PATOLOGI NEUROMUSKULER
Disusun oleh:
NIM : 201140100002
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Kepada-Nya kita
memuji dan bersyukur, serta memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya pula kita
memohon perlindungan dari keburukan diri dan syaiton yang selalu menghembuskan
kebatilan pada diri kita.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik berupa jasmani maupun rohani, sehingga mampu menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas dari mata kuliah Patologi Neuromuskuler dengan judul “Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Kasus Alzheimer”. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Khumairo Hardiyanti R.
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................................. i
PENDAHULUAN
Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses degenerasi
yang tidak dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan mengalami
degenerasi. Dari aspek medik, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya
dengan masalah yang terdapat pada penyakit kronis lainnya. Ilmu kedokteran dan
kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Seseorang
yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup.
Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi
lingkungannya, tidak mandiri lagi. Demensia adalah hilangnya fungsi kognisi secara
multidimensional dan terus-menerus, disebabkan oleh kerusakan organik system saraf
pusat, tidak disertai oleh penurunan kesadaran akut seperti halnya yang terjadi pada
delirium, Jenis-jenis demensia yaitu demensia Alzheimer, demensia vascular, demensia
karena kondisi medik umum lainnya.
Gejala khas demensia adalah kesulitan dengan memori, bahasa, problem solving dan
keterampilan kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan
aktivitas sehari-hari.Gangguan ini terjadi karena sel saraf (neuron) di bagian otak yang
terlibat pada fungi kognitif telah rusak atau hancur. Pada penyakit Alzheimer, terjadi
kerusakan pada otak termasuk yang memungkinkan seseorang untuk melakukan fungsi
tubuh dasar seperti berjalan dan menelan. Orang-orang pada tahap akhir penyakit ini
bahkan tidak dapat beranjak dari tempat tidur dan membutuhkan perawatan maksimal.
Penyakit Alzheimer pada akhirnya dapat berakibat kematian.
Demensia telah menjadi beban sosial, ekonomi dan kesehatan bagi Negara-negara
Asia Timur (Menkes RI, 2016). Demensia merupakan suatu sindrom penurunan fungsi
kognitif yang disertai dengan hilangnya kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari
(Wu et al., 2015). Berdasarkan laporan WHO (World Health Organization) tahun 2012,
prevalensi demensia di dunia diperkirakan mencapai 35 juta orang. Jumlah ini hampir
meliputi seperempat jumlah penduduk di Asia Timur dan diperkirakan terjadi
peningkatan jumlah sebanyak 2 kali lipat setiap 20 tahun (Wu et al., 2015). Saat ini
diperkirakan setiap detik dapat ditemukan tujuh kasus demensia baru di dunia, dan
sebagian besar orang dengan demensia ini tinggal di negara dengan pendapatan rendah
dan menengah termasuk Indonesia (Perdossi, 2015). Salah satu bentuk demensia yang
sering ditemukan adalah Alzheimer (Ellison, 2015; Perdossi, 2015).
Penyakit Alzheimer merupakan sebuah kelainan otak yang bersifat irreversible dan
progresif yang terkait dengan perubahan sel-sel saraf sehingga menyebabkan kematian
sel otak. Penyakit Alzheimer terjadi secara bertahap, dan bukan merupakan bagian dari
proses penuaan normal dan merupakan penyebab paling umum dari demensia. Demensia
merupakan kehilangan fungsi intelektual, seperti berpikir, mengingat, dan berlogika,
yang cukup parah untuk mengganggu aktifitas sehari-hari.Demensia bukan merupakan
sebuah penyakit, melainkan sebuah kumpulan gejala yang menyertai penyakit atau
kondisi tertentu. Gejala dari demensia juga dapat termasuk perubahan kepribadian,
mood, dan perilaku.
