Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH EPIDEMIOLOGI

LEPTOSPIROSIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran
lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah. Bahwasanya lingkungan
berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang.
Dewasa ini berbagai masalah kesehatan yang timbul dalam masyarakat
terutama disebabkan karena keadaan kesehatan lingkungan yang kurang
atau tidak memenuhi syarat disamping factor perilaku hidup sehat yang belum
memasyarakat.
Menurut Blum, factor lingkungan mempunyai pengaruh yang paling
besar terhadap kesehatan manusia dibandingkan dengan factor perilaku,
pelayanan kesehatan, dan keturunan. Lingkungan yang sehat diartikan
sebagai lingkungan yang konduktif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu
lingkungan bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang
memadai, perumahan dan pemukiman sehat, perencanaan kawasan
berwawasan lingkungan dan kehidupan mayarakat yang saling tolong
menolong.

Berbagai penyakit yang timbul di masyarakat sebenarnya merupakan


suatu indicator dari baik buruknya kondisi lingkungan, sebagai contoh yaitu:
leptospirosis.
Untuk itu, makalah ini akan mebahas lebih jauh mengenai leptospirosis

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan Leptospirosis?
2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis?
3. Bagaimanakah tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit
Leptospirosis?
4. Bagaimanakah patofisiologi penyakit Leptospirosis?
5. Bagaimanakah epidemiologi penyakit Leptospirosis?
6. Bagaimanakah penanganan penyakit Leptospirosis?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Leptospirosis
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit
Leptospirosis
4. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Leptospirosis
5. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit Leptospirosis
6. Untuk mengetahui penanganan penyakit Leptospirosis

BAB II
PEMBAHASAN

1. DEFENISI
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang menginfeksi manusia dan
hewan. Nama lain dari penyakit ini adalah swineherds, demam pesawah
(rice-field fever), demam lumpur, jaundis berdarah, penyakit stuttgant, atau
demam canicola.

Ada

juga

yang

menyebut

demam Icterohemorrhage sehingga biasa juga disebut penyakit kuning nonvirus.

2.ETIOLOGI
Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral
termasuk ke dalam Ordo pirochaetales dalam family Trepanometaceae.
Lebih dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir
setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat
dan ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria
menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar
sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung, karena ukurannya
yang sangat kecil.
Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan
siap menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu
Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water
born deseasei).
Menurut

DHARMOJONO

(2001)

bakteri

ini

berbentuk

benang

berplintiran (filament) yang ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20

mikrometer dan diameter 0,1-0,2 mikrometer. Lokakarya Nasional Penyakit


Zoonosis Bakteri ini dapat bergerak maju mundur memutar sepanjang
sumbunya.
Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar
selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air
kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi
sumber penularan Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba,
kuda, anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai),
sedangkan rubah dapat menjadi karier leptospira (WIDARSO et al, 2005).
Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama
leptospirosis karena bertindak sebagia inang alami dan memiliki daya
reproduksi tinggi. beberapa hewan lain yang juga merupakan sumber
penularan leptospira memiliki potensi penularan ke manusia tidak sebesar
tikus.
Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di
Indonesia Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat,
Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Barat

3. TANDA DAN GEJALA


Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya
infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja.

penderita mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga


mampu menghadapi bakteri Leptispira, bahkan penderita dapat menjadi
sembuh. Menurut WIDARSO, gejala klinis dari Leptospirosis pada manusia
bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:
3.1.Stadium pertama
3.1.1 Demam, menggigil
3.1.2 Sakit kepala
3.1.3 Malaise dan Muntah
3.1.4 Konjungtivis serta kemerahan pada mata
3.1.5 Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala
tersebut akan tampak antara 4-9 hari.
3.2. Stadium kedua
3.2.1 Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita
3.2.2 Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada
stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
3.2.3 Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan
terjadi meningitis
3.2.4 Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat Stadium
ketiga
3.3.Stadium Ketiga
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala
klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis
dapat menimbulkan gejala-gejala berikut :

3.3.1. Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian


3.3.2. Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang
erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
3.3.3. Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan
keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
3.3.4. Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd apat
menyebabkan kematian mendadak
3.3.5. Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada,
respiratory distress dan cyanosis
3.3.6. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage)
dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia
3.3.7. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan
kecacatan pada bayi.
Sedangkan pada hewan ternak ruminansia dan babi yang hamil, gejala
abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis .
Pada sapi,muncul demam dan penurunan produksi susu sedangkan pada
babi, sering muncul gangguan reproduksi .
Pada kuda, terjadi keratitis, conjunctivitis,iridocyclitis, jaundice sampai
abortus. Sedangkan pada anjing, infeksi leptospirosis sering bersifat subklinik;
gejala klinis yang muncul sangat umum seperti demam, muntah, jaundice.
Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang
ringan, infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat

mengakibatkan kematian . Infeksi akut paling sering terjadi pada pedet/sapi


muda.
4. PATOFISIOLOGI
4.1. Pre Patogenesis
Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau
selaput lendir (mucous membrane) misalnya, konjuktiva (mata) karena
kecipratan selaput lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau
cemaran oleh keluaran urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan
atau minuman yang tercemar oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban
terinfeksi bakteri Leptospira ini, maka segeralah mikroorganisme ini merasuk
ke dalam jaringan tubuh penderita.
4.2. Patogenesis
Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput
lendir, luka-luka lecet maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena
air. Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan
memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan
selaput otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel
jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

156fase leptospiremia, yang

biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi.


4.3. Pasca patogenesis
Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang
timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah.

Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan


kuman tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang
lama. Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati
karena terjadinya uremia. keparahan penderita bervariasi tergantung pada
umur serta servoar leptospira penyebab infeksi.
5.EPIDEMIOLOGI
5.1. PERSON (ORANG)
5.1.1 Umur
Penyakit leptospirosis jarang terjadi pada bayi dan anak remaja karena
kenyataannya mereka paling sedikit terpapar. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa diakibatkan pekerjaannya yang lebih banyak
terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.
5.1.2 Jenis kelamin
Laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi leptospirosis.
Hal ini diakibatkan karena laki-laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh
hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Sebagian besar
kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor
resiko tinggi tertular penyakit ini. Laki-laki memiliki risiko terkena leptospirosis
sebesar 3,59 kali dibandingkan perempuan.
5.1.3 Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian, petani dan peternak lebih memiliki resiko
yang besar untuk terpapar penyakit ini. Ini disebabkan penderita leptospirosis
waktu menggunakan sumber air bersih untuk pertanian telah tercemar

dengan bakteri leptospirosis atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki,


tangan, dan tubuh lainnya tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan
air yang tergenang dan telah terkontaminasi dengan bakteri leptospirosis.
Menurut Simanjuntak (2002) leptospirosis disebut juga penyakit
pekerjaan, karena sering menyerang petani, pekerja pembersih selokan,
pemburu bebek liar, para dokter hewan, pekerjaan rumah potong, pekerja
perkebunan, dan para wisatawan pendaki gunung.
5.2. PLACE (TEMPAT)
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang
sesuai untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang
basah dan pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara
tropik sepanjang tahun. Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih
banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko
penyakit lebih berat. Angka insiden leptospirosis di negara tropik basah 520/100.000 penduduk per tahun. Leptospirosis tersebar di seluruh dunia
termasuk Indonesia.
Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Menurut
teori Faisal, bakteri leptospira mampu bertahan hidup lama pada air
tergenang seperti di kolam renang, di lubuk sungai dan di tanah lembab,
tanah rawa dan lumpur di pertambangan dan pertanian/perkebunan.

5.3. TIME (WAKTU)


Pada musim penghujan, peluang terjadinya banjir akan lebih besar
sehingga frekuensi penyakit leptospirosis tidak sulit untuk ditemukan. Hujan
deras akan membantu penyebaran peyakit ini. Karena kondisi lingkungan
yang banjir akan mempercepat proses penularan bakteri leptospira melalui
air. Kemampuan leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi
salah satu factor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host)
yang baru.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga
memberikan peluang pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia. Hal
ini sesuai pendapat Gindo (2008) yang menyebutkan bahwa kecenderungan
jumlah penderita leptospirosis meningkat setelah banjir terlebih lama surutnya
air sampai 3 hari atau lebih. Pada pasca banjir perlu diwaspadai terutama
sehabis membersihkan sisa-sisa banjir atau mencebur air genangan tanpa
alas kaki, air genangan tersebut telah tercemar air kencing binatang terutama
tikus yang mengandung bakteri leptospira yang merupakan sumber
penularan.

6. PENANGANAN
6.1. PENGOBATAN
Cara

mengobati penderita Leptospirosis yang dianjurkan adalah

sebagai berikut :

Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini
pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis
6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari
Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan
jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit
secara i.m, separuh dosis dapat Diberikan selama 5-6 hari. Procaine penicillin
1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara kontinue selama 2 hari setelah
terjadi albuminuria
Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotik lain yaitu
etracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotik tersebut kurang efektif
dibanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan jika penderita
mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan secepatnya dengan
dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg
setiap 6 jam secara oral selama 6 hari. Erythromycine diberikan dengan dosis
250 mg setiap 6 jam selama 5 hari.

Terapi

dengan

antibiotika

(streptomisin,khlortetrasiklin,

atau

oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya


berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan
pada awal perjalanan penyakit, banyak berhasil. Pemberian oksitetrasiklin
dengan dosis 10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak babi penderita
Leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan cukup baik yaitu 86%.
Pemberian per-oral dengan mencampurkan oksitetrasiklin dengan dosis 500-

1000 gr ke dalam setiap makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat


menghilangkan keadaan sebagai pembawa penyakit pada ternak babi 94%.

6.2.PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS

Menurut WIDARSO pencegahan Leptospirosis dapat dilakukan dengan


cara:
Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit,
berperan dalam upaya pencegahan penyakit Leptospirosis
Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan
serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah
Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu
dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis
Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang
tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung
tangan
Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan
vaskin strain lokal
Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah
penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut
Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk, terutama
di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap
kuman Leptospirosis

Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir


Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain

BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus
Leptospira yang patogen . Penyakit ini merupakan zoonosis, tersebar luas di
seluruh dunia terutama di daerah tropis termasuk Indonesia . Titik sentral
pcnyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi Leptospira yang
mencemari lingkungan . Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi dari ringan
hingga berat bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya .
Upaya mengisolasi dan mengidentifikasi Leptospira sangat memakan
waktu . Diagnosis leptospirosis yang utama dilakukan secara serologis . Uji
serologis merupakan uji standar untuk konfirmasi diagnosis, menentukan
prevalensi dan studi epidemiologi . Vaksinasi pada hewan merupakan salah
satu cara pengendalian leptospirosis .Pengembangan vaksin untuk hewan
masih terus dilakukan di Indonesia untuk memperoleh vaksin multivalen yang
efektif karena Leptospira terdiri dari banyak serovar ..
SARAN

Pencegahan/ pengendalian leptospirosis dapat dilakukan dengan cara


memutus siklus penularan melalui pengobatan dan vaksinasi bagi ternak atau

hewan kesayangan ; mengurangi populasi tikus dan meningkatkan sanitasi


lingkungan . Dalam upaya pencegahan leptospirosis pada manusia
memerlukan aktivitas terintegrasi antara dokter hewan dan dokter, dan
peningkatan pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang bahaya
leptospirosis . Penggunaan vaksin yang sesuai dikombinasikan dengan
perbaikan sanitasi lingkungan merupakan upaya pengendalian leptospirosis
pada hewan di masa datang.

DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis
Dr

Widodo

Judarwanto

SpA.(2006). Penyakit

leptospirosis

pada

manusiahttp://indonesiaindonesia.com/f/13740-penyakit-leptospirosismanusia/
Priyanto, A, (2006). Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian
Leptospirosis.dari http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto.pdf.

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anthrax atau penyakit radang limpa merupakan salah satu penyakit zoonosis di Indonesia
yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini selalu muncul setiap tahun serta menyebabkan
kerugian yang besar bagi peternak. Istilah anthrax berarti arang, sebab penyakit ini menimbulkan
gejala pada manusia berupa bisul kehitaman yang jika pecah akan menghasilkan semacam borok
(bubonic palque).
Dahulu, penyakit ini dikatakan sebagai penyakit kutukan karena menyerang orang yang
telah disisihkan di masyarakat, bahkan bangsa Mesir pun pernah terkena panyakit ini kira-kira
4000 tahun sebelum masehi.
Anthrax ditemukan oleh Heinrich Hermann Robert Koch pada tahun 1877, sedangkan
Louis Pasteur adalah ilmuwan pertama penemu vaksin yang efektif untuk Anthrax pada tahun
1881.
Menurut catatan anthrax sudah dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda
tepatnya pada tahun 1884 di daerah teluk Betung, Lampung. Pada tahun 1975, penyakit ini
ditemukan di enam daerah yaitu Jambi, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Menurut data yang ada saat ini terdapat 11 provinsi
yang endemis anthrak yaitu Jambi, Sumatera Barat, DKI Jakarta (Jakarta Selatan), Jawa Barat
(Kota Bogor, Kab. Bogor, Kota Depok), Jawa Tengah (Kota Semarang, Kab. Boyolali), NTB
(Sumbawa, Bima), NTT (Sikka, Ende), Sulawesi Selatan (Makassar, Wajo, Gowa, Maros),
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Papua. Daerah-daerah yang mempunyai catatan sejarah
serangan anthrax akan tetap endemik yang berpotensi kuat untuk serangan berikutnya. Kerugian
yang ditimbulkan oleh penyakit ini cukup signifikan. Hewan akan mengalami penurunan bobot
badan hingga kematian yang cukup banyak karena mudah menular dan bertahan di tanah dalam
jangka waktu yang cukup lama (lebih dari 50 tahun).

Gambar 1. Peta Daerah Endemik Anthrax

Penyebab
Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang merupakan bakteri gram positif
non motil dan berspora. Di bawah mikroskop tampak terlihat seperti barisan batang panjang
dengan ujung-ujungnya siku, sementara di dalam tubuh inang, Bacillus anthracis tidak terlihat
rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau pendek serta melindungi dirinya dalam
kapsul, dan akan membentuk spora segera setelah berhubungan dengan udara bebas karena
spora diketahui dapat bertahan hidup bertahun-tahun di dalam tanah yang cocok dan bisa
menjadi sumber penularan pada hewan dan manusia.

Photomicrograph dari Bacillus


anthracis (fuchsin-metilen biru spora
noda).

Oleh karena itu, bangkai hewan yang positif terkena anthrax atau mati dengan gejala
anthrax tidak diperbolehkan dibedah untuk menutup peluang bakteri anthrax bersinggungan
dengan udara. Hewan yang mati akibat anthrax harus langsung dikubur atau dibakar. Semua
peralatan kerja yang pernah bersentuhan dengan hewan sakit harus direbus dengan air mendidih
minimal selama 20 menit. Bacillus anthracis tidak begitu tahan terhadap suhu tinggi dan berbagai
desinfektan dalam bentuk vegetatif.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
Bacillus anthracis adalah bakterium Gram-positif berbentuk tangkai yang berukuran
sekitar 1x6 mikrometer dan merupakan penyebab penyakit antraks.

B. anthracis adalah bakterium pertama yang ditunjukkan dapat menyebabkan penyakit.


Hal ini diperlihatkan oleh Robert Koch pada tahun 1877. Nama anthracis berasal dari bahasa
Yunani anthrax (), yang berarti batu bara, merujuk kepada penghitaman kulit pada
korban.
Bakteria ini umumnya terdapat di tanah dalam bentuk spora, dan dapat hidup selama
beberapa dekade dalam bentuk ini. Jika memasuki sejenis herbivora, bakteria ini akan mulai
berkembang biak dalam hewan tersebut dan akhirnya membunuhnya, dan lalu terus berkembang
biak di bangkai hewan tersebut. Saat gizi-gizi hewan tersebut telah habis diserap, mereka
berubah bentuk kembali ke bentuk spora.
Bacillus anthracis mempunyai gen dan ciri-ciri yang menyerupai Bacillus cereus, sejenis
bakterium yang biasa ditemukan dalam tanah di seluruh dunia, dan juga menyerupai Bacillus
thuringiensis, pantogen kepada larva Lepidoptera.

