
2004;101:1195–1200.
53. Shim JK, Moon JC, Yoon KB, Kim WO, Yoon DM. Ultrasound-guided lumbar
medial-branch block: a clinical study with fluoroscopy control. Reg Anesth Pain
Med. 2006;31:451–454.
54. Kaplan M, Dreyfuss P, Halbrook B, Bogduk N. The ability of lumbar medial
branch blocks to anesthetize the zygapophysial joint. A physiologic challenge.
Spine (Phila Pa 1976). 1998;23: 1847–1852.
55. Dreyfuss P, Schwarzer AC, Lau P, Bogduk N. Specificity of lumbar medial branch
and L5 dorsal ramus blocks. A computed tomography study. Spine. 1997;22:895–
902.
56. Ackerman WE, Munir MA, Zhang JM, Ghaleb A. Are diagnostic lumbar facet
injections influenced by pain of muscular origin? Pain Pract. 2004;4:286–291.
57. Cohen SP, Larkin TM, Chang AS, Stojanovic MP. The causes of false- positive
medial branch (facet joint) blocks in soldiers and retirees. Mil Med. 2004;169:781–
786.
58. Kellegren J. On the distribution of pain arising from deep somatic structures
with charts of segmental pain areas. Clin Sci. 1939;4: 35–46.
59. Lord SM, Barnsley L, Bogduk N. The utility of comparative local anesthetic blocks
versus placebo-controlled blocks for the diagnosis of cervical zygapophysial joint
pain. Clin J Pain. 1995;11:208–213.
60. O’Neill C, Owens DK. Lumbar facet joint pain: time to hit the reset button. Spine
J. 2009;9:619–622.
61. Bogduk N, Holmes S. Controlled zygapophysial joint blocks: the trav- esty of cost-
effectiveness. Pain Med. 2000;1:24–34.
62. Schnitzer TJ, Ferraro A, Hunsche E, Kong SX. A comprehensive review of clinical
trials on the efficacy and safety of drugs for the treatment of low back pain. J Pain
Symptom Manage. 2004;28:72–95.
63. Andersson GB, Lucente T, Davis AM, Kappler RE, Lipton JA, Leurgans S. A
comparison of osteopathic spinal manipulation with standard care for patients
with low back pain. N Engl J Med. 1999; 341:1426–1431.

64. Giles LG, Muller R. Chronic spinal pain: a randomized clinical trial comparing
medication, acupuncture, and spinal manipulation. Spine. 2003;28:1490–1502,
discussion 502–503.
65. Licciardone JC, Stoll ST, Fulda KG, et al. Osteopathic manipulative treatment for
chronic low back pain: a randomized controlled trial. Spine. 2003;28:1355–1362.
66. Silvers HR. Lumbar percutaneous facet rhizotomy. Spine (Phila Pa 1976).
1990;15:36–40.
67. Schofferman J, Kine G. Effectiveness of repeated radiofrequency neu- rotomy for
lumbar facet pain. Spine. 2004;29:2471–2473.
68. Lilius G, Laasonen EM, Myllynen P, Harilainen A, Salo L. [Lumbar facet joint
syndrome. Significance of nonorganic signs. A randomized placebo-controlled
clinical study]. Rev Chir Orthop Reparatrice Appar Mot. 1989;75:493–500.
69. Carette S, Marcoux S, Truchon R, et al. A controlled trial of corticos- teroid
injections into facet joints for chronic low back pain. N Engl J Med.
1991;325:1002–1007.
70. Egsmose C, Lund B, Bach Andersen R. Hip joint distension in oste- oarthrosis.
A triple-blind controlled study comparing the effect of intra-articular
indoprofen with placebo. Scand J Rheumatol. 1984;13:238–242.
71. Pneumaticos SG, Chatziioannou SN, Hipp JA, Moore WH, Esses SI. Low
back pain: prediction of short-term outcome of facet joint injection with bone
scintigraphy. Radiology. 2006;238: 693–698.
72. Holder LE, Machin JL, Asdourian PL, Links JM, Sexton CC. Planar and high-
resolution SPECT bone imaging in the diagnosis of facet syndrome. J Nucl Med.
1995;36:37–44.
73. Gallagher J, Vadi PLP, Wesley JR. Radiofrequency facet joint denervation in the
treatment of low back pain—a prospective controlled double-blind study to assess
its efficacy. Pain Clinic. 1994;7:193–198.
74. van Kleef M, Barendse GA, Kessels F, Voets HM, Weber WE, de Lange
S. Randomized trial of radiofrequency lumbar facet denervation for chronic low
back pain. Spine. 1999;24:1937–1942.

75. Leclaire R, Fortin L, Lambert R, Bergeron YM, Rossignol M. Radi- ofrequency


facet joint denervation in the treatment of low back pain: a placebo-controlled
clinical trial to assess efficacy. Spine. 2001;26:1411–1416, discussion 7.
76. van Wijk RM, Geurts JW, Wynne HJ, et al. Radiofrequency denerva- tion of
lumbar facet joints in the treatment of chronic low back pain: a randomized, double-
blind, sham lesion-controlled trial. Clin J Pain. 2005;21:335–344.
77. Tekin I, Mirzai H, Ok G, Erbuyun K, Vatansever D. A comparison of
conventional and pulsed radiofrequency denervation in the treat- ment of chronic
facet joint pain. Clin J Pain. 2007;23:524–529.
78. Kroll HR, Kim D, Danic MJ, Sankey SS, Gariwala M, Brown M. A ran- domized,
double-blind, prospective study comparing the efficacy of continuous versus pulsed
radiofrequency in the treatment of lumbar facet syndrome. J Clin Anesth.
2008;20:534–537.
79. Chou R, Atlas SJ, Stanos SP, Rosenquist RW. Nonsurgical interven- tional
therapies for low back pain: a review of the evidence for an American Pain Society
clinical practice guideline. Spine (Phila Pa 1976). 2009;34:1078–1093.
80. Van Zundert J, Vanelderen P, Kessels A. Re: Chou R, Atlas SJ, Stanos SP, et al.
Nonsurgical interventional therapies for low back pain: a review of the evidence
for an American Pain Society clinical practice guideline. Spine (Phila Pa 1976)
2009;34:1078–1093. Spine (Phila Pa 1976) 2010;35:841; author reply 841–842.

81. Kornick C, Kramarich SS, Lamer TJ, Todd Sitzman B. Complica- tions of lumbar
facet radiofrequency denervation. Spine. 2004;29: 1352–1354.
82. Cheng J, Abdi S. Complications of joint, tendon, and muscle injec- tions. Tech Reg
Anesth Pain Manag. 2007;11:141–147.
83. Ogsbury JS 3rd, Simon RH, Lehman RA. Facet “denervation” in the treatment of
low back syndrome. Pain. 1977;3:257–263.

84. Lau P, Mercer S, Govind J, Bogduk N. The surgical anatomy of lumbar medial
branch neurotomy (facet denervation). Pain Med. 2004;5:289–298.
85. Bogduk N, Macintosh J, Marsland A. Technical limitations to the efficacy of
radiofrequency neurotomy for spinal pain. Neurosurgery. 1987;20:529–535.
13. Nyeri Sendi Sakroiliaka
Pascal Vanelderen, Karolina Szadek, Steven P. Cohen, Jan De Witte, Arno
Lataster, Jacob Patijn, Nagy Mekhail, Maarten van Kleef and Jan Van Zundert

Pendahuluan
Sendi sakroiliaka (SI) telah lama dianggap sebagai sumber penting nyeri
punggung bawah karena temuan empiris bahwa pengobatan yang menargetkan SIJ
dapat meredakan nyeri. Asosiasi Internasional untuk Studi Nyeri (IASP) telah
merumuskan kriteria untuk diagnosis nyeri sendi SI.1 Nyeri sendi SI didefinisikan
sebagai nyeri yang terlokalisasi di daerah sendi SI, dapat direproduksi dengan tes stres
dan provokasi sendi SI, dan dapat dihilangkan dengan infiltrasi selektif sendi SI dengan
anestesi lokal. Bergantung pada kriteria diagnostik yang digunakan (pemeriksaan klinis,
blok uji intra-artikular, pencitraan medis), prevalensi nyeri SI yang dilaporkan di antara
pasien dengan nyeri punggung bawah aksial bervariasi antara 16% dan 30% .2–4
Sendi SI adalah sendi sinovial diartrodial. Hanya bagian anterior yang
merupakan sendi sinovial sejati. Bagian posterior merupakan syndesmosis yang terdiri
dari ligamenta sacroiliaca, muskulus gluteus medius dan minimus, dan muskulus
piriformis. Sendi SI tidak dapat berfungsi secara independen karena semua otot ini
berbagi dengan sendi pinggul. Struktur ligamen dan otot yang didukungnya
mempengaruhi stabilitas sendi SI. Sendi SI dipersarafi terutama oleh sacral rami
dorsales.5
Nyeri sendi SI dapat dibagi menjadi penyebab intra-artikular (infeksi, artritis,
spondyloarthropathies, keganasan) dan penyebab ekstra-artikular (enthesopathy,
fraktur, cedera ligamen, dan myofascial). Seringkali, tidak ada penyebab spesifik yang
dapat diidentifikasi. Tekanan geser panggul searah, gaya torsi berulang, dan
peradangan dapat menyebabkan nyeri. Faktor risiko termasuk perbedaan panjang
tungkai, pola gaya berjalan abnormal, trauma, skoliosis, operasi fusi lumbal dengan
fiksasi sakrum, aktivitas fisik yang berat, dan kehamilan. Pada pasien yang menderita
nyeri punggung bawah persisten setelah artrodesis lumbal yang berhasil secara teknis,
tingkat prevalensi antara 32% dan 35% telah dibuktikan melalui blok intra-artikular
diagnostik.9
Diagnosa

Sejarah

Nyeri dari sendi SI umumnya terlokalisasi di daerah gluteal (94%). Nyeri yang dirujuk
juga dapat dirasakan di daerah lumbar bawah (72%), selangkangan (14%), daerah
lumbar atas (6%), atau perut (2%). Nyeri pada tungkai bawah terjadi pada 28% pasien;
12% melaporkan nyeri di kaki12 (Gambar 13.1).

Pemeriksaan Fisik

Manuver provokatif soliter memiliki nilai diagnostik yang kecil. Karena ukuran
dan imobilitas antarmuka SI, diperlukan gaya yang besar untuk menekan sendi
(menyebabkan negatif palsu). Selain itu, jika gaya diberikan secara tidak benar, nyeri
dapat muncul di struktur sekitarnya, sehingga menghasilkan tes positif palsu. Namun,
baik sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan klinis meningkat sebagai fungsi langsung
dari jumlah tes positif. Dua studi menemukan bahwa 3 atau lebih tes provokatif positif
menghasilkan spesifisitas dan sensitivitas masing-masing 79% dan 85%, dan 78% dan
94%.13,14 Hal ini dikonfirmasi oleh meta-analisis, yang menunjukkan bahwa 3 atau
lebih tes stres positif memiliki kekuatan diskriminatif untuk mendiagnosis nyeri sendi
SI.15 Young dkk,16 menemukan korelasi positif antara nyeri sendi SI dan memburuknya
gejala saat bangkit dari posisi duduk, bila gejalanya unilateral, dan dengan 3 tes pro-
vokatif positif.

Tujuh uji klinis paling penting, yang positif saat mereproduksi nyeri khas
pasien, tercantum di bawah ini.

1. Uji kompresi (uji aproksimasi): Pasien berbaring miring dengan sisi yang sakit
menghadap ke atas; pinggul pasien tertekuk 45°, dan lutut tertekuk 90°.
Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meletakkan kedua tangan di sisi depan
crista iliaca dan kemudian menekan medial ke bawah.
2. Distraction test (tes gapping): Pemeriksa berdiri di sisi yang terkena pada pasien
dalam keadaan terlentang dan meletakkan tangannya di atas spinae iliacae
anteriores ipsilateral superior. Pemeriksa kemudian memberikan tekanan ke
arah dorso-lateral.
3. Tanda Patrick (flexion abduction external rotation test): Pasien diposisikan
terlentang dengan pemeriksa berdiri di samping sisi yang terkena. Kaki sisi
yang terkena ditekuk di pinggul dan lutut, dengan kaki diposisikan di bawah
lutut lawan. Tekanan ke bawah kemudian diterapkan ke lutut sisi yang terkena.
4. Tes Gaenslen (tes torsi panggul): Pasien berbaring dalam posisi terlentang
dengan sisi yang terkena di tepi meja pemeriksaan. Kaki yang tidak cedera
ditekuk di kedua pinggul dan lutut, dan tertekuk maksimal sampai lutut
didorong ke perut. Kaki kontralateral (sisi yang terkena) mengalami
hiperekstensi, dan lutut diberi tekanan ringan.
5. Thigh thrust test (posterior shear test): Pasien berbaring dalam posisi terlentang
dengan tungkai yang tidak terpengaruh diluruskan. Pemeriksa berdiri di
samping sisi yang terkena dan melenturkan ekstremitas di pinggul ke sudut
kira-kira 90° dengan sedikit adduksi sambil memberikan tekanan ringan pada
lutut yang tertekuk.
6. Fortin’s finger test: Pasien dapat secara konsisten menunjukkan lokasi nyeri
dengan 1 jari secara inferomedial ke spinae iliacae posteriores superiores.
7. Tes Gillet: Pasien berdiri dengan satu kaki dan menarik kaki lainnya ke dadanya.

Tes Tambahan

Pencitraan medis diindikasikan hanya untuk mengesampingkan apa yang


disebut "tanda bahaya".17 Dalam berbagai penelitian, penggunaan radiografi, computed
tomography (CT), CT emisi foton tunggal, scan tulang, dan teknik pencitraan nuklir
lainnya telah digunakan untuk mengidentifikasi gangguan spesifik pada sendi SI.
Namun, tidak ada korelasi yang secara konsisten ditunjukkan antara temuan pencitraan
dan nyeri sendi SI yang dikonfirmasi dengan injeksi.18 Pencitraan resonansi magnetik
(MRI) tidak memungkinkan evaluasi anatomi normal. Namun, dengan adanya
spondylarthropathy, MRI dapat mendeteksi inflamasi dan kerusakan tulang rawan
meskipun gambaran klinisnya normal.19,20
Blok Diagnostik

Kriteria IASP mengamanatkan bahwa nyeri harus hilang setelah infiltrasi sendi
SI intra-artikular dengan anestesi lokal untuk memastikan diagnosis. Sejumlah penulis
telah menggunakan satu blok diagnostik untuk studi klinis.3,5,12,21 Yang lain
menganjurkan blok diagnostik konfirmatori (ganda) menggunakan 2 anestesi lokal
berbeda yang mengandung durasi kerja berbeda.4,13,14,22-25 Namun, nilai diagnostik
infiltrasi sendi SI dengan anestesi lokal tetap kontroversial mengingat potensi hasil
positif palsu dan negatif palsu. Penyebab potensial dari blok yang tidak akurat termasuk
penyebaran anestesi lokal ke struktur penghasil rasa sakit yang berdekatan (otot,
ligamen, akar saraf), penggunaan anestesi atau sedasi superfisial yang berlebihan, dan
kegagalan untuk mencapai infiltrasi ke seluruh kompleks sendi SI. Penggunaan
fluoroskopi atau pencitraan lain untuk memandu penempatan jarum selama blok sendi
SI sangat dianjurkan; dalam 1 studi, hanya 22% dari blind prosedur yang
mengakibatkan penyebaran injeksi intra-artikular. 26 Injeksi yang dipantau CT berguna
saat sendi SI tidak dapat diakses menggunakan fluoroskopi.27

Diagnosa Banding

• Spondyloarthropathy (ankylosing spondylitis, artritis reaktif, artritis psoriatis).


• Kompresi akar saraf lumbal.
• Nyeri facetogenic.
• Nyeri pinggul.
• Endometriosis.
• Nyeri miofasial.
• Sindrom piriformis.

Pilihan Terapi

Pengobatan nyeri sendi SI paling baik terdiri dari pendekatan multidisiplin dan
harus mencakup konservatif (pengobatan farmakologis, terapi kognitif-perilaku,
pengobatan manual, terapi latihan dan pengobatan rehabilitasi, dan, jika perlu, evaluasi
psikiatri) serta teknik manajemen nyeri intervensi.
Manajemen Konservatif

Perawatan konservatif terutama mengatasi penyebab yang mendasari. Pada


nyeri sendi SI yang dikaitkan dengan gangguan postural dan gaya berjalan, terapi dan
manipulasi olahraga dapat mengurangi nyeri dan meningkatkan mobilitas. Namun,
tidak ada studi terkontrol yang mengevaluasi pasien dengan nyeri sendi SI yang
dikonfirmasi dengan injeksi.28

Ankylosing spondylitis (Morbus Bechterew) adalah gangguan reumatologi


inflamasi yang mempengaruhi kolom vertebral dan sendi SI. Studi terkontrol telah
menunjukkan kemanjuran analgesik untuk agen imunomodulasi pada spondilitis
ankilosa dan spondilartropati lainnya. Namun, tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik
sehubungan dengan kemanjuran spesifiknya pada nyeri sendi SI.28

Manajemen Intervensi

Pasien dengan nyeri sendi SI yang resisten terhadap pengobatan konservatif memenuhi
syarat untuk injeksi intra-artikular atau pengobatan frekuensi radio (RF).

Suntikan Intraartikular

Suntikan sendi SI dengan anestesi lokal dan kortikosteroid dapat memberikan


pereda nyeri yang baik untuk periode hingga 1 tahun. Diasumsikan bahwa injeksi intra-
artikular akan memberikan hasil yang lebih baik daripada infiltrasi peri-artikular.
Namun, infiltrasi peri-artikular terbukti memberikan pereda nyeri yang baik dalam
tindak lanjut jangka pendek dalam 2 studi double-blind,24,25 menunjukkan pentingnya
sumber ekstraartikular dari patologi SI.29-31 Studi terkontrol mendukung pernyataan
bahwa baik suntikan intra dan ekstra artikular mungkin bermanfaat. Luukkainen dkk,30
mengacak 24 pasien untuk menerima kortikosteroid peri-artikular dengan anestesi
lokal (n = 13), atau anestesi lokal dan saline (n = 11). Satu bulan setelah intervensi,
skor nyeri skala analog visual (VAS) menurun secara signifikan pada kelompok
kortikosteroid dibandingkan dengan pasien kontrol. Maugars dkk,32 merawat 13 sendi
SI pada 10 pasien. Kortikosteroid intraartikular disuntikkan ke dalam 6 sendi SI,
sedangkan 7 sendi yang tersisa menerima larutan garam fisiologis. Setelah 1 bulan,
pengurangan nyeri> 70% tercatat pada 5 dari 6 sendi SI yang diobati dengan
kortikosteroid, sedangkan tidak ada manfaat yang dicatat pada kelompok plasebo. Pada
semua pasien kontrol dan 2 pada kelompok perlakuan yang mengalami gejala paliasi
jangka pendek, injeksi kortikosteroid ulang dilakukan. Setelah 1, 3, dan 6 bulan,
pengurangan nyeri yang signifikan diamati pada masing-masing 86%, 62%, dan 58%
pasien.

Perawatan RF pada Sendi SI

Kemanjuran pengobatan RF pada sendi SI diilustrasikan oleh beberapa


33,34
observasi prospektif, studi retrospektif,35-37 dan 1 studi terkontrol secara acak.38
Namun, kriteria pemilihan, definisi keberhasilan, dan parameter RF (yaitu, suhu, durasi,
dan lokasi pengobatan RF) sangat bervariasi antar studi. Gevargez dkk,34 melakukan
pengujian pada tiga lesi 90°C di ligamentum sacroiliacum posterius dan 1 yang
menargetkan L5 ramus dorsalis. Sebaliknya, Ferrante dkk,35 melakukannya pada
beberapa lesi intraartikular bipolar pada suhu 90°C. Cohen dan Abdi,36 melakukan pada
lesi tunggal 80°C pada tingkat L4-L5 rami dorsales dan S1 hingga S3 (atau S4) rami
laterales dari rami dorsales. Yin dkk,37 menerapkan teknik serupa, kecuali bahwa
mereka mengecualikan L4 ramus dorsalis, dan memilih lebih banyak tingkat caudal
berdasarkan stimulasi sensorik yang sesuai. Burnham dan Yasui,33 melakukan lesi strip
RF bipolar di lateral foramen sacrale posterius dan pengobatan RF monopolar pada
tingkat L5 ramus dorsalis. Baru-baru ini, Cohen dkk,39 menyelidiki variabel demografis
dan klinis mana yang dapat digunakan untuk memprediksi hasil pengobatan RF
bersama SI. Dalam analisis multivariat, intensitas nyeri pra-prosedur, usia 65 tahun
atau lebih, dan rujukan nyeri di bawah lutut semuanya merupakan prediktor kegagalan
yang signifikan secara statistik.

Satu studi melaporkan penggunaan terapi pulsed RF (PRF) untuk pengobatan


nyeri sendi SI.40 L4, L5 rami mediales, dan S1, S2 rami laterales dari rami dorsales
menjadi target terapi. Bukti hasil yang baik atau sangat baik (masing-masing> 50% dan
80% penurunan VAS) diperoleh pada 73% pasien. Durasi efek klinis bervariasi dari 6
minggu hingga 32 minggu.
Karena persarafan yang bervariasi dan luas pada sendi dorsal SI, menargetkan
saraf yang menginervasi sendi dengan metode RF “klasik” terkadang sulit. Dalam 2
studi double-blind acak, terkontrol, Dreyfuss dkk,41,42 mendemonstrasikan keunggulan
blok cabang lateral multisite, multi-depth di atas blok single-site, single-depth untuk
membius ligamen sendi SI. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa blok
cabang lateral tidak dapat diandalkan untuk mengganggu informasi nosiseptif yang
berasal dari bagian intra-artikular kompleks sendi SI (yaitu distensi kapsul). Untuk
menghindari variasi anatomi dalam persarafan, beberapa peneliti telah menggunakan
elektroda RF yang didinginkan secara internal, yang meningkatkan area ablatif dengan
meminimalkan efek jaringan charring untuk membatasi perluasan lesi. Pada tahun 2008,
serangkaian kasus retrospektif dan uji coba dipimpin kontrol acak tentang pengobatan
RF yang didinginkan dari sendi SI diterbitkan. Dalam uji coba retrospektif 3 sampai 4
bulan pasca perawatan, peningkatan skor nyeri VAS rata-rata sebesar 2,9 poin dicatat
(7,1 hingga 4,2).43 Delapan belas pasien menilai perbaikan rasa sakit mereka sebagai
perbaikan atau lebih baik, sementara 8 melaporkan perbaikan minimal atau tidak ada
perbaikan. Cohen dkk,38 melakukan studi terkontrol plasebo acak di mana prosedur RF
"klasik" dilakukan pada L4 dan L5 rami dorsales, dan pengobatan RF yang didinginkan
dari S1 ke S3 rami laterales. Pada 1, 3, dan 6 bulan pasca perawatan, 79%, 64%, dan
57% pasien melaporkan pengurangan nyeri ≥50%, pada masing-masing uji. Pada

kelompok plasebo, hanya 14% yang mengalami peningkatan signifikan pada 1 bulan
follow up, dan tidak ada yang mengalami manfaat signifikan dalam 3 bulan pasca
prosedur. Biaya tambahan untuk komponen sekali pakai yang diperlukan untuk
prosedur RF yang didinginkan harus dipertimbangkan, karena di beberapa negara,
tidak ada penggantian untuk prosedur ini.

Komplikasi Manajemen Intervensi

Meskipun komplikasi potensial dari suntikan artikular dan prosedur RF


termasuk infeksi, pembentukan hematoma, kerusakan saraf, trauma pada saraf skiatik,
emboli partikulat gas dan vaskular, kelemahan sekunder akibat ekstravasasi ekstra-
artikular, dan komplikasi yang berkaitan dengan pemberian obat, tingkat komplikasi
yang dilaporkan pada perawatan sendi SI ini rendah.44 Luukkainen dkk,29,30
melaporkan tidak ada komplikasi dari injeksi sendi SI peri-artikular. Untuk injeksi
intra-artikular, Maugars dkk,32 melaporkan hanya anestesi perineum transien yang
berlangsung beberapa jam dan sciatalgia ringan (linu panggul) yang berlangsung
selama 3 minggu, tetapi tidak ada informasi yang diberikan mengenai jumlah pasien
yang melaporkan efek samping ini.

Untuk pengobatan RF pada sendi SI, Cohen dkk, 38 mencatat bahwa mayoritas
dari 28 pasien mengalami nyeri sementara yang memburuk 5 hingga 10 hari setelah
prosedur yang dikaitkan dengan trauma jaringan terkait prosedur dan neuritis
sementara. Dalam studi lanjutan, Cohen dkk, melaporkan 5 komplikasi dari 77 pasien
yang dirawat.39 Ini termasuk 3 kasus paresthesia sementara, 1 infeksi kulit superfisial
yang diselesaikan dengan antibiotik, dan 1 kasus hiperglikemia pada pasien diabetes
yang membutuhkan peningkatan penggunaan insulin untuk 3 hari. Yang terakhir ini
disebabkan oleh kortikoid yang digunakan untuk mencegah neuritis terkait prosedur;
ini adalah praktik yang relatif umum yang, bagaimanapun, tidak didukung oleh hasil
yang lebih baik dalam literatur. Dalam studi mereka mengevaluasi PRF sendi SI,
Vallejo dkk, mengamati tidak ada komplikasi atau perburukan nyeri.40,43 Disestesia
bokong sementara atau hipestesia, dan nyeri sementara yang memburuk juga telah
sering dilaporkan dalam studi lain yang mengevaluasi RF panas.33,34,37

Bukti untuk Manajemen Intervensi

Ringkasan dari bukti yang tersedia untuk pengobatan intervensi nyeri SIJ diberikan
pada Tabel 13.1.

Teknik Assesment
Injeksi intra-artikular terapeutik dengan 1 B+
kortikosteroid dan anestesi lokal
Pengobatan frekuensi radio (RF) untuk 2 C+
rami dorsales dan laterales
Perawatan Pulsed RF untuk rami 2 C+
dorsales dan rami laterales
Perawatan Cooled / RF dari rami 2 B+
laterales
Tabel 13.1. Ringkasan bukti manajemen nyeri intervensi untuk nyeri sendi SI.

Rekomendasi

Pada pasien dengan keluhan punggung bawah aspecific kronis yang mungkin
berasal dari sendi SI, injeksi intra-artikular dengan anestesi lokal dan kortikosteroid
dapat direkomendasikan. Jika yang terakhir gagal atau hanya menghasilkan efek jangka
pendek, perawatan cooled / RF dari cabang lateral S1 hingga S3 (S4) direkomendasikan
jika tersedia. Jika prosedur ini tidak dapat digunakan, prosedur RF (pulsed) yang
ditargetkan pada ramus dorsal L5 dan cabang lateral S1 hingga S3 dapat
dipertimbangkan.

Algoritma Praktek Klinis

Algoritma latihan diilustrasikan pada Gambar 13.2.

Teknik

Teknik Infiltrasi Sendi SI Klasik

• Pasien berbaring dalam posisi tengkurap.


• Pada proyeksi fluoroskopi anterior-posterior (AP), Selanjutnya, C-arm diputar
secara kontralateral sampai garis kortikal medial artikulasi posterior berada dalam
fokus. Memiringkan C-arm secara longitudinal dalam kaitannya dengan pasien
(cephalo-caudally) terkadang dapat membantu dokter membedakan antara
artikulasi anterior dan posterior.
• Tusukan kulit berjarak 1 sampai 2 cm kranial dari tepi bawah sendi SI pada tingkat
zona tembus radiografi maksimal.
• Penetrasi sambungan SI ditandai dengan perubahan resistansi. Ujung jarum sering
tampak agak melengkung antara os sakrum dan os ilium. Pada pandangan lateral,
ujung jarum harus muncul di anterior tepi punggung sakrum.
• Injeksi agen kontras menunjukkan penyebaran di sepanjang artikulasi dan juga
pengisian kapsul sendi ekor. Gunakan hanya 0,25 sampai 0,5 mL zat kontras.
• Jika teknik ini tidak berhasil, mendekati sendi dari titik tusukan yang lebih rostral,
atau menggunakan CT, dapat memfasilitasi penetrasi.

Penempatan jarum diilustrasikan pada Gambar 13.3 dan 13.4.

Gambar 13.3. Injeksi sendi sakroiliaka Gambar 13.4. Injeksi sendi sakroiliaka
intra-artikular dengan kontras pada intra-artikular dengan kontras pada
tampilan anterior-posterior. tampilan anterior-posterior.

Gambar 13.2. Algoritma praktek klinis untuk pengobatan nyeri sendi sakroiliaka (SI).
RF, frekuensi radio.

Nyeri Sendi SI

Adakah tanda “Red Flag”?


Teknik Perawatan RF Sambungan SI

Perawatan RF pada sendi SI dilakukan dengan pencitraan fluoroskopi setelah


blok diagnostik positif. Pasien dibius ringan. C-arm diposisikan sedemikian rupa
sehingga proyeksi sedikit miring (L4 ramus dorsalis), proyeksi AP (L5 ramus dorsalis
dan rami laterales), atau proyeksi cephalo-caudal (S1 hingga S3 rami laterales) tercapai.
Untuk S1, sedikit angulasi miring ipsilateral dapat meningkatkan visualisasi foramina
sacralia posteriora. Kanula SMK-C10 22G dengan ujung aktif 5 mm dimasukkan
sampai terjadi kontak dengan tulang setinggi saraf target. Posisi jarum yang benar
dipastikan dengan elektrostimulasi pada 50 Hz, di mana titik paresthesia harus
dirasakan di area yang nyeri dengan ambang batas <0,5 V. Kanan S1 dan S2 rami
lateral biasanya ditemukan antara "jam 1 dan jam 5" posisi di sisi lateral foramina
sacralia posteriora. Untuk kiri S1 dan S2 rami laterales, lokasi sesuai dengan antara
"jam 7 dan jam 11". Mengingat ukuran lesi kecil yang diciptakan oleh elektroda
konvensional, dan variabilitas yang tersebar luas di lokasi dan jumlah saraf yang
berkumpul di setiap foramina sacralia posteriora, beberapa lesi mungkin diperlukan.
Sebelum melakukan perawatan RF, stimulasi motorik harus dilakukan untuk
memastikan tidak adanya kontraksi tungkai atau sfingter. Jika posisi jarum salah
diperlukan pemosisian ulang. Setelah posisi elektroda yang benar, probe RF
dimasukkan, dan dilakukan perawatan RF 90 detik pada 80°C.36

Teknik lain yang berhasil diimplementasikan menargetkan S1, S2, dan S3 (S4)
rami laterales.45

Coolde RF pada Sendi SI

Perawatan cooled RF pada sendi SI dilakukan setelah blok diagnostik positif.


Pasien dibius ringan. Fluoroskopi C-arm digunakan untuk memvisualisasikan sakrum
dengan pencitraan melalui ruang disk L5 / S1. L5 ramus dorsales dan S1 hingga S3
rami laterales menjadi target. Pengantar dengan stylet dimasukkan ke titik ujung tulang
sakrum posterior. Saat dimasukkan, stylet diperpanjang 6 mm di luar ujung pengantar.
Probe RF, yang kemudian dimasukkan melalui pengantar yang sama, hanya
memanjang 4 mm di luar ujung pengantar. Untuk memaksimalkan pembungkus saraf
rami laterales dari saraf S1 ke S3 (S4), elektroda ditempatkan 8 sampai 10 mm dari tepi
lateral foramina sacralia posteriora, dengan ujung diposisikan kira-kira 2 mm
proksimal ke permukaan (karena Pengantar 2 mm lebih panjang). Dua atau 3 lesi dibuat
di setiap tingkat sakral. Biasanya, lesi ini berjarak sekitar 1 cm satu sama lain,
menciptakan strip jaringan ablated yang terus menerus di lateral setiap foramen sacrale.
Energi RF dikirim selama 2 menit (30 detik per lesi) dengan suhu elektroda target 60°C.
Ramus dorsalis dari saraf L5 ditargetkan dengan cara klasik.

Ringkasan

Sendi SI bertanggung jawab atas 16% hingga 30% keluhan punggung bawah
aksial dan sulit dibedakan dari bentuk nyeri punggung bawah lainnya. Pemeriksaan
klinis dan pencitraan radiologis memiliki nilai diagnostik yang terbatas. Hasil blok
diagnostik harus diinterpretasikan dengan hati-hati, karena hasil positif palsu dan
negatif sering terjadi. Saat ini, sebagian besar bukti ilmiah menunjukkan infiltrasi sendi
SI intra-artikular untuk perbaikan jangka pendek. Jika yang terakhir gagal atau hanya
menghasilkan efek jangka pendek, kombinasi perlakuan cooled RF dan konvensional
dari rami laterales dari S1 ke S3 (S4) direkomendasikan (2 B +) jika tersedia. Jika
prosedur ini tidak dapat digunakan, prosedur RF (pulsed) yang ditargetkan pada L5
ramus dorsalis dan rami laterales dari S1 hingga S3 dapat dipertimbangkan (2 C +).

Referensi

1. Merskey H, Bogduk N. Classification of Chronic Pain: Descriptions of Chronic Pain


Syndromes and Definitions of Pain Terms. 2nd ed. Seattle, WA: IASP Press; 1994.
2. Bernard TN Jr, Kirkaldy-Willis WH. Recognizing specific charac- teristics of
nonspecific low back pain. Clin Orthop Relat Res. 1987; 266–280.
3. Schwarzer AC, Aprill CN, Bogduk N. The sacroiliac joint in chronic low back
pain. Spine. 1995;20:31–37.
4. Maigne JY, Aivaliklis A, Pfefer F. Results of sacroiliac joint double block and value
of sacroiliac pain provocation tests in 54 patients with low back pain. Spine.
1996;21:1889–1892.
5. Fortin JD, Kissling RO, O’Connor BL, Vilensky JA. Sacroiliac joint innervation and
pain. Am J Orthop. 1999;28:687–690.
6. Schuit D, McPoil TG, Mulesa P. Incidence of sacroiliac joint mala- lignment in
leg length discrepancies. J Am Podiatr Med Assoc. 1989;79:380–383.
7. Herzog W, Conway PJ. Gait analysis of sacroiliac joint patients. J Manipulative
Physiol Ther. 1994;17:124–127.
8. Schoenberger M, Hellmich K. Sacroiliac dislocation and scoliosis. Hippokrates.
1964;476–479.
9. Katz V, Schofferman J, Reynolds J. The sacroiliac joint: a potential cause of pain after
lumbar fusion to the sacrum. J Spinal Disord Tech. 2003;16:96–99.
10. Marymont JV, Lynch MA, Henning CE. Exercise-related stress reac- tion of the
sacroiliac joint. An unusual cause of low back pain in ath- letes. Am J Sports Med.
1986;14:320–323.
11. Albert H, Godskesen M, Westergaard J. Prognosis in four syn- dromes of pregnancy-
related pelvic pain. Acta Obstet Gynecol Scand. 2001;80:505–510.
12. Slipman CW, Jackson HB, Lipetz JS, et al. Sacroiliac joint pain referral zones. Arch
Phys Med Rehabil. 2000;81:334–338.
13. Laslett M, Aprill CN, McDonald B, Young SB. Diagnosis of sacroiliac joint pain:
validity of individual provocation tests and composites of tests. Man Ther.
2005;10:207–218.
14. van der Wurff P, Buijs EJ, Groen GJ. A multitest regimen of pain provocation
tests as an aid to reduce unnecessary mini- mally invasive sacroiliac joint
procedures. Arch Phys Med Rehabil. 2006;87:10–14.
15. Szadek KM, van der Wurff P, van Tulder MW, Zuurmond WW, Perez RS.
Diagnostic validity of criteria for sacroiliac joint pain: a system- atic review. J Pain.
2009;10:354–368.
16. Young S, Aprill C, Laslett M. Correlation of clinical examination characteristics with
three sources of chronic low back pain. Spine J. 2003;3:460–465.
17. Bigos S, Bowyer O, Braen G, et al. Acute low back pain problems in adults.
Clinical Practice Guideline No. 14. AHCPR Publication No. 95-0642. Rockville,
MD: Agency for Healthcare Policy and Research, Public Health Service, U.S.
Department of Health and Human Serv- ices; December 1994.
18. Hansen HC, McKenzie-Brown AM, Cohen SP, et al. Sacroiliac joint
interventions: a systematic review. Pain Physician. 2007;10: 165–184.
19. Puhakka KB, Jurik AG, Schiottz-Christensen B, et al. MRI abnormali- ties of
sacroiliac joints in early spondylarthropathy: a 1-year follow- up study. Scand J
Rheumatol. 2004;33:332–338.
20. Puhakka KB, Melsen F, Jurik AG, et al. MR imaging of the normal sacroiliac joint
with correlation to histology. Skeletal Radiol. 2004;33: 15–28.
21. Dreyfuss MD. Practice guidelines and protocols for sacroiliac joint blocks. In:
International Spine Intervention Society, ed. ISIS 9th Annual Scientific Meeting.
San Francisco, CA: ISIS; 2001:35–49.
22. Laslett M, Young SB, Aprill CN, McDonald B. Diagnosing painful sac- roiliac
joints: a validity study of a McKenzie evaluation and sacroiliac provocation tests.
Aust J Physiother. 2003;49:89–97.
23. Maigne JY, Boulahdour H, Chatellier G. Value of quantitative radio- nuclide bone
scanning in the diagnosis of sacroiliac joint syndrome in 32 patients with low back
pain. Eur Spine J. 1998;7:328–331.
24. Manchikanti L, Singh V, Pampati V, et al. Evaluation of the relative contributions
of various structures in chronic low back pain. Pain Physician. 2001;4:308–316.
25. van der Wurff P, Buijs EJ, Groen GJ. Intensity mapping of pain refer- ral areas in
sacroiliac joint pain patients. J Manipulative Physiol Ther. 2006;29:190–195.
26. Rosenberg JM, Quint TJ, de Rosayro AM. Computerized tomographic localization
of clinically-guided sacroiliac joint injections. Clin J Pain. 2000;16:18–21.
27. Bollow M, Braun J, Taupitz M, et al. CT-guided intraarticular corti- costeroid
injection into the sacroiliac joints in patients with spondy- loarthropathy: indication
and follow-up with contrast-enhanced MRI. J Comput Assist Tomogr. 1996;20:512–
521.
28. Cohen SP. Sacroiliac joint pain: a comprehensive review of anatomy, diagnosis, and
treatment. Anesth Analg. 2005;101:1440–1453.
29. Luukkainen R, Nissila M, Asikainen E, et al. Periarticular corticos- teroid treatment
of the sacroiliac joint in patients with seronegative spondylarthropathy. Clin Exp
Rheumatol. 1999;17:88–90.
30. Luukkainen RK, Wennerstrand PV, Kautiainen HH, Sanila MT, Asikainen EL.
Efficacy of periarticular corticosteroid treatment of the sacroiliac joint in non-
spondylarthropathic patients with chronic low back pain in the region of the
sacroiliac joint. Clin Exp Rheumatol. 2002;20:52–54.
31. Borowsky CD, Fagen G. Sources of sacroiliac region pain: insights gained from a
study comparing standard intraarticular injection with a technique combining intra-
and peri-articular injection. Arch Phys Med Rehabil. 2008;89:2048–2056.
32. Maugars Y, Mathis C, Berthelot JM, Charlier C, Prost A. Assessment of the
efficacy of sacroiliac corticosteroid injections in spondylar- thropathies: a double-
blind study. Br J Rheumatol. 1996;35:767–770.
33. Burnham RS, Yasui Y. An alternate method of radiofrequency neu- rotomy of the
sacroiliac joint: a pilot study of the effect on pain, func- tion, and satisfaction. Reg
Anesth Pain Med. 2007;32:12–19.
34. Gevargez A, Groenemeyer D, Schirp S, Braun M. CT-guided percuta- neous
radiofrequency denervation of the sacroiliac joint. Eur Radiol. 2002;12:1360–1365.
35. Ferrante FM, King LF, Rochë EA, et al. Radiofrequency sacroiliac joint denervation
for sacroiliac syndrome. Reg Anesth Pain Med. 2001;26:137–142.
36. Cohen SP, Abdi S. Lateral branch blocks as a treatment for sacroiliac joint pain: a
pilot study. Reg Anesth Pain Med. 2003;28 :113–119.
37. Yin W, Willard F, Carreiro J, Dreyfuss P. Sensory stimulation- guided sacroiliac
joint radiofrequency neurotomy: technique based on neuroanatomy of the dorsal
sacral plexus. Spine. 2003;28: 2419–2425.