2.1 Definisi
Alzheimer adalah penyakit progresif, bertahap dari waktu ke waktu dan menyebabkan
lebih banyak bagian otak yang rusak. Karena itulah gejala yang muncul menjadi lebih
parah. Alzheimer merupakan penurunan fungsi otak, terutama emosi, daya ingat dan
pengambilan keputusan disebut dengan PA (Menkes RI, 2016). Penyakit Alzheimer
umumnya mengenai lansia berusia > 65 tahun (Perdossi, 2015).
Dr. Alois Alzheimer adalah orang yang pertamakali menemukan penyakit ini maka
dari itu penyakit pengecilan otak ini diberi nama ALzheimer. dokter yang merupakan
berkebangsaan Jerman ini yang pertama kali menemukan penyakit ini pada tahun 1906.
Dr. Alzheimer memperhatikan adanya perubahan jaringan otak pada wanita yang
meninggal akibat gangguan mental yang belum pernah ditemui sebelumnya. Hasil
pengamatan dari bedah, Alzheimer mendapati saraf otak tersebut bukan saja mengerut,
bahkan dipenuhi dengan sedimen protein yang disebut plak amiloid dan serat yang
berbelit-belit neuro fibrillary. Meskipun penyakit ini ditemukan hampir satu abad yang
lalu, ia tidak sepopuler penyakit lain, seperti sakit jantung, hipertensi, Sindrom Pernafasen
Akut Parah (SARS) dan sebagainya
Selama berjalannya waktu penyakit protein plak dan serat yang berbelit berkembang
dalam struktur otak yang menyebabkan kematian sel-sel otak. Orang dengan Alzheimer
juga memiliki kekurangan beberapa bahan kimia penting dalam otak mereka. Bahan kimia
ini terlibat dengan pengiriman pesan dalam otak.
Penyakit Alzheimer mempunyai gejala klinis berupa gangguan kognisi secara
progresif, diantaranya berupa gangguan penilaian (judgement), kesulitan dalam
mengambil suatu keputusan, gangguan orientasi (spatial orientation). Apabila penyakit
Alzheimer tidak diterapi, maka proses selanjutnya terjadi gangguan psychobehavioural,
misalnya gangguan berbahasa (Galimberti & Scarpiniet, 2012).
2.2 Epidemologi
Hal yang terpenting yang merupakan faktor resiko dari penyakit Alzheimer adalah
umur yang tua dan positive pada riwayat penyakit keluarga. Frekuensi dari penyakit
Alzheimer akan meningkat seiring bertambahnya dekade dewasa. Mencapai sekitar 20-
40% dari populasi lebih dari 85 tahun. Wanita merupakan faktor resiko gender yang
lebih beresiko terutama wanita usia lanjut. Lebih dari 35 juta orang di dunia, 5,5 juta di
Amerika Serikat yang mengalami penyakit Alzheimer, penurunan ingatan dan gangguan
kognitif lainnya dapat mengarahkan pada kematian sekitar 3 – 9 tahun ke setelah
didiagnosis. Penyakit Alzheimer merupakan jenis yang terbanyak dari demensia,
dihitung berdasarkan 50 – 56 % kasus dari autopsy dan kasus klinis. Insiden dari
penyakit ini dua kali lipat setiap 5 tahun setelah usia 65 tahun, dengan diagnosis baru
1275 kasus per tahun per 100.000 orang lebih tua dari 65 tahun. Kebanyakan orang-
orang dengan penyakit Alzheimer merupakan wanita dan berkulit putih. Karena sangat
dihubungkan dengan usia, dan wanita mempunyai ekspektasi kehidupan yang lebih
panjang dari pria, maka wanita menyumbangkan sebesar 2/3 dari total orang tua dengan
penyakit ini (2,4,5).
2.3 Etilogi
2.3.1 Etiologi Klinis
Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksidasi logam,
gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industry, trauma, neurotrasnmiter,
deficit formasi sel-sel filament, prediposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit
Alzheimer terdiri dari degenaratif neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang
mengakibatkan gangguan fungsi dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya
difisiensi factor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif
neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerative yang diakibatkan oleh
adanya peningkatan kalsiun intaseluler, kegagalan metabolism energy, adanya formasi
radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa peran factor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana factor lingkungan
hanya sebagai pencetus factor genetika.
