Anda di halaman 1dari 6

Gastroenteritis

Pada negara yang sedang berkembang, gastroenteritis tetap menjadi masalah utama
pada anak yang menyebabkan kematian. Sedangkan pada negara yang sudah berkembang,
hal ini menjadi sebuah penyakit yang khususnya banyak diderita oleh anak kecil. Di UK,
sekitar 10% anak dibawah usia 5 tahun terjangkit gastroentritis dan harus rawat inap
(Lissauer et Clayden, 2012).

Penyebab paling umum yang sering menyebabkan gastroentritis pada negara


berkembang adalah infeksi rotavirus, yang menyebabkan 60% dari kasus yang terjadi pada
anak dibawah usia 2 tahun. Vaksin untuk mencegah rotavirus kini telah tersedia, tetapi
vaksin ini belum dimasukkan dalam program imunisasi nasional (Lissauer et Clayden, 2012).

Faktor penyebab dari bakteri jarang terjadi pada negara berkembang. Infeksi
Campylobacter jejuni menjadi penyebab terbanyak pada kasus gastroentritis oleh karena
bakteri pada negara berkembang, dan sering kali hal ini akan disertai nyeri abdominal yang
parah. Shigella dan Salmonellae akan memproduksi tipe infeksi disenterik, dengan disertai
darah dan pus pada feses, nyeri pada abdominal dan tenesmus. Shigella akan disertai juga
panas tinggi. Cholera dan infeksi enterotoksigenik dari E. Coli sering kali disertai dengan
diare berkelanjutan dan dehidrasi (Lissauer et Clayden, 2012).

Pada gastroenteritis akan terjadi perubahan secara cepat pada konsistensi feses dari
padat menjadi cair dan sering kali juga disertai dengan muntah (Lissauer et Clayden, 2012).
Hal ini juga akan menyebabkan dehidrasi yang berkelanjutan menjadi komplikasi serius
yakni shock. Cara terbaik adalah prevensi dan koreksi cairan tubuh (Lissauer et Clayden,
2012).

Anak yang resiko dehidrasi adalah (Lissauer et Clayden, 2012) :

1. Anak bayi, terutama yang berusia kurang dari 6 bulan, atau yang lahir dengan
berat badan lahir rendah (BBLR).
2. Jika telah diare lebih dari sama dengan 6 kali dalam 24 jam terakhir.
3. Jika telah muntah lebih dari sama dengan 3 kali dalam 24 jam terakhir.
4. Jika tidak bisa menerima cairan dari luar tubuh.
5. Jika malnutrisi.

Anak bayi memiliki resiko untuk dehidrasi dibanding anak lebih tua karena mereka
memiliki rasio permukaan tubuh yang lebih besar dibanding dengan berat badan, yang
menyebabkan kehilangan cairan tubuh sebanyak 300ml/m2 per hari, setara dengan 15-
17ml/kg per hari. Anak bayi memiliki kebutuhan cairan basal lebih banyak yakni 100-
120ml/kg perhari, setara dengan 10-12% dari berat badan dan proses reabsorbsi dari
tubular renal masih belum sempurna (imatur) sehingga mereka tidak bisa mendapatkan
cairan untuk diri mereka sendiri ketika haus (Lissauer et Clayden, 2012).

Assessment

Pengukuran dehidrasi dapat diukur dari penurunan berat badan selama diare. Dan
anamnesa serta pertanyaan mengenai riwayat penyakit juga bisa dijadikan tolak ukur untuk
mendiagnosa dehidrasi, sehingga dapat menunjukan derajat dehidrasi :

1. Dehidrasi ringan (<5% berat badan yang hilang)


2. Dehidrasi sedang (5-10% berat badan yang hilang)
3. Dehidrasi berat (>10% berat badan yang hilang) (Lissauer et Clayden, 2012).

Pada kasus dehidrasi sering kali akan terjadi ketidak seimbangan dan perubahan
elektrolit sehingga banyak terjadi dehidrasi isonatremia, hiponatremia, dan hipernatremia.