38. Cohen SP, Hurley RW, Buckenmaier CC 3rd, et al. Randomized placebo-
controlled study evaluating lateral branch radiofrequency denervation for
sacroiliac joint pain. Anesthesiology. 2008;109: 279–288.
39. Cohen SP, Strassels SA, Kurihara C, et al. Outcome predictors for sac- roiliac
joint (lateral branch) radiofrequency denervation. Reg Anesth Pain Med.
2009;34:206–214.
40. Vallejo R, Benyamin RM, Kramer J, Stanton G, Joseph NJ. Pulsed
radiofrequency denervation for the treatment of sacroiliac joint syn- drome.
Pain Med. 2006;7:429–434.
41. Dreyfuss P, Snyder BD, Park K, et al. The ability of single site, single depth
sacral lateral branch blocks to anesthetize the sacroiliac joint complex. Pain
Med. 2008;9:844–850.
42. Dreyfuss P, Henning T, Malladi N, Goldstein B, Bogduk N. The ability of
multi-site, multi-depth sacral lateral branch blocks to anesthetize the sacroiliac
joint complex. Pain Med. 2009;10:679–688.
43. Kapural L, Nageeb F, Kapural M, et al. Cooled radiofrequency system for the
treatment of chronic pain from sacroiliitis: the first case-series. Pain Pract.
2008;8:348–354.
44. Manchikanti L, Boswell MV, Singh V, et al. Comprehensive evidence- based
guidelines for interventional techniques in the management of chronic spinal
pain. Pain Physician. 2009;12:699–802.
45. Buijs EJ, Kamphuis E, Groen GJ. Radiofrequency treatment of sac- roiliac
joint-related pain aimed at the first three sacral dorsal rami: a minimal
approach. Pain Clin. 2004;16:139–146.
LOW BACK PAIN DISKOGENIK
Jan Willem Kallewaard , Michel A. M. B. Terheggen , Gerbrand J. Groen ,
Menno E. Sluijter , Richard Derby , Leonardo Kapural , Nagy Mekhailand
Maarten van Kleef

PENDAHULUAN
Setiap tahun, banyak orang menjadi cacat akibat keluhan sakit punggung.
Sakit punggung adalah penyakit multifaktorial. Sekitar 45% dari kasus, nyeri
punggung bawah tampaknya berasal dari diskogenik. Sendi sakroiliaka atau sendi
facet diindikasikan sebagai penyebab nyeri masing-masing pada 13% dan 15%
hingga 40% kasus. Lebih lanjut, dalam praktik klinis, seringkali, lebih dari satu
penyebab dapat ditemukan secara bersamaan yang mungkin dianggap
bertanggung jawab atas rasa sakit yang dirasakan pasien. Nyeri diskogenik
menunjukkan gejala klinis yang sama dengan nyeri radikuler lumbosakral yang
ditandai dengan nyeri yang menjalar pada satu atau lebih dermatom lumbal atau
sakral dengan atau tanpa defisiensi neurologis. Herniasi diskus pada pasien di
bawah usia 50 tahun dan degenerasi tulang belakang pada pasien yang lebih tua
sering dikaitkan dengan nyeri punggung bawah kronis. Perkembangan teknik
intervensi untuk mengobati nyeri diskogenik telah merangsang penyempurnaan
prosedur diagnostik dengan spesifitas dan sensitivitas yang tinggi, untuk
mengkonfirmasi atau menyangkal hipotesis bahwa nyeri pasien terutama
disebabkan oleh nyeri diskus intervertebralis yang terganggu secara internal.

Anatomi Diskus Intervertebralis


Diskus intervertebralis terdiri dari nucleus pulposus (NP), annulus fibrosus
(AF), dan vertebral end-plates (VE). Vertebra corpora terletak di atas dan di
bawah cakram. Di sisi posterior, cakram didukung oleh dua sendi faset. Bersama-
sama, sendi penahan beban memberikan dukungan dan stabilitas, terutama dengan
membatasi pergerakan tulang belakang ke segala arah. Diskus yang sehat bersifat
avaskular, dan nutrisinya bergantung pada difusi melalui AF dan VE. Nukleus
pulposus sendiri tidak memiliki suplai darah.
Pasokan Saraf
Pasokan saraf diskus intervertebralis sangat kompleks. Terjadi persarafan
sensorik dari diskus intervertebralis melalui cabang simpatikus trunkus. Lingkar
punggung AF dipersarafi melalui cabang nervi sinuvertebrales (atau recurrentes
meningei) (Gambar 15.1), yang berasal dari rami Communicantes. Saraf
sinuvertebralis berjalan ke ventral ke akar saraf, kembali ke canalis spinalis, di
mana kemudian membelah menjadi cabang-cabang yang lebih halus, yang
membentuk jaringan saraf — satu di ligamentum longitudinale posterius (LLP)
dan yang lainnya di dura ventral. Pleksus saraf dicirikan oleh banyak koneksi kiri-
kanan dan banyak koneksi kranio-ekor. Akhirnya, diskus intervertebralis posterior
dan vertebra korpus dipersarafi melalui jaringan saraf ini di LLP. Akun yang sama
untuk dura ventral. Ligamentum longitudinale anterius (LLA) juga mengandung
jaringan saraf dengan banyak koneksi saraf bercabang kiri-kanan dan tinggi-
rendah. Ini dibentuk oleh cabang dari simpatisan trunci dari kedua sisi. Sisi
ventral dan lateral diskus intervertebralis disuplai oleh cabang komunikan rami,
cabang langsung dari truncus simpatis, dan oleh pleksus saraf LLA 4 (Gambar
15.1).
Karena banyak serat aferen dari diskus intervertebralis berjalan bersama
dengan nervi sympathici, beberapa peneliti telah berusaha untuk membuktikan
diskus tersebut memiliki persarafan simpatis dan bahwa kedua jaringan saraf
terdiri dari saraf yang saling berhubungan dengan cabang somatik dan otonom
dari berbagai saraf tulang belakang lumbar. Asumsi ini didukung oleh Suseki et
al. dan secara tidak langsung didukung oleh RCT baru-baru ini yang menunjukkan
pereda nyeri setelah lesi frekuensi radio (RF) pada rami komunikan.
Gambar 15.1. Gambar skematis dari persarafan lumbosakral.
* Koneksi ke pleksus saraf dural. Ilustrasi: Seni Kedokteran Rogier Trompert.

Signifikansi Pola Persarafan Ini


Pengamatan koneksi kiri-kanan dan kranio-kaudal di pleksus saraf ini
lebih lanjut menunjukkan bahwa gangguan lateral, di mana rangsangan nosiseptif
mencapai sumsum tulang belakang melalui nervi sinuvertebrales dari sisi lain,
dapat menyebabkan nyeri di sisi yang kontralateral dari asalnya. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa pasien mengeluh tentang nyeri di sisi kiri pada satu waktu
dan di lain waktu tentang nyeri di sisi kanan. Implikasi lain adalah bahwa
sebagian besar struktur tulang belakang, termasuk intervertebralis diskus
dipersarafi secara multisegmental. Melalui mekanisme nyeri rujukan somatik
dalam, pola persarafan ini menyebabkan tumpang tindih dalam distribusi area
nyeri rujukan dari struktur yang berdekatan. Akibatnya, proyeksi nyeri tidak
selalu dapat diandalkan untuk menentukan sumber nyeri.
Akhirnya, jika intervertebralis disci manusia menerima signifikan
serat aferen melalui jalur simpatis, mungkin badan selnya
terutama terletak di ganglia spinalia (ganglia akar dorsal, DRGs)
dari saraf C8 - L2, yaitu, tingkat di mana serabut saraf simpatis meninggalkan
sumsum tulang belakang. Meskipun belum terbukti kebenarannya, beberapa
peneliti telah menggunakan hipotesis ini untuk mendapatkan blok spesifik pada
nervus spinalis L2 untuk nyeri diskogenik lumbal rendah.

DIAGNOSA
Riwayat
Tidak ada karakteristik khusus dalam riwayat pasien yang mengkonfirmasi
atau menyangkal diagnosis nyeri punggung bawah diskogenik. Fitur yang lebih
khas termasuk nyeri punggung bawah, pangkal paha dan / atau tungkai yang
persisten dan nosiseptif yang memburuk dengan pembebanan aksial dan membaik
dengan posisi berbaring. Pasien mungkin pernah mengalami episode nyeri akut
dan intens sebelumnya yang disebabkan oleh robekan akut di bagian terdalam AF
(walaupun tidak ada bukti ilmiah tentang hal ini).
Nyeri punggung bawah diskogenik sering terlokalisasi secara medial di
punggung, dan pola rujukan yang lebih rinci dilaporkan oleh Ohnmeiss et al.
selama diskografi provokatif. 9,10 Nyeri diskogenik yang berasal dari tingkat L3 /
L4 biasanya menjalar ke sisi depan (anterior) paha, L4 / L5 ke luar (lateral) paha,
dan kadang-kadang ke belakang (posterior) paha, dan L5 / S1 biasanya
menyebabkan nyeri di bagian belakang paha.

Pemeriksaan Fisik
Tidak ada ciri khas nyeri diskogenik pada pemeriksaan fisik. Penegakan
biphasic dari fl exion dianggap oleh beberapa orang sebagai indikasi keluhan
diskus. Nyeri akibat tekanan pada prosesus spinosus dianggap sebagai
karakteristik nyeri punggung bawah diskogenik (“Federung”). Vanharanta
menggambarkan nyeri yang menjalar dari disk karena provokasi dengan garpu
tala ditekan pada prosesus spinosus segmen yang terkena. Meskipun sugestif,
karakteristik pemeriksaan fisik ini belum divalidasi, dan standar kriteria saat ini
untuk memastikan diagnosis klinis nyeri diskogenik adalah diskogram positif dan
menunjukkan robekan AF Grade 3.
Pemeriksaan Tambahan
Teknik pencitraan seperti CT dan MRI adalah cara yang sangat efektif
untuk menunjukkan kelainan anatomi rinci pada kolom vertebral. Teknik
pencitraan ini terbatas karena hanya indikasi yang dapat diberikan untuk penyebab
nyeri. Baru-baru ini, keberadaan zona intensitas tinggi (HIZ) telah dikorelasikan
dengan adanya nyeri diskogenik pada tingkat tersebut. HIZ mungkin merupakan
indikasi robekan AF yang meluas ke sepertiga bagian luar AF. HIZ mungkin
disebabkan oleh adanya sitokin inflamasi. Studi konflik juga dapat ditemukan
dalam literatur tentang subjek ini. Di satu sisi, sebuah studi yang dilakukan oleh
Wolfer dan Derby menunjukkan korelasi 80% antara HIZ dan nyeri diskogenik.
Carragee, di sisi lain, mengklaim bahwa HIZ ini secara teratur terjadi pada pasien
kontrol tanpa gejala juga. Terlepas dari kemunculan reguler literatur yang saling
bertentangan, terutama antara kelompok Carragee dan Derby, diskografi
provokatif tetap menjadi standar emas untuk diagnosis nyeri diskogenik.
Meskipun citra MRI sangat membantu dalam memvisualisasikan patologi seperti
degenerasi dan pengeringan diskus, HIZs, dan hilangnya ketinggian disk, hasil
umumnya berkorelasi buruk dengan temuan klinis, sehingga membuka pertanyaan
kritis tentang kausalitas. Sampai saat ini, diskografi provokasi adalah satu-satunya
metode yang tersedia untuk menghubungkan kelainan morfologi yang terlihat
pada MRI dengan nyeri yang diamati secara klinis, dan nilai prediktifnya telah
berulang kali dipertanyakan, terutama sebagai hasil dari angka positif palsu yang
dilaporkan.

Patofisiologi nyeri diskogenik dan diskografi


Pada diskus intervertebralis normal, saraf sensorik menginervasi sepertiga
terluar dari AF. Dalam disk yang merosot, persarafan ini lebih dalam dan lebih
luas; beberapa serat bahkan menembus NP. Sekarang, ini juga merupakan fakta
yang diterima bahwa diskus dapat menjadi sumber nyeri punggung bawah yang
sering dan signifikan. Setiap diskus memiliki NP yang dikelilingi oleh struktur
serat, AF. Sebagai akibat dari penuaan, postur punggung yang tidak normal, atau
cedera, diskus intervertebralis dapat menjadi lebih lemah, dan celah serta robekan
dapat timbul pada AF (Gambar 15.2). Robekan ini dapat menyebabkan nyeri
kronis jika robekan pada AF meluas hingga sepertiga terluar.

Gambar 15.2. Diskus intervertebralis dengan robekan dan celah di anulus


fibrosus. Ilustrasi: Seni Kedokteran Rogier Trompert.

Berdasarkan studi CT-discography, robekan AF menjadi lebih sering


diimplikasikan sebagai dasar nyeri diskogenik. Penekanannya lebih pada luas dan
dimensi robekan annular daripada pada degenerasi cakram. Sachs dkk. 25
mengembangkan "Skala Diskogram Dallas," skala 4 poin yang menentukan
derajat degenerasi disk. Grade 0 menunjukkan disk di mana agen kontras tetap
seluruhnya di NP. Tingkat 1 hingga 3 menunjukkan robekan di mana agen kontras
meluas ke bagian paling dalam, tengah, dan paling luar, masing-masing, dari AF.
Kemudian, Grade 4 ditambahkan; gambar Tingkat 4 telah meluas menjadi
sobekan berbentuk busur di luar atau di cincin paling dalam dari AF (Gambar
15.3).
Gambar 15.3. Gradasi gambar radial terlihat pada diskografi CT. Ilustrasi: Seni
Kedokteran Rogier Trompert.

Selanjutnya, Vanharanta 26 mendemonstrasikan hubungan antara


perluasan robekan di AF dan reproduksi nyeri selama diskografi. Nilai 0 dan 1
hampir tidak pernah menyakitkan. Pada ruptur annular Tingkat 3, lebih dari 75%
diskografi disertai dengan nyeri yang sama persis. Di sisi lain, telah ditunjukkan
bahwa pada reproduksi nyeri selama diskografi, 77% intervertebralis diski
memiliki morfologi internal dengan ruptur derajat 3. Nyeri konkordan ini juga
muncul sebentar-sebentar pada ruptur Tingkat 2.

Perubahan Kimiawi
Ada dua jenis perubahan kimiawi yang terjadi pada cakram degeneratif.
Pertama, fraktur pada endplate vertebra dapat menyebabkan introduksi sitokin
inflamasi di NP. Respon peradangan ini mengubah keseimbangan nutrisi halus di
NP, mengakibatkan berkurangnya difusi oksigen, peningkatan konsentrasi laktat
lokal, dan penurunan pH di dalam cakram. Dalam beberapa kasus, sitokin itu
sendiri dapat menjadi sumber nyeri, dan ruptur annular luar dapat memfasilitasi
“kebocoran” mediator inflamasi ini ke struktur epidural yang berdekatan seperti
ligamentum longitudinale posterius, dura, dan ganglion spinale (ganglion akar
dorsal). , DRG). Pertumbuhan nosiseptor yang masuk ke dalam lapisan yang lebih
dalam dari cakram dapat membuatnya peka terhadap beban mekanis normal.
Selain itu, iritasi pada ujung saraf di VE dapat menimbulkan nyeri. Semua atau
beberapa mekanisme ini dapat menyebabkan disk peka "secara kimiawi atau
mekanis".

Diskografi Lumbal
Definisi
Stimulasi diskus intervertebralis adalah prosedur yang dikembangkan
untuk meyakinkan atau menyangkal hipotesis klinis nyeri punggung bawah
diskogenik. Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan jarum ke NP disk target
dan menyuntikkan zat kontras (atau media lain yang sesuai) untuk menguji
sensitivitas disk untuk meningkatkan tekanan distensi secara bertahap.
Stimulasi diskus merupakan sebutan yang lebih tepat untuk suatu prosedur
yang hingga saat ini sering digambarkan sebagai diskografi (provokatif).
Diskografi adalah prosedur di mana agen kontras dimasukkan ke dalam
NP disk dengan tujuan untuk mendeskripsikan morfologi disk tersebut.
Diskografi dengan demikian berbeda dari stimulasi diskus - prosedur di
mana perhatian difokuskan pada reaksi pasien. Stimulasi diskus biasanya diikuti
dengan diskografi untuk memverifikasi posisi jarum yang benar atau untuk
menjelaskan morfologi internal disk. Kombinasi dari definisi ini bisa disebut
diskografi provokatif.

Pemilihan Pasien
Pasien yang cocok untuk prosedur ini adalah pasien dengan nyeri
punggung bawah kronis, dengan atau tanpa rujukan pseudo-radikuler, yang
berlangsung lebih dari 3 bulan dan tidak bereaksi terhadap pengobatan, stimulasi
saraf listrik transkutan (TENS) dan tindakan konservatif lainnya, dan untuk
dimana perawatan invasif minimal pada sendi facet dan sendi sakroiliaka tidak
terbukti efektif atau tidak cukup efektif. Penerapan prosedur diskografi hanya
disarankan sebagai persiapan untuk kemungkinan pengobatan intervensi yang
bertujuan untuk mengurangi nyeri diskogenik. X-ray dan MRI tulang belakang
lumbal harus dilakukan tidak lebih awal dari 6 bulan sebelum prosedur.

Kontraindikasi
Absolut
• tidak adanya informed consent untuk diskografi (atau perawatan
interventional lainnya);
• infeksi lokal;
• kehamilan;
• infeksi lokal di tempat suntikan; dan
• infeksi sistemik
Relatif
• alergi terhadap zat kontras, anestesi lokal, atau antibiotik;
• kecenderungan yang meningkat terhadap perdarahan; dan
• penggunaan antikoagulan.

Prosedur
Diskografi provokatif dilakukan di ruang operasi dalam kondisi steril yang
ketat. Tiga puluh menit sebelum intervensi, pasien diberikan antibiotik hazolin
intravena, i.v.). Banyak ahli intervensi juga mencampurkan antibiotik dalam
kontras yang disuntikkan secara intradisk pada konsentrasi antara 1 dan 10 mg /
mL (misalnya, 3 mg / mL sefazolin). Pemberian antibiotik untuk pencegahan
diskitis masih diperdebatkan. Dalam ulasan mereka, Willems et al. menunjukkan
bahwa efek samping antibiotik (reaksi alergi) bahkan lebih besar daripada manfaat
potensial dan tidak menyarankan pemberian antibiotik. Namun saat ini, ada
konsensus internasional untuk memberikan antibiotik periprosedural sebagai
bagian dari prosedur diskografi. Kondisi terpenting untuk pencegahan diskitis
adalah ketaatan pada teknik steril yang ketat.

Posisi
Di ruang operasi, pasien berbaring pada posisi tengkurap di meja
permeabel sinar-X.
Sterilisasi
Kulit punggung bawah dan daerah gluteal benar-benar terinfeksi. Operator
dan asisten harus mencuci tangan sesuai dengan protokol lokal rumah sakit, dan
harus mengenakan pakaian pelindung (topi bedah, jaket bedah, dan sarung tangan
steril). Setelah titik injeksi ditandai, pasien ditutup dengan tirai steril. Hal yang
sama harus dilakukan dengan lengan C. Karena rotasi terbatas dari C-arm, maka
harus ditempatkan di sisi pasien dimana jarum akan dimasukkan.

Penentuan Tingkatan
Tingkat yang akan diperiksa dipilih berdasarkan kombinasi riwayat pasien,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan. Tingkat gejala dan dua tingkat
yang berdekatan diperiksa. Sampai saat ini, satu atau dua intervertebralis diski
yang berdekatan berfungsi sebagai tingkat kontrol, meskipun bukti terbaru 28
menunjukkan peningkatan 20% dalam perubahan degeneratif jangka panjang pada
sisi tusukan jarum dapat menghalangi tusukan jarum pada MRI disk yang normal
- muncul untuk tujuan tunggal dari tingkat kontrol. Biasanya, tingkat asimtomatik
yang paling sedikit merosot atau lebih mungkin dipelajari terlebih dahulu. Pasien
harus dibutakan terhadap level diskus dan tidak boleh menyadari dimulainya
stimulasi diskus. Pasien sebaiknya hanya dibius ringan selama prosedur, tetapi
mereka yang menggunakan narkotika berlebihan harus diberi dosis yang tepat
sehingga sensitivitas nyeri tidak dibesar-besarkan. Pasien harus terjaga dan dapat
melaporkan dengan andal selama stimulasi diskus.
Lengan C pertama kali diposisikan dengan arah berkas radiasi sejajar
dengan pelat subkondral dari pelat vertebral bawah dari piringan. Pada piringan di
atas L5 - S1, C - arm kemudian diputar secara ipsilateral sampai aspek lateral dari
prosesus articularis menutupi bagian tengah aksial dari piringan yang akan ditusuk
(Gambar 15.4), dan ketinggian piringan berada pada tingkat maksimumnya.
Dalam proyeksi ini, jarum dapat dimasukkan sejajar dengan arah pancaran radiasi
dan dibawa ke posisinya (tampilan terowongan). Target untuk penusukan AF
adalah sisi lateral - tengah disk, tepat di samping tepi lateral prosesus articularis
superior (Gambar 15.5).
Gambar 15.4. Titik awal jarum, dengan asumsi ketinggian cakram maksimal,
sedemikian rupa sehingga lengan C diputar sehingga kolom faset berada di antara
1/3 dan 1/2 dari vertebra korpus. Titik injeksi kemudian langsung di lateral
prosesus articularis superior (proses artikular superior, getah)

Gambar 15.5. Posisi jarum untuk diskogram yang ideal pada L3 - L4, L4 - L5, dan
L5 - S1.

Pada tingkat L5 - S1, crista iliaca tidak mengizinkan akses ke disk


menggunakan pendekatan down-the-beam. Tabung fluoroskopi diputar sampai
tepi lateral prosesus articularis superior S1 diposisikan sekitar 25% dari posterior
ke anterior jarak dari corpus vertebrae.

Pemosisian Jarum
Jarum baru digunakan untuk setiap cakram yang akan diperiksa. Setelah
membius kulit dan jaringan di bawahnya, satu - jarum atau Teknik dua jarum
dapat digunakan untuk mendekati disk. Dalam teknik dua jarum, jarum 20-G
dimajukan melewati tepi lateraldari prosesus articularis superior. Kemudian jarum
berlubang 25 - Gdimasukkan melalui jarum ini dan ke dalam AF hingga mencapai
tengah NP. Teknik dua jarum dapat membantu mengurangi insiden diskitis dan
memungkinkan memasuki disk dengan jarumdiameter kecil (mis., 27 G) yang
dapat membantu mencegah kejadian degenerasi cakram iatrogenik.
Jarum dengan hati-hati dimajukan ke posisi ujung ujung jarum. Di luar
processus articularis superior, jarum melewati foramen intervertebrale di sekitar
ramus ventralis. Jika terjadi paresthesia, jarum harus direposisi. Resistensi yang
kuat dirasakan saat jarum melewati Titik Akses. Jarum didorong melalui Titik
Akses ke tengah cakram. Kemajuan jarum diikuti dalam berbagai proyeksi,
pertama dalam AP dan kemudian proyeksi lateral (Gambar 15.6). Idealnya,
setelah penempatan, jarum ditempatkan di tengah NP disk, seperti yang terlihat
pada AP serta proyeksi lateral. Contoh lain diberikan pada Gambar 15.7 dan 15.8.

Gambar 15.6. AP - posisi jarum pada diskografi di mana jarum ditempatkan di


tengah nukleus pulposus.

Gambar 15.7. Diskografi pada 3 level di mana Disk Kelas 1 hingga 2 terlihat di
L3 - L4 dan L4 - L5, dan disk dengan pecah Kelas 3 hingga 4 terlihat pada level
L5 - S1.
Gambar 15.8. Diskografi pada 3 level: L3 - L4, L4 - L5 dan L5 - S1, semuanya
dalam tampilan anteroposterior.

Stimulasi Diskus
Setelah verifikasi posisi jarum yang benar, stilet dilepas dari jarum dan
jarum dihubungkan ke sistem pengiriman zat kontras yang dapat mengukur
tekanan intradiscal (manometri). Kecepatan infus agen kontras tidak boleh
melebihi 0,05 mL / s. 29 - 31 Laju ini mencerminkan aliran statis yang sesuai
dengan tekanan distensi di diskus intervertebralis. Jika aliran yang lebih tinggi
digunakan, diskografi positif palsu dapat terjadi karena puncak tekanan yang
dihasilkan. Nyeri sering dipicu oleh puncak tekanan ini karena kompresi plat
ujung vertebral dan distensi sendi facet yang berdekatan. Penting agar diskus yang
diperkirakan paling nyeri dirangsang terakhir; pasien tidak boleh melihat disk
mana yang sedang distimulasi. Jika cakram yang nyeri dirangsang terlebih dahulu,
kemungkinan gema nyeri itu berlangsung cukup lama sehingga rangsangan yang
memadai pada tingkat lain tidak mungkin lagi dilakukan. Jika kondisi tersebut
sudah terpenuhi, stimulasi bisa dimulai.
Parameter berikut harus dipantau secara hati-hati selama injeksi larutan
kontras: tekanan pembukaan (OP), tekanan di mana kontras pertama kali terlihat
pada disk; tekanan rovocation, tekanan yang lebih besar dari tekanan pembukaan
tempat timbulnya keluhan nyeri; dan tekanan puncak atau tekanan akhir di akhir
prosedur. Idealnya, detail tekanan, volume, dan provokasi dicatat dengan
penambahan 0,5 mL, dengan notasi tambahan dibuat untuk kejadian yang
disebutkan di atas.
Prosedur, per level, dilanjutkan hingga kejadian berikut:
• Nyeri konkordan direproduksi pada tingkat 7 atau lebih (pada 0 sampai 10
skala peringkat numerik; NRS), dan volume yang diinjeksikan selanjutnya
mengkonfirmasi respon tersebut.
• Volume yang diinfuskan mencapai 3,0 mL. (Bisa sampai 4 mL
disuntikkan ke dalam disk yang sangat rusak saat tekanan tetap kurang dari
15 psi.).
• Tekanan naik sampai 50 psi di atas tekanan bukaan dalam disk dengan
robekan annular Grade 3.
• Jika kontras bocor melalui AF luar atau melalui pelat ujung, seseorang
mungkin tidak dapat menekan disk ke tekanan yang cukup untuk menguji
sensitivitas disk. Dalam kasus ini, perintah cepat manual mungkin dapat
diterima, tetapi harus dicatat dan tanggapan negatif adalah tanggapan yang
lebih dapat dipertahankan.

Kriteria Penilaian
Pedoman IASP (Asosiasi Internasional untuk Studi Nyeri), serta dari ISIS
(International Spine Intervention Society), menyatakan bahwa dua level harus
selalu diuji sebagai kontrol saat melakukan diskografi provokatif (kecuali jika
disk target adalah dari L5 - S1). 32 - 34 Diskus hanya dianggap provokatif
(positif) jika nyeri konkordan dapat diinduksi pada level target, dan jika level
kontrol negatif untuk memicu nyeri.
Manometri: Menaksir terlalu tinggi nyeri diskogenik karena respon positif
palsu untuk diskografi provokatif juga mungkin. Diskus asimtomatik, dengan
tekanan berlebih, dapat menjadi nyeri karena nosiseptor dan mechanoreceptors
yang biasanya diam di endplates dan ligamenta longitudinales posteriores, dan
mungkin kapsul sendi facet, dirangsang. Diagnosis nyeri diskogenik hanya dapat
ditegakkan jika terjadi reproduksi nyeri bersamaan akibat tekanan yang tidak
menghasilkan nyeri pada diskus normal atau pada pasien asimtomatik.
Konsep dan definisi dari piringan yang sensitif secara kimiawi pertama
kali dijelaskan oleh Derby et al. Pada tahun 2004, O 'Neill mendeskripsikan
subgrup lebih lanjut: disk dengan ambang nyeri 0 psi - disk ini dijelaskan sebagai
disk sensitif kimiawi dan 29 disk dengan ambang nyeri 1 psi atau lebih tinggi -
disk ini dianggap sensitif terhadap tekanan. Ambang batas nyeri ≥ 50 psi di atas
tekanan pembukaan berkorelasi dengan kemungkinan 100% untuk diskografi
positif palsu, sedangkan ambang nyeri antara 25 dan 50 psi di atas tekanan
pembukaan masih menyebabkan 50% hasil positif palsu. Kemungkinan disk
positif palsu ini berkurang hingga 14% pada disk sensitif nyeri pada 15 psi di atas
tekanan pembukaan. Disk yang benar-benar sensitif terhadap tekanan mungkin
memiliki ambang nyeri 1 - 9 psi di atas tekanan pembukaan, atau dianggap
sebagai disk yang sensitif secara kimiawi (0 psi). Disk intervertebralis yang
terakhir (sensitif secara kimiawi) biasanya sudah sangat nyeri pada saat tusukan.
Klasifikasi disk berdasarkan tekanan di mana nyeri muncul diilustrasikan pada
Tabel 15.1.

Tabel 15.1. Klasifikasi disk berdasarkan tekanan di mana rasa sakit muncul.
• Diskus yang nyeri pada tekanan lebih rendah dari 15 psi di atas tekanan
pembukaan
• Diskus yang nyeri antara 15 dan 50 psi di atas tekanan pembukaan
• Diskus yang nyeri pada lebih dari 50 psi di atas tekanan pembukaan
• Diskus yang tidak nyeri meskipun tekanannya lebih tinggi dari 50 psi di
atas tekanan bukaan

Secara morfologis, diskus ini adalah Kelas 2 hingga 3 berdasarkan Skala


Diskogram Dallas (Tabel 15.2). Pedoman internasional (IASP dan ISIS)
didasarkan pada kriteria operasional berikut:
1. Nyeri diskogenik absolut:
• Stimulasi disk target mereproduksi nyeri yang sesuai.
• Intensitas nyeri ini memiliki skor Numeric Rating Scale (NRS)
minimal 7 pada skala 11 poin.
• Nyeri direproduksi dengan tekanan kurang dari 15 psi di atas
tekanan pembukaan.
• Stimulasi pada dua cakram yang berdekatan tidak menyakitkan.
2. Nyeri diskogenik yang sangat mungkin terjadi:
• Stimulasi disk target mereproduksi nyeri yang sesuai.
• Intensitas nyeri ini memiliki skor NRS minimal 7 pada skala 11
poin.
• Nyeri direproduksi dengan tekanan kurang dari 15 psi di atas
tekanan pembukaan.
• Stimulasi pada salah satu diskus yang berdekatan tidak
menyakitkan.
3. Nyeri diskogenik:
• Stimulasi disk target mereproduksi nyeri yang sesuai.
• Intensitas nyeri ini memiliki skor NRS minimal 7 pada skala
numerik 11 poin.
• Nyeri direproduksi dengan tekanan kurang dari 50 psi di atas
tekanan pembukaan.
• Stimulasi pada dua cakram yang berdekatan tidak menyakitkan.
4. Kemungkinan nyeri diskogenik:
• Stimulasi disk target mereproduksi nyeri yang sesuai.
• Intensitas nyeri ini memiliki skor NRS minimal 7 pada skala
numerik 11 poin.
• Nyeri direproduksi dengan tekanan kurang dari 50 psi di atas
tekanan pembukaan.
• Stimulasi pada salah satu diskus yang berdekatan tidak nyeri, dan
rangsangan pada disk lain terasa nyeri pada tekanan lebih dari 50
psi di atas tekanan pembukaan, dan nyeri itu sumbang.
Mengingat bahwa proses seleksi yang ketat akan meningkatkan hasil dari
perawatan minimal invasif dan pembedahan, tujuannya harus berusaha menuju
kriteria 1 dan 2 untuk tujuan menyimpulkan bahwa 1 dan / atau 2 disk
sebenarnya positif. Selama diskografi, distribusi agen kontras dipantau melalui
pemeriksaan radiografi lateral dan AP.
Tabel 15.2. Penilaian morfologi diskus intervertebralis menggunakan diskografi.
Skala Diskogram Dallas:
Grade 0: Kontras tetap seluruhnya di nukleus pulposus.
Grade 1 sampai 3: Tunjukkan robekan di mana agen kontras meluas ke bagian
paling dalam, tengah, dan paling luar, masing-masing, dari anulus fibrosus.
Grade 4: Di sini gambar Tingkat 3 telah berkembang menjadi robekan berbentuk
busur, di luar atau di dalam cincin paling dalam dari anulus fibrosus.

Perawatan Pasca Operasi


Setelah diskografi, pasien pergi ke bangsal atau ke ruang pemulihan.
Pasien dapat dipulangkan jika nyeri terkendali dan tidak ada tanda-tanda
hilangnya fungsi neurologis. Pasien mungkin mengalami gejala nyeri yang
memburuk pada hari-hari pertama pasca operasi dan harus diberi resep obat
pereda nyeri. Pasien harus diinstruksikan untuk segera menghubungi dokter jika
mengalami peningkatan gejala, hilangnya fungsi neurologis, dan / atau demam.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding pertama dan terutama diarahkan untuk menyingkirkan
penyakit merah, seperti trauma dan patah tulang, infeksi, tumor, dan komplikasi
neurologis. Setelah itu, seseorang berusaha untuk menyingkirkan nyeri visceral.
Sebelum membuat keputusan tentang rencana pengobatan intervensi, penting
untuk menunjukkan bahwa diskus intervertebralis adalah penyebab nyeri radikuler
(semu -).

Pilihan Pengobatan
Manajemen Konservatif
Tidak ada penelitian yang diketahui yang menunjukkan bahwa pengobatan
antinociceptive jangka panjang memiliki efek positif yang signifikan pada pasien
dengan nyeri punggung bawah diskogenik. Umumnya, obat-obatan seperti
NSAID dan opioid lemah direkomendasikan untuk waktu yang terbatas (maksimal
tiga bulan). Tinjauan sistematis tidak menemukan bukti untuk nilai tambah terapi
olahraga aktif dalam kaitannya dengan perawatan tidak aktif (istirahat di tempat
tidur) dan perawatan konservatif lainnya seperti traksi, manipulasi, paket panas,
atau korset.

Manajemen Intervensi
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai perawatan invasif minimal telah
dikembangkan untuk mengobati nyeri diskogenik, seperti suntikan intradiscal,
IDET (terapi elektrotermal intradiscal), disctrode, biacuplasty, termokoagulasi
frekuensi radio intradiscal (RF), dan pengobatan RF pada ramus komunikan.
Beberapa studi prospektif dan anatomi skala kecil telah diterbitkan baru-baru ini
mengenai kemungkinan peran nukleoplasti pada nyeri punggung bawah
diskogenik kronis. Terlepas dari kenyataan bahwa perawatan invasif minimal ini
mungkin merupakan alternatif yang efektif untuk perawatan bedah, mereka tetap
eksperimental. Nilai pasti dari perawatan ini harus ditentukan di tahun-tahun
mendatang dengan studi acak dan terkontrol.

