Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

Pterygium

Disusun Oleh:

Febrian Lodewijk Nugraha 112021282

Kezia Kakerissa 112022041

Vania Risca Juditha 112022042

Richard Harris 112022043

Isnaniar 112022050

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RS BHAYANGKARA POLDA LAMPUNG

PERIODE 12 SEMPTEMBER – 15 OKTOBER 2022


BAB I. PENDAHULUAN

Mata merah merupakan keluhan yang paling sering membawa pasien datang ke dokter
yang secara umum mengindikasikan proses pada segmen anterior. Keluhan ini timbul akibat
terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya putih menjadi merah. 1 Hal ini dapat
disebabkan oleh proses inflamasi yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mata yang
dikenal sebagai hiperemia atau injeksi. Vasodilatasi ini dapat terjadi pada arteri konjungtiva,
arteri siliaris anterior, dan arteri episklera. Selain vasodilatasi, kejadian mata merah dapat
dikarenakan pecahnya pembuluh darah mata seperti pada pendarahan subkonjungtiva. Mata
merah dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan penglihatan yang dilihat dari ada atau tidaknya
keterlibatan sumbu penglihatan atau visual axis.1,2 Salah satu penyakit mata merah yang tidak
disertai oleh gangguan penglihatan adalah pterygium, walaupun dalam derajat berat mampu
menyebabkan gangguan penglihatan.

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygos yang berarti sayap. Pterygium
merupakan pertumbuhan fibrovaskuler non maligna yang biasanya mencapai kornea dan
berbentuk segitiga.3 Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal atau
temporal konjungtiva dan meluas ke kornea sebagai puncaknya. Pterygium mudah mengalami
peradangan dan apabila iritasi akan berwarna merah.1 Berbagai penelitian menyatakan bahwa
pterygium terjadi karena proses degenerasi fibroelastis dan proliferasi fibrotik, serta kerusakan
jaringan akibat pajanan kronik dari sinar ultraviolet. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh iritasi
kronik dan cuaca kering serta berdebu yang membuat terjadinya inflamasi kronik berujung
kerusakan jaringan konjungtiva yang menimbulkan pterygium.2,3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pembungkus Bola Mata

2.1.1 Konjungtiva

Konjungtiva merupakan lapisan membran mukosa tipis dan transparan yang melapisi
sklera dan kelopak mata bagian belakang. Secara embriologi, konjungtiva berasal dari ektoderm
dan krista neuralis dari vesikula optik.2 Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan
oleh sel goblet yang berfungsi untuk membasahi bola mata terutama kornea. 1 Suplai pendarahan
pada konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Pada konjungtiva
terdapat anyaman limfatik padat yang alirannya menuju nodus preauricular dan submandibular.
Anyaman ini mempunya peran penting dalam mediasi sistem kekebalan aktif dan pasif.2

Konjungtiva terbagi menjadi 3 bagian, yaitu konjungtiva palpebra, fornices superior dan
inferior, dan bulbi. Konjungtiva palpebra dimulai dari mucocutaneous junction sampai ke bagian
dalam kelopak mata. Bagian ini terbagi menjadi 3 berupa marginal, tarsal, dan orbital. Konjutiva
fornices superior dan inferior merupakan peralihan dari konjungtiva palpebralis dan konjungtiva
bulbaris yang mempunyai perlekatan yang longgar terhadap jaringan dibawahnya. Konjungtiva
bulbi merupakan bagian dari konjungtiva yang melapisi dan melekat erat pada permukaan
anterior sklera sampai epitel kornea pada limbus. Konjungtiva berfungsi sebagai bagian dari
sistem kekebalan yang menjadi barrier untuk infeksi eksogen serta benda asing, mensekresi dan
mengabsorbsi elektrolit, air, serta musin ke dan dari lapisan air mata, dan absorsi obat-obat
topikal.2 (Lihat Gambar 1)

Gambar 1: Konjungtiva
Sitorus RS, et al. Buku ajar oftalmologi. Ed 1
2.1.2 Sklera

