Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa
penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus
eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun
yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan, seperti pada kulit, sistem saraf,
ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut.
Etiologi lupus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama.
Manifestasi klinis dan prognosis lupus bervariasi dari ringan sampai berat.
Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut dapat berupa lesi yang
spesifik seperti ulser atau erosi pada bukal atau palatum, dan lesi seperti lichen
planus. Lesi yang tidak spesifik seperti herpes simpleks labialis, lesi prakanker
leukoplakia, atau kandidiasis. Lesi pada rongga mulut biasanya dipicu oleh
penggunaan obat kortikosteroid.
Dokter gigi hendaknya tidak hanya memeriksa keadaan gigi pasien saja tetapi
juga memperhatikan keadaan mukosa dalam rongga mulut. Manifestasi pada rongga
mulut yang berupa ulser bisa menjadi deteksi awal penderita lupus. Oleh karenanya

sebagai dokter gigi diharapkan terus menambah wawasan mengenai berbagai


kelainan/penyakit

sistemik

dan

manifestasinya

penatalaksanaannya di bidang Kedokteran Gigi.

dalam

rongga

mulut

serta

BAB II
SISTEMIK LUPUS ERYTHEMATOSUS

A. Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah
lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan
suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing
hutan. 3
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan
menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat
menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.13 Menurut para ahli
reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan
adanya

autoantibodi

terhadap

autoantigen,

pembentukan

kompleks

imun,

dan.4
disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ
tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.

Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi
yang muncul dan organ yang terlibat.3,4

B.

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang
paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.5 Berikut ini beberapa faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1.

Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara
pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya
SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali
lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.4,5 Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok
gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility

Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),


telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur
komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot
akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia

telah

dilaporkan

bahwa

defisiensi varian S dari struktur komplemen


reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.1

2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel
T akan salah mengenali
perintah dari sel T.16
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.2
c.

Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.7

3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.7,8,9

4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri


Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus
dan Clebsiella.7
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.6
c. Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak
ada gangguan sejak awal.

15,16

d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.

17,19

C.

Gambaran Klinis

SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat


eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti
kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta rongga mulut.

15,20

Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya.


Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan
mortalitas pada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal
dari proteinuria asimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat
menjadi glomerulonefritis
progresif disertai dengan gagal ginjal.

15

Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi


muskuloskeletal.

Arthralgia,

deformitas

sendi,

kelainan

pada
sendi

temporomandibular dan nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien


SLE.

15

Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus


dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan
subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran
klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif,

eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung
yang disebut buterfly rash karena membentuk
seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher,
punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan
DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20%
memiliki DLE.15,16

Gambar Butterfly rash.20

Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan


penyakit sistemik. SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip
dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi
ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A).
Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren,
dermatitis lichen planus-like, bulla, dan panikulitis.15

Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada


sekitar 20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau
kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang,
myelitis dan dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE. 9,10
SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis.
Selain itu, kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi
biasanya juga terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis
akan meningkat dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, dan hal ini telah
menjadi masalah klinis yang penting. Berdasarkan sebuah studi, dinyatakan
bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah 8,5, 13,2 dan 10,1
kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE dibandingkan dengan
populasi umum. Kecenderungan peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi
oleh adanya kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan
adanya antibodi antifosfolipid. SSP dan trombosis vena dengan emboli paru
adalah penyebab utama morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan pasien
11

SLE membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.

D. Diagnosa

Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat


menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga
terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang

dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat


badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap
beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan
gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis,
anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu,

ketepatan diagnosis

dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk


diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit
lain.

11,12

E. Terapi

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar


tujuan terapi dapat tercapai.15,16 Berikut pilar terapi SLE :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh
pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal
perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan
dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan
seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung,
memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan

diet

agar

tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis. 17


b. Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh


pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik,
terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. 14
c. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non
Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat
terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami. 14
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE

pada

tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit


pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen,
baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut
efek

samping,

yaitu

pada

saluran

dapat menimbulkan

pencernaan

seperti mual,

muntah, diare dan perdarahan lambung.11

F. Manifestasi

dalam rongga mulut

Lesi pada mukosa mulut merupakan yang tersering menjadi


target

pada

lupus eritematosus,

seperti

pada

diskoid

lupus

eritematosus dan lupus eritematosus sistemik. Lesi terlihat sebagai


daerah eritematous yang berpusat dan dikelilingi oleh tepi putih yang
meninggi. Lesi sering ditemukan pada palatum, mukosa bukal, dan

palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti ulser tanpa rasa sakit .11