Suntikan Kortikosteroid Intradiscal


Tujuan dari suntikan kortikosteroid intradiscal adalah menekan
peradangan yang dianggap bertanggung jawab atas nyeri diskogenik. Literatur
tentang topik ini terbatas pada laporan kasus yang hanya memberikan hasil yang
positif. Namun, hasil positif dan negatif ditemukan dalam studi prospektif.
Butterman menerbitkan pada tahun 2004 sebuah studi prospektif yang
membandingkan pasien dengan penyakit cakram degeneratif (DDD) dan
perubahan inflamasi plat ujung pada MRI (Modic Type 1) dengan kelompok
pasien yang mengalami DDD dan tidak ada perubahan inflamasi plat ujung.
Kelompok dengan perubahan Modic Type-1 memiliki hasil yang lebih baik secara
signifikan setelah injeksi steroid intradiscal dibandingkan dengan kelompok tanpa
perubahan Modic Type-1.
Pada tahun 1992, Simmons menerbitkan sebuah penelitian di mana 25
pasien menerima 80 mg metilprednisolon secara intradiskal versus kelompok
kontrol yang diberikan 1,5 mL bupivakain (0,5%). Tidak ada perbedaan signifikan
yang ditemukan antara kedua kelompok. Khot dkk. mempublikasikan sebuah studi
yang sebanding dari 12 pasien di mana, setelah diskografi positif, pasien secara
acak dibagi menjadi dua kelompok. Dalam satu kelompok, kortikosteroid
intradiscal diberikan, dan pada kelompok kontrol, larutan garam fisiologis
diberikan. Para penulis menyimpulkan bahwa kortikosteroid intradiscal tidak
meningkatkan hasil klinis pada pasien dengan nyeri punggung bawah diskogenik
dibandingkan dengan plasebo. Suntikan intradiscal dengan zat kimia lain sedang
diselidiki. Klein dkk. menerbitkan studi percontohan di mana larutan glukosamin
dan kondroitin sulfat dikombinasikan dengan dekstrosa hipertonik dan dimetil
sulfoksida (DMSO) disuntikkan secara intradisk. Telah disarankan bahwa injeksi
zat ini secara sinergis meningkatkan respons hipermetabolik kondrosit dan
memperlambat degradasi tulang rawan enzimatik. Penulis melaporkan hasil positif
pada skor VAS dan “skor kecacatan”. Derby dkk. melakukan studi perbandingan
di mana dia menggambarkan efek yang serupa dengan IDET. Mengingat ini hanya
studi percontohan, kita harus menunggu RCT dapat membuat penilaian tentang
efek suntikan ini.

Terapi Elektrotermal Intradiscal (IDET)


Saal dan Saal mempublikasikan penggunaan pertama IDET untuk nyeri
diskogenik. Prosedur ini terdiri dari memasukkan termokoil perkutan ke dalam
cakram di bawah pemeriksaan radiografi. Kateter harus ditempatkan di sepanjang
aspek internal AF posterior. Bagian distal kateter (5 cm) dipanaskan selama 16
menit sampai 90 ° C. Studi kedokteran hewan eksperimental telah menunjukkan
bahwa ini akan menghasilkan suhu melebihi 60 ° C di AF posterior dan
kemungkinan denervasi lokal.
Hasil pertama menjanjikan, dengan 50 - 70% pasien mengalami
pengurangan nyeri yang signifikan. Studi terkontrol baru-baru ini memicu banyak
diskusi tentang efektivitas sebenarnya dari perawatan ini. Sehubungan dengan hal
ini, harus dikatakan bahwa tidak jelas apakah kriteria inklusi pasien cukup
selektif, dan apakah diskografi dianggap sebagai metode seleksi yang paling
penting sesuai dengan apa yang telah dijelaskan pada bab ini.
Pauza dkk. melakukan studi prospektif acak terkontrol plasebo tentang
efektivitas IDET dalam pengobatan nyeri punggung bawah diskogenik kronis. 48
Kelompoknya menyaring 1.360 pasien dengan nyeri punggung bawah; 64 dari
pasien ini dipilih untuk penelitian setelah hasil diskografi positif. Tiga puluh tujuh
pasien diacak ke dalam kelompok IDET, dan 27 pasien ke dalam kelompok palsu;
kateter IDET dimasukkan ke dalam kelompok palsu, tetapi tanpa penerapan arus
RF. Pasien di kedua kelompok menunjukkan peningkatan. Pada kelompok IDET,
rata-rata peningkatan skor nyeri, kecacatan, dan skala depresi secara signifikan
lebih tinggi. Sekitar 40% dari pasien kelompok IDET mengalami peningkatan
lebih dari 50% dalam skor nyeri mereka. NNT (jumlah yang dibutuhkan untuk
mengobati) untuk mencapai pengurangan nyeri lebih dari 75% adalah 5. Hasil ini
menunjukkan bahwa hasil pengobatan IDET tidak dapat sepenuhnya dianggap
sebagai efek plasebo. Hasil ini juga sesuai dengan hasil dari berbagai populasi
penelitian prospektif skala kecil, yang memungkinkan seseorang untuk
menyimpulkan bahwa IDET dapat efektif pada nyeri punggung bawah kronis dan
diskogenik pada populasi yang dipilih dengan kriteria yang ketat. Pauza
menggunakan kriteria inklusi berikut: usia antara 18 dan 65 tahun, nyeri
punggung lebih parah dari nyeri tungkai, durasi gejala nyeri minimal 6 bulan,
tidak ada perbaikan setelah minimal 6 minggu pengobatan konservatif (termasuk
pengobatan, terapi fisik, rehabilitasi ), nyeri punggung memburuk dengan duduk
dan berdiri dan berkurang dengan berbaring, skor lebih rendah dari 20 pada Beck
Depression Inventory, tidak ada intervensi bedah dalam 3 bulan terakhir, dan
kehilangan kurang dari 20% tinggi disk di tulang belakang lumbar. Dalam
diskografi, level gejala ditunjukkan dengan level kontrol negatif. Kontraindikasi
relatif adalah obesitas.
Pada tahun 2006, Appelby et al. menerbitkan tinjauan sistematis literatur,
dan menyimpulkan bahwa ada cukup bukti untuk efektivitas dan keamanan
prosedur IDET. Bertentangan dengan laporan Appelby adalah laporan Freeman et
al. Kelompok ini sangat kritis melihat literatur yang ada, dan sampai pada
kesimpulan bahwa bukti efektivitas prosedur IDET lemah dan memiliki dasar
ilmiah yang tidak memadai. Sampai saat ini, RCT positif, RCT negatif, berbagai
studi prospektif positif, dan dua studi negatif telah diterbitkan. Khususnya, fakta
bahwa tidak lebih dari dua disk yang mengalami degeneratif adalah penting. Hasil
dalam kasus dengan degenerasi disk yang lebih luas telah terbukti jauh lebih
buruk. Batasan serius di antara studi IDET yang tersedia adalah bahwa kriteria
seleksi tidak sesuai: faktor penting untuk mencapai hasil yang bermanfaat. Studi
baru dengan kriteria inklusi yang ditentukan secara internasional diperlukan untuk
sampai pada penilaian yang pasti tentang keefektifan klinis dari prosedur IDET.
Mekanisme bagaimana IDET dapat bertindak masih belum diketahui. Dua
hipotesis telah diajukan. Hipotesis pertama mengasumsikan bahwa terapi
elektrotermal AF menghasilkan pengurangan nyeri lokal melalui denervasi
nosiseptor. Mekanisme kedua yang diusulkan menyatakan bahwa perubahan
terjadi pada struktur serat kolagen di AF akibat pemanasan; perubahan ini
meningkatkan stabilitas AF. Sampai saat ini, hanya ada sedikit bukti histologis
untuk mendukung hipotesis ini.
Berikut ini dijelaskan sebagai komplikasi: kerusakan kateter, cedera saraf
(lesi cauda equina), herniasi diskus tulang belakang pasca-IDET, diskitis, infeksi
lokal, abses epidural.

Biacuplasty
Biacuplasty intradiscal adalah yang terbaru dari rangkaian teknik
pemanasan AF posterior invasif minimal. Teknologi ini bekerja secara khusus
dengan memusatkan arus RF di antara ujung dua probe lurus. Pemanasan yang
relatif merata di area yang lebih besar dari AF posterior dicapai dengan
mendinginkan elektroda secara internal.
Prosedur selesai dengan fluoroskopi, dengan pasien berbaring dalam posisi
tengkurap. Dua elektroda TransDiscal 18 G melalui pengantar ditempatkan secara
bilateral di AF posterior diskus intervertebralis. Generator mengontrol pengiriman
energi RF dengan memantau suhu yang diukur dengan termokopel di ujung probe.
Suhu meningkat secara bertahap selama 7 - 8 menit hingga 50°C, dengan
pemanasan akhir pada 50°C selama 7 menit berikutnya. Perlu dicatat bahwa
meskipun suhu pada generator RF diatur ke 50°C, suhu jaringan mencapai 65°C
karena pemanasan ionik. Selama waktu ini, pasien harus terjaga dan dapat
berkomunikasi dengan dokter.
Pertama, dua studi percontohan yang melibatkan 8 dan 15 pasien
menunjukkan pereda nyeri yang signifikan setelah prosedur biacuplasty disk pada
3, 6, dan 12 bulan. 52 Dalam seri kasus Eropa yang melibatkan 8 pasien, ada rata-
rata sekitar 50% pengurangan nyeri pada 3 bulan, dengan kepuasan pasien yang
baik secara keseluruhan. Dalam studi percontohan prospektif yang melibatkan 15
pasien, Kapural et al. melaporkan perbaikan pasien dalam beberapa tindakan
penilaian nyeri setelah menjalani prosedur biacuplasty disk untuk nyeri
diskogenik. Hasil dari pengukuran penilaian nyeri ini termasuk pengurangan skor
nyeri VAS median dari 7 menjadi 4 pada 1 bulan, yang tetap pada level 3 pada 6
dan 12 bulan tindak lanjut, peningkatan indeks Oswestry dari 23,3 menjadi 16,5
poin pada 1 bulan, yang tetap sama membaik setelah 12 bulan, dan peningkatan
skor SF - 36 Sakit Tubuh dari 38 menjadi 54 poin. Studi percontohan dan seri
kasus, bahkan ketika dirancang sebagai uji coba prospektif, cenderung membesar-
besarkan hasil positif. Oleh karena itu, kami menunggu hasil studi acak prospektif
yang dikendalikan palsu sebelum menerima atau menolak pendekatan ini untuk
pengobatan nyeri diskogenik. Namun, biacuplasty intradiscal memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan teknik sebelumnya. Ada gangguan minimal pada
arsitektur jaringan asli, dan dengan demikian biomekanik tulang belakang
cenderung tidak berubah. Selain itu, kemudahan relatif penempatan elektroda
menghilangkan kebutuhan untuk memasang kateter pemanas panjang (misalnya,
dibandingkan dengan IDET).
Adiofrekuensi (RF) intradiskal hermokoagulasi
Termokoagulasi RF intradiscal digunakan untuk pengobatan nyeri diskogenik.
Barendse dkk. melakukan studi prospektif acak tersamar ganda pada 28 pasien. 53
Diagnosis nyeri diskogenik dibuat berdasarkan injeksi campuran 2 mL lidokain
(2%) dengan agen kontras. Pasien yang menunjukkan pengurangan nyeri lebih
dari 50% dalam 30 menit dimasukkan dan diacak menjadi 2 kelompok. Pasien
dalam kelompok RF (n = 13) menerima pengobatan RF untuk diskus
intervertebralis yang berlangsung selama 70-an pada suhu 90 ° C di mana jarum
ditempatkan di tengah disk. Pasien dalam kelompok kontrol menjalani prosedur
yang sama, kecuali tidak ada arus RF yang diberikan. Delapan minggu setelah
pengobatan, tidak ada perbedaan antara skor VAS dari kedua kelompok untuk
nyeri dan efek yang dirasakan secara global, atau dalam Indeks Disabilitas
Oswestry. Kesimpulannya adalah bahwa RF tidak efektif untuk pengobatan nyeri
diskogenik. Dua komentar penting dapat dibuat tentang studi ini. Pertama-tama,
diskografi tidak dilakukan dengan metode yang saat ini diterima. Selanjutnya
menjadi jelas bahwa nyeri diskogenik disebabkan oleh nosiseptor yang ditemukan
di lapisan terluar AF. Pemanasan pusat NP tidak akan selalu menyebabkan
kerusakan nosiseptor di AF.
Ercelen dkk. melakukan studi prospektif acak lainnya dengan RF untuk
nyeri diskogenik menggunakan metode pemilihan dan pengobatan yang lebih
baik. 54 Kelompok Ercelen memilih 39 pasien berdasarkan diskografi yang
provokatif. Pasien-pasien ini diacak menjadi 2 kelompok. Pada kelompok
pertama, disk dipanaskan selama 360 detik hingga 80 ° C; di kelompok lain,
selama 120 sampai 80 ° C. Dalam penelitian ini, juga tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam pengurangan nyeri dan fungsionalitas.
Baru-baru ini metode RF intradiscal baru telah diperkenalkan —
discTRODE ™ (Valleylab, Boulder, CO, U.S.A.). DiscTrode diposisikan di
sepanjang antarmuka posterior antara NP dan AF. Dalam uji coba terbuka, Erdine
et al. 55 menemukan perbaikan gejala yang diukur dengan SF - 36 dan skor VAS
pada 10 dari 15 pasien (66,6%). Finch dkk. melaporkan studi kasus-kontrol dari
46 pasien dengan monodiscopathy dengan robekan annular yang dikonfirmasi
melalui diskografi provokatif. Tiga puluh satu pasien menjalani perawatan disk
dengan panas melalui DiscTrode, dan 15 pasien berfungsi sebagai kelompok
kontrol. Pada kelompok kontrol, pengobatan konservatif dilanjutkan. Skor VAS
berkurang secara signifikan pada kelompok RF, dan penurunan ini berlangsung
selama 12 bulan. Pada kelompok kontrol, skor VAS tidak berubah. Penulis
menyimpulkan bahwa memanaskan AF, terutama pada tingkat robekan annular,
berpotensi menjadi alternatif yang baik untuk pengobatan nyeri diskogenik. Baru-
baru ini, Kvarstein et al. menerbitkan uji coba terkontrol secara acak yang
membandingkan RF intraannular dengan pengobatan palsu. Para penulis
menyimpulkan bahwa tidak ada efek menguntungkan dari DiscTrode
dibandingkan dengan kelompok palsu. Kesimpulan lain adalah anjuran untuk
tidak menggunakan DiscTrode karena tingginya jumlah pasien dengan
peningkatan nyeri pada kelompok perlakuan. Namun, studi Kvarstein et al.
dikritik karena kurangnya kekuatan dan fakta bahwa studi dihentikan lebih awal.
Teknologi ini terbukti tidak efektif dalam meningkatkan kapasitas fungsional dan
skor VAS jika dibandingkan dengan IDET selama penelitian yang menggunakan
kriteria pemilihan pasien yang ketat.

Blok Ramus Communicans


Nyeri punggung bawah diskogenik dapat dianggap sebagai nyeri somatik
yang dalam, jika dilihat dari asal sarafnya. Namun, persarafan disk menunjukkan
asal multisegmental. Seperti dijelaskan di atas, serat saraf sensorik mencapai
sumsum tulang belakang melalui komunikan rami yang berdekatan dan lebih jauh
dan ganglia spinalia (ganglia akar dorsal, DRGs) (Gambar 15.1). Berdasarkan
penelitian Groen et al., Kelompok Ohtori baru-baru ini menunjukkan bahwa pada
tikus intervertebralis lumbal rendah terutama dipersarafi oleh L1 - L2 ganglia
spinalia (DRGs) melalui trunkus sympathicus dan ramus komunikan. 4,60 Serat
dari L3 - L6 ganglia spinalia (DRGs) secara langsung menginervasi LLP melalui
nervi sinuvertebrales. Nakamura dkk. melihat jalur aferen yang dapat
menyebabkan nyeri punggung bawah diskogenik dengan secara selektif
memblokir akar L2 pada 33 pasien. Berdasarkan temuan ini, penulis
menyimpulkan bahwa saraf segmental L2 mungkin bisa menjadi jalur aferen yang
paling penting untuk nyeri diskogenik dari diskus lumbal rendah, terutama melalui
serat aferen simpatis dari nervi sinuvertebrales. Infiltrasi akar L2 juga dapat
berguna sebagai prosedur diagnostik dan terapi.
Sebuah blok dan penghancuran ramus komunikan juga digambarkan
sebagai pengobatan untuk nyeri punggung bawah diskogenik atau untuk nyeri di
tulang belakang itu sendiri. 61 Chandler dkk. menggambarkan blok ramus
komunikan sebagai pengobatan yang efektif untuk nyeri yang berasal dari fraktur
kompresi vertebra. 62 Oh dan Shim menyelidiki keefektifan termokoagulasi RF
dari ramus komunikan pada 49 pasien. Pasien-pasien ini memiliki nyeri punggung
bawah diskogenik kronis pada 1 tingkat, dan sebelumnya tidak menerima efek
dari pengobatan IDET. Pasien diacak menjadi kelompok RF dan kelompok
kontrol. Kelompok kontrol menerima suntikan lidokain di dekat ramus komunikan
tanpa RF. Setelah 4 bulan, ada peningkatan yang signifikan dalam skor VAS dan
Peningkatan dalam Formulir Singkat (36) Survei Kesehatan (SF - 36) pada
kelompok RF relatif terhadap kelompok kontrol. Para penulis menyimpulkan
bahwa termokoagulasi RF dari ramus komunikan dapat dianggap sebagai salah
satu pengobatan untuk nyeri punggung bawah diskogenik.
Terlepas dari hasil awal yang menjanjikan, studi acak lebih lanjut tentang
efek blok ramus komunikan pada nyeri diskogenik juga diperlukan dalam kasus
ini. Sejumlah pertanyaan masih harus dijawab. Apa peran utama L1 - L2 pada
nyeri punggung bawah diskogenik; apa peran ramus komunikan dalam hal ini?
Pasien mana yang bereaksi paling baik terhadap blok ramus Communicans, dan
berapa lama pengobatan ini efektif?

Teknik Intervensi Lainnya


Meskipun gambaran umum ini tidak lengkap, teknik berikut telah sering
digunakan di masa lalu. Dalam chemonucleolysis, enzim chymopapain
disuntikkan ke dalam disk intervertebralis; akibatnya, NP dibubarkan. Terapi ini
hampir sepenuhnya ditinggalkan karena masalah yang berkaitan dengan
keandalan dosis, kesulitan pasokan chymopapain, dan sejumlah komplikasi serius.
Jika tidak, pengobatan tampaknya efektif seperti yang ditunjukkan oleh berbagai
RCT.
Nukleotomi lumbal perkutan otomatis (APLD) adalah teknik di mana
bagian NP secara mekanis dihilangkan secara perkutan untuk mempengaruhi
dekompresi NP. Namun, teknik ini terbukti kurang efektif dibandingkan dengan
perawatan lain, dan oleh karena itu tidak disarankan. 63 Varian nukleotomi
perkutan yang lebih modern menggunakan Dekompressor ™ (Stryker Corp.,
Kalamazoo, MI, U.S.A.) masih digunakan; ini memiliki diameter yang lebih kecil
dari aparat APLD aslinya. Tidak ada bukti yang ada dalam literatur untuk teknik
ini, dan sampai ditunjukkan sebaliknya, teknik ini dapat dianggap sama dengan
APLD klasik. Percutaneous laser disk-decompression (PLDD) adalah metode
perawatan yang telah digunakan dalam skala besar di seluruh dunia sejak awal
tahun 1990-an. Panas laser digunakan untuk menyebabkan penguapan bahan
nuklir. Sayangnya, hingga saat ini baru rangkaian kasus yang dilaporkan. Saat ini,
teknik berikut paling sering diterapkan di seluruh dunia: Nucleoplasty ®
(Arthrocare, Stockholm, Sweden), Ozone Dis colysis, Targeted DISC
Decompression, dan Dekompressor yang disebutkan di atas.

Perawatan Intradiscal Perkutan Untuk Herniasi Diskus


Seperti yang disebutkan sebelumnya dalam pendahuluan, ada tumpang
tindih yang jelas antara tanda klinis lumbago diskogenik dan gejala herniasi tulang
belakang. Herniasi diskus biasanya menyebabkan kombinasi nyeri pinggang
diskogenik dan kaki radikuler. Tampaknya terdapat bukti interaksi kompleks
antara faktor biokimia yang berasal dari NP diskus intervertebralis dan faktor
mekanis (kompresi akar saraf), yang bersama-sama menyebabkan nyeri. Juga,
lihat bab tentang nyeri radikuler.
Tujuan injeksi steroid epidural pada kasus hernia diskus terutama adalah
sebagai antiradang dan oleh karena itu mengurangi nyeri. Tujuan dari pengobatan
ini adalah untuk mengurangi gejala nyeri secara cepat dibandingkan dengan
pengobatan konservatif. Perawatan harus dianggap konservatif selama perjalanan
alami sindrom radikuler lumbosakral akut, yang merupakan hasil dari herniasi
diskus. Dalam jangka panjang, tidak ada perbedaan hasil jika dibandingkan
dengan pengobatan konservatif tanpa injeksi steroid epidural.
Perbedaan antara pengobatan konservatif dan diskektomi operatif juga
tidak ditunjukkan dalam jangka panjang. Disektomi operatif tetap digunakan
dalam skala besar. Alasannya adalah bahwa intervensi seringkali dapat
menyebabkan pengurangan keluhan gejala yang lebih cepat jika dibandingkan
dengan kebijakan pengobatan konservatif. Kerugiannya adalah risiko operasi dan
anestesiologis serta risiko adhesi epidural, yang berhubungan dengan apa yang
disebut sindrom postlaminektomi, atau sindrom operasi punggung yang gagal.
Jika tidak, indikasi untuk diskektomi operatif adalah tonjolan dan ekstrusi diskus
yang lebih besar yang menunjukkan tanda-tanda kompresi akar saraf pada MRI.
Lebih kecil, tonjolan fokal tanpa kompresi akar saraf tampaknya kurang
cenderung resorb spontan, dan memiliki perjalanan alami yang kurang
menguntungkan; dengan kata lain, hernia kecil ini sering menimbulkan gejala
nyeri jangka panjang dengan pemulihan spontan yang lambat.
Selama bertahun-tahun, pertimbangan yang disebutkan di atas telah
menghasilkan berbagai teknik intradiscal invasif minimal perkutan yang
diarahkan pada faktor mekanis herniasi diskus dengan gagasan yang mendasari
memanfaatkan keuntungan terapi operatif dengan sesedikit mungkin kerugian.
Sebagian besar teknik ini - berbeda dengan diskektomi bedah - memiliki tujuan
yang sama yaitu dekompresi NP sehingga ada perubahan volume dan penurunan
tekanan yang menyertai pada saraf dan / atau pengurangan reaksi inflamasi
sebagai a. hasil. Untuk tujuan ini, teknik ini biasanya hanya mungkin dalam kasus
apa yang disebut hernia “terkendali”.

Nukleoplasti
Metode dekompresi menggunakan "koblasi", di mana bidang plasma
berenergi tinggi dihasilkan dengan bantuan probe RF bipolar. Bidang plasma ini
memutus ikatan molekul. Untuk alasan ini, teknik ini juga disebut dekompresi
cakram plasma (PDD). Jaringan dapat diuapkan dengan cara ini pada suhu yang
relatif rendah (40 hingga 70°C). Namun, bidang plasma hanya dapat muncul di
lingkungan yang konduktif. Dalam praktiknya, ini berarti bahwa perawatan tidak
efektif dalam disk yang dehidrasi ("disk hitam" pada MRI). Setelah jarum 16 - G
diposisikan di NP, probe dipindahkan bolak-balik dan diputar secara intradisk.
Dengan cara ini, 6 atau lebih terowongan dibuat di NP, dan tekanan intradiscal
turun. Sementara itu, pengobatan telah digunakan dalam skala besar, dan tingkat
komplikasinya tampaknya rendah dan dapat diterima.
Dekompresi disk perkutan menggunakan dekompressor ™
Teknologi dekompresi cakram perkutan (Dekompressor ™) mengekstraksi bahan
cakram nuklir dengan auger di dalam kanula yang berakhir di dalam NP.
Perubahan tekanan intradiscal yang signifikan harus mengikuti pengurangan
volume inti dalam ruang hidrolik tertutup. Dinding annular harus utuh untuk
menarik kembali bagian yang menonjol. Oleh karena itu, diskografi provokatif
terkadang diperlukan untuk mengkonfirmasi tingkat yang terpengaruh dan untuk
menyingkirkan gangguan annular. Dalam rangkaian kasus mereka, Alo dan
rekannya melaporkan tingkat keberhasilan 80% dengan teknik ini. Meskipun tidak
ada studi terkontrol yang diterbitkan tentang efektivitas Dekompressor, sebuah
studi Eropa melaporkan juga peningkatan skor nyeri pada sebagian besar pasien
yang dirawat dengan Dekompressor. Hal ini tampaknya menyarankan bahwa
pasien dengan tonjolan diskus foraminal posterolateral biasanya dapat
mengharapkan lebih banyak pereda nyeri dibandingkan dengan pasien dengan
posteromedian. Tidak ada studi palsu dan acak tentang disektomi perkutan
menggunakan perangkat Dekompresor.

Iskolisis Ozon
Diskolisis ozon terdiri dari injeksi campuran O3 dan O2, biasanya baik
secara intradiskal maupun epidural. Akibatnya, dehidrasi oksidatif terjadi di NP;
ini sebanding dengan chemonucleolysis dengan menggunakan chymopapain.
Selain itu, peningkatan regulasi sistem pemulung antioksidan intraseluler terjadi
karena stres oksidatif; hal ini menghasilkan peningkatan respons antiradang
endogen. Selain berbagai rangkaian kasus besar dengan hasil yang luar biasa
bagus, dua studi banding telah diterbitkan. Dalam studi Gallucci, injeksi
kortikosteroid epidural intradiscal dan transforaminal dibandingkan dengan injeksi
steroid epidural transforaminal intradiscal dengan penambahan campuran O3 /
O2. 74 Bonnetti dkk. telah menerbitkan studi perbandingan yang memeriksa
injeksi epidural transforaminal dari campuran O3/O2 versus injeksi steroid
epidural transforaminal. Dalam kedua studi tersebut, ozon menghasilkan efek
yang jauh lebih baik daripada kortikosteroid. Tidak ada komplikasi yang
signifikan dari teknik yang dijelaskan. Diskolisis ozon dapat digunakan untuk
"menahan," serta untuk herniasi diskus tulang belakang yang "tidak terkendali".
Sejauh mana derajat degenerasi diskus mempengaruhi hasil klinis masih belum
jelas. Meskipun teknik ini terutama ditujukan untuk herniasi diskus tulang
belakang dengan nyeri radikuler yang menonjol, teknik ini juga digunakan untuk
lumbago diskogenik yang berhubungan dengan herniasi diskus tulang belakang.

Dekompresi Disk yang Ditargetkan (TDD)


Teknik ini berasal dari teknik IDET untuk sakit pinggang diskogenik.
Sehubungan dengan teknik IDET, ada beberapa laporan tentang penyusutan
ukuran tonjolan disk yang tidak disengaja sebagai efek dari teknik tersebut. TDD
hanya menggunakan properti ini. Kateter yang digunakan memiliki konfigurasi
yang kira-kira sama dengan kateter IDET; namun, zona aktif, tempat koagulasi
jaringan cakram terjadi, jauh lebih pendek. Tujuannya adalah untuk memposisikan
zona aktif pada batas AF - NP pada titik tonjolan yang "terkandung". Mengingat
teknik ini adalah termokoagulasi, derajat hidrasi NP pada prinsipnya tidak
penting. Meskipun teknik ini semakin banyak digunakan dan tampaknya
memberikan hasil yang baik, belum ada literatur yang diterbitkan tentang TDD.

Bukti Perkembangan Baru


Teknik yang dijelaskan dalam perkembangan baru di atas saat ini sedang
diselidiki untuk mengetahui keefektifan dan komplikasinya. Saat ini, tampaknya
tidak memungkinkan untuk merumuskan peringkat bukti dan rekomendasi.

Komplikasi Manajemen Intervensi


Meskipun semua prosedur ini dikaitkan dengan kerusakan jaringan yang
minimal, waktu pemulihan yang singkat, dan risiko infeksi yang rendah, berbagai
komplikasi langka telah dilaporkan seperti kerusakan kateter, cedera akar saraf,
herniasi diskus pasca-IDET, diskitis, nyeri radikuler, sakit kepala parah, sindrom
cauda equina, dan osteonekrosis tubuh vertebral. Komplikasi terpenting dari
prosedur intradiscal invasif minimal adalah diskitis. Insidensinya sangat rendah
yaitu 0,25% sampai 0,7%. 27,76 Setiap pasien yang mengeluh tentang nyeri yang
meningkat dalam 1 minggu setelah prosedur harus diperiksa dengan cermat.
Pemeriksaan minimal harus mencakup riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium (parameter infeksi). Jika parameter infeksi meningkat
atau tidak normal, atau jika ada keraguan, MRI harus dilakukan untuk
menyingkirkan diskitis.
Staphylococcus aureus adalah penyebab utama diskitis. Kemungkinan
terjadinya diskitis dapat dikurangi dengan penggunaan profilaksis rutin antibiotik
intravena atau intradiscal. Sharma dkk. meninjau literatur dan menjelaskan bahwa
kemungkinan terjadinya diskitis berkurang dari 2,7% menjadi 0,7% dengan
penggunaan “teknik melalui jarum”; dalam teknik ini, jarum dimasukkan melalui
kulit sampai titik api tercapai, dan jarum tipis lainnya (25 G) kemudian
dimasukkan melalui jarum pertama ke dalam cakram. Willems mempublikasikan
kejadian diskitis 0,25% pada serangkaian 4.981 pasien yang menggunakan teknik
"melalui jarum" dan tidak diberikan antibiotik profilaksis. Mereka juga
menyimpulkan bahwa penggunaan antibiotik secara rutin tidak diperlukan untuk
prosedur ini. Namun, pedoman internasional saat ini meresepkan penggunaan
rutin antibiotik profilaksis periprosedural.

Bukti Untuk Manajemen Intervensi


Ringkasan dari bukti yang tersedia diberikan pada Tabel 15.3.

Tabel 15.3. Ringkasan bukti manajemen nyeri intervensi nyeri diskogenik


Tehnik Assessment
Pemberian kortikosteroid intradiscal 2B–
Pengobatan frekuensi radio (RF) dari diskus intervertebralis 2B–
IDET (terapi elektrotermal intradiscal)
Biacuplasty 2B±
Disctrode 0
Radiofrequency (RF) dari ramus komunikan 0
2B+

Rekomendasi
Injeksi kortikosteroid intradiscal dan pengobatan RF pada disk tidak
disarankan untuk pasien dengan nyeri punggung bawah diskogenik. Bukti yang
ada saat ini tidak memberikan bukti yang cukup untuk merekomendasikan
perawatan intradiscal, seperti IDET dan biacuplasty untuk keluhan punggung
bawah kronis dan tidak spesifik yang berasal dari diskus intervertebralis. Kami
juga berpendapat bahwa saat ini satu-satunya tempat untuk perawatan intradiscal
untuk nyeri punggung bawah kronis adalah dalam pengaturan penelitian.
Perawatan RF pada ramus komunikan dianjurkan.
Algoritma Praktek Klinis
Gambar 15.9 mengilustrasikan algoritma praktik untuk pengelolaan nyeri
punggung bawah yang berasal dari diskogenik.

Gambar 15.9. Algoritma praktik klinis untuk manajemen intervensi nyeri diskogenik.

Teknik
IDET
Prosedur dilakukan dalam kondisi ATAU steril pada pasien berbaring
dalam posisi tengkurap dengan bantuan pemeriksaan radiografi. Saat memberikan
antibiotik profilaksis, jarum 17 G dimasukkan secara posterolateral ke dalam
cakram, biasanya pada sisi yang paling sedikit keluhannya. Setelah itu, kateter
sepanjang 30 cm dengan ujung yang fleksibel, 5 cm yang dapat dipanaskan,
dimasukkan melalui jarum. Tip ini dimajukan secara melingkar melalui NP
hingga menutupi seluruh bagian posterior AF. Setelah penempatan ujung
diperiksa secara radiografik, ujung kateter dipanaskan selama 18 menit hingga 90
° C sesuai dengan protokol standar. Suhu ini dicapai setelah 14 menit dan
kemudian dipertahankan selama 4 menit pada tingkat ini. Kemudian jarum dan
kateter dilepas, dan pasien dapat dipulangkan setelah masa pemulihan. Jika
selama prosedur pasien mengeluh sakit kaki, ada kemungkinan saraf tulang
belakang sedang teriritasi. Dalam hal ini, proses pemanasan harus segera
dihentikan. Setelah prosedur, pasien harus mengikuti protokol rehabilitasi ketat
selama 12 minggu. Pada pasien dengan robekan besar pada AF, tampaknya
mustahil untuk menggerakkan kateter ke posisi yang benar.

Ramus Communicans
Blok diagnostik
Lengan C diposisikan sedemikian rupa sehingga arah berkas radiasi pada
bidang transversal kira-kira miring 20 ° sehingga sendi faset diproyeksikan
menjauh dan kolom vertebral terlihat jelas. Untuk sudut pada bidang sagital, C -
arm diputar pada porosnya. Akibatnya, prosesus transversus berubah lokasi relatif
terhadap vertebra korpus. Arah berkas radiasi harus sedemikian rupa sehingga
sumbu prosesus transversus terletak sedikit di atas tengah vertebra korpus.
Biasanya, kanula SMK - C15 (Radionics, Burlington, MA, U.S.A.) digunakan
untuk prosedur ini. Titik injeksi ditandai tepat di ekor ke prosesus transversus, dan
agak medial ke tepi lateral vertebra korpus. Setelah anestesi lokal pada kulit,
jarum dimasukkan menggunakan tunnel view, yang aturan umum teknik ini harus
diperhatikan; Dengan kata lain, koreksi arah jarum harus dilakukan saat jarum
berada di lapisan superfisial, dan kedalaman jarum harus diperiksa secara teratur
pada proyeksi lateral. Jangan mencoba melakukan kontak dengan prosesus
transversus. Jarum dimajukan sampai terjadi kontak dengan corpus vertebrae.
Pada proyeksi lateral, ujung jarum terletak agak ventral ke sisi posterior korpus
vertebra. Agen kontras (0,5 mL) kemudian disuntikkan. Pada proyeksi
anteroposterior, ini biasanya menghasilkan bayangan yang sangat kompak; pada
proyeksi lateral, agen kontras menyebar ke anterior di atas corpus vertebrae.
Dalam kasus penyebaran intravaskular, perubahan posisi minimal biasanya cukup.
Terakhir, 1 mL lidokain (2%) diinjeksikan.
Perawatan RF
Kanula SMK - C15 dengan titik aktif 2 mm digunakan. Fluoroskopi dan
penyisipan jarum sepenuhnya sesuai dengan teknik yang dijelaskan untuk blok
diagnostik. Ketika jarum telah ditempatkan dengan benar, stimulasi pada 50 Hz
menyebabkan sensasi di punggung pada tegangan <1,5 V. Setelah itu, stimulasi 2
Hz diterapkan. Kontraksi otot kaki mungkin tidak dibiarkan terjadi di bawah dua
kali nilai ambang sensorik. Jika kondisi ini tidak terpenuhi, maka jarum
digerakkan sedikit ke samping dan ke depan sampai posisi aman tercapai.
Perlakuan RF dilakukan selama 60 detik pada 80 ° C.

Tingkat L5
Tingkat ini perlu mendapat perhatian khusus karena hubungan anatomis
dapat memerlukan teknik yang disesuaikan. Ini bisa disebabkan oleh iliaka krista
tinggi atau prosesus transversus yang luas. Dalam kasus ini, saraf segmental L5
keluar dari foramen intervertebrale lebih horizontal daripada saraf lumbal lainnya.
Saat menyetel C - arm secara aksial, yang terbaik adalah memproyeksikan
prosesus transversus setinggi mungkin. Dengan demikian, posisi jarum yang aman
sering kali dapat ditemukan untuk level ini. Namun demikian, intervensi pada
tingkat ini tidak mungkin dilakukan di semua kasus.

Ringkasan
Diskografi lumbal, diskografi provokatif, dan manometri diskus adalah
pemeriksaan yang bertujuan untuk menentukan apakah diskus intervertebralis
merupakan penyebab gejala nyeri pasien. Terlepas dari aliran literatur yang
kontradiktif, diskografi provokatif tetap menjadi standar emas untuk penentuan
diagnosis nyeri diskogenik. Untuk tujuan meningkatkan hasil perawatan
intradiscal invasif minimal, penting untuk menggunakan proses seleksi yang ketat
untuk memilih pasien diskografi dan melakukan diskografi dengan manometri.
Perlu dicatat bahwa penelitian yang dilakukan hingga saat ini belum memasukkan
pasien yang dipilih dengan cara yang benar secara umum, dan khususnya dengan
tidak melakukan diskografi secara memadai. Hal ini tentunya tidak berdampak
positif pada hasil. Untuk pengobatan nyeri diskogenik, pengobatan RF pada ramus
komunikan dapat direkomendasikan.

