Anda di halaman 1dari 12

LEPTOSPIROSIS

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Dasar-dasar Kesehatan Lingkungan

Oleh :

Dliya Aulia Rahman (20190301146)

Desy Herlinawati (20190301091)

Dwi Fitriyani (20190301090)

Aurelius Flabianus Ganu (20190301168)

Nurazmi Arofah (20190301148)

Nuralfiani Azizah (20190301149)

Atikah (20190301199)

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

2020

0
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Kesehatan merupakan hak dari setiap orang. Hal ini tercantum jelas dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Menurut Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hal inilah yang di inginkan oleh setiap
orang agar memiliki keadaan yang sehat selalu. Namun kenyataannya masyarakat di
dunia ini terkhususnya di Indonesia masih sangat jauh dari keadaan sehat itu. Masalah
kesehatan sering terjadi. Masalah kesehatan yang terjadi pada masyarakat sangatlah
beragam. Ada yang terkena penyakit seperti Difteri, Pertusis, kanker, DBD, malaria,
frambusia, leptospirosis dan lain sebagainya.
Adapun penyakit dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu penyakit menular
dan penyakit tidak menular. Penyakit tidak menular adalah suatu gangguan pada bentuk
dan fungsi tubuh sehingga tubuh berada dalam keadaan abnormal dimana penyebab
dari penyakit tersebut tidak dapat ditularkan ke orang lain, misalnya stroke. Sedangkan
penyakit menular adalah suatu gangguan pada bentuk dan fungsi tubuh sehingga tubuh
berada dalam keadaan abnormal dimana penyebab dari penyakit tersebut dapat
ditularkan ke orang lain, misalnya penyakit leptospirosis.
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira
yang berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia. Leptospirosis juga dikenal
dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan
banjir. Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama demam
icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam Canicola,
penyakit Swineherd, demam rawa.
Menurut International Leptospirosis Society (ILS) Indonesia merupakan negara
peringkat 3 insiden leptospirosis di dunia untuk mortalitas, dengan mortalitas mencapai
2,5%-16,45 %.1 Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%. Penderita
leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati),
risiko kematian akan lebih tinggi. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan

1
antara 3%-54% tergantung dari sistem organ yang terinfeksi. Daerah persebaran di
Indonesia yaitu di daerah dataran rendah dan perkotaan seperti Pulau Jawa, Sumatra,
Kalimantan dan Sulawesi.
Berdasarkan masalah diatas maka kelompok tertarik untuk membahas lebih
dalam lagi mengenai penyakit penyakit leptospirosis ini.

1.2. Rumusan Masalah


Beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain
sebagai berikut:
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan leptospirosis?
1.2.2. Bagaimanakah riwayat alamiah leptospirosis?
1.2.3. Bagaimanakah upaya pencegahan leptospirosis?
1.2.4. Bagaimanakah faktor simpul leptospirosis?
1.2.5. Bagaimanakah cara diagnosa leptospirosis?

1.3. Tujuan Penulisan


Beberapa tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari leptospirosis.
1.3.2. Untuk mengetahui riwayat alamiah leptospirosis.
1.3.3. Untuk mengetahui upaya pencegahan leptospirosis.
1.3.4. Untuk mengetahui faktor simpul leptospirosis.
1.3.5. Untuk mengetahui cara diagnosa leptospirosis.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Leptospirosis


Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang menginfeksi manusia dan hewan
yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira sp. Penyakit ini dikenal juga dengan nama
swineherd’s, demam pesawah (rice-field fever), demam pematang tebu, demam lumpur,
jaundis berdarah, penyakit stuttgant, atau demam canicola. Ada juga yang menyebut
demam Icterohemorrhage sehingga biasa juga disebut penyakit kuning non-virus .

