Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PATOLOGI NEUROMUSKULER

“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS ALZHEIMER”

Disusun oleh:

Nama :Khumairo Hardiyanti Rukmana

NIM : 201140100002

PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Kepada-Nya kita
memuji dan bersyukur, serta memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya pula kita
memohon perlindungan dari keburukan diri dan syaiton yang selalu menghembuskan
kebatilan pada diri kita.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik berupa jasmani maupun rohani, sehingga mampu menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas dari mata kuliah Patologi Neuromuskuler dengan judul “Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Kasus Alzheimer”. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terimakasih.

Sidoarjo, 8 Juni 2021

Khumairo Hardiyanti R.
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................

1.1 Latar belakang ........................................................................................................ 4

1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................................... 4

1.3 Manfaat Penulisan .................................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ..................................................................................................................... 5

2.2 Epidemiologi ............................................................................................................ 6

2.3 Etiologi ..................................................................................................................... 8

2.4 Patofisiologi ........................................................................................................... 11

2.5 Tanda dan Gejala.................................................................................................. 15

2.6 Manisfestasi Klinis ................................................................................................ 18

2.7 Diagnosis ................................................................................................................ 20

2.8 Penatalaksananaan ............................................................................................... 26

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 27

3.2 Saran ...................................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 28


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses degenerasi
yang tidak dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan mengalami
degenerasi. Dari aspek medik, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya
dengan masalah yang terdapat pada penyakit kronis lainnya. Ilmu kedokteran dan
kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Seseorang
yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup.
Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi
lingkungannya, tidak mandiri lagi. Demensia adalah hilangnya fungsi kognisi secara
multidimensional dan terus-menerus, disebabkan oleh kerusakan organik system saraf
pusat, tidak disertai oleh penurunan kesadaran akut seperti halnya yang terjadi pada
delirium, Jenis-jenis demensia yaitu demensia Alzheimer, demensia vascular, demensia
karena kondisi medik umum lainnya.

Alzheimer'Penyakit s (AD) adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang paling


sering ditandai dengan gangguan memori awal dan penurunan kognitif yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi perilaku, ucapan, orientasi visuospasial dan sistem
motorik, dan merupakan bentuk paling umum dari demensia.

Gejala khas demensia adalah kesulitan dengan memori, bahasa, problem solving dan
keterampilan kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan
aktivitas sehari-hari.Gangguan ini terjadi karena sel saraf (neuron) di bagian otak yang
terlibat pada fungi kognitif telah rusak atau hancur. Pada penyakit Alzheimer, terjadi
kerusakan pada otak termasuk yang memungkinkan seseorang untuk melakukan fungsi
tubuh dasar seperti berjalan dan menelan. Orang-orang pada tahap akhir penyakit ini
bahkan tidak dapat beranjak dari tempat tidur dan membutuhkan perawatan maksimal.
Penyakit Alzheimer pada akhirnya dapat berakibat kematian.

Demensia telah menjadi beban sosial, ekonomi dan kesehatan bagi Negara-negara
Asia Timur (Menkes RI, 2016). Demensia merupakan suatu sindrom penurunan fungsi
kognitif yang disertai dengan hilangnya kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari
(Wu et al., 2015). Berdasarkan laporan WHO (World Health Organization) tahun 2012,
prevalensi demensia di dunia diperkirakan mencapai 35 juta orang. Jumlah ini hampir
meliputi seperempat jumlah penduduk di Asia Timur dan diperkirakan terjadi
peningkatan jumlah sebanyak 2 kali lipat setiap 20 tahun (Wu et al., 2015). Saat ini
diperkirakan setiap detik dapat ditemukan tujuh kasus demensia baru di dunia, dan
sebagian besar orang dengan demensia ini tinggal di negara dengan pendapatan rendah
dan menengah termasuk Indonesia (Perdossi, 2015). Salah satu bentuk demensia yang
sering ditemukan adalah Alzheimer (Ellison, 2015; Perdossi, 2015).

Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degenerative serta


meningkatnya usia harapan hidup hampir di seluruh dunia. Studi prevalensi
menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun presentase
orang dengan penyakit Alzheimer meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur 5
tahun.Sebagian besar 10% dari semua orang yang berusia di atas 70 tahun mempunyai
kehilangan memori yang signifikan dan lebih dari setengahnya disebabkan oleh Penyakit
Alzheimer. Diestimasikan total pengeluaran untuk perawatan pasien Alzheimer adalah
>$50.000. Penyakit Alzheimer dapat terjadi pada setiap dekade dewasa, tetapi penyakit
ini merupakan penyebab utama demensia pada lanjut usia. Penyakit Alzheimer lebih
sering dengan gambaran hilang ingatan yang lambat diikuti oleh demensia dengan
progresifitas yang lambat dalam beberapa tahun(2,3).