Sklera berasal dari bahasa Yunani yaitu, scleros yang berarti keras, dimana merupakan
pembungkus luar bola mata yang opak, kuat tetapi elastis. Sklera melapisi bola mata dari kornea
di anterior sampai saraf optik di posterior. Komposisi dari sklera di dominasi oleh kolagen dan
sejumlah fibril elastin. Fungsi dari sklera adalah memberikan perlindungan terhadap isi dalam
bola mata, menstabilkan tekanan intraokular, dan sebagai tempat insersi otot bola mata.2

Sklera terdiri dari 3 lapisan, yaitu episklera, stroma, dan lamina fusca. Episklera adalah
penyusun sklera paling luar yang terdiri dari jaringan ikat elastis dan kolagen yang tersusun
longgar dan diameter serabut lebih kecil dari stroma sklera. Episklera memiliki 3 vaskularisasi,
yaitu pleksus konjungtiva, pleksus episklera superfisial, dan pleksus episklera profunda. Stroma
sklera terdiri dari kumparan fibroblast yang terletak di antara serabut kolagen yang berdiameter
besar dan tersusun padat serta ireguler. Sel fibroblast ini mengandung enzim proteolitik. Lamina
fusca terletak paling dalam dan berdekatan dengan lamina suprakoroid pada uvea. Lamina fusca
memiliki warna coklat karena terdapat melanosit dibawah serabut kolagennya.2

2.1.3 Kornea

Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular yang merupakan organ refraksi kuat
yang mampu membelokan sinar masuk ke mata. Kornea memiliki kekuatan dioptri terbesar,
yaitu +42,25 D. Secara makroskopis area peralihan dari sklera menjadi kornea disebut sebagai
limbus. Kornea terdiri dari 5 lapisan yaitu, lapisan epitel, membran bowman, stroma, membran
descment, dan lapisan endotel.2

Lapisan endotel adalah lapisan sel epitel skuamosa bertingkat tidak berkeratin yang
membentuk 10% dari ketebalan kornea. Pada bagian ini memiliki kemampuan regenerasi.
Lapisan membran bowman merupakan lapisan aselular hasil kondensasi kolagen tipe 1 dan tipe
3. Pada bagian ini cukup resisten terhadap infeksi dan cedera, akan tetapi apabila mengalami
kerusakan tidak memiliki kemampuan regenerasi. Stroma adalah lapisan kornea paling tebal
yang menyusun 90% dari ketebalan kornea yang terdiri dari keratosit dan matriks aseluler yang
paling banyak disusun oleh kolagen tipe 1. Membran descment adalah membran aselular yang
merupakan batas belakang stroma kornea dan dihasilkan oleh sel endotel. Membran ini bersifat
sangat elastik dan berkembang seumur hidup. Lapisan endotel merupakan lapisan penting yang
mengatur kadar air di kornea, yang penting untuk mempertahankan kejernihan kornea.
Kejernihan ini dijaga keseimbangannya oleh sistem pompa endotel, tekanan intraokular, dan
evaporasi permukaan mata. Humor akuos dan tekanan intraokular yang normal akan membuat
cairan dan nutrisi masuk ke kornea dan sistem pompa akan menarik air keluar dari stroma.
Lapisan endotel manusia dewasa tidak memiliki kemampuan membelah.1,2 (Lihat Gambar 2)

Gambar 2: Lapisan Kornea


Kanski JJ, Bowling. Clinical opthamology a systematic approach. 2016

Nutrisi jaringan kornea berasal dari pembuluh darah limbus, humor akuos, dan air mata.
Kornea divaskularisasi oleh arteri siliaris yang membentuk arkade dan di persarafi oleh n. siliaris
cabang dari n. trigeminus. Saraf kornea sensitif terhadap rasa nyeri dan dingin.4
2.2 Pterygium

2.2.1 Definisi

Pterygium adalah kelainan klinis berupa jaringan fibrovascular non-maligna yang


berbentuk segitiga pada limbus kornea. Asal kata pterygium berasal dari bahasa Yunani
“pterygos” yang berarti sayap. Hal ini sesuai dengan gambaran pterygium yang berbentuk atau
menyerupai sayap. Pterygium terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan proliferasi fibrotik yang
dominan.2,3 Invasi pada pterygium dapat terlokalisasi di temporal dan nasal, akan tetapi lebih
sering pada bagian nasal.3 Pterygium memiliki 3 bagian, yaitu apex atau kepala, leher dan badan.
(Lihat Gambar 3) 5,6