KLASIFIKASI ILMIAH
Kerajaan:

Bakteria

Filum:

Firmicutes

Kelas:

Bacilli

Ordo:

Bacillales

Famili:

Bacillaceae

Genus:

Bacillus

Spesies:

B. anthracis

Penyakit Antraks (Radang Limpa)


Antraks adalah suatu penyakit akut disertai demam yang ditandai dengan bakteriemia
yang bersifat terminal pada kebanyakan spesies hewan. Antraks merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bacillus anthracis, bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan pada manusia.
Jenis Antraks
Penyakit yang ditimbulkan oleh Bacillus anthracis yaitu anthraks kulit, antrakssaluran
pencernaan, antraks saluran pernapasan, dan dapat sampai ke otak yang disebut antraks otak atau
meningitis. Antraks kulit terjadi karena disebabkan infeksi pada kulit sehingga spora Bacillus
anthracis dapat masuk melalui kulit. Antraks saluran pencernaan yang disebabkan karena
spora Bacillus anthracis yang tebawa oleh makanan yang telah terinfeksi dan sampai ke saluran
pencernaan. Antraks saluran pencernaan yang disebabkan karena spora Bacillus anthracis yang
terhirup.

Siklus Hidup
Bacillus antracis mempunyai dua bentuk siklus hidup, yaitu fase vegetatif dan fase spora
Fase Vegetatif

Berbentuk batang, berukuran panjang 1-8 mikrometer, lebar 1-1,5 mikrometer. Jika spora
antraks memasuki tubuh inang (manusia atau hewan memamah biak) atau keadaan lingkungan
yang memungkinkan spora segera berubah menjadi bentuk vegetatif, kemudian memasuki fase
berkembang biak. Sebelum inangnya mati, sejumlah besar bentuk vegetatif bakteri antraks
memenuhi darah. Bentuk vegetatif biasa keluar dari dalam tubuh melalui pendarahan di hidung,
mulut, anus, atau pendarahan lainnya. Ketika inangnya mati dan oksigen tidak tersedia lagi di
darah bentuk vegetatif itu memasuki fase tertidur (dorman/tidak aktif). Jika kemudian dalam fase
tertidur itu terjadi kontak dengan oksigen di udara bebas, bakteri antraks membentuk spora
(prosesnya disebut sporulasi). Pada fase ini juga dikaitkan dengan penyebaran antraks melalui
serangga, yang akan membawa bakteri dari satu inang ke inang lainnya sehingga terjadi
penularan antraks kulit, akan tetapi hal tersebut masih harus diteliti lebih lanjut.
Fase Spora
Berbentuk seperti bola golf, berukuran 1-1,5 mikrometer. Selama fase ini bakteri dalam
keadaan tidak aktif (dorman), menunggu hingga dapat berubah kembali menjadi bentuk vegetatif
dan memasuki inangnya. Hal ini dapat terjadi karena daya tahan spora antraks yang tinggi untuk
melewati kondisi tak ramah--termasuk panas, radiasi ultraviolet dan ionisasi, tekanan tinggi, dan
sterilisasi dengan senyawa kimia. Hal itu terjadi ketika spora menempel pada kulit inang yang
terluka, termakan, atau--karena ukurannya yang sangat kecil--terhirup. Begitu spora antraks
memasuki tubuh inang, spora itu berubah ke bentuk vegetatif.

Penularan Antraks
Pada hewan, yang menjadi tempat masuknya kuman adalah mulut dan saluran cerna.
Sumber utama infeksi adalah tanah dan air.dalam beberapa kejadian penyakit terbukti bahwa
bahan pakan yang tercemar oleh spora dan kuman, terutama tepung tulang yang ditambahkan ke
dalam ransum menyebabkan terjadinya wabah antraks. Pada kebanyakan kasus antraks terjadi
pada waktu ternak digembalakandi padang rumput. Padang rumput yang baru saja menerima air
berlebihan dari daerah lain merupakan padang penggembalaan yang berbahaya.

Adapun pada manusia penularan penyakit antraks seringnya melalui hal-hal sebagai berikut :
Kontak langsung dengan bibit penyakit yang ada di tanah/rumput, hewan yang sakit, maupun
bahan-bahan yang berasal dari hewan yang sakit seperti kulit, daging, tulang dan darah.
Bibit penyakit terhirup orang yang mengerjakan bulu hewan (domba dll) pada waktu
mensortir. Penyakit dapat ditularkan melalui pernapasan bila seseorang menghirup spora
Antraks.
Memakan daging hewan yang sakit atau produk asal hewan seperti dendeng, abon dll

Patogenesis Antraks
Kebanyakan infeksi terjadi melalui selaput lendir, selanjutnya kuman akan memasuki
cairan limfe dan kemudian berakhir di dalam darah. Bakteriemia yang terjadi berlangsung
dengan hebatnya dan di dalam darah perifer dapat ditemukan banyak sekali kuman sebanyak
kurang lebih 1 milyar sel kuman dalam tiap milliliter darah (Keppie, 1955)
Basil menyebar melalui saluran getah bening ke dalam aliran darah, kemudian menuju ke
jaringan, terjadilah sepsis yang dapat berakibat kematian.
Pada antraks inhalasi, spora Bacillus anthracis dari debu wol, rambut atau kulit terhirup,
terfagosit di paru-paru, kemudian menuju ke limfe mediastinum dimana terjadi germinasi, diikuti
dengan produksi toksin dan menimbulkan mediastinum haemorrhagic dan sepsis yang berakibat
fatal.

