Anda di halaman 1dari 13

LEPTOSPIROSIS PADA ANAK

Disusun oleh :
Nama:Kirani Cahyani Datuamas
Stambuk:23777044

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonos yang menjadi masalah


kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri yang
berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen menyerang hewan dan
manusia. Beberapa wilaya di Indonesia merupakan daerah endemis untuk leptospira
dan sampai saat ini Leptospirosis masih menjadi ancaman bagi kesehatan
masyarakat dengan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa wilayah di
Indonesia karena berkaitan dengan keberadaan faktor risiko yaitu tingginya populasi
tikus (rodent) sebagai reservoar Leptospirosis, buruknya sanitasi lingkungan serta
semakin meluasnya daerah banjir di Indonesia. Beberapa masalah dalam kegiatan
penanggulangan Leptospirosis di Indonesia diantaranya sebagian besar pasien
Leptospirosis datang ke rumah sakit dalam keadaan terlambat, masih rendahnya
sensitivitas kemampuan petugas kesehatan dasar dalam mendiagnosa
Leptospirosis,terbatasnya fasilitas pemeriksaan laboratorium serta managemen dan
pelaporan yang belum baik. Pengobatan Leptospirosis relatif mudah dilakukan pada
stadium awal setelah ditegakkan diagnosa klinis karena hingga saat ini masih sensitif
dengan anbiotika yang tersedia di puskesmas/pelayanan kesehatan dasar dan rumah
sakit, namun sering terjadi kasus diakhiri dengan kematian. Hal tersebut disebabkan
karena keterlambatan dalam deteksi dini secara klinis, sehingga datang ke rumah
sakit sudah terlambat dan pada keadaan stadium lanjut.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................………………i
DAFTAR ISI.....................................................................................…………………. ii
BAB.I PENDAHULUAN
A. Definisi…………..........................................................................…………………..2
B. Epidemiologi penyakit.................................................................…………………. 3
C. Latar belakang.............................................................................………………… 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiologi..………............................................................................…………………. 5
B. Patofisiologi.…………………………............................................…………………..7
C. Diagnosis.....................................................................................………………… 8
BAB III. PENUTUP
A. Diskusi..……….........................................................................…………………… 9
B. Kesimpulan...........................................................................……………………… 9
C. Daftar pustaka......................................................................…………………….. 10
BAB l

PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang bersifat


emerging disease, terutama di wilayah Asia Tenggara (South-East Asia
region). Kebanyakan negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menjadi
wilayah endemis untuk leptospirosis, terutama pada daerah-daerah yang sering
mengalami banjir. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
infeksi dari spesies Leptospira, famili Leprospiraceae ordo Spirochaetales yang
patogen, bermanifestasi sebagai demam akut. Infeksi pada manusia pada umumnya
disebabkan oleh roden (misalnya tikus), kadang-kadang babi dan anjing. Organisme
ini hidup di air sehingga air merupakan sarana penular pada munasia. Sebagian besar
kasus leptospirosis akan sembuh sempurna, walaupun sekitar sepuluh persen
diantaranya dapat bersifat fatal.
Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Weil pada tahun 1886. Penyakit ini
dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, infectious
jaundice, field fever, cane cutter fever, dan lain-lain. Leptospirosis seringkali tidak
terdiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa
tanpa uji laboraturium. Leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah
dijadikan sebagai salah satu penyakit yang emerging infectious diseases.
Definisi

