PENDAHULUAN
Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa
penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus
eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun
yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan, seperti pada kulit, sistem saraf,
ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut.
Etiologi lupus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama.
Manifestasi klinis dan prognosis lupus bervariasi dari ringan sampai berat.
Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut dapat berupa lesi yang
spesifik seperti ulser atau erosi pada bukal atau palatum, dan lesi seperti lichen
planus. Lesi yang tidak spesifik seperti herpes simpleks labialis, lesi prakanker
leukoplakia, atau kandidiasis. Lesi pada rongga mulut biasanya dipicu oleh
penggunaan obat kortikosteroid.
Dokter gigi hendaknya tidak hanya memeriksa keadaan gigi pasien saja tetapi
juga memperhatikan keadaan mukosa dalam rongga mulut. Manifestasi pada rongga
mulut yang berupa ulser bisa menjadi deteksi awal penderita lupus. Oleh karenanya
sistemik
dan
manifestasinya
dalam
rongga
mulut
serta
BAB II
SISTEMIK LUPUS ERYTHEMATOSUS
A. Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah
lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan
suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing
hutan. 3
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan
menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat
menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.13 Menurut para ahli
reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan
adanya
autoantibodi
terhadap
autoantigen,
pembentukan
kompleks
imun,
dan.4
disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ
tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.
Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi
yang muncul dan organ yang terlibat.3,4
B.
Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara
pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya
SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali
lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.4,5 Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok
gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility
telah
dilaporkan
bahwa
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel
T akan salah mengenali
perintah dari sel T.16
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.2
c.
Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.7
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.7,8,9
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak
ada gangguan sejak awal.
15,16
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
17,19
C.
Gambaran Klinis
15,20
15
Arthralgia,
deformitas
sendi,
kelainan
pada
sendi
15
eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung
yang disebut buterfly rash karena membentuk
seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher,
punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan
DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20%
memiliki DLE.15,16
D. Diagnosa
ketepatan diagnosis
11,12
E. Terapi
diet
agar
pada
samping,
yaitu
pada
saluran
dapat menimbulkan
pencernaan
seperti mual,
F. Manifestasi
pada
lupus eritematosus,
seperti
pada
diskoid
lupus
palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti ulser tanpa rasa sakit .11
Lesi non spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat
berupa lesi herpes simplex labialis. Lesi ini terasa sakit berupa kelompok kecil
blister pada bibir dan gusi. Lesi ada selama dua sampai empat minggu, dapat
sembuh dengan sendirinya. Penderita lupus eritematosus mendapatkan terapi
imunosupresif sehingga menyebabkan lesi kambuh lebih sering yaitu hampir
setiap bulan. Lesi non spesifik
lainnya adalah Steven Jhonsons Syndrome (SJS). Penyakit ini merupakan
komplikasi dari oral herpes yang jarang terjadi. Seperti herpes, SJS dipicu oleh
obat- obatan, yang tersering yaitu golongan sulfa. antikonvulsan, dan obat pain
killer. Pada penderita ini terlihat ulser pada mata, mulut, hidung, genital, dn
kulit biasanya dua sampai empat minggu setelah herpes sembuh. Lesi pada
kulit disebut target karena adanya konfigurasi melingkar. Bila lesi ini
bergabung sehingga terjadi erosi yang meluas penderita sebaiknya dirawat di
rumah sakit.11
Lesi non spesifik lainnya berupa oral kandidiasis atau yang dikenal
dengan thrush, yang menjadi komplikasi paling sering akibat penggunaan obat
imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik. Thrush terlihat sebagai plak putihmerah yang dapat ditemukan pada berbagai tempat di rongga mulut. Lesi
biasanya asimtomatik, tetapi penderita mengeluhkan rasa terbakar dan kesulitan
menelan. Lesi lain yang dapat ditemukan pada individu yang mendapat terapi
imunosupresif adalah kanker pda mukosa seperti karsinoma sel skuamosa, yang
mempengaruhi kulit, oral dan genital. Lesi yang ditemukan biasanya berupa plak
putih (leukoplakia) atau plak merah (eritroplakia) pada daerah bukal atau lidah.11
Gambar Thrush
Kunci dalam penatalaksanaan masalah gigi dan mulut ada tiga faktor,
yang pertama yaitu komunikasi antara pasien, tenaga medis, baik dokter atau
dokter gigi. Pasien harus menceritakan riwayat sekarang dan masa lalunya,
termasuk riwayat pengobatan sebelumnya sehingga dokter gigi dapat mengetahui
keadaan medis pasien dengan baik, disamping mendapatkan informasi langsung
dari dokter yang merawat pasien sebelumnya. Jika pasien lupus membutuhkan
operasi gigi, maka perlu dilakukan komunikasi antara dokter gigi dengan
dokter. Prosedur operasi mungkin memerlukan perubahan pada dosis obat steroid
dan memerlukan antibiotik profilaksis terutama pada pasien lupus disertai
penyakit jantung. Pemeriksaan setelah operasi harus lebih sering dilakukan
dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding dengan pasien non lupus. Faktor
kedua yaitu perlu adanya pemeriksaan oleh diri sendiri (self examination).
Pemeriksaan rongga mulut harus dilakukan secara rutin oleh tiap individu di
rumah karena dengan demikian tanda-tanda kelainan pada rongga mulut dapat
terdeteksi lebih dini. Misalnya untuk kasus periodontal, bila pasien secara rutin
menjaga kebersihan rongga mulutnya dan memiliki kesadaran serta pengetahuan
yang cukup mengenai kesehatan rongga mulutnya maka keadaan yang lebih
parah dapat terhindarkan. Faktor ketiga yaitu pencegahan,misalnya untuk kasus
periodontal, satu- satunya cara adalah dengan teknik penyikatan gigi yang baik
minimal dua kali sehari. Dapat pula disertai dengan penggunaan dental floss,
mg
sehari,
dengan
atau
tanpa
corticosteroid-sparing
drugs
seperti
azathioprine,
samping
yang
bisa
menyebabkan
bradikargi,