Anda di halaman 1dari 14

REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA EPISKLERITIS AUTOIMUN

Disusun oleh:

Antonius Michael

01073200116

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JUNI – AGUSTUS 2021
TANGERANG

1
DAFTAR ISI

BAB I.
PENDAHULUAN 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 EPIDEMIOLOGI 4
2.2 PATOFISIOLOGI 5
2.3 MANIFESTASI KLINIK 6
2.4 PENDEKATAN DIAGNOSIS 7
2.4.1 ANAMNESIS 7
2.4.2 PEMERIKSAAN FISIK 7
2.4.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG 10
2.5 PENDEKATAN TERAPI 11
2.6 PROGNOSIS 12
2.7 EDUKASI PASIEN 13
BAB III. REFERENSI 13

2
BAB I
PENDAHULUAN

Episkleritis atau dikenal dengan subkonjungtivitis merupakan inflamasi jinak


pada episklera. Episklera merupakan lapisan yang berada di antara konjungtiva dan
sklera serta pada lapisan ini terdapat pleksus episklera bagian superfisial dan bagian
dalam. Normalnya, pembuluh darah ini tidak terlihat namun apabila terjadi peradangan,
maka akan menimbulkan manifestasi berupa mata merah. Episkleritis dapat
diklasifikasikan berdasarkan luasnya peradangan yaitu episkleritis simpel dan
episkleritis noduler.(1) Penyebab episkleritis sendiri masih belum diketahui atau idiopatik
kemudian diikuti kelainan kolagen vaskuler, autoimun dan infeksi. Insidensi episkleritis
1/1000 dan lebih sering ditemukan pada perempuan dan rentang umur 40 sampai 50
tahun.(2) Episkleritis autoimun merupakan manifestasi episkleritis yang muncul akibat
adanya penyakit autoimun sistemik terutama pada artritis reumatoid dimana 8-15%
penderitanya mengalami episkleritis menjadi manifestasi di bidang oftalmologi (mata)
yang paling sering dialami. Kecepatan dan ketepatan diagnosis serta tata laksana yang
tepat dan adekuat memegang peranan penting dalam menentukan prognosis dan
pencegahan komplikasi pada pasien dengan episkleritis. Pengobatan episkleritis juga
seringkali menjadi hal yang menantang karena penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dapat menyebabkan sejumlah efek samping.(3)

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EPIDEMIOLOGI
Penelitian yang dilakukan oleh Royal Victorian Eye and Ear Hospital (RVEEH)
di Melbourne, Australia dari November 2014 sampai Oktober 2015 dengan populasi
mencapi 3.408.068 penduduk untuk mengetahui epidemiologi episkleritis di daerah
perkotaan Australia. Didapatkan 172 penduduk terdiagnosis episkleritis yang 97
penduduk (56%) diantaranya merupakan perempuan. 10% diantaranya ditemukan
penyakit autoimun pada pasien dengan episkleritis dimana penyakit inflamasi usus dan
artritis reumatoid merupakan penyakit autoimun yang sering ditemukan (3%, 2%).(4)

Penelitian di Olmsted County, daerah dalam negara bagian Amerika Serikat dari
Minnesota pada tahun 2010 menyebutkan sebanyak 4.253 dari 144.248 penduduk
terdiagnosis adanya peradangan pada mata. Ditemukan 223 dari 4.253 penduduknya,
terkonfirmasi dengan diagnosis episkleritis. Sebanyak 212 (95.1%) penduduknya tidak
berkaitan dengan peradangan sistemik atau infeksi. Kurang dari 5% nya berkaitan
dengan penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (3 kasus), penyakit crohn
dan artritis reumatoid (2 kasus) serta spondilitis ankilosa dan sklerosis multipel (1
kasus).(5) Insiden episkleritis pada penelitian ini dilaporkan 15 per 100.000 orang per
tahun, 21 per 100.000 orang per tahun dari Pacific Ocular Inflammation Study (POIS),
dan 41 per 100.000 orang per tahun dari Northern California Epidemiology of Uveitis
Study (NCEUS).(1,5) Prevalensi wanita ditemukan lebih banyak (60.1%) dibandingkan
laki-laki dengan umur rata-rata yaitu 40.2 tahun yang sesuai dengan literatur yaitu
sering ditemukan pada wanita dengan umur berkisar 40 sampai 50 tahun.(5,6)