Mekanisme Infeksi
Bakteri antraks masuk ke dalam tubuh dalam bentuk spora, spora kemudian diserang oleh
sistem kekebalan tubuh, dalam sistem kekebalan tubuh, spora aktif dan mulai berkembang biak
dan menghasilkan dua buah racun, yaitu : Edema Toxin meupakan racun yang menyebabkan
makrofag tidak dapat melakukan fagositosis pada bakteri dan Lethal Toxin merupakan racun
yang memaksa makrofag mensekresikan TNF-alpha dan interleukin-1-beta yang menyebabkan
septic shock dan akhirnya kematian, selain itu racun ini dapat menyebabkan bocornya pembuluh
darah. Racun yang dihasilkan oleh Bacillus anthracis mengandung 3 macam protein, yaitu :
antigen pelindung, faktor edema, dan faktor mematikan. Racun memasuki sel tubuh saat antigen
pelindung berikatan dengan faktor edema dan faktor mematikan membentuk kompleks,
kompleks lalu berikatan dengan reseptor dan diendositosis. Di dalam sel faktor edema dan faktor
mematikan lepas dari endositosis.

Gejala Klinis
Pada penyakit yang berlangsung perakut domba dan sapi banyak yang mengalami
kematian dalam waktu singkat. Proses yang berlangsung perakut tersebut biasanya ditandai
dengan gejala klinis berupa hewan tiba-tiba menjadi lemah secara mendadak, demam, sesak
nafas dapat juga disertai kekejangan dan keluarnya darah dari lubang-lubang tubuh. Kematian
berlangsung dalam beberapa menit sampai beberapa hari. Beberapa penderita dapat pula
mengalami keluron dan mungkin akan mengalami pembengkakan oedematous yang lunak dan
panas pada jaringan di bawah kulit, terutama pada bagian bawah perut dan pinggang. Lesi
tersebut tidak menghasilkan suara krepitasi pada saat dilakukan palpasi, hal ini disebabkan
karena bacillus anthracis tidak membentuk gas. Pada beberapa kasus juga ditemukan adanya
tinja berdarah.
Kejadian antraks pada kuda juga memiliki gejala klinis sebagaimana disebutkan. Hewan
biasanya juga menunjukkan gejala klinis seperti kolik. Kematian dapat terjadi sehari ataupun
lebih lama bila dibandingkan dengan penyakit pada ruminansia.
Pada Babi, penyakit biasanya berlangsung lebih ringan dan berbentuk sebagai faringitis
dan bersifat subakut. Septisemia tidak ditemukan pada babi Radang yang terdapat pada kelenjar
limferegional yang bersifat septic akan menghilang secara spontan, meskipun tidak ada
pemberian antibiotika.

Terapi
Banyak hewan terserang antraks ditemukan mati atau dalam keadaan sekarat. Apabila
seekor hewan diketahui sakit, maka pengobatan dengan antibiotika akan membuahkan hasil.
Pengobatan dengan penisilin dan streptomisin dalam dosis tinggi yang diberikan 2 kali sehari
selama beberapa hari biasanya akan memberikan hasil yang baik. Demikian pula dengan
pemberian tetrasiklin yang telah terbukti efektif untuk mengobati antraks. Sebenarnya Antiserum
antraks dapat juga digunakan, namun yang menjadi kendala adalah harganya yang mahal.
Penggunaan antiserum tersebut pada waktu ini sudah sangat terbatas.

Pengendalian
Dalam suatu wabah antraks mungkin dibenarkan untuk memindahkan hewan-hewan dari
padang penggembalaan ke kandang terpisah untuk dilakukan pemeriksaan secara teliti seharihari.
Riwayat tentang vaksin antraks merupakan riwayat yang panjang dan meliputi bakteri
yang aman, namun kurang memberikan perlindungan, sampai vaksin-vaksin yang efektif namun
berbahaya. Vaksin yang sekarang banyak digunakan dalah vaksin spora avirulen dari Stern yang
memiliki keamanan dan efektivitas tinggi. Vaksin tersebut dipersiapkan dari bakteri antraks yang
tidak memiliki selubung. Vaksin teersebut merupakan vaksin hidup, sehingga pada pemberiannya
tidak boleh dikombinasikan dengan pemberian antibiotika. Di daerah yang biasa terjadi penyakit
antraks vaksinasi tahunan perlu diberikan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pengetahun mengenai B. antrachis, penyebab anthrax, sudah makin banyak diketahui
mulai dari racun penyebabnya sampai kepada genom bakteri tersebut. Dapat diketahui, penyakit
ini bukanlah penyakit ini yang sangat menakutkan seperti AIDS misalnya, karena
dapat disembuhkan. Bila gejala awal segera ditangani, dapat diharapkan kesembuhan total.
Deteksi awal, khususnya seperti dalam "inhaled anthrax", sedang menjadi perhatian khususnya
sejak munculnya bioterorisme baru-baru ini. Tentunya yang paling penting adalah segala
tindakan pencegahan, seperti menghindari daging hewan tertular.

DAFTAR PUSTAKA
-

http://en.wikipedia.org/wiki/Bacillus_anthracis
http://www.google.co.id/search?
q=BACILLUS+ANTRAXIS&hl=id&sa=X&prmd=imvns&tbm=isch&tbo=u&source=univ&ei=
pSToTsH6AcerrAe-0biuBw&ved=0CEgQsAQ&biw=1366&bih=704

