Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu fase akut dari angina pektoris tidak stabil
(APTS) yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa
gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis
akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (vulnerable). Laju mortalitas awal (30
hari) mencapai 30 % dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien tiba di
rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam dua dekade terakhir,
sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun
pertama setelah IMA.
Risiko serangan semakin tinggi dengan bertambahnya usia, pria mempunyai risiko
lebih tinggi dari pada wanita, tapi perbedaan ini makin lama semakin mengecil dengan
meningkatnyan umur. Frekuensi SKA juga akan meningkat bila terdapat faktor-faktor
predisposisi aterosklerosis. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya keadaan ini antara lain
hipertensi, diabetes melitus, dislipidemi, merokok, diet kurang olah raga, stress, serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Faktor pencetus lainnya aktivitas fisik berat,
stres, emosi, segera setelah makan, atau penyakit medis dan bedah.
Dengan pengobatan farmakologis, berbagai penelitian menunjukkan bahwa dalam 1
tahun pertama, variasi persentase penderita APTS yang mengalami IMA berkisar antara 6-
60% dengan tingkat kematian 1-40%. Penelitian Heng dkk melaporkan bahwa selama
perawatan di rumah sakit terdapat 26% penderita APTS dengan angina berulang mengalami
IMA. Sedangkan tanpa angina berulang hanya 10%. Demikian juga Julian melaporkan dalam
1 tahun, 8% penderita APTS mengalami IMA dengan tingkat kematian 12%. Juga dilaporkan
kejadian IMA pada fase perawatan dari rumah sakit adalah 6,25% dengan tingkat kematian
2,08% sedangkan pada fase pemeriksaan tindak lanjut 20,45% dengan tingkat kematian 0%.
Sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari : 1. Angina pektoris tidak stabil
(Unstable Angina Pectoris / UAP), 2. IMA tanpa elevasi ST (non ST elevation myocardial
infarction / NSTEMI), 3. IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction / STEMI).
Salah satu komplikasi SKA adalah aritmia berupa fibrilasi atrial (AF). AF dilaporkan
telah memperberat kejadian AMI pada 6-21% pasien rawat inap. Secara klinis, timbulnya AF
penting karena laju ventrikel yang cepat dan ireguler selama aritmia dapat menyebabkan
gangguan lebih lanjut sirkulasi koroner dan fungsi ventrikel disamping konsekuensi aktivasi
neurohormonal.
Beratnya komplikasi AF berupa thrombosis dan emboli serebral menyebabkan
perlunya penanganan segera untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

BAB II
AMI DENGAN ELEVASI ST
(ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION / STEMI)
II.1. Definisi
STEMI adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu, aliran
darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya/menetap.

II.2. Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini
dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous
cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan
respons terhadap terapi trombolitik.
Pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu
aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan
konfirmasi reseptor glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara stimultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI juga dapat disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan
berbagai penyakit inflamasi sistemik.

II.3. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri
dada yang berasal dari jantung, perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau
bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-
faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stres serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stres, emosi atau penyakit medis dan bedah. Walaupun STEMI dapat
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan terutama pada pagi hari
dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Bila pasien ditanya secara cermat, mereka sering
mengatakan bahwa waktu sebelum serangan bervariasi dari hari pertama hingga 2 minggu.
II.1.4. Gejala klinis
Kebanyakan pasien dengan IMA mencari pengobatan karena rasa sakit di dada.
Namun demikian, gambaran klinis bisa bervariasi dari pasien yang datang untuk melakukan
pemeriksaan rutin, sampai pasien yang merasa nyeri di daerah substernal yang hebat dan
secara cepat berkembang menjadi syok dan edema pulmonal, dan ada pula pasien yang baru
saja tampak sehat lalu tiba-tiba meninggal.
Serangan infark miokard biasanya akut, dengan rasa sakit seperti angina, tetapi tidak
seperti angina yang biasa, di sini terdapat penekanan yang luar biasa pada dada atau
perasaan akan datangnya kematian. Bila pasien sebelumnya pernah mendapat serangan
angina, maka ia tahu bahwa sesuatu yang berbeda dari serangan angina sebelumnya sedang
berlangsung. Kebalikan dari angina yang biasa, IMA terjadi sewaktu pasien dalam keadaan
istirahat, sering pada jam-jam awal setelah bangun tidur di pagi hari. Nitrogliserin tidak
mengurangi rasa sakit yang lama-lama bisa berkurang/menghilang dan bisa pula bertahan
berjam-jam bahkan sampai berhari-hari.
Terdapat laporan adanya infark miokard tanpa disertai rasa sakit. Namun bila pasien
ditanya secara cermat, mereka biasanya menerangkan adanya gangguan pencernaan atau
rasa benjol di dada yang samar-samar yang hanya sedikit menimbulkan rasa tidak enak.
Sesekali pasien akan mengalami rasa napas yang pendek (seperti orang kelelahan) dan
bukannya tekanan pada substernal. Sesekali bisa pula terjadi cekungan atau singultus akibat
iritasi diafragma oleh infark dinding inferior. Pasien biasanya tetap sadar , tetapi gelisah,
cemas atu bingung.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada
angina adalah sebagai berikut :
 Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
 Sifat nyeri : diffuse, rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
nyeri tumpul, rasa diperas, dan dipelintir.
 Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung atau interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
 Faktor pencetus : latihan fisik, stres, emosi, udara dingin dan sesudah makan.
 Gejala yang menyertai : mual, muntah sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan
lemas.
Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering
dijumpai pada diabetes melitus dan pada usia lanjut.

II.5. Pemeriksaan fisik


Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan atau hipotensi) dan hampir setengah
pasien infark inferior menunjukkkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan atau
hipotensi).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Nadi biasanya cepat, kecuali
bila ada blok AV yang komplit atau inkomplit. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late
sistolik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katub mitral dan
pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu
pertama pasca STEMI.

II.6. Pemeriksaan penunjang


Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan
EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap ada gejala dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q,
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q.

Tabel 1. Perubahan EKG setelah infark miokard akut


Waktu setelah IMA Perubahan EKG

Sampai beberapa jam Dapat normal atau perubahan tidak khas


Jam Pembentukan gelombang Q, elevasi
segmen ST
Jam sampai hari Inversi gelombang T, elevasi segmen ST
berkurang
Hari sampai minggu Inversi gelombang T, segmen ST isoeletrik

Minggu sampai bulan Gelombang Q menetap

Tahun 10% kasus dapat kembali normal


Posterior infarction
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien
STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.

Biomarker kerusakan jantung


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan Cardiac specific
Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakkan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuti dengan peningkatan CKMB. Troponin T/I mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas tinggi sebagai petanda kerusakan sel miokard dan prognosis. Pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung
pada pemeriksaan biomarker.
Bila peningkatan nilai enzim di atas, 2 kali nilai batas atas normal, menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).
 CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada miokard infark dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik meningkatkan CKMB.
 cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari . (Nilai normal troponin
ialah 0,1--0,2 mg/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 mg/dl.
 Mioglobin : dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
 Creatinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
 Lactic Dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
 SGOT/AST (Aspartat Amino Transferase) : SGOT ditemukan di jantung, hati, otot,
rangka, ginjal dan otak. SGOT meningkat pada bendungan hati akibat gagal jantung.
Pada IMA, SGOT meningkat setelah 8-12 jam, mencapai puncak setelah 36-48 jam
dan kembali normal setelah 2-4 hari.
 Leukosit : reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan
menetap selam 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.

Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi jauh lebih bermanfaat daripada
ekokardiografi M-mode, karena :
 Orientasi ruangnya lebih luas sehingga kepekaan lebih tinggi.
 Pada IMA dapat tampak kontraksi asinergi di daerah yang rusak dan penebalan
sistolik dinding jantung yang menurun.
 Dapat ditemukan daerah dan luas IMA yang terkena.
 Dapat mendeteksi penyulit-penyulit seperti aneurisma ventrikel, trombus, ruptur m.
papillaris atau korda tendinea, ruptur septum, tamponade jantung akibat ruptur
jantung, pseudoaneurisma jantung.
 Berguna untuk menilai faal jantung secara umum dan membantu menetapkan
adanya infark ventrikel kanan.

Radioisotop
 Technetium 99m pyrophosphate positive imaging (hot spot scan) berguna pada 24-
48 jam pasca infark sampai kira-kira 10-14 hari. Radionuklid ini diambil dan terikat
pada daerah-daerah nekrotik dan tidak pada daerah normal sehingga pada IMA
transmural akan tampak sebagai hot spot.
 Thallium 201 perfusion scanning sebaliknya memberi gambaran cold spot pada
daerah-daerah yang tidak cukup mendapat perfusi darah.
 Gated blood pool scanning akan membantu analisis pergerakan dinding jantung dan
faal jantung.
Radiologi
Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu menegakkan diagnosis IMA dengan
elevasi ST. Namun demikian akan berguna bila ditemukan adanya bendungan paru (gagal
jantung) atau kardiomegali.

II.7. Diagnosis
Diagnosis IMA dengan elevasi ST/STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri
dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sadapan
prekordial yang berdampingan atau ≥1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim
jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan
memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat
prinsip utama penatalaksanaan IMA adalah time is muscle.
Kriteria diagnostik :
 Nyeri dada khas atau tipikal (substernal > 30menit, menjalar, tidak hilang saat
istirahat).
 EKG khas infark : gelombang Q patologis, elevasi ST, inversi gelombang T.
 Peningkatan serum enzim lebih dari 2 kali nilai normal (peningkatan kadar LDH, CPK,
CKMB, SGOT dan Troponin T).
Menurut kriteria WHO (1983), diagnosis IMA dapat ditegakkan bila memenuhi 2 dari
3 kriteria di atas.
Diagnosis yang terlambat atau salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan
konsekuensi yang berat.

II. 8. Diagnosis banding


♦ Angina pektoris tidak stabil (Unstable Angina Pectoris)

Elektrokardiografi tanpa serangan nyeri dada biasanya normal saja. EKG pada waktu
serangan didapati segmen ST elevasi tanpa disertai gelombang Q patologis dan tanpa
disertai peningkatan enzim.

♦ Diseksi aorta akut


Nyeri dada disini umumnya amat hebat, dapat menjalar ke perut dan punggung.
Nadi perifer dapat asimetris dan dapat ditemukan bising diastolik dini di parasternal kiri.
Pada foto rontgen dada tampak pelebaran mediastinum.

♦ Perikarditis akut

Nyeri dada yang lebih berat pada saat inspirasi

♦ Kelainan intra abdominal (kolik kolelitiasis, kolelitiasis akut, pankreatitis akut)

Rasa sakitnya adalah diffus dan bersifat mencekam, mencekik, mencengkeram atau
membor. Paling nyata didaerah subternal, dari mana ia menyebar kedua lengan,
kerongkongan atau dagu, atau abdomen sebelah atas.

♦ Kelainan lokal dinding dada

Nyeri umumnya setempat, bertambah dengan tekanan atau perubahan posisi.

♦ Kelainan saluran cerna bagian atas (hernia diafragmatika)

Nyeri berkaitan dengan makanan dan cenderung timbul pada waktu tidur. Kadang-
kadang ditemukan EKG non-spesifik.

♦ Kompresi saraf (terutama C-8)

Nyeri terdapat pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut.

II.9. Komplikasi
► Disfungsi ventrikuler

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran serta
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara
klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri
mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark antara lain; slippage
serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik.
Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark. Pembesaran ruang jantung
secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi pasca
infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata,
lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis yang buruk. Progresivitas dilatasi dan
konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain.
Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor
ACE harus diberikan.

► Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah
sakit akibat STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda
klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4
gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.

► Gangguan irama dan konduksi


a. Aritmia
Insiden aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard. Karena
aritmia lazim ditemukan pada fase akut IMA, hal ini dapat pula dipandang sebagai bagian
perjalanan penyakit IMA. Aritmia perlu diobati bila menyebabkan gangguan
hemodinamik, meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dengan akibat mudahnya
perluasan infark, atau bila merupakan predisposisi untuk terjadinya aritmia yang lebih
gawat seperti takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel atau asistol. Karena prevalensi aritmia
terutama paling sering pada 24 jam pertama sesudah serangan dan banyak berkurang
pada hari-hari berikutnya, jelaslah bahwa hari-hari pertama IMA merupakan masa-masa
terpenting.
b. Sinus bradikardia
Umumnya disebabkan oleh vagotonia dan sering menyertai IMA inferior atau
posterior. Bradikardia sinus simtomatik, sinus pauses >3 detik atau bradikardia dengan
frekuensi jantung <40 kali/menit disertai hipotensi dan tanda gangguan hemodinamik
sistemik. Bila hal ini menyebabkan keluhan, hipotensi, gagal jantung, atau bila disertai
peingkatan iritabilitas ventrikel, diberi pengobatan dengan sulfas atropin IV 0,5 - 1 mg tiap
3 – 5 menit untuk mencapai frekuensi jantung 60 kali tiap menit. Bila atropin gagal perlu
dipikirkan pemasangan alat pacu jantung. Isoprenalin (dosis 1 – 2 mg / menit) dapat
dicoba sebelum pemasangan pacu jantung, tetapi harus diingat bahwa obat ini
mempunyai ambang keamanan yang sempit dan cenderung menyebabkan takiaritmia dan
perluasan infark.
c. Gangguan hantaran arterioventrikuler
Blok AV derajat 1 umumnya ditemukan pada IMA inferior dan tidak perlu diobati.
Blok AV derajat 2 juga umumnya menyertai IMA inferior dan biasanya merupakan blok AV
Mobitz tipe 1 Wenckebach. Pengobatan hanya diperlukan bila irama ventrikel lambat dan
atau iritabilitas ventrikel meningkat atau bila disertai gagal jantung atau syok. Blok AV
derajat 2 tipe 2 jarang dan umumnya menyertai IMA anterior. Blok AV jenis ini biasanya
cenderung memburuk menjadi blok AV total. Respon terhadap atropin sering buruk dan
secepatnya perlu dipasang pacu jantung. Blok AV derajat 3 (blok total) pada IMA inferior
umumnya didahului blok AV derajat 2 dan bermanifestasi sebagai irama nodal dengan
kompeks QRS normal dan frekuensi 50–60 kali permenit. Blok AV ini disebabkan karena
nekrosis jaringan konduksi yang sering menyertai IMA yang luas. Mortalitas disini tinggi
walau dipasang pacu jantung.
d. Sinus takikardia
Ditemukan pada 1/3 kasus IMA dan umumnya sekunder akibat peningkatan tonus
saraf simpatis, gagal jantung, nyeri dada, perikarditis, dll. Pengobatan ditujukan pada
kelainan dasar. Sering berhasil dengan pemberan obat sedatif atau analgetik. Takikardia
sinus yang menetap akan meningkatakan kebutuhan oksigen miokard dan menyebabkan
perluasan infark.
e. Kontraksi prematur ventrikel
Hal ini praktis ditemukan pada semua pasien IMA. Indikasi pemberian pengobatan
adalah bila kontraksi prematur ventrikel sering ditemukan (> 6 kali / menit), multiform,
timbul berpasangan atau berturut-turut atau fenomen R diatas T. Obat pilihan yaitu
lidokain 1–2 mg / kgBB IV perlahan-lahan. Dapat diulang setelah 3-10 menit sampai
maksimal 300 mg. dosis pemeliharaan 2-4 mg / menit.