2.2 PATOFISIOLOGI
Episklera merupakan lapisan yang berada di antara konjungtiva dan sklera dan
merupakan jaringan ikat longgar. Pada lapisan ini terdapat 2 pleksus vaskular episklera
yaitu bagian superfisial dan bagian dalam yang berasal dari arteri siliaris anterior. Secara
anatomis, pembuluh darah ini tidak terlihat kasat mata karena berada di dalam
konjungtiva namun apabila terjadi peradangan, maka pembuluh darah tersebut akan

4
terlihat dan pada episkleritis, hanya pleksus vaskular bagian superfisial yang mengalami
peradangan sehingga pembuluh darah tersebut dapat bergerak (mobile)(1)

Pada episkleritis infeksius atau non imun terjadi inflamasi non granulomatosa
pada pembuluh darah di episklera. Pada proses inflamasi akut, adanya aktivasi sel imun
yang menetap dan terjadi infiltrasi limfositik seperti limfosit dan makrofag. Setelah
teraktivasi, limfosit dan makrofag akan melepaskan mediator inflamasi yang
menyebabkan vasodilatasi, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan migrasi lebih
banyak leukosit.(1,6) Episkleritis infeksius paling sering disebabkan oleh virus herpes
zoster, sifilis, tuberkulosis, dan penyakit Lyme.(1)

Pada episkleritis autoimun seperti lupus eritematosa sistemik, diketahui adanya


deposisi dari imunoglobulin dan kompleks imun yang menimbulkan respon inflamatorik
kemudian mengaktifkan sistem komplemen. Hal ini terjadi pada beberapa organ dan
muncul manifestasi seperti nefritis, vaskulitis, dan artritis. Studi imunohistokimia pada
hewan menemukan bahwa terdapat vaskulitis pada pembuluh darah di mata akibat
deposisi kompleks imun di dinding pembuluh darah dan selanjutnya menimbulkan
oklusi pada mata yang terkena. Autoimunitas pada SLE merupakan konsekuensi dari
respon imun adaptif progresif terhadap autoantigen tidak hanya oleh sel B tetapi juga sel
T. Terjadi perubahan sel T pada pasien SLE yang menyebabkan peningkatan populasi
sel Th17 proinflamasi dan penurunan populasi sel T regulator anti inflamasi.(7)(8) Pada
artritis reumatoid, diketahui adanya disregulasi dari sitokin. Air mata pada orang sehat
mengandung beberapa sitokin anti inflamatorik seperti transforming growth-β (TGF-β)
dan interleukin 1Ra (IL-1Ra). Dipercaya pada artritis reumatoid terjadi perubahan kadar
dari sitokin tersebut sehingga menimbulkan sinyal inflamasi pada air mata dan
kehilangan integritas air mata yang akhirnya menimbulkan episkleritis.(9)

2.3 MANIFESTASI KLINIK


Keluhan utama dari episkleritis adalah mata kemerahan. Biasanya mata
kemerahan pada episkleritis hanya berada di 1 kuadran mata dan 80% kasus episkleritis
bersifat unilateral (salah satu mata).(2) Apabila kedua mata mengalami kemerahan dan
gejala lainnya, kemungkinan adanya penyakit sistemik seperti artritis reumatoid dan
lupus eritematosa sistemik.(6) Gejala lainnya seperti lakrimasi, fotofobia rasa tidak
nyaman yang dikarakteristikan seperti mata terasa berpasir, mengganjal atau sensasi

5
benda asing. Pada episkleritis, mata tidak terasa nyeri atau apabila nyeri hanya ringan.
Hal ini yang membedakan secara jelas dengan skleritis. Episkleritis simpel atau difus
(Gambar 1) dan noduler (Gambar 2) dapat dibedakan berdasarkan dari inspeksi dengan
melihat ada atau tidaknya keberadaan nodul.(1,2)

Gambar 1. Episkleritis Simpel.(1) Gambar 2. Episkleritis Nodular.(1)