Penyakit Alzheimer merupakan sebuah kelainan otak yang bersifat irreversible dan
progresif yang terkait dengan perubahan sel-sel saraf sehingga menyebabkan kematian
sel otak. Penyakit Alzheimer terjadi secara bertahap, dan bukan merupakan bagian dari
proses penuaan normal dan merupakan penyebab paling umum dari demensia. Demensia
merupakan kehilangan fungsi intelektual, seperti berpikir, mengingat, dan berlogika,
yang cukup parah untuk mengganggu aktifitas sehari-hari.Demensia bukan merupakan
sebuah penyakit, melainkan sebuah kumpulan gejala yang menyertai penyakit atau
kondisi tertentu. Gejala dari demensia juga dapat termasuk perubahan kepribadian,
mood, dan perilaku.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Memahami prevelensi global Alzheimer
2. Memahami patofisiologi Alzheimer
3. Memahami etiologi Alzheimer
4. Memahami manisfestasi klinis pada Alzhiemer
5. Memahami penegakan diagnosis Alzheimer
6. Memahami penatalaksanaan Fisioterapi pada Alzheimer

1.3 Manfaat Penulisan


1. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi sebuah penyakit
2. Mahasiswa mampu melakukan asuhan fisioterapi pada kasus Alzheimer
3. Mahasiswa mampu melakukan analisis terhadap sebuah kasus
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Alzheimer adalah penyakit progresif, bertahap dari waktu ke waktu dan menyebabkan
lebih banyak bagian otak yang rusak. Karena itulah gejala yang muncul menjadi lebih
parah. Alzheimer merupakan penurunan fungsi otak, terutama emosi, daya ingat dan
pengambilan keputusan disebut dengan PA (Menkes RI, 2016). Penyakit Alzheimer
umumnya mengenai lansia berusia > 65 tahun (Perdossi, 2015).
Dr. Alois Alzheimer adalah orang yang pertamakali menemukan penyakit ini maka
dari itu penyakit pengecilan otak ini diberi nama ALzheimer. dokter yang merupakan
berkebangsaan Jerman ini yang pertama kali menemukan penyakit ini pada tahun 1906.
Dr. Alzheimer memperhatikan adanya perubahan jaringan otak pada wanita yang
meninggal akibat gangguan mental yang belum pernah ditemui sebelumnya. Hasil
pengamatan dari bedah, Alzheimer mendapati saraf otak tersebut bukan saja mengerut,
bahkan dipenuhi dengan sedimen protein yang disebut plak amiloid dan serat yang
berbelit-belit neuro fibrillary. Meskipun penyakit ini ditemukan hampir satu abad yang
lalu, ia tidak sepopuler penyakit lain, seperti sakit jantung, hipertensi, Sindrom Pernafasen
Akut Parah (SARS) dan sebagainya
Selama berjalannya waktu penyakit protein plak dan serat yang berbelit berkembang
dalam struktur otak yang menyebabkan kematian sel-sel otak. Orang dengan Alzheimer
juga memiliki kekurangan beberapa bahan kimia penting dalam otak mereka. Bahan kimia
ini terlibat dengan pengiriman pesan dalam otak.
Penyakit Alzheimer mempunyai gejala klinis berupa gangguan kognisi secara
progresif, diantaranya berupa gangguan penilaian (judgement), kesulitan dalam
mengambil suatu keputusan, gangguan orientasi (spatial orientation). Apabila penyakit
Alzheimer tidak diterapi, maka proses selanjutnya terjadi gangguan psychobehavioural,
misalnya gangguan berbahasa (Galimberti & Scarpiniet, 2012).

2.2 Epidemologi
Hal yang terpenting yang merupakan faktor resiko dari penyakit Alzheimer adalah
umur yang tua dan positive pada riwayat penyakit keluarga. Frekuensi dari penyakit
Alzheimer akan meningkat seiring bertambahnya dekade dewasa. Mencapai sekitar 20-
40% dari populasi lebih dari 85 tahun. Wanita merupakan faktor resiko gender yang
lebih beresiko terutama wanita usia lanjut. Lebih dari 35 juta orang di dunia, 5,5 juta di
Amerika Serikat yang mengalami penyakit Alzheimer, penurunan ingatan dan gangguan
kognitif lainnya dapat mengarahkan pada kematian sekitar 3 – 9 tahun ke setelah
didiagnosis. Penyakit Alzheimer merupakan jenis yang terbanyak dari demensia,
dihitung berdasarkan 50 – 56 % kasus dari autopsy dan kasus klinis. Insiden dari
penyakit ini dua kali lipat setiap 5 tahun setelah usia 65 tahun, dengan diagnosis baru
1275 kasus per tahun per 100.000 orang lebih tua dari 65 tahun. Kebanyakan orang-
orang dengan penyakit Alzheimer merupakan wanita dan berkulit putih. Karena sangat
dihubungkan dengan usia, dan wanita mempunyai ekspektasi kehidupan yang lebih
panjang dari pria, maka wanita menyumbangkan sebesar 2/3 dari total orang tua dengan
penyakit ini (2,4,5).

2.3 Etilogi
2.3.1 Etiologi Klinis
Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksidasi logam,
gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industry, trauma, neurotrasnmiter,
deficit formasi sel-sel filament, prediposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit
Alzheimer terdiri dari degenaratif neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang
mengakibatkan gangguan fungsi dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya
difisiensi factor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif
neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerative yang diakibatkan oleh
adanya peningkatan kalsiun intaseluler, kegagalan metabolism energy, adanya formasi
radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa peran factor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana factor lingkungan
hanya sebagai pencetus factor genetika.
Meskipun Penyebab Alzheimer disease belum diketahui, sejumlah faktor yang saat
ini berhasil diidentiifikasi yang tampaknya berperan besar dalam timbulnya penyakit ini.
1. Faktor genetik berperan dalam timbulnya Alzheimer Disease pada beberapa kasus,
seperti dibuktikan adanya kasus familial. Penelitian terhadap kasus familial telah
memberikan pemahaman signifikan tentang patogenesis alzheimer disease familial, dan
,mungkin sporadik. Mutasi di paling sedikit empat lokus genetik dilaporkan berkaitan
secara eksklusif dengan AD familial. Berdasarkan keterkaitan antara trisomi 21 dan
kelainan mirip AP di otak yang sudah lama diketahui, mungkin tidaklah mengherankan
bahwa mutasi pertama yang berhasil diidentifikasi adalah suatu lokus di kromosom 21
yang sekarang diketahui mengkode sebuah protein yang dikenal sebagai protein
prekursor amiloid (APP). APP merupakan sumber endapan amiloid yang ditemukan di
berbagai tempat di dalam otak pasien yang menderita Alzheimer disease. Mutasi dari
dua gen lain, yang disebut presenilin 1 dan presenilin 2, yang masing- masing terletak
di kromosom 14 dan 1 tampaknya lebih berperan pada AD familial terutama kasus
dengan onset dini.
2. Pengendapan suatu bentuk amiloid, yang berasal dari penguraian APP merupakan
gambaran yang konsisten pada Alzheimer disease. Produk penguraian tersebut yang
dikenal sebagai β- amiloid (Aβ) adalah komponen utama plak senilis yang ditemukan
pada otak pasien Alzheimer disease, dan biasanya juga terdapat di dalam pembuluh
darah otak.
3. Hiperfosforilisasi protein tau merupakan keping lain teka-teki Alzheimer disease. Tau
adalah suatu protein intra sel yang terlibat dalam pembentukan mikrotubulus intra
akson. Selain pengendapan amiloid, kelainan sitoskeleton merupakan gambaran yang
selalu ditemukan pada AD. Kelainan ini berkaitan dengan penimbunan bentuk
hiperfosforilasi tau, yang keberadaanya mungkin menggaggu pemeliharaan
mikrotubulus normal.
4. Ekspresi alel spesifik apoprotein E (ApoE) dapat dibuktikan pada AD sporadik dan
familial. Diperkirakan ApoE mungkin berperan dalam penyaluran dan pengolahan
molekul APP. ApoE yang mengandung alel ε4 dilaporkan mengikat Aβ lebih baik
daripada bentuk lain ApoE, dan oleh karena itu, bentuk ini mungkin ikut meningkatkan
pembentukan fibril amiloid.
2.3.2 Fakor resiko
Alzheimer diduga terjadi karena penumpukan protein beta-amyloid yang
menyebabkan plak pada jaringan otak. Secara normal, beta-amyloid tidak akan
membentuk plak yang dapat menyebabkan gangguan sistem kerja saraf pada otak.
Namun, karena terjadi misfolding protein, plak dapat menstimulasi kematian sel saraf.
Para ahli percaya bahwa Alzheimer, seperti penyakit kronis umum lainnya,
berkembang sebagai akibat dari beberapa faktor.
Penyebab ataupun faktor yang menyebabkan seseorang menderita penyakit
Alzheimer antara lain sebagai berikut:
1. Usia
Faktor risiko terbesar untuk penyakit Alzheimer adalah usia. Kebanyakan
orang dengan penyakit Alzheimer didiagnosis pada usia 65 tahun atau lebih tua.
Orang muda kurang dari 65 tahun juga dapat terkena penyakit ini, meskipun hal ini
jauh lebih jarang. Sementara usia adalah faktor risiko terbesar.
2. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluarga yang memiliki orangtua, saudara atau
saudari dengan Alzheimer lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit
daripada mereka yang tidak memiliki kerabat dengan Alzheimer's. Faktor
keturunan (genetika), bersama faktor lingkungan dan gaya hidup, atau keduanya
dapat menjadi penyebabnya.
3. Pendidikan dan Pekerjaan
Beberapa ilmuwan percaya faktor lain dapat berkontribusi atau menjelaskan
peningkatan risiko demensia di antara mereka dengan pendidikan yang rendah. Hal
ini cenderung memiliki pekerjaan yang kurang melatih rangsangan otak. Selain itu,
pencapaian pendidikan yang lebih rendah dapat mencerminkan status sosial
ekonomirendah, yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami gizi
buruk dan mengurangi kemampuan seseorang untuk membayar biaya perawatan
kesehatan atau mendapatkan perawatan yang disarankan.
4. Traumatic Brain Injury (TBI)
Trauma Cedera Otak sedang dan berat meningkatkan risiko perkembangan
penyakit Alzheimer. Trauma Cedera Otak adalah gangguan fungsi otak yang
normal yang disebabkan oleh pukulan atau tersentak ke kepala atau penetrasi
tengkorak oleh benda asing, juga dapat didefinisikan sebagai cedera kepala yang
mengakibatkan hilangnya kesadaran. Trauma Cedera Otak dikaitkan dengan dua
kali risiko mengembangkan Alzheimer dan demensia lainnya dibandingkan dengan
tidak ada cedera kepala. (Alzheimer‟s Association, 2015).