Gambar 3: Bagian Pterygium


Jogi R. Basic opthamology. Ed 4. New Delhi: Jaypee Brothes Medical Publishers; 2009

2.2.2 Epidemiologi

Prevalensi pterygium di seluruh dunia mencapai 10,2 % dengan paling banyak berada
pada dataran rendah. Pterygium sering ditemukan pada garis lintang geografis 40° di sekitar
khatulistiwa sehingga disebut sebagai “pterygium belt”. Tingkat prevalensi di daerah ini
mencapai 10 kali lebih tinggi dari pada yang di luar garis ini. Hal ini didukung oleh peranan dari
sinar ultraviolet (UV) dalam patogenesis pterygium.7 Indonesia merupakan salah satu negara
dengan kasus pterygium terbanyak. Hasil RISKESDAS tahun 2015 menyebutkan prevalensi
pterygium di Indonesia mencapai 8,3%.2

2.2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko dari pterygium bersifat multifaktorial, mulai dari pajanan sinar UV, pajanan
debu atau iritan, merokok, peradangan, sampai kekeringan mata. Pajanan sinar UV merupakan
faktor risiko yang paling penting dalam patogenesis terjadinya pterygium.3,7
2.2.4 Patofisiologi

Sinar UV membuat terjadinya insufisiensi limbal stem cell (LSC) dari kornea. Hal ini
membuat terjadinya aktivasi dari faktor pertumbuhan jaringan yang akan berujung kepada
angiogenesis dan proliferasi dari sel.3,6 Sinar UV membuat kerusakan pada LSC melalui
perubahan dari fungsi fibroblast stroma atau melalui respon inflamasi. 5 LSC yang mengalami
kerusakan karena sinar UV menyebabkan konjungtivalisasi (jaringan konjungtiva bertumbuh ke
arah kornea) pada kornea yang membuat kornea diserang oleh fibroblast yang agresif. Faktor
pertumbuhan yang berperan dalam perkembangan pterygium terjadi akibat respon inflamasi
kronik, dimana seperti FGF (Fibroblast Growth Factor), PDGF (Platelet derived Growth
Factor), TGF-β (Transforming Growth Factor-β), dan VEGF (Vascular Endothelial Growth
Factor).2,3

Dalam beberapa dekade terakhir terdapat perjalanan baru mengenai terjadinya kerusakan
LSC akibat mutasi dari supresor gen tumor P-53. P-53 memiliki tanggung jawab terhadap
kematian sel yang terprogram. Mutasi dari gen ini akan menyebabkan perubahan pada LSC yang
akan berkembang menjadi sel pterygium proliferatif.7

2.2.5 Manifestasi Klinis

Penderita pterygium biasanya datang dengan keluhan mata merah berulang yang disertai
oleh iritasi pada permukaan mata dengan rasa mengganjal, berpasir dan perih. Kadangkala
penderita pterygium juga akan mengalami gangguan penglihatan jika sudah mencapai derajat
berat.2 Iritasi kronik pada pterygium akan menyebabkan tanda klinis berupa garis berwarna
kecoklatan yang merupakan deposit dari zat besi di apeks pterygium yang disebut sebagai
“Stocker’s Line”. Pterygium terbagi atas 4 derajat. Derajat 1 pertumbuhan pterygium hanya
terbatas pada limbus kornea. Derajat 2 pertumbuhan sudah melewati limbus ke kornea tetapi
tidak lebih dari 2 mm. Derajat 3 pertumbuhan sudah melebihi dari derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata. Derajat 4 pertumbuhan sudah melewati pupil dan membuat gangguan
penglihatan.3 (Lihat Gambar 4)
Gambar 4: Derajat Pterygium, Derajat 1(A), Derajat 2(B), Derajat 3(C), dan Derajat 4(D)
Yuliawati P, et al. Histamine-1 receptors expression in primary pterygium tissue is higher than
normal conjungtival tissue. Biomed Pharmacol J 2019;12(3)

2.2.6 Evaluasi

Anamnesis pasien yang dapat dilakukan saat pasien datang dapat sebagai berikut:2

1. Apakah mata merah disertai oleh penurunan tajam penglihatan?


2. Apakah terasa sensasi benda asing?
3. Apakah disertai fotofobia?
4. Apakah disertai sekret?
5. Apakah ada riwayat trauma sebelumnya atau operasi mata?

Dalam evaluasi untuk menegakkan diagnosis dari pterygium dapat dilakukan


pemeriksaan mata yang komprehensif seperti ketajaman visual, gerakan ekstraokuler, dan
evaluasi segmen anterior. Kejadian mata kering dapat disingkirkan dengan melakukan schimmer
test atau tear break-up time. Pemeriksaan slitlamp akan memberikan gambaran jaringan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva.3,5

2.2.7 Diagnosa banding

2.2.7.1 Pseudopterygium

Pseudopterygium merupakan lipatan dari konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea.
Hal ini terjadi karena reaksi inflamasi yang menyebabkan perlengketan antara konjungtiva
bulbar dan kornea. Tes sonde dapat dilakukan untuk membedakan psedopterygium dan
pterygium dimana pada pseudopterygium sonde dapat dilewatkan di bawah jaringan sedangkan
pterygium tidak. Pseudopterygium dapat muncul dimana pun pada mata dan sifatnya tidak
progresif.5
2.2.7.2 Pinguecula

Pinguecula adalah pertumbuhan berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbar dekat


limbus. Kejadian ini dapat dikatakan deposit lemak, protein atau kalsium. Biasanya ditemukan di
daerah nasal. Pasien biasanya merasakan asimptomatik bahkan sampai kemerahan ringan dan
sensasi benda asing.5

2.2.8 Tatalaksana

2.2.8.1 Tatalaksana Non Medikamentosa

Aspek penting dalam tatalaksana pterygium adalah edukasi untuk mengurangi pajanan
dari sinar matahari. Tanpa adanya perubahan kebiasaan ini maka pterygium akan terus terjadi.
Penggunaan seperti pelindung mata yaitu kacamata dengan filter ultraviolet, pemakaian topi
ataupun payung dapat mengurangi pajanan dari sinar UV yang merupakan faktor risiko
terjadinya pterygium.2

2.2.8.2 Tatalaksana Medikamentosa

Terapi medikamentosa pada pterygium bersifat simptomatik dan dapat diberikan untuk
mengurangi keluhan subjektif pada pasien seperti mata merah, mengganjal dan perih. Kualitas
permukaan dari air mata dapat diperbaiki dengan pemberian artificial tears. Obat anti-inflamasi
steroid topical dapat diberikan dengan dosis 4 kali sehari satu tetes saat pterygium mengalami
peradangan akibat iritasi lingkungan.2

2.2.8.3 Tatalaksana Pembedahan

Pembedahan dilakukan dengan indikasi tajam penglihatan berkurang akibat


astigmatisme, ancaman aksis visual yang terganggu, gejala iritasi berat, gangguan gerak bola
mata, dan indikasi kosmetik.2,3 Terapi bedah yang menjadi tindakan definitif adalah bedah eksisi
jaringan pterygium. Terdapat beberapa jenis eksisi yang digunakkan, yaitu bare sclera dan
conjungtival autograft.3

Bare sclera adalah teknik eksisi sederhana pada bagian kepala dan badan pterygium serta
membiarkan dasar sklera terbuka untuk terjadi re-epitalisasi. Kerugian pada teknik ini adalah
tingkat rekurensi yang tinggi mencapai 24-89%. Karena tingkat rekurensi yang tinggi ini maka
perlu ditambah penutupan pada sklera yang terbuka dengan metode conjungtival autograft
technique. Prosedur ini menggunakan free graft yang diambil dari superotemporal, di eksisi
sesuai ukuran luka kemudian dipindahkan, dijahit atau difiksasi dengan perekat jaringan. 2,3
Mengambil konjungtiva pada daerah superotemporal dikarenakan lokasi ini adalah lokasi oblik
yang menghindarkan dari cedera saat pergerakan otot mata dan posisi ini berada dibawah dari
kelopak mata sehingga membuat pasien lebih nyaman.8 Faktor yang penting dalam keberhasilan
teknik ini adalah kemampuan diseksi graft yang tipis dan tepat ukuran untuk menutupi defek di
konjungtiva. Selain itu, dapat juga menggunakan membrane amniotic untuk menutupi sklera
dengan membrane basis menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.3