AVIAN INFLUENZA

LEARNING
1. PENYAKIT INFLUENZA, MELIPUTI;
ETIOLOGI

PATOGENESIS

GEJALA KLINIS

DIAGNOSIS

DIFFERENSIAL DIAGNOSA

PENGENDALIAN & PENCEGAHAN

OBJECTIVE

Penyakit
Influenza,
Meliputi;
Etiologi
Flu Burung adalah influenza pada unggas yang disebabkan oleh virus Avian Influenza
(AI) dari famili Orthomyxoviridae. Virus AI terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda,
yaitu A, B dan C, juga mempunyai sub-tipe yang dibagi berdasarkan permukaannya
yaitu Hemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA), yang terbagi menjadi 16 sub-tipe H
dan 9 sub-tipe N. Virion menciri dari virus influenza A adalah membulat dan berdiameter
100 nm tetapi lebih sering ditemukan bentuk yang lebih besar dan tidak beraturan.
Terdapat 8 protein virion, lima darinya merupakan protein struktural dan 3 berkaitan
dengan polimerase RNA. Terdapat 2 jenis polimer, molekul hemaglutinin (H) bentuk
batang, yang merupakan trimer dan molekul neuramidase (N) bentuk jamur yang

merupakan tetramer. Kedua molekul H dan N itu merupakan lipoprotein dan membawa
epitop
khusus-subtipe
(Nazaruddin.,
2008).
Sifat Virus avian influenza adalah dapat meng-hemaglutinasi sel darah merah unggas,
virus influenza ini dapat bertahan hidup pada di air sampai 4 hari pada suhu 220C dan
lebih dari 30 hari pada suhu 00C. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang
sakit dapat bertahan lebih lama. Namun, virus ini sensitif terhadap panas pada suhu
560C selama 3 jam atau 600C selama 30 menit, suasana asam pada pH 3
(Nazaruddin.,
2008).
Hospes; Virus influenza H5N1 pada awalnya diperkirakan menyebar melalui burungburung liar yang secara periodik melakukan migrasi pada setiap perubahan musim.
Virus kemudian menular ke peternakan unggas. Pada awalnya virus itu hanya mampu
menginfeksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat pada sejumlah besar
unggas
(Nazaruddin.,
2008).
Schematic
representation
of
influenza
http://www.vetscite.org/publish/articles/000041/print.html

virus.

Genom virus influenza A dan B terdiri dari 8 segmen terpisah ditutupi oleh protein
nukleokapsid. Bersama-sama membuat ribonukleoprotein (RNP), dan tiap segmen
memiliki kode untuk protein fungsional yang penting;
1.
Polymerase protein B2 (PB2)
2.

Polymerase Protein B1 (PB1)

3.

Polymerase protein (PA)

4.

Haemagglutinin (H atau HA)

5.

Protein nukleokapsid (NP)

6.

Neuraminidase (N atau NA)

7.
Protein matriks (M); M1 memebangun matriks hanya dalam virus influenza A, M2
berfungsi sebagai pompa saluran ion untuk menurunkan atau mempertahankan
endosom
8.

Protein non-struktural (NS); Fungsi NS2 adalah hipotetis (Kamps.,et all. 2007).

Polymerase RNA-RNA aktif, yang bertanggung jawab untuk replikasi dan transkripsi,
dibentuk dari PB2, PB1, dan PA. polymerase tersebut memiliki aktivitas endonuklease
dan diikat RNP. Protein NS1 dan NS2 memiliki fungsi pengaturan untuk mendorong
sintesis komponen-komponen virus dalam sel terinfeksi (Kamps.,et all. 2007).
Selubung virus adlah dua lapis membrane lemak yang berasal dari sel produksi virus
yang mengandung penonjolan yang jelas dibentuk oleh H dan N, juga protein M2.

Lapisan lemak menutupi matriks yang dibentuk oleh protein M1. Virus influenza C
mengandung tujuh segmen genom, pemrukaannya hanya mempunyai satu glikoprotein
(Kamps.,et
all.
2007).
Patogenesis
Patogenesitas merupakan suatu interaksi antara hospes dan virus, maka suatu virus
influenza yang bersifat patogenik terhadap satu spesies unggas belum tentu bersifat
patogenik untuk spesies yang lainnya. Target jaringan atau organ suatu virus mungkin
mempengaruhi tingkat patogenesitasnya. Virus AI dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok yaitu bentuk akut yang disebut dengan Highly Pathogenic Avian Influenza
(HPAI) dan yang bentuk ringan disebut Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Virus
pada unggas yang mempunyai subtipe H5 atau H7 telah diketahui mempunyai
hubungan yang erat dengan penyakit yang bersifat patogenik, sebaliknya banyak juga
virus influenza A subtipe H5 atau H7 yang bersifat tidak patogen (Tabbu., 2000).
Cara penularan; Di alam, yang bertindak sebagai reservoir utama virus AI adalah
unggas air antara lain itik liar, dalam tubuhnya ditemukan semua subtipe yang ada dan
dapat bersembunyi pada saluran pernapasan dan saluran pencernaan dan menyebar
ke unggas lain melalui inhalasi. Penyebaran flu burung dapat melalui induk semang,
virus dapat menginfeksi segala jenis unggas, sumber penularan terutama pada waktu
unggas air yang bermigrasi dan tingkat patogennya tergantung dari subtipe virus,
spesies unggas dan faktor lingkungan. Penularan avian influenza dapat terjadi melalui
kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam yang peka. Ayam yang terinfeksi
mengeluarkan virus dari saluran pernapasan konjungtiva dan feses (Nazaruddin.,
2008).
Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung, misalnya melalui udara yang
tercemar oleh material/debu yang mengandung virus influenza, makanan/minuman,
alat/perlengkapan peternakan, kandang, pakaian, kendaraan, peti telur, nampan telur,
burung dan mamalia yang tercemar virus influenza Lalat juga mempunyai peranan
dalam menyebarkan virus AI. Tinja yang mengandung virus avian influenza dalam 1
gram dapat menginfeksi ayam sebanyak satu juta ekor (Nazaruddin., 2008).
Agen infeksi lain, faktor lingkungan/stress dapat berpengaruh pada berat/ringannya dari
suatu penyakit. Unggas yang sembuh menjadi carier, sebagai pembawa sifat (Ambar.,
2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan flu burung yaitu kepadatan
penduduk dan kepadatan unggas, virus yang bersirkulasi (H5N1), biosekuriti yang
menurun, kerentanan daya tahan tubuh manusia dan hewan (Nazaruddin., 2008).
1.
Mula- mula virion menempel pada reseptor sel tropisma melalui protein
hemaglutinin.