Gambar Ulserasi putih ireguler pada bukal


bukal

Gambar lesi palatum

Gambar erosi pada

Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut


seperti rasa kering, rasa sakit, dan rasa terbakar terutama ketika makan makanan
panas dan pedas. Infiltrasi limfosit kelenjar saliva minor ditemukan pada 5075% pasien, baik mereka mengeluhkan adanya rasa kering pada mulut ataupun
tidak. Salivary flow rate yang tidak terstimulasi menurun pada banyak penderita
lupus eritematosus sistemik. Lupus eritematosus sistemik juga menjadi
komponen diagnosis dari Sjogrens Syndrome.5
Lesi spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat
berupa aphtae ( canker sores). Pada literatur, aphtae sering disebut juga sebagai
stomatitis aphtous rekuren. Lesi ini mengenai 15% pada populasi normal. Lesi
aphtae seringnya berukuran kecil ( kurang dari 1 cm), terasa sakit, dapat
ditemukan pada mukosa bukal. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih
lama, lebih besar, dan terlihat pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus
diskoid menyerupai plak berwarna merah yang dikelilingi oleh daerah putih.
Lesi ini mirip dengan lichen planus 16,17

Gambar Lesi mirip lichen planus

Lesi non spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat
berupa lesi herpes simplex labialis. Lesi ini terasa sakit berupa kelompok kecil
blister pada bibir dan gusi. Lesi ada selama dua sampai empat minggu, dapat
sembuh dengan sendirinya. Penderita lupus eritematosus mendapatkan terapi
imunosupresif sehingga menyebabkan lesi kambuh lebih sering yaitu hampir
setiap bulan. Lesi non spesifik
lainnya adalah Steven Jhonsons Syndrome (SJS). Penyakit ini merupakan
komplikasi dari oral herpes yang jarang terjadi. Seperti herpes, SJS dipicu oleh
obat- obatan, yang tersering yaitu golongan sulfa. antikonvulsan, dan obat pain
killer. Pada penderita ini terlihat ulser pada mata, mulut, hidung, genital, dn
kulit biasanya dua sampai empat minggu setelah herpes sembuh. Lesi pada
kulit disebut target karena adanya konfigurasi melingkar. Bila lesi ini
bergabung sehingga terjadi erosi yang meluas penderita sebaiknya dirawat di
rumah sakit.11

Gambar Lesi herpes simplex

Lesi non spesifik lainnya berupa oral kandidiasis atau yang dikenal
dengan thrush, yang menjadi komplikasi paling sering akibat penggunaan obat
imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik. Thrush terlihat sebagai plak putihmerah yang dapat ditemukan pada berbagai tempat di rongga mulut. Lesi
biasanya asimtomatik, tetapi penderita mengeluhkan rasa terbakar dan kesulitan
menelan. Lesi lain yang dapat ditemukan pada individu yang mendapat terapi
imunosupresif adalah kanker pda mukosa seperti karsinoma sel skuamosa, yang
mempengaruhi kulit, oral dan genital. Lesi yang ditemukan biasanya berupa plak
putih (leukoplakia) atau plak merah (eritroplakia) pada daerah bukal atau lidah.11

Gambar Thrush

Gambar lesi prekanker leukoplakia


G. Penatalaksanaan lupus eritematosus dalam bidang kedokteran
gigi
Kunci dalam penatalaksanaan masalah gigi dan mulut ada tiga faktor,
yang pertama yaitu komunikasi antara pasien, tenaga medis, baik dokter atau
dokter gigi. Pasien harus menceritakan riwayat sekarang dan masa lalunya,
termasuk riwayat pengobatan sebelumnya sehingga dokter gigi dapat mengetahui
keadaan medis pasien dengan baik, disamping mendapatkan informasi langsung
dari dokter yang merawat pasien sebelumnya. Jika pasien lupus membutuhkan
operasi gigi, maka perlu dilakukan komunikasi antara dokter gigi dengan
dokter. Prosedur operasi mungkin memerlukan perubahan pada dosis obat steroid

dan memerlukan antibiotik profilaksis terutama pada pasien lupus disertai


penyakit jantung. Pemeriksaan setelah operasi harus lebih sering dilakukan
dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding dengan pasien non lupus. Faktor
kedua yaitu perlu adanya pemeriksaan oleh diri sendiri (self examination).

H. Penatalaksanaan lupus eritematosus dalam bidang kedokteran


gigi
.

Kunci dalam penatalaksanaan masalah gigi dan mulut ada tiga faktor,
yang pertama yaitu komunikasi antara pasien, tenaga medis, baik dokter atau
dokter gigi. Pasien harus menceritakan riwayat sekarang dan masa lalunya,
termasuk riwayat pengobatan sebelumnya sehingga dokter gigi dapat mengetahui
keadaan medis pasien dengan baik, disamping mendapatkan informasi langsung
dari dokter yang merawat pasien sebelumnya. Jika pasien lupus membutuhkan
operasi gigi, maka perlu dilakukan komunikasi antara dokter gigi dengan
dokter. Prosedur operasi mungkin memerlukan perubahan pada dosis obat steroid
dan memerlukan antibiotik profilaksis terutama pada pasien lupus disertai
penyakit jantung. Pemeriksaan setelah operasi harus lebih sering dilakukan
dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding dengan pasien non lupus. Faktor
kedua yaitu perlu adanya pemeriksaan oleh diri sendiri (self examination).
Pemeriksaan rongga mulut harus dilakukan secara rutin oleh tiap individu di
rumah karena dengan demikian tanda-tanda kelainan pada rongga mulut dapat
terdeteksi lebih dini. Misalnya untuk kasus periodontal, bila pasien secara rutin
menjaga kebersihan rongga mulutnya dan memiliki kesadaran serta pengetahuan
yang cukup mengenai kesehatan rongga mulutnya maka keadaan yang lebih
parah dapat terhindarkan. Faktor ketiga yaitu pencegahan,misalnya untuk kasus
periodontal, satu- satunya cara adalah dengan teknik penyikatan gigi yang baik
minimal dua kali sehari. Dapat pula disertai dengan penggunaan dental floss,