Meskipun Penyebab Alzheimer disease belum diketahui, sejumlah faktor yang saat
ini berhasil diidentiifikasi yang tampaknya berperan besar dalam timbulnya penyakit ini.
1. Faktor genetik berperan dalam timbulnya Alzheimer Disease pada beberapa kasus,
seperti dibuktikan adanya kasus familial. Penelitian terhadap kasus familial telah
memberikan pemahaman signifikan tentang patogenesis alzheimer disease familial, dan
,mungkin sporadik. Mutasi di paling sedikit empat lokus genetik dilaporkan berkaitan
secara eksklusif dengan AD familial. Berdasarkan keterkaitan antara trisomi 21 dan
kelainan mirip AP di otak yang sudah lama diketahui, mungkin tidaklah mengherankan
bahwa mutasi pertama yang berhasil diidentifikasi adalah suatu lokus di kromosom 21
yang sekarang diketahui mengkode sebuah protein yang dikenal sebagai protein
prekursor amiloid (APP). APP merupakan sumber endapan amiloid yang ditemukan di
berbagai tempat di dalam otak pasien yang menderita Alzheimer disease. Mutasi dari
dua gen lain, yang disebut presenilin 1 dan presenilin 2, yang masing- masing terletak
di kromosom 14 dan 1 tampaknya lebih berperan pada AD familial terutama kasus
dengan onset dini.
2. Pengendapan suatu bentuk amiloid, yang berasal dari penguraian APP merupakan
gambaran yang konsisten pada Alzheimer disease. Produk penguraian tersebut yang
dikenal sebagai β- amiloid (Aβ) adalah komponen utama plak senilis yang ditemukan
pada otak pasien Alzheimer disease, dan biasanya juga terdapat di dalam pembuluh
darah otak.
3. Hiperfosforilisasi protein tau merupakan keping lain teka-teki Alzheimer disease. Tau
adalah suatu protein intra sel yang terlibat dalam pembentukan mikrotubulus intra
akson. Selain pengendapan amiloid, kelainan sitoskeleton merupakan gambaran yang
selalu ditemukan pada AD. Kelainan ini berkaitan dengan penimbunan bentuk
hiperfosforilasi tau, yang keberadaanya mungkin menggaggu pemeliharaan
mikrotubulus normal.
4. Ekspresi alel spesifik apoprotein E (ApoE) dapat dibuktikan pada AD sporadik dan
familial. Diperkirakan ApoE mungkin berperan dalam penyaluran dan pengolahan
molekul APP. ApoE yang mengandung alel ε4 dilaporkan mengikat Aβ lebih baik
daripada bentuk lain ApoE, dan oleh karena itu, bentuk ini mungkin ikut meningkatkan
pembentukan fibril amiloid.
2.3.2 Fakor resiko
Alzheimer diduga terjadi karena penumpukan protein beta-amyloid yang
menyebabkan plak pada jaringan otak. Secara normal, beta-amyloid tidak akan
membentuk plak yang dapat menyebabkan gangguan sistem kerja saraf pada otak.
Namun, karena terjadi misfolding protein, plak dapat menstimulasi kematian sel saraf.
Para ahli percaya bahwa Alzheimer, seperti penyakit kronis umum lainnya,
berkembang sebagai akibat dari beberapa faktor.
Penyebab ataupun faktor yang menyebabkan seseorang menderita penyakit
Alzheimer antara lain sebagai berikut:
1. Usia
Faktor risiko terbesar untuk penyakit Alzheimer adalah usia. Kebanyakan
orang dengan penyakit Alzheimer didiagnosis pada usia 65 tahun atau lebih tua.
Orang muda kurang dari 65 tahun juga dapat terkena penyakit ini, meskipun hal ini
jauh lebih jarang. Sementara usia adalah faktor risiko terbesar.
2. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluarga yang memiliki orangtua, saudara atau
saudari dengan Alzheimer lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit
daripada mereka yang tidak memiliki kerabat dengan Alzheimer's. Faktor
keturunan (genetika), bersama faktor lingkungan dan gaya hidup, atau keduanya
dapat menjadi penyebabnya.
3. Pendidikan dan Pekerjaan
Beberapa ilmuwan percaya faktor lain dapat berkontribusi atau menjelaskan
peningkatan risiko demensia di antara mereka dengan pendidikan yang rendah. Hal
ini cenderung memiliki pekerjaan yang kurang melatih rangsangan otak. Selain itu,
pencapaian pendidikan yang lebih rendah dapat mencerminkan status sosial
ekonomirendah, yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami gizi
buruk dan mengurangi kemampuan seseorang untuk membayar biaya perawatan
kesehatan atau mendapatkan perawatan yang disarankan.
4. Traumatic Brain Injury (TBI)
Trauma Cedera Otak sedang dan berat meningkatkan risiko perkembangan
penyakit Alzheimer. Trauma Cedera Otak adalah gangguan fungsi otak yang
normal yang disebabkan oleh pukulan atau tersentak ke kepala atau penetrasi
tengkorak oleh benda asing, juga dapat didefinisikan sebagai cedera kepala yang
mengakibatkan hilangnya kesadaran. Trauma Cedera Otak dikaitkan dengan dua
kali risiko mengembangkan Alzheimer dan demensia lainnya dibandingkan dengan
tidak ada cedera kepala. (Alzheimer‟s Association, 2015).
2.7 Diagnosa
Telah dijelaskan bahwa penyakit Alzheimer merupakan salah satu jenis demensia
yang terbanyak pada orang dewasa.Demensia sudah sering dikenal dengan menggunakan
kritera DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth
edition).Menegakkan penyakit Alzheimerdengan menggunakan kriteria oleh the National
Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the
Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association (ADRDA) dengan menggunakan
klasifikasi definite (diagnosis klinis dengan gambaran histologic), probable (sindrom
klinik tipikal tanpa gambaran histologic) dan possible( gambaran klinis atipikal tetapi
tidak ada diagnosis alternative dan tidak ada gambaran histologi)(7)
Tabel 2. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer(3)
Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
- Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat
menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
- Adanya trisomi-21
2.10 Prognosis
Nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia, dan jenis kelamin.
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling
mempengaruhi prognostik penderita Alzheimer. Pasien dengan penyakit Alzheimer
mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya
meninggal dunia akibat infeksi sekunder.
2.11 Evaluasi
Penanganan Alzheimer perlu dievaluasi minimal 2 kali dengan interval waktu 6
bulan. Beberapa hal yang perlu dievaluasi antara lain: kemandirian penderita dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, peningkatan fungsi kognisi, kemampuan beradaptasi
dan mempelajari ketrampilan. Kondisi fisik dan psikis, efek samping obat, riwayat
penyakit, faktor psikososial dan lingkungan juga penting dievaluasi (Perdossi, 2015).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Alzheimer merupakan penurunan fungsi otak, terutama emosi, daya ingat dan
pengambilan keputusan disebut dengan PA (Menkes RI, 2016). Penyakit Alzheimer
umumnya mengenai lansia berusia > 65 tahun (Perdossi, 2015). Dasar kelainan patologi
penyakit Alzheimer terdiri dari degenaratif neuronal, kematian daerah spesifik jaringan
otak yang mengakibatkan gangguan fungsi dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Menurut Arbesman 2011, u efektivitas intervensi multifaset penanganan Alzhaimer
meliuputi meningkatkan kemauan dan kemampuan untuk berolahraga, menurunkan resiko
jatuh, dan memodifikasi lingkungan di rumah sakit. Dan telah ditemukan bukti bahwa
pelatihan fisik yang mencakup penguatan, keseimbangan, dan fleksibilitas berjalan
mencegah resiko jatuh pada orang dewasa yang lebih tua dengan gangguan kognitif.
DAFTAR PUSTAKA