2.2. Riwayat alamiah leptospirosis


2.3.1 Fase Prepatogenesis
Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput
lendir (mucous membrane) misalnya, konjuktiva (mata) karena kecipratan selaput
lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau cemaran oleh keluaran
urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar
oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban terinfeksi bakteri Leptospira ini,
maka segeralah mikroorganisme ini merasuk ke dalam jaringan tubuh penderita.

2.3.2 Fase subklinis / fase inkubasi


Masa Inkubasi leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari. Infeksi
leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa
gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa.

2.3.3 Fase penyakit dini


Pada fase ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari,
ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit
tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya,
gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan
hati. Selain itu ada juga gejala lain seperti malaise, rasa nyeri otot betis dan
punggung.

3
2.3.4 Fase penyakit lanjut
Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata
atau ginjal dan Terbentuk anti bodi di dalam tubuh penderita .Gejala yang timbul
lebih bervariasi dibandingkan dengan fase penyakit dini. Apabila demam dengan
gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi meningitis. Jika yang diserang
adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala.
pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan
tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit
bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa
(splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis.
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis
Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal,
nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan Kondisi ini terjadi
pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap
waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi
paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas
Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal
Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan
kolap kardiovaskular.

2.3.5. Fase terminal


Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul dapat
memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Leptospira hidup
dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan kuman tersebut akan
dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama. Kematian terjadi
karena septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati karena terjadinya uremia.
Beberapa kasus menyatakan penderita dapat sembuh setelah pemberian antibiotik
Penicillin G.

2.3. Upaya pencegahan


Dalam kegiatan upaya penanggulangan leptospirosis dilakukan beberapa kegiatan
pokok pengendalian sebagai berikut :

4
2.3.1 Upaya pencegahan primordial
Upaya pencegahan primordial dimaksudkan untuk mencegah leptospirosis pada
fase prepatogenesis. Yaitu dilakukan dengan cara advokasi dan sosialisasi.
Advokasi dan sosialisasi merupakan kegiatan penting dalam upaya untuk
mendapatkan dukungan dan komitmen politis dan kesadaran semua pihak
pengambil keputusan disuatu daerah/wilayah dan seluruh masyarakat dalam
upaya pengendalian Leptospirosis didaerah endemis dan daerah terancam yang
mempunyai potensi timbulnya penularan leptospirosis.

2.3.2 Upaya pencegahan primer


Upaya pencegahan primer adalah perlindungan terhadap orang sehat agar
terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, dan proteksi
spesifik dengan cara vaksinasi

2.3.3 Upaya pencegahan sekunder


Upaya pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit
Leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang
nantinya akan menyebabkan kematian.

2.3.4 Upaya pencegahan tersier


Upaya pencegahan tersier dilakukan dengan melakukan rehabilitasi dan terapi
suportif penderita leptospirosis.

2.4 Faktor simpul leptospirosis


2.4.1 Simpul 1 : Agent / sumber penyebab penyakit
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral,
tipis, lentur dengan panjang 10-20 urn dan tebal 0,1 urn serta memiliki dua lapis
membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagelum periplasmik.
Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya.
Bentuk dan gerakannya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau
mikroskop fase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di
dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut, air
selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat

5
Bakteri ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili Leptospiracea genus
Leptospira leptospira. Leptospira dapat tumbuh di dalam media dasar yang
diperkaya dengan vitamin, asam lemak rantai panjang sebagai sumber karbon dan
garam amonium; tumbuh optimal pada suhu 28-30°C dalam kondisi obligat aerob
Sistem penggolongan Leptospira yang tradisional genus Leptospira dibagi
menjadi dua yaitu L. interrogans yang patogen dan L. biflexa yang nonpatogen . L.
interrogans dibagi menjadi serogrup dan serovar berdasarkan antigen. Klasifikasi
terbaru dari Leptospira yaitu L. interrogans dibagi menjadi 7 spesies yaitu L.
interrogans, L. weilii, L. santarosai, L . noguchii, L. borgpetersenii, L. inadai, L.
kirschneri dan 5 spesies yang tidak bertitel yaitu spesies 1, 2, 3, 4, dan 5. L. biflexa
dibagi menjadi 5 spesies barn

