Anda di halaman 1dari 14

SKLERITIS

Pengertian
Skleritis adalah radang kronis granulomatosa pada sklera yang ditandai dengan dekstrusi
kolagen , infiltrasi sel dan vaskulitis.Biasanya bilateral dan lebih sering terjadi pada wanita.
ETIOLOGI
Sebagian besar disebabkan reaksi hipersensivitas tipeIII dan IV yang berkaitan dengan
penyakit sistemik.
Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan penyakit sistemik lainnya
(57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah:

I. Autoimun (48%)
o Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain:13

Rheumatoid arthritis

Systemic lupus erythematosus

Ankylosing spondylitis

Reactive arthritis

Psoriatic arthritis

Gouty arthritis

Inflammatory bowel diseases

Relapsing polychondritis

Polymyositis

Sjgren syndrome

Mixed connective tissue disease

Progressive systemic sclerosis

o Penyakit vaskulitik, antara lain:14

Polyarteritis nodosa

Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome

Wegeners granulomatosis

Behet disease

Giant cell arteritis

Cogan syndrome

II. Infeksi dan Granulomatosa (7%)1


o Tuberkulosis
o Sifilis
o Sarkoidosis
o Toksoplasmosis
o Herpes simpleks
o Herpes zoster
o Infeksi Pseudomonas
o Infeksi Streptokokus
o Infeksi Stafilokokus
o Aspergilosis
o Leprosi
III. Lain-lain (2%)
o Atopi
o Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan (pamidronate,
alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate). 15

IV. Idiopatik

MANIFESTASI KLINIS
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang
dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari tidur

akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli
juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan
dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien
sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3 Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia,
dan penurunan tajam penglihatan.
Klasifikasi
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari skleritis
anterior adalah:11
1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh

permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.


2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang

eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus
berkembang menjadi skleritis nekrosis.
3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit sistemik

seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas.
Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.
4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien yang sudah

lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid dan
absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis


(Sumber: http://eyepathologist.com/images/KL21711.jpg)

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari nodul
(Sumber: http://www.nature.com/eye/journal/v21/n2/images/6702524f1.jpg)

Gambar 6. Skleromalasia perforans


(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)
Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior ini jarang terjadi dan
ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis. 2 Terdapat perataan dari bagian
posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema retrobulbar.

Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina eksudatif, edema makular, dan
papiledema.3
V. Diagnosis
5.1 Anamnesis
Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami pasien. Pasien
dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat
disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan
pasien dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi
komplikasi seperti uveitis. Rasa nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan
bola mata dan dapat menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat
memburuk pada malam hari, bahkan dapat membangunkan pasien dari tidurnya.
5.2 Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam
penglihatan.11
o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.

Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru paru dapat dilakukan apabila
dicurigai adanya penyakit sistemik.

Pemeriksaan Sklera10
o Sklera tampak difus, merah kebiru biruan dan setelah beberapa peradangan,
akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.
o Area berwarna hitam, abu abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan
aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut
akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah,
dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.

Pemeriksaan slit lamp10,11


o Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental. Injeksi
yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis.

o Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral bagian


dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut posterior dan
anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena adanya edema pada sklera dan
episklera.
o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan
episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan episklera.
o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular pada
sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga
dapat dilakukan.

Pemeriksaan skleritis posterior11


o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.
o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Skleritis
posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.
o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid, dan
perdarahan atau ablasio retina.17

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dengan penetesan epinefrin 1:1000 atau fenilefrin 10% tidak akan terjadi vasokonstriksi.
Pemeriksaan foto rontgen orbita dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya benda
asing,juga dapat dilakukan pemeriksaan imunologi serum.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa
pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:1
1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.5

Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi


cairan pada kapsul tenon
(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30)
VI. Diagnosa Banding
o Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva dan
permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari infeksi,
serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata,
terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering
tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi
pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset
yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis
tidak menimbulkan turunnya tajam penglihatan.

Gambar 8. Episkleritis
(Sumber: http://www.acuitypro.com/images/Episcler.jpg)

Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa mengganjal. Terdapat
pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran benjolan
setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini
ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit
yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan
melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil
bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera
tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.

Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian fenilefrin
2,5% topikal.
(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
2,5% topikal.
(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

VII. Penatalaksanaan
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang
terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga. 10
Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius,
pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai
ada penyakit sistemik yang menyertai.
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat

imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi.


Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan
penyakit penyerta lainnya.
o

Diffuse scleritis atau nodular scleritis

Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2


jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga
misoprostol atau omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal.

Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,
dipertahankan menggunakan NSAIDs.

Jika oral kortikosteroid gagal, obat obatan imunosupresif dapat


digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga
digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau
cyclosporine. Untuk pasien dengan Wegeners granulomatosis atau
polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama.

Jika masih gagal, dapat diberikan obat obatan imunomodulator seperti


infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

o Necrotizing scleritis

Obat obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada


bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan lahan.

Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.

Injeksi

steroid

periokular

tidak

boleh

memperparah proses nekrosis yang terjadi.

dilakukan

karena

dapat

2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa
antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak
boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan
konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi
imunosupresif.
Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam penyakit
skleritis ialah:11
A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)
Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs bekerja dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi perjalanan dari lekosit, dan menghambat
fosfodiesterase.
Pemberian:
Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk menghindari
gangguan pada saluran pencernaan.
1. Indometasin (Indocin)
Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat diserap.
Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan konjugasi glukuronid.
Dosis: 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari; tidak melampaui 150 mg/hari
Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal lebih mungkin terjadi
usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.
2. Diflunisal (Dolobid)
Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai analgesik. Memiliki efek
antipiretik dan anti radang; tetapi, berbeda secara kimia dengan aspirin dan tidak
dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini adalah sebuah penghambat prostaglandin
sintase.
Dosis: 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.
Dosis maksimum: 1500 mg/hari.
3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)

Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi peradangan dan
nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, menghasilkan penurunan dari sintesis
prostaglandin.
Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 15 jam.
Dosis: 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.
4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)
Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang, jika tidak ada
kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri, kemungkinan dengan menurunkan
aktifitas enzim siklooksigenase, yang menghasilkan sintesis prostaglandin.
Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral. Memiliki paruh waktu
yang singkat (1.8-2.6 jam).
Dosis: 300-800 mg PO 4 kali sehari
400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi 3200 mg/hari
5. Sulindac (Clinoril)
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat sintesis prostaglandin.
Menghasilkan penurunan pembentukan mediator peradangan.
Dosis: 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.
Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.
6. Piroxicam (Feldene)
Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein plasma. Menurunkan
aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu, menghambat sintesis prostaglandin. Efek ini
menurunkan pembentukan mediator radang.
Dosis: 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40 mg/hari
B. Agen Imunosupresan
Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten terhadap NSAIDs.
1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)
Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui. Dapat
mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala peradangan (nyeri, bengkak,
kaku).

Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO sebanyak 2.5 mg setiap 12
jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti sekali seminggu
Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg (meningkatkan
resiko supresi sum sum tulang). Kurangi sampai serendah mungkin. Kurangi sampai dosis
efektif terendah dengan waktu istirahat terpanjang
Awasi : fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru, fungsi hati
2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)
Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai alkylating agent,
mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin melibatkan penyambungan silang DNA,
yang dapat mengganggu pertumbuhan sel normal dan neoplastik.
Pemberian IV:
Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam interval 2-4 minggu
Dosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hari
Pemberian oral:
Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten
Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari
Pemberian:
Berikan dosis pertama sepagi mungkin
Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral
Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.
Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai 2000-3000/cu.mm tanpa resiko
serius terkena infeksi)
3. Azathioprine (Imuran)
Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu metabolisme purin dan
sintesis DNA, RNA, dan protein.
Dosis awal: 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat ditingkatkan seperti
berikut:
Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari setiap 4 minggu,
tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.
Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis efektif terendah
tercapai

4. Cyclosporine (Neoral)
Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun yang dilakukan sel,
seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan cangkok.
Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat ditambah menjadi
tidak lebih dari 4 mg/kg/hari
Awasi: fungsi ginjal
C. Glukokortikoid
Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik. Kortikosteroid
mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam pengobatan skleritis yang berulang.
1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)
Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen imunosupresif lainnya.
Dosis: 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO
Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu
Jika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis IM setiap
harinya sama dengan dosis oral.
Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap minggu.
Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IV
Dosis: 1 g IV selama 1 jam selama 3 hari
2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)
Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan cara meningkatkan
permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat menurunkan peradangan.
Dosis: 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai 4 kali sehari.
VIII. Komplikasi
Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular edema dapat
terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai koroid, retina, dan saraf
optik.12 Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu
perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mata untuk melihat.
Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat
kortikosteroid juga dapat memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan tekanan intraokular
sehingga beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma. Tanpa pengobatan segera dapat terjadi
kondisi seperti katarak, ablasio retina, keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi

pada sekitar 30% kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus
skleritis posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis anterior. 2 Skleritis dapat
berulang dan berpindah ke posisi sklera yang berbeda.8
IX. Prognosis
Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan penglihatan
yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta yang mengakibatkan
skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan hilangnya penglihatan dan memiliki
21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.8
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad malam

Quo ad sanationam

: dubia ad malam

Anda mungkin juga menyukai