Leptospirosis adalah penyakit bersumber dari binatang (zoonosis) yang bersifat


akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan spektrum penyakit yang
luas dan dapat menyebabkan kematian. Leptospirosis juga dikenal dengan nama
flood fever atau demam banjir karena sering menyebabkan terjadinya wabah pada
saat banjir. Menurut International Leptospirosis Society (ILS), Indonesia merupakan
negara dengan insiden leptospirosis yang tinggi, serta menempati peringkat ketiga
di dunia untuk tingkat mortalitas.
Pada anamnesis, penting untuk menanyakan identitas pasien, misalnya
pekerjaan dan tempat tinggal untuk menunjukkan apakah pasien termasuk orang
berisiko tinggi atau tidak kontak dengan binatang atau tanah/air yang terkontaminasi
urin hewan. Gejala demam, nyeri kepala frontal, nyeri otot, mual, muntah, dan
fotofobia dapat dicurigai ke arah leptospirosis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain.
Leptospirosis dapat ditemukan di seluruh dunia, disebabkan oleh genus
Leptospira yang patogen. Namun, adanya gejala dan tanda leptospirosis yang tidak
khas seperti demam, nyeri kepala, mual, dan muntah sering dianggap sebagai
penyakit infeksi virus. Penularan bisa terjadi secara langsung akibat terjadi kontak
langsung antara manusia (sebagai host) dengan urin atau jaringan binatang yang
terinfeksi dan secara tidak langsung akibat terjadi kontak antara manusia dengan air,
tanah atau tanaman yang terkontaminasi urin dari binatang yang terinfeksi
leptospira. Jalan masuk yang biasa pada manusia adalah kulit yang terluka, terutama
sekitar kaki, dan atau selaput mukosa di kelopak mata, hidung, dan selaput
lender. Sembilan puluh persen kasus leptospirosis bermanifestasi sebagai penyakit
demam akut dan mempunyai prognosis baik, sedangkan 10% kasus lainnya
mempunyai gambaran klinis lebih berat sehingga menyebabkan kematian pada 10%
kasus. Manifestasi leptospira yang berat dan seringkali fatal dikenal sebagai penyakit
Weil atau leptospirosis ikterik, dengan gambaran klasik berupa demam, ikterus, gagal
ginjal, dan perdarahan. Organ lain yang dapat pula terkena adalah jantung, paru, dan
susunan syaraf pusat.
Penyakit ini didiagnosis berdasarkan riwayat paparan infeksi leptospira, misalnya
aktivitas berkebun. Pasien mungkin terkontaminasi urin hewan lewat paparan kulit
atau mukosa.Infeksi leptospira karena gigitan tikus atau hewan lainnya jarang
terjadi. Konfirmasi pasti leptospirosis membutuhkan pemeriksaan laboratorium,
dengan ditemukannya organisme pada isolat kultur, deteksi asam nukleat atau
antigen pada cairan tubuh atau imunohistokimia jaringan, atau dengan pemeriksaan
mikroaglutinasi (microagglutination test /MAT).
Epidemiologi
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat pada beberapa negara di daerah Asia Tenggara (SEA). Leptospirosis
masih menjadi penyakit yang terabaikan dan tidak tercatat dengan baik. Hal ini
mungkin disebabkan oleh konfirmasi penyakit leptospirosis yang memerlukan uji
laboratorium tidak selalu tersedia, dan diagnosis cepat untuk penyakit ini juga tidak
dapat diandalkan. Insiden leptospirosis di negara tropis saat musim hujan sebanyak
5-20/100.000 penduduk per tahun. Selama wabah dan dalam kelompok risiko tinggi
paparan, insiden penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 penduduk. Di
Indonesia, leptospirosis tersebar di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Riau, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.Jumlah pasien laki-laki dengan leptospirosis
lebih tinggi dibandingkan perempuan. Dinas Kesehatan Jawa Tengah mencatat
jumlah kasus leptospirosis sejak 2005 sampai 2009 terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 2009 tercatat jumlah kasus leptospirosis di Kota Semarang sebesar 239
kasus dengan angka kematian mencapai 9 orang. Meskipun terjadi penurunan di
tahun 2010 sampai 2012, akan tetapi kasus leptospirosis masih perlu perhatian yang
serius. Hal ini mungkin mencerminkan paparan dalam kegiatan yang didominasi laki-
laki. Untuk alasan yang sama, laki-laki remaja dan setengah baya memiliki prevalensi
lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki dan orang usia lanjut. Angka kematian akibat
leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5%- 16,4% dan hal ini
tergantung sistem organ yang terinfeksi. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian
mencapai 56%.
Leptospirosis dapat ditemukan diseluruh dunia, insidens di Amerika berkisar
antara 0,02-0,04 kasus per 100.000 penduduk.Daerah risiko tinggi adalah kepulauan
Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kepulauan
Pasifik.Leptospirosis kadangkala dapat menyebabkan wabah.Leptospirosis lebih
sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan
kegiatan sehari-hari. Angka mortalitas sekitar 10% pada jaundice leptospirosis.
Latar belakang