2.4 PENDEKATAN DIAGNOSIS

2.4.1 ANAMNESIS
Dalam bidang oftalmologi, mata merah merupakan keluhan mata yang paling
sering ditemukan dalam praktik sehari-hari. Secara garis besar, kelainan mata dapat
dibagi menjadi mata merah dan mata tenang (tidak merah). Kemudian mata merah dapat
dibagi lagi menjadi visus normal dan visus turun (Gambar 3). Episklera yang terletak
superfisial, tidak mempengaruhi dalam media refraksi sehingga pada episkleritis tidak
terjadi penurunan penglihatan (visus turun) dan hanya mata merah.(10)

Gambar 3. Alur Diagnosis Pasien dengan Mata Merah(10)

6
Keluhan pada episkleritis adalah mata kemerahan yang tidak nyeri atau nyeri
ringan serta tidak luas (hanya 1 kuadran mata). Keluhan dapat terjadi pada satu mata
ataupun kedua mata. Diagnosis banding episkleritis adalah skleritis. Dibandingkan
episkleritis, skleritis memiliki manifestasi yang lebih berat seperti mata kemerahan yang
disertai nyeri sedang-berat yang luas (>1 kuadran mata) dan dapat menjalar ke wajah
dan rahang serta diperparah dengan gerakan bola mata. Selain itu ditambah dengan
gejala lain seperti fotofobia, lakrimasi, keluar sekret sampai penurunan penglihatan.(1,9)

2.4.2 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan okular pada pasien episkleritis memegang peranan yang penting
untuk diagnosis dan menentukan tata laksana. Pemeriksaan ekstraokuler juga diperlukan
untuk mengetahui adanya penyakit autoimun sistemik atau suatu infeksi yang berkaitan
dengan episkleritis.

I. Pemeriksaan Ekstraokuler

Pemeriksaan ekstraokuler dilakukan untuk mengidentifikasi tanda dan gejala


penyakit autoimun sistemik yang dapat berhubungan dengan episkleritis seperti
pada Tabel 1.

Tabel 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diagnosis Banding Episkleritis.(1,2,6)

Penyakit Autoimun Temuan Klinis


Artritis reumatoid Artralgia, kaku sendi (sinovitis), artritis simetris
deformitas leher angsa, deformitas boutonniere, efusi
pleura, neuropati perifer, glomerulonefritis.(3)
Lupus eritematosa sistemik Pleuritis, perikarditis, ruam malar dan atau diskoid,
stomatitis aftosa oral, artritis, fotofobia, nefritis.(7)
Penyakit usus inflamatorik BAB berdarah dan atau disertai lendir, nyeri perut,
diare, mual muntah, penurunan berat badan, penurunan
napsu makan, artritis, stomatitis aftosa oral.(11)
Skleroderma Sklerodaktil, kalsinosis kutis, telangiektasi, fenomena
Raynaud, PRGE, nyeri dada, mialgia, artralgia.(12)

7
Sindrom behcet Stomatitis aftosa rekuren bukal, genital dan vaskular,
artritis, sakit kepala, meningitis, miositis, trombosis
vena dalam, kardiopati, nefropati IgA, orkitis.(13)
Sindrom Cogan Tuli sensorineural, tinitus, vertigo, mual, keratitis,
aortitis.(14)
Spondilitis ankilosis Sulit dan nyeri saat bergerak, nyeri punggung, nyeri
rahang, nyeri saat ekspirasi, inflamasi kronik ligamen,
kapsul sendi dan osifikasi sendi, oligoarthritis, uveitis
Poliarteritis nodosa Demam, artralgia/artritis, hepatomegali, iskemik
perifer, gangren, purpura, neuropati perifer, fenomen
Raynaud, livedo retikularis.(15)
Wegener’s granulomatosis Ulkus mukosa, epistaksis, hidung tersumbat,
perikarditis, glomerulonefritis, hematokezia,
hematuria, purpura, artritis, batuk berdarah.(16)
Sarkoidosis Penyakit paru restriktif, limfadenopati hilar bilateral,
eritema nodosum, lesi diskoid, hiperkalsemia.
Lain-lain Fisik (radiasi, luka bakar, lensa kontak), kimia
(terpapar bahan kimia), mekanis (luka penetrasi) atau
pasca operasi seperti pasca ekstraksi katarak

