Anda di halaman 1dari 14

Novira Parawansa

04011181722004

ALPHA 2017

Learning Issues

A. Fisiologi darah dan sistem imun

Gambar 1. Pembentukan eritrosit dan leukosit

Gambar 2. Pembentukan eritrosit

1
Gambar 3. Fungsi Eritropoeitin

Gambar 4. Struktur Hemoglobin

Gambar 5. Fungsi zat besi dalam metabolisme heme

2
Imunologi Dasar

Gambar 6. Sistem imun pada manusia

Gambar 7. Sistem imun pada manusia

3
Gambar 8. Imunitas Seluler

Gambar 9. Imunitas Humoral

Reaksi Hipersensitivitas
1. Hipersensitivitas tipe 1/ reaksi cepat

Gambar 10. Hipersensitivitas tipe I


2. Hipersensitivitas tipe II/ reaksi sitotoksik

4
Gambar 11. Hipersensitivitas tipe II
3. Hipersensitivitas tipe III/ reaksi kompleks imun

Gambar 12. Hipersensitivitas tipe III


4. Hipersenstivitas tipe IV/ tipe lambat

5
Gambar 13. Hipersensitivitas tipe IV

B. Lupus Eritematosus Sistemik

a. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit autoimune yang kompleks
ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak
sistem organ dalam tubuh. Peristiwa imunologi yang muncul menimbulkan
manifestasi klinis belum diketahui secara pasti. Berbagai sitokin pro- dan anti-
inflamasi seperti TGF-β, IL-10, BAFF, IL-6, IFN-α, IL-17 dan IL-23 memainkan
peran patogenik yang penting.

b. Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di
AS, angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05–0,1% dari populasi, namun
didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti
kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebih
tinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi
SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS ; penyakit ini
kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan diantara
keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit
hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai
pada usia dekadeke dua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak
kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas;
SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat dari pada

6
pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali
lebih sering dari pada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria
adalah 8:1.

c. Etiopatogenesis
Etiopatologi SLE melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial
antara variasi genetik dan lingkungan.
1) Genetik
Beberapa gen muncul untuk mempengaruhi kemungkinan seseorang
menderita lupus bila dipicu oleh faktor lingkungan. Gen-gen yang paling
penting adalah terletak di daerah HLA pada kromosom 6, dimana mutasi dapat
terjadi secara acak atau mungkin diwariskan. HLA kelas I, kelas II, dan kelas
III berhubungan dengan LES, tetapi hanya kelas I dan II berkontribusi secara
independen dengan peningkatan risiko lupus. Gen lain yang berisi varian
risiko untuk LES adalah IRF5, PTPN22, STAT4, CDKN1A, ITGAM, BLK,
TNFSF4, dan BANKI.
2) Hormonal
Pengaruh faktor hormonal pada patogenesis LES diperkirakan akibat
hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun.
Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi
autoantibodi berlebihan pada pasien LES.Autoantibodi pada lupus kemudian
dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu
terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit, dan
fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang
diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada
banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.
3) Lingkungan
- Stress psikologis
- Paparan sinar Uv : Sinar UV mengarah pada kekebalan individu dan
hilangnya toleransikarena menyebabkan apoptosis keratinosit. Sinar UV
juga dapat menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung
mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila
normal membantu menekan terjadinya kelainan inflamasi kulit.

7
- Polusi
- Asap rokok : zat-zat toksik yang mengaktifkan makrofag alveolar,
menginduksi aktivitas mieloperokidasedan memproduksi radikal bebas
yang dapat memicu terjadinya mutasi genetik pada perokok.
- Infeksi
- Obat-obatan
- Zat kimia

Gambar 15. Patogenesis SLE


d. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian
sel secara apoptosis dalam konteks pro-imun. Kejadian ini disebabkan oleh
berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan
pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang
dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibo di
dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat
menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dangenerasi
kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan
mengaktivasi fungsi efektor inflamasi ditempat tersebut, dan (3) secara langsung

8
menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel
hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon
untuk melawan system imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis
tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada
berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi
puncak penyakit.

e. Manifestasi Klinis
Manifestasi penyakit LES sangatlah beragam tergantung pada organ dan
jaringan yang terlibat. Perjalanan penyakit yang kompleks dan sangat bervariasi
merupakan gambaran klinis dari penyakit ini. Pada umumnya manifestasiklinis
penyakit LES tidak timbul bersamaan dan dapat bergantian satu sama lain.

9
Kriteria Diagnostik

Keterangan :
 Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4
dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang
waktu.
 Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997. Bila dijumpai 4 atau lebih
kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%.

10
Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil
tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan
observasi jangka panjang diperlukan.

f. Tata Laksana
Nonfarmakologi
Tatalaksana pasien penyakit LES adalah untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien penyakit LES dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tatalaksana umum
yang harusclilakukan adalah:
a. Hindari aktifltas fisikyang berlebihan.
b. Hindari merokok.
c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses infiamasi. Hindari
stres dan trauma fisik.
d. Diet khusus sesuai organ yang terkena.
e. Hindari pajanan sinar matahari secara Iangsung, khususnya UV pada
pukul10.00 sampai 15.00.
f. Gunakan pakaian yang tertutup, tabir surya minimal SPF3OPA++ 3O
menit sebelum keluar rumah.
g. Hindari pajanan lampu UV.
h. Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen.
i. Kontrol secara teratur ke dokter.
j. Minum obat teratur.

Farmakologi

11
Gambar 16. Algoritma penatalaksanaan SLE

g. Edukasi dan Pencegahan


Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan
dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas•fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultraviolet) dengan memakai tabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak
kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.

h. Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad malam
 Quo ad functionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

i. Kompetensi Dokter Umum

12
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal,
dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

13
Daftar Pustaka

Guyton, C Arthur dan John E. Hall. 2011. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology.
Amerika Serikat : Elsevier.

Kumar, Vinay, Abul K. Abbas, dan Jon C. Aster. 2013. Buku Ajar Patologi Robbin. Kanada :
Elsevier

Setiati, Siti, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing.

Sylverthorn, Dee Unglaub. 2013. Human Physiology an Integrated Approach. USA :


Pearson.

14

Anda mungkin juga menyukai