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang tersebar secara luas di dunia


khususnya di area tropis dan substropis yang memiliki curah hujan yang tinggi.
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi dari bakteri patogen Leptospira species.
Penyebarannya dapat melalui kontak manusia dengan urin hewan yang telah
terinfeksi atau lingkungan sekitar yang telah tercemar urin.Leptospirosis dapat muncul
dengan berbagai macam manifestasi klinik mulai dari ringan hingga berat. Pada
umumnya penyakit ini diawali dengan demam bifasik, dimana pada tahapannya akan
dijumpai gejala berupa demam tinggi dan leptospiremia yang diselingi dengan periode
singkat afebril.3 Gejala tersebut mirip dengan penyakit demam dengue atau penyakit
virus hemoragik lainnya. Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan tes
laboratorium, tetapi cara ini tidak selalu dapat dilakukan, khususnya di negara
berkembang. Oleh karena itu, leptospirosis sering terabaikan dan tidak terlaporkan di
berbagai area di dunia. DiIndonesia angka kematian leptospirosis mencapai 2,5% -
16,45%. Sedangkan untuk kejadian leptospirosis di kota Semarang dalam 5 tahun
terakhir cenderung mengalami kenaikan.4 Hasil pendataan dari rumah sakit yang ada
di kota Semarang pada tahun 2004, 2005, 2006, dan 2007 terdapat 37, 19, 26 dan
9,kasus penderita leptospirosis. Sedangkan pada tahun 2014 tercatat sampai dengan
bulan Oktober ditemukan 66 penderita leptospirosis dengan 11 orang meninggal (CFR
= 16,67%).5

Leptospirosis memiliki 2 fase yang berbeda, yaitu fase awal septikemi yang
diikuti dengan penurunan sementara demam dan dilanjutkan dengan fase imun
dimana munculnya gejala yang berat. Akan tetapi pada beberapa kasus, perbedaan
kedua fase ini tidak tampak dan hanya fase kedua yang akan muncul pada penyakit
ini. Pada fase akut septikemi diawali dengan tanda demam remiten yang tinggi (380
sampai 400 C) dan pusing, menggigil, kaku, dan myalgia; conjuncitival suffusion tanpa
discharge purulen; nyeri abdomen; anoreksia, mual dan muntah; diare; batuk dan
faringitis. Pada fase ini, leptospira dapat ditemukan di darah, cairan cerebrospinal dan
urin (pada 5 sampai 7 hari setelah munculnya gejala). Sedangkan pada fase imun,
leptospira tidak ditemukan di darah dan cairan cerebrospinal bertepatan dengan
munculnya antibodi IgM. Leptospira dapat dideteksi di hampir seluruh jaringan dan
organ, dan di urin pada beberapa minggu, tergantung dari tingkat keparahan penyakit.
Fase imun ditandai dengan beberapa atau seluruh dari gejala: ikterik, gagal ginjal,
aritmia kordis, gejala paru, meningitis aseptik, conjunctival suffusion dengan atau
tanpa perdarahan; fotofobia; nyeri pada mata; nyeri tekan; adenopathy dan
hepatosplenomegaly.
BAB ll

TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi

Penularan leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang tersebar


diseluruh dunia dan ditransmisikan baik secara langsung ataupun tidak langsung dari
binatang ke manusia (zoonosis). Transmisi dari manusia ke manusia dapat terjadi,
namun sangat jarang. Transmisi leptospira ke manusia terjadi karena kontak dengan
urin, darah, atau organ dari binatang terinfeksi; serta kontak dengan lingkungan
(tanah, air) yang terkontaminasi leptospira. Leptospira bisa terdapat pada binatang
peliharaan seperti kucing, anjing, sapi, babi, kerbau, maupun binatang liar seperti
tikus, musang dan tupai. Di dalam tubuh hewan, Leptospira hidup di ginjal dan air
kemihnya. Leptospira dapat hidup beberapa waktu dalam air dan alam terbuka. Iklim
yang sesuai untuk perkembangan leptospira ialah udara hangat (25oC), tanah basah/
lembab, dan pH tanah 6,2-8.Leptospira dapat bertahan hidup di tanah yang sesuai
sampai 43 hari dan di dalam air dapat hidup berminggu-minggu lamanya.
Genus Leptospira secara garis besar dibagi dalam dua spesies, L.
interrogans bersifat patogen dan L. Biflex yang non-patogen, kedua spesies tersebut
dibagi menjadi beberapa serogrup dan serovars. Pewarnaan untuk kuman ini ialah
impregnasi perak. Leptospira dapat menyebabkan infeksi pada berbagai jenis banyak
mamalia, seperti tikus, anjing, kucing, domba, babi, tupai, rakun, dan lain-
lain. Binatang pejamu untuk spesies dan serogrup tertentu berbeda pada tiap daerah,
satu mamalia dapat menampung beberapa serovars.Leptospira ditularkan melalui urin
yang terinfeksi, melalui invasi mukosa atau kulit yang tidak utuh. Infeksi dapat terjadi
dengan kontak langsung atau melalui kontak dengan air atau tanah yang
tercemar. Pada keadaan ideal, leptospira dapat bertahan selama 16 hari di air dan 24
hari di tanah. Petani, pegawai kebersihan (pembuang samapah), pemelihara
binatang, orang yang berolah raga air, dan nelayan merupakan kelompok risiko tinggi
terkena leptospirosis.
Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28°C-30°C. Leptospira
patogen terpelihara dalam tubulus ginjal hewan tertentu. Leptospira saprofit
ditemukan di lingkungan basah atau lembab mulai dari air permukaan, tanah lembab,
serta air keran. Spesies L. interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi
lagi menjadi lebih 250 serovar berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa serovar
L. interrogans yang patogen pada manusia antara lain L. icterohaemorrhagiae, L.
canicola, L. pomona, L. grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L.
pyrogenes, L. bataviae, dan L. hardjo.
Berbagai spesies hewan, terutama mamalia, dapat bertindak sebagai sumber infeksi
manusia, diantaranya ialah:
1. Spesies mamalia kecil, seperti tikus liar (termasuk mencit), bajing, landak
2. Hewan domestik (sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, kerbau)
3. Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran
4. Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira

Gambar 1.1 Leptospira


Leptospira adalah bakteri spiral dengan untaian yang padat, dengan 18 atau
lebih untaian tiap selnya, dengan ukuran lebar 0,1pm dan panjang 6-12 pm.
Leptospira dibungkus oleh membran luar yang dibungkus oleh membrane luar yang
terdiri dari 3-5 lapis atau disebut juga envelop. Dibawah membrane luar ini terdapat
lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helical, serta membrane
sitoplasma. 10 Bakteri spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung- ujungnya yang
bengkok, seperti kait dari bakteri leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat
aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun
melengkung, karena ukurannya yang sangat kecil. 8Leptospira memiliki dua flagella
periplasmik, masing-masing berpangkal pada setiap ujung sel.
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja
tambang, pembersih selokan, pekerja Rumah Potong Hewan dan militer. Ancaman ini
berlaku pula bagi mereka yang mempunyai kebiasaan melakukan aktivitas di danau
atau di sungai seperti berenang dan memancing ikan.
Kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan berhubungan secara
significan dengan timbulnya kejadian letpospirosis, dimana hampir seluruh kasus
yang ditemukan memiliki rumah yang tidak memenuhi syarat, seperti kondisi
perumahan yang sangat padat, lembab, tidak memiliki halaman, juga kondisi di dalam
rumahnya sangat tidak tertata dengan baik, pencahayaan sangat kurang dan jarak
antara satu rumah dengan rumah lainnya sangat dekat, hal ini menyebabkan sirkulasi
udara yang tidak baik dan cenderung sangat pengap.Dengan kondisi lingkungan
rumah seperti itu tidak menutup kemungkinan untuk berkembang biaknya tikus
disekitar rumah tinggal, dimana tikus ini merupakan vektor yang menyebakan penyakit
leptospirosis.
Patofisiologi

Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan mukosa
seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian masuk ke dalam darah,
berkembang biak, dan menyebar ke jaringan tubuh. Leptospira juga dapat menembus
jaringan seperti ruang depan mata dan ruang subarakhnoid tanpa menimbulkan
reaksi peradangan yang berarti.Leptospira berkembang biak terutama di ginjal
(tubulus konvoluta), serta akan bertahan dan diekskresi melalui urin. Leptospira dapat
berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi hingga bertahun- tahun. Setelah fase
leptospiremia (4-7 hari), leptospira hanya dijumpai pada jaringan ginjal dan
mata. Pada fase ini, leptospira melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan
pada beberapa organ.
Setelah leptospira menginvasi epitel, selanjutnya akanberproliferasi dan
menyebar ke organ sasaran. Setiap organ penting dapat terkena dan antigen
leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena. Gejala fase awal ditimbulkan
karena kerusakan jaringan akibat leptospira, tetapi gejala fase kedua timbul akibat
respons imun pejamu. Mediator yang dirangsang oleh leptospira ini diduga
menyebabkan manifestasi klinis yang beragam, meskipun secara pasti masih belum
jelas. Gejala patologis yang selalu ditemukan adalah vaskulitis pada pembuluh darah
kapiler berupa edem pada endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit. Keadaan ini dapat
ditemukan pada semua organ yang terkena. Vaskulitis ini menimbulkan petekie,
perdarahan intraparenkim, dan perdarahan pada lapisan mukosa dan serosa. Pada
beberapa kasus dapat ditemukan trombositopenia namun tidak terjadi DIC
(disseminated intravascular coagulation). masa protrombin kadang-kadang
memanjang dan tidak dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin K.
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat
mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-
gejala klinis. Hemolisis dapat terjadi karena hemolisin yang bersirkulasi diserap oleh
eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun di dalam darah sudah terdapat
antibodi. Diatesis perdarahan umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, tetapi pada
keadaan tertentu terjadi perdarahan saluran cerna atau organ vital yang dapat
menyebabkan kematian. Setiap organ penting dapat terkena dan antigen leptospira
dapat dideteksi pada jaringan yang terkena.
Leptospira juga ditemukan di antara sel-sel parenkim hati.Kerusakan hati yang
terjadi akan mengakibatkan timbulnya ikterus, meskipun ada beberapa ahli
mengemukakan ikterus antara lain disebabkan oleh hemolisis dan obstruksi
bilier. Edem intraalveolar dan intersisial dapat terlihat pada jaringan paru.Pada
vaskulitis berat dapat terjadi perdarahan paru. Keterlibatan ginjal menyebabkan
nekrosis tubuler dan nefritis intersisialis, sehingga terjadi gagal ginjal akut yang
memerlukan dialisis.Pada jantung dapat ditemukan petekie pada endokardium, edem
intersisiel miokard, dan arteritis koroner. Perdarahan, nekrosis fokal dan reaksi
inflamasi dapat ditemukan pada kelenjar adrenal, sehingga dapat memperberat
kolaps vaskuler yang berkaitan dengan kejadian leptospirosis yang fatal.
Differential Diagnosis

Terdapat beberapa diagnosis banding untuk leptospirosis, yaitu: influenza,


demam dengue dan demam berdarah dengue, yellow fever, rickettsiosis, malaria,
pielonefritis, meningitis aseptik, demam tifoid, hepatitis virus, toksoplasmosis dan
penyakit lain yang ditularkan melalui arthropod-borne dan rodent-borne yang
patogen. Diferrential diagnosis yang paling sering adalah malaria, dan tifoid.
Malaria adalah penyakit menular disebabkan oleh plasmodium dan ditularkan
oleh nyamuk Anopheles. Terdapat 4 jenis plasmodium yaitu : Plasmodium falciparum
yang menyebabkan malaria tropika, P. vivax yang menyebabkan malaria tertiana, P.
malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan P. ovale yang menyebabkan
malaria ovale. Jenis plasmodium yang umum ditemukan di Jawa Tengah adalah P.
falciparum dan P. vivax. Pada masing-masing daerah species dari Anopheles yang
menularkan penyakit malaria berbeda-beda. Untuk mengetahui apakah nyamuk
Anopheles dari species tertentu dapat menjadi vektor penular malaria ada beberapa
cara yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan pembedahan kelenjar ludah
nyamuk untuk mendapatkan sporozoit maupun secara biomolekuler antara lain
dengan melakukan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) pada kepala dan
thorax nyamuk maupun dengan PCR (Polimerase Chain Reaction). Secara umum
gejala malaria adalah : lesu/lemah, menggigil kedinginan tetapi suhu badan tinggi,
berkeringat dingin diiringi turunnya panas, sakit kepala,mual dan muntah, nafsu
makan berkurang. Gejala malaria berat adalah panas tinggi, kuning pada mata, mual
dan muntah, kencing berwarna teh tua, nafas cepat, kehilangan kesadaran, kejang-
kejang, pingsan sampai koma.
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang merupakan bakteri
gram negative. Pada demam tifoid, Demam naik secara bertangga pada minggu
pertama lalu demam menetap (kontinyu) atau remiten pada
minggu kedua.Demamterutama sore/ malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis
terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul
secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai
septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi.Pada
pemeriksaan fisik didapatkan Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif
(peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, nyeri abdomen, roseolae (jarang pada orang Indonesia).
BAB lll
PENUTUP