II. Pemeriksaan Okular

Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan


tajam penglihatan. Pada episkleritis umumnya tidak terjadi penurunan tajam
penglihatan atau visus. Inspeksi mata kiri dan kanan dan evaluasi apakah mata
merah terjadi pada satu atau kedua bola mata. Episkleritis autoimun sering
ditemukan bilateral sedangkan pada kasus infeksi hanya unilateral. Episkleritis
perlu dibedakan dengan skleritis karena secara kasat mata, kedua kondisi ini
memberikan penampilan yang sama yaitu mata merah. Dalam bidang oftalmologi
terdapat 2 cara untuk membedakan episkleritis dan skleritis, pertama dengan
meneteskan fenilefrin pada mata merah dan tes kapas.

8
Pemberian topikal fenilefrin konsentrasi 2.5% atau 10% pada mata merah.
Pada episkleritis, pembuluh darah episklera akan mengecil dan kemerahan akan
berkurang bila diberi fenilefrin topikal (Gambar 4) karena letak pembuluh darah
yang superfisial. Berbanding terbalik dengan skleritis, pelebaran pembuluh darah
sklera tidak mengecil bila diberi fenilefrin topikal (Gambar 5). Pada episkleritis,
bila terdapat benjolan kemudian ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak
diatas benjolan akan memberikan rasa sakit yang menjalar ke sekitar mata. Pada
episkleritis simpel atau difus, hanya ditemukan adanya injeksi episklera sedangkan
episkleritis nodular dapat ditemukan nodul datar berwarna merah muda atau
keunguan yang disekitarnya terdapat injeksi episklera. Nodul berbatas tegas, keras,
dan dapat digerakkan.(3,6)

Gambar 4. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan fenilefrin


2,5% topikal(1)

Gambar 5. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan fenilefrin
2,5% topikal(1)

9
2.4.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari episkleritis. Pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan radiologi dapat dilakukan.

I. Pemeriksaan Laboratorium(1)

Tes diagnostik Catatan

Tes darah lengkap Peningkatan leukosit menandakan


suatu infeksi

Serum asam urat Deposisi pada okuli, inflamasi


kronik(17)

Panel metabolik dasar Evaluasi vaskulitis terkait penyakit


ginjal

Laju endap darah (LED) Penanda inflamasi non spesifik

Protein C-reaktif Penanda inflamasi non spesifik

HLA B27 Spondiloartropati

Antibodi sitoplasmik antineutrofil Granulomatosis dengan poliangiitis


(Wegener’s granulomatosis)

Faktor reumatoid Artritis reumatoid

Anti cyclic citrullinated peptide Artritis reumatoid

Antibodi absorpsi treponemal Sifilis


fluoresens, VDRL, Rapid Plasma
Reagin

Antibodi anti nuklear Lupus eritematosa sistemik

Enzim pengubah angiotensin Sarkoidosis

Tes kulit purified protein derivative Tuberkulosis

Serologi Lyme Penyakit Lyme

10
II. Pemeriksaan Radiologi
⮚ Optical Coherence Tomography (OCT)
OCT merupakan tes diagnostik yang dapat membedakan episkleritis dan
skleritis, bersifat non invasif untuk memberikan gambaran mata secara potong
lintang dan melihat ketebalan sklera dan keberadaan area hipo reflektif yang
menandakan edema intra sklera. Beberapa studi menemukan ketebalan sklera
pada episkleritis rata-rata yaitu 825µm (718-949µm) dan pada skleritis rata-rata
yaitu 882 µm (773-1089 µm).(18)