2.2.8.4 Tatalaksana Tambahan

Tingkat kekambuhan yang tinggi pasca operasi terus menjadi masalah sehingga muncul
terapi tambahan pada manajemen pterygium. Mitomycin C (MMC) digunakan karena mampu
menghambat fibroblast. MMC merupakan agen alkilasi yang mencegah sintesis DNA dengan
mencegah hal ini maka akan menyebabkan kematian sel. Penggunaan MMC dilakukan dengan 2
cara yaitu saat intraoperatif langsung ke permukaan sklera dan post operatif melalui tetes mata.
Terapi iradiasi beta dapat digunakan untuk mencegah rekurensi dengan menghambat mitosis
cepat pada sel pterygium. Efek samping dari radiasi ini adalah nekrosis sklera, endoftalmitis,
dan pembentukan katarak. Oleh karena itu, terapi ini jarang digunakan.3,5

2.2.9 Komplikasi

Komplikasi pterygium meliputi gangguan penglihatan, dimana pterygium dapat


mengakibatkan penekanan pada kornea sehingga bisa menyebabkan distorsi kornea yang
menimbulkan kelainan refraksi astigmatisme, kemudian iritasi, gangguan pergerakan bola mata,
timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea, dan dry eye syndrome. Komplikasi lain
yang dapat terjadi pada pterygium adalah rekurensi setelah dilakukan operasi. 2,3,9 (Lihat gambat
5) Selain itu, komplikasi pasca operasi lainnya seperti graft edema, graft necrosis, graft
retraction, dan hematoma subconjuntiva.3
Gambar 5: Tingkat Rekurensi Pasca Operasi
Shahraki T, Arabi A, Feizi S. Pterygium: an update on pathophysiology, clinical features, and
management. Ther Adv Ophthalmol. 2021

2.2.10 Prognosis

Prognosis visual dan kosmetik setelah eksisi pterygium adalah baik. Sebagian pasien
dapat melanjutkan aktivitas penuh dalam waktu 48 jam setelah operasi. Pasien yang mengalami
rekurensi dapat dilakukan kembali eksisi bedah berulang dan grafting.10
BAB 3. KESIMPULAN

Pterygium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskuler non maligna yang biasanya


mencapai kornea dan berbentuk segitiga yang dapat terlokalisasi di temporal dan nasal. Sinar UV
dari matahari merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan patofisiologi dari
kejadian pterygium. Kerusakan limbal stem cell akan berujung kepada konjungtivalisasi dari
kornea. Tatalaksana pada pterygium meliputi medikamentosa sampai tindakan bedah eksisi
pterygium. Saat ini tindakan bedah dengan conjungtival autograft technique menjadi pilihan
yang sering dilakukan karena mempunyai angka rekurensi yang rendah.
BAB 4. DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Ed 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2019


2. Sitorus RS, et al. Buku ajar oftalmologi. Ed 1. Jakarta: UI Publishing; 2020
3. Marcella M. Manajemen pterigium. Contin Med Educ. 2019;46(1):23–5.
4. Suhardjo. Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM, Yogyakarta;2007
5. Sarkar P, Tripathy K. Pterygium. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. 
6. Jogi R. Basic opthamology. Ed 4. New Delhi: Jaypee Brothes Medical Publishers; 2009
7. Shahraki T, Arabi A, Feizi S. Pterygium: an update on pathophysiology, clinical features,
and management. Ther Adv Ophthalmol. 2021;13:1-21
8. Bhandari V, Rao CL, Ganesh S, Brar S. Visual outcome and efficacy of conjunctival
autograft, harvested from the body of pterygium in pterygium excision. Clin Ophthalmol.
2015;9:2285–90.
9. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak G. Panduan manajemen klinis perdami. Ed 1. Jakarta:
CV Ondo. 2006
10. Fisher JP. Pterygium [Internet]. Medscape. 2019. Diakses pada tanggal 21 September
2022. Tersedia di: https://emedicine.medscape.com/article/1192527

Anda mungkin juga menyukai