Diskusi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, kecuali benua Antartika,dan terbanyak
di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan atau binatang
pengerat, yang mana tikus merupakan vektor yang utama penyebab leptospirosis
pada manusia, di mana dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, tanah, atau lumpur
yang telah terkontaminasi oleh urin binatang yang telah terinfeksi leptospira, perantara
luka/erosi pada kulit ataupun melalui selaput lendir.Leptospira masuk dan menyebar
secara luas ke jaringan tubuh, di mana fase leptospiremia, leptospira melepaskan
toksin yang menyebabkan kerusakan beberapa organ seperti, ginjal dan hati. Pada
kasus berat, terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoselular dengan retensi bilier.Leptospira juga dapat bertahan pada otak dan
mata, masuk ke cairan serebrospinalis, dan dapat menyebabkan meningitis, serta
fase imun yang ditandai peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam, rasa sakit
menyeluruh pada tubuh, terutama betis, serta manifestasi perdarahan berupa
petechiae, epistaksis, ataupun perdarahan gusi.

Kesimpulan
Leptospirosis terjadi secara insidental dan umumnya ditularkan melalui kencing
tikus saat terjadi banjir. Manifestasi leptospirosis yaitu dari self limited, gejala ringan
hingga berat bahkan kematian bila terlambat mendapat pengobatan. Pemeriksaan
baku emas leptospirosis dengan microscopic agglutination test. Diagnosis dini dan
penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit yang berat. Terapi
diberikan medika-mentosa dengan antibiotik dan suportif. Prognosis umumnya baik
namun bisa terjadi gejala sisa. Pencegahan dini terhadap yang memiliki faktor resiko
terinfeksi, diharapkan dapat melindungi dari serangan leptospirosis.
Daftar Pustaka

1. Depkes. 2015. Leptospirosis: kenali dan waspadai. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.
2. Kuswati, Suhartono, Nurjazuli. Distribusi kasus leptospirosis di kabupaten
demak. Vol (2) 15. Semarang: Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2016.
H.56-61
3. Prihantoro T, Siwiendrayanti A. Karakteristik dan kondisi lingkungan rumah
penderitaleptospirosis di wilahay kerja puskesmas pegandan. Vol (2) 2.
Semarang: Jurnal of Health Education. 2017. H. 185-191
4. Rakebsa D, IndrianiC, Sri Nugroho W. Epidemiologi leptospirosis di
Yogyakarta dan bantul. Vol (34) 2. Jogjakarta: Berita Kedokteran
Masyarakat. 2018. H. 153-158
5. Rampengan N. Leptospirosis. Vol (8) 3. Manado: Jurnal Biomedik. 2016.
H.143-150
6. Setiadi B, Setiawan A, Effendi D, et al. Leptospirosis. Jakarta: Sari Pediatri.
Vol (3) 3. 2001. H. 163-167
7. Rejeki D, Nurlaela S, Octaviana D. Pemetaan dan analisis faktor risiko
leptospirosis. Vol (8) 4. Purwekerto: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2013. Hl. 179-186
8. Rahmadani T, Widyastuti D, Priyanto D. Determinasi serovar bakteri
leptospira pada reservoir di kabupaten banyumas. Vol (14) 1. Purwerkerto:
Jurnal Ekologi Kesehatan. 2015. Hl. 8-16
9. Sucipto M, Nababan R, Falamy R. Ikterus yang disebabkan oleh suspek
leptospirosis. Lampung:Jurnal Medula. Vol (7) 4. 2017. Hl. 20-25
10. Rahardianingtyas E. Mat diagnosis leptospirosis. Vol (4) 2. Jakarta: Jurnal
Vektora. Hl. 117-122
11. Andani L. Evaluasi pengunaan kriteria diagnosis leptospirosis (who searo
2009) pada pasien leptospirosis di rsup dr kariadi semarang. Semarang: Jurnal
Media Medika Muda. 2014.
12. Pertiwi S. Setiani O, Nurjazuli. Faktor lingkungan yang berkaitan dengan
kejadian leptospirosis di kabupaten pati jawa tengah. Vol (13) 2. Semarang:
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2014. Hl. 51-57
13. Okatini M, Purwana R, Djaja I. Hubungan factor lingkungan dan
karakteristik individu terhadap kejadian penyakit leptospirosis di Jakarta
2003-2005. Vol (11) 1. Jakarta: Jurnal Makara. 2007. Hl. 17-24

Anda mungkin juga menyukai