Anda di halaman 1dari 6

Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah
dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gangguan
penglihatan. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal atau alasan kosmetik.Pada
kasus berat dapat terjadi diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu tumbuh
di kornea dan kuatir akan adanya keganasan(Ilyas, 2011).

Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi, pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan


konjungtiva.Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga
pterigium yang avaskular dan datar (Zaki, 2011).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis pterigiumadalah topografi
kornea, yang untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisma irregular yang
disebabkan oleh pterigium (Fisher, 2013).

Secara klinis pterigium sering didiagnosis banding dengan kelainan mata yaitu
pinguekula dan pseudopterigium. Pinguekula adalah kelainan mata yang terdapat pada
kunjungtiva bulbi, pada bagian nasal maupun temporal, di daerah celah kelopak mata.
Pinguekula terlihat sebagai penonjolan berwarna putih kuning keabu-abuan, berupa
hipertrofi yaitu penebalan selaput lendir. Bentuknya kecil, meninggi dan kadangkadang
mengalami inflamasi. Secara histopatologik pada puncak penonjolan ini terdapat degenerasi
hialin. Pinguekula tidak menimbulkan keluhan, kecuali apabila menunjukkan peradangan
sebagai akibat iritasi. Dalam keadaan iritasi, maka dapat disertai seperti ada benda asing
(James, Chew, Bron, 2006)

Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana jaringan parut fibrovaskular timbul


pada konjungtiva bulbi menuju kornea Dapat terjadi dalam proses penyembuhan suatu ulkus
kornea atau kerusakan permukaan kornea, konjungtiva menutupi luka kornea tersebut,
sehingga terlihat seolah-olah konjungtiva menjalar ke kornea. Keadaan ini disebut
pseudopterigium. Pseudopterigium merupakan kelainan terdapatnya perlengketan
konjungtiva dengan kornea yang cacat. (Laszuarni, 2009; Ilyas, 2011)
Konservatif
Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes
mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga
bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea (Ilyas, 2011).
Bedah
Pada pterigium derajat 3 dan 4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium, bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan
cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium adalah memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,
mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat. (Jerome P Fisher, 2013)
Indikasi Operasi
- Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.
- Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil.
- Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatisma.
- Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,di buktikan
dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan,
meskipun tidak ada yang diterima secara universal karenatingkat kekambuhan yang bervariasi.
Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisipterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.
Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea
yang mendasarinya.Keuntungantermasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang
minimal dan halus dari permukaan kornea (American Academy of Oplthalmology, 2005).
1. Eksisi Pterigium
Anaetesi subkonjungtiva 4% Lignocaine (Xylocaine) jika pasien kurang kooperatif dapat
digunakan anestesi peribulbar. Pisahkan bagian kepala pterigium dengan limbus dengan
surgical blade. Kemudian bagian leher dan badan diseksi dengan gunting Westcott skitar 4-6
mm dari limbus. Cara lain adalah dengan diseksi dibawah badan pterigium. Dengan respositor
iris pisahkan badan pterigium dengan kornea. Setelah eksisi hamper seluruh bagian tenon,
subkonjungtiva dan jaringan fibrovaskular dipisahkan dari konjungtiva dan lanjutkan eksisi ke
arah fornik sampai karunkula. Hati-hati jangan merusak otot rectur medialis. Control
perdarahan dengan kauter.
2. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, dan memungkinkansklera untuk
epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24% dan 89%, telah didokumentasikan dalam
berbagai laporan (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
3. Teknik Autograft Konjungtiva
Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbi
superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah dieksisi pterigium tersebut. Komplikasi
jarang terjadi dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-
hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva d, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat
dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan
menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan
sangat rendah dengan teknik ini. Namun berdasarkan penelitian, tingkat kekambuhan teknik
sangat beragam, diantaranya 2,6% dan 10,7% untuk pterigium primer dan setinggi 37,5%
pterigium berulang (Holland & Mannis, 2002).
4. Simple Closure
Pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek
konjungtiva sangat kecil).
5. Sliding Flap
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap konjungtiva untuk
menutup luka.
6. Rotational Flap
Insisi bentuk U dibuat di sekitar luka untuk membentuk lidah dari konjungtiva yang
diputar untuk menutup luka.
7. Lamellar Keratoplasty
Excimer laser fototerapi keratektomi dan yang terbaru dengan mengunakan gabungan
steroid angiostatik.
8. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi masalah, karena
itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterigium. Studi telah
menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah berkurang dengan penambahan terapi ini, tetapi
ada komplikasi dari terapi tambahan ini (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuan untuk menghambat
fibroblast. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif
belum ditemukan . Ada dua bentuk MMC yang saat ini digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif
MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan obat tetes mata MMC
topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya
intraoperatif untuk mengurangi toksisitas. (Imelda, 2010)
Sehingga, untuk mencegah kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan pemberian:

- Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,bersamaan


dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai
6 minggu.
- Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.

