Anda di halaman 1dari 16

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. M

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 9 Tahun

Alamat : Kp. Cempaka putih 01/11 Palabuhanratu

Agama : Islam

Suku : Sunda

ANAMNESIS

Keluhan Utama : Demam

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dibawa oleh orangtuanya ke IGD RSUD Palabuhan ratu dengan keluhan demam 3 hari.
Keluhan demam mendadak, keluhan disertai batuk-batuk yang sudah lama +- 3 minggu, batuk
kadang berdahak kadang tidak. Pasien pernah jika batuk sampai muntah. Menurut orangtua
pasien, selama sakit ini pasien mengalami penurunan berat badan +- 2kg. Keluhan batuk pasien
sudah diobati sebelumnya namun keluhan sekarang disertai demam dan akhirnya pasien
dibawa ke IGD. Sesak (-) BAB (+) BAK (+) Muntah (+) saat dirumah saja.

 Riwayat Penyakit Dahulu

Saat umur 1 tahun pasien pernah menjalani pengobatan TB Paru, sampai tuntas dan dinyatakan
sembuh.

Riwayat asma (+) namun sekarang asma jarang kambuh

 Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu pasien mempunyai riwayat asma

Nenek pasien terkena TB paru dan sudah menjalani pengobatan TB Paru, namun beda rumah
dengan pasien.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

1
Kesadaran : Composmentis

Vital Sign :

o Nadi : 105 x/menit

o TD : 120/70 mmHg

o Suhu : 38,5 ⁰C

o RR : 26 x/menit

TB: 120 cm, BB: 20 Kg

Kepala/Leher : Perdarahan subkonjungtiva(-) napas cuping hidung (-), pembesaran KGB (-


), retraksi suprasternal (-)

Pulmo

▫ Inspeksi: Bentuk dada normal, simetris, retraksi intercostal (-)

▫ Palpasi : ekspansi paru N/N, fremitus N/N

▫ Perkusi : sonor

▫ Auskultasi : vesikuler, wheezing -/-, Crackles -/- Ronkhi -/-

Jantung

▫ Pembesaran : normal

▫ Auskultasi : S1S2 tunggal, bising (-)

Abdomen

▫ Inspeksi : soepel

▫ Palpasi : Turgor normal, nyeri tekan (-)

▫ Hepar : Tidak teraba,

▫ Lien : Tidak teraba

▫ Perkusi : Timpani

▫ Bising usus : BU normal

Ekstremitas Akral hangat, edem (-), CRT < 2 detik

2
Genitalia : tidak tampak kelainan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Parameter Nilai Nilai Rujukan

WBC (leukosit) 43.700/ ul 4000 - 10000

RBC (eritrosit) 3.00/ul 4,6– 6,2

HB (Hemoglobin) 14 gr/dl 13 – 18

HCT (Hematokrit) 39% 37 – 48

PLT (Platelet) 437000/ ul 150.000 – 450.000

MCV 78 fL 79,0 – 99,0

MCH 28 pg 27,0 – 31,0

MCHC 36gr/dl 33,0 – 37,0

Basofil 0 0-1

Eosinofil 0 1-3

Netrofil B 2 2-6

Netrofil S 32 20 – 60

Limfosit 63 20 - 40

3
RO THORAK

Problem list

• Dyspnea (takipnea, retraksi (-))

• Batuk paroksismal (-)

• Whoop (-)

• Riwayat imunisasi DPT (?)

• Riwayat keluarga asma (+)

• Crackles (-)

• Wheezing (-)

• Leukositosis dengan limfositosis absolut

DIAGNOSIS

• Pertusis

• DDx :

• Sup TB Paru

• ISPA

4
PLANING DIAGNOSIS

PDL

LED

Ro Thorak

Terapi

IVFD RL 1500 cc / 24 jam

Parasetamol syr 3 x 1 C p.o

Ondancentron 2mg extra iv (Jika muntah)

Azitromisin 1x250mg

5
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan
di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis
(batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena
kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang
berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran
nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi
atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini mulai menurun4.

B. Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan
attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis
setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948,
pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14
tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun,
75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun1,2,3,5,6.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun6. Dalam
satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan sebagian
kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai semua golongan
umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu
dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan
0.9:11,3. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi antara perempuan dan
laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun
dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%7.

6
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat
mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di negara
dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas
setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah
vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di
Amerika Serikat pada tahun 19765.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah
bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu
dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan
pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan
nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis
atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap
penyakit ini jika terpajan1.

C. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis, adenovirus
tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan
traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada
bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor
inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan tidak
membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa didapatkan
dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media
Bordet – Gengou1. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica,
B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua
patogen yang paling umum ditemukan pada manusia 8.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen
virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai
spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP),
protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas.
Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan
sesuai waktu1.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
7
aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan
protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan
terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara
dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan
mempermudah penyerapan TP1.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine,
sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit.
TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan pengembalian limfosit
agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal
dalam pathogenesis1.

D. Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik1,9.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis
Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah
terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh
permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang
akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough1,9.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah
aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah
infeksi1,9.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan

8
serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah1,9.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai
pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan
plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai
kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder
sebagai akibat anoksia1.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap
proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang
ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.

E. Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak1.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi
berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:
1. Tahap Kataral 

Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-cirinya
menyerupai flu ringan :
 Bersin-bersin

 Mata berair

 Nafsu makan berkurang

 Lesu

 Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang
hari)
2. Tahap Paroksismal 


9
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali
batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai
pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau
tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan
batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea
(henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang
bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi
selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis
lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
imunisasi.

2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.

3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI
dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena
respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.

Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis


pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada
minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan adanya
infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan
serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan PT

10
menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG
toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui
infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12.

4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis atau emfisema.

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia


bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati
dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda
asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan
dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B.
bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan
dengan isolasi kuman penyebab1.

G. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan
batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan
tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit
dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau
mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada
perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi,
keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam1,11.

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada
keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel perawat
kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan
perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak
membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan
warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai
pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir
paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak
berespons1,11.

11
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor
yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada
distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia
dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada
pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11,12 :

1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50
mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama
14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat
tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang
diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60
mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis
40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada
98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-
Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada
penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.
pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.

2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan
gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis
tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak
menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.

3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada
binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak
mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya
tidak dibenarkan.

H. Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
12
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis,
difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,
imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-
anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi1,11,13,14.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens
infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B.
pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar13,14.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,
mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati,
anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian
asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk
selama 48-72 jam1,11,14.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,
kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat
keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat
terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis.
Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati
dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari
sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C
dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis1,11,13,14.
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan
ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral
selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga
diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi
gejala-gejala penyakit1,11,12.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan.
Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita
13
berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan
eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi1,11,12.
I. Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak B.
pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi1,11.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan
oleh temperatur tinggi1,10.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.
J. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus
kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat inap
pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia
hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan
oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.
181: 960-965.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi
Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children.


WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.

4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective


therapy 8 (2): 163–73.

5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 20 juli 2018
dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology


of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection.
Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 20 juli 2018 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.

7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-
1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 20 Juli 2018 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.

8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-
pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.

9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri,


USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

15
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h:
564-566.

12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria,
and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 22 juli
2018 dari https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.

14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm

16

Anda mungkin juga menyukai