2.5 PENDEKATAN TERAPI


Kebanyakan kasus episkleritis merupakan kondisi yang ringan dan dapat
sembuh sendiri dalam 1-2 minggu tanpa obat-obatan (medikamentosa). Rekomendasi
terapi episkleritis hanya terapi suportif dapat diberikan air mata artifisial yang
didinginkan 4 kali dalam sehari. Rekomendasi tatalaksana non-medikamentosa lain
apabila terdapat riwayat yang jelas mengenai paparan zat eksogen, misalnya alergen
ataupun iritan, maka perlu dilakukan avoidance untuk mengurangi progresivitas gejala
dan mencegah rekurensi. Bila terdapat gejala sensitivitas terhadap cahaya, penggunaan
kacamata hitam dapat membantu. Namun pada pasien dengan penyakit auto
inflamatorik sistemik dan autoimun seperti reumatoid artritis dan penyakit lainnya,
kemungkinan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi. Tatalaksana medikamentosa dapat
dimulai dengan obat anti inflamatorik non-steroidal (OAINS) topikal diklofenak 0.1%
atau ketorolac 0.5% sebagai agen antiinflamasi dan menurunkan nyeri. Namun beberapa
sediaan lama dari OAINS topikal memiliki efek samping berupa corneal melt dan rasa
terbakar pada mata.(1,2)

Apabila gagal bisa diganti, dimulai dengan kortikosteroid topikal potensi rendah
seperti fluorometolon 0.1% atau loteprednol etabonat 0.5% selama 1 sampai 2 minggu
dosis 4 kali dalam sehari dan tapering down (dosis diturunkan secara perlahan). Selama
pengobatan, pasien harus dikontrol dimulai dari awal pengobatan kortikosteroid untuk
monitor tekanan intraokular dan evaluasi resolusi dari episkleritis. Apabila peradangan
tidak membaik, dapat diganti dengan prednisolon asetat 1% 4 kali sehari yang lebih
poten selama 1 sampai 2 minggu dan tapering down apabila gejala membaik. Namun

11
semakin poten suatu kortikosteroid, risiko infeksi, hipertensi okular serta katarak juga
meningkat. Maka dari itu perlu pertimbangan dari klinisi secara bijak dalam
memberikan kortikosteroid. OAINS oral seperti ibuprofen dan naproxen digunakan
apabila steroid topikal tidak adekuat dalam mengurangi inflamasi. Dosis ibuprofen 200
sampai 600 mg diminum 3 sampai 4 kali sehari atau naproxen 250 sampai 500 mg
diminum 2 kali sehari. Perlu diingat bahwa OAINS memiliki efek terhadap lambung
berupa ulkus peptikum sehingga pasien dapat diresepkan obat omeprazole 20 mg atau
ranitidin 150 mg diminum 2 kali sehari. Apabila masih gagal dan rekurensi tinggi
(walaupun jarang) dapat diberikan kortikosteroid oral dan sangat jarang diberikan obat
anti rematik (DMARD) seperti hidroksiklorokuin dan metotreksat.(2,3,9)

2.6 PROGNOSIS
Episkleritis yang secara umum tidak diketahui penyebabnya memiliki perjalanan
penyakit yang bersifat akut dan dapat sembuh secara total dengan atau tanpa pengobatan
dengan tingkat resolusi mencapai 100. Namun pada beberapa kasus seperti penyakit
sistemik auto inflamatorik dan autoimun, dapat mengalami kekambuhan yang bila tidak
segera didiagnosis dan diobati, episkleritis dapat menyebabkan beberapa komplikasi
seperti skleritis, uveitis anterior, dan glaukoma serta katarak sekunder akibat efek
samping pengobatan steroid jangka panjang.(2,6)

2.7 EDUKASI PASIEN


Episkleritis merupakan peradangan pada bagian luar bola mata. Peradangan pada
episklera kebanyakan tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), infeksius maupun
non-infeksius atau autoimun. Episkleritis autoimun terjadi akibat adanya hiperaktivitas
imun yang mendeteksi antigen diri sebagai hal yang berbahaya. Diagnosis dan
pengobatan penting dilakukan sedini mungkin untuk menghilangkan rasa nyeri,
menekan reaksi inflamasi, dan mencegah kerusakan struktur lebih dalam. Kepatuhan
berobat dan monitoring pengobatan berkala menjadi hal yang penting dilakukan oleh
pasien agar dokter dapat mengevaluasi keberhasilan pengobatan dan mendeteksi adanya
efek samping dari pengobatan yang diberikan. Selain meminum obat secara teratur,
memiliki pola makan yang sehat, menjaga kebersihan mata, menghindari paparan yang
mencetuskan mata merah tersebut, serta menghindari konsumsi obat-obatan maupun
vitamin lain tanpa konsultasi kepada dokter terlebih dahulu dapat dilakukan pasien.

12
BAB III
REFERENSI
1. Williamson J. A Red Eye: Scleritis or Episcleritis? Rev Optom [Internet].
2017;154(11):44–9. Available from:
https://www.reviewofoptometry.com/article/ro1117-a-red-eye-scleritis-or-episcler
itis
2. Stacy Schonberg TJS. Episcleritis [Internet]. StatPearls Publishing; 2021.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534796/
3. Veronique Promelle, Vincent Goeb VG. Rheumatoid Arthritis Associated
Episcleritis and Scleritis: An Update on Treatment Perspectives. J Clin Med
[Internet]. 2021;10(10):2118. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8156434/
4. Thong LP, Rogers SL, Hart CT, Hall AJ, Lim LL. Epidemiology of episcleritis
and scleritis in urban Australia. Clin Exp Ophthalmol. 2020;48(6):757–66.
5. Xu TT, Reynolds MM, Hodge DO, Smith WM. Epidemiology and Clinical
Characteristics of Episcleritis and Scleritis in Olmsted County, Minnesota. Am J
Ophthalmol [Internet]. 2020;217:317–24. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ajo.2020.04.043
6. Salama A, Elsheikh A, Alweis R. Is this a worrisome red eye? Episcleritis in the
primary care setting. J Community Hosp Intern Med Perspect [Internet].
2018;8(1):46–8. Available from: https://doi.org/10.1080/20009666.2017.1418110
7. Hsu C, Hsu C, Lu M, Koo M. Risks of ophthalmic disorders in patients with
systemic lupus erythematosus – a secondary cohort analysis of population- based
claims data. 2020;1–11.
8. Silpa-archa S, Lee JJ, Foster CS. Ocular manifestations in systemic lupus
erythematosus. Br J Ophthalmol. 2016;135–41.
9. Bhamra MS, Gondal I, Amarnani A, Betesh S, Scott W, Rodriguez-alvarez M, et
al. Ocular Manifestations of Rheumatoid Arthritis: Implications of Recent
Clinical Trials. Int J Clin Res Trials [Internet]. 2020;4(2):139. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7062380/
10. Frings A, Geerling G, Schargus M. Red Eye : A Guide for Non-specialists. 2017;
11. Farray D, Rodriguez F, Ravelo-garcía A, Suarez-bonnet A, Francisco-arteaga C,
Jaber R. Investigation of Correlations Between Clinical Signs and Pathological
Findings in Cats and Dogs with Inflammatory Bowel Disease İnflamatuar
Bağırsak Hastalığı Olan Kedi ve Köpeklerde Klinik Bulgular İle Patolojik
Bulgular Arasındaki İlişkilerin Araştırılm. 2020;26(5):587–93.
12. Oprea VD, Bojinca VC, Balosin G, Ciofu RN, Ionescu R. Severe systemic
scleroderma with multiple organ involvement in a 45-years-old patient. Rom J
Rheumatol. 2021;30(February):25–33.
13. Paut IK, Barete S, Bodaghi B, Deiva K, Desbois AC. French recommendations

13
for the management of Behçet ’ s disease. Orphanet J Rare Dis. 2021;16(Suppl
1):1–29.
14. Maiolino L, Cocuzza S, Conti A, Licciardello L, Serra A, Gallina S.
Autoimmune ear disease : clinical and diagnostic relevance in Cogan ’ s
syndrome commercial usely on er. Audiol Res. 2017;7:11–5.
15. Lee JS, Kim JG, Lee S. Clinical presentations and long term prognosis of
childhood onset polyarteritis nodosa in a single centre of Korea. 2021;1–11.
16. Ledó N, Pethő ÁG. Gastrointestinal symptoms as first remarkable signs of
ANCA ‑ associated granulomatosis with polyangiitis : a case report and reviews.
BMC Gastroenterol. 2021;1–8.
17. Mbbs JA, Fracp FG, Casson RJ, Franzco D. Review Review of the ophthalmic
manifestations of gout and uric acid crystal deposition. 2017;(March
2016):73–80.
18. Shoughy SS, Jaroudi MO, Kozak I TK. Optical coherence tomography in the
diagnosis of scleritis and episcleritis. Am J Ophthalmol. 2015;6:1045–9.

14

Anda mungkin juga menyukai