Pada dehidrasi isonatremia dan hiponatremia :

Ketika terjadi dehidrasi, akan terjadi kekurangan sodium dan air dari tubuh.
Kekurangan sodium dan air seimbang dan plasma sodium akan tetap dalam
batas normal (dehidrasi isonatremia). Ketika anak dengan diare meminum
cairan yang mengandung air atau cairan hipotonik dalam jumlah besar, akan
menyebabkan kekurang sodium dalam jumlah besar dari pada air. Hal ini
akan menyebabkan jatuhnya plasma sodium (dehidrasi hiponatremia). Hal ini
menyebabkan terjadinya perpindahan cairan dari ekstra ke intraselular.
Sehingal meningkatnya cairan pada intraselular akan menyebabkan
meningkatnya volume cairan pada otak sehingga akan menyebabkan
terjadinya kejang. Bentuk dehidrasi yang seperti ini merupakan hal yang
umum terjadi pada negara berkembang dengan anak bayi yang kekurangan
gizi. (Lissauer et Clayden, 2012).

Pada dehidrasi hipernatremia :

Kekurangan air akan lebih banyak daripada kekurangan sodium dan plasma
sodium akan meningkat (dehidrasi hipernatrium). Hal ini biasanya merupakan
hasil dari kekurangan air secara cepat (misal, panas tinggi, berada ditempat
yang kering dan panas seperti padang gurun). Cairan ekstraselular akan
berubah menjadi hipertonik , yang akan menyebakan terjadi perpindahan air
dari ekstraselular ke intraselular. Tanda dari deplesi cairan ekstraselular
adalah depresi dari fontanelle, mata cowong, turgor kulit menurun. Hal ini
akan susah terlihat khususnya pada anak dengan obesitas. Hal ini berbahaya
karena ketika terjadi dehidrasi akan terjadi penarikan air dari otak dan akan
terjadi penyusutan cerebral yang menyebabkan gerakan tidak beraturan,
peningkatan tonus otot dengan hiperrefleksia, kesadaran berubah, kejang,
dan peradarahan pada serebral. Hiperglikemia juga kadang akan terjadi pada
beberapa pasien dengan dehidrasi hipernatremia, tetapi dapat sembuh
sendiri, sehingga tidak diperlukan insulin (Lissauer et Clayden, 2012).
Pemeriksaan penunjang

Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

Kultur feses dapat diperlukan jika :

1. terjadi sepsis pada anak


2. jika terdapat darah pada feses anak dengan kelainan imun. Hal ini dapat
mengindikasikan adanya benda asing.
3. Jika diare tidak membaik dalam waktu 7 hari.
4. Tidak adanya kepastian diagnosa (Lissauer et Clayden, 2012).
Pemeriksaan elektrolit plasma, urea, kreatinin dan glukosa akan diperiksa jika
dibutuhkan pemasangan infus atau ada gejala klinis hipernatremia. Jika antibiotik
diberikan, maka pemeriksaan darah lengkap dibutuhkan (Lissauer et Clayden, 2012).
Manajemen terapi

Nutrisi
Peningkatan jumlah nutrisi disertai dengan pemberian tablet zink (Lissauer et
Clayden, 2012).
Sindrom Post-Gastroentritis
Merupakan episode berkelanjutan yang terjadi pada gastroentritis. Pemberian
makanan untuk meningkatkan nutrisi juga bertujuan untuk memperbaiki konsistensi feses
yan g cair. Intoleransi laktosa sementara juga dapat terjadi yang dapat ditegakan dengan
pemeriksaan pada feses dengan clinitest yang ditemukan adanya laktosa yang tidak
terabsorbsi pada feses. Pada beberapa kondisi, akan diberikan upaya rehidrasi oral selama
24 jam yang diikuti dengan pemberian diet secara normal (Lissauer et Clayden, 2012).

Lissauer, Tom dan Graham Clayden.2012.”Illustrated Textbook of Paediatrics”.Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai