Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun Oleh:
Vivi Evita Dewi
1410015035
Pembimbing:
dr. Eka Yuni Nugrahayu, Sp.KJ
Oleh
Vivi Evita Dewi
NIM. 1410015035
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Eka Yuni Nugrahayu, Sp.KJ
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmatNya-lah penulis dapat menyelesaikan tutorial klinik yang
berjudul obat antipsikotik generasi pertama ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah ilmu bagi penulis maupun
pembaca tentang obat antipsikotik generasi pertama serta dalam aplikasinya dalam
penanganan terhadap masalah ini dalam praktik kedokteran.
Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada dr. Eka Yuni
Nugrahayu, Sp.KJ, selaku pembimbing penulis atas segala bantuan dan bimbingan
dalam menyelesaikan makalah ini.
Oleh karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan kepustakaan,
penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhir kata, semoga makalah ini dapat menjadi masukan yang berarti dalam
perbaikan dalam proses pembelajaran.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2.2 Fisiologi
Empat jalur dopamin di otak berperan dalam patofisiologi skizofrenia serta
terapi efek dan efek samping dari agen antipsikotik. Setiap jalur memiliki kerja
yang unik pada fisik, kognitif, dan psikologis.
1. Jalur dopamin nigrostriatal.
Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal,
mengontrol movements atau pergerakan. Jalur ini merosot pada penyakit
Parkinson, dan blokade reseptor D2 di jalur ini menyebabkan penyakit drug-
induced-movement, EPS dan, akhirnya, tardive dyskinesia. Kekurangan
dopamin serta blokade reseptor dalam jalur ini juga dapat menyebabkan
distonia dan akatisia.
2. Jalur dopamin mesolimbik.
Hiperaktivitas dalam jalur dopamin mesolimbik diduga menyebabkan psikosis
dan gejala positif skizofrenia seperti halusinasi dan delusi. Jalur ini juga diduga
terlibat dalam emosi dan sensasi kesenangan (pleasure)-stimulan dan kokain
meningkatkan kegiatan dopamin di sini. Bahkan, paranoid dan psikosis yang
dapat diinduksi oleh penyalahgunaan stimulant dalam jangka masa panjang,
hampir tidak bisa dibedakan dari skizofrenia. Pemblokiran hiperaktivitas pada
jalur ini dapat mengurangi atau menghilangkan gejala positif.
3. Jalur dopamin mesokortikal.
Peran jalur dopamin mesokortikal, terutama pada skizofrenia, masih
diperdebatkan. Jalur ini diduga untuk mengontrol fungsi kognitif, dan
kekurangan dopamin dalam jalur ini bertanggung jawab untuk gejala negatif
dan kognitif dari skizofrenia. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah
tantangan terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis
akan menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif. Dengan kata
lain, agen antipsikotik harus dapat menurunkan dopamin di jalur mesolimbik
untuk mengurangi gejala positif tetapi meningkatkan dalam jalur mesokortikal
untuk mengobati gejala negatif dan kognitif.
4. Jalur dopamin tuberofundibular
Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan
prolaktin. Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga
memungkinkan laktasi. Jika fungsi normal dari jalur ini terganggu, misalnya,
dengan D2-blocking obat, hiperprolaktinemia dapat terjadi, dengan efek
samping seperti galaktorea, amenore, dan disfungsi seksual.
1. Jalur Nigrostriatal
2. Jalur Mesolimbic
3. Jalur Mesocortical
4. Jalur Tuberofundibular
2.4 Klorpromazin
Chlorpromazine (CPZ) adalah 2-klor-N-(dimetil-aminopropil)-fenotiazin.
Derivat fenotiazin lain didapat dengan cara substitusi pada tempat 2 dan 10 inti
fenotiazin (Arozal & Gunawan, 2007).
Farmakodinamik
CPZ (Largactil) berefek farmakodinamik sangat luas, Largactil diambil dari
kata large action. Efek pada susunan saraf pusat, CPZ menimbulkan efek sedasi
yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap rangsang dari lingkungan. Pada
pemakainan lama, dapat timbul toleransi terhadap efek sedasi. Timbulnya sedasi
sangat tergantung dari status emosional penderita sebelum minum obat.
Chlorpromazine berefek antipsikosis terlepas dari efek sedasinya. Refleks
terkondisi yang diajarkan pada tikus hilang oleh CPZ. Pada manusia kepandaian
pekerjaan tangan yang memerlukan kecekatan dan daya pemikiran berkurang.
Aktivitas motorik diganggu antara lain terlihat sebagai efek kataleptik pada tikus.
CPZ menimbulkan efek menenangkan pada hewan buas. Efek ini juga dimiliki
oleh obat lain, misalnya barbiturate, narkotik, meprobamat, dan klordiazepoksid.
Berbeda dengan barbiturate, CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat
rangsang listrik maupun rangsang oleh obat. Semua derivate fenotiazine
mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek
ekstrapiramidal) (Arozal & Gunawan, 2007).
Farmakokinetik
Kebanyakan antipsikosis diabsorbsi sempurna, sebagian diantaranya
mengalami metabolisme lintas pertama. Bioavailabilitas klorpromazin dan
tioridazin berkisar antara 25-35%. Kebanyakan antipsikosis bersifat larut dalam
lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92-99%), serta memiliki volume
distribusi besar (lebih dari 7 L/kg). Metabolit klorpromazin ditemukan di urin
sampai beberapa minggu setelah pemberian obat terakhir (Arozal & Gunawan,
2007).
Efek Samping
Gejala ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, hipotermia (kadang-kadang
panas), mengantuk, apatis, pucat, mimpi buruk, insomnia, depresi, agitasi,
perubahan pola EEG, kejang, gejala anti muskarinik yang terdiri atas: mulut
kering, hidung tersumbat, konstipasi, kesulitan buang air kecil, dan pandangan
kabur; gejala kardiovaskular meliputi: hipotensi, takikardi dan aritmia. Terjadi
perubahan EKG, pengaruh endokrin seperti: gangguan menstruasi, galaktore,
ginekomastia, impotensia, dan perubahan berat badan.
Terjadi reaksi sensitivitas seperti: agranulositosis, leukopenia, leukositosis
dan anemia hemolitik, fotosensitisasi, sensitisasi kontak dan ruam, sakit kuning
dan perubahan fungsi hati, sindrom neuroleptik maligna, sindrom menyerupai
lupus eritematosus juga dilaporkan. Perubahan pada lensa dan kornea, pigmentasi
kulit, kornea, konjungtiva dan retina. Pigmentasi keunguan pada kulit, kornea,
konjungtiva dan retina (Badan POM RI, 2015).
Dosis
- Dosis dewasa
Psikosis
Oral
Dosis awal : sekitar 10-25 mg per oral sebanyak 3 kali sehari. Total
dosis harian harus ditingkatkan di 20-50 mg setiap
kenaikan 3 atau 4 hari sampai gejala dikendalikan.
Dosis pemeliharaan biasa bisa digunakan 200 mg hari secara oral
Beberapa pasien memerlukan dosis yang lebih tinggi (misalnya, 800 mg
sehari tidak jarang pada pasien penyakit jiwa). Tingkatkan dosis secara
bertahap sampai gejala dapat dikendalikan. Perbaikan maksimum baru
akan terlihat setelah beberapa minggu atau bahkan berbulan-bulan.
Lanjutkan dosis optimum selama 2 minggu, kemudian secara bertahap
kurangi dosis ke tingkat terendah yang efektif..
IM : Dosis awal 25-50 mg. Dosis dapat diulang dalam satu jam. Dosis
selanjutnya dapat ditingkatkan dan diberikan setiap 2-4 jam sesuai
kebutuhan.
Mania (gangguan bipolar)
Oral : 10 mg per oral 3-4 kali sehari atau 25 mg oral 2-3 kali sehari.
Untuk kasus yang lebih berat gunakan 25 mg per oral 3 kali
sehari. Setelah 1-2 hari, dosis dapat ditingkatkan dengan 20-50
mg/hari pada interval setengah mingguan.
Injeksi
Untuk kontrol cepat pada gejala berat, injeksi 1 x 25 mg. Jika perlu,
ulangi dalam 1 jam. Dosis berikutnya harus oral, 25-50 mg tiga kali
sehari.
Pada kasus yang sangat parah, injeksi 1 x 25 mg. Jika perlu, dapat
memberikan tambahan 25-50 mg injeksi dalam 1 jam. Tingkatkan
dosis selanjutnya secara bertahap selama beberapa hari sampai 400
mg setiap 4-6 jam.
- Dosis anak
Skizofrenia
Untuk anak usia ≥ 6 bulan
Oral : 0,5-1 mg/kg/dosis oral setiap 4-6 jam; anak yang lebih tua
mungkin memerlukan 200 mg/hari atau lebih tinggi.
Injeksi (IM atau IV) : 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 6-8 jam.
Dosis maksimal yang dianjurkan
< 5 tahun (< 22,7 kg) : 40 mg/hari
≥ 5 tahun (22,7-45,4 kg) : 75 mg/hari
2.5 Trifluoperazin
Trifluoperazin adalah obat anti-psikotik dalam kelompok obat yang disebut
fenotiazin, merupakan antagonis untuk reseptor D2 mesolimbik postsinaptik di
otak, yang bekerja dengan mengubah aksi bahan kimia di otak sehingga
mengurangi pelepasan hormon hipotalamus dan hipofisis. Trifluoperazine
digunakan untuk mengobati kecemasan atau gangguan psikotik seperti
skizofrenia. Trifluoperazin memiliki waktu paruh 24 jam dan dimetabolisme di
hati (Multum, 2018).
Efek Samping
Dapat menyebabkan beberapa reaksi, seperti mengantuk, pusing, penurunan
kesadaran, fotosensitifitas dan gangguan penglihatan. Selain itu, penggunaan
trifluoperazine dapat menyebabkan reaksi yang lebih serius, seperti agitasi
motorik konstan dan tidak disengaja, dikombinasikan dengan periode gerakan
yang sangat lambat. Efek pada sistem endokrin menyebabkan sembelit,
berkurangnya aktivitas seksual, hiperglikemia. Pada dosis yang berlebihan atau
penghentian obat secara tiba-tiba dapat menimbulkan kejang, kehilangan
kesadaran, demam, takikardi, dan gagal hati. Sindrom maligna neuroleptik dapat
terjadi pada pemberian dosis tinggi.
Dosis
- Dosis dewasa
Skizofrenia
Oral
Dosis awal : 2-5 mg dua kali sehari (pasien bertubuh kecil atau
kurus harus dimulai dari dosis rendah)
Dosis rumatan : 15-20 mg/hari, kadang hingga 40 mg/hari atau lebih
pada beberapa kasus. Kadar dosis terapeutik optimal
harus dicapai dalam 2 atau 3 minggu.
IM
Untuk pasien yang membutuhkan kendali segera dari gejala berat
1-2 mg (1/2 hingga 1 mL) dengan injeksi IM dalam setiap 4-6 jam
sesuai kebutuhan. Dosis melebihi 6 mg/24 jam sangat jarang
dibutuhkan dan hanya pada kasus pengecualian dosis lebih dari 10
mg/24 jam.
Injeksi tidak boleh diberikan dalam interval kurang dari 4 jam karena
efek akumulasi obat.
Kecemasan
Untuk terapi cemas nonpsikotik : 1-2 mg per oral 2 kali sehari, tidak lebih
dari 6 mg/hari atau > 12 minggu.
- Dosis anak 6-12 tahun (pasien dirawat inap atau di bawah pengawasan
ketat)
Oral
Dosis awal : 1 mg 1 atau 2 kali sehari.
Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap hingga gejala terkendali atau
hingga efek samping mulai mengganggu. Dosis lebih dari 15 mg/hari
biasanya dibutuhkan. Beberapa anak yang lebih besar dengan gejala yang
berat mungkin butuh dosis yang lebih besar.
IM
Jika dibutuhkan untuk segera mengontrol gejala yang berat, dapat diberikan
1 mg (1/2 mL) sekali atau dua kali sehari.
Dosis harus disesuaikan dengan berat badan anak dan tingkat keparahan
gejala.
2.6 Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania penderita psikosis
yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal
timbul pada 80% penderita yang diobati haloperidol (Arozal & Gunawan, 2007).
Farmakodinamik
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi butirofenon
memperlihatkan banyak sifat farmakologi fenotiazin. Pada orang normal, efek
haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol memperlihatkan antipsikotik
yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit mania depresif dan skizofrenia.
Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda secara kuantitatif karena
butirofenon selain menghambat efek dopamin juga menghambat turn over ratenya
(Arozal & Gunawan, 2007).
Farmakokinetik
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam
plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam
dan masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini
ditimbun dalam hati kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresikan melalui
empedu. Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat
dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal (Arozal & Gunawan,
2007).
Efek Samping dan Intoksikasi
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang
tinggi, terutama pada pasien usia muda. Pengobatan dengan haloperidol harus
dimulai dengan hati-hati. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau
sebagai efek samping yang sebenarnya. Perubahan hematologik ringan dan
selintas dapat terjadi, tetapi hanya leukopenia dan agranulositosis sering
dilaporkan. Gangguan fungsi hepar dengan atau tanpa ikterus dilaporkan terjadi
(Arozal & Gunawan, 2007).
Indikasi
Indikasi utama haloperidol ialah untuk psikosis. Selain itu juga merupakan
obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu kelainan
neurologik yang aneh yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai
(grimacing) dan explosive utterances of foul expletives (koprolalia, mengeluarkan
kata-kata jorok. Selain itu dapat digunakan mengatasi gejala mania pada
gangguan bipolar (Arozal & Gunawan, 2007).
Dosis
- Dosis dewasa
Skizofrenia, sindrom Tourette
Oral
Dosis untuk gejala sedang : 0.5-2 miligram (mg) diminum 2-3 kali
sehari.
Dosis untuk gejala parah : 3-5 mg diminum 2-3 kali dalam sehari.
Dosis awal bisa mencapai 100 mg/hari untuk kondisi yang sudah
cukup parah.
Dosis perawatan disesuaikan dengan kondisi pasien.
Agitasi
Oral
Dosis untuk gejala sedang : 0.5-2 miligram (mg) diminum 2-3 kali
sehari.
Dosis untuk gejala parah : 3-5 mg diminum 2-3 kali dalam sehari.
Dosis awal bisa mencapai 100 mg/hari untuk kondisi yang sudah
cukup parah.
Dosis perawatan disesuaikan dengan kondisi pasien.
Injeksi
Dosis 2-5 mg yang disuntikkan secara IM setiap 4-8 jam sekali
Dosis maksimum : 20 mg/hari
- Dosis anak
Psikosis
Oral
Untuk anak usia 3-12 tahun dengan berat badan 5-40 kg
Dosis awal : 0.5 mg/hari diminum 2-3 dosis yang terpisah.
Tambahkan dosis sebanyak 0.5 mg setiap 5-7 hari
sekali untuk mendapatkan efek maksimal.
Dosis perawatan : 0.05-0.15 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis terpisah.
Untuk anak usia > 13 tahun dengan berat badan > 40 kg
Dosis untuk gejala sedang : 0.5-2 mg diminum sebanyak 2-3 kali
dalam sehari.
Dosis untuk gejala berat : 3-5 mg diminum 2-3 kali sehari.
Dosis perawatan disesuaikan dengan kondisi pasien.