► Infark ventrikel kanan


Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior menunjukkan sekurang-
kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas
primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabakan tanda
gagal ventrikel kanan yang berat (peningkatan tekanan vena jugularis, tanda Kussmaul’s,
hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sandapan V4R, sering
dijumpai dalam 24 jam pertama pasien infark vntrikel kanan.
Pada pengobatan gagal jantung, diberikan furosemid dosis 20-40 mg dan diulang
tergantung keperluan. Pemberian venodilator seperti nitrogliserin topikal atau isosorbid
dinitrat sublingual atau peroral akan mengurangi bendungan paru dan sesak nafas. Obat
lain yang diberikan adalah dopamin (3-15 mg / kgBB / menit) dan dobutamin (2,5-10 mg /
kgBB / menit). Obat-obatan ini merupakan obat yang poten dan kardioselektif.

► Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi premature ventrikel sporadis yang tidak sering terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi.

► Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik
mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
Gambaran klinis penderita ini adalah hipotensi disertai keringat dingin, gelisah dan
keadaan memburuk terus hingga tekanan darah tidak terukur.

► Tromboembolisme
Trombus mural dapat ditemukan di ventrikel kiri pada tempat IMA dan kadang-
kadang terjadi dalam 24 jam. Bila diketahu terdapat trombus mural, antikoagulan (heparin
yang disusul dengan preparat koumarin) perlu diberikan.

► Aneurisma ventrikel
Dapat timbul setelah terjadi IMA transmural. Penonjolan paradoksal dinding depan
jantung kiri pada sistolik dapat diraba pada masa dini IMA anterior luas. Tetapi umumnya
hanya temporer. Umumnya diperlukan waktu beberapa bulan sebelum suatu aneurisma
terbentuk. Secara radiologis dapat ditemukan penonjolan batas jantung dan pada EKG
tampak elevasi segmen ST yang menetap. Risiko aneurisma ventrikel adalah curah jantung
yang menurun, trombus mural dengan emboli dan aritmia ventrikel. Aneurismektomi dan
operasi lintas koroner diperlukan bila ditemukan gagal jantung, angina atau aritmia
refrakter.
► Perikarditis
Sering ditemukan dan ditandai dengan nyeri dada yang lebih berat saat inspirasi dan
tidur terlentang. Bunyi gesek perikardial dapat didengar tapi sering hanya sementara.
Pengobatan dengan aspirin atau kadang-kadang indometasin umumnya cukup. Pada
kasus-kasus berat dapat diberi steroid.
II.10. Komplikasi mekanik
● Regurgitasi mitral akut
Relatif lebih ringan dan bersifat sementara, disebabkan oleh disfungsi otot papilaris.
Secara klinis ditandai oleh bising pansistolik di apeks. Ruptur otot papilaris dan atau korda
tendinea lebih jarang dan sering menyebabkan gagal jantung akut dan penurunan tekanan
darah. Diagnosis pasti dapat dibuat dengan ekokardiograafi dan lebih jauh dengan
penyadapan jantung. Pengobatan cepat (diuretik dan vasodilator) diperlukan. Operasi
penggantian katub mitral kadang-kadang perlu dilakukan, teapi bila mungkin setelah
kondisi hemodinamik agak lebih stabil, 4-6 minggu setelah serangan IMA.

● Ruptur septum ventrikel dan dinding ventrikel


Ruptur ventrikel menyebabkan tamponade, renjatan, dan klinis dapat diketahui
dengan adanya disosiasi elektromekanis (masih ada aktivitas elektris tanpa ditemui
aktivitas mekanis). Operasi segera sering terlambat. Ruptur septum interventrikuler
mengakibatkan pintas kiri ke kanan dengan hipotensi, bendungan paru, dan tanda lain
gagal jantung kiri dan kanan. Pengobatan pertama pada regurgitasi mitral akut. Operasi
bila mungkin ditunda sampai 6 minggu untuk memberi kesempatan tepi daerah rupture
mengalami fibrosis dan operasi lebih dini sering memberi hasil yang relatif lebih baik.

II.11. Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST (STEMI) saat ini mengacu pada data-data dari
evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang
ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline) yaitu dari ACC/AHA tahun 2004
dan ESC tahun 2003. Namun demikian masih perlu disesuaikan dengan kondisi sarana atau
fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di
bidang kardiologi intervensi).
Tujuan utama tatalaksana IMA pertama adalah : 1. diagnosis cepat, 2. menghilangkan nyeri
dada dan cemas, 3. penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, 4.
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, 5. pemberian obat penunjang, 6.
mencegah dan mengobati sedini mungkin komplikasi (30-40%) yang serius.
A. Tatalaksana awal
● Tatalaksana pra rumah sakit
Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan adanya
fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi pada 24 jam pertama onset
gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama
tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain;
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis,
2. Segera memanggil tim medis gawat darurat yang dapat melakukan tindakan
resusitasi,
3. Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih,
4. Melakukan terapi reperfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan
selama transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada
sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Ini bisa ditanggulangi dengan cara
edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di
Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital belum bisa dilakukan.

● Tatalaksana di IGD
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup; mengurangi
atau menghilangkan nyeri dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi reperfusi segera, mengklasifikasi pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di
rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
B. Tatalaksana umum
● Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Langkah ini berguna untuk menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai
dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/menit secara kanul hidung. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan selama 6 jam pertama.

● Nitrogliserin (NTG)
Nitroglserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada.
NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload
dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat
diberikan NTG IV (intravena). NTG IV juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau
edema paru.
Kontraindikasi pemakaian nitrat : 1). Pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg, 2). Pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada
EKG, JVP meninkat, paru bersih dan hipotensi), 3). Pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu
efek hipotensi nitrat.
Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada
tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10
ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100
mmHg.

● Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada


Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simptis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
jantung.
- Morfin, merupakan analgesik pilihan untuk tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Dosis 2-
4 mg iv dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek
samping yang perlu diwaspadai:
a. depresi napas,
b. konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis sehingga terjadi pooling
vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri, efek hemodinamik ini
dapat diatasi dengan elevasi tungkai serta penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%,
c. efekvagotonik menyebabkan hipotensi/bradikardia atau blok jantung derajat tinggi,
terutama pasien dengan infark posterior, efek ini dapat diatasi dengan pemberian
atropin 0,5 mg IV.
- Aspirin, merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindrom koroner akut. Aspirin bukkal dosis 160-325 mg di IGD,
selanjutnya diberikan secara oral dosis 75-162 mg.
- Beta bloker IV; nitrat, metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan
syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR
<0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. 15 menit setelah dosi IV
terakhir dilanjutkan denagn metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48
jam, dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

● Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa
didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif mengembalikan perfusi pada
STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan outcome
klinis jangka pendek dan janga panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI
primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien 75 tahun), risiko
perdarahan meningkat atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis.
Kekurangannya, PCI lebih mahal dan tidak semua RS tersedia.

Indikasi PCI:
 Acute STEMI
 Non- ST- elevation acute coronary syndrome (NSTE-ACS)
 Stable angina
 Angina equivalent (dispnea, aritmia, atau pusing/sinkop)
 Pasien dengan bukti objektif iskemia miokard sedang – berat tanpa gejala atau
dengan gejala ringan
Kontraindikasi PCI:
 Stenosis left main coronary artery
 Arteri atau vena berkaliber kecil

 PCI Penyelamatan
PCI Penyelamatan didefinisikan sebagai PCI yang dilakukan pada arteri koroner
yang tetap tersumbat meski terapi fibrinolitik telah dilakukan. Identifikasi dengan cara
yang non-invasif terhadap gagal nya fibrinolisis masih menjadi hal yang menantang.
Tetapi, resolusi segmen ST 50% pada lead dengan peningkatan ST segmen yang paling
tinggi dalam 60-90 menit setelah dimulainya terapi fibrinolitik, semakin dipakai sebagai
batas. PCI penyelamatan tampak layak dan relative aman. Pada studi acak pada 427
pasien, peningkatan harapan hidup 6 bulan setelah kegagalan fibrinolitik, PCI
penyelamatan secara signifikan lebih tinggi daripada pemberian agen fibrinolitik yang
diulang ataupun terapi konservatif. Metaanalisis terbaru, termasuk REACT, menunjukkan
PCI penyelamatan berhubungan dengan penurunan gagal jantung dan infrak ulangan
secara signifikan serta mortalitas juga, jika dibandingkan dengan terapi konservatif.
Namun sebagai gantinya, terdapat peningkatan risiko stroke dan komplikasi perdarahan.
PCI penyelamatan harus dipertimbangkan ketika terdapat bukti kegagalan terapi
fibrinolitik berdasarkan gejala klinis, resolusi segmen ST (50 %) yang tidak berlangsung,
jika terdapat bukti klinis dan EKG terdapat infark yang luas, dan jika prosedur dapat
dilakukan dalam waktu yang tepat ( sampai 12 jam dari onset gejala).

● Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure (komplikasi mekanik) atau takiaritmia ventrikuler
yang maligna.

● Reperfusi farmakologis
Jika tidak ada kontraindikasi terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit
sejak masuk RS. Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner.
Obat fibrinolitik : tissue plaminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK),
dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara emicu konversi plasminogen
menjadi plasmin yang selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok
yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin spesifik seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit)
digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial
infacrtion (TIMI) grading system:
- Grade 0 : oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark .
- Grade 1 : penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tanpa perfusi
vascular distal.
- Grade 2 : perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan
aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
- Grade 3 : perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya
infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka
pendek dan jangka panjang.

● Obat fibrinolitik
- Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan SK, tidak
boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Keuntungannya ialah
harga murah dan insiden perdarahan intracranial rendah. Manfaat pertama diperlihatkan
pada GISSI-1 trial.
- Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)
GUSTO (Global Use Strategis to Open Occlude Coronary Arteries)-1 trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat
tPA dibandingkan SK. Kerugiannya ialah harga lebih mahal dari SK dan risiko pedarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi.
- Reteplase (Retavase)
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan tPA pada GUSTO
III trial, dengan dosis bolus (intravena) lebih mudah karena waktu paruh lebih panjang.
- Tenekteplase (TNKase)
Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifitas fibrin dan resistensi tinggi
terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 10B
menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang
sama dibandingkan tPA.

Tabel 2. Obat fibrinolitik mutakhir dalam pengobatan STEMI


Streptokinase Alteplase Reteplase Tenecteplase
(rt-PA) (r-PA) (TNK-PA)
T ½ (menit) 15-25 4-8 11-14 17-20
Alergenik Ya Tidak Tidak Tidak
Spesifik fibrin - + + ++
Resisten PAI-1 - - - +
Bolus Tidak Tidak Dobel Satu
Dosis 1,5 juta unit 15 mg bolus, 10 U Berdasarkan BB:
lebih dari 30- dilanjutkan bolus, dua < 60 kg 30 mg
60 menit dengan 0,75 kali 60-60kg 35 mg
mg/kg (maks interval 30 70-79kg 40 mg
50 mg) lebih menit 80-89kg 45 mg
dari 30 menit, > 90 kg 50 mg
dilanjutkan
0,5 mg/kg
(maks 35 mg)
lebih dari 1
jam
Dikutip dari 2

Indikasi terapi fibrinolitik :


a. Klas I
1. Jika tidak ada kontraindikasi terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI
dengan onset gejala <12 jam dan elevasi ST >0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2
sadapan prekordial atau sekurang-kurangnya 2 sadapan ekstremitas.
2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dibeikan pada pasien STEMI
dengan onset gejala <12 jam dan diduga baru.
b. Klas II a
1. Jika tidak terdapat kontra indikasi, dipertimbangakn pemberian fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan EKG 12 sadapan konsisten dengan
infark miokard posterior.
2. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik
pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam sampai 24 jam yang
mengalami gejala iskemi yng terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-
kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2
sadapan ekstremitas.
Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan
elevasi ST >50% dalam 90 menit pemberian trombolitik.

Kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI


a. Kontraindikasi absolut
- Riwayat perdarahan intraserebral
- Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
- Terdapat neoplasma intakranial ganas (primer atau metastasis)
- Strok iskemik dalam 3 bulan, kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
- Curiga diseksi aorta
- Perdarahan aktif atau diatesis berdarah (kecuali menstruasi)
- Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

b. Kontraindikasi relatif
- Riwayat hipertensi kronik berat, tidak terkontrol
- Hipertensi berat tidak terkontrol saat masuk ( TDS > 180 mmHg atau TDD > 110
mmHg
- Riwayat strok iskemik sebelumnya lebih dari 3 bulan, demensia, atau diketahui ada
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontra indikasi.
- Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10 menit) atau operasi besar (<3
minggu)
- Perdarahan internal baru (dalam 2-4 minggu)
- Pungsi vaskular yang tidak terkompresi
- Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan > 5 hari sebelumnya atau reaksi
alergi sebelumnya terhadap obat ini.
- Kehamilan
- Ulkus peptikum aktif
- Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko perdarahan.

 Antitrombotik
Penggunaan antiplatelet dan antitrombotik pada fase awal STEMI didasarkan pada
bukti klinis bahwa thrombosis berperan besar terhadap pathogenesis kejadian ini. Tujuan
utama terapi antitrombotik adalah untuk mempertahankan patensi arteri terkait-infark,
dalam hubungannya dengan reperfusi. Tujuan lain adalah mengurangi kemungkinan
terjadinya thrombosis.
Aspirin merupakan antiplatelet standar pada kasus STEMI. Terapi tambahan dengan
clopidogrel, yang merupakan inhibitor reseptor P2Y 12 ADP sehingga aktivasi dan agregasi
platelet terhambat, menurunkan angka mortalitas dan morbiditas (reinfarksi dan stroke).
Inhibitor reseptor glycoprotein IIb/ IIIa (abciximab, eptifibatide, tirofiban) juga
bermanfaat dalam mencegah komplikasi thrombotic pada pasien yang menjalani PCI.
Antitrombin yang biasa digunakan adalah unfractioned heparin (UFH). Penggunaan
UFH bersama dengan aspirin dan streptokinase terbukti menurunkan angka mortalitas.
Pemberian UFH intravena bersama dengan aspirin dan agen fibrinolitik spesifik-fibrin
(tPA, rPA, TNK) membantu mempertahankan patensi arteri terkait-infark. Dosis yang
direkomendasikan adalah bolus inisial 60 U/kg (maksimum 4000 U) diikuti infuse inisial
12 U/kg per jam (maksimum 1000 U/jam).
Terapi alternative untuk antikoagulasi adalah preparat low-molecular-weight-therapy
(LMWH). Pada pasien dengan infark anterior, disfungsi LV berat, riwayat emboli, bukti
thrombus mural pada echocardiography, atau fibrilasi atrial harus menerima dosis
terapeutik penuh antitrombin (LMWH atau UFH) selama hospitalisasi, diikuti terapi
warfarin selama 3 minggu.

 β- Adrenoceptor Blocker
Pemberian β-blocker pada fase awal STEMI memperbaiki hubungan kebutuhan-
suplai O2 miokard, mengurangi ukuran infark, dan menurunkan insidens aritmia
ventricular. Kontraindikasi terapi β- blocker pada pasien dengan gagal jantung, gangguan
berat fungsi LV, heart block, hipotensi ortostatik, dan riwayat asma.

 ACE Inhibitor
Penggunaan ACE inhibitor terbukti menurunkan angka mortalitas pada STEMI. Efek
ini paling terlihat pada pasien tua, atau dengan infark anterior dan penurunan fungsi LV.
Efek jangka pendek ACE inhibitor tampak pada pasien STEMI dengan keadaan
hemodinamik stabil.

 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


ARB diberikan pada pasien STEMI yang intoleran terhadap ACE inhibitor dan pada
pasien dengan tanda gagal jantung.

 Agen Lain
Penggunaan nitroglycerin intravena (inisiasi 5- 10 μg/min, maintenance hingga >200
μg/min) dalam 24 -48 jam pertama onset STEMI memperbaiki efek iskemia dan
remodeling ventrikel.
Penggunaan inhibitor faktor Xa fondaparinux terbukti menurunkan angka reinfarksi. 8

 Operasi Pintas Arteri Koroner (Coronary Artery Bypass Surgery)


Operasi pintas koroner merupakan terapi konsisten untuk pasien aterosklerosis
koroner secara angiografi, dimulai oleh Sones, Favaloro, dkk. pada tahun 1967. Konsep dasar
di balik operasi pintas adalah bahwa tanda dan gejala klinis penyakit arteri koroner terkait
dengan lesi stenosis koroner yang dapat diidentifikasi oleh angiografi, dan jika lesi tersebut
dilewati, maka tanda dan gejala klinis mereka menjadi berkurang. Pengalaman menunjukkan
bahwa konsep benar.
Operasi pintas efektif mengurangi gejala angina, dan uji acak awal menunjukkan
bahwa hal itu akan memperpanjang harapan hidup dari pasien dengan penyakit arteri
koroner berat (CAD). Seiring dengan pertumbuhan operasi pintas, berkembanglah
endoluminal, atau intervensi koroner perkutan (PCI) atau endoluminal. Farmakologi
pengobatan untuk CAD juga telah berkembang pesat, khususnya dalam dekade terakhir.
Indikasi CABG:
 Untuk prognosis
Untuk pasien yang memiliki peningkatan harapan hidup dengan operasi pintas,
bahkan tanpa adanya gejala yang parah termasuk mereka dengan stenosis arteri
koroner kiri sebesar 50 % atau dengan keterlibatan pembuluh darah yang multipel
dengan lesi pada arteri koroner LAD dan dengan fungsi ventrikel kiri yang abnormal.
Selain itu, pasien yang pernah menjalani operasi pintas, yang memiliki banyak
miokardium yang berisiko, harus menjalani operasi ulang bahkan jika tanpa adanya
gejala yang parah. Situasi ini adalah indikasi anatomi untuk operasi. Semakin buruk
gejala pada pasien dan semakin buruk fungsi ventrikel kiri, maka semakin tinggi
manfaat operasi ini. Pencitraan yang modern memungkinkan identifikasi pasien
dengan fungsi ventrikel kiri yang abnormal dan jumlah miokardium yang masih sehat,
satu hal yang tampaknya meningkatkan keuntungan yang besar dari operasi ini.
Untuk pasien non-diabetik dengan penyakit arteri multiple, lesi proksimal
arteri koroner LAD, dan fungsi ventrikel yang normal, revaskularisasi harus
dipertimbangkan bahkan jika tanpa gejala yang berat. Pada pasien kelompok ini,
setelah diikuti beberapa lama, kandidat yang baik untuk PCI memperlihatkan angka
harapan hidup yang sama dibandigkan dengan operasi; keuntungan dan kerugian
dari kedua strategi revaskularisasi harus didiskusikan dengan pasien. Pada pasien
dengan diabetes dan penyakit arteri multiple, data dari berbagai sumber
memperlihatkan peningkatan mortalitas yang berkaitan dengan PCI; oleh karena itu
operasi merupakan pilihan utama revaskularisasi pada pasien ini.
 Untuk menghilangkan gejala
Pasien tanpa penyakit arteri koroner yang mengancam nyawa, namun dengan gejala
angina, biasanya mendapatkan perbaikan gejala yang signifikan dan persisten setelah
operasi. Sebelum menyarankan operasi untuk menhilangkan gejala, daerah iskemia
yang disuplai oleh pembuluh darah cangkok harus di perlihatkan. Pilihan untuk
strategi revaskularisasi biasanya berdasarkan anatomi pembuluh koroner,
kemungkinan revaskularisasi sempurna dengan PCI, status diabetes, dan pilihan
pasien.
Kontraindikasi CABG
 Gagal jantung (NYHA kelas IV)
 Disfungsi ventrikel kiri yang berat (LVEF ≤ 20%)
 Tekanan diastolik ventrikel kiri > 25 mmHg
 Usia > 70 tahun
 Penyakit vaskuler perifer yang signifikan

C. Tatalaksana di Rumah Sakit ( ICCU )


● Aktivitas
Pasien harus istirahat total dalam 12 jam pertama.
● Diet
Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus
puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup
lemak < 30% kalori total dan kandungan kolesterol < 300 mg/hari. Menu harus diperkaya
dengan makanan yang kaya serat, kalium magnesium dan rendah natrium.

● Bowels

Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan rasa
nyeri sering mengakibatkan konstipasi. Penggunaan kursi komod dianjurkan di samping
tempat tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti
dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari)

● Sedasi

Sedasi diperlukan selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas


dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg atau lorazepam 0,5-2 mg
diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.

II.12. Rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi setelah infark miokard akut pada umumnya adalah untuk
mencapai kembalinya keadaan fisik, mental, dan sosial secara optimal. Rehabilitasi dini
dengan memperhatikan syarat-syarat di bawah pengawasan medis tidak berbahaya, malah
banyak keuntungannya, yaitu :
1. Mengurangi risiko infark miokard berulang, komplikasi infark miokard akut dengan
pencegahan sekunder.
2. Mengurangi beban ekonomi pada pasien dan keluarganya dengan mengurangi jumlah
perawatan di rumah sakit.
3. Bekerja kembali dengan perasaan aman.
4. Memperbaiki gaya hidup (quality of life) setelah infark miokard akut.

Pembagian fase rehabilitasi :


1. Fase IA di intensive cardiac care unit (ICCU) dengan mobilisasi pada hari ke-2. Sebagai
pedoman untuk pemantauan mobilisasi di ICCU yang diperhatikan adalah denyut
jantung tidak boleh > 120 kali / menit, tidak ada nyeri dada, tidak sesak nafas, tidak
lelah sekali, tidak timbul aritmia, tidak ada depresi segmen ST pada EKG pemantauan,
dan tekanan sistolik tidak menurun lebih dari 15 mmHg.
2. Fase IB di ruangan intermediate zone, pada akhir minggu ke-2, dilaksanakan naik tangga
dengan telemetri, lalu dipulangkan.
Tujuan program aktivitas fisik adalah untuk meneruskan usaha menghindari efek negatif
secara fisiologis dan psikologis akibat istirahat baring, dan menambah fungsi
kardiovaskular sampai pasien dapat mencapai tarif melakukan self care dan pekerjaan
rumah tangga yang ringan jika pasien kemudian dikeluarkan dari rumah sakit.
3. Fase II (convalescence phase), di rumah, pada akhir minggu ketiga dilakukan low
intensity exercise test, pada akhir minggu ke-6 atau ke-8 pasien sudah dapat bekerja
kembali.
4. Fase III (rehabilitation maintanance) melalui klub jantung yang sudah ada.
Yaitu fase rehabilitasi dengan melakukan indoor dan outdoor exercise melalui berbagai
klub jantung yang sudah ada.
Rehabilitasi sudah dimulai sejak pasien dirawat di ruang perawatan intensif
dilanjutkan di ruangan perawatan biasa kemudian diikuti rehabilitasi diluar rumah sakit.
Rehabilitasi setelah perawatan di rumah sakit yang dilaksanakan dalam kelompok untuk
pasien pasca infark memberikan hasil yang baik dalam memperbaiki kemampuan fisik dan
meningkatkan kepatuhan pasien mengikuti program pengobatan. Pengelolaan faktor risiko
seperti menghentikan kebiasaan merokok, pengobatan terhadap hipertensi, hiperlipidemia
dan diabetes melitus sangat dianjurkan. Diperlukan juga konseling untuk program diet , olah
raga teratur dan penyesuaian gaya hidup bagi pasien pasca infark.

II.13. Prognosis
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan prognosis pasca IMA :

Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana; S3 gallop, kongesti


paru dan syok kardiogenik.

Tabel 3. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut


Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Dikutip dari 2
Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan
pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).

Tabel 4. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut


Klas Indeks Kardiak (L/min/m2) PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
I > 2,2 < 18 3
II > 2,2 > 18 9
III < 2,2 < 18 23
IV < 2,2 > 18 51
Dikutip dari 2,3
TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat
terapi trombolitik.
Tabel 5. Risk Score untuk Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST (STEMI)
Skor
Faktor Risiko ( Bobot ) Risiko/Mortalitas
30 hari (%)
Usia 65-74 tahun ( 2 poin ) 0 (0,8)
Usia > 75 tahun ( 3 poin ) 1 (1,6)
Diabetes melitus/hipertensi atau angina ( 1 poin ) 2 (2,2)
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg ( 3 poin ) 3 (4,4)
Frekuensi jantung > 100 mmHg ( 2 poin ) 4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV ( 2 poin ) 5 (12,4)
Berat < 67 kg ( 1 poin ) 6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB ( 1 poin ) 7 (23,4)
Waktu ke reperfusi > 4 jam ( 1 poin ) 8 ( 26,8)
Skor risiko = total poin ( 0-14 poin ) >8 (35,9)
Dikutip dari 2

BAB III
FIBRILASI ATRIUM
III.1 Definisi
Fibrilasi atrium (atrial fibrillation = AF) merupakan gangguan irama jantung yang
paling sering terjadi. AF ditandai dengan aktivasi atrial yang tak terorganisir, cepat, dan
irregular. Respons ventrikel juga irregular. Pada pasien yang tidak diterapi, detak ventrikel
berkisar antara 120 – 160 x/menit, bahkan dapat mencapai >200 x/menit. Pada kasus lain,
karena peningkatan tonus vagal atau konduksi intrinsic AV node, respons ventrikel berkisar
<100 x/menit.
AF penting secara klinis karena berhubungan dengan hilangnya kontraktilitas atrial,
respons cepat ventrikel yang tak sesuai, dan hilangnya kemampuan pengosongan atrial yang
menyebabkan pembentukan clot dan tromboemboli.9 Dikarenakan komplikasi yang sangat
serius terhadap terjadinya thrombosis dan emboli serebral, maka fibrilasi atrium semakin
banyak dipelajari untuk mengetahui secara detail mekanisme yang mendasarinya sehingga
dapat diberikan pencegahan dan pengobatan yang tepat.
Fibrilasi atrium dikenal sebagai suatu takiaritmia supraventrikular yang ditandai oleh
adanya aktivasi tidak terkoordinasi atrium yang akan mengakibatkan perburukan pada fungsi
mekanis atrium. Pada EKG, fibrilasi digambarkan dengan berubahnya gelombang P menjadi
gelombang osilasi cepat atau fibrilasi dengan berbagai derajat, ukuran, bentuk, dan waktu,
berhubungan dengan suatu respons ventrikel yang irregular dan cepat pada sistem konduksi
AV yang utuh.
AF juga dapat memberatkan ACS, terlebih STEMI akut. AF dilaporkan telah
memperberat kejadian AMI pada 6-21% pasien rawat inap. Faktor presipitasi yang
memungkinkan adalah iskemia atau infark atrium, infark ventrikel kanan, inflamasi
perikardia, hipoksemia atau hipokalemia akut dan gangguan hemodinamik akibat disfungsi
ventrikel kiri serta katekolamin.

III.2. Klasifikasi Fibrilasi Atrium


Berdasarkan episode terhentinya gelombang fibrilasi atrium :
 First detected episode : AF pertama kali terjadi
 Recurrent AF : terjadi 2 atau lebih episode AF
 Paroxysmal AF : episode AF yang self- terminating, terjadi <7 hari (biasanya <24 jam)
 Persistent AF : episode AF yang berlangsung >7 hari dan membutuhkan terapi
medikamentosa atau kardioversi untuk mengembalikannya ke irama normal
 Permanent AF : episode AF tidak berhenti dengan kardioversi.
Berdasarkan etiologi :
 Structural AF : terdapat penyakit jantung atau sistemik yang mendasari AF
 Lone AF : tidak ditemukan penyakit yang mendasari terjadinya AF.
Berdasarkan bentuk gelombang P :
 Coarse AF
 Fine AF

III.3. Etiologi
Sebagian besar pasien AF memiliki hipertensi (biasanya dengan LVH) atau bentuk lain
gangguan stuktur jantung. Penyakit abnormalitas jantung lainnya yang berhubungan dengan
AF adalah penyakit jantung iskemik (IHD), kelainan katup mitral, kardiomiopati hipertrofi dan
kardiomiopati dilatasi. Penyebab lain yang lebih jarang adalah kardiomiopati restriktif
(amyloidosis, perikarditis konstriktif, dan tumor kardiak).
Penyebab AF dapat berupa keadaan temporer seperti intake alcohol berlebihan
(holiday heart), bedah terbuka jantung atau toraks, infark miokard, perikarditis, miokarditis,
dan emboli pulmonal. Penyebab yang paling dapat diterapi adalah hipertiroidisme.
III..4. Patogenesis Fibrilasi Atrium
Ditemukan bahwa lapisan muscular vena pulmonalis dapat menjadi fokus ektopik AF.
Daerah ini dalam lingkungan yang normal memiliki aktifitas listrik yang sinkron namun pada
regangan akut dan aktivitas impuls yang cepat dapat menyebabkan timbulnya slow
afterdepolarization dan triggering activity. Gelombang ini akan dijalarkan ke dalam miokard
atrium dan menyebabkan inisiasi lingkaran- lingkaran gelombang reentry yang pendek
(wavelets of reentry) dan multiple sehingga menghasilkan gelombang P yang banyak dalam
berbagai ukuran dengan amplitude yang rendah (microreentrant tachycardias).

B. Triggered activity due to early afterdepolarizations (EADs) during phase 3 of the action potential due to alteration of plateau currents, or
delayed afterdepolarizations (DADs) during phase 4 of the action potential due to intracellular calcium accumulation.
C. Reentry with basic requirements of two pathways that have heterogeneous electrophysiologic properties which allows conduction to
block in one pathway and to propagate slowly in the other, allowing for sufficient delay so that the blocked site has time for recovery to
allow for reentry or circus movement tachycardia. Shown is typical schema for reentry in the AV node.

Setelah AF timbul secara kontinu maka akan terjadi remodeling listrik (electrical
remodeling) yang selanjutnya dapat menyebabkan AF permanen. Perubahan ini pada
awalnya reversible dan dapat dikonversi menjadi irama sinus namun akan menjadi
permanen seiring terjadinya perubahan struktur bila AF berlangsung lama.
III..5. Diagnosis
Seringkali AF tidak menimbulkan gejala pada penderitanya (asimptomatik). Pada
pasien lain, gejala AF yang sering dirasakan berupa palpitasi, detak nadi irregular, mudah
lelah, intoleransi aktivitas, pusing berat, bahkan sinkop.
Pada anamnesa, perlu diketahui tipe dan tingkat keparahan AF, onset terjadinya,
faktor pencetus, frekuensi dan durasi episode AF. Perlu pula diketahui kemungkinan
penyebab AF, seperti riwayat hipertiroidisme, intake alcohol berlebihan, penyakit structural
jantung, dan faktor komorbid lainnya.
Sebagai pemeriksaan penunjang, pemeriksaan EKG merupakan standar baku sebagai
alat diagnostic. AF paroksismal dapat dideteksi menggunakan ambulatory monitoring atau
holter monitoring. Pada pemeriksaan foto thoraks, echocardiography mutlak diperlukan
untuk menyingkirkan penyakit sekunder. Pemeriksaan fungsi tiroid diperlukan untuk
menegakkan ada tidaknya kelainan tiroid atau hipertiroidisme.

III.6 Hubungan AMI dengan AF


Schmitt dkk. mendapatkan beberapa faktor prediktor kuat dalam penelitiannya
mengenai kejadian AF pada AMI, antara lain proses penuaan, Killip kelas IV, laju jantung saat
masuk rumah sakit, AF yang sudah ada sebelumnya, hipertrofi ventrikel kiri. Mereka juga
melaporkan bahwa adanya AF selama AMI meningkatkan risiko re-infarksi, syok kardiogenik,
gagal jantung, dan asistol. Adanya AF onset baru selamanya AMI meningkatkan risiko
mortalitas saat rawat inap, 30 hari, 1 tahun dan 3 tahun, sedangkan AF yang sudah ada
sebelumnya tidak menimbulkan peningkatan risiko. Peningkatan risiko meliputi kematian
jantung mendadak dan tidak mendadak (sudden and non-sudden cardiac death).

III.7 Penatalaksanaan
Pencegahan AF pada pasien AMI
Reperfusi awal dan antikoagulan merupakan inti terapi pasien AMI, yang dapat
menurunkan ≥ 50% risiko berkembangnya AF dan proteksi terhadap risiko tromboemboli.
Terapi lainnya adalah penggunaan β bloker, ACEI, dan AT II inhibitor. Mekanisme pencegahan
AF oleh masing-masing obat tergantung kapasitas untuk membatasi perubahan substrat
yang dihasilkan oleh iskemia arteri penyebab, dan efek langsung terhadap substrat aritmia.
Kontrol laju ventrikel merupakan cara alternatif untuk restorasi irama sinus, namun
penggunaan β-bloker, digoxin, dan antagonis kalsium harus mempertimbangkan efek
inotropik negatif dan peningkatan konsumsi oksigen. Pemilihan antara kontrol irama vs
kontrol laju pada pasien AF dengan AMI belum diteliti namun restorasi awal irama sinus
mungkin memilki manfaat.
Sebagai tambahan kardioversi elektrik, yang biasanya dilakukan dalam kondisi
gangguan hemodinamik dengan sebab AF, dapat digunakan amiodarone. Obat ini biasa
dipilih diantara agen antiaritmia lain karena efek inotropik negatif yang terbatas.Tidak ada
data yang mendukung perbandingan efektivitas amiodaron dan plasebo dalam restorasi
irama sinus dalam fase awal AMI, dan peran agen anti-aritmia lain pada pasien AF.
Perlunya mengidentifkasi risiko berkembangnya AF selamanya AMI. Pasien dengan
risiko tinggi memungkinkan penggunaan anti aritmia profilaktik. Proteksi dari risiko
tromboemboli pada pasien AF dapat menggunakan unfractionate heparin, dan antikoagulan
oral dengan tambahan klopidogrel. Namun, diperlukan data lainnya untuk menentukan
perlunya antikoagulan oral jangka panjang, seperti fungsi ventrikel kiri yang baik, satu kali AF
singkat saat rawat inap, dan skor CHADS2 yang rendah.

Terapi Farmakologis AF
Pada pasien dengan AF paroksismal yang singkat, tujuan strategi pengobatan
dipusatkan pada kontrol aritmia (rhythm control). Namun, pada pasien dengan AF persisten
terkadang kita dihadapkan pada dilemma apakah mencoba mengembalikan ke irama sinus
(rhythm control) atau hanya mengembalikan ventricular rate (rate control). Uji klinik akhir-
akhir ini (AFFIRM trial, PIAF trial) menunjukkan bahwa kedua cara ini tidak ada yang superior.
Obat yang biasa digunakan untuk tujuan rhythm control adalah obat anti aritmia golongan I
seperti quinidine, disopiramide, dan propafenon. Amiodarone dapat diberikan sebagai terapi
rhythm control (anti aritmia golongan III). Untuk tujuan rate control, dapat diberikan obat-
obatan yang bekerja pada nodus AV seperti digitalis, verapamil, dan β- blocker. Amiodarone
juga dapat bekerja sebagai rate controller.

Terapi Farmakologis AF pada pasien AMI


Laju ventrikel yang tinggi yang berhubungan dengan AF dapat memperberat
gangguan hemodinamik pada pasien AMI dengan meningkatkan kebutuhan oksigen. Oleh
karena itu, kontrol laju yang adekuat merupakkan terapi pertama yang paling penting. Terapi
yang dapat diberikan antara lain β bloker, oral maupun IV. Pada pasien AMI dengan
kerusakan miokardial yang berat, efek inotropoik negatif β bloker dan antagonis kalsium
dapat memperberat gangguan fungsi pompa. Maka, pada pasien ini, kontrol laju dapat
diperoleh dengan pemberian digoxin iv dengan / tanpa amiodarone iv. Amiodarone efektif
dan dapat ditoleransi pasien dengan aritmia ventikuler yang mengancam jiwa. Amiodarone
tampaknya tidak memperberat gangguan fungsi ventrikel kiri.
Pencegahan Komplikasi Tromboemboli
Tujuan utama terapi AF adalah untuk mencegah tromboemboli. Telah diketahui
bahwa aspirin lebih efektif daripada aspirin untuk mencegah komplikasi ini. Walaupun
begitu, karena adanya risiko perdarahan dengan terapi warfarin, penggunaan obat ini
sebaiknya dibatasi pada mereka dengan risiko tromboemboli yang lebih besar daripada
risiko perdarahannya. Oleh karena itu, penting dilakukan stratifikasi pasien yang akan
mendapat terapi warfarin. Skema klinis sederhana yang biasa digunakan adalah CHADS2
(cardiac failure, hypertension, age, diabetes, stroke) score.
Tanpa melihat pola dan strategi pengobatan AF yang digunakan, pasien harus
mendapatkan antikoagulan untuk mencegah terjadinya tromboemboli. Pasien yang
kontraindikasi terhadap warfarin dapat diberikan antiplatelet.

Terapi Non Farmakologis


Kardioversi
Kardioversi eksternal dengan menggunakan DC shock direkomendasikan untuk
pasien dengan gangguan hemodinamik berat, iskemia berat, atau jika kontrol laju tidak bisa
diperoleh secara farmakologi. Meskipun angka keberhasilan tinggi, terdapat pula angka
kemungkinan rekurensi AF yang tinggi, terlebih pada pasien yang memerlukan terapi
katekolamin unruk bantuan sirkulasi.
Kardioversi eksternal dengan menggunakan DC shock dapat dilakukan pada setiap
penderita AF paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder, penyakit penyerta juga harus
dikoreksi terlebih dahulu. Jika AF terjadi lebih dari 48 jam maka harus diberikan antikoagulan
selama 4 minggu sebelum kardioversi dan selama 3 minggu setelah kardioversi untuk
mencegah terjadinya stroke akibat emboli. Target antikoagulan adalah bila pemeriksaan INR
menunjukkan 2 sampai 3. Konversi dapat dilakukan tanpa pemberian antikoagulan bila
sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat thrombus dengan transesophageal
echocardiography (TEE).

Pemasangan Pacu Jantung


The North American Society of Pacing and Electrophysiology (NASPE) and The British
Pacing and Electrophysiology Group (BPEG) telah menetapkan kode lima huruf pacemaker
untuk menggambarkan mode dasar dan fungsi. Huruf pertama mewakili ruang yang dipacu:
A untuk atrium, V untuk ventrikel, dan D untuk atrium dan ventrikel. Huruf kedua merujuk
pada ruang di mana penginderaan terjadi: kode sama dengan huruf pertama. Posisi ketiga
menjelaskan respon terhadap kejadian penginderaan: I untuk inhibisi, T untuk memicu, dan
D untuk inhibisi dan memicu. Pacemaker dapat menghambat (I) pacing output atau dapat
memicu pacing output (T) setelah kejadian penginderaan. Pada pacemaker DDD, kejadian
penginderaan atrium menghambat atrial pacing channel dan memicu ventricular pacing
setelah penundaan AV yang terprogram. Posisi keempat merujuk kepada programmability
perangkat: R untuk pacing responsif laju; huruf C (berkomunikasi), P (sederhana diprogram),
dan M (multiprogrammable) sudah tidak dipakai karena semua perangkat saat ini
sepenuhnya diprogram. Posisi kelima mengacu pada fungsi antitakikardia; dengan evolusi
defibrillator implant, posisi ini jarang digunakan. Dengan evolusi biventricular pacemaker,
kode alat pacu saat ini dalam praktek perlu direvisi.

Dikutip dari 18
Beberapa tahun belakangan ini dibuat pacemaker khusus untuk AF paroksismal.
Penelitian menunjukkan dual chamber pacemaker terbukti dapat mencegah masalah AF
dibandingkan pemasangan single chamber pacemaker.
Pacemaker DDD merasakan dan memacu di kedua atrium dan ventrikel, dan
berespon terhadap penginderaan melibatkan inhibisi dan memicu output. Pacemaker DDD
menggunakan banyak waktu siklus, dan sangat penting untuk memahami interval berikut.
Siklus pacemaker paling modern berbasis ventrikel (dengan beberapa modifikasi).

Ablasi
Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE procedure) dan transkateter.
Ablasi transkateter difokuskan pada vena- vena pulmonalis sebagai trigger terjadinya AF.
Ablasi nodus AV dilakukan pada penderita AF permanen sekaligus pemasangan permanent
pacemaker.
Ablasi kateter untuk fibrilasi atrial dapat diindikasikan untuk pasien fibrilasi atrial
dengan gejala yang mempengaruhi kualitas hidup dan tidak berespon secara adekuat
terhadap terapi farmakologis, pasien dengan lone AF, pasien dengan kelainan struktur
jantung minimal, pasien dengan fibrilasi atrial persisten lebih dari 4 tahun.

Ablasi kateter merupakan bentuk terapi lini pertama pada pasien fibrilasi atrial yang
simtomatik dengan usia > 35 tahun, disfungsi nodus sinus yang memerlukan pacemaker,
yang kontraindikasi terhadap terapi farmakologis.

Kontraindikasi pelaksanaan ablasi kateter untuk fibrilasi atrial adalah hipertensi,


obstructive sleep apnea, remodelling struktua atrium, faktor inflamasi dan faktor genetik
(familial atrial fibrillation).

Komplikasi ablasi kateter meliputi tamponade jantung, stenosis vena pulmonalis,


tromboemboli serebral dan fistula atrioesofageal.
BAB IV
Kesimpulan

Berbagai bukti menunjukkan AF pada pasien AMI mempengaruhi prognosis, baik


pasien saat rawat inap, maupun jangka panjang. Terlebih lagi pada kasus CHF dan gangguan
fungsi ventrikel kiri, angka kematian tampak lebih tinggi jika juga ditemukan AF. AF
memperberat AMI tidak hanya karena meningkatkkan risiko stroke saat rawat inap, namun
juga setelah pulang dari RS.
Onset AF pada selama AMI menunjukkan tanda peringatan yang memerlukan
intervensi secepatnya. Bentuk intervensi mempengaruhi hasil akhir jangka pendek dan
mungkin dpaat berimplikasi pada hasil akhir jangka panjang, pemilihan untuk terapi terbaik
dan interpretasi efek-efeknya seringkali terbatas pada ketidakmampuan membedakan
berbagai variasi dan kurangnya data evidence-based medicine.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harun, S. Infark Miokard Akut. Dalam: Noer, Sjaifoellah, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1996. 1098-1108.
2. Alwi I. Tatalaksana Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Kolopaking SM, Setiati S, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbit FKUI, 2006. 1630 – 40.
3. Djohan TBA. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner. Available at:
http://library.usu.ac.id/modoles.php?
op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=1262
4. Wajid A. Konsep baru Penanganan Sindrom Koroner Akut.
Available at: http://www.tempo.co.id/medika/arsip/022003/pus-3.htm
5. Kumar. Myocardial Infarction. In Pathologic Basis of Disease. 7 th Edition. Saunders.
Philadephia. 1999.
6. Djohan, Anwar TB. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner. Available
at: http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri8.pdf
7. Infarct Myocard Acute.
Available at : http://www.geocities.com/situsgratis3in1/artikel-kesehatan5.html.
8. Antman, A. M., Braunwald, E. Acute Myocardial Infarction. In: Braunwald, Fauci, Kasper,
Hauser, Longo, Jameson, eds. Harrison’s Principless of Internal Medicine. 15 th ed.
Volume 1. McGraw-Hill. USA. 2001. 1386- 99.
9. Marchlinski F. Atrial Fibrillation. In : In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo,

Jameson, Eds. Harrison’s Principless of Internal Medicine. 17th ed. Volume 2. McGraw-
Hill. USA. 2008. 1427-31.
10. Fuster V, Walsh RA. Atrial Fibrillation, Atrial Flutter, and Atrial Tachycardia. In : Fuster V,
Walsh RA, O'Rourke RA, Poole-Wilson P, eds. Hurst’s the Heart. 12th ed. McGraw-Hill.
USA. 2008.
11. Morady F, Zipes DP. Atrial Fibrillation : Clinical Features, Mechanisms, and Management.

In : Bonow RO, Mann DL, Pipes DP, Libby P. Braunwald’s Heart Disease : A Textbook of
Cardiovascular Medicine. 9th ed. Volume 1. Elsevier : USA. 2012.
12. Cappato, Riccardo. Atrial Fibrillation Complicating Acute Myocardial Infarction: How
Should It be Interpreted and How Should It be Treated and Prevented? European Heart
Journal (2009) 30, 1035–1037doi:10.1093/eurheartj/ehp154
13. Schmitt, et al. Atrial Fibrillation in Acute Myocardial Infarction: A Systematic Review of
The Incidence, Clinical Features And Prognostic Implications. European Heart Journal
(2009) 30, 1038–1045 doi:10.1093/eurheartj/ehn579
14. Fuster V, Walsh RA. Coronary Bypass Surgery. In : Fuster V, Walsh RA, O'Rourke RA,

Poole-Wilson P, eds. Hurst’s the Heart. 12th ed. McGraw-Hill. USA. 2008.
15. Acker, Michael A. and Mariell Jessup. A Surgical Management of Heart Failure. In :

Bonow RO, Mann DL, Pipes DP, Libby P. Braunwald’s Heart Disease : A Textbook of
Cardiovascular Medicine. 9th ed. Volume 1. Elsevier : USA. 2012.
16. European Society of Cardiology. Guidelines for The Management of Atrial Fibrillation.
European Heart Journal (2010) 31, 2369–2429 doi:10.1093/eurheartj/ehq278
17. Fuster V, Walsh RA. Diagnosis and Management of Heart Failure. In : Fuster V, Walsh RA,
O'Rourke RA, Poole-Wilson P, eds. Hurst’s the Heart. 12thed. McGraw-Hill. USA. 2008.
18. Fuster V, Walsh RA. Bradyarrhythmias and Pacemakers. In : Fuster V, Walsh RA, O'Rourke
RA, Poole-Wilson P, eds. Hurst’s the Heart. 12thed. McGraw-Hill. USA. 2008.
19. Stouffer III, George A. Percutaneous Coronary Intervention. Medscape. 2012. Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/161446-overview#aw2aab6b2b2.

Anda mungkin juga menyukai