dental tape, dan rubber tips.20


Penatalaksanaan lesi oral spesifik seperi lesi ulser/ apthae pada penderita
lupus eritematosus memerlukan kombinasi terapi kortikosteroid sistemik dengan
dengan anti-metabolit seperti azathioprine (Imuran) atau mycophenolate mofetil
(CellCept) dengan cyclophosphamide. Sebagai terapi tambahan dapat diberikan
Colchidne 0,6 mg dua kali sehari, Dapsone 100-150 mg/hari, atau thalidomide
100-200 mg/hari. Sedangkan untuk lesi seperti lichen planus pada diskoid
lupus eritematosus dapat diterapi dengan kombinasi obat topikal dan
sistemik. Terapi topikal mengandung kortikosteroid seperti clebetasol gel
(diaplikasikan 4-5 kali sehari), dengan atau tanpa topikal tacrolimus ointment (23 kali sehari). Thalidomide 100-200

mg

sehari,

dengan

atau

tanpa

hydroxychloroquine (Plaquenil) 200 mg dua kali sehari sangat efektif.


Pemberian terapi sistemik imunosupresif seperti azathioprine, mycophenolate
mofetil atau leflunomide (Arava) biasa diberikan pada kasus yang lebih berat
meskipun jarang terjadi.11
Penatalaksanaan lesi oral non spesifik seperti lesi herpes simplex
labialis adalah dengan mengurangi paparan obat kortikosteroid sistemik dan
menggantinya dengan

corticosteroid-sparing

drugs

seperti

azathioprine,

mycophenolate mofetil dan cyclophosphamide yang diberikan sejak awal.


Pada beberapa penderita lupus eritematosus perlu juga memeberikan terapi
herpes dengan obat antivirus seperti valacyclovir (valtrex) atau famciclovir
(Famvir), sedangkan untuk penatalaksanaan Steven Jhonsons Syndrome tidak
ada terapi yang efektif karena penggunaan dosis tinggi obat kortikosteroid

sistemik dapat menyebabkan kematian karena infeksi .


Penatalaksanaan lesi non spesifik lainnya yaitu untuk kandidiasis pada
penderita lupus dapat diberikan prednisone dengan dosis yang diturunkan,
nystatin oral lozenges atau pil, dan obat antifungal seperti fluconazole
(Diflucan), sedangkan penatalaksanaan lesi prekanker seperti leukoplakia atau
eritroplakia dapat dilakukan dengan operasi, electrocautery, dan freezing. Selain
itu dapat diberikan krim topikal imiquimod (Aldara). Kanker rongga mulut dapat
dilakukan penatalaksanaan dengan operasi pengangkatan secara luas dengan
radiasi atau kemoterapi. Cara terbaik untuk mencegah komplikasi ini pada
penderita lupus eritematosus adalah dengan penggunaan yang tepat agen
imunosupresif .
Selain ditemukan lesi-lesi oral spesifik maupun non spesifik, biasanya
penderita lupus eritematosus mngeluhkan rasa mulut kering, rasa sakit dan rasa
terbakar pada rongga mulut. Dry mouth atau mulut kering pada penderita
lupus eritematosus dapat terjadi salah satunya dari penggunaan obat sistemik.
Untuk membantu menstimulasi saliva dapat dilakukan dengan mengunyah
permen karet (yang mengandung sorbitol, bukan sukrosa), atau pemberian
obat kolinergik (sialogogues), tetapi terapi ini hanya boleh diberikan oleh dokter
spesialis mengingat efek

samping

yang

bisa

menyebabkan

bradikargi,

berkeringat, berkemih. Pyridostigmine dapat juga diberikan karena memberi


efek samping yang lebih kecil.20

Penatalaksanaan untuk keluhan rasa sakit dan rasa terbakar pada


penderita lupus eritematosus adalah yang pertama dengan pemberian terapi
untuk faktor organik yang menyebabkan ketidaknyamanan misalnya terapi untuk
kandidiasis atau lichen planus baik secara sistemik maupun topikal, kemudian
dapat dicoba pemberian vitamin B1 300 mg dan vitamin B6 50 mg sebanyak
tiga kali sehari selama empat minggu sebagai placebo .15

Anda mungkin juga menyukai