2.
Proses endositosis ini akan berlangsung beberapa waktu, berdasarkan
pengamatan sekitar 10 menit, proses endositosis dan pelepasan selubung telah
mencapai 50 %, proses ini sampai semua segmen RNA ke luar ke dalam sitoplasma.
3.
Segmen- segmen tersebut masuk ke dalam nucleus dan mengalami transkripsi,
untuk merubah bentuk (-)RNA menjadi (+)RNA.
4.
Sebagian segmen keluar kembali ke sitoplasma untuk mempersiapkan protein
selubung untuk dipakai oleh virus baru yang akan dihasilkan. Protein yang dimaksud
adalah HA, NA, M dan NS.
5.
Delapan segmen yang berada di inti selditambah dengan segmen RNA yang
masih tersisa di sitoplasma melakukan replikasi, yaiu perbanyakan RNA. Virus RNA
lain, replikasi di luar inri. Selama di dalam inti, AI menggunakan bahan- bahan yamg
diperlukan dari dalam inti sel inang. Proses ini yang memudahkan terjadi proses
Antigen drift dan Antigen shift.
6.
Segmen RNA yang sudah mengalami replikasi, keluar ke sitoplasma untuk
dibungkus dengan protein HA, NA, M, serta NS, menjadi anak AI yang siap dilepas dari
sel hospes. Untuk bisa keluar, virus ini harus menempel pada reseptor dalam sel
hospes. Penempelan ini dilakukan oleh protein neuroaminidase, berlangsung selama 2
jam sejak infeksi (Rahardjo., 2004).
Gejala
Klinis
Masa inkubasi virus avian influenza bervariasi antara 1-3 hari, masa inkubasi tersebut
tergantung pada dosis virus, rute kontak dan spesies unggas yang diserang. Gejala
penyakit sangat bervariasi dan tergantung pada spesies unggas terinfeksi, subtipe virus
dan
faktor
lingkungan
(Nazaruddin.,
2008).
Gejala yang terlihat dapat berbentuk gangguan pada saluran pernapasan, pencernaan,
reproduksi dan sistem saraf (Rahardjo., 2004). Gejala awal yang dilaporkan adalah
penurunan nafsu makan, emasiasi, penurunan produksi telur, gejala pernapasan seperti
batuk, bersin, menjulurkan leher, hiperlakrimasi, bulu kusam, pembengkakan (oedema)
muka dan kaki, sianosis pada daerah kulit yang tidak berbulu, gangguan saraf dan
diare. Gejala tersebut dapat berdiri sendiri atau dalam bentuk kombinasi (Nazaruddin.,
2008).
Burung puyuh yang mati menunjukkan gejala klinis, seperti kotoran putih kehijauan,
tidak nafsu makan, dan lemas. Proses kematian tidak terlalu mendadak seperti gejala
AI sebelumnya. Morbiditas dan mortalitas bervariasi dan tergantung pada spesies
unggas, virus, umur, lingkungan (kadar amoniak, ventilasi) dan adanya infeksi
sekunder. Morbiditas dapat sangat tinggi, tetapi sebaliknya mortalitas rendah. Pada
avian influenza yang disebabkan oleh virus yang sangat patogen, maka mortalitas dan
morbiditas dapat mencapai 100%. Mortalitas biasanya meningkat antara 10-50 kali dari

hari sebelumnya dan mencapai puncaknya pada hari ke-6 sampai ke-7 setelah
timbulnya
gejala
(Tabbu.,
2000).
Faktor predisposisi seperti lingkungan yang jelek, penggunaan vaksin virus hidup dan
infeksi sekunder oleh virus, bakteri serta mikoplasma dapat memperparah gejala klinis.
(Nazaruddin.,
2008).
Perubahan
Patologik
Perubahan
Makroskopik
Perubahan Makroskopik yang ditemukan pada unggas sangat bervariasi menurut lokasi
tempat lesi itu ditemukan, derajat keparahan, spesies unggas, dan patogenesitas dari
virus.
a.
Bentuk
ringan
(Low
Pathogenic
Avian
Influenza)
Pada sinus mungkin ditemukan adanya salah satu atau campuran eksudat kataralis,
fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus. Edema disertai eksudat dari serous
sampai kaseus pada trakhea. Kantong udara menebal mengandung eksudat fibrinus
atau kaseus. Pada peritoneum tampak adanya peritonitis fibrinus dan egg peritonitis.
Pada sekum dan usus ditemukan adanya enteritis kataralis sampai fibrinous (Tabbu.,
2000).
b.
Bentuk
akut
(Highly
Pathogenic
Avian
Influenza)
Apabila unggas mati dalam waktu yang singkat, maka biasanya tidak ditemukan adanya
perubahan mikroskopik tertentu oleh karena lesi pada jaringan belum sempat
berkembang Pada sejumlah kasus dapat ditemukan kongesti, hemoragi, transudasi dan
nekrosis. Jika penyakit ini melanjut, maka kerap kali akan ditemukan adanya foki
neurotik
pada
hati,
limpa,
ginjal
dan
paru
(Tabbu.,
2000).
Perubahan
mikroskopik
Lesi yang ditimbulkan oleh fowl plaque ditandai adanya edema, hyperemia, hemoragik
dan perivascular cuffing sel limfoid, terutama pada miokardium, limpa, paru, otak,
balung dan dengan frekuensi yang lebih rendah pada hati dan ginjal. Perubahan
degenerasi dan nekrosis pada hati, limpa dan ginjal. Lesi pada otak adanya foci
nekrosis, perivascular cuffing sel limfoid, gliosis, proliferasi pembuluh darah dan
nekrosis neuron. Beberapa virus avian influenza A yang bersifat sangat patogenik
kerapkali menimbulkan nekrosis miokardium dan miokarditis (Tabbu., 2000).
Diagnosis
Koleksi sampel diambil dari saluran pernapasan (trakea, paru, kantong udara, eksudat
sinus) dan saluran pencernaan (Beard., 1989). Infeksi sistemik yang disebabkan oleh
virus highly pathogenic dimana terjadi viremia, setiap organ dapat digunakan untuk
isolasi virus. Hewan laboratorium yang sering digunakan untuk penelitian adalah ayam,

kalkun, dan itik. Virus ini juga bereplikasi pada musang, kucing, hamster, tikus, kera dan
babi. Isolasi virus dapat dilakukan pada telur ayam berembrio yang SPF (Specific
Pathogen Free) umur 10-11 hari, menggunakan jaringan trachea, paru-paru, limpa,
otak, dan atau usapan kloaka ayam sakit atau mati karena virus bereplikasi di dalam
saluran respirasi dan atau saluran pencernaan, hingga embrio mati dalam 42-72 jam
(Tabbu.,
2000;
Nazaruddin.,
2008).
Pemeriksaan serologis dapat digunakan untuk mengetahui adanya pembentukan
antibodi terhadap virus avian influenza A, yang dapat diamati pada hari ke-7 sampai ke10 pasca infeksi. Uji serologi yang sering digunakan adalah uji hemaglutinasi inhibisi
(HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel
presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuramidase (N). Uji lain
untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi adalah netralisasi virus (VN),
neuraminidase-inhibition (NI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi
monoklonal, dan hibridisasi in situ. Pada kasus-kasus di lapangan sering menggunakan
teknik immunoflourescence untuk mengetahui adanya virus influenza dengan cepat
(Tabbu.,
2000).
Differensial
Diagnosa
Diagnosa banding dari virus avian Influenza adalah Newcastle Disease (ND), Pigeon
Paramyxovirus,Infectious Bronchitis (IB), Swollen Head Syndrome (SHS), Avian
Mikoplasmosis. Dari tingkat keganasannya avian Influenza mirip dengan Newcastle
Disease karena gejala klinis dan perubahan patologi anatominya sama. Avian Influenza
juga mirip dengan Infectious Laryngotracheitis (ILT) berdasarkan gejala gangguan
pernapasan dan adanya eksudat bercampur darah dalam lumen trakhea Selain itu AI
juga
mirip
dengan
penyakit
bakterial
akut
misalnya kolera dan colibacillosis (Nazaruddin.,
2008).
Pengendalian
&
Pencegahan
Avian influenza tidak dapat diobati, pemberian antibiotik/antibakteri hanya untuk
mengobati infeksi sekunder oleh bakteri atau mycoplasma. Pengobatan suportif dengan
multivitamin perlu juga dilakukan untuk proses rehabilitasi jaringan yang rusak (Tabbu.,
2000).
Tindakan pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah mencegah kontak antara
unggas dengan burung liar atau unggas liar, depopulasi atau pemusnahan terbatas di
daerah tertular, pengendalian limbah peternakan unggas, surveilans dan penelusuran,
pengisian kandang kembali atau peremajaan, penerapan kebersihan kandang,
penempatan satu umur dalam peternakan, manajemen flock all-in/all-out,
penyemprotan dengan desinfektan terhadap kandang sebelum pemasukan unggas

atau ayam baru, penerapan stamping out atau pemusnahan menyeluruh di daerah
tertular baru dalam menangani wabah HPAI untuk menghindari resiko terjadinya
penularan kepada manusia, karena bersifat zoonosis, peningkatan kesadaran
masyarakat,
serta
monitoring
dan
evaluasi
(Nazaruddin.,
2008).
Pencegahan yang lain adalah mencuci tangan dengan sabun cair pada air yang
mengalir sebelum dan sesudah melakukan suatu pekerjaan, Tiap orang yang
berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran cerna unggas harus
menggunakan pelindung (masker, kacamata khusus), Mengkonsumsi daging ayam
yang telah dimasak dengan suhu 800 C selama satu menit, telur unggas dipanaskan
dengan
suhu
640
C
selama
lima
menit
(Nazaruddin.,
2008).

DAFTAR

PUSTAKA

Kamps.; Hoffmann.; Preiser. 2007. Influenza Report. Indeks. Jakarta. Hal. 102-103
Nazaruddin.,
W.
2008. Avian
Influenza
Pada
Unggas. http://www.vetklinik.com/Perunggasan/Avian-Influenza-Pada-Unggas.html. Diakses Pada Tanggal;
2/12/2011
5:43:52
Rahardjo., Y. 2004. Avian Influenza, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan:
Hasil Investigasi Kasus Lapangan. Jakarta: PT Gallus Indonesia Utama
Tabbu., C.R. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Volume I. Kanisius. Yogyakarta.
Hal. 232-243.
Diposkan oleh andhie Risw di 03.36

Anda mungkin juga menyukai