Anda di halaman 1dari 21

SMF/Lab Ilmu Kedokteran Jiwa Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

OBAT ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA

Disusun Oleh:
Vivi Evita Dewi
1410015035

Pembimbing:
dr. Eka Yuni Nugrahayu, Sp.KJ

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2019
OBAT ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA

Oleh
Vivi Evita Dewi
NIM. 1410015035

Dipresentasikan pada September 2019

Mengetahui,

Pembimbing
dr. Eka Yuni Nugrahayu, Sp.KJ
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmatNya-lah penulis dapat menyelesaikan tutorial klinik yang
berjudul obat antipsikotik generasi pertama ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah ilmu bagi penulis maupun
pembaca tentang obat antipsikotik generasi pertama serta dalam aplikasinya dalam
penanganan terhadap masalah ini dalam praktik kedokteran.
Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada dr. Eka Yuni
Nugrahayu, Sp.KJ, selaku pembimbing penulis atas segala bantuan dan bimbingan
dalam menyelesaikan makalah ini.
Oleh karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan kepustakaan,
penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhir kata, semoga makalah ini dapat menjadi masukan yang berarti dalam
perbaikan dalam proses pembelajaran.

Samarinda, 1 September 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Obat-obat antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan


atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan golongan obat yang memblokade
dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik
dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor antagonist).
Dopamin memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis.
Berdasarkan penelitian menggunakan amfetamin dan metamfetamin yang
mengeksaserbasi delusi dan halusinasi pada pasien skizofrenia didapatkan bahwa
dopamin merupakan peranan penting dalam etiologi halusinasi dan delusi
tersebut.
Obat-obat antipsikotik tipikal, seperti klorpromazin, trifluperazin dan
haloperidol merupakan antagonis reseptor dopamin sehingga menahan terjadinya
dopaminergik pada jalur mesolimbik dan mesokortikal. Blokade reseptor D2
dopamin dapat memberikan efek samping sindrom ekstrapiramidal.
Pemberian obat antipsikotik tipikal umumnya pada pasien dengan gejala
positif seperti halusinasi, delusi, gangguan isi pikir dan waham. Sedangkan untuk
pasien psikotik dengan gejala negatif obat tipikal hanya memberikan sedikit
perbaikan. Sehingga pemberian obat atipikal lebih dianjurkan karena obat atipikal
memiliki kemampuan untuk meningkatkan aktivitas dopaminergik kortikal
prefrontal sehingga dengan peningkatan aktivitas tersebut dapat memperbaiki
fungsi kognitif dan gejala negatif yang ada (Meltzer & Bobo, 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik Tipikal


Antipsikotik (juga disebut neuroleptics) adalah kelompok obat-obatan
psikoaktif umum tetapi tidak secara khusus digunakan untuk mengobati psikosis,
yang ditandai oleh skizofrenia. Obat antipsikotik memiliki beberapa sinonim
antara lain neuroleptik dan transquilizer mayor. Seiring waktu berbagai
antipsikotik telah dikembangkan. Antipsikotik generasi pertama yang dikenal
sebagai antipsikotik tipikal ditemukan pada 1950-an (Meltzer & Bobo, 2009).
Penggunaan antipsikotik tipikal memberikan efek eleminasi gejala-gejala
positif dan gangguan isi pikir pada 60-70% pasien skizofrenia maupun pasien
psikotik dengan gangguan afek. Efek antipsikotik ini terlihat beberapa hari hingga
beberapa minggu pemberian.
Metabolisme antipsikotik tipikal umumnya berlangsung di sitokrom P450,
yang berlangsung di hepar melalui proses hidroksilasi dan demetilasi agar lebih
larut dan mudah diekskresikan melalui ginjal. Dikarenakan oleh banyaknya
metabolit aktif pada antipsikotik tipikal maka sulit untuk menemukan korelasi
yang bermakna terhadap kadar metabolit dalam plasma dengan respon klinis.
Puncak komsentrasi di dalam plasma umumnya 1-4 jam setelah dikonsumsi (obat
oral) atau sekitar 30-60 menit (secara parenteral) (Schatzberg & Nemeroff, 2009;
Sadock & Sadock, 2010).
Dopamin memiliki reseptor yang berguna untuk menerima sinyal yang
dikirimkan dari satu bagian otak ke bagian yang lainnya. Reseptor dopamin
sebenarnya dibagi menjadi 2 tipe (D1 dan D2). Saat ini terdapat 5 reseptor
dopamin yang digolongkan ke dalam 2 tipe ini. Reseptor yang menyerupai D1
termasuk D1 dan D5. Sementara yang menyerupai D2 adalah D2, D3, D4.
Penelitian terbaru menggunakan single photon emission computed tomography
(SPECT) menunjukkan bahwa pada skizofrenia terdapat lebih banyak reseptor D2
yang ditempati. Hal ini menunjukkan stimulasi dopaminergik yang lebih hebat.
Hal ini menyebabkan semua obat-obatan antipsikotik ditujukan untuk
memblokade reseptor ini.
Antipsikotik yang memiliki potensial rendah lebih memberikan efek sedatif,
antikolinergik, dan lebih menyebabkan hipotensi postural. Sedangkan antipsikotik
potensial tinggi memiliki kecenderungan untuk memberikan gejala
ekstrapiramidal (Schatzberg & Nemeroff, 2009).
Antipsikotik tipikal terbagi menjadi 3 kelas, yaitu :
1. Golongan phenotiazine terbagi menjadi 3 rantai, yaitu:
 Rantai aliphatic : Chlorpromazine dan Levomepromazine
 Rantai piperazie : Perphenazine, Trifluoperazine, dan Fluphenazine
 Rantai piperidine : Thioridazine
2. Golongan butyrophenone, yaitu Haloperidol
3. Golongan diphenyl buthyl piperidine, yaitu Pimozide.

2.2 Fisiologi
Empat jalur dopamin di otak berperan dalam patofisiologi skizofrenia serta
terