( SKLERITIS )
Disusun oleh :
1. Pendahuluan
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi seluler,
kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Proses peradangan ini terjadi karena adanya proses
imunologis, atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga dapat mencetuskan proses peradangan
tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit autoimun.
Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika Serikat diperkirakan 6
kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang ditemukan, sekitar 94% merupakan
skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis posterior. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada
umumnya sekitar umur 20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara bilateral. Dari
data internasional, tidak ada distribusi geografis yang pasti mengenai insiden skleritis. Pada 15% kasus,
skleritis bermanifestasi sebagai gangguan kolagen vaskular guan kolagen vaskular dan gejala dan gejala
bertambah hingga bah hingga beberapa bulan. Angka morbiditas ditentukan oleh penyakit primer
skleritis itu sendiri dan penyakit sistemik yang menyertai. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah
1,6:1. Berdasarkan umur skleritis biasanya terjadi pada usia 11-87 tahun, dan rata-rata orang yang
menderita skleritia adalah usia 52 tahun.
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat
menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari tidur akibat
sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat
memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri
ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing
di dalam mata. Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.
Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani dengan baik berupa baik
berupa keratit keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina oma, granuloma subretina, ablasio
ablasio retina eksudatif, retina eksudatif, proptosis, katarak katarak, dan hipermetropia.
Penatalaksanaan skleritis tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis
yang tepat sesuai dengan etiologinya guna penatalaksanaan lebih lanjut.
e. Patofisiologi
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan
makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa
berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan
perforasi dari bola mata.
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik
dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum
merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks
imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III) dan
respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian
dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks
imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan
venula post kapiler dan respon imun sel perantara.
f. Diagnosis
Anamnesis
o Nyeri hebat pada bola mata, konstan, dan tumpul. Nyeri dapat menyebar ke
dahi, alis, dan dagu.
o Intensitas nyeri sangat berat hingga membuat pasien terbangun pada malam
hari.
o Ketajaman penglihatan berkurang.
o Mata merah berair.
o Fotofobia
Pemeriksaan Fisik
o Bola mata sangat nyeri bila ditekan.
o Injeksi hebat pada pembuluh darah skleral dan episkleral (Bola mata berwarna
ungu gelap akibat dilatasi pleksus vaskular profunda di sclera dan episklera,
yang mungkin nodular, sektoral, atau difus).
o Tekanan intra okuler meningkat.
o Dengan penetesan fenilefrin 10% tidak akan terjadi vasokonstriksi.
Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah
serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan
translusen juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam,
abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang
mengindikasikan adanya proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area
pada sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan sekuester putih di
tengah yang dikelilingi lingkaran coklat kehitaman. Proses pengelupasan bisa
diganti secara bertahap dengan jaringan granulasi meninggalkan uvea yang
kosong atau lapisan tipis dari konjungtiva.
Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera
dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi
anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan
sklera edema. Pada skleritis dengan Pemakaian fenilefrin hanya terlihat
jaringan superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada
jaringan dalam episklera.
Pemeriksaan Red'free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai
kongesti vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru
dan juga area yang avaskular total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum
pada mata meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular
dan fundus.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa
pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu :
o Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
o Faktor rheumatoid dalam serum
o Antibodi antinuklear serum (ANA)
o Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
o PPD (purified protein derivative/mantoux test)
o Serum asam urat
o B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya
skleritis posterior.
g. Diagnosis Banding
konjungtivitis alergika
Episkleritis
Gout
Herpes zoster
Rosasea ocular
Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva
Karsinoma sel skuamosa pada palpebra
Uveitis anterior non granulomatosa
h. Tatalaksana
Obat anti-inflamasi non-steroid sistemik :
o Indometasin 100 mg sekali sehari selama 4 hari, kemudian turunkan menjadi
75 mg per oral sekali sehari sampai peradangan hilang, atau
o Ibuprofen 600 mg/hari
Terapi antimikroba spesifik harus diberikan jika diketahui terdapat penyebab infeksi
i. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
Penyulit skleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina,
ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi
sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam
dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda buruk karena sering
tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai oleh penurunan
penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut terbuka dan tertutup.
Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid.
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti
uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau
skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. !enyulit pada kornea dapat
dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan
sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat
skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan susunan serat kolagen
stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi neovaskularisasi ke dalam stroma kornea.
Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari
bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan
Prognosis
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata.
Skleritis pada penyakit Bagener adalah penyakit berat yang dapat
menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan
komplikasi pada mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe
skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis
pada penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau
autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih
respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling
destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang telah
mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada tipe skleritis
yang lainnya.
j. Edukasi dan Pencegahan
Edukasi dan promosi kesehatan pada skleritis meliputi penjelasan definisi, etiologi, gejala, serta
penatalaksanaan dan prognosisnya. Skleritis merupakan kondisi inflamasi yang apabila tidak
diterapi dengan baik akan menyebabkan perburukan gejala serta kehilangan penglihatan.
Skleritis lebih sering terjadi pada pasien dengan penyakit autoimun sistemik tertentu, salah
satunya adalah penyakit lupus eritematosus sistemik, sehingga pada pasien-pasien tersebut perlu
dilakukan pemeriksaan mata berkala serta diedukasi untuk tetap melakukan kontrol berkala untuk
mengontrol etiologi.
Daftar Pustaka
Ahmed A, Foster CS. Cyclophosphamide or Rituximab Treatment of Scleritis and Uveitis for
Patients with Granulomatosis with Polyangiitis. Ophthalmic Res. 2019;61(1):44–50.
Cao JH, Oray M, Cocho L, Foster CS. Rituximab in the Treatment of Refractory Noninfectious
Scleritis. Am J Ophthalmol. 2016 Apr;164:22–8.
Lang, S. J., Böhringer, D., & Reinhard, T. (2020). Nekrotisierende Skleritis nach
Akanthamöbenkeratitis. Der Ophthalmologe, 1-3.Sobolewska, B., & Zierhut, M. (2015).
Pohlmann, D., & Pleyer, U. (2018). Skleritis–Fortschritte zur Diagnose und Therapie. Klinische
Monatsblätter für Augenheilkunde, 235(05), 603-610.
Stem MS, Todorich B, Faia LJ. Ocular Pharmacology for Scleritis: Review of Treatment and a
Practical Perspective. J Ocul Pharmacol Ther. 2017 May;33(4):240–6.
Tappeiner, C., Walscheid, K., & Heiligenhaus, A. (2016). Diagnose und Therapie der
Episkleritis und Skleritis. Der Ophthalmologe, 113(9), 797-810.