2.4.2 Simpul dua : media transmisi


Manusia dapat terinfeksi Leptospirosis karena kontak secara lansung atau
tidak langsung dengan urin hewan yang terinfeksi Leptospira.
2.4.2.1 Penularan Langsung :
2.4.2.1.1 Melalui darah, Urin atau cairan tubuh lain yang mengandung
kuman Leptospira masuk kedalam tubuh manusia
2.4.2.1.2 Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan,
terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ
tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang
yang tertular dari hewan peliharaanya
2.4.2.1.3 Dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi melalui
hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu

6
2.4.2 Penularan tidak lansung Terjadi melalui genangan air, sungai, danau,
selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.

2.4.3 Simpul tiga : penjamu / host


Host (Pejamu) adalah manusia atau makhluk hidup lainnya termasuk burung
arthopoda, yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit.
Host juga merupakan semua faktor yang terdapat pada manusia yang dapat
mempengaruhi timbulnya suatu perjalanan penyakit. Beberapa hewan lain seperti
sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirasis, tetapi
potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus. Setelah Leptospirosis
menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasanya
dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau
organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan
beberapa tahun. Adapun Karakteristik dari host manusia antara lain :
2.4.3.1. Umur
Penyakit leptospirosis jarang terjadi pada bayi dan anak remaja karena
kenyataannya mereka paling sedikit terpapar. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa diakibatkan pekerjaannya yang lebih
banyak terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang
terkontaminasi. Umur yang biasa terjangkit penyakit ini adalah usia
produktif. Hal ini disebabkan pada umur tersebut penderita banyak aktif
di lapangan pekerjaan. Umur yang paling banyak adalah antara 40-60
tahun.
Mortalitas tertinggi ditemukan pada pasien usia lanjut dan pada mereka
yang menderita sindrom Weil. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian
bisa mencapai 56 % yang disertai selaput mata berwarna kuning
(kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi.
2.4.3.2. Jenis kelamin
Jenis kelamin yang sering terkena leptospirosis adalah laki-laki, dimana
rasio laki-laki dan wanita bervariasi antara 2-4: 1. Laki-laki memiliki
resiko yang lebih besar untuk terinfeksi leptospirosis. Hal ini diakibatkan
karena laki-laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh hewan yang

7
terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Laki-laki memiliki risiko
terkena leptospirosis sebesar 3,59 kali dibandingkan perempuan.
2.4.3.3. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan faktor resiko yang penting pada manusia.
Kelompok yang beresiko adalah petani atau pekerja di sawah,
perkebunan tebu, tambang, rumah potong hewan, perawat hewan, dokter
hewan atau orang-orang yang berhubungan dengan perairan, lumpur dan
hewan baik hewan peliharaan ataupun satwa liar. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Agus Priyanto, pekerjaan berisiko mempunyai risiko
17,36 kali terkena leptospirosis. Seperti petani dan nelayan sehingga
selalu kontak dengan air/badan air serta pekerjaan yang sangat
berhubungan dengan hewan.
2.4.3.4. Tingkah Laku
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa perilaku yang buruk merupakan
resiko timbulnya leptospirosis terlihat bahwa perilaku yang buruk
mempunyai peluang 1,36 kali terkena leptospirosis dibandingkan dengan
perilaku yang baik. Hal ini disebabkan penderita leptospirosis w
menggunakan sumber air bersih yang telah tercemar dengan bakteri
leptospirosis atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki, tangan, dan
tubuh lainnya tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan air yang
tergenang dan telah terkontaminasi dengan bakteri leptospirosis.
2.4.3.5. Pendidikan
Pendidikan responden yang rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi
terhadap kejadian leptopirosis dibandingan dengan pengetahuan tinggi.
Pengetahuan yang rendah sangat berhubungan dengan kejadian
leptospirosis, berdasarkan hasil penelitian membuktikan bahwa
pengetahuan indivudu yang rendah beresiko 17,7 kali terkena
leptospirosis dibandingkan dengan individu yang berpengetahuan tinggi.