Daftar Pustaka
1. Kuslich SD , Ulstrom CL , Michael CJ . The tissue origin of low back
pain and sciatica: a report of pain response to tissue stimulation during
operations on the lumbar spine using local anesthesia . Orthop Clin North
Am. 1991 ; 22 : 181 – 187 .
2. Schwarzer AC , Aprill CN , Derby R , Fortin J , Kine G , Bogduk N . The
relative contributions of the disc and zygapophyseal joint in chronic low
back pain . Spine. 1994 ; 19 : 801 – 806 .
3. Cohen SP , Larkin TM , Barna SA , Palmer WE , Hecht AC , Stojanovic
MP. Lumbar discography: a comprehensive review of outcome studies,
diagnostic accuracy, and principles . Reg Anesth Pain Med. 2005 ; 30 :
163 – 183 .
4. Groen GJ , Baljet B , Drukker J . Nerves and nerve plexuses of the human
vertebral column . Am J Anat. 1990 ; 188 : 282 – 296 .
5. Suseki K , Takahashi Y , Takahashi K , Chiba T , Yamagata M , Moriya H
.Sensory nerve fi bres from lumbar intervertebral discs pass through rami
communicantes. A possible pathway for discogenic low back pain . J Bone
Joint Surg Br. 1998 ; 80 : 737 – 742 .
6. Oh WS , Shim JC . A randomized controlled trial of radiofrequency
denervation of the ramus communicans nerve for chronic discogenic low
back pain . Clin J Pain. 2004 ; 20 : 55 – 60 .
7. Nakamura SI , Takahashi K , Takahashi Y , Yamagata M , Moriya H .
The afferent pathways of discogenic low - back pain. Evaluation of L2
spinal nerve infi ltration . J Bone Joint Surg Br. 1996 ; 78 : 606 – 612 .
8. Schwarzer AC , Aprill CN , Derby R , Fortin J , Kine G , Bogduk N . The
prevalence and clinical features of internal disc disruption in patients with
chronic low back pain . Spine. 1995 ; 20 : 1878 – 1883 .
9. Ohnmeiss DD , Vanharanta H , Ekholm J . Relation between pain location
and disc pathology: a study of pain drawings and CT/discography . Clin J
Pain. 1999 ; 15 : 210 – 217 .
10. Ohnmeiss DD , Vanharanta H , Ekholm J . Relationship of pain drawings
to invasive tests assessing intervertebral disc pathology . Eur Spine J. 1999
; 8 : 126 – 131 .
11. Vanharanta H. The intervertebral disc: a biologically active tissue
challenging therapy . Ann Med. 1994 ; 26 : 395 – 399.
12. Carragee EJ , Hannibal M . Diagnostic evaluation of low back pain .
Orthop Clin North Am. 2004 ; 35 : 7 – 16 .
13. Zhou Y , Abdi S . Diagnosis and minimally invasive treatment of
lumbar discogenic pain — a review of the literature . Clin J Pain.
2006 ; 22 : 468 – 481 .
14. Ito M , Incorvaia KM , Yu SF , Fredrickson BE , Yuan HA , Rosenbaum
AE . Predictive signs of discogenic lumbar pain on magnetic resonance
imaging with discography correlation . Spine. 1998 ; 23 : 1252 –1258 ;
discussion 9 – 60 .
15. Gilbert FJ , Grant AM , Gillan MG , et al. Low back pain: infl uence of
early MR imaging or CT on treatment and outcome — multicenter
randomized trial . Radiology. 2004 ; 231 : 343 – 351 .
16. Wolfer LR , Derby R , Lee JE , Lee SH . Systematic review of lumbar
provocation discography in asymptomatic subjects with a meta -
analysis of false - positive rates . Pain Physician. 2008 ; 11 : 513 – 538.
17. Coppes MH , Marani E , Thomeer RT , Groen GJ . Innervation of
“ painful ” lumbar discs . Spine. 1997 ; 22 : 2342 – 2349 ; discussion 9– 50
.
18. Freemont AJ , Peacock TE , Goupille P , Hoyland JA , O ’ Brien J , Jayson
MI. Nerve ingrowth into diseased intervertebral disc in chronic back pain .
Lancet. 1997 ; 350 : 178 – 181 .
19. Hurri H , Karppinen J. Discogenic pain . Pain . 2004 ; 112 : 225 – 228 .
20. Peng B , Hao J , Hou S , et al. Possible pathogenesis of painful
intervertebral disc degeneration . Spine (Phila Pa 1976) . 2006 ; 31 : 560 –
566 .
21. Peng B , Chen J , Kuang Z , Li D , Pang X , Zhang X . Expression and role
of connective tissue growth factor in painful disc fi brosis and
degeneration . Spine (Phila Pa 1976) . 2009 ; 34 : E178 – E182 .
22. Peng B , Wu W , Hou S , Li P , Zhang C , Yang Y . The pathogenesis of
discogenic low back pain . J Bone Joint Surg Br. 2005 ; 87 : 62 – 67 .
23. Freemont AJ , Watkins A , Le Maitre C , et al. Nerve growth factor
expression and innervation of the painful intervertebral disc . J Pathol.
2002 ; 197 : 286 – 292 .
24. Freemont AJ. The cellular pathobiology of the degenerate intervertebral
disc and discogenic back pain . Rheumatology (Oxford) . 2009 ; 48 : 5 –
10 .
25. Sachs BL , Vanharanta H , Spivey MA , et al. Dallas discogram
description. A new classifi cation of CT/discography in low - back
disorders . Spine. 1987 ; 12 : 287 – 294 .
26. Vanharanta H , Sachs BL , Spivey MA , et al. The relationship of pain
provocation to lumbar disc deterioration as seen by CT/discography .
Spine. 1987 ; 12 : 295 – 298 .
27. Willems PC , Jacobs W , Duinkerke ES , De Kleuver M. Lumbar
discography: should we use prophylactic antibiotics? A study of 435
consecutive discograms and a systematic review of the literature . J Spinal
Disord Tech. 2004 ; 17 : 243 – 247 .
28. Carragee EJ , Don AS , Hurwitz EL , Cuellar JM , Carrino J , Herzog
R . Does discography cause accelerated progression of degeneration
changes in the lumbar disc: a ten - year matched cohort study . Spine
(Phila Pa 1976) . 2009 ; 34 : 2338 – 2345
29. 2O ’ Neill C , Kurgansky M. Subgroups of positive discs on discography .
Spine. 2004 ; 29 : 2134 – 2139 .
30. Seo KS , Derby R , Date ES , Lee SH , Kim BJ , Lee CH . In vitro
measurement of pressure differences using manometry at various injection
speeds during discography . Spine J. 2007 ; 7 : 68 – 73 .
31. Shin DA , Kim SH , Han IB , Rhim SC , Kim HI . Factors influencing
manometric pressure during pressure - controlled discography .
Spine(Phila Pa 1976) . 2009 ; 34 : E790 – E793 .
32. Bogduk N. Provocation discography: lumbar disc stimulation . In: ISIS ,
ed. Practice Guidelines for Spinal Diagnostic and Treatment Procedures .
Seattle, WA : International Spine Intervention Society ; 2004 : 20 – 46 .
33. Merskey H , Bogduk N. Classifi cation of Chronic Pain: Descriptions of
Chronic Pain Syndromes and Defi nitions of Pain Terms . 2nd ed . Seattle,
WA : IASP Press ; 1994 .
34. Saboeiro GR. Lumbar discography . Radiol Clin North Am. 2009 ; 47 :
421 – 433 .
35. Derby R , Howard MW , Grant JM , Lettice JJ , Van Peteghem PK , Ryan
DP. The ability of pressure - controlled discography to predict surgical and
nonsurgical outcomes . Spine. 1999 ; 24 : 364 – 371 ; discussion 71 – 72 .
36. Koes BW , van Tulder MW , Peul WC. Diagnosis and treatment of sciatica
. BMJ. 2007 ; 334 : 1313 – 1317 .
37. Luijsterburg PA , Verhagen AP , Ostelo RW , et al. Physical therapy plus
general practitioners ’ care versus general practitioners ’ care alone for
sciatica: a randomised clinical trial with a 12 - month follow - up . Eur
Spine J. 2008 ; 17 : 509 – 517 .
38. Luijsterburg PA , Verhagen AP , Ostelo RW , van Os TA , Peul WC ,
Koes BW. Effectiveness of conservative treatments for the lumbosacral
radicular syndrome: a systematic review . Eur Spine J. 2007 ; 16 :881 –
899 .
39. Buttermann GR. The effect of spinal steroid injections for degenerative
disc disease . Spine J. 2004 ; 4 : 495 – 505 .
40. Simmons JW , McMillin JN , Emery SF , Kimmich SJ. Intradiscal
steroids. A prospective double - blind clinical trial . Spine. 1992 ; 17 :
S172 –S175 .
41. Khot A , Bowditch M , Powell J , Sharp D . The use of intradiscal steroid
therapy for lumbar spinal discogenic pain: a randomized controlled trial .
Spine. 2004 ; 29 : 833 – 836 ; discussion 7 .
42. Muzin S , Isaac Z , Walker J 3rd . The role of intradiscal steroids in the
treatment of discogenic low back pain . Curr Rev Musculoskelet Med.
2008 ; 1 : 103 – 107 .
43. Klein RG , Eek BC , O ’ Neill CW , Elin C , Mooney V , Derby RR.
Biochemical injection treatment for discogenic low back pain: a pilot
study . Spine J. 2003 ; 3 : 220 – 226 .
44. Derby R , Eek B , Lee SH , Seo KS , Kim BJ . Comparison of intradiscal
restorative injections and intradiscal electrothermal treatment (IDET) in
the treatment of low back pain . Pain Physician. 2004 ; 7 : 63 – 66 .
45. Saal JA , Saal JS . Intradiscal electrothermal treatment for chronic
discogenic low back pain: a prospective outcome study with minimum 1 -
year follow - up . Spine. 2000 ; 25 : 2622 – 2627 .
46. Freeman BJ. IDET: a critical appraisal of the evidence . Eur Spine J. 2006
; 15 ( suppl 3 ): S448 – S457 .
47. Urrutia G , Kovacs F , Nishishinya MB , Olabe J . Percutaneous
thermocoagulation intradiscal techniques for discogenic low back pain .
Spine. 2007 ; 32 : 1146 – 1154 .
48. Pauza KJ , Howell S , Dreyfuss P , Peloza JH , Dawson K , Bogduk N . A
randomized, placebo - controlled trial of intradiscal electrothermal therapy
for the treatment of discogenic low back pain . Spine J. 2004 ; 4 : 27 – 35 .
49. Appleby D , Andersson G , Totta M . Meta - analysis of the efficacy and
safety of intradiscal electrothermal therapy (IDET) . Pain Med. 2006 ; 7 :
308 – 316 .
50. Kapural L , Mekhail N , Hicks D , et al. Histological changes and
temperature distribution studies of a novel bipolar radiofrequency heating
system in degenerated and nondegenerated human cadaver lumbar discs .
Pain Med. 2008 ; 9 : 68 – 75 .
51. Pauza K. Cadaveric intervertebral disc temperature mapping during disc
biacuplasty . Pain Physician. 2008 ; 11 : 669 – 676 .
52. Kapural L , Nageeb F , Kapural M , Cata JP , Narouze S , Mekhail N .
Cooled radiofrequency system for the treatment of chronic pain from
sacroiliitis: the fi rst case - series . Pain Pract. 2008 ; 8 : 348 – 354 .
53. Barendse GA , van Den Berg SG , Kessels AH , Weber WE , van Kleef
M. Randomized controlled trial of percutaneous intradiscal radiofrequency
thermocoagulation for chronic discogenic back pain: lack of effect from a
90 - second 70 ° C lesion . Spine. 2001 ; 26 : 287 – 292 .
54. Ercelen O , Bulutcu E , Oktenoglu T , et al. Radiofrequency lesioning
using two different time modalities for the treatment of lumbar discogenic
pain: a randomized trial . Spine. 2003 ; 28 : 1922 – 1927 .
55. Erdine S , Yucel A , Celik M . Percutaneous annuloplasty in the treatment
of discogenic pain: retrospective evaluation of one year follow up .
Agriculture 2004 ; 16 : 41 – 47 .
56. Finch PM , Price LM , Drummond PD . Radiofrequency heating of
painful annular disruptions: one - year outcomes . J Spinal Disord Tech.
2005 ; 18 : 6 – 13 .
57. Kvarstein G , Mawe L , Indahl A , et al. A randomized double – blind
controlled trial of intra - annular radiofrequency thermal disc therapy — a
12 - month follow - up . Pain. 2009 ; 145 : 279 – 286 .
58. van Kleef M , Kessels AG. Underpowered clinical trials: time for a change
. Pain. 2009 ; 145 : 265 – 266 .
59. Kapural L , Hayek S , Malak O , Arrigain S , Mekhail N . Intradiscal
thermal annuloplasty versus intradiscal radiofrequency ablation for the
treatment of discogenic pain: a prospective matched control trial . Pain
Med. 2005 ; 6 : 425 – 431 .
60. Ohtori S , Takahashi K , Chiba T , Yamagata M , Sameda H , Moriya H .
Sensory innervation of the dorsal portion of the lumbar intervertebral discs
in rats . Spine. 2001 ; 26 : 946 – 950 .
61. Sluijter ME. Radiofrequency lesions of the communicating ramus in the
treatment of low back pain . In: Raj PP , ed. Current Management of Pain .
Philadelphia : Kluwer Academic publishers ; 1989 : 145 – 159 .
62. Chandler G , Dalley G , Hemmer J , Jr , Seely T. Gray ramus
communicans nerve block: novel treatment approach for painful
osteoporotic vertebral compression fracture . South Med J. 2001 ; 94 : 387
– 393 .
63. Gibson JN , Waddell G . Surgical interventions for lumbar disc prolapse:
updated Cochrane Review . Spine. 2007 ; 32 : 1735 – 1747 .
64. Van Boxem K , Cheng J , Patijn J , van Kleef M , Lataster A , Mekhail N ,
Van Zundert J. 11. Lumbosacral radicular pain . Pain Pract. 2010 ; 10 :
339 – 358 .
65. Jensen TS , Albert HB , Soerensen JS , Manniche C , Leboeuf - Yde C.
Natural course of disc morphology in patients with sciatica: an MRI study
using a standardized qualitative classifi cation system . Spine. 2006 ; 31 :
1605 – 1612 ; discussion 13 .
66. Boswell MV , Trescot AM , Datta S , et al. Interventional techniques:
evidence - based practice guidelines in the management of chronic spinal
pain . Pain Physician. 2007 ; 10 : 7 – 111 .
67. Al - Zain F , Lemcke J , Killeen T , Meier U , Eisenschenk A. Minimally
invasive spinal surgery using nucleoplasty: a 1 - year follow - up study .
Acta Neurochir (Wien) . 2008 ; 150 : 1257 – 1262 .
68. Manchikanti L , Derby R , Benyamin RM , Helm S , Hirsch JA . A
ystematic review of mechanical lumbar disc decompression with
nucleoplasty . Pain Physician. 2009 ; 12 : 561 – 572 .
69. Alo KM , Wright RE , Sutcliffe J , Brandt SA . Percutaneous lumbar
discectomy: clinical response in an initial cohort of fifty consecutive
patients with chronic radicular pain . Pain Pract. 2004 ;4 : 19 – 29 .
70. Amoretti N , David P , Grimaud A , et al. Clinical follow - up of 50
patients treated by percutaneous lumbar discectomy . Clin Imaging. 2006 ;
30 : 242 – 244 .
71. Bocci V. Ozone as a bioregulator. Pharmacology and toxicology of
ozonetherapy today . J Biol Regul Homeost Agents. 1996 ; 10 : 31 – 53 .
72. Buric J , Molino Lova R. Ozone chemonucleolysis in non - contained
lumbar disc herniations: a pilot study with 12 months follow - up . Acta
Neurochir Suppl. 2005 ; 92 : 93 – 97 .
73. Muto M , Andreula C , Leonardi M . Treatment of herniated lumbar disc
by intradiscal and intraforaminal oxygen - ozone (O 2 - O 3 ) injection . J
Neuroradiol. 2004 ; 31 : 183 – 189 .
74. Gallucci M , Limbucci N , Zugaro L , et al. Sciatica: treatment with
intradiscal and intraforaminal injections of steroid and oxygen - ozone
versus steroid only . Radiology. 2007 ; 242 : 907 – 913 .
75. Bonetti M , Fontana A , Cotticelli B , Volta GD , Guindani M , Leonardi
M . Intraforaminal O(2) - O(3) versus periradicular steroidal infiltrations in
lower back pain: randomized controlled study . AJNR Am J Neuroradiol.
2005 ; 26 : 996 – 1000 .
76. Sharma SK , Jones JO , Zeballos PP , Irwin SA , Martin TW . The
prevention of discitis during discography . Spine J. 2009 ; 9 : 936 – 943 .
17. Herpes Zoster dan Neuralgia Paska Herpes

Pendahuluan
Herpes zoster adalah kondisi infeksi virus yang sering terjadi pada orang tua.
Insidensi pada populasi Belanda adalah 3.4 per 1000 orang per tahun; pada populasi
yang berusia lebih dari 75 tahun, terjadi peningkatan menjadi 9,1 per 1000 orang
per tahun. Sekitar 30% dari seluruh jiwa pernah terinfeksi herpes zoster selama
hidupnya. Berbeda dengan infeksi herpes jenis lain, herpes zoster relatif jarang
kambuh. Hanya presentase kecil pasien dirujuk ke rumah sakit oleh dokter layanan
primer, dan biasanya untuk penanganan nyeri yang parah. Neuralgia paska herpes
didefinisikan sebagai nyeri terkait zoster, yang masih ada selama 1 bulan setelah
perkembangan vesikel. Terkadang, dapat bertahan selama 3 sampai 6 bulan. Dalam
uji klinis, ambang nilai untuk intensitas nyeri 30 pada skala 100 poin yang
digunakan. Kejadian ini dapat bervariasi dari 10% hingga lebih dari 50%. Risiko
NPH meningkat dengan usia. Gambar 17.1 menunjukkan penyembuhan secara
alami dari nyeri akibat herpes zoster dan NPH. Mesikupun nyeri hebat yang
menetap ditemukan pada presentase kecil pasien dengan herpes zoster. Pada mereka
yang mengalami hal tersebut dapat berdampak pada kualitas hidupnya, baik secara
langsung melalui rasa nyeri tetapi juga secara tidak langsung melalui rasa kelelahan,
berkurangnya mobilitas dan kontak sosial.

Patofisiologi
Herpes zoster berkembang melalui reaktivasi virus varicella zoster (VVZ), yang
menginfeksi orang selama masa kanak-kanak dan mengarah ke cacar air (varicella).
Setelah sembuh dari cacar air, virus menjadi laten di ganglia sensorik. Kekebalan
khusus terhadap virus secara bertahap berkurang seiring bertambahnya usia, dan
virus dapat melewati pertahanan ini. Virus menyebar dari ganglia melalui akson ke
epidermis yang menyebabkan ruam unilateral yang khas herpes zoster di satu atau,
kadang-kadang, beberapa dermatom. Vesikula tersebut mengandung virus dan
karena itu dapat menular ke orang yang belum memiliki imunitas alami. Kontak
dengan cacar air dapat memperkuat resistensi melawan VVZ, yang mengurangi
risiko herpes zoster. Nyeri akibat herpes zoster terutama berkembang karena
peradangan saraf sensorik.
Patofisiologi PHN belum sepenuhnya dipahami. Tetapi, dua proses memainkan
peran: sensitisasi dan deafferenisasi. Sensitisasi perifer berkembang karena
mediator inflamasi, seperti substansi P, histamin, dan sitokin mereduksi ambang
stimulus nosiseptor. Sensitisasi sentral adalah terkait dengan respons yang semakin
kuat dari sel saraf di
tanduk oksipital untuk stimulasi terus menerus oleh serat C nosiseptif. Ketulian
dapat berkembang melalui replikasi virus di dalam sel dan / atau reaksi inflamasi
berikutnya.
Pembengkakan yang menyertai peradangan dapat menekan ganglion sensorik di
foramen intervertebrale, mengakibatkan iskemia dan kerusakan jaringan saraf.
Selain itu, aktivasi sel Schwann juga diduga memainkan peran.

Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien dengan herpes zoster melaporkan gejala unilateral di dermatom yang
berhubungan dengan ganglion spinale yang terkena (ganglion akar punggung,
DRG). Selain nyeri, ada parestesia, disestesia, dan pruritus. Demikian juga, malaise
umum, demam, dan sakit kepala bisa terjadi. Gejala ini biasanya dimulai sebagai
prodromal beberapa hari sebelum ruam terjadi.
Nyeri yang berhubungan dengan dermatom digambarkan sebagai rasa terbakar,
berdenyut, mati rasa, dan gatal. Pasien dengan neuralgia pasca herpes
menggambarkan nyeri sebagai nyeri tajam, terbakar, sakit, atau menembak yang
terus-menerus hadir di dermatom yang sesuai dengan ruam sebelumnya. Stimulasi
nyeri yang diinduksi, alodinia, dan hiperalgesia sering terjadi. Mengenakan pakaian
bisa sangat tidak menyenangkan atau bahkan menyakitkan untuk pasien ini.
2. Pemeriksaan Fisik
Selama fase akut, pasien menunjukkan ruam yang khas kemerahan, papula, dan
vesikula di dermatom yang terasa nyeri. Penyembuhan vesikel menunjukkan
pembentukan kerak. Ruam umumnya unilateral dan tidak melewati garis tengah
tubuh. Sensorik terganggu seperti hypesthesia, hyperalgesia, atau allodynia sering
terjadi. Kecacatan motorik jarang terjadi. Area yang menyakitkan bisa bertambah
ukurannya dan melebihi batas dermatom yang terkena NPH.
3. Pemeriksaan Tambahan
Pengujian laboratorium tambahan, seperti reaksi berantai polimerase (PCR), dapat
menentukan atau menyingkirkan adanya herpes simpleks virus bila terdapat
presentasi atipikal dari ruam epidermal dan ruam yang timbul di area yang sama.
Peningkatan titer antibodi yang kuat dapat membentuk zoster sine herpete jika tidak
ada nyeri terkait vesikel dermatom.

Diagnosis Banding
Selama fase prodromal dan tergantung pada dermatom terlibat, kemungkinan
diagnosis banding, seperti penyakit arteri koroner, pleurodynia, kostokondritis
(Sindrom Tietze), perikarditis, kolesistitis, nyeri perut akut, penyakit diskus,
penyakit saraf, dan nyeri myofascial. Diagnosis herpes zoster biasanya mudah
ditegakkan segera setelah ruamnya terlihat. Namun, dalam 10% hingga 20% kasus,
ternyata diketahui bahwa diagnosis klinis herpes zoster tidak dapat dipastikan
dengan serologi atau PCR. Perbedaan dari herpes simpleks agak sulit pada orang
muda. Berlawanan dengan herpes zoster, herpes simpleks, ruamnya bisa melewati
garis tengah tubuh, dan gejalanya bisa kambuh. Dermatitis kontak dan ruam
epidermis akibat keracunan makanan juga harus dapat dikesampingkan. Diagnosis
NPH ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jaringan parut atau
vitiligo sering terjadi. Jika tidak ada vesikel yang terlihat atau didokumentasikan,
perbedaannya antara NPH dan sindrom nyeri neuropatik lainnya tidak dapat terjadi.

Tatalaksana
Tujuan pengobatan herpes zoster adalah: (1) mengurangi keparahan dan durasi
nyeri; (2) pemulihan kerusakan epidermal dan pencegahan infeksi sekunder; dan
(3) pengurangan atau pencegahan NPH. Tujuan pengobatan NPH terutama adalah
untuk meredakan nyeri dan peningkatan kualitas hidup.
 Terapi Konservatif
1. Medikamentosa Herpes Zoster
a. Antiviral
Obat antivirus, seperti asiklovir, famcyclovir, atau valacyclovir, harus
dimulai secepat mungkin setelah timbulnya tanda klinis. Tinjauan tentang
efektivitas perawatan ini menunjukkan bahwa pengobatan antivirus, apabila
dimulai dalam 72 jam setelah perkembangan vesikel, mempercepat
penyembuhan vesikel sekitar 1 sampai 2 hari. Namun, antivirus belum dapat
mencegah NPH. Obat antivirus mengurangi, paling banyak sedikit, insiden
dan durasi dari NPH.

b. Kortikosteroid
Sebuah penelitian acak membandingkan efek asiklovir dengan kombinasi
asiklovir dan prednisolon. Pengurangan nyeri yang jauh lebih baik diperoleh
dalam 2 minggu pertama untuk kelompok yang diobati dengan prednisolon.
Studi lain membandingkan efek asiklovir - prednisolon, asiklovir - plasebo,
prednisolon - plasebo, dan plasebo - plasebo. Para pasien yang menerima
prednisolon sendiri atau dalam kombinasi dengan asiklovir memiliki
peluang 2,3 kali lebih besar untuk bebas nyeri setelah sebulan dibandingkan
dengan pasien yang tidak menerima prednisolon. Ulasan Cochrane
mempelajari efek oral, intramuskular, atau pemberian kortikosteroid
intravena selama akut fase herpes zoster untuk pencegahan NPH 6 bulan
setelah infeksi akut.
c. Analgesik
Tidak ada penelitian yang mengevaluasi efek anti-steroid nonsteroid. obat
inflamasi (NSAID) dan / atau parasetamol. Pengalaman klinis menunjukkan
bahwa analgesik ini mengurangi nyeri akut. Opioid efektif dalam
mengurangi nyeri herpes zoster akut.

d. Anestesi Lokal
Bukti klinis dan uji coba terkontrol acak tunggal (RCT) menunjukkan
bahwa lidokain topikal efektif tanpa efek samping yang signifikan efek.

e. Analgesik Tambahan
Sebuah studi kecil terkontrol menunjukkan bahwa amitriptyline (25 mg
sehari diminum selama 90 hari di malam hari) selama akut fase herpes zoster
menurunkan risiko NPH sebesar 50%. 16 Lainnya studi menunjukkan
bahwa gabapentin mengurangi nyeri herpes zoster akut.

 Terapi NPH
a. Antidepresan Trisiklik
Antidepresan trisiklik yang paling sering digunakan dan diselidiki adalah
amitriptyline. Data kolektif dari RCT yang berbeda menunjukkan angka yang
dibutuhkan untuk dirawat (NNT) 2,6 untuk mendapatkan menghilangkan rasa sakit
yang signifikan. Produk terpenting dalam grup antidepresan trisiklik selain
amitriptilin adalah nortriptyline dan desipramine. Semua obat ini menyediakan
hasil yang sebanding.

b. Antiepileptik
Efek gabapentin dengan NPH telah diselidiki secara ekstensif. Sebuah meta
- analisis dari dua RCT memperkirakan NNT kolektif 4,4.Dalam studi ini,
dosis harian rata-rata berkisar antara 1.800 mg hingga 2.400 mg. Sebuah
RCT membandingkan gabapentin dalam dosis hingga 3.600 mg sehari
dengan plasebo dan menemukan pengurangan nyeri yang signifikan di
kelompok yang diberikan gabapentin. Pregabalin diasumsikan memiliki
mekanisme aksi yang sebanding ke gabapentin. Satu-satunya perbedaan
adalah bahwa pregabalin lebih baik diserap dengan kinetika linier, sehingga
lebih mudah untuk dititrasi. Sebuah RCT menunjukkan bahwa pregabalin,
dalam dosis harian 150 sampai 600 mg, meredakan nyeri lebih baik dari
pada plasebo.

c. Tramadol
Sebuah studi terkontrol plasebo, di mana 127 pasien dengan NPH diobati
dengan tramadol kerja panjang dengan dosis rata-rata 275 mg per hari
selama 6 minggu, menunjukkan pengurangan dan perbaikan nyeri yang
signifikan kualitas hidup.

d. Opioid
Peran opioid dalam pengobatan nyeri neuropatik masih kontroversial untuk
waktu yang lama. Sekarang telah ditunjukkan bahwa pemberian opioid
intravena memberikan pengurangan yang signifikan terhadap nyeri
neuropatik. Efek analgesik oksikodon untuk pengobatan NPH dievaluasi
secara uji acak tersamar ganda. Pengobatan oksikodon menghasilkan
pengurangan nyeri yang lebih baik secara signifikan (allodynia, nyeri
persisten, dan nyeri spontan paroksismal). NNT 2,7 ditemukan untuk
pengobatan opioid.Data ini menyiratkan bahwa opioid dapat berguna dalam
pengobatan NPH.

2. Terapi Lokal
a. Lokal Anestesi
Patch lidokain 5% diselidiki untuk pengobatan NPH. Sebuah RCT dan dua
studi label terbuka menunjukkan efek positif saat patch diterapkan ke area
yang paling nyeri. Tinjauan Cochrane menyimpulkan bahwa ada bukti yang
tidak memadai untuk direkomendasikan lidokain topikal sebagai
pengobatan lini pertama untuk NPH.
b. Capsaicin
Sebuah studi 6 minggu dengan kelompok paralel yang dipantau selama 2
tahun studi menunjukkan bahwa 0,075% krim capsaicin memberikan
pengurangan rasa sakit pada 64% pasien setelah 6 minggu sebagai
perbandingan dengan 25% dari pasien yang menerima plasebo. Krim harus
diaplikasikan berulang tiga sampai empat kali sehari dan sering disertai oleh
iritasi lokal dan sensasi terbakar yang tidak menyenangkan, yang dapat
menjadi ancaman bagi kepatuhan pengobatan.

3. Terapi Lain
Sejumlah perawatan lain digunakan, seperti reseptor NMDA antagonis,
ketamin, NSAID topikal dan antidepresan trisiklik, Botox, iontophoresis
vincristine, homeopati, dan akupunktur.
a. Terapi Kombinasi
Perawatan obat yang berbeda biasanya diselidiki dan ditangani secara
individual. Namun, ada kecenderungan untuk diterapkan lebih dari satu
kelas terapeutik secara bersamaan untuk mencapai efek aditif atau sinergis.
Dalam uji coba acak silang dengan 41 pasien, ada analgesia yang lebih baik
dengan kombinasi dari gabapentin dan morfin dalam dosis yang lebih
rendah dibandingkan dengan monoterapi menggunakan salah satu produk
ini saja.

4. Tatalaksana Intervensi
a. Injeksi Epidural dan Paravertebra
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suntikan kortikosteroid epidural
dengan atau tanpa anestesi lokal mengurangi nyeri selama fase akut.
Pertanyaannya adalah, apakah pengobatan ini mencegah NPH. Sebuah
penelitian di Italia dengan 600 pasien herpes zoster usia lebih dari 55 tahun
dengan skala analog visual lebih besar dari 70 dibandingkan suntikan
berulang bupivacaine dan methylprednisolone menggunakan cara kateter
epidural dengan prednisolon intravena dan asiklovir. Suntikan epidural
diulangi setiap 3 sampai 4 hari(maksimal 3 minggu) sampai pasien bebas
dari nyeri. Analisis setelah 1 tahun dari 485 pasien yang menyelesaikan
penelitian menunjukkan kejadian 22% NPH pada kelompok yang menerima
asiklovir dan prednisolon intravena, dan 1,6% NPH masuk kelompok yang
menerima bupivakain epidural dan metilprednisolon. Namun, mengingat
risiko endokrinologis utama efek samping. Di banyak negara, pemberian
epidural lebih umum injeksi tanpa menggunakan kateter. Dalam studi
multicenter di Belanda, 598 pasien berusia 50 atau lebih dengan herpes
zoster di bawah dermatom C6 dipelajari untuk melihat apakah epidural
interlaminar tunggal injeksi bupivacaine (10 mg) dan methylprednisolone
(80 mg) memiliki nilai tambahan di atas pengobatan standar dengan obat
antivirus dan penghilang rasa sakit. Injeksi epidural diberikan untuk
mengurangi rasa sakit selama 1 bulan setelah perkembangan vesikula, tetapi
tidak ada efek jangka panjang, seperti pencegahan NPH. Injeksi epidural
interlaminar digunakan dalam metode ini secara acak. Teknik
transforaminal dengan radiografi adalah pendekatan alternatif untuk
mencapai ruang epidural tempat dispersi. Obat untuk ganglion spinale yang
terkena (akar dorsal ganglion, DRG) mungkin akan lebih baik. Kesulitan
teknik ini, terutama di dada, bahwa dermatom yang terkena tidak dapat
ditentukan dengan pasti,. Tidak ada penelitian tentang efektivitas teknik ini
untuk herpes zoster. Secara teoritis, teknik,yang membutuhkan posisi jarum
dan dispersi obat yang akan dipantau, sebaiknya dilakukan di bawah kendali
radiografi. Nilai suntikan epidural untuk pengobatan NPH yang ada juga
belum diselidiki.Sebuah studi pusat tunggal baru-baru ini mengacak 132
pasien herpes zoster terhadap terapi standar antivirus dan analgesik
oral,natau serangkaian 4 suntikan paravertebral bupivacaine dan
metilprednisolon selain terapi standar. Setelah 12 bulan, kejadian NPH
setelah injeksi paravertebral adalah 2% dibandingkan dengan terapi standar
saja yaitu 16%. Penulis dari penelitian terakhir menyimpulkan bahwa
serangkaian blok paravertebral tampaknya efektif dalam mencegah NPH
tetapi studi lanjut yang lebih besar diperlukan.
b. Injeksi Intratekal
Sebuah penelitian di Jepang terhadap 277 pasien NPH melaporkan dengan
jelas efek positif dari 4 suntikan intratekal mingguan 60 mg
metilprednisolon dilarutkan dalam lidokain 3%. Komplikasi seperti
hipotensi, gejala iritasi akar saraf, dan arachnoiditis tidak dilaporkan.

c. Blokade Saraf Simpatis


Studi acak kecil membandingkan pemberian bupivakain dengan larutan
garam fisiologis. Sebuah tinjauan menyimpulkan bahwa berdasarkan Dari
data retrospektif, ditemukan bukti adanya blokade saraf simpatis
mengurangi durasi nyeri herpes zoster akut. Pengaruh blok saraf simpatis
pada risiko terjadinya perkembangan NPH didapat dari studi retrospektif
yang menyelidiki fase akut. Hasilnya adalah sulit untuk diartikan, karena
waktu awal blokir saraaf simpatik dan kriteria evaluasi berbeda. Blok saraf
simpatis untuk pengobatan NPH dievaluasi terutama dalam studi
retrospektif juga. Dalam beberapa penelitian, pengurangan rasa sakit dicatat
pada awalnya, tetapi efek ini tidak dipertahankan untuk jangka panjang. Ada
bukti yang tidak memadai untuk efek jangka panjang dari blok saraf
simpatis untuk NPH.

d. Stimulasi Medulla Spinalis


Dua puluh delapan pasien berturut-turut yang menderita NPH refrakter
pengobatan farmakologis menerima stimulasi sumsum tulang belakang.
Mayoritas pasien ini memiliki penyakit dasar yang serius seperti kondisi
kardiovaskular, pernapasan, endokrin, atau kanker. Penghilangan rasa sakit
yang bertahan lama, yang durasinya tidak dilaporkan dalam publikasi,
diperoleh pada 23 pasien dan obat pereda nyeri bisa dikurangi atau bahkan
dihentikan sama sekali(kriteria inklusi adalah respon positif untuk blok saraf
simpatik). Penelitian ini memiliki berbagai kelemahan diantaranya tidak
adanya kelompok perlakuan komparatif.
Komplikasi Terapi Intervensi
a. Komplikasi Injeksi Epidural dan Paravertebral
Komplikasi suntikan termasuk hematoma atau abses, tapi risikonya rendah.
Kortikosteroid dapat menyebabkan depresi sementara dari korteks adrenal.
Pada saat penyuntikan, kekebalan seluler telah mencapai puncaknya karena
intervensi berlangsung setidaknya beberapa hari setelah awal mula kondisi.
Oleh karena itu, peningkatan risiko penyebaran atau penyebaran infeksi
karena aktivitas imunosupresif kortikosteroid ini tidak diharapkan. Risiko
infark sumsum tulang belakang secara tidak sengaja injeksi intra - arteri
pada saat epidural transforaminal metode. Partikel steroid dapat
menyebabkan proses emboli di sumsum tulang belakang. Pneumotoraks
adalah risiko injeksi paravertebral.

b. Komplikasi Blok Saraf Simpatis


Vasodilatasi terjadi pada ekstremitas saat saraf simpatis diblokir, dan dapat
disertai dengan hipotensi. Tekanan darah harus terus diukur dalam ruang
pemulihan. Kristaloid intravena dapat diberikan tergantung tekanan
darahnya. Hipotensi ortostatik dapat terjadi saat berdiri dengan cepat.
Setelah masa pemulihan, disarankan agar pasien meminum cairan oral
tambahan selama 24 jam pertama. Komplikasi lain adalah kerusakan pada
nervus ilioinguinalis tetapi jarang; lebih sering (5% sampai 10%) saraf
genitofemoralis terluka. Hal ini dapat menyebabkan nyeri neuropatik.

c. Komplikasi Stimulasi Medula Spinalis


Telah dijelaskan pada bab tentang sindrom nyeri regional kompleks
(CRPS).

Bukti Ilmiah untuk Tatalaksana Intervensi


Bukti yang tersedia untuk teknik manajemen nyeri intervensi iringkas dalam
Tabel 17.1
Rekomendasi
Suntikan kortikosteroid epidural dengan anestesi lokal bisa digunakan pada
penderita nyeri akibat herpes zoster. Pemantauan posisi jarum yang benar
dengan radiografi memiliki manfaat teoritis dibandingkan dengan teknik
"buta". Efektivitas dan keamanan suntikan kortikosteroid epidural
transforaminal untuk pasien dengan herpes zoster belum diselidiki dan harus
selanjutnya hanya dilakukan sebagai bagian dari studi. Seri dari suntikan
paravertebral kortikosteroid dengan anestesi lokal setiap hari kedua selama
seminggu bisa menjadi alternatif. Blok saraf simpatik juga dapat
dipertimbangkan, terutama selama stadium akut, tetapi tidak memiliki
keunggulan dibandingkan kortikosteroid epidural dengan atau tanpa
anestesi lokal. Blok saraf simpatis dapat dipertimbangkan untuk pasien yang
menderita dari NPH refraktori ke pengobatan konservatif. Untuk pasien
yang memiliki kontrol nyeri yang tidak memadai dengan blok saraf
simpatis, Stimulasi sumsum tulang belakang dapat dipertimbangkan.
Mempertimbangkan derajatnya invasivitas dan biaya perawatan ini, harus
lebih diutamakan dilakukan dalam konteks studi.

Vaksinasi
Pengamatan bahwa herpes zoster terutama muncul pada pasien orang tua (>
50 tahun) dan penurunan imunitas akan menyertai dengan peningkatan
risiko ini terbukti respon imun spesifik VZV yang berkurang. Selain itu,
juga bahwa kontak dengan anak-anak dengan varicella meningkat
kekebalan untuk varicella zoster. Secara teoritis, kekebalan orang dewasa
untuk VZV ditingkatkan dengan vaksinasi penguat. Dengan metode ini,
kejadian infeksi herpes zoster dan, kejadian NPH berkurang. Studi
pencegahan herpes zoster termasuk 38.456 orang dewasa yang, diacak,
menerima vaksin zoster atau plasebo. Para peserta di penelitian diikuti
selama rata-rata durasi 3,13 tahun setelah vaksinasi. Vaksinasi mengurangi
beban penyakit secara signifikan, yang terdiri dari insidensi herpes zoster,
durasi, dan intensitas nyeri. Beban penyakit 61,1% lebih rendah pada
kelompok vaksinasi dibandingkan dengan plasebo. Insiden NPH aktif
kelompok adalah 66,5% lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
plasebo. Penemuan-penemuan ini yang pasti memberikan harapan dan
menempatkan rencana pencegahan terlebih dahulu melalui algoritma
pengobatan. Dalam editorial tentang pencegahan dengan injeksi epidural
postherpetic neuralgia pada studi lanjut usia yang dijelaskan di atas,Baron
dan Wasner mengusulkan algoritme (Gambar 17.2).
Algoritma Praktis Klinis
Gambar 17.3 merupakan ilustrasi tatalaksana NPH

Ringkasan
Herpes zoster adalah suatu kondisi yang umumnya menyerang orang tua.
Perjalanan biasanya ringan, dan gejala menghilang secara spontan dalam
beberapa minggu. Namun, beberapa pasien mengalami perpanjangan waktu
nyeri: NPH. Sindrom nyeri persisten ini sulit dilakukan terapi. Perawatan
intervensi, seperti suntikan epidural kortikosteroid dan obat anestesi lokal,
berpengaruh pada nyeri akut tetapi penggunaannya terbatas dalam
mencegah NPH.
Meralgia Paresthetica
Pengantar

Meralgia paresthetica (MP) adalah karakter gangguan neurologis - berukuran


paresthesia dan mati rasa di area kulit anterolateral paha karena lesi (kompresi)
dan/atau disenfition dari nervus cutaneus femoris lateralis (lateral femoral
cutaneous saraf, LFCN).

Meskipun MP dapat berkembang secara spontan pada usia berapa pun,


penyakit ini biasanya muncul pada kelompok usia 30 hingga 40 tahun.1 Insiden-
densi pada anak-anak bisa lebih tinggi dari yang diasumsikan semula.2 MP
muncul pada sepertiga anak-anak yang telah menjalani operasi untuk oste
osteomaoid.1 Insiden 0,43 pada 10.000 ditemukan dalam studi Belanda tentang
populasi perawatan lini pertama dari 173.375 pasien.3 Ada insiden MP yang lebih
tinggi pada laki-laki. Selain itu, ada korelasi dengan obesitas, diabetes, dan
kehamilan terkait dengan peningkatan tekanan intra-perut.4 Namun, MP juga
terlihat pada anak-anak dengan tubuh yang relatif ramping.5

Meralgia paresthetica dapat memiliki banyak etiologi dan dapat dibagi


menjadi dua kelompok utama: onset spontan dan iatrogenik.6 MP spontan terjadi
tanpa intervensi bedah sebelumnya dan dapat dibagi menjadi tipe idiopatik,
metabolisme, dan / atau mekanis.6,7 Dalam kasus jenis mekanis, peningkatan
tekanan intra-abdominal memainkan peran yang muncul dengan obesitas dan
kehamilan.4 Tekanan langsung eksternal pada LFCN dari mengenakan ikat
pinggang, korset, atau celana ketat dapat menyebabkan MP. Namun, tekanan
internal, seperti yang disebabkan oleh tumor rahim, juga dapat hadir sebagai MP.8
Penyebab lain untuk timbulnya MP secara spontan adalah cacat degeneratif
radiologi dari simfisis pubica9 dan disparitas panjang kaki.10 radikulopati L1 juga
dapat meniru MP.11

metabolisme seperti keracunan timbal, alkoholisme, hipotesis- roidisme, dan


diabetes dianggap khususnya berkorelasi dengan MP.7

Pembeda pada tulang belakang dan panggul (osteotomi), di mana lesi


langsung ke LFCN terjadi, adalah penyebab iatrogenik yang paling impor- tant
untuk timbulnya MP, dan terlihat di sekitar 20% kasus.12 Neurotmesis LFCN
sering dijelaskan dalam kaitannya dengan panen cangkok tulang autogen dari
crista iliaca dalam operasi spondylodesis.12 Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
LFCN memiliki variasi anatomi yang berbeda, termasuk varian di mana ia
berjalan melintasi crista iliaca.13 Neuropraxia kompresi pada pasien yang
menjalani operasi tulang belakang pada Hall - Bingkai Relton dan neuropraxia
LFCN dengan traksi pada psoas muskulus utama selama pembedahan
retroperitoneal juga dijelaskan.15 Banyak operasi lain yang terkait dengan
timbulnya iatrogenik MP karena pemposisian, kompresi dengan menahan sabuk
atau perangkat, atau cedera bedah langsung, seperti operasi penggantian pinggul
total, kolecystectomy laparoskopi dan miomektomi, transplantasi untuk operasi
bypass koroner, pengurangan perut, operasi untuk obesitas morbid, dan perbaikan
inguinal laparoskopi.6 Ketika operasi dilakukan di area spina iliaca anterior
superior (tulang belakang iliac superior anterior, ASIS), pasien memiliki risiko
35% kehilangan sensorik dan risiko 5% devel- oping MP.14

Topografi anatomi kotor variabel LFCN sehubungan dengan struktur


tulang di sekitarnya dan jaringan lunak penting, di satu sisi, karena mungkin bisa
menjadi predikat- tor dari timbulnya MP; dan di sisi lain, untuk interpretasi
blokade diagnostik dan untuk pilihan pengobatan lokal potensial. Variasi anatomi
LFCN muncul pada 25% pasien.15

Perkembangan lima jenis LFCN dapat dibedakan berdasarkan studi


cadaver.15

Tipe A: LFCN menjalankan posterior ke ASIS melalui crista iliaca (4%).

Tipe B: LFCN menjalankan anterior ke ASIS di atas asal usul tendinous dari
musculus sartorius, tetapi tertanam dalam jaringan inguinale ligamentum (27%).

Tipe C: LFCN menjalankan medial ke ASIS, tertanam dalam asal usul tendinous
musculus sartorius (23%).

Tipe D: LFCN menjalankan medial ke asal-usul sulkulus sartorius, dimanaalisasi


antara tendon sartorius muskulus dan fascia tebal dari iliopsoas muskulus di
bawah inguinale ligamentum (26%).
Tipe E: LFCN berjalan lebih jauh secara medial dan tertanam di jaringan ikat di
bawah inguinale ligamentum dan terletak pada fascia tipis dari iliopsoas muskulus
di mana ia bercak ke arah ramus femoralis genitofemoralis nervus (20%).9

Tipe A, B, dan C adalah yang paling sensitif terhadap trauma.16 Di luar


varian anatomi yang disebutkan di atas, berbagai pola percabangan LFCN telah
dijelaskan dengan satu atau dua asal-usul vertebral saraf.17,18 Ketika lesi terletak di
sekitar inguinale lig- amentum, LFCN mengalami perubahan patologis, seperti
demyelinisasi lokal dan degenerasi Walleria, terutama serat besar.

Diagnosis

Sejarah

Gejala yang melibatkan MP biasanya terdiri dari paresthesia yang tidak


menyenangkan di sisi eksterior paha. Ini terjadi secara sepihak dalam banyak
kasus, tetapi dalam 20% kasus muncul secara bilateral.14

Para pasien mengeluhkan rasa terbakar yang khas, seperti rasa sakit yang
menusuk dengan sensasi kesemutan di paha. gejala seperti yang terjadi pada kulit
itu sendiri. Meskipun beberapa pasien MP melaporkan rasa sakit dalam konteks
allodynia di area LFCN, sebagian besar dari mereka menunjukkan bahwa mereka
memiliki sensasi kesemutan yang tidak menyenangkan (disesthesia) alih-alih rasa
sakit. MP gejala ini dapat diprovokasi dengan perubahan postural dengan
memperpanjang pinggul atau dengan berdiri berkepanjangan.6 Gejalanya kadang-
kadang hilang ketika pasien duduk.

Pemeriksaan fisik

Selama pemeriksaan fisik, palpasi biasanya menyakitkan pada bagian lateral


ligamentum inguinale pada titik di mana saraf melintasi inguinale ligamentum.
Beberapa pasien juga hadir dengan rambut rontok di area LFCN karena mereka
secara con-stantly menggosok daerah ini.6
Tes tambahan

Somatic: tidak ada.

Psikokognitif: tidak ada.

Ketika diindikasikan, radiografi panggul dapat dilakukan untuk


mengesampingkan tumor tulang. MRI atau pemeriksaan USG diindikasikan jika
tumor panggul, termasuk tumor retroperitoneal, dicurigai. Tes darah dan tes
fungsi tiroid ditunjukkan jika penyebab metabolisme dicurigai.

Jika ragu, evaluasi neurofisiologis menggunakan potensi yang


dibangkitkan somatosensory dan tes konduksi saraf LFCN dapat dilakukan. Selain
mendemonstrasikan MP, tes ini dapat secara bersamaan memberikan informasi
dan menemukan lesi di LFCN.19

Blokade diagnostik positif dengan anestesi lokal 8 mL, dilakukan dengan


menemukan LFCN menggunakan stimulator saraf, biasanya dapat
mengkonfirmasi diagnosis. Namun, harus selalu diingat bahwa kursus abnormal
LFCN juga dapat menyebabkan blok diagnostik negatif.

Diagnosis diferensial

Secara umum, diagnosis dapat ditetapkan dari riwayat medis khas, pemeriksaan
fisik, dan ujian neurologis umum- bangsa. Ini sangat penting karena gejala
neurologis, urogenital, dan gastrointestinal lainnya biasanya bukan bagian dari
diagnosis klinis yang terkait dengan MP.6 Ini dapat memberikan spesialis dengan
indikasi untuk adanya penyakit lain yang dapat mempertanggungjawabkan pola
gejala pasien. Semua pasien dengan kehilangan motorik dan/atau variasi refleks,
atau pasien dengan kehilangan sensa- tion di area yang tidak disediakan oleh
LFCN, memerlukan pengujian lebih lanjut. Diagnosa diferensial harus
mengesampingkan bendera merah seperti metastasis di crista iliaca, herniasi disk
lumbar dengan radic- ulopati, dan patah tulang avulsi. Bahkan usus buntu kronis
dapat hadir sebagai sindrom yang mirip dengan MP.6
Pilihan perawatan

Manajemen konservatif

Sebagian besar kasus MP memiliki kursus yang menguntungkan dan 85% akan
pulih dengan perawatan konservatif.20 Pilihan pertama pengobatan konservatif
selalu untuk mengatasi penyebab yang mendasarinya (ketika diketahui), seperti
penurunan berat badan atau pemakaian kain ketat dan/atau ikat pinggang.21 Ketika
rasa sakit mendominasi, antidepres trisiklik- sants, antiarrhythmics, dan
antikonvulsan dapat diberikan untuk mengobati nyeri neuropati.22 Capsaicin atau
krim lidokain dapat diresepkan jika ada disesthesia epidermis.23

Manajemen intervensi

Infiltrasi lokal LFCN

Secara tradisional, infiltrasi lokal LFCN dengan anestesi, dengan atau tanpa
kortikosteroid, diberikan dalam berbagai dosis, tetapi hasil jarang dilaporkan
dengan benar dalam keberhasilan perawatan litera-ture.6 (>50% pengurangan rasa
sakit dan peningkatan mobilitas) dilaporkan setelah dua suntikan di bawah
bimbingan ultrasound. Suntikan bupivacaine 0,25%, 1:200 000 epinefrin dan 40
mg methylprednisolone untuk injeksi pertama dan 20 mg methylprednisolone
untuk injeksi kedua diberikan pada interval 3 minggu.24

Perawatan radiofrekuensi berdenyut dari LFCN

Perawatan radiofrekuensi berdenyut (PRF) LFCN hanya dilaporkan dalam empat


laporan kasus.25–27 Kasus pertama, seorang pasien berusia 68 tahun yang
didiagnosis dengan MP dengan durasi 4 bulan dirawat dengan PRF di area LFCN.
Paresthesia menghilang 24 jam setelah perawatan dan pasien masih tanpa gejala
setelah 6 bulan.25 Efek positif dari pengobatan PRF LFCN ditiga laporan kasus
lainnya.26,27
Stimulasi sumsum tulang belakang

Satu laporan kasus menyebutkan penggunaan stimulasi sumsum tulang belakang


pada pasien dengan riwayat 1 tahun MP dikonfirmasi oleh blok diag-nostik positif
LFCN. Konservatif, mengobati farmakologis- ment menghasilkan nyeri yang
tidak memuaskan dan suntikan anestesi lokal dengan kortikosteroid hanya
memberikan bantuan nyeri 9 jam. Sebuah memimpin quadripolar ditanamkan
pada tingkat corpus vertebrae pertengahan Th-10. Delapan bulan setelah
implantasi pasien hampir sepenuhnya bebas rasa sakit, tidak lagi menggunakan
obat nyeri, dan bekerja penuh waktu.28

Komplikasi manajemen intervensi

Infiltrasi lokal

Laporan yang tersedia tidak menyebutkan komplikasi atau efek samping; tidak
ada kesimpulan yang dapat ditarik.

Perawatan radiofrekuensi berdenyut

Tidak ada komplikasi atau dampak buruk dari pengobatan PRF yang di-docu- di-
mented dalam empat laporan kasus.25–27

Dalam tinjauan literatur tentang PRF pada lebih dari 1.200 pasien, tidak
ada komplikasi yang disebutkan.29

Stimulasi sumsum tulang belakang

Pasien yang dibahas dalam laporan kasus tidak mengalami efek samping. Efek
samping potensial dan komplikasi stimulasi sumsum tulang belakang dijelaskan
dalam bab tentang "Sindrom Nyeri Regional Kompleks".30

Pilihan perawatan bedah


Intervensi bedah dalam MP yang menyakitkan harus disediakan untuk kasus-
kasus yang sangat sangat serius yang telah diperiksa secara menyeluruh dan di
mana faktor psikokognitif lainnya telah dikesampingkan.4

Bukti untuk manajemen intervensi

Rangkuman bukti untuk manajemen intervensi MP diberikan dalam Tabel 20.1.

Rekomendasi

Hanya ada dokumentasi terbatas mengenai perlakuan intervensi- tional MP.


Ketika perawatan konservatif memberikan hasil yang tidak memadai, infiltrasi
lokal LFCN dengan anestesics dan kortikosteroid dapat dipertimbangkan.
Perawatan PRF LFCN hanya boleh dilakukan dalam konteks studi. Stimulasi
sumsum tulang belakang harus disediakan untuk kasus reflektori, hanya dalam
konteks studi.
Algoritma praktik klinis

Gambar 20.1 mewakili algoritma pengobatan untuk mengelola- ment MP.

Paresthesias dan mati rasa di daerah anterolateral paha

Bendera merah: metastasis crista iliaca, hernia lumbar


dengan radiculopati dan patah tulang avulsi
dikesampingkan?

Perawatan konservatif gagal

Pertimbangkan infiltrasi lokal saraf kulit paha lateral (LFCN)


dengan anestesi dan kortikosteroid, jika diperlukan

Hasil yang tidak memadai

Perawatan radiofrekuensi berdenyut dari LFCN hanya dalam


konteks studi

Hasil yang tidak memadai

Stimulasi sumsum tulang belakang hanya dalam konteks


studi di pusat-pusat khusus

Gambar 20.1. Algoritma praktik klinis untuk pengobatan meralgia paresthetica.

Tabel 20.1. Ringkasan bukti untuk manajemen intervensi meralgia paresthetica.

Teknik Evaluasi

LFCN infiltrasi 2C+

Perawatan radiofrekuensi berdenyut LFCN 0

Stimulasi sumsum tulang belakang 0

LFCN, saraf cutaneous femoral lateral


Teknik

Blok LFCN

Blok saraf kulit paha lateral dilakukan dengan pasien dalam posisi supine. Bantal
di bawah lutut dapat meningkatkan kenyamanan pasien, terutama jika
perpanjangan kaki menyakitkan. LFCN kadang-kadang dapat diidentifikasi
dengan palpation. Medial 2 cm dan caudal 2 cm ke ASIS dipilih sebagai tempat
injeksi. Jarum (22 hingga 25 G) dimasukkan melewati fascia paha yang dalam
(fascia lata) di mana "pop" ditempelkan ketika per- forating fascia. Setelah itu,
paresthesia biasanya dapat dengan cepat dihasilkan di area sisi lateral paha. Titik
di mana paresthesia maksimal dicari.

Blok saraf cutaneous femoral lateral baru-baru ini dijelaskan


menggunakan ultrasound. ASIS diidentifikasi dengan USG. Caudal jaringan ke
ASIS dipindai dengan probe ultrasound (6 hingga 13 Hz) dalam posisi melintang
untuk mengidentifikasi musculus sarto- rius. LFCN terletak pada tingkat ini di
atas sartorius muskulus di daerah di bawah fascia lata dan di atas fascia iliaca.
Berjalan secara caudally LFCN memasuki kompartemen lentikular antara
sartorius otot dan otot tensor fasciae latae, dibentuk oleh lapisan ganda fascia lata
dan diisi dengan lemak. Jarum 22-G dimasukkan sejajar dengan probe ultrasound.
Lokasi LFCN dikonfirmasi ketika pasien mengalami paresthesia yang dapat
direproduksi dengan stimulasi (1 Hz; 1 mA). Selanjutnya, dosis tes 1 mL
disuntikkan; ini seharusnya tidak memperburuk rasa sakit. Total volume 9 mL
bupivacaine 0,25% dengan 20 atau 40 mg methylprednisolone disuntikkan.
Dispersi cairan injeksi terus dipantau dengan cara ultrasound, sehingga dis-
persuasi di sekitar saraf dapat diamati.

Perawatan radiofrekuensi berdenyut

Setelah LFCN diidentifikasi seperti yang dijelaskan di atas, lokasi jarum dicari di
mana stimulasi dengan 50 Hz menyebabkan kesemutan di area sisi lateral paha
dengan output di bawah ini 0,6 V, menggunakan jarum RF 23-G dengan ujung 5
mm aktif dan jarum sepanjang 60 atau 100 mm. Panjang jarum ini tergantung
pada ukuran pasien (obesitas yang membutuhkan jarum lebih panjang). Subs-
kuantisi, arus PRF 45 V yang berlangsung selama 120 detik adalah admin -
disamakan tanpa sebelumnya anestesi lokal. Suhu maksimum tidak boleh
melebihi 42 ° C, tetapi jika ini terjadi output harus dikurangi. Jika perlu, periode
perawatan kedua 120 detik dapat diberikan jika impedansi di atas 500 Ω, sebelum
injeksi larutan 1 mL NaCl 0,9%.

Stimulasi sumsum tulang belakang

Kami merujuk pada bab tentang "Sindrom Nyeri Regional Kompleks"

untuk teknik.30

Ringkasan

Meralgia paresthetica sering menjadi keluhan. Riwayat medis dan pemeriksaan


neurologis yang tepat biasanya cukup untuk lish diagnosisnya. Ketika
menggunakan blok diagnostik dan perawatan invasif lokal, penting untuk
menyadari bahwa pada 25% pasien varian ana- tomic dari nervus cutaneus
femoris lateralis (saraf kulit paha lateral, LFCN) mungkin ada. Perawatan
konservatif selalu menjadi pilihan terapi pertama. Infiltrasi dengan kortikosteroid
dan anestesi lokal dapat dipertimbangkan. PRF mengobati- ment dan stimulasi
sumsum tulang belakang juga merupakan pilihan, tetapi harus dilakukan hanya
dalam konteks penelitian.

References

1. Goldberg VM, Jacobs B. Osteoid osteoma of the hip in children. Clin


Orthop Relat Res. 1975;106:41–47.
2. Fernandez-Mayoralas DM, Fernandez-Jaen A, Jareno NM, Perez BC,
Fernandez PM, Sola AG. Meralgia paresthetica in the pediatric
population: a propos of 2 cases. J Child Neurol. 2010;25: 110–113.
3. van Slobbe AM, Bohnen AM, Bernsen RM, Koes BW, Bierma-Zeinstra
SM. Incidence rates and determinants in meralgia paresthetica in general
practice. J Neurol. 2004;251:294–297.
4. Williams PH, Trzil KP. Management of meralgia paresthetica. J Neu-
rosurg. 1991;74:76–80.
5. Richer LP, Shevell MI, Stewart J, Poulin C. Pediatric meralgia pares-
thetica. Pediatr Neurol. 2002;26:321–323.
6. Harney D, Patijn J. Meralgia paresthetica: diagnosis and management
strategies. Pain Med. 2007;8:669–677.
7. Grossman MG, Ducey SA, Nadler SS, Levy AS. Meralgia paresthetica:
diagnosis and treatment. J Am Acad Orthop Surg. 2001;9:336–344.
8. Suber DA, Massey EW. Pelvic mass presenting as meralgia paresthet- ica.
Obstet Gynecol. 1979;53:257–258.
9. Bierma-Zeinstra S, Ginai A, Prins A, et al. Meralgia paresthetica is
related to degenerative pubic symphysis. J Rheumatol. 2000;27:2242–
2245.
10. Goel A. Meralgia paresthetica secondary to limb length discrepancy:case
report. Arch Phys Med Rehabil. 1999;80:348–349.
11. Yang SN, Kim DH. L1 radiculopathy mimicking meralgia paresthet- ica:
a case report. Muscle Nerve. 2010;41:566–568.
12. Mirovsky Y, Neuwirth M. Injuries to the lateral femoral cutaneous nerve
during spine surgery. Spine. 2000; 25:1266–1269.
13. van den Broecke DG, Schuurman AH, Borg ED, Kon M. Neurotmesis of
the lateral femoral cutaneous nerve when coring for iliac crest bone grafts.
Plast Reconstr Surg. 1998;102:1163–1166.
14. Ecker AD. Diagnosis of meralgia paresthetica. JAMA. 1985;253:976.
15. de Ridder VA, de Lange S, Popta JV. Anatomical variations of the
lateral femoral cutaneous nerve and the consequences for surgery. J
Orthop Trauma. 1999;13:207–211.
16. Aszmann OC, Dellon ES, Dellon AL. Anatomical course of the lateral
femoral cutaneous nerve and its susceptibility to compression and injury.
Plast Reconstr Surg. 1997;100:600–604.
17. Carai A, Fenu G, Sechi E, Crotti FM, Montella A. Anatomical vari-
ability of the lateral femoral cutaneous nerve: findings from a surgical
series. Clin Anat. 2009;22:365–370.
18. Majkrzak A, Johnston J, Kacey D, Zeller J. Variability of the lateral
femoral cutaneous nerve: an anatomic basis for planning safe surgical
approaches. Clin Anat. 2010;23:304–311.
19. Seror P. Somatosensory evoked potentials for the electrodiagnosis of
meralgia paresthetica. Muscle Nerve. 2004;29:309–312.
20. Dureja GP, Gulaya V, Jayalakshmi TS, Mandal P. Management of
meralgia paresthetica: a multimodality regimen. Anesth Analg.
1995;80:1060–1061.
21. Craig E. Lateral femoral cutaneous neuropathy. In: Frontera W, Silver J,
eds. Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation. 1st ed. Phila-
delphia, PA: Hanley & Belfus, Inc.; 2002.
22. Massey EW. Sensory mononeuropathies. Semin Neurol. 1998;18: 177–
183.
23. Devers A, Galer BS. Topical lidocaine patch relieves a variety of neu-
ropathic pain conditions: an open-label study. Clin J Pain. 2000;16:205–
208.
24. Tumber PS, Bhatia A, Chan VW. Ultrasound-guided lateral femoral
cutaneous nerve block for meralgia paresthetica. Anesth Analg.
2008;106:1021–1022.
25. Gofeld M. Pulsed radiofrequency treatment of intractable meral- gia
paresthetica: case study. In: INS, ed. 6th INS World Congress. Madrid:
International Neuromodulation Society; 25–28 Jun 2003, 58 abstr. 22.
26. Dalmau-Carola J. Treatment of meralgia paresthetica with pulsed
radiofrequency of the lateral femoral cutaneous nerve. Pain Physi- cian.
2009;12:1025–1026; author reply: 1026–1027.
27. Philip CN, Candido KD, Joseph NJ, Crystal GJ. Successful
treatment of meralgia paresthetica with pulsed radiofrequency of the
lateral femoral cutaneous nerve. Pain Physician. 2009;12:881–885.
28. Barna SA, Hu MM, Buxo C, Trella J, Cosgrove GR. Spinal cord
stimulation for treatment of meralgia paresthetica. Pain Physician.
2005;8:315–318.
29. Cahana A, Van Zundert J, Macrea L, van Kleef M, Sluijter M. Pulsed
radiofrequency: current clinical and biological literature available. Pain
Med. 2006;7:411–423.
30. van Eijs F, Stanton-Hicks M, Van Zundert J, et al. 16. Complex
regional pain syndrome. Pain Pract. 2011;11:70–87.
21. Nyeri Phantom

Pendahuluan
Amputasi seluruh atau sebagian anggota tubuh tidak selalu menghasilkan rasa
nyeri. Ini disebut sebagai nyeri phantom saat pasien merasakan nyeri atau
dysesthesia pada anggota tubuh yang sudah tidak ada (deafferentasi). Hal penting
untuk membedakan nyeri phantom dari gejala sisa amputasi lain, termasuk sensasi
phantom, teleskop, dan rasa sakit. Sensasi phantom tidak menyakitkan dan biasanya
bermanifestasi sebagai persepsi kinetik, kinestetik, atau eksteroseptif. Telescoping
adalah sensasi progresif yang menghasilkan persepsi ekstremitas distal lebih dekat.
Nyeri tunggul adalah nyeri tungkai sisa, umumnya terlokalisasi ke bagian distal
tubuh yang ada. Jika pasien menderita akibat nyeri fantom, onsetnya biasanya
berupa amputasi sekunder untuk trauma atau intervensi bedah. Ambrosius Paré
menggambarkan jenis nyeri ini pada abad keenam belas. Diperkirakan lebih dari
1,5 juta orang yang diamputasi tinggal di Amerika Serikat, di mana mayoritas
diamputasi anggota badan di bawah lutut. Insiden yang dilaporkanmengenai nyeri
phantom sangat bervariasi dari yang terendah 2% sampai 80%. Studi epidemiologis
yang terbaru melaporkan persentase yang jauh lebih tinggi dari orang yang
diamputasi mengalami nyeri tungkai. Sebuah studi retrospektif pada pasien dengan
melawan rasa traumatis paska amputasi menemukan bahwa 78% peserta
mengalami nyeri phantm pada tungkai sejak amputasi, dan 68% dari mereka
menerima pengobatan dari perawatan pelayanan kesahatan. Pasien diikuti secara
prospektif setelah amputasi ekstremitas karena penyakit vaskular perifer
menunjukkan kejadian yang sebanding nyeri phantom pada tungkai (78,8%), dan
nyeri tunggul (51,2%) 6 bulan setelah amputasi. Dalam sebuah penelitian, berupa
survei lapangan terbesar dilakukan di Eropa, kuesioner berisi 62 pertanyaan diisi
oleh 537 dari 1.088 orang yang diamputasi. Dari orang yang diamputasi
menanggapi, 14,8% bebas rasa sakit, 74,5% memiliki nyeri phantom pada tungkai,
45,2% mengalami nyeri tunggul dan 35,5% memiliki kombinasi keduanya.
Mekanisme
Setiap individu mengembangkan proprioseptif, sentuhan dan citra visual tubuh.
Representasi kortikal dari proprioseptif dan sensorik ini dianggap tetap tidak
berubah setelah amputasi. Meski masih banyak pertanyaan seperti itu mekanisme
yang mendasari, saraf perifer serta pusat mekanisme tampaknya terlibat. Ada juga
indikasi bahwa perubahan neuroplastik terjadi termasuk perubahan kortikal. Input
periferal dapat berperan dalam persepsi rasa sakit phantom. Ketika saraf tepi
dipotong atau terluka, terjadi regeneratif akson yang terluka. Yang membesar dan
tidak teratur dan serat yang didemielinasi menunjukkan peningkatan tingkat
aktivitas spontan. Aktivitas spontan dan abnormal telah dirasakan di neuroma di
ujung saraf dan di ganglia tulang belakang setelah stimulasi mekanik atau kimia di
perifer, stimulasi sebagai konsekuensi dari regulasi kanal natrium. Keluarnya cairan
ektopik di ganglion akar dorsal juga telah diimplikasikan sebagai mekanisme
potensial aksi. Faktor-faktor seperti suhu, oksigenasi, dan peradangan lokal
mungkin berperan. Karena itu, sensitifitas neuroma atau ganglia ini dapat
meningkat karena epinefrin atau stres, dalam kombinasi dengan peningkatan
norepinefrin dari eferen simpatik, yang terletak di dekat sel saraf sensorik aferen,
misalnya dalam kasus penggunaan anggota tubuh yang diamputasi.Hal ini
menyebabkan eksaserbasi nyeri fantom. Faktor periferal mungkin berpengaruh
dalam modulasi nyeri phantom pada tungkai, tetapi faktor sentral juga memainkan
peran. Sumsum tulang belakang mungkin terlibat juga. Perubahan aktivitas kadar
neuroma dan ganglia dapat menyebabkan adaptasi jangka panjang di neuron
proyeksi pusat di ganglia posterior. Ini dapat menyebabkan aktivitas neuronal
spontan, perubahan RNA transkripsi, peningkatan aktivitas metabolisme di
sumsum tulang belakang dan dapat menyebabkan bidang reseptif membesar; semua
faktor ini menghasilkan sensitisasi sentral (tulang belakang).Terlepas dari
perubahan fungsional, perubahan anatomi juga terjadi telah diamati juga. Serat
Aferen dari lamina II di tulang belakang neuron dapat merosot, sehingga jumlah
sinapsis dengan neuron urutan kedua berkurang. Oleh karena itu, A β mechano -
aferen sensitif, biasanya ada di lapisan yang lebih dalam, mungkin terhubung
dengan neuron urutan kedua nosiseptif yang terpapar dalam lamina II yang dapat
menyebabkan tumbuhnya terminal serat-A di dalamnya.Rangsangan melalui
neuron A β dapat menyebabkan sensasi lain, seperti rasa sakit. Akhirnya, perubahan
neuroplastik akan terjadi di talamus dalam struktur subkortikal dan kortikal.
sehingga jelas terdapat hubungan antara sumsum tulang belakang dan pusat yang
lebih tinggi dalam kasus di mana orang yang diamputasi tanpa rasa sakit mengalami
nyeri phantom sementara setelah anestesi spinal, sedangkan pasien dengan nyeri
phantom menjadi bebas nyeri setelah infark serebral fokal atau lesi pada tulang
belakang. Mekanisme yang sangat relevan mungkin adalah invasidaerah sumsum
tulang belakang tempat anggota tubuh yang diamputasi sebelumnya. Neuropeptida
seperti Zat P, biasanya diekspresikan oleh aferen primer nosiseptor A δ - dan serat
C mungkin juga diekspresikan oleh serat-A setelah cedera saraf tepi. Perubahan
supraspinal yang terkait dengan nyeri tungkai phantom melibatkan batang otak,
talamus dan korteks. Perubahan arsitektur fungsional dan struktural korteks
somatosensorik primer setelah amputasi dan deafferentasi. Stimulasi thalamic dan
memori amputasi telah menunjukkan bahwa perubahan reorganisasi juga terjadi di
tingkat thalamic dan terkait erat dengan persepsi dari tungkai phantom dan nyeri
tungkai phantom.Hilangnya anggota tubuh mungkin memiliki dampak psikologis
yang substansial. Ketakutan, depresi dan kemarahan bisa mengikuti kesedihan dan
mungkin mempengaruhi rasa sakit. Depresi adalah faktor prediksi yang signifikan
untuk rasa sakit dan stres yang parah. Sama seperti pada sindrom nyeri kronis
lainnya, faktor psikososial berperan bagian potensial dalam memperpanjang rasa
sakit. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan nyeri phantom
lebih cenderung kaku dan menunjukkan kontrol lebih terhadap tingkah laku.

Diagnosis
1. Anamnesis
Kebanyakan pasien dengan nyeri phantom mengalami nyeri intermiten, dengan
interval yang berkisar dari 1 hari hingga beberapa minggu. Intervallebih dari
setahun telah dilaporkan. Nyeri sering muncul dengan sendirinya bentuk serangan
yang durasinya bervariasi dari beberapa detik hingga menit atau jam. Pasien
biasanya menggambarkan rasa sakit seperti ditembak,menusuk, kram, mencubit,
atau terbakar. Umumnya, rasa sakit dialami di bagian distal pada anggota tubuh
yang hilang, di tempat-tempat dengan kepadatan persarafan yang paling luas dan
representasi kortikal. Contohnya adalah jari tangan atau kaki.Nyeri fantom sering
dimulai dalam 14 hari setelah amputasi.Setengah dari pasien, menderita nyeri
dalam 24 jam pertama setelah amputasi. Beberapa pasien tidak akan merasakan
sakit sampai beberapa tahun setelah amputasi; Namun, nyeri fantom menjadi nyata
setahun setelah amputasi dalam kurang dari 10% kasus. Dua tahun setelah
timbulnya nyeri fantom, Prevalensi nyeri fantom hampir tidak menurun.Beberapa
penelitian menunjukkan adanya hubungan antara nyeri fantom pada tungkai dan
penyebab amputasi, sedangkan penelitian lain tidak menunjukkan hubungan antara
kesehatan umum pasien, status dan kejadian. Dua penelitian yang baru diterbitkan
mencoba mengidentifikasi apakah jenis kelamin mempengaruhi terjadinya nyeri
fantom. Penelitian longitudinal selama 3 ½ tahun mengungkapkan bahwa laki-laki
lebih jarang mengalami nyeri fantom dibandingkan wanita. Nyeri fantom lebih
banyak terjadi setelah amputasi lengan daripada setelah amputasi kaki.Nyeri
fantom terjadi segera setelah operasi. Beberapa perbedaan jenis kelamin dalam
biopsikososial secara keseluruhan pengalaman sakit memang muncul. Nyeri fantom
pada tungkai tampaknya tidak bergantung pada sifat penyebabnya: bedah atau
traumatis.Pada anak-anak dan pada orang yang kehilangan anggota tubuh sejak
lahir, kejadian nyeri fantom lebih rendah. Nyeri fantom lebih sering terjadi pada
kasus amputasi bilateral, amputasi kaki dan dalam kasus di mana anggota badan
diamputasi lagi yang letaknya proksimal. Nyeri fantom juga dideskripsikan di
beberapa bagian tubuh selain anggota gerak. Terjadi nyeri fantom setelah
mastektomi Pada 9 dari 39 pasien dengan mastektomi bilateral, sensasi fantom pada
20 dari 39 pasien. 17 Nyeri fantom juga telah dijelaskan pada seperempat pasien
yang menjalani enukleasi mata setelah itu implan orbital dipasang.

2. Pemeriksaan Fisik

Sampai saat ini pemeriksaan fisik tidak terlalu berguna dalam kasus nyeri fantom,
karena nyeri terlokalisasi di bagian tubuh yang hilang dan mekanisme nyeri
terutama melibatkan perifer dan sistem saraf pusat.Namun, pada nyeri tunggul, jelas
ada sumber nyeri lokal. Pada 20% pasien nyeri fantom patologi kulit dan gangguan
peredaran darah, infeksi dan neuroma dapat memperpanjang perburukan. Titik
pemicu lokal mungkin terlokalisasi di tunggul, khususnya pada pasien yang
memiliki prostesis. Poin pemicu ini mungkin memprovokasi rasa nyeri fantom.