Menurut Fisher (2013), komplikasi pterigium antara lain :

- Distrorsi dan penglihatan sentral berkurang

- Mata merah

- Iritasi

- Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

- Pada pasien yang belum eksisi,scarpada otot rectus medial yang dapat menyebabkan
diplopia
Komplikasi setelah eksisi pterigium adalah:

- Infeksi,reaksi bahan jahitan (benang),diplopia,scar kornea,konjungtiva graft


longgar,dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemmorage
atau retinal detachment.

- Penggunaan mytomicin C setelah operasi dapat menyebabkan ektasis pada sklera dan
kornea.
- Kekambuhan berulang

Komplikasi jangka panjang setelah operasipterigium, yaitu:


- Penipisan kornea atau sklera dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah operasi.
Penatalaksanaan kasus ini sangat sulit.

- Beberapa kasus ,penggunaan MMC topikal sebagai terapi tambahan dan setelah
operasi pterigium menyebabkan kelainan seperti mencairnya sklera dan atau kornea

Komplikasi yang paling umum dari pterigium adalah kekambuhan setelah operasi.
Eksisi bedah sederhana memiliki tingkat kekambuhan tinggi sekitar 50-80%. Tingkat
kekambuhan telah dikurangi menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts
konjungtiva atau lumbal atau transplantasi membran pada saat eksisi. Meskipun
jarang,degenerasi ganas jaringan epitel yang melapisi pterigium dapat terjadi.

\
Penggunaan lem biologis seperti lem fibrin, mulai dikembangkan pada tindakan
pembedahan pterigium sebagai pengganti jahitan. Lem fibrin memiliki dua komponen yaitu
fibrinogen dan trombin. Kedua komponen tersebut digabungkan sesaat sebelum melakukan
penempelan jaringan tandur konjungtiva sehingga akan menyerupai tahap terakhir proses
pembekuan darah dengan terbentuk gumpalan fibrin yang stabil, membantu menghentikan proses
perdarahan saat operasi, mengurangi hiperemis dan kemosis konjungtiva pascabedah, serta
memiliki daya perekatan yang kuat. Penggunaan lem fibrin juga mengurangi waktu operasi serta
mempercepat penempelan jaringan dan penyembuhan luka. (Rifada dkk, 2013)
Lem fibrin komersial terdiri atas komponen fibrinogen dan trombin darah donor
(homologus), serta ditambahkan pula komponen aprotinin dari bovine. Aprotinin adalah protein
yang menghambat enzim pemecah pembekuan darah. (Sekelj et all, 2014).
Proses pembuatan lem fibrin komersial telah diusahakan menghilangkan kemungkinan
transmisi penyakit walaupun tidak dapat dicegah secara pasti. Selain itu, komponen bovine dapat
menimbulkan reaksi imunologis. Lem fibrin komersial telah dipergunakan pada pembedahan
pterigium dengan memberikan hasil waktu operasi yang lebih pendek, rasa nyeri yang lebih rendah,
dan rasa lebih nyaman pascabedah dibandingkan dengan menggunakan teknik jahitan.3,5 Lem fibrin
komersial belum tersedia di Indonesia, selain itu Food and Drugs Administration (FDA) belum
memberikan izin untuk penggunaan pada bidang mata. (Rifada dkk, 2013)
Lem fibrin otologus atau LFO tersebut mulai dikembangkan, yaitu berupa komponen
fibrinogen dan trombin berasal dari darah penderita yang bersangkutan sehingga tidak ada risiko
transmisi penyakit atau dapat bereaksi terhadap protein plasma. Penelitian eksperimental pada
binatang telah dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 atas kerjasama Laboratorium Sentral Pusat
(Biologi Molekular) Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Padjadjaran (Unpad), PT Bio Farma,
Departemen Histologi FK Unpad, serta Departemen Patologi Klinik Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Penelitian itu membandingkan teknik jahitan dengan teknik LFO. Hasilnya didapatkan
lama operasi lebih singkat dan perlekatan jaringan tandur konjungtiva lebih rapat menempel, serta
lebih stabil yang dibuktikan secara mikroskopik tanpa celah luka pada teknik LFO. Pada tahun 2010
dilakukan uji klinis pada penderita pterigium noninflamasi dan didapatkan hasil derajat rasa nyeri
dan derajat hiperemis yang lebih kecil pada teknik LFO dibandingkan dengan teknik jahitan. (Rifada
dkk, 2013)

Anda mungkin juga menyukai