2.4.4 Simpul empat : efek / outcome


Mortalitas pada penderita leptospirosis berat sekitar 10 %, kematian paling
sering diakibatkan oleh gagal ginjal dan pendarahan masif. Fungsi hati akan
kembali normal seelah pengobatan akan kembali normal meskipun teradi pada

8
disfungsi berat. Sekitar sepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik dapat
mengalami nyeri kepala yang periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis
leptospirosis mengalami kehilangan ketajaman penglihatan dan pandangan yang
kabur.

2.5. Diagnosa Leptospirosis


Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah
riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang. Sebagai diagnosa penunjang
antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah. Pemeriksaan urin sangat
bermanfaat untuk mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam
urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga. Cairan tubuh lainnya
yang mengandung leptospira adalah darah, serebrospinal tetapi rentang peluang untuk
isolasi bakteri sangat pendek.
Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau
cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, jaringan otot, jaringan kulit dan mata.
Namun isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan.
Untuk mengukuhkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis.
Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis
kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap
umumnya tidak sensitive.
Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis yaitu Microscopic
agglutination test (MAT). Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk
mengaglutinasi bakteri Leptospira yang hidup. Namun, MAT tidak dapat digubakan
secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan
gejala klinis yang parah. Selain itu, diagnosis juga dapat dilakukan melalui pengamatan
bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunoflorese

9
BAB III
PENUTUP

3.1. kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang menginfeksi manusia dan hewan
yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira sp. Penyakit ini dikenal juga dengan nama
swineherd’s, demam pesawah (rice-field fever), demam pematang tebu, demam lumpur,
jaundis berdarah, penyakit stuttgant, atau demam canicola. Ada juga yang menyebut
demam Icterohemorrhage sehingga biasa juga disebut penyakit kuning non-virus .
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral, tipis,
lentur dengan panjang 10-20 urn dan tebal 0,1 urn serta memiliki dua lapis membran.
Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagelum periplasmik. Bergerak aktif maju
mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya. Bentuk dan gerakannya dapat
dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras. Leptospira peka
terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan,
tetapi di dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat .
Riwayat alamiah penyakit leptospirosis melalui lima fase, yaitu : fase
prepatogenesis, fase subklinis / fase inkubasi, fase penyakit dini, fase penyakit lanjut
dan fase terminal.
Pencegahan pada penyakit leptospira melalui 4 upaya, yaitu upaya pencegahan
primordial, upaya pencegahan primer, upaya pencegahan sekunder dan upaya
pencegahan tersier.
Teori paradigma kesehatan lingkungan atau teori sampul penyakit leptospira
adalah sebagai berikut:
3.1.1 Simpul 1 : Agent / sumber penyebab penyakit penyakit ini adalah bakteri
Leptospira interrogans
3.1.2 Simpul 2 : media transmisi leptospirosis dapat melalui penularan langsung dan
tidak langsung
3.1.3 Simpul 3 : penjamu / host leptospirosis adalah manusia dan burung
3.1.4 Simpul 4 : efek / outcome dari leptospirosis adalah meninggal, cacat dan sembuh
Diagnosa leptospirosis dilakukan diagnosa penunjang antara lain dapat dilakukan
pemeriksaan urin dan darah.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Petunjuk teknis pengendalian


leptospirosis. Jakarta : Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
2. Bobby setiadi, Andi Setiawan, Sri Rezeki. 2001. Leptospirosis. Jakarta
3. NHS Choices UK (2017). Health A-Z. Leptospirosis (Weil’s Disease)
4. Tidy, C. Patient (2018). Leptospirosis and Weil’s Disease.
WebMD (2017). What is Leptospirosis?

11

Anda mungkin juga menyukai