Diagnosis Banding
Nyeri fantom adalah sensasi yang menyakitkan di bagian tubuh tertentu yang sudah
di amputasi. Nyeri puntung adalah nyeri pada tunggul yang tersisa dimana sumber
nyeri berada di tunggul itu sendiri. Sensasi fantom:segala bentuk sensasi tanpa rasa
sakit yang dialami pasien di bagian tubuh yang sudah tidak ada lagi.Pada lebih dari
separuh pasien, nyeri fantom berkurang atau menghilang. Dalam kasus di mana rasa
sakit bertambah parah secara khusus penyebab harus dicari. Terlepas dari
perubahan regulasi otonom atau sympathicotonia karena suhu atau perubahan
cuaca, nyeri radikuler (karena nukleus pulposus hernia atau radikulitis), angina
(dalam kasus nyeri di tungkai atas),dan pertumbuhan ganas (metastasis) bisa
memicu gejala itu. Infeksi herpes zoster (herpes zoster) juga harus
dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan imunitas rendah.

Tatalaksana
Nyeri fantom umumnya cukup resisten terhadap terapi. Perawatan dari nyeri fantom
jarang berhasil. Dalam artikel review Nikolajsen dan Jensen menunjukkan bahwa
pencarian literatur dilakukan pada tahun 1980 mengidentifikasi 68 metode
pengobatan yang berbeda, dimana 50 diantaranya masih digunakan.kurang dari
10% pasien menunjukkan pereda sakit yang permanen.Berbagai tinjauan sistematis
yang telah diterbitkan menunjukkan bahwa sebagian besar perawatan tidak
berhasil. Selain itu, hanya ada beberapa studi yang menangani nyeri fantom secara
spesifik. Sejak tinjauan sistematis Sherman 24 diterbitkan pada tahun 1980, tidak
ada terapi inovatif perkembangan telah dilaporkan, dan tinjauan sistematis oleh
Halbert dkk. 23 menunjukkan bahwa analgesia epidural, blok saraf regional,
pengobatan dengan kalsitonin, atau ketamin tidak tersedia hasil yang konsisten.
Namun demikian, ada tiga studi positifyang menunjukkan bahwa blok saraf bisa
memiliki beberapa efek. Analgesik efektivitas stimulasi saraf listrik transkutan
untuk pengobatan nyeri fantom dan / atau tunggul dinilai di Ulasan Cochrane. Tidak
ada studi terkontrol secara acak (RCT)ditemukan. Namun, meski masih banyak
pertanyaan yang tersisa ada wawasan yang lebih luas tentang mekanisme yang
mendasari nyeri fantom. Telah disarankan agar fokus pengobatan harus secara
spesifik ditujukan untuk mencegah kronisitas dengan melakukan intervensi lebih
cepat sehubungan dengan perubahan struktural dan fungsional di sistem saraf pusat
dan perifer; perubahan ini konsekuensi dari defisiensi somatosensori atau input
merugikan dan deafferentation setelah amputasi. Sayangnya, dalam hal ini hasil
blok epidural pra - dan pasca operasi tersebut ambigu. Ada banyak hal yang bisa
dipelajari tentang intervensi yang efektifsehubungan dengan neuroplastisitas.
Tampaknya pendekatan multimodal sangat penting, di mana nosisepsi, peradangan,
hormonal,perubahan fisiologis, dan mental semuanya memainkan bagian peran
penting. Informasi yang memadai, indikasi dan teknik pembedahan yang tepat
untuk amputasi, jika memungkinkan persiapan mental yang efektif dan perawatan
setelahnya, rehabilitasi jangka panjang dan perawatan nyeri yang optimal adalah
elemen integral. Masalah lainnya adalah tidak semua pasien mendapatkan
pengobatan untuk nyeri fantom. Sebuah studi oleh Hanley et al. 26 menunjukkan
bahwa 53% pasien dengan nyeri bayangan (n = 183), 38% di antaranya dengan
bentuk parah sakit bayangan, tidak pernah menerima pengobatan untuk gangguan
tersebut. Mereka yang memang mendapat pengobatan menderita sakit parah dan
berpotensimendapat tekanan yang cukup besar dari gangguan tersebut. Pasien-
pasien ini kebanyakan diobati dengan analgesik: parasetamol, seperti morfin zat dan
obat antiinflamasi nonsteroid. Dalam persepsi pasien, hanya opioid dan terapi
chiropractic yang efektif sampai batas tertentu.

1. Tatalaksana Konservatif
 Medikamentosa
Karena nyeri tungkai diklasifikasikan sebagai nyeri neuropatik, pendekatan
pengobatan farmakologis menurut pedoman perlu dipikirkan. Dalam sebuah studi
oleh Wilder - Smith et al., tramadol juga amitriptyline tampaknya lebih efektif
daripada pengobatan plasebo pada pasien nyeri fantom. Meskipun manfaat dari
amitriptyline tidak didukung dalam kontrol plasebo acak baru-baru ini percobaan
pada 39 pasien, karbamazepin, salah satu obat yang lebih lama digunakan untuk
mengobati nyeri neuropatik, terbukti memiliki efek yang menguntungkan. Studi
yang membandingkan gabapentin dengan plasebo tidak menunjukkan perbedaan
untuk pasien amputasi yang dihubungkan dengan intensitas nyeri fantom. Namun,
penelitian lain mendemonstrasikan intensitas nyeri yang berkurang dengan
gabapentin sebagai perbandingan kepada pasien plasebo.Sebuah studi prospektif
pada 42 pasien kanker menilai pengobatan menurut tangga analgesik WHO dan
menemukan bahwa penambahan opioid ke dalam antidepresan dan antikonvulsan
mengurangi timbulnya nyeri fantom 60% 1 bulan pasca operasi hingga 32% 2 tahun
setelah amputasi. Morfin oral dibandingkan dengan plasebo dalam double-blind
studi acak silang pada 12 pasien dengan amputasi lengan atau kaki unilateral dengan
nyeri fantom. Hasilnya menunjukkan bahwa rasa sakit itu membaik dengan morfin
oral, dengan potensi pengurangan secara bersamaan dalam reorganisasi kortikal.
Perbandingan antara lidokain dan morfin intravena pada 31 pasien dengan nyeri
postamputasi (baik nyeri fantom dikombinasikan dengan nyeri tunggul atau nyeri
bayangan atau nyeri tunggul secara eksklusif) menunjukkan bahwa nyeri tunggul
merespon dengan baik untuk kedua pengobatan, sedangkan nyeri fantom hanya bisa
dihilangkan dengan morfin. Sebuah uji silang terkontrol secara acak baru-baru ini
dilakukan pada pasien dengan nyeri postamputasi 6 bulan atau lebih, mengalami
intensitas nyeri minimal 3 pada skala peringkat numerik 10 poin, membandingkan
efektivitas morfin, mexiletine dan plasebo. Terapi dengan morfin tetapi bukan
mexiletine menghasilkan penurunan intensitas nyeri pasca amputasi tetapi
dikaitkan dengan tingkat efek samping yang lebih tinggi dan tidak ada perbaikan
tingkat aktivitas fungsional secara keseluruhan dan gangguan yang berhubungan
dengan nyeri dalam aktivitas sehari-hari. Dalam satu RCT di mana ketamin yang
diberikan secara intravena dibandingkan dengan plasebo, nyeri dan hiperalgesia
menurun pada pasien dengan nyeri puntung dan nyeri fantom dengan ketamin
dalam perbandingan dengan pasien kontrol. 37 Sebaliknya, plasebo memantine
pada RCT terkontrol, N - methyl - d - aspartate lainnya antagonis reseptor, terbukti
tidak efektif, sedangkan laporan kasus terbaru terus mendukung penggunaannya
secara anekdot. Benzodiazepin tampaknya tidak efektif dalam kasus nyeri fantom.
Efek obat lain seperti beta-blocker, kalsitonin dan capsaicin dan mexiletine masih
bersifat anekdot. Kalsitonin, ketamin dan kombinasinya diuji secara acak, studi
silang buta ganda untuk manajemen nyeri tungkai bayangan kronis. Ketamin, tapi
bukan kalsitonin, menyebabkan berkurangnya nyerifantom pada tungkai. Ketamin
perioperatif dipertahankan selama 72 jam dibandingkan dengan pemberian plasebo
tidak menghasilkan signifikan tidak ada perbedaan dalam tingkat keparahan nyeri
pasca amputasi berikutnya selama periode 6 bulan. Faktor nekrosis tumor sitokin
inflamasi alfa (TNF -α) memainkan peran penting dalam kondisi nyeri neuropatik;
obat yang memblokir TNF - α mengurangi rasa sakit dan yang berhubungan dengan
nyeri. Sebuah laporan dari enam pasien dengan nyeri tungkai fantom diobati dengan
serangkaian suntikan etanercept perineural, antagonis TNF - α, menjelaskan
peningkatan yang signifikan pada 5 dari 6 nyeri fantom pada tungkai sisa pasien
saat istirahat dan dengan aktivitas, nyeri tungkai, kapasitas fungsional, dan
kesejahteraan psikologis berbulan-bulan setelah suntikan.

2. Tatalaksana Intervensi
Anestesi epidural, digunakan sebelum, selama atau setelah amputasi,tampaknya
mengurangi keparahan nyeri fantom sementara. Berbagai penelitian telah diteliti
efektivitas anestesi epidural. Sayangnya, studi ini memiliki desain yang berbeda
dan hasilnya bervariasi dan tidak konsisten.Banyak penelitian telah dilakukan untuk
memeriksa sebelum dan sesudah operasi blok saraf, dengan dan tanpa teknik
kateter. Lambert melakukan studi prospektif acak yang membandingkan epidural
pra operasi dan analgesia perineural intraoperatif untuk pencegahan nyeri tunggul
pasca operasi dan nyeri fantom pada tungkai dan ditemukan blok epidural pra
operasi 24 jam sebelumnya amputasi tidak lebih baik dari infus perineural
intraoperatif anestesi lokal dalam mengurangi nyeri tungkai fantom hingga setahun
kemudian, tetapi lebih efektif dalam mengurangi pasca operasi segera nyeri
tunggul. Terlepas dari pengurangan rasa sakit awal, hasilnya untuk pasien yang
dirawat tidak lebih baik dari pasien kontrol dan yang sama diterapkan pada pasien
yang dirawat dengan anestesi epidural. Penggunaan fenol terkontrol ekografik ke
dalam neuroma secara prospektif dinilai pada 82 pasien. Semua pasien mengalami
peningkatan yang nyata dan 12% bebas rasa sakit setelah 1 sampai 3 pemberian.
Tingkat komplikasi yang rendah (5% minor dan 1,3% komplikasi utama) dikaitkan
dengan penggunaan resolusi tinggi sonografi. Saraf kontinyu sebelum dan sesudah
operasi blok ischiadicus (sciatic) dinilai pada 18 pasien secara prospektif diikuti
selama 24 bulan. Dalam populasi ini, terjadi insiden dari nyeri fantom 25% sampai
30%. Laporan kasus pasien dengan nyeri fantom yang diobati dengan pulsed
radiofrequency (PRF) dari nervus ischiadicus terlihat nyeri mereda dan
pengurangan kebutuhan obat analgesik untuk 4 bulan. Pasien lain menjalani
frekuensi radio ujung proksimal dan distal dari neuroma skiatik dengan pengobatan
pada 42 ° C selama 120 detik di bawah panduan ultrasound dengan pengurangan
VAS 90%, 90%, dan 70% masing-masing pada 1, 3, dan 6 bulan. Dua pasien
dengan nyeri tunggul terutama setelah tungkai bawah amputasi dan kesulitan
mentolerir prostesis ekstremitas diobati dengan PRF berdekatan dengan L4 - L5
ganglion spinale (dorsal ganglion akar, DRG). Kedua pasien mengalami
pengurangan nyeri setidaknya 50% selama 6 bulan dan mentolerir prostesis dengan
lebih baik. Efek jangka panjang dari stimulasi sumsum tulang belakang pada pasien
dengansindrom nyeri regional kompleks (CRPS) setelah dua amputasi kaki kanan
telah dilaporkan. Katayama dkk menyelidiki stimulasi sumsum tulang belakang,
stimulasi otak dalam dari nukleus thalamicus ventralis caudalis, dan korteks
motorik untuk pengobatan nyeri fantom. Dari 19 pasien, enam mengalami nyeri
jangka panjang terkontrol dengan stimulasi sumsum tulang belakang, didefinisikan
sebagai setidaknya pengurangan 80% nyeri selama 2 tahun. Baru-baru ini,
serangkaian kasus empat pasien dengan phantom ekstremitas bawah reseksi pasca
kanker mengalami nyeri tungkai > 80% pengurangan nyeri segera setelah operasi,
sementara hanya 75% mengalami penurunan yang signifikan secara statistik
di VAS dan skor gejala total minimal 8 bulan. Perawatan invasif lainnya juga sering
diterapkan, termasuk suntikan tunggul, suntikan trigger point, blok sistem saraf
simpatis dan suntikan intratekal. Dalam kasus ini dari titik pemicu myofascial,
suntikan dengan botulinum telah dijelaskan. Dalam beberapa studi kasus ini, terjadi
pengurangan rasa sakitnya 60% sampai 80%.

3. Terapi Lain

Studi neuroimaging dapat menunjukkan reorganisasi kortikal yang dapat


memengaruhi nyeri tungkai fantom. Pengamatan ini telah menyebabkan
pengembangan strategi pengobatan berdasarkan stimulasi aktif dari nyeri fantom.
Penggunaan prostetik mioelektrik memiliki hubungan positif dengan nyeri tungkai
yang lebih sedikit dan lebih sedikit reorganisasi kortikal. Uji acak silang yang
dikendalikan baru-baru ini menunjukkan bahwa terapi cermin lebih baik daripada
visualisasi mental atau terapi cermin tertutup. Prinsip perawatan ini didasarkan pada
gagasan bahwa representasi sentral dari tangan yang hilang itu bisa dipulihkan. Ini
bisa meredakan atau menghilangkan rasa nyeri fantom. Nilai tambah dari "tungkai
maya" dipelajari dalam uji coba terkontrol secara acak di mana pasien yang telah
menjalani amputasi tungkai bawah dipelajari sebelumnya, selama dan setelah upaya
berulang untuk memindahkan keduanya secara bersamaan kaki utuh dan bayangan.
Subjek ditugaskan secara acak kondisi di mana mereka hanya melihat gerak-gerik
anggota tubuh utuh mereka (kontrol) atau kondisi cermin di mana mereka
menambahkan melihat gerakan dari "tungkai virtual". Kondisi ini menimbulkan
jumlah gerakan anggota tubuh bayangan yang jauh lebih besar daripada kondisi
kontrol. Kedua kondisi tersebut menghasilkan sensasi fantom dan nyeri yang
signifikan. Kedua, Kontrol dan kondisi cermin mengurangi nyeri fantom pada
tungkai. Penggunaan kondisi cermin sebagai pengobatan phantom berkepanjangan
mungkin menguntungkan karena jumlahnya gerakan jauh lebih besar tungkai
bayangan sehingga dapat membalikkan kortikal reorganisasi kronis. Periventrikuler
materi abu-abu diperlakukan dengan elektrostimulasi, di beberapa kasus dalam
kombinasi dengan talamus somatosensori. Teknik ini dilaporkan sangat efektif
dalam mengurangi nyeri terbakar, penggunaan opioid, dan peningkatan kualitas
hidup. Dalam penelitian lain, 38 dari 47 pasien berespon baikuntuk stimulasi
eksperimental. Lima puluh tiga persen dari mereka pernah mendapatkan efek
menguntungkan yang bertahan lama dari stimulasi materi abu-abu. Beberapa
penelitian meneliti penerapan stimulasi magnet transkranial menunjukkan bahwa
pengobatan ini kurang berpengaruh pada nyeri fantom.

Strategi Preventif
Secara teoritis strategi pencegahan harus dibangun di atas dua pilar utama: teknik
pembedahan dan analgesia pencegahan. Meskipun transeksi saraf mayor wajib
dilakukan pada amputasi tungkai. Kurangnya perhatian ini sangat mengejutkan
mengingat berbagai model pengikat saraf telah digunakan untuk mempelajari nyeri
neuropatik kronis dalam studi percobaan. Sebuah survei di antara ahli bedah
ortopedi Denmark menunjukkan penggunaan ligasi saraf diameter besar (sekitar
30%) selama amputasi tungkai yang menurut percobaan data praklinis, dapat
memicu perkembangan neuropatik rasa sakit kronis. Buku teks ortopedi utama
merekomendasikan ligasi saraf selama amputasi. Sejak pemotongan saraf yang
bersih mungkin menyebabkan nyeri yang kurang persisten dibandingkan dengan
pengikatan atau penghancuran saraf, perlu dilakukan studi klinis yang menyelidiki
peran penanganan saraf sebagai faktor risiko nyeri tungkai setelahnya amputasi
anggota badan. Beberapa strategi pencegahan analgesik pencegahan telah diuji
dengan hasil yang bervariasi. Pembahasan rinci tentang temuan-temuan ini di luar
cakupan tinjauan ini. Hal itu harus ditekankan bahwa pendekatan multimodal
tampaknya menghasilkan hasil yang lebih baik. Pendekatan multimodal semacam
itu dapat terdiri dari: psikologis konseling dan pengobatan; terapi perilaku kognitif
dan pengobatan farmakologis menggunakan molekul dengan modus berbeda
tindakan untuk menargetkan mekanisme fantom yang berbeda rasa sakit.
Serangkaian laporan kasus yang baru-baru ini diterbitkan menunjukkan pencegahan
dengan menggunakan terapi cermin efektif untuk mengurangi nyeri tungkai.

Komplikasi Terapi Intervensi


Dalam ulasan tentang literatur yang tersedia mengenai PRF lebih lanjut dari 1.200
pasien tidak ada efek samping yang dilaporkan. Komplikasi potensial dari sumsum
tulang belakang dijelaskan di bab tentang CRPS.

Bukti Ilmiah Terapi Intervensi


Ringkasan bukti penatalaksanaan intervensi nyeri fantom diberikan pada Tabel
21.1.

Algoritma Praktis Klinis


Dijelaskan pada Gambar 21.1 tentang algoritma nyeri fantom.

Teknis
Untuk pengobatan PRF, neuroma dapat diidentifikasi dengan cara ultrasound,
sehingga memungkinkan penempatan jarum yang tepat.Teknik stimulasi sumsum
tulang belakang dijelaskan di bab tentang CRPS.
Ringkasan
Jumlah kasus nyeri fantom setelah amputasi berkisar dari 60% sampai 80%. Lebih
dari separuh pasien dengan nyeri fantom mengalami nyeri tunggul juga. Titik
pemicu myofascial sering terjadi pada nyeri tunggul. Terdapat indikasi bahwa
perubahan neuroplastik juga terjadi,termasuk perubahan dalam representasi
kortikal. Umumnya, nyeri fantom cukup resisten terhadap terapi. Hasil dilaporkan
dalam literatur yang berkaitan dengan efektivitas pengobatan didapatkan intervensi
tidak konsisten.Dalam jangka panjang, perawatan ini tidak terlalu
efektif.Berdasarkan bukti yang tersedia beberapa efek mungkin diharapkan dari
pemberian obat. Tindakan PRF dan stimulasi sumsum tulang belakang hanya dapat
dipertimbangkan dalam bentuk desain studi.
16. Sindrom Nyeri Regional Kompleks
Frank van Eijs, Michael Stanton-Hicks, Jan Van Zundert, Catharina G.Faber,
Timothy R. Lubenow, Nagy Mekhail, Maarten van Kleef dan Frank Huygen

Pengantar
Complex Regional Pain Syndrome (CRPS) adalah sindrom yang terjadi
sebagai komplikasi dari pembedahan atau trauma, paling sering pada 1 ekstremitas,
namun CRPS pada beberapa ekstremitas juga telah dijelaskan. Perkembangan spontan
dapat terjadi.1 Definisi terbaru dari International Association for the Study of Pain
(IASP) adalah bahwa CRPS adalah kumpulan kondisi nyeri yang muncul secara lokal
setelah trauma, yang terutama terjadi di bagian distal dan melebihi intensitas dan durasi
klinis yang diharapkan. perjalanan trauma asli, sering mengakibatkan fungsi motorik
yang sangat terbatas. CRPS ditandai dengan perkembangan variabel dari waktu ke
waktu.
Gambaran klinis pertama kali dijelaskan lebih dari 100 tahun yang lalu oleh
Sudeck dan pada tahun 1860-an oleh Mitchell. Sebuah tinjauan literatur
mengungkapkan 72 nama berbeda untuk sindrom ini, seperti atrofi Sudeck, algodistrofi,
distrofi pasca trauma, dan istilah yang paling sering digunakan, distrofi refleks simpatis.
Sejak pertemuan konsensus IASP di Orlando pada tahun 1993, istilah "Complex
Regional Pain Syndrome" telah menjadi istilah yang disepakati. Perbedaan dibuat antara
Tipe 1 (tanpa) dan Tipe 2 (dengan kerusakan saraf yang dapat dibuktikan) .2 Baru-baru
ini, tipe ketiga telah ditambahkan, yaitu CRPS Not Another Specified (NOS), yang
melibatkan sindrom yang hanya sebagian sesuai dengan diag. - kriteria nostik, tetapi
tidak ada diagnosis lain yang dapat dibuat. Bruehl dkk.3 mendefinisikan sejumlah
subtipe, yaitu: sindrom yang relatif terbatas dengan gejala vasomotor yang
mendominasi, sindrom yang relatif terbatas dengan gangguan neuropatik / sensoris yang
mendominasi dan CRPS yang kemerahan sebanding dengan deskripsi klasik distrofi
refleks simpatis dengan tingkat tertinggi dari tanda motorik dan trofik. Insiden
diperkirakan bervariasi dari 5,46 hingga 26,2 per 100.000 orang tahun. CRPS pada
orang dewasa terjadi sedikit lebih sering di ekstremitas atas. Fraktur adalah kejadian
awal yang paling umum ketika terjadi di ekstremitas atas. Wanita terpengaruh 3,4
hingga 4 kali lebih sering daripada pria. Usia rata-rata saat diagnosis tidak berbeda
antara pria dan wanita dan bervariasi antara 47 dan 52 tahun

Patofisiologi
Dalam literatur, ada perdebatan yang sedang berlangsung tentang patofisiologi
CRPS.
Pemahaman saat ini melibatkan mekanisme perifer, aferen, eferen, dan sentral.
Mekanisme perifer termasuk hipoksia yang disebabkan oleh vasokonstriksi
yang disebabkan oleh disfungsi endotel, yang menyebabkan penurunan kadar oksida
nitrat (NO) dan peningkatan kadar endotelin-1 (ET-1) pada ekstremitas yang terkena.
Peradangan steril telah ditunjukkan oleh peningkatan kadar sitokin proinflamasi, seperti
interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha) .6 Peradangan
neurogenik disebabkan oleh ekskresi neuropeptida dari nosiseptif C -fibers, yang
ditunjukkan oleh peningkatan kadar substansi P, bradikinin, dan peptida terkait gen
kalsitonin (CGRP) .7 Hipersensitivitas denervasi dapat disebabkan oleh degenerasi
perifer neuron serat kecil di kulit anggota badan yang terkena, yang menyebabkan
penembakan yang tidak tepat.8 Input aferen nosiseptif dapat disebabkan oleh
peningkatan jumlah reseptor alfa 1 pada ekstremitas yang terkena, peningkatan
hipersensitivitas reseptor alfa adrenergik perifer, dan hubungan kimiawi antara neuron
simpatis dan nosiseptif pada kulit anggota tubuh yang terkena CRPS. 9 Mekanisme
eferen yang mungkin terjadi adalah disfungsi simptetik yang menyebabkan variabel
vasokonstriksi, hipoksia, dan kelainan berkeringat. Jalur motorik eferen disfungsional
dapat menyebabkan gerakan tak terkendali, distonia, dan penurunan rentang gerak.
Mekanisme sentral, seperti (supra)
Sensitisasi tulang belakang melalui interaksi reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) dan neurokinin-1 (NK-1), juga telah dijelaskan, serta faktor psikologis
(sekunder) seperti rasa takut terkait rasa sakit dan kecemasan gerakan.10

Diagnosa

Sejarah
CRPS biasanya didahului oleh trauma atau pembedahan, area yang terkena
biasanya melampaui cedera asli. Penyakit ini kebanyakan timbul seperti sarung tangan
di lengan atau seperti kaus kaki di kaki. Gejala terdiri dari kombinasi nyeri terus
menerus, disfungsi sensorik, disfungsi vasomotor dan sudomotor, serta tanda motorik
dan trofik. Laporan kasus gejala mirip CRPS tanpa rasa sakit disebutkan, namun ini
jarang terjadi.

Pemeriksaan fisik
Disfungsi sensorik pada kulit mungkin termasuk hiperalgesia dan alodinia
mekanik, tetapi juga hipoalgesia dan hipoestesia mekanis. Terjadi asimetri suhu kulit
dan perubahan warna kulit, serta edema dan hiper- atau hipohidrosis. Tanda-tanda
disfungsi motorik termasuk penurunan ―rentang gerak‖ sendi yang terkena dan / atau
kelemahan, tremor, gerakan tak terkendali, bradikinesia, dan distonia. Pertumbuhan
bulu kulit yang tidak normal dan perubahan pertumbuhan kuku dapat diamati. Gejala
dapat bervariasi dari waktu ke waktu, dan nyeri serta gejala lainnya sering kali
diperburuk dengan pengerahan tenaga pada ekstremitas yang terkena.

Tes tambahan
Tidak ada tes diagnostik khusus yang tersedia, tetapi berbagai tes tambahan
dapat menjadi penting untuk mengecualikan diagnosis lain. Tes laboratorium seperti
hitung darah lengkap, laju endap darah, dan protein C-reaktif normal pada CRPS, tetapi
dapat membantu menyingkirkan infeksi atau penyakit reumatologi. Pemindaian dupleks
dan ultrasonografi dapat menyingkirkan penyakit vaskular perifer. Studi konduksi saraf
sangat membantu dalam mengecualikan penyakit neuropatik perifer atau memastikan
keterlibatan saraf dalam CRPS-
2. Radiografi polos kerangka dan pencitraan resonansi magnet yang ditingkatkan
kontras (MRI) dapat menunjukkan osteoporosis pada tungkai yang terkena, tetapi tidak
memiliki nilai diagnostik.11 Pemindaian tulang tiga fase dapat menunjukkan
peningkatan penyerapan teknologi Tc 99 m bifosfonat karena peningkatan metabolisme
tulang.12 Pengukuran suhu kulit dengan termometri inframerah dapat mengungkapkan
perubahan jangka panjang pada suhu kulit dan dinamika suhu kulit antara sisi yang
terkena dan yang tidak terkena.13 Tes lain mungkin hanya berguna untuk mengukur atau
memperkuat gejala klinis dan sebagian besar digunakan dalam penelitian ilmiah. Ini
termasuk: pengujian sensorik kuantitatif; mengistirahatkan keluaran keringat; uji
keluaran keringat provokatif dengan uji refleks akson sudomotor kuantitatif; respons
kulit simpatik; volume pada edema pada ekstremitas; skala analog visual untuk nyeri;
jumlah nilai tingkat gangguan; kuesioner keterampilan; berjalan, bangkit dan kuesioner
keterampilan duduk, dan pemantauan aktivitas ekstremitas atas

Diagnosa Banding
Diagnosis didasarkan pada kriteria yang diperoleh dari riwayat kesehatan dan
pemeriksaan fisik. Kriteria yang paling umum digunakan adalah kriteria IASP asli dan
kriteria diagnostik yang dimodifikasi menurut Harden dan Bruehl.15-17 Kriteria seperti
yang dijelaskan oleh Veldman sering digunakan di Belanda.1 Semua kriteria pada
dasarnya telah ditentukan secara empiris dan tumpang tindih sebagian, dimana kriteria
IASP adalah yang paling sensitif, dan kriteria yang dimodifikasi menurut Harden dan
Bruehl adalah yang paling spesifik (Tabel 16.1 hingga 16.3) .16,17
CRPS memerlukan diagnosis banding yang ekstensif, karena banyak gejala
juga dapat disebabkan oleh penyakit lain. Perbedaan harus dibuat dengan sindrom nyeri
vaskular dan myofascial, peradangan, penyakit vaskular, dan masalah psikologis. (Tabel
16.4)
Tabel 16.1. Kriteria IASP (Merskey, 1994).
1. Berkembang setelah kerusakan jaringan (CRPS tipe-1) atau kerusakan saraf
(CRPS tipe-2)
2. Nyeri terus menerus, alodinia atau hiperalgesia yang tidak proporsional dengan
kejadian pemicu.
3. Bukti pada beberapa waktu terjadi edema, kelainan aliran darah kulit dan kelainan
sudomotor pada daerah nyeri.
4. Penyebab nyeri atau disfungsi lainnya disingkirkan.
Kriteria 2, 3, dan 4 harus dipenuhi.

Tabel 16.2. Kriteria diagnostik yang dimodifikasi (Harden, 2007).


1. Nyeri terus menerus, tidak proporsional dengan kejadian yang menghasut.
2. Pasien harus memiliki setidaknya 1 gejala di masing-masing kategori berikut dan 1
tanda dalam 2 atau lebih kategori.
Kategori
1. Sensorik (allodynia, hyperalgesia, hypoesthesia)
2. Vasomotor (suhu atau kelainan warna kulit)
3. Sudomotor (edema atau kelainan berkeringat)
4. Motorik / trofik (kelemahan otot, tremor, rambut, kuku, kelainan kulit)

Tabel 16.3. Kriteria Belanda (Veldman 1993).


A. 4 atau 5 dari gejala berikut:
1. Nyeri menyebar yang tak bisa dijelaskan
2. Perbedaan warna kulit antara ekstremitas yang terkena dan kontralateral
3. Edema difus
4. Perbedaan suhu kulit antara ekstremitas yang terkena dan kontralateral
5. "Rentang gerak aktif" terbatas
B. Terjadinya atau peningkatan gejala yang disebutkan di atas dengan penggunaan
ekstremitas yang terlibat.
C. Gejala yang disebutkan di atas muncul di area yang lebih besar dari area trauma atau
pembedahan asli dan jauh ke area ini.

Tabel 16.4. Diagnosis banding sindrom nyeri regional kompleks.


Sindrom nyeri neuropatik Peradangan Inflamasi
• Peripheral (poly)neuropathy • Erisipelas
• Nerve entrapment • Peradangan NOS

• Radiculopathy • Bursitis
• Artritis seronegatif
• Postherpetic neuralgia
• Penyakit reumatologi
• Deafferentation pain after CVA
Nyeri myofascial
• Plexopathy
• Penggunaan berlebihan
• Motor neuron disease • Buang
Vascular diseases • Siku tenis

• Thrombosis • Cedera regangan berulang


• Fibromyalgia
• Acrocyanosis
Masalah kejiwaan
• Atherosclerosis
• Gangguan nyeri somatoform
• Raynaud’s disease
• Erythromelalgia • Sindrom Münchhausen

Pilihan pengobatan

Manajemen konservatif
Pengobatan utama CRPS terdiri dari terapi fisik mobilisasi aktif awal yang
dikombinasikan dengan pengobatan nyeri farmakologis.

Terapi fisik
Terapi fisik terbukti lebih unggul daripada terapi okupasi dan lebih unggul
dari kelompok kontrol dalam uji coba terkontrol secara acak (RCT) dari 135 pasien
CRPS-1.18 Baru-baru ini, hasil yang baik dengan bukti tingkat tinggi telah dijelaskan
dengan terapi citra motorik bertahap dengan imajinasi. Gerakan tangan dan terapi
cermin untuk ekstremitas atas CRPS.19-21 Penggunaan agen farmakologis dipandu oleh
mekanisme yang terlibat (pengobatan berorientasi gejala, lihat algoritme dalam
(Gambar 16.1). Dukungan psikologis dapat dimulai jika tidak ada perbaikan dengan
rezim yang disebutkan di atas.

Terapi anti inflamasi


Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) untuk pengobatan CRPS hanya
dipelajari dalam percobaan kecil yang membandingkan hasil scintigraphic kalsitonin
dengan NSAID. NSAID lebih rendah daripada kalsitonin
Sejumlah RCT mempelajari efek pemulung radikal oksigen. Aplikasi topikal
dimetil sulfoksida 50% (DMSO-50%) terbukti lebih unggul daripada plasebo dan N-
asetilsistein oral umumnya sama efektifnya dengan DMSO dalam pengobatan CRPS-
1.23,24
Namun, manitol intravena — pemulung radikal bebas lainnya — telah terbukti
tidak efektif.25 Bifosfonat, yang mengurangi pergantian tulang yang meningkat, seperti
alendronat oral atau pamidronat intravena, dipelajari dalam 2 RCT yang menunjukkan
efek yang mendukung bifosfonat.26,27 Kalsitonin, polipeptida hormon pasang surut
dengan cara kerja yang mirip dengan bifosfonat, dapat diberikan secara subkutan atau
dengan semprotan intranasal. Studi yang berbeda tentang persiapan ini untuk
manajemen- Laporan CRPS menunjukkan hasil yang beragam. Sebuah tinjauan kritis
menyimpulkan bahwa dalam uji coba yang dirancang dengan baik, keefektifan tidak
dapat dibuktikan dalam RCT terkontrol plasebo dengan 23 pasien CRPS, penggunaan
prednison maksimum 10 mg tiga kali sehari selama 3 minggu dan kemudian
mengurangi dosis selama minggu-minggu berikutnya sampai periode pengobatan
maksimum 12 minggu, menyebabkan peningkatan 75% pada semua 13 yang diobati.
pasien dibandingkan dengan hanya 2 dari 10 pasien yang menerima plasebo.29 RCT lain
membandingkan penggunaan 40 mg prednisolon per hari dengan piroksikam pada
CRPS setelah stroke dan menemukan peningkatan yang signifikan setelah 1 bulan
pengobatan prednisolon.30 Namun, sejak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan
komplikasi serius yang potensial, penggunaan kortikosteroid jangka panjang tidak
dianjurkan.

Terapi analgesik
Tidak ada penelitian tentang aksi analgesik asetaminofen (parasetamol) pada
CRPS. Karena itu, kegunaan asetaminofen dan NSAID dipertanyakan. Morfin lepas
lambat (90 mg / hari) tidak efektif dalam uji coba terkontrol plasebo tersamar ganda,
jadi opioid sepertinya tidak bermanfaat. Nyeri pada CRPS bersifat neuropatik. Terapi
lini pertama untuk nyeri neuropatik terdiri dari antidepresan trisiklik (TCA) seperti
amitriptilin, obat yang paling sering diteliti untuk nyeri neuropatik. Ini meningkatkan
nyeri dan gangguan tidur dan dapat diberikan dalam CRPS meskipun tidak ada uji coba
yang mengevaluasi TCA pada CRPS.31 Karbamazepin dalam dosis 600 mg / hari secara
signifikan mengurangi nyeri pada RCT yang dikontrol plasebokontrol.32 Gabapentin
memiliki efek ringan pada nyeri pada subpopulasi pasien CRPS dan oleh karena itu
patut dicoba.33 Penghambat NMDA, ketamin, diberikan secara intravena dalam dosis
subanestetik maksimal 20 sampai 25 mg / jam / 70 kg, telah terbukti efektif dalam 1
laporan seri kasus retrospektif dan 2 uji coba terkontrol plasebo double-blind acak.

Terapi vasodilatasi
Pasien dengan gejala vasomotor hiperaktif yang menyebabkan CRPS
ekstremitas dingin (intermiten) dapat merespons penghambat adrenergik alfa 1 seperti
fenoksibenzamin dan terazosin, atau penghambat saluran kalsium seperti nifedipine.37,38

Terapi spasmolitik
Terapi spasmolitik oral dengan benzodiazepin oral atau baclofen oral dapat
digunakan pada CRPS terkait dystonia, tremor atau myoclonus.14
Kesimpulannya: Terapi fisik dengan mobilisasi aktif dan perawatan citra
motorik bergradasi, bersama dengan pengobatan farmakologis yang berorientasi pada
gejala, adalah pendekatan awal terbaik untuk CRPS.
Gambar 16.1. Algoritma praktek klinis untuk pengobatan CRPS.

Manajemen intervensi
Jika terapi konvensional gagal meredakan gejala secara adekuat (mis., Skor
nyeri lebih dari 4), teknik manajemen nyeri intervensi dapat dipertimbangkan. Teknik-
teknik ini adalah: blok regional intravena, blok simpatis dari ganglion stellatum untuk
CRPS di lengan, dan dari lumbar truncus sympathicus untuk CRPS di tungkai.
Stimulasi perifer dan medula spinalis dan pemberian obat epidural atau intratekal juga
dapat dipertimbangkan. Blok neuraksial somatik dan sentral untuk pengelolaan CRPS
juga telah dijelaskan.

Blok regional intravena


Blok regional intravena (IVRB) dengan guanethidine untuk pengobatan
CRPS-1 pertama kali dijelaskan oleh Hannington-Kiff.39 Teknik ini terdiri dari
pemberian intravena 10 mg hingga 20 mg guanethidine dalam larutan saline isotonik
heparinisasi 25 mL, setelah mengangkat lengan selama 1 menit dan meniup tourniquet
pada 50 mmHg di atas tekanan darah sistolik pasien. Turniket dipertahankan selama 15
menit sampai 30 menit, setelah itu diturunkan perlahan. Teknik ini menyebabkan
perpindahan noradrenalin (NA) dari vesikula presinaptik dan mencegah pengambilan
kembali NA yang menyebabkan peningkatan aliran darah di kulit selama beberapa hari.

Blok regional intravena dengan guanethidine


Pengaruh IVRB dengan guanethidine untuk CRPS dipelajari dalam beberapa
40-42
seri kasus, percobaan prospektif43 dan 3 RCT. 44-46
Hasil dari rangkaian kasus
bervariasi.
Satu studi terhadap 17 pasien yang diobati dengan serangkaian guanetidine
dan lidokain IVRB menghasilkan hasil yang sukses pada semua pasien. Tingkat
keberhasilan yang tinggi dalam seri ini disebabkan oleh fakta bahwa 25 blok diberikan
dalam kurun waktu 11 minggu dibandingkan dengan biasanya 1 blok menjadi 6 blok. 41
Frekuensi tinggi IVRB ini bukan praktik umum dan tidak dapat didukung.
Dalam studi prospektif terkontrol kasus dari 26 pasien dengan CRPS tangan
secara signifikan pengurangan nyeri yang lebih baik dan peningkatan fungsi diamati
setelah pengobatan dengan salep DMSO-50% 4 kali sehari selama 3 minggu bila
dibandingkan dengan pengobatan dengan IVRB guanethidine dua kali a minggu selama
3 minggu.43 Dalam studi crossover double-blind dengan saline, guanethidine dosis
tinggi, dan guanethidine dosis rendah, tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok yang ditemukan. Semua kelompok melaporkan pengurangan nyeri kurang
dari 30%; tidak ada bukti respon dosis untuk guanethidine. Percobaan dihentikan
sebelum waktunya setelah efek samping yang serius pada 2 pasien dengan guanethidine
dosis tinggi.44 Sebuah RCT multicenter double-blind yang membandingkan IVRB
dengan guanethidine atau plasebo pada sekelompok 60 pasien CRPS tidak menemukan
perbedaan dalam hasil jangka panjang.45 Dalam RCT lain, dalam kelompok yang terdiri
dari 57 pasien CRPS, membandingkan IVRB dengan guanethidine dengan saline, sekali
lagi, tidak ada perbedaan jangka panjang yang signifikan yang ditemukan. 46

Blok regional intravena dengan obat lain


IVRB dengan lidokain dan metilprednisolon tidak efektif jika dibandingkan
dengan saline dalam RCT pada 22 pasien CRPS-1.47 Dalam rangkaian kasus
retrospektif dari 61 pasien yang diobati dengan IVRB yang mengandung lidokain dan
ketorolac, 26% pasien mengalami kesembuhan total. nyeri, 43% memiliki respon
parsial, dan 31% tidak memiliki respon terhadap terapi ini. 48 Dalam 1 penelitian
terkontrol plasebo double-blind, penggunaan ketanserin regional intravena, vasodilator
kuat, memiliki efek pereda nyeri.49
Kesimpulannya, terdapat bukti bahwa IVRB dengan guanethidine tidak efektif
untuk penanganan CRPS. Penggunaan ketanserin hanya dipelajari dalam percobaan
kecil sebelumnya.

Blok simpatis: ganglion stellatum (ganglion stellata) dan blok lumbal


Sistem saraf simpatis telah terlibat dalam berbagai sindrom nyeri mulai dari
nyeri neuropatik hingga nyeri vaskular hingga nyeri viseral. Peran blok simpatis (SB)
diduga. Baru-baru ini, hal ini ditinjau secara ekstensif oleh Day. 50 Dia menyimpulkan
bahwa meskipun sering menggunakan blok simpatis dan neurolisis invasif minimal,
kemanjurannya untuk memberikan analgesia jarang dilaporkan dalam literatur.
Berfokus pada blok simpatis untuk CRPS, kami dapat mengidentifikasi 13 artikel: 2
pada SB (Ganglion stellatum, stellate ganglion block [SGB] dan lumbar sympathetic
block [LSB]), 6 pada SGB, dan 5 pada LSB.
Blok ganglion stellatum (stellate ganglion)
Blok ganglion stellatum (stellate ganglion) (SGB) biasanya dilakukan untuk
CRPS pada ekstremitas atas. Ganglion servikotoraks ini mengirimkan eferen simpatis
ke trunkus servikalis dan pleksus brakialis, dan terletak di anterolateral ke kepala kosta
pertama, lateral muskulus longus colli, dan posterome- dial ke arteria vertebralis51
(Gambar 16.2).
52
Linson dkk. menjelaskan penggunaan SGB untuk pasien CRPS di lengan
atas. Dua puluh delapan pasien semuanya dirawat dengan injeksi bupivacaine 0,5% di
dalam kateter, 4 kali sehari selama rata-rata 7 hari (kisaran 1 hari sampai 14 hari). Hasil
jangka pendek baik: 90% pasien membaik selama pengobatan. Dalam jangka panjang,
pada 6 bulan sampai 6 tahun, 2 pasien mangkir. Dari 26 pasien yang tersisa, 19 merasa
nyeri mereka tetap membaik. Namun, tujuh pasien menilai peningkatan nyeri dalam
jangka panjang minimal. Studi lain juga menemukan SGB berkepanjangan dengan
bupivakain berguna jika SGB intermiten ditambah pengobatan konservatif dengan
analgesik, obat penenang dan terapi fisik gagal. Setelah rata-rata 3 tahun masa tindak
lanjut, terdapat 25% tingkat kekambuhan dan 75% ditandai untuk perbaikan total pada
kelompok 26 pasien CRPS pasca trauma.53 Terapi kombinasi SGB harian dengan
hingga 10 sampai 15 suntikan, bersama dengan oral. amitriptyline hingga 100 mg per
hari, ditemukan memberikan perbaikan yang signifikan pada peringkat nyeri VAS dan
kekuatan kekuatan cengkeraman.54 Dalam studi lain, SGB yang dilakukan dalam 16
minggu setelah timbulnya gejala memberikan pereda nyeri yang jauh lebih baik
daripada jika dilakukan lebih dari 16 minggu setelah timbulnya gejala. Selain itu,
ditemukan bahwa penurunan perfusi kulit pada ekstremitas CRPS dibandingkan dengan
sisi normal, berdampak buruk pada kemanjuran SGB.55
Dalam rangkaian kasus kecil yang terdiri dari 6 pasien, efek infiltrasi opioid
untuk CRPS-1 diperiksa; data tidak menunjukkan kemanjuran morfin ketika disuntikkan
di sekitar stellaum ganglion
Denervasi frekuensi radio (RF) dari stellatum ganglion ditemukan sama efektifnya
dengan metode blokade SGB lainnya dengan 40,7% pasien mengalami pereda nyeri
lebih dari 50%, pada kelompok pasien terpilih yang merespon positif terhadap blok
diagnosis dengan 4 mL sampai 6 mL lidokain 1% .57
Blok simpatis lumbal
LSB sering dilakukan pada tingkat lumbal L2 hingga L4 untuk sindrom nyeri
regional kompleks pada ekstremitas bawah. Serat ganglion pra dan pasca membentuk
sinapsis di ganglia simpatis. Ganglia ini terletak di sisi anterolateral vertebra lumbal
(Gambar 16.3). Berbeda dengan SGB, teknik-teknik yang dipandu adalah keharusan. Di
bawah panduan fluoroskopi, teknik ini telah dibuktikan mudah dilakukan.58
59 60
Computerized Tomography (CT), MRI, dan teknik berbasis ultrasound juga telah
61
dijelaskan dan keandalannya ditunjukkan. Namun, karena CT dan MRI adalah waktu -
mengonsumsi dan kurang cocok untuk praktik sehari-hari, fluoroskopi tetap menjadi
metode pilihan. Namun, teknik berbasis USG mungkin menjadi lebih penting dalam
waktu dekat.

Gambar 16.2. Ilustrasi anatomi dari ganglion stellatum; Ilustrasi: Seni Kedokteran
Rogier Trompert. http://www.medical-art.nl
Gambar 16.3. Ilustrasi anatomi lumbar truncus sympathicus; Ilustrasi: Seni Kedokteran
Rogier Trompert. http://www.medical-art.nl
LSB dapat dilakukan dengan suntikan anestesi lokal berulang. Untuk
mencapai hasil yang tahan lama, neurolisis dengan, misalnya, fenol, telah digunakan.
Pengobatan frekuensi radio simpatis lumbal truncus adalah metode ketiga untuk
melakukan LSB.
Pada 29 pasien dengan CRPS tungkai bawah setelah penggantian lutut total,
LSB dilakukan dengan suntikan intermiten 20 mL bupivacaine 0,375%. Penghilang rasa
sakit lengkap ditemukan pada 13 (45%) pasien, penghilang rasa sakit parsial pada 12
(41%) pasien dan tidak ada penghilang rasa sakit pada 3 (10%) pasien. Satu pasien
keluar karena kegagalan teknis.62 Iohexol, pewarna kontras yang larut dalam air yang
digunakan secara teratur, ditemukan tidak mengubah efek LSB dan bahkan
meningkatkan pereda nyeri. Dalam subset dari 11 pasien, yang setuju untuk melaporkan
beberapa aspek nyeri secara lebih rinci, tercatat bahwa peningkatan suhu kulit
berkorelasi secara signifikan dengan pengurangan allodynia. 63
RF LSB di ganglia simpatis L2-L4 didokumentasikan dalam rangkaian kasus
20 pasien dengan CRPS; 5 (25%) menjadi bebas nyeri dan 9 (45%) mengalami pereda
nyeri sementara.64 RF LSB dibandingkan dengan neurolisis fenol. Ditemukan bahwa
fenol mempertahankan efek simpatolitik pada 89% pasien setelah 8 minggu,
dibandingkan dengan hanya 12% pada kelompok RF. 65 Dalam RCT yang dilakukan
pada 20 pasien CRPS-1, ditemukan bahwa pengobatan RF pada 80 ° C selama 90 detik
pada ganglia simpatis L2-L4 sama efektifnya dengan neurolisis fenol pada ganglia yang
sama (3 mL fenol 7% pada setiap tingkat lumbar). Semua pasien mengalami penurunan
yang signifikan secara statistik dari nilai awal berbagai skor nyeri pada 4 bulan masa
tindak lanjut; Namun, fenol menyebabkan gejala nyeri neuropatik pada 1 pasien (10%)

Blok simpatik
Dalam studi crossover double-blind, terkontrol plasebo, ditemukan bahwa
durasi pereda nyeri oleh SB dengan anestesi lokal dapat diandalkan lebih lama (90 jam)
dibandingkan dengan saline (20 jam) .67 Blok simpatis diperiksa (SGB dan LSB)
dengan injeksi mingguan 14 mL hingga 16 mL bupivacaine 0,25%, atau infus
bupivacaine 0,25% kontinyu 5 mL per jam selama 5 hari (jika pereda nyeri terbatas
pada durasi anestesi lokal). Peningkatan nyeri jangka panjang yang signifikan
(penurunan skor nyeri VAS 47%) dan fungsionalitas ditemukan pada semua pasien
dengan rata-rata tindak lanjut 9,4 bulan. Kelegaan 50% atau lebih dari nyeri setelah blok
diagnostik sangat berkorelasi dengan perbaikan pada tindak lanjut jangka panjang.
Alodinia mekanik dan termal memprediksi respon positif terhadap blok simpatis awal.
Kecemasan secara negatif mempengaruhi pereda nyeri dan hasil fungsional sebuah
percobaan baru-baru ini pada 9 pasien dengan CRPS-1 dengan durasi lebih dari 6 bulan
membandingkan aksi analgesik LSB dengan bupivakain dengan LSB dengan
bupivakain yang dicampur dengan toksin botulinum A (BTA); ditemukan bahwa BTA
secara signifikan meningkatkan aksi analgesik LSB. Durasi analgesia diperpanjang dari
kurang dari 10 hari (95% CI: 0 sampai 12) menjadi 71 hari (95% CI: 12 sampai 253).
Mekanisme kerja dijelaskan oleh BTA yang mencegah pelepasan asetilkolin dari saraf
simpatis preganglionik dan dengan demikian menginduksi blok simpatis yang tahan
lama tetapi tidak permanen.69
Kesimpulannya: SGB melalui suntikan anestesi lokal intermiten untuk
pengelolaan CRPS ekstremitas atas didokumentasikan dalam penelitian retrospektif dan
prospektif. RF SGB dievaluasi dalam studi retrospektif. LSB dengan anestesi lokal
terbukti lebih unggul dari injeksi plasebo. RF LSB memberikan hasil yang sebanding
dengan neurolisis fenol. Yang terakhir mungkin menghasilkan efek yang lebih lama
tetapi risiko nyeri deafferentation lebih tinggi; oleh karena itu, pengobatan RF lebih
disukai.

Neurostimulasi

Stimulasi listrik transkutan


Stimulasi saraf listrik transkutan (TENS) dapat meredakan nyeri pada
subkelompok pasien dengan CRPS.70 Meskipun tidak ada bukti konklusif untuk
penggunaan dan efektivitas TENS, terapi ini noninvasif dengan hanya efek samping
minimal, yang paling umum adalah kontak alergi elektroda kulit. 71 Hal ini membuat
TENS cocok sebagai terapi pendahuluan atau tambahan. 72

Stimulasi sumsum tulang belakang


Untuk pasien dengan CRPS kronis yang tidak merespon terapi medis dan
rehabilitasi konservatif atau blok simpatis, Spinal Cord Stimulation (SCS) dapat
dipertimbangkan. Efek jangka pendek dari terapi ini pada pasien dengan CRPS telah
dibuktikan dalam studi acak.73 Dalam studi ini, 54 pasien dengan CRPS dimasukkan
dan diacak 2: 1 untuk menerima SCS dan terapi fisik atau rejimen standar terapi fisik
saja. . Tiga puluh enam pasien ditugaskan dan dirawat dengan tes SCS. Dua puluh
empat dari mereka melaporkan pengurangan rasa sakit dan pada pasien ini sistem
definitif ditanamkan. Delapan belas pasien hanya menerima terapi fisik. Enam bulan
setelah perawatan, analisis niat untuk mengobati (ITT) menunjukkan penurunan yang
jelas dalam intensitas nyeri pada kelompok dengan pasien yang distimulasi meskipun
fakta bahwa hanya 24 dari 36 pasien yang benar-benar dirawat dengan SCS. Efek positif
pada nyeri dan efek yang dirasakan secara global tetap dalam analisis ITT 2 tahun
setelah implantasi.74 Pengurangan nyeri identik pada pasien yang diobati dengan lead
serviks dibandingkan dengan lead lumbal.75 Lima tahun setelah dimulainya pengobatan
perbedaannya adalah lebih kecil, tetapi pasien yang diobati dengan SCS masih
melakukan lebih baik daripada pasien yang memiliki tes SCS negatif atau mereka yang
berada dalam kelompok kontrol. Pada akhir masa tindak lanjut, meskipun efeknya
berkurang, 95% pasien yang diobati dengan SCS menunjukkan bahwa mereka bersedia
menjalani pengobatan lagi untuk mencapai hasil yang sama. 76 Tinjauan klinis dan klinis
baru-baru ini. efektivitas biaya SCS dalam pengelolaan nyeri neuropatik atau iskemik
kronis menunjukkan bahwa pengobatan ini efektif dalam mengurangi nyeri neuropatik
kronis CRPS tipe 1.77

Stimulasi saraf tepi


Dalam rangkaian kasus prospektif, stimulasi saraf perifer (PNS) dengan
elektroda tipe pelat yang dipasang secara bedah yang dihubungkan dengan generator
denyut yang dapat ditanamkan mengurangi nyeri alodin dan spontan pada 19 (63%) dari
30 pasien yang diimplan dengan CRPS dan gejala dalam distribusi 1 saraf perifer
utama.78 Dalam studi retrospektif dengan 52 pasien (48 pasien CRPS-2 dan 4 pasien
tungkai hantu), 47 pasien ditanamkan setelah stimulasi percobaan positif. Dari pasien
ini, 43 (91%) bertahan sangat baik hingga sukses dengan pengurangan nyeri yang nyata
dan pengurangan nyeri terkait kecacatan.79 Dalam penelitian retrospektif lain, 41
perangkat PNS ditanamkan pada 38 pasien dengan nyeri pada distribusi saraf perifer. .
Lebih dari 60% pasien mengalami peningkatan nyeri yang signifikan lebih dari 50%
setelah implantasi stimulator saraf tepi. 80 Teknik ini hanya dapat diterapkan jika nyeri
berada di distribusi saraf tepi dan dengan demikian kurang cocok untuk sebagian besar
pasien CRPS-1.

Blok neuraksial somatik dan sentral

Blok pleksus brachialis


Blok saraf somatik pada pleksus brachialis juga menghalangi saraf simpatis
eferen di sekitarnya. Secara teoritis blokade somatik meningkatkan kemampuan untuk
mentolerir terapi fisik, terutama jika bahu juga terpengaruh. Dalam serangkaian kasus
retrospektif pada 25 pasien, 17 pasien CRPS, peningkatan nyeri dan rentang gerak
ditemukan setelah blok interscalene dengan 30 mL hingga 40 mL bupivacaine 0,125%
yang disuntikkan setiap hari hingga total 10 injeksi. Pendekatan ini disarankan jika
blokade simpatis gagal
Dalam rangkaian kasus kecil dari 6 pasien CRPS yang diobati dengan injeksi
ketiak kontinyu atau harian dengan bupivakain bersama dengan terapi fisik dan okupasi,
3 dari 6 pasien merespon dengan baik terhadap terapi ini; pasien lain juga merespon
dengan baik pada awalnya, tetapi kateter harus dilepas karena infeksi di tempat
penyisipan. Dua responden yang buruk adalah pasien CRPS kronis.82

Pemberian obat epidural


Pemberian opioid epidural dan obat lain semakin banyak ditawarkan untuk
nyeri non-maligna. Bupivakain epidural dalam dosis anestesi tinggi selama 2 sampai 3
hari diikuti dengan infus opioid epidural hingga 7 hari bersama dengan gerakan pasif
terus menerus yang memungkinkan pemulihan fungsi lutut pada pasien dengan CRPS
lutut.83 Klonidin epidural telah dibuktikan untuk memberikan pereda nyeri jangka
pendek pada CRPS kronis dan mungkin efektif dalam jangka panjang dengan
pengurangan VAS kecil dari 7,0 ± 0,4 menjadi 5,1 ± 0,6 (P <0,05) . 84
Analgesia epidural serviks unilateral dengan bupivakain dosis rendah dan
klonidin dengan infus kontinyu untuk CRPS mungkin merupakan pendekatan yang
menarik. Dosis bupivakain rendah hanya memberikan kelemahan otot tungkai minimal
dan memungkinkan untuk terapi rehabilitasi aktif. 85 Dalam studi retrospektif, 37 pasien
CRPS-1 dirawat dengan teknik kateter epidural unilateral dengan bupivakain terus
menerus dan infus fentanyl. Dari pasien-pasien ini hampir 90% membaik secara
signifikan ketika dirawat dalam waktu 1 tahun setelah timbulnya gejala. Jika
pengobatan dimulai lebih dari 1 tahun setelah onset dan jika lebih dari 1 anggota tubuh
terlibat, tingkat keberhasilan menurun secara dramatis. 86

Pemberian obat intratekal


Pemberian obat intratekal telah digunakan secara meningkat dalam 30 tahun
terakhir. Pemberian morfin intratekal dengan sistem penghantaran obat yang benar-
benar implan memberikan> 50% pereda nyeri dalam rangkaian kasus 5 pasien dengan
CRPS kronis.87 Pengobatan intratekal untuk nyeri CRPS dengan bupivakain dalam dosis
anestesi tinggi hingga 90 mg per hari dipelajari di a seri kecil dari 3 pasien. Infus
meningkatkan nyeri tetapi tidak mencegah sindrom menjadi kronis dan oleh karena itu
tidak direkomendasikan
Baclofen intratekal meningkatkan distonia, nyeri, kecacatan, dan kualitas
hidup pada pasien dengan distonia terkait CRPS-1 tetapi dikaitkan dengan tingkat
komplikasi yang tinggi seperti dijelaskan di bawah ini. 89
Zikonotida intratekal (analgesik nonopioid) mungkin merupakan obat yang
menjanjikan untuk pengobatan nyeri CRPS refrakter tetapi memerlukan lebih banyak
penelitian.90

Komplikasi manajemen intervensi

Komplikasi blok regional intravena


Teknik IVRB adalah prosedur yang relatif aman untuk dilakukan tetapi
dengan efek samping ringan yang sering terjadi seperti pusing (41% pasien) setelah
pelepasan tourniquet.48 Hipotensi ortostatik serius dapat terjadi.44

Komplikasi blok ganglion stellatum (stellate ganglion)


Insiden komplikasi berat adalah 1,7 dari 1.000 pasien. Komplikasi yang
berpotensi mengancam jiwa biasanya timbul dari injeksi atau injeksi subarachnoid yang
tidak disengaja di arteria vertebralis. Hal ini mengharuskan pemantauan EKG dan
penempatan jalur intravena sebelum melakukan prosedur.91 Sebenarnya persarafan
otonom lengan terjadi melalui Th1. Namun tusukan pada tingkat ini memberi peluang
kecil untuk disuntikkan ke dalam rongga pleura toraks. Untuk mencegah hal ini
dimungkinkan untuk menginjeksi terlebih dahulu ke arah C7 dan kemudian menyetel
jarum ke arah Th1. Salah satu efek samping potensial adalah terjadinya sindrom Horner
yang disebabkan oleh anestesi lokal yang menyebar ke simpatis batang serviks. Suara
serak juga dapat terjadi melalui penyebaran ke nervus laryngeus yang berulang.
Complications of the lumbar sympathetic block
Memblokir sistem saraf simpatis menyebabkan vasodilatasi pada ekstremitas
yang dapat menyebabkan hipotensi (ortostatik). Oleh karena itu pasien harus menerima
infus cairan intravena sebelum pengobatan. Selama pemulihan, tekanan darah harus
diukur sesekali selama 45 menit. Setelah masa pemulihan, asupan cairan yang cukup
selama 24 jam pertama disarankan. Pasien terkadang dapat mengembangkan kaki yang
hangat dan edematous yang mungkin dapat diartikan sebagai overshoot. Gejala ini
biasanya hilang secara spontan setelah sekitar 6 minggu. Komplikasi lain yang mungkin
terjadi adalah kerusakan pada nervus ilioinguinalis atau lebih sering (5% sampai 10%)
pada nervus genitofemoralis. Ini dapat menyebabkan nyeri tuli neuropatik. Sebuah
pendekatan alternatif, teknik transdiscal, telah dibuktikan untuk menurunkan risiko
neuritis saraf genitofemoralis.92
Demikian pula, risiko ini berkurang jika denervasi RF dari lumbar truncus
sympathicus digunakan alih-alih menyuntikkan agen neurolitik.65 Dengan LSB kimiawi
bilateral, pria dapat menjadi impoten.

Komplikasi stimulasi sumsum tulang belakang


Kemungkinan komplikasi yang memerlukan operasi ulang termasuk dislokasi
elektroda atau nyeri dari kantong penghasil denyut nadi yang ditanamkan. 74 Komplikasi
yang mengancam jiwa seperti meningitis jarang terjadi, tetapi kejadian buruk lainnya
seperti infeksi, tusukan dural, nyeri di daerah komponen stimulator, kegagalan
peralatan, prosedur revisi selain penggantian baterai dan operasi pelepasan terjadi pada
34% pasien

Komplikasi stimulasi saraf tepi


Kemungkinan komplikasi yang memerlukan operasi ulang terkait dengan
teknik bedah atau desain peralatan PNS dan termasuk migrasi elektroda pada 33%,
infeksi pada 15% dan kebutuhan penempatan di lokasi alternatif pada 11% pasien.94

Komplikasi blok pleksus brachialis


Blok pleksus brachialis adalah prosedur yang relatif aman dengan komplikasi
yang paling umum adalah infeksi pada tempat penyisipan kulit kateter.

Komplikasi pemberian obat epidural dan intratekal


Komplikasi yang sering dari pemberian obat epidural termasuk infeksi dan
kateter atau kegagalan pompa.95 Efek samping dari pemberian obat intratekal termasuk
infeksi, kegagalan sistem kateter dan pompa, sakit kepala pasca tusukan dural, dan
pembentukan granuloma intratekal, membawa potensi untuk menghasilkan kompresi
sumsum tulang belakang .
Bukti untuk manajemen intervensi
Ringkasan dari bukti yang tersedia diberikan pada Tabel 16.5.

Rekomendasi
Berdasarkan bukti yang tersedia berkaitan dengan efek dan komplikasi, kami
merekomendasikan teknik intervensi berikut untuk pengobatan CRPS.

Tabel 16.5. Ringkasan bukti untuk manajemen nyeri intervensi CRPS.


Teknik Skor

Blok guanethidine regional intravena 2 A−


Blok ganglion stellatum (stellate ganglion) 2B+
Blok simpatis lumbal 2B+
Blok pleksus brachialis 2C+
Analgesia infus epidural 2C+
Stimulasi sumsum tulang belakang 2B+
Stimulasi saraf tepi 2C+

Untuk pasien CRPS dengan nyeri parah, allodynia, atau dengan perbedaan
suhu kulit yang jelas dibandingkan dengan ekstremitas yang tidak terpengaruh yang
tidak merespons pengobatan dan terapi fisik, blok diagnostik dari ganglion stellatum
atau sistem saraf simpatis lumbar dapat dipertunjukkan. Jika blok ini memberikan
setidaknya 50% pengurangan nyeri, prosedur ini dapat diulangi beberapa kali dengan
anestesi lokal. Terapi frekuensi radio dari ganglion stellatum atau ganglia simpatis
lumbal adalah alternatif yang cocok. Dalam kasus gejala persisten, SCS dapat
direkomendasikan setelah evaluasi multidisiplin. Blok plexus brachialis somatik,
analgesia epidural, dan PNS dapat dipertimbangkan, terutama dalam konteks studi
klinis.

Algoritma praktek klinis


Algoritma latihan diilustrasikan pada Gambar 16.1.
Teknik

Blok ganglion stellatum (stellate ganglion)


Suntikan secara tradisional dipandu oleh penanda anatomi yang teraba. 96
97
Teknologi pendukung seperti fluoroskopi, computed tomography98 dan ultrasound99
telah dibuktikan untuk membuat prosedur secara teknis lebih dapat diandalkan. SGB
dapat dilakukan dengan injeksi anestesi lokal atau denervasi RF.
Pasien ditempatkan dalam posisi terlentang dengan kepala sedikit
direntangkan. Tingkat C6-C7 ditentukan oleh fluoroskopi dengan C-arm pada posisi
anteroposterior. C-arm disetel sampai pelat ujung vertebral sejajar. Setelah disinfeksi
lokal, kulit dianestesi menggunakan lidokain 1% dan jarum dimasukkan di
persimpangan prosesus transversus dan korpus vertebralis C6 atau C7 yang sesuai.
Setelah kontak dengan tulang, proyeksi oblik digunakan untuk memeriksa apakah jarum
berada di anterior foramen intervertebrale. Jika jarum melewati level ini dan tidak ada
kontak yang dibuat dengan dasar prosesus transver- sus, jarum perlu diposisikan ulang.
Setelah jarum berada di posisi yang benar, sejumlah kecil (0,5 mL hingga 1 mL)
pewarna kontras disuntikkan untuk mencegah injeksi intravaskular. Pewarna kontras
harus menyebar secara kraniokaudal. (Gambar 16.4 dan 16.5)
Untuk blok uji, injeksi diberikan menggunakan jarum radiokontras ukuran 60
mm, 20 gauge. Setelah konfirmasi fluoroskopi C-arm dari posisi yang benar, 5 mL
lidokain 1% atau bupivakain 0,25% disuntikkan tergantung pada penyebaran pewarna
kontras.
Untuk blok definitif menggunakan RF, jarum RF 60 mm, 20 gauge
digabungkan dengan probe termokopel untuk termometri dan lesi termal. Setelah
konfirmasi posisi jarum yang benar dengan fluoroskopi, stimulasi listrik dilakukan pada
50 Hz (stimulasi sensorik) dan 2 Hz (stimulasi motorik) hingga 1 mA, untuk
memastikan bahwa tidak ada kontak dengan akar saraf segmental (pasien harus tidak
merasakan apa pun selain perasaan pingsan di bahu dan / atau lengan). Kemudian 0,7
mL lidokain 1% di injeksi, setelah itu dilakukan lesi termal selama 1 menit pada suhu
80 ° C. Prosedur ini dapat diulang jika perlu.
Gambar 16.4. Ganglion stellatum (stellate ganglion) block: pandangan anteroposterior
dari posisi jarum.

Gambar 16.5. Blok ganglion stellatum (stellate ganglion): tampilan anteroposterior


dengan larutan kontras.
Gambar 16.6. Titik injeksi blok diagnostik simpatis lumbal: proyeksi miring.

Gambar 16.7. Titik injeksi blok simpatis lumbal: proyeksi miring dengan jarum
menggunakan pandangan terowongan.

Blok simpatis lumbal


Pasien ditempatkan dalam posisi tengkurap di meja perawatan, bantal dapat
ditempatkan di bawah perut untuk mengurangi lordosis lumbal. Fluoroskop C-arm
digunakan untuk mengidentifikasi level L2-L4. C-arm disetel ke arah kranio-kaudal.
tion sampai pelat ujung vertebral sejajar. Kemudian C-arm, diputar secara lateral sampai
ujung distal dari prosesus transversus memproyeksikan sejajar dengan tepi lateral dari
vertebra corpora L2 – L4 yang sesuai. Setelah disinfeksi lokal, kulit dibius
menggunakan lidokain 1% dan jarum dimasukkan menggunakan tampilan terowongan
sampai bagian depan vertebra tercapai (Gambar 16.6 dan 16.7). Proyeksi lateral
digunakan untuk memastikan bahwa jarum tidak melewati batas anterior corpus
vertebra. Juga proyeksi AP digunakan untuk memastikan bahwa titik jarum menonjol di
atas sendi facet kolom tulang belakang. Simpatis trunkus dapat dicapai dengan
pendekatan jarum tunggal pada vertebra korpus L3100 atau dengan pendekatan jarum
ganda pada vertebra korpus L2-L4. Jika ada garis kontras pewarna yang baik saat
memulai dengan pendekatan jarum tunggal di L3, tidak perlu pendekatan banyak jarum.
Dalam kedua kasus, sejumlah kecil (0,5 mL hingga 1 mL) pewarna kontras harus
disuntikkan (injeksi pewarna kontras yang terlalu banyak membuat reposisi jarum lebih
sulit). Dalam proyeksi AP, pewarna kontras harus terlihat seperti awan di depan corpus
vertebrae, tetapi tidak secara lateral. Dalam kasus penyebaran lateral yang bergaris,
jarum bisa berada di kompartemen muskulus psoas dan jarum perlu dimasukkan lebih
dalam. Dengan menggunakan proyeksi lateral, sebuah string akan terlihat berjalan di
sepanjang aspek antero-lateral dari corpus vertebrae (Gambar 16.8).
Jarum ukuran 20 gauge 150 mm pada level L3 digunakan untuk blok uji.
Setelah konfirmasi posisi jarum yang benar dengan pewarna radiokontras, 5 mL hingga
10 mL lidokain 1% atau bupivakain 0,25% diinjeksikan.
Untuk blok definitif menggunakan RF pengukur 20, jarum RF panjang 150
mm dengan ujung tidak berinsulasi 10 mm digunakan dikombinasikan dengan probe
termokopel untuk termometri dan lesi termal. Pertimbangan dapat diberikan untuk
hanya memblokir di 2 level, L3 dan L4. Setelah konfirmasi posisi yang benar dengan
fluoroskopi, stimulasi listrik dilakukan, menggunakan 50 Hz secara berurutan
(stimulasi sensorik) dan 2 Hz (stimulasi motorik) hingga 1 mA, untuk memastikan tidak
ada kontak dengan akar saraf segmental (pasien tidak boleh merasakan apa pun selain
perasaan lemas di perut). Pada setiap level 0,7 mL 1% lidokain diinjeksi setelah itu
dilakukan lesi termal selama 1 menit pada suhu 80 ° C. Prosedur ini dapat diulang jika
perlu.
Gambar 16.8. Blok diagnostik simpatis lumbal: pandangan lateral dengan penyebaran
larutan kontras.

Stimulasi sumsum tulang belakang


Semua pasien dalam studi yang dibahas menerima uji coba SCS dengan
elektroda sementara setelah pemberian profilaksis 1.500 mg cefuroxime (sefalosporin)
secara intravena. Dengan pasien dalam posisi tengkurap, di bawah fluoroskopi
langsung, jarum Tuohy dimasukkan ke dalam ruang epidural. Elektroda dimajukan
sampai ujungnya berada di C4 dalam kasus CRPS ekstremitas atas dan di T10 dalam
kasus CRPS ekstremitas bawah. Elektroda diposisikan sedemikian rupa sehingga ada
stimulasi yang memadai seperti yang dilaporkan oleh pasien sebagai parestesia yang
menutupi area nyeri. Jarum kemudian ditarik dan elektroda dihubungkan ke stimulator
eksternal. Uji coba SCS dilakukan di rumah setidaknya selama 1 minggu. Sementara
itu, pasien didorong untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara normal. Implan
permanen dilakukan jika ada skor pengurangan nyeri 50% atau jika ada skor minimal 6
(berarti banyak perbaikan) pada skala 7 poin untuk efek pengobatan yang dirasakan
secara global.
Teknik implantasi permanen yang digunakan terdiri dari pengenalan elektroda
stimulasi epidural melalui sayatan garis tengah 5 cm dengan pasien dalam posisi
tengkurap setelah pemberian profilaksis 1.500 mg cefuroxime secara intravena.
Elektroda dipasang dengan klip khusus. Setelah menempatkan pasien dalam
posisi lateral, elektroda dihubungkan dengan generator denyut internal di dinding kiri
bawah anterior abdomen dengan kabel ekstensi terowongan. Pasien tetap di rumah sakit
selama 24 jam setelah implantasi dan diberikan 2 dosis tambahan cefuroxime 750 mg.
Parameter stimulasi yang digunakan terdiri dari stimulasi frekuensi tinggi (rate 85 Hz)
dengan lebar pulsa 210 ms. Intensitas denyut nadi dikontrol dengan menggunakan
programmer pasien yang memungkinkan pasien untuk menyesuaikan amplitudo
stimulasi dari 0 V hingga 10 V.

Ringkasan
Tidak ada standar emas untuk diagnosis CRPS. Riwayat klinis dan
pemeriksaan fisik membentuk landasan proses diagnostik.
Jika pengobatan konservatif dengan pengobatan fisik dan medis gagal,
evaluasi multidisiplin harus dilakukan. Jika tidak ada perbaikan pada nyeri dan
disfungsi, blokade simpatis dapat dilakukan. Jika pemblokiran ini efektif, dapat diikuti
dengan suntikan berulang atau pengobatan RF. Jika gejala menetap, infus epidural
kontinyu, blok pleksus brachialis intermiten atau kontinu dalam kombinasi dengan
terapi olahraga mungkin berguna. Jika gejala berlanjut, SCS setelah periode stimulasi
percobaan yang berhasil dapat memberikan hasil yang positif.

References
1. Veldman PH, Reynen HM, Arntz IE, Goris RJ. Signs and symptoms of reflex
sympathetic dystrophy: prospective study of 829 patients. Lancet. 1993;342:1012–
1016.
2. Stanton-Hicks M, Janig W, Hassenbusch S, Haddox JD, Boas R, Wilson P.
Reflex sympathetic dystrophy: changing concepts and tax- onomy. Pain.
1995;63:127–133.
3. Bruehl S, Harden RN, Galer BS, Saltz S, Backonja M, Stanton-Hicks
M. Complex regional pain syndrome: are there distinct subtypes and sequential
stages of the syndrome? Pain. 2002;95:119–124.

4. de Mos M, de Bruijn AG, Huygen FJ, Dieleman JP, Stricker BH,


Sturkenboom MC. The incidence of complex regional pain syn- drome: a
population-based study. Pain. 2007;129:12–20.
5. Sandroni P, Benrud-Larson LM, McClelland RL, Low PA. Complex regional
pain syndrome type I: incidence and prevalence in Olmsted county, a population-
based study. Pain. 2003;103:199–207.
6. Groeneweg JG, Huygen FJ, Heijmans-Antonissen C, Niehof S, Zijl- stra FJ.
Increased endothelin-1 and diminished nitric oxide levels in blister fluids of
patients with intermediate cold type complex regional pain syndrome type 1.
BMC Musculoskelet Disord. 2006;7:91.
7. Birklein F, Schmelz M. Neuropeptides, neurogenic inflamma- tion and
complex regional pain syndrome (CRPS). Neurosci Lett. 2008;437:199–202.
8. Oaklander AL, Fields HL. Is reflex sympathetic dystrophy/complex regional pain
syndrome typeIa small-fiber neuropathy? Ann Neurol. 2009;65:629–638.
9. Gibbs GF, Drummond PD, Finch PM, Phillips JK. Unravelling the
pathophysiology of complex regional pain syndrome: focus on
sympathetically maintained pain. Clin Exp Pharmacol Physiol. 2008;35:717–
724.
10. de Mos M, Sturkenboom MC, Huygen FJ. Current understandings on complex
regional pain syndrome. Pain Pract. 2009;9:86–99.
11. Schurmann M, Zaspel J, Lohr P, et al. Imaging in early posttrau- matic complex
regional pain syndrome: a comparison of diagnostic methods. Clin J Pain.
2007;23:449–457.
12. Zyluk A. The usefulness of quantitative evaluation of three-phase scintigraphy in
the diagnosis of post-traumatic reflex sympathetic dystrophy. J Hand Surg Br.
1999;24:16–21.
13. Krumova EK, Frettloh J, Klauenberg S, Richter H, Wasner G, Maier C. Long-
term skin temperature measurements—a practi- cal diagnostic tool in complex
regional pain syndrome. Pain. 2008; 140:8–22.
14. Perez RS, Zollinger PE, Dijkstra PU, et al. [Clinical practice guideline
―Complex regional pain syndrome type I‖]. Ned Tijdschr Geneeskd.
2007;151:1674–1679.
15. Merskey H, Bogduk N. Radicular Pain—Radicular Pain and Radicu- lopathy,
Classification of Chronic Pain. 2nd ed. Seattle, Washington: IASP Press;
1994:13–16.
16. Harden RN, Bruehl S, Stanton-Hicks M, Wilson PR. Proposed new diagnostic
criteria for complex regional pain syndrome. Pain Med. 2007;8:326–331.
17. Bruehl S, Harden RN, Galer BS, et al. External validation of IASP diagnostic
criteria for Complex Regional Pain Syndrome and pro- posed research
diagnostic criteria. International Association for the Study of Pain. Pain.
1999;81:147–154.