2.4 Patologi Alzheimer


Neuropatogenesis penyakit Alzheimer, berupa dua tanda major, yaitu plak amyloid
beta (Aβ) pada ekstraseluler dan kerusakan struktur neurofibrilar (NFTs) pada
intraseluler. Yang paling dominan adalah produksi Aβ yang menghasilkan banyak sekali
peptida melalui amyloid precursor protein (APP). Pada penyakit Alzheimer produksi Aβ
sangat berlebih/ overexpressed, yang lebih dikenal sebagai senile plaques (SP)
(Galimberti & Scarpiniet, 2012). Terjadinya deposit protein Aβ diluar neuron (sel otak)
secara bertahap akan merusak sinaps untuk menerima dan komunikasi informasi antar
neuron (Miller, et al., 2011).
Tahap berikutnya NFTs terdiri dari protein Tau. Protein Tau adalah komponen dari
mikrotubulus yang berfungsi sebagai pendukung struktur dari sel yang berguna untuk
transport bahan makanan dan bahan-bahan yang lain, juga untuk transport bahan-bahan
dari mitokondria dan kromosom di dalam sel, juga berfungsi untuk menstabilkan
pertumbuhan akson-akson yang sangat penting untuk perkembangan dan pertumbuhan
saraf.
Pada penyakit Alzheimer, protein Tau menjadi abnormal (hyperphosphorylated)
dan membentuk fibril yang tidak menyerap air (insoluble), fibril tersebut mengendap di
dalam sel (Galimberti & Scarpiniet, 2012). Protein Tau akan terkumpul di dalam neuron,
lalu masuk di antara sel-sel normal dan bersifat mematikan sel-sel tersebut, terutama
pada area-area yang bertanggung jawab terhadap fungsi memori, bahasa, dan
kemampuan berpikir (Miller, et al., 2011). Terdapat banyak pendapat lain tentang
patogenesis penyakit Alzheimer, diantaranya adalah tumpang tindih formasi antara plak
Aβ dan NFTs, adanya proses inflamasi, terjadi gangguan oksidasi, terdapat deregulasi zat
besi, terjadi gangguan fungsi dari mitokondria dan adanya hipotesis tentang „amyloid-
independent‟. Selain itu, dilaporkan munculnya penyakit Alzheimer yang disebabkan
oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan, sebesar kira-kira 95% dari keseluruhan
kasus (Galimberti & Scarpiniet, 2012). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
dementia antara lain trauma kepala, hipertensi, diabetes, obesitas, sedangkan yang
menghambat dementia adalah aktivitas fisik dan hubungan sosial yang baik (Miller, et
al., 2011).

2.5 Tanda dan Gejala


2.5.1 Tanda Klinik
Perubahan mental penderita Alzheimer sangat perlahan-lahan, sehingga pasien dan
keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat
beberapa stadium perkembangan penyakit Alzheimer yaitu:
a. Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
Memory : new learning defective, remote rec. all mildly impaired
Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions
Language : poor woordlist generation, anomiax
Personality : indifference,occasional irritability
Psychiatry feature : sadness, or delution in some
Motor system : normal
EGG : normal
CT/MRI : normal
PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion
b. Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
Memory : recent and remote recall more severely impaired
Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions
Language : fluent aphasia
Calculation : acalculation
Personality : indifference, irritability
Psychiatry feature : delution in some
Motor system : restlessness, pacing
EGG : slow background rhythm
CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent
PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
c. Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)
Intellectual function : severely deteriorated
Motor system : limb rigidity and flexion poeture Sphincter control : urinary and fecal
EGG : diffusely slow
CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent
PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
2.5.2 Gejala
Gejala penyakit Alzheimer bervariasi antara individu. Gejala awal yang paling
umum adalah kemampuan mengingat informasi baru secara bertahap memburuk.
Berikut ini adalah gejala umum dari Alzheimer:
a. Hilangnya ingatan yang mengganggu kehidupan sehari-hari.
b. Sulit dalam memecahkan masalah sederhana.
c. Kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang akrab di rumah, di tempat kerja atau
di waktu luang.
d. Disorientasi waktu atau tempat.
e. Masalah pemahaman gambar visual dan hubungan spasial.
f. Masalah baru dengan kata-kata dalam berbicara atau menulis.
g. Lupa tempat menyimpan hal-hal dan kehilangan kemampuan untuk menelusuri
kembali langkah-langkah
h. Penurunan atau penilaian buruk.
i. Penarikan dari pekerjaan atau kegiatan sosial.
j. Perubahan suasana hati dan kepribadian, termasuk apatis dan depresi
(Alzheimer‟s Association, 2015) .
Selama tahap akhir penyakit, pasien mulai kehilangan kemampuan untuk
mengontrol fungsi motorik seperti menelan, atau kehilangan kontrol usus dan
kandung kemih. Mereka akhirnya kehilangan kemampuan untuk mengenali anggota
keluarga dan untuk berbicara. Sebagai penyakit berlangsung itu mulai mempengaruhi
emosi dan perilaku seseorang dan mereka mengembangkan gejala seperti agresi,
agitasi, depresi, sulit tidur.

2.6 Manisfestasi Klinis


Karakteristik PA ditandai dengan adanya perubahan ekspresi neurotransmitter,
penurunan jumlah neutrofil, synaptotoxicity, penumpukan deposit protein Aβ (Amyloid β
atau plak amyloid atau senilis) yang mengakibatkan hilangnya dendritic spine, atrofi dan
kematian sel-sel neuron dalam jumlah besar pada fase akhir penyakit (Kocahan and
Dogan, 2017).
Penurunan memori dan fungsi kognitif lain pada tahap awal, berhubungan dengan
perubahan dalam cortex Hippocampus dan entorhinal. Sekitar 80% neuron mati dalam
perjalanan PA yang bermanifestasi pada perubahan fungsi kognitif dan tanda-tanda lain
(Kocahan and Dogan, 2017). Penyakit Alzheimer ditandai dengan penurunan memori
episodik secara progresif dan fungsi kortikal lain. Tahap selanjutnya, mulai terjadi
ketergantungan 15 dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan gangguan perilaku. Kelainan
motorik dapat terjadi di tahap akhir (Perdossi, 2015).
Gambaran khas PA berupa adanya plak Aβ di ekstraseluler dan neurofibrillary tangles
dalam intraseluler, kematian sel-sel neuron dan hilangnya sinapsis. Semua ini
mengakibatkan penurunan fungsi kognitif yang berkembang progresif (Kocahan and
Dogan, 2017). Terlihat degenerasi neuron dan neurofibrillary tangles dalam lapisan II
sampai IV pada pemeriksaan histologi. Plak neural sering terlihat pada lapisan III,
sementara lapisan V dan VI memiliki neurofibrillary tangles yang relatif lebih sedikit
dibandingkan lapisan II dan IV. Hilangnya neuron-neuron pada lapisan II akan merusak
jalur proyeksi EC menuju Hippocampus. Tractus efferent dari Hippocampus menuju
cortex dihambat oleh degenerasi neuron dalam lapisan IV secara progresif. Kerusakan
neuron pada lapisan IV dan II dalam EC mengakibatkan perubahan patologi pada daerah
yang berhubungan erat dengan formasi Hippocampus (Kocahan and Dogan, 2017)
Orang dengan alzheimer disease mengalami gangguan progresif daya ingat dan fungsi
kognitif lainnya. Gangguan mula-mula mungkin samar dan mudah disalah-sangka sebagai
depresi, penyakit penting lain pada usia lanjut. Gangguan kognitif berlanjut terus, biasanya
dalam waktu 5 hingga 15 tahun, yang menyebabkan disorientasi total dan hilangnya fungsi
bahasa dan fungsi luhur korteks lainnya. Pada sebagian kecil pasien, dapat muncul
kelainan gerakan khas parkinsonisme, biasanya berkaitan dengan adanya pembentukan
badan lewy
 Gangguan memori muncul pada tahap awal, gangguan memori
hal-hal yang baru lebih berat dari yang lama,
memori verbal dan visual juga terganggu,
memori procedural relatif masih baik
 Gangguan perhatian muncul pada tahap awal, sulit untuk
mengubah mental set, sulit untuk mendorong
perhatian dan perservasi, gangguan untuk
mempertahankan gerakan yang terus
menerus
 Gangguan fungsi visuo-spasial muncul pada tahap awal, gangguan dalam
hal menggambat dan mencari.menemukan
alur
 Gangguan dalam pemecahan muncul pada tahap awal, gangguan hal
masalah abstraksi dan menyatakan pendapat
 Gangguan dalam kemampuan muncul pada tahap awal
berhitung
 Gangguan kepribadian kehilangan rem, agitasi, mudah tersinggung
 Gangguan isi pikiran Waham
 Gangguan afek Depresi
 Gangguan berbahasa sulit menemukan kata yang tepat, artikulasi
dan komprehensi relative masih baik
 Gangguan persepsi gangguan visual, penghiduan, dan
pendengaran : halusinasi, ilusi
 Gangguan praksis apraksia ideasional dan ideomotor
 Gangguan kesadaran dari menolak pendapat bahwa dia sakit, mungkin
penyakit diikuti waham,konfabulasi, dan indifference
 Gangguan kemampuan sosial muncul dikemudian hari
 Defisit motoric muncul dikemudian hari, relative ringan
 Inkontinensia urin dan alvi muncul dikemudian hari
 Kejang/epilepsy muncul dikemudian hari

2.7 Diagnosa
Telah dijelaskan bahwa penyakit Alzheimer merupakan salah satu jenis demensia
yang terbanyak pada orang dewasa.Demensia sudah sering dikenal dengan menggunakan
kritera DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth
edition).Menegakkan penyakit Alzheimerdengan menggunakan kriteria oleh the National
Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the
Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association (ADRDA) dengan menggunakan
klasifikasi definite (diagnosis klinis dengan gambaran histologic), probable (sindrom
klinik tipikal tanpa gambaran histologic) dan possible( gambaran klinis atipikal tetapi
tidak ada diagnosis alternative dan tidak ada gambaran histologi)(7)
Tabel 2. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer(3)
Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:

- Demensia yang tidtegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan


pemeriksaan the mini-mental test,Blessed Dementia Scale,atau
pemeriksaan sejenis,dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis
- Defisit pada dua atau lebih area kognitif

- Tidak ada gangguan kesadaran

- Awitan antara umur 40 dan 90,umunya setelah umur 65 tahun

- Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat
menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:

- Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia,apraksia,dan


agnosia
- Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku

- Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama,terutama bila sudah


dikonfirmasi secara neuropatologi

Hasil laboratorium yang menunjukkan

- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar

- Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada


EEG,seperti peningkatan atktivitas slow-wave

- Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan


terdokumentasi oleh pemeriksaan serial

Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit


Alzheimer,setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:

- Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)


- Gejala-gejala yang berhubungan seperti
depresi,insomnia,inkontinensia,delusi,halusinasi,verbal
katastrofik,emosional,gangguan seksual,dan penurunan berat badan

- Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien,terutama pada penyakit


tahap lanjut,seperti peningkatan tonus otot,mioklunus,dan gangguan
melangkah

- Kejang pada penyakit yang lanjut

- Pemeriksaan CT normal untuk usianya

Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak


cocok adalah:

- Onset yang mendadak dan apolectic

- Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,gangguan sensorik,


defisit lapang pandang,dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit;dan
kehang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal
perjalanan
penyakit

Diagnosis possible penyakit Alzheimer:

- Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia,tanpa adanya gangguan


neurologis psikiatrik,atau sistemik alin yang dapat menyebabkan
demensia,dan adandya variasi pada awitan,gejala klinis,atau perjalanan
penyakit

- Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang


cukup untuk menyebabkan demensia,namun penyebab primernya bukan
merupakan penyabab demensia

Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:

- Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer

- Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi


Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat
gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer,seperti:

- Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama

- Awitan sebelum usia 65 tahun

- Adanya trisomi-21

- Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit


Parkinson.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1) Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.
Secara umum didapatkan atrofi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar
1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada
lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik
primer, sistem somatosensorik tetap utuh. Kelainan-kelainan neuropatologi pada
penyakit Alzheimer terdiri dari:
a) Neurofibrillary Tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamenfilamen abnormal
yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada
neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari
inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit Alzheimer, juga ditemukan
pada otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal,
supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b) Senile Plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending
yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit,
mikroglia.Protein prekursor amiloid yang terdapat pada SP sangat berhubungan
dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks,
amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks
motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik.Senile plaque
ini juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas Senile
plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi
(NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita
penyakit Alzheimer.
c) Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit
Alzheimer sangat selektif.Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan
pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis.Juga ditemukan pada
hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lobus serulues, raphe nukleus,
dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis
dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel
serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.Telah
ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi
pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam pengobatan
penyakit Alzheimer.
d) Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat
menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan
jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial,
amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal,
oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.
e) Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada
enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala.Sejumlah kecil pada
korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital.Lewy body kortikal ini sama dengan
immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran
histopatologi penyakit parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan
varian dari penyakit Alzheimer.
2) Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit Alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi
kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi.Tes psikologis ini
juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang
berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian, dan
pengertian berbahasa.
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang
penting karena:
a. Adanya defisit kognisi yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.

b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk


membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri.

c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh


demensia karena berbagai penyebab. The Consortium to establish a Registry for
Alzheimer Disease (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian
neuropsikologis dengan mempergunakan alat yang bermanifestasi gangguan fungsi
kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari:
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. Mini mental state
4. Word list memory
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word listr ecognition.
Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada control

3) CT Scan dan MRI


Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat
kuantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem.
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
demensia lainnya selain Alzheimer seperti multi infark dan tumor serebri.Atropi
kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran
marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga
didapatkan pada demensia lainnya seperti multi infark, parkinson, binswanger
sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit Alzheimer. Penipisan
substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala
klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental.
Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan
periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral).Capping ini merupakan
predileksi untuk demensia awal.Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran
atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus,
amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.Seab et al, menyatakan
MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit Alzheimer dengan
penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.
4) EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis.Sedang pada
penyakit Alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis
yang non spesifik.
5) PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita Alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah,
metabolisme O2, dan glukosa di daerah serebral. Uptake I. 123 sangat menurun pada
regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan
selalu sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.
6) SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas terendah pada regio parieral penderita Alzheimer. Kelainan ini
berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
2.9 Penatalaksanaan Fisioterapi
2.9.1 Peran Fisoterapi dan Okupasi
1. Efektifitas Penanganan Alzheimer dalam Berbagai Aspek
Menurut (Arbesman, 2011) Bukti kuat yang telah ditemukan untuk efektivitas
intervensi multifaset penanganan Alzhaimer meliuputi meningkatkan kemauan dan
kemampuan untuk berolahraga, menurunkan resiko jatuh, dan memodifikasi
lingkungan di rumah sakit. Telah ditemukan bukti bahwa pelatihan fisik yang
mencakup penguatan, keseimbangan, dan fleksibilitas berjalan mencegah resiko jatuh
pada orang dewasa yang lebih tua dengan gangguan kognitif. Penanganan yang dapat
diberikan melalui intervensi caregiver menunjukan bahwa ada bukti kuat untuk
efektivitas sesi terapi okupasi yang memberi edukasi terkait, problem solving,
penyederhanaan tugas, komunikasi, dan modifikasi lingkungan (Arbesman, 2011).
Terdapat bukti yang kuat untuk intervensi pengasuh yang menggabungkan konseling
dan kelompok pendukung (support group), serta intervensi yang menggabungkan
edukasi, manajemen kasus, keterlibatan pasien, dan manajemen stress.

2. Modifikasi Tuntutan AKtivitas


Tuntutan aktivitas (Activity demands) adalah “ciri khas suatu aktivitas yang
mempengaruhi tipe dan jumlah usaha yang diperlukan untuk melakukan kegiatan”.
Dengan kata lain, karena tuntutan aktivitas dimodifikasi, klien juga memodifikasi
pendekatannya terhadap aktivitas untuk menyelesaikannya dengan baik (Bontje,
2004). Tuntutan aktivitas dapat dimodifikasi dengan mengubah konteks di mana
aktivitas biasanya berlangsung atau dengan “meningkatkan beberapa fitur untuk
memberi beberapa petunjuk dan mengurangi resiko gangguan kerja” (Dunn, 2010).
Modifikasi mungkin termasuk mengubah bahan yang digunakan,
memvariasikan ruang di mana aktivitas dilakukan, dan memberikan interaksi sosial
dalam bentuk petunjuk yang memudahkan penyelesaian aktivitas. Modifikasi lainnya
dapat mencakup langkah-langkah aktivitas, mengubah posisi orang yang
menyelesaikan aktivitas, atau keduanya (American Occupational Therapy
Association, 2008).
Modifikasi activity demand telah menjadi intervensi lama dalam terapi
okupasi, dan bukti keefektifannya dalam memungkinkan orang-orang AD untuk
berpartisipasidalamperawatan mandiri dan leisure. Program okupasi terapi harus
didesign secara individual untuk pasien untuk mendapatkan tingkat keterampilan
mempertahankan minat pekerjaan yang tertinggi. (Padilla, 2011).
Program yang disusun khusus untuk pasien melibatkan aktivitas yang sesuai
dengan kemampuan kognitif dan fisik pasien Alzheimer. Aktivitas yang sesuai
dengan kemampuan pasien memberikan rangsangan sosial dan pilihan baru yang
disukai dan dengan demikian menarik minat orang tersebut untuk melakukan
aktivitas.
Mempertahankan keterlibatan orang-orang dengan AD dalam aktivitas
bermakna dalam jangka waktu yang lebih lama mengurangi perilaku terkait demensia
seperti melamun, menjerit, dan agresi. (Padilla, 2011) .Komunikasi seperti pemberian
petunjuk kerja yang digunakan saat membantu orang dengan Alzheimer untuk
menyelesaikan tugas harus singkat dengan arahan yang jelas. Petunjuk kerja yang
diberikan oleh praktisi dan perawat selama kegiatan adalah salah satu cara yang
paling penting untuk memodifikasi tuntutan aktivitas (activity demand). (Padilla,
2011)
Jadi, petunjuk kerja bisa dimulai dari pernyataan netral (misalnya, “Ayo
kitamengawalihari ini dengan gembira”) ke pernyataan direktif (misalnya, “Tolong
berpakaian sekarang” atau “Letakkan kaus kaki ini di kaki kiri Anda”) dan, jika
diperlukan, mungkin disertai dengan bahasa isyarat (misalnya, menunjuk pada item
atau menunjukkan gerakan) atau perintah fisik (misalnya, menyentuh kaki kiri orang
tersebut sambil menyatakan, “letakkan kaus kaki ini di kaki kiri Anda” (Padilla,
2011).
Pelatihan dan keterlibatan pengasuh sangat penting dalam menerapkan
program individual untuk mempertahankan keterampilan dalam berkativitas. Ketika
pengasuh dilatih bagaimana caranya utnuk memecah tugas dan memberikan petunjuk
kerja yang tepat, akan berdampak pada kualitas hidup dan kepuasan yang lebih baik
pada orang dengan gangguan Alzheimer (Padilla, 2011).

3. Peningkatan Kualitas Hidup Gangguan Alzheimer


Orang dengan Alzheimer atau demensia terkait sering mengalami tantangan
dalam mempertahankan kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam pekerjaan yang
berkontribusi terhadap QOL, kesehatan mereka, dan kepuasan (Egan, 2006). Praktisi
Okupasi Terapis mengatur pemahaman mereka tentang pekerjaan ke delapan bidang
utama : ADL, istirahat dan tidur, IADLs, pendidikan, pekerjaan, bermain, rekreasi, dan
partisipasi sosial (American Occupational Therapy Association, 2008).
Dari jumlah tersebut, lima paling relevan dengan populasi orang dengan
Alzheimer atau demensia terkait,yang sebagian besar adalah orang dewasa yang lebih
tua, dan pensiunan (Letts, 2011). Aspek yang relevan mencakup ADL, yang terdiri dari
merawat diri melalui kegiatan seperti mandi, toilet, makan, dan berpakaian ; Istirahat
dan tidur ; IADL, yang mencakup pengelolaan rumah tangga dan kegiatan masyarakat
seperti persiapan makanpembersihan, mengemudi, dan perbankan; Rekreasi, yang
mencakup kegiatan bebas waktu dimana orang melakukan kesenangan; Dan partisipasi
sosial, termasuk melibatkan keluarga, teman, dan orang lain dalam konteks komunitas.
Keluarga dan pengasuh lainnya memberikan tingkat dukungan yang tinggi untuk
Alzheimer atau kemajuan demensia terkait. (Letts, 2011).
Di bidang ADL, peneliti merasa heran bahwa tidak ada penelitian yang tersedia
untuk memandu praktisi terapi okupasi untuk menilai, merencanakan, dan menerapkan
intervensi untuk orang-orang dengan AD atau demensia terkait di wilayah fungsi yang
secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi tersebut. Sebagian besar bukti yang tersedia
pada intervensi ADL memiliki fokus pada aspek feeding. (Letts, 2011) Untuk intervensi
IADL, bukti yang menjanjikan ada mengenai keefektifan intervensi terapi okupasi
berbasis home-based community untuk orang-orang dengan AD atau demensia terkait
dan perawat mereka pada tahap awal demensia. Penilaian di rumah diikuti oleh strategi
lingkungan dan kompensasi tampaknya memperbaiki kesehatan dan QoL untuk
penderita demensia dan caregiver mereka contoh intervensi Okupasi Terapi dalam
penanganan kasus Alzheimer diantaranya:
• Alat bantu yang bersifat fisik atau kognitif dapat dipertimbangkan untuk mendukung
ADL pada orang dengan Alzheimer atau demensia terkait, namun kegunaannya
mungkin perlu dipantau.
• Di masyarakat, intervensi terapi okupasi berbasis rumah (home-based programe) yang
mencakup penilaian dan rekomendasi IADL untuk meningkatkan kemampuan
mungkin bermanfaat dalam meningkatkan QOL dan kesehatan klien dengan
Alzheimer dan demensia terkait.
• Pemberian intervensi untuk aktivitas leisure dapat disesuaikan pada Individu dengan
gangguan Alzheimer atau dipilih berdasarkan kemampuan yang masihdapat
dilakukan. Pemilihan aktivitas leisure yang baik dan efektif dapat memengaruhi
tingkat kepuasan pasien dan caregiver.
2.9.2 Terapi Kolaborasi
Sampai saat ini, penanganan-penanganan yang diberikan masih belum dapat
menyembuhkan PA, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mencegah penyakit ini (Qiu
et al., 2009). Efektivitas pencegahan ditentukan oleh usia penderita (Gavurova et al.,
2018). Pencegahan yang dapat dilakukan, berupa pencegahan primer, sekunder
(diagnosis dini) dan tersier.
Pencegahan primer dilakukan terhadap faktor risiko (metabolik dan vaskular)
dan pelindung. Upaya pencegahan primer terutama dilakukan pada faktor nutrisi,
aktivitas fisik (olahraga teratur), pelatihan fungsi kognisi dan sosial serta evaluasi dan
penanganan faktor risiko metabolik dan vaskular (Qiu et al., 2009; Perdossi, 2015).
Faktor nutrisi bisa berupa memakan makanan yang bervariasi dan sehat, etap aktif
sehingga kekuatan otot dan berat badan tetap terjaga, banyak mengkonsumsi buah dan
sayur, diet rendah lemak yang bersaturasi, minum air secukupnya, berhenti merokok,
batasi asupan garam, gula dan alkohol (Perdossi, 2015). Diharapkan upaya pencegahan
dapat memperlambat onset terjadinya PA (Qiu et al., 2009).
Pencegahan sekunder dilakukan dengan diagnosis dini pada lansia sedangkan
pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah hilangnya kemampuan penderita dalam
melakukan aktivitas sehari-hari dan meningkatkan kualitas hidup penderita (Qiu et al.,
2009).
Pencegahan tersier Demensia Alzheimer berupa penanganan psikososial dan
farmakologis. Penanganan psikososial meliputi berbagai fungsi seperti fungsi kognisi
dan perilaku. Penanganan ini dinilai tiap tahun sebanyak 2 kali. Tujuan penanganan ini
adalah untuk mempertahankan dan memperlambat penurunan fungsi kognisi serta
meningkatkan kualitas hidup (Qiu et al., 2009; Perdossi, 2015). Keluarga perlu dilibatkan
sejak awal penanganan PA sehingga kondisi penderita sebelum dan setelah penanganan
dapat diketahui (Perdossi, 2015).
Penanganan farmakologis bisa dilakukan dengan memberikan penguat kognisi,
seperti obat golongan acetyl-cholinesterase inhibitor (AChEI) untuk PA ringan sampai
sedang, donepezil 10 mg untuk PA ringan sampai sedang, memantin untuk demensia
sedang hingga berat, rivastigmin 6-12 mg/hari selama 26 minggu dan galantamin (aman
untuk perbaikan fungsi kognisi pada lansia dengan PA berat). Donepezil 10 mg/hari juga
efektif untuk mengatasi PA sedang sampai berat setelah pemberian selama 52 minggu.
Dapat diberikan penanganan alternatif, seperti ginkgo biloba (dosis 240 mg/hari
selama 24 minggu untuk perbaikan fungsi kognisi, perilaku dan aktivitas sehari-hari),
asam lemak omega 3 (untuk PA yang sangat ringan). Pemberian asam folat, vitamin B12,
B6 dan E tidak disarankan sebagai terapi alternatif bagi PA karena memiliki lebih
banyak efek samping lebih banyak dibandingkan manfaatnya (Perdossi, 2015).

2.10 Prognosis
Nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia, dan jenis kelamin.
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling
mempengaruhi prognostik penderita Alzheimer. Pasien dengan penyakit Alzheimer
mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya
meninggal dunia akibat infeksi sekunder.

2.11 Evaluasi
Penanganan Alzheimer perlu dievaluasi minimal 2 kali dengan interval waktu 6
bulan. Beberapa hal yang perlu dievaluasi antara lain: kemandirian penderita dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, peningkatan fungsi kognisi, kemampuan beradaptasi
dan mempelajari ketrampilan. Kondisi fisik dan psikis, efek samping obat, riwayat
penyakit, faktor psikososial dan lingkungan juga penting dievaluasi (Perdossi, 2015).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Alzheimer merupakan penurunan fungsi otak, terutama emosi, daya ingat dan
pengambilan keputusan disebut dengan PA (Menkes RI, 2016). Penyakit Alzheimer
umumnya mengenai lansia berusia > 65 tahun (Perdossi, 2015). Dasar kelainan patologi
penyakit Alzheimer terdiri dari degenaratif neuronal, kematian daerah spesifik jaringan
otak yang mengakibatkan gangguan fungsi dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Menurut Arbesman 2011, u efektivitas intervensi multifaset penanganan Alzhaimer
meliuputi meningkatkan kemauan dan kemampuan untuk berolahraga, menurunkan resiko
jatuh, dan memodifikasi lingkungan di rumah sakit. Dan telah ditemukan bukti bahwa
pelatihan fisik yang mencakup penguatan, keseimbangan, dan fleksibilitas berjalan
mencegah resiko jatuh pada orang dewasa yang lebih tua dengan gangguan kognitif.
DAFTAR PUSTAKA

Viola, L. F. et al. (2011) „Effects of a multidisciplinar cognitive rehabilitation program for


patients with mild Alzheimer‟s disease‟, Clinics, 66(8), pp. 1395–1400. doi:
10.1590/S1807-59322011000800015.
Wijaya, L. (2019) „Penatalaksanaan Terkini Penyakit Alzheimer‟, 46(1), pp. 62–63.
Available at:
http://www.caprion.com/medias/doc/posterspapers/proteocarta/CoooXX20166SSNN
775.1222iomarkerr.
Kedokteran, F. and Udayana, U. (2019) „Tinjauan Literatur : Penyakit Alzheimer‟.
Riset, K. et al. (2017) „Program Studi : Pendidikan IPA‟.
Lyli, S. (1999) „Tatalaksana dan Sistem Asuhan pada Penyakit Alzheimer/Demensia‟, B.
Neurosains, pp. 31–38.

Anda mungkin juga menyukai