18. Oerlemans HM, Oostendorp RA, de Boo T, Goris RJ. Pain and reduced
mobility in complex regional pain syndrome I: outcome of a prospective
randomised controlled clinical trial of adju- vant physical therapy versus
occupational therapy. Pain. 1999;83: 77–83.
19. Moseley GL. Graded motor imagery is effective for long-standing complex
regional pain syndrome: a randomised controlled trial. Pain. 2004;108:192–198.
20. Daly AE, Bialocerkowski AE. Does evidence support physiotherapy
management of adult Complex Regional Pain Syndrome Type One? A systematic
review. Eur J Pain. 2009;13:339–353.
21. Ezendam D, Bongers RM, Jannink MJ. Systematic review of the effectiveness of
mirror therapy in upper extremity function. Disabil Rehabil. 20091–20015.
22. Rico H, Merono E, Gomez-Castresana F, Torrubiano J, Espinos D, Diaz P.
Scintigraphic evaluation of reflex sympathetic dystrophy: comparative study of
the course of the disease under two therapeu- tic regimens. Clin Rheumatol.
1987;6:233–237.
23. Zuurmond WW, Langendijk PN, Bezemer PD, Brink HE, de Lange JJ, van
Loenen AC. Treatment of acute reflex sympathetic dystro- phy with DMSO 50%
in a fatty cream. Acta Anaesthesiol Scand. 1996;40:364–367.
24. Perez RS, Zuurmond WW, Bezemer PD, et al. The treatment of complex regional
pain syndrome type I with free radical scavengers: a randomized controlled study.
Pain. 2003;102:297–307.
25. Perez RS, Pragt E, Geurts J, Zuurmond WW, Patijn J, van Kleef M. Treatment of
patients with complex regional pain syndrome type I with mannitol: a
prospective, randomized, placebo-controlled, double-blinded study. J Pain.
2008;9:678–686.
26. Manicourt DH, Brasseur JP, Boutsen Y, Depreseux G, Devogelaer JP. Role of
alendronate in therapy for posttraumatic complex regional pain syndrome type
I of the lower extremity. Arthritis Rheum. 2004;50:3690–3697.
27. Robinson JN, Sandom J, Chapman PT. Efficacy of pamidronate in complex
regional pain syndrome type I. Pain Med. 2004;5:276–280.
28. Kingery WS. A critical review of controlled clinical trials for periph- eral
neuropathic pain and complex regional pain syndromes. Pain. 1997;73:123–139.
29. Christensen K, Jensen EM, Noer I. The reflex dystrophy syndrome response to

treatment with systemic corticosteroids. Acta Chir Scand. 1982;148:653–655.

30. Kalita J, Vajpayee A, Misra UK. Comparison of prednisolone with


piroxicam in complex regional pain syndrome following stroke: a randomized
controlled trial. QJM. 2006;99:89–95.
31. Rowbotham MC. Pharmacologic management of complex regional pain
syndrome. Clin J Pain. 2006;22:425–429.
32. Harke H, Gretenkort P, Ladleif HU, Rahman S, Harke O. The response of
neuropathic pain and pain in complex regional pain syndrome I to
carbamazepine and sustained-release morphine in patients pretreated with
spinal cord stimulation: a double-blinded randomized study. Anesth Analg.
2001;92:488–495.
33. van de Vusse AC, Stomp-van den Berg SG, Kessels AH, Weber WE.
Randomised controlled trial of gabapentin in Complex Regional Pain
Syndrome type 1 [ISRCTN84121379]. BMC Neurol. 2004; 4:13.
34. Correll GE, Maleki J, Gracely EJ, Muir JJ, Harbut RE. Subanesthetic ketamine
infusion therapy: a retrospective analysis of a novel thera- peutic approach to
complex regional pain syndrome. Pain Med. 2004;5:263–275.
35. Sigtermans MJ, van Hilten JJ, Bauer MC, et al. Ketamine pro- duces effective
and long-term pain relief in patients with Complex Regional Pain Syndrome Type
1. Pain. 2009;145:304–311.
36. Schwartzman RJ, Alexander GM, Grothusen JR, Paylor T, Reichen- berger E,
Perreault M. Outpatient intravenous ketamine for the treatment of complex
regional pain syndrome: a double-blind placebo controlled study. Pain.
2009;147:107–115.
37. Muizelaar JP, Kleyer M, Hertogs IA, DeLange DC. Complex regional pain
syndrome (reflex sympathetic dystrophy and causalgia): man- agement with the
calcium channel blocker nifedipine and/or the alpha-sympathetic blocker
phenoxybenzamine in 59 patients. Clin Neurol Neurosurg. 1997;99:26–30.
38. Inchiosa MA Jr, Kizelshteyn G. Treatment of complex regional pain syndrome
type I with oral phenoxybenzamine: rationale and case reports. Pain Pract.
2008;8:125–132.
39. Hannington-Kiff JG. Intravenous regional sympathetic block with guanethidine.
Lancet. 1974;1:1019–1020.
40. Field J, Monk C, Atkins RM. Objective improvements in algodystro- phy
following regional intravenous guanethidine. J Hand Surg Br. 1993;18:339–342.
41. Paraskevas KI, Michaloglou AA, Briana DD, Samara M. Treatment of
complex regional pain syndrome type I of the hand with a series of intravenous
regional sympathetic blocks with guanethidine and lidocaine. Clin Rheumatol.
2006;25:687–693.
42. Kaplan R, Claudio M, Kepes E, Gu XF. Intravenous guanethidine in patients with
reflex sympathetic dystrophy. Acta Anaesthesiol Scand. 1996;40:1216–1222.
43. Geertzen JH, de Bruijn H, de Bruijn-Kofman AT, Arendzen JH. Reflex
sympathetic dystrophy: early treatment and psychological aspects. Arch Phys Med
Rehabil. 1994;75:442–446.
44. Jadad AR, Carroll D, Glynn CJ, McQuay HJ. Intravenous regional
sympathetic blockade for pain relief in reflex sympathetic dystro- phy: a
systematic review and a randomized, double-blind crossover study. J Pain
Symptom Manage. 1995;10:13–20.
45. Ramamurthy S, Hoffman J. Intravenous regional guanethidine in the treatment of
reflex sympathetic dystrophy/causalgia: a rand- omized, double-blind study.
Guanethidine Study Group. Anesth Analg. 1995;81:718–723.
46. Livingstone JA, Atkins RM. Intravenous regional guanethidine blockade in the
treatment of post-traumatic complex regional pain syndrome type 1
(algodystrophy) of the hand. J Bone Joint Surg Br. 2002;84:380–386.
47. Taskaynatan MA, Ozgul A, Tan AK, Dincer K, Kalyon TA. Bier block with
methylprednisolone and lidocaine in CRPS type I: a rand- omized, double-
blinded, placebocontrolled study. Reg Anesth Pain Med. 2004;29:408–412.
48. Connelly NR, Reuben S, Brull SJ. Intravenous regional anesthesia with
ketorolac-lidocaine for the management of sympathetically- mediated pain. Yale
J Biol Med. 1995;68:95–99.
49. Hanna MH, Peat SJ. Ketanserin in reflex sympathetic dystrophy. A double-
blind placebo controlled cross-over trial. Pain. 1989;38: 145–150.
50. Day M. Sympathetic blocks: the evidence. Pain Pract. 2008;8: 98–109.
51. Hogan QH, Erickson SJ. MR imaging of the stellate ganglion: normal
appearance. AJR Am J Roentgenol. 1992;158:655–659.
52. Linson MA, Leffert R, Todd DP. The treatment of upper extrem- ity reflex
sympathetic dystrophy with prolonged continuous stellate ganglion blockade. J
Hand Surg Am. 1983;8:153–159.
53. Todd DP. Prolonged stellate block in treatment of reflex sympathetic dystrophy.
Agressologie. 1991;32:5 Spec No:281–282.
54. Karakurum G, Pirbudak L, Oner U, Gulec A, Karadasli H, Satana T.
Sympathetic blockade and amitriptyline in the treatment of reflex sympathetic
dystrophy. Int J Clin Pract. 2003;57: 585–587.
56. Ackerman WE, Zhang JM. Efficacy of stellate ganglion blockade for the
management of type 1 complex regional pain syndrome. South Med J.
2006;99:1084–1088.
57. Glynn C, Casale R. Morphine injected around the stellate ganglion does not
modulate the sympathetic nervous system nor does it provide pain relief. Pain.
1993;53:33–37.
58. Forouzanfar T, van Kleef M, Weber WE. Radiofrequency lesions of the
stellate ganglion in chronic pain syndromes: retrospective analysis of clinical
efficacy in 86 patients. Clin J Pain. 2000;16: 164–168.
59. Sprague RS, Ramamurthy S. Identification of the anterior psoas sheath as a
landmark for lumbar sympathetic block. Reg Anesth. 1990;15:253–255.
60. Redman DR, Robinson PN, Al-Kutoubi MA. Computerised tomography guided
lumbar sympathectomy. Anaesthesia. 1986; 41:39–41.
61. Konig CW, Schott UG, Pereira PL, et al. MR-guided lumbar sym-
pathicolysis. Eur Radiol. 2002;12:1388–1393.
62. Kirvela O, Svedstrom E, Lundbom N. Ultrasonic guidance of lumbar
sympathetic and celiac plexus block: a new technique. Reg Anesth. 1992;17:43–
46.
63. Cameron HU, Park YS, Krestow M. Reflex sympathetic dystro- phy
following total knee replacement. Contemp Orthop. 1994;29: 279–281.
64. Tran KM, Frank SM, Raja SN, El-Rahmany HK, Kim LJ, Vu B. Lumbar
sympathetic block for sympathetically maintained pain: changes in
cutaneous temperatures and pain perception. Anesth Analg. 2000;90:1396–
1401.
65. Rocco AG. Radiofrequency lumbar sympatholysis. The evolution of a
technique for managing sympathetically maintained pain. Reg Anesth.
1995;20:3–12.
66. Haynsworth RF Jr, Noe CE. Percutaneous lumbar sympathectomy: a
comparison of radiofrequency denervation versus phenol neuroly- sis.
Anesthesiology. 1991;74:459–463.
67. Manjunath PS, Jayalakshmi TS, Dureja GP, Prevost AT. Management of lower
limb complex regional pain syndrome type 1: an evaluation of percutaneous
radiofrequency thermal lumbar sympathectomy versus phenol lumbar
sympathetic neurolysis—a pilot study. Anesth Analg. 2008;106:647–649, table
of contents.
68. Price DD, Long S, Wilsey B, Rafii A. Analysis of peak magnitude and duration
of analgesia produced by local anesthetics injected into sympathetic ganglia of
complex regional pain syndrome patients. Clin J Pain. 1998;14:216–226.
69. Hartrick CT, Kovan JP, Naismith P. Outcome prediction following
sympathetic block for complex regional pain syndrome. Pain Pract.
2004;4:222–228.
70. Carroll I, Clark JD, Mackey S. Sympathetic block with botuli- num toxin
to treat complex regional pain syndrome. Ann Neurol. 2009;65:348–351.
71. Robaina FJ, Rodriguez JL, de Vera JA, Martin MA. Transcutaneous electrical
nerve stimulation and spinal cord stimulation for pain relief in reflex
sympathetic dystrophy. Stereotact Funct Neurosurg. 1989;52:53–62.

72. Nnoaham KE, Kumbang J. Transcutaneous electrical nerve stim- ulation


(TENS) for chronic pain. Cochrane Database Syst Rev. 2008;(3):CD003222.
73. Cruccu G, Aziz TZ, Garcia-Larrea L, et al. EFNS guidelines on
neurostimulation therapy for neuropathic pain. Eur J Neurol. 2007;14:952–
970.
74. KemLer MA, Barendse GA, van Kleef M, et al. Spinal cord stimula- tion in
patients with chronic reflex sympathetic dystrophy. N Engl J Med.
2000;343:618–624.
75. KemLer MA, De Vet HC, Barendse GA, Van Den Wildenberg FA, Van
Kleef M. The effect of spinal cord stimulation in patients with chronic reflex
sympathetic dystrophy: two years’ follow-up of the randomized controlled trial.
Ann Neurol. 2004;55:13–18.
76. Forouzanfar T, KemLer MA, Weber WE, Kessels AG, van Kleef M. Spinal cord
stimulation in complex regional pain syndrome: cer- vical and lumbar devices are
comparably effective. Br J Anaesth. 2004;92:348–353.
77. KemLer MA, de Vet HC, Barendse GA, van den Wildenberg FA, van
Kleef M. Effect of spinal cord stimulation for chronic complex regional pain
syndrome Type I: five-year final follow-up of patients in a randomized
controlled trial. J Neurosurg. 2008;108:292–298.
78. Simpson EL, Duenas A, Holmes MW, Papaioannou D, Chilcott J. Spinal cord
stimulation for chronic pain of neuropathic or ischae- mic origin: systematic
review and economic evaluation. Health Technol Assess. 2009;13:iii, ix–iix,
1–154.
79. Hassenbusch SJ, Stanton-Hicks M, Schoppa D, Walsh JG, Coving- ton EC.
Long-term results of peripheral nerve stimulation for reflex sympathetic
dystrophy. J Neurosurg. 1996;84:415–423.
80. Buschmann D, Oppel F. [Peripheral nerve stimulation for pain relief in CRPS II
and phantom-limb pain]. Schmerz. 1999;13:113–120.
81. Mobbs RJ, Nair S, Blum P. Peripheral nerve stimulation for the treat- ment of
chronic pain. J Clin Neurosci. 2007;14:216–221.
82. Gibbons JJ, Wilson PR, Lamer TJ, Elliott BA. Interscalene blocks for chronic
upper extremity pain. Clin J Pain. 1992;8:264–269.
83. Ribbers GM, Geurts AC, Rijken RA, Kerkkamp HE. Axillary brachial plexus
blockade for the reflex sympathetic dystrophy syndrome. Int J Rehabil Res.
1997;20:371–380.
84. Cooper DE, DeLee JC, Ramamurthy S. Reflex sympathetic dystro- phy of the
knee. Treatment using continuous epidural anesthesia. J Bone Joint Surg Am.
1989;71:365–369.
85. Rauck RL, Eisenach JC, Jackson K, Young LD, Southern J. Epidural clonidine
treatment for refractory reflex sympathetic dystrophy. Anesthesiology.
1993;79:1163–1169, discussion 27A.
86. Buchheit T, Crews JC. Lateral cervical epidural catheter placement for
continuous unilateral upper extremity analgesia and sympa- thetic block. Reg
Anesth Pain Med. 2000;25:313–317.

87. Moufawad S, Malak O, Mekhail NA. Epidural infusion of opiates and local
anesthetics for Complex Regional Pain Syndrome. Pain Pract. 2002;2:81–86.
88. Kanoff RB. Intraspinal delivery of opiates by an implantable, pro- grammable
pump in patients with chronic, intractable pain of non- malignant origin. J Am
Osteopath Assoc. 1994;94:487–493.
89. Lundborg C, Dahm P, Nitescu P, Appelgren L, Curelaru I. Clini- cal
experience using intrathecal (IT) bupivacaine infusion in three patients with
complex regional pain syndrome type I (CRPS-I). Acta Anaesthesiol Scand.
1999;43:667–678.
90. van Rijn MA, Munts AG, Marinus J, et al. Intrathecal baclofen for dystonia of
complex regional pain syndrome. Pain. 2009;143:41–47.
91. Kapural L, Lokey K, Leong MS, et al. Intrathecal ziconotide for complex
regional pain syndrome: seven case reports. Pain Pract. 2009;9:296–303.
92. Wulf H, Maier C. [Complications and side effects of stellate gan- glion blockade.
Results of a questionnaire survey]. Anaesthesist. 1992;41:146–151.
93. Ohno K, Oshita S. Transdiscal lumbar sympathetic block: a new tech- nique for a
chemical sympathectomy. Anesth Analg. 1997;85:1312– 1316.
94. Turner JA, Loeser JD, Deyo RA, Sanders SB. Spinal cord stimulation for patients
with failed back surgery syndrome or complex regional pain syndrome: a
systematic review of effectiveness and complica- tions. Pain. 2004;108:137–147.
95. Ishizuka K, Oaklander AL, Chiocca EA. A retrospective analysis of reasons
for reoperation following initially successful peripheral nerve stimulation. J
Neurosurg. 2007;106:388–390.
96. Hassenbusch SJ. Epidural and subarachnoid administration of opioids
for nonmalignant pain: technical issues, current approaches and novel treatments.
J Pain Symptom Manage. 1996;11: 357–362.
97. Carron H, Litwiller R. Stellate ganglion block. Anesth Analg.
1975;54:567–570.

98. Abdi S, Zhou Y, Patel N, Saini B, Nelson J. A new and easy technique to block
the stellate ganglion. Pain Physician. 2004;7:327–331.
99. Erickson SJ, Hogan QH. CT-guided injection of the stellate gan- glion:
description of technique and efficacy of sympathetic block- ade. Radiology.
1993;188:707–709.
100. Narouze S, Vydyanathan A, Patel N. Ultrasound-guided stellate gan- glion
block successfully prevented esophageal puncture. Pain Physi- cian.
2007;10:747–752.
101. Hatangdi VS, Boas RA. Lumbar sympathectomy: a single needle technique. Br
J Anaesth. 1985;57:285–289.
TUMOR PANCOAST
Rose Dinda Martini
Peserta PPDS Bagian Penyakit Dalam FK-Unand/Perjan RS Dr. M. Djamil
Padang

Abstrak

Pada awal abad 20 jarang terjadi keganasan karena tumor paru, saat sekarang
merupakan kejadian epidemik pada beberapa bagian dunia. Tumor paru merupakan
kanker tersering di Amerika Serikat dan juga tersering menyebabkan kematian dari
kanker, sekitar 37.000 kematian setiap tahun. Salah satu tumor paru yang cukup sering
ditemukan adalah tumor pancoast, yang terletak pada bagian apeks paru.
Telah dilaporkan satu penderita, laki-laki, umur 48 tahun dengan diagnosis
tumor Pancoast. Pasien masuk dengan keluhan nyeri bahu kanan, sembab leher kanan
dan kelompak mata jatuh. Pada pemeriksaan Ro thorak dan CT Scan ditemukan massa
pada apeks paru.
Dilakukan penalataksanaan dengan radioterapi paliatif dan sitostatika.

Kata kunci : Tumor, Pancoast, paru.


ABSTRACT

Early XX centuries, the malignancy lung tumor is rare, while today, we found
that lung malignancy is epidemic in the world. In United Stated, lung malignancy most
be find, with 37,000 death at years. The Pancoast tumor is lung tumor that be more find.
It’s localated in apeks lung.
Be reported one patients, man, 48 old with Pancoast tumour. The patient feel
pain on right shoulder, swelling on the neck and ptosis. Be based on X-Ray Thorak and
CT Scans, We Found solid mass in apeks paru.
The treatment do it properly with radioteraphy and sitostatic.
key word;
PENDAHULUAN

Pada awal abad 20 jarang terjadi keganasan karena tumor paru, sekarang
merupakan kejadian epidemik pada beberapa bagian dunia. Tumor paru merupakan
kanker tersering di Amerika Serikat dan juga tersering menyebabkan kematian dari
kanker, sekitar 37.000 kematian setiap tahun. Angka kejadian kanker paru meningkat
pada wanita di Amerika Serikat, sedangkan angka kejadiannya menurun pada laki-laki,
terutama yang berusia kurang dari 50 tahun. Jumlah kasus kanker paru pada wanita
adalah 40% dari semua kasus kanker paru yang ada.
Salah satu tumor paru yang akan diketengahkan adalah tumor pancoast, yang
terletak pada bagian apeks paru. Tumor sulcus superior pertama kali dikemukakan oleh
Henry Pancoast pada tahun 1924. Setelah dikemukakan oleh Pancoast, istilah tumor
Pancoast, tumor sulcus superior atau tumor sulcus pulmonary superior adalah sinonim.
Lokasi tumor ini di alur pleuropulmonari apical, yang berbatasan dengan vena sub
clavia.(3,4)

FAKTOR RISIKO
Merokok adalah faktor risiko predominan yang berhubungan dengan kanker
paru. Angka kejadian kanker paru meningkat 10-30 kali lipat pada perokok dari pada
yang tidak merokok.
Zat karsinogen yang berhubungan dengan kanker paru :
1. Asap rokok, mengandung “tar” suatu persenyawaan hidrokarbon aromatik
polisiklik.
2. Asap mobil.
3. Asap pabrik / industri.
4. Asap tambang.
5. Debu radio aktif / ledakan nuklir.
6. Zat-zat kimia : asbes, krom, nekel, besi, uranium, haloeter.(5)

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik berhubungan dengan penjalaran regional dari tumor
tersebut, yang meliputi elecasi hemidiafragma karena paralise nervus phrenikus, suara
serak karena paralise nervus laringeal rekuren, sindroma Horner karena paralise nervus
simpatik, sindroma vena cava superior karena obstruksi vaskuler.

Lesi pada sulcus supeior menimbulkan gejala sindroma Pancoast, yang terdiri
dari : nyeri pada bahu dan lengan (sesuai dengan distribusi dermatom C8, T1 dan T2),
sindroma Horner, kelemahan dan atrofi pada otot tangan.
Nyeri Bahu
Gejala awal yang sering timbul pada Pancoast tumor adalah nyeri pada bahu,
yang timbul sekitar 44%-96% kasus. Nyeri terjadi oleh karena invasi ke pleksus
brakialis atau ekstensi tumor ke pleura parietalis, fasia endotorasis, iga 1 dan 2 atau
korpus vertebra. Nyeri bersifat progresif, dapat menjalar ke arah lengan ipsilateral
bagian ulnar. Nyeri tersebut sering di terapi sebagai osteoartritis cervical atau burs sitis
bahu, sehingga diagnosis tumor pancoast sering terlambat sekitar 5-10 bulan.
Sindroma Horner
Sindroma Horner terdiri dari ptosis ipsilateral, miosis, enophtalmus, dan
anhidrosis yang disebabkan oleh paralisis nervus simpatikus. Prevalensi sindroma
Horner sekitar 14%-50%.
Komplikasi neurologi pada ekstremitas atas
Gejala neurologi karena ekstensi tumor ke cabang nervus C8 dan T1 terjadi
sekitar 8%-22% kasus, gejala tersebut meliputi kelemahan dan atrofi otot, nyeri dan
paresthesia pada jari 4,5 dan bagian medial lengan. Gejala awal dapat berupa sensasi
abnormal dan nyeri pada daerah dermatom T2 (aksila dan bagian medial lengan atas)
dan hilangnya reflek triceps. Tumor Pancoast dapat menginvasi ke foramina inter
vertebral, yang dapat menyebabkan kompresi korda spinalis dan paraplegia yang
terjadi sekitar 5% kasus.
Gejala lain dari tumor Pancoast adalah pembesaran kelenjar getah bening
supraklavikula dan penurunan berat badan sekitar 25%-35% kasus. Paralisis sekitar
5%-10% kasus. Gejala batuk, hemoptisis dan sesak nafas di jumpai karena lokasi tumor
di perifer.(3,4,6)

DIAGNOSIS
Diagnosis pasti tumor Pancoast ditemukan dengan cara biopsi jarum
perkutansus dengan menggunakan penuntun fluoroskopi, USG atau CT untuk
menentukan lokasi tumor. Pemeriksaan penunjang bronkoskopi dengan sitologi dan
biopsi dapat mendiagnosa sekitar 30%-40% kasus, mengingat loksi tumor Pancoast di
perifer. Sekitar 15% deteksi tumor Pancoast ditemukan dengan pemeriksaan sitologi
sputum.(3)

KLASIFIKASI
Tumor paru di bagi dalam 2 kategori besar, yaitu: “non small cell lung cancer”
(NSCLC) yang meliputi ¾ kasus dan “small cell lung cancer” (SCLC) yang meliputi
¼ kasus tumor paru. “Non small cell lung cancer” terdiri dari bebarapa tipe
patologi, yaitu : “squamous cell”, “adenocarcinoma”, “large cell”. (2)

Klasifikasi TNM tumor paru


Tumor primer (T)
T1 - Diameter tumor <3 cm tanpa invasi ke proksimal bronkus lobaris.
T2 - Diameter tumor >3 cm atau tumor dengan berbagai ukuran yang di ikuti
invasi ke pleura visceralis.
Atelektasis sebagian kecil paru.
Perluasan ke proksimal 2 cm distal dari carina.
T3 - Tumor dengan berbagai ukuran yang di ikuti: Invasi ke dinding dada
Keterlibatan diafragma, pleura mediastinalis atau pericardium.
Atelektasis sebagian besar paru.
Perluasan ke proksimal jarak kurang 2 cm dari carina.
T4 - Tumor dengan berbagai ukuran yang di ikuti: Invasi ke mediastinum.
Invasi ke jantung atau pembuluh darah besar.
Invasi ke trakea atau esophagus.
Invasi ke korpus vertebra atau carina.
Adanya efusi pleural maligna atau efusi pericardium.
Nodul tumor satelit dalam lobus yang sama sebagai tumor primer.

Kelenjar Limfe (N)


N0 Tidak ada metastasis kelenjar limfe.
N1 Metastasis ke kelenjar limfe hilus ipsilateral dan/atau kelenjar limfe
peribronkial ipsilateral.
N2 Metastasis ke kelenjar limfe mediastenal ipsilateral dan/atau kelenjar limfe sub
carinal.
N3 Metastasis ke kelenjar limfe hilus atau mediastenal kontra lateral atau kelenjar
limfe skalenus kontra lateral atau ipsilateral atau kelenjar limfe supraklavikula.

Metastasis (M)
M0 Tidak ada metastase jauh.
M1 Metastase jauh (termasuk nodulus tumor metastase pada lobus yang berbeda dari
tumor primer).

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor paru tergantung dari jenis sel (“non-small cell lung
cancer” atau “small cell lung cancer”) stadium tumor. Pada NSCLC stadium IA/B,
IIA/B, IIIA : “operable”, sedangkan stadium IIIB dan IV “inoperable”. Penderita
NSCLC stadium IIIB dengan “performance status” yang masih baik (Karnofsky >70%)
dapat dilakukan kombinasi kemoradioterapi. Penderita dengan “performance status”
baik dan berat badan berkurang < 5% dalam 6 bulan terakhir respon terhadap
kemoterapi.(9)
PROGNOSIS
Prognosis jelek bila pada tumor Pancoast ditemukan sindroma Horner, ekstensi
tumor ke bagian basal leher, korpus vertebra atau ke pembuluh-pembuluh besar atau
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening mediastenal. Prognosis lebih baik bila di
temukan “performance status” baik dan <5% berat badan berkurang. Penderita tumor
Pancoast yang di terapi dengan preoperative radio terapi dan dilakukan reseksi bedah,
ketahuan hidup 5 tahun sekitar 20%-35%. Sedangkan penderita yang mendapat radio
terapi primer, ketahanan hidup sekitar 0%-29%. Pada “non-small cell lung cancer”
stadium IIIb ketahanan hidup 5 tahun adalah 5%. Prognosis wanita lebih baik dari laki-

laki.(3,7,9)

Klasifikasi TNM
Stad IA T1N0M0 Stad. IIIA T3N1M0

IB T2N0M0 T1-3N2M0
Stad IIA T1N1M0 Stad. IIIB Semua T N3M0
IIB T2N1M0 T4 semua N M0
T3N0M0 Stadium IV Semua T semua N M1

KASUS
Seorang pasien laki-laki, usia 48 tahun, pekerjaan supir, suku Minang, di rawat
di bagian Penyakit dalam Pria sejak 17 Maret 2001 dengan Keluhan utama nyeri pada
bahu dan lengan kanan sejak 3 bulan yang lalu.
Dari riwayat penyakit sekarang diketahui pasien mengeluhkan nyeri pada bahu
dan lengan kanan sejak 3 bulan yang lalu, nyeri rasa di tusuk, menjalar dari bahu ke
arah tangan. Sebelumnya nyeri timbul di dada kanan sejak 7 bulan yang lalu. Lalu ½
bulan kemudian nyeri terasa pula di punggung kanan. Nyeri tersebut hilang timbul,
terasa bila lengan digerakkan. Nyeri bertambah bila lengan kanan semakin sering
digerakkan. Sejak 3 bulan yang lalu tidak bisa lagi bekerja sebagai supir karena nyeri
tersebut, Sembab di leher kanan sejak 1 bulan yang lalu. Kemudian sembab tampak
pula pada wajah dan lengan kanan.
Kelopak mata kanan jatuh sejak 7 bulan yang lalu. Tidak ada riwayat trauma
pada mata, mata kanan tidak kabur, hidung tersumbat sejak 7 bulan yang lalu, hilang
timbul, tersumbat terutama saat cuaca dingin, penderita tidak pilek, tidak sering bersin,
tidak demam, suara tidak serak, batuk sekali-sekali sejak 1 minggu yang lalu,
berdahak, warna putih, tidak berdarah, nafsu makan menurun sejak sakit.
Penderita sudah berobat ke Dokter Spesialis Syaraf, di beri obat: tradosik,
tegretol. Berobat ke Dokter THT, di beri obat celestamin, sinotab dan obat semprot
hidung. Berobat ke Dokter Mata, di beri vasacon tetes mata, oleh Dokter Syaraf
disarankan ke poli bedah, dilakukan rontgen torak, hasil : normal (1 bulan yang lalu).
Terakhir, penderita berobat ke Dokter Penyakit Dalam, di beri : Voltaren 50 mg,
cimetidin, sanmaag dan disarankan di rawat, buang air kecil dan buang air besar dalam
batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Usia 4 tahun: lengan kiri dan kanan tersiram air panas, sehingga jari 3,4,5
tangan kiri lengket dengan telapak tangan.
- Riwayat batuk lama (-).

DISKUSI
Telah dilaporkan suatu kasus seorang laki-laki, usia 48 tahun, dengan diagnosa
kerja : sindroma vena kava superior dan sindroma horner ec tumor paru apeks dekstra,
rinofaringitis akut. Hal-hal yang menyokong diagnosis sindroma horner : nyeri yang
bersifat redikuler, progresif pada lengan atas, ptosis, miosis, anhidrosis ipsilateral.

Sindroma horner tersebut terjadi karena penekanan atau infiltrasi tumor pada
saraf simpatikus paravertebral. Gejala sindroma vena kava superior : udem pada muka,
leher dan lengan, JVP meningkat, venektasi. Sindroma vena kava superior terjadi
karena kompresi atau invasi pada pembuluh vena besar di apertura torakis oleh
pembesaran kelenjer getah bening paratrakeal atau oleh tumor itu sendiri. Dari
pemeriksaan fisik paru tidak begitu menyokong adanya massa pada paru, hal ini dapat
disebabkan oleh karena letak tumor di apeks paru, di bagian atas sulkus pulmonari dekat
apertura torakis yang merupakan bagian kecil dari lapangan atas paru. Dari
pemeriksaan rontgen torak dan Ct scan torak menyokong adanya suatu massa pada
apeks paru kanan. Diagnosis rinofaringitis akut berdasarkan adanya keluhan hidung
tersumbat, batuk sekali-sekali, hiperemis pada mukosa hidung dan faring.
Pada penderita ini tidak ditemukan gejala batuk lama, hemoptisis atau sesak
nafas (gejala yang biasa ditemukan pada tumor di daerah sentral) oleh karena lokasi
tumor di perifer.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan batas pekak-hepar meningkat, di duga telah
ada paralise nervus phrenikus sehingga hemidiagfragma letak tinggi yang di dukung
oleh hasil rontgen torak.
Pada CT scan torak dan foto right lateral decubitus ditemukan adanya efusi
pleura. Pada kebanyakan kasus, efusi pleura disebabkan oleh ekstensi tumor secara
langsung ke permukaan pleura. Efusi pleura dapat juga disebabkan oleh obstruksi aliran
limfatik. Hal tersebut harus di buktikan dengan analisa cairan pleura dan biopsi pleura.
Berhubung jumlah cairan diperkirakan hanya sedikit maka punksi dan biopsi cairan
pleura direncanakan dengan penuntun USG.
Keluhan yang sangat mengganggu pada penderita ini adalah nyeri, yang
disebabkan oleh kompresi atau infiltrasi jaringan syaraf. Menurut WHO pengelolaan
nyeri pada penderita kanker di bagi dalam 3 tahap dengan kekuatan yang meningkat.
Di anjurkan untuk permulaan penanganan nyeri tidak memberi dosis yang terlalu
rendah.(10)
Langkah 1 adalah pemberian analgetik non-opoid drugs (NSAID), yaitu :
diklofenak 50 mg. Setelah beberapa hari keluhan nyeri makin bertambah, diputuskan
untuk naik ke tahap 2, yaitu pemberian tramadol analgetik kerja parifer dan sentral
lemah. Pada akhirnya penderita naik ke tahap 3, dengan pemberian analgetik kerja
sentral, yaitu pethidin 25 mg. Pemberian radio kemoterapi pada penderita ini juga
ditujukan untuk mengurangi nyeri.
Secara histopatologi pada sitologi sputum ditemukan adenocarcinoma, yang
merupakan non-small cell lung carcinoma. Adenocarcinoma merupakan jenis yang
sering terjadi pada bagian perifer parenkhim baru (75%) dan cendrung untuk
bermetastasis di luar thoraks.
Menurut klasifikasi TNM (1997), penderita ini dengan T4 bila dapat
dibuktikan adanya proses malignansi pada pleura. Adanya pembesaran kelenjar getah
bening supraklavikula ipsilateral, termasuk klasifikasi N3 walaupun belum dapat
dibuktikan secara histopatologi dan M0 tidak ditemukan adanya metastase jauh. Jadi
penderita ini berada pada stadium IIIB (T4 N3M0).

Radio terapi paliatif diberikan sebanyak 5 kali dan sitostatika cislatin 50 mg


dan doxorubicin 50 mg diberikan sebanyak 6 x siklus 3 minggu. Setelah dilakukan
radio kemoterapi udem pada lengan, leher tampak berkurang namun nyeri masih terasa
dan timbul keluhan mual. Untuk memonitor efek samping obat harus dilakukan
pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal.
Dengan ketahanan hidup 5 tahun sekitar 5% pada stadium IIIB maka harus di
usahakan untuk mempertahankan kualitas hidup yang lebih baik. Edukasi pada
keluarga dan penderita itu sendiri harus dilakukan secara manusiawi. Terapi psikologis
untuk penderita penyakit kanker dan keluarganya termasuk sikap dan peranan petugas
kesehatan akan banyak bermanfaat untuk mempertahankan kualitas hidup sebaik
mungkin.

KEPUSTAKAAN
1. Jett J, Feins R, Kvale P, et al. Pretreatment Evaluation of Non-small Cell
Lung Cancer. Am J of Respiratory and Critical Care Medicine 1997:156:320-
32.
2. Simmonds P. managing Patients with Lung cancer. BMJ 1999:319:527-8.
3. Arcasoy SM, Jett JR. pancoast’s Syndrome and Superior (Pulmonary) Sulcus
Tumors. In: Burton DR, ed. Up to date Clinical reference on CD-ROM &
ONLINE for medicine subspecialists and internists 2000. Vol 8. No. 3.
4. Strauss GM. Overview and Clinical manifestations of Lung Cancer. In:
Burton DR, ed. Up to date Clinical Reference on CD-ROM & ONLINE for
medicine subspecialists and internists 2000. Vol 8. No. 3.
5. Amin Z, Suwondo A. Tumor Paru. Dalam: Soeparman, Waspadji S, editor.
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI, 1990:745-52.
6. Minna JD. Neoplasms of the Lung. In: Isselbacher, Braundwald, Wilson,
Martin, Fauci, Kasper, eds. Harrison’s Principles Internal Medicine, 14 th ed.
Singapore: Mc Graw Hill, 1998:552-62.
7. Moore DF, Lee JS. Staging and Prognostic Factors: Non-small Cell Lung
Cancer. In: Pass HI, Mitchell JB, Johnson DH, Turrsu AT, eds. Lung cancer
Principles and Practice. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1996 : 481-91.
8. Mountain, CF. Revision Indonesia the International System for Staging Lung
Cancer. Chest 1997:111(6):1710-7. In: Burton DR, ed. Up to date Clinical
Reference on CD-ROM & ONLINE for medicine subspecialists and
internists 2000. Vol 8. No. 3.

9. Strauss GM. Multimodality Treatment of Stage III Non-small Cell Lung


Carcinoma of tehe laung. In: Burton DR, ed. Up to date Clinical Reference
on CD-ROM & ONLINE for medicine subspecialists and internists 2000.
Vol 8. No. 3.

10. Meyler WJ, Crul BPJ. Nyeri dan Pemberantasan Nyeri pada Penderita Kanker.
Dalam: Van de Velde CJH, Bosman FT, Wagener DJT. Oncologie, edisi 5.
Arjono, Aryandono T, penerjemah. Jogjakarta : Gadjah Mada University
Press, 1996: 769-82.

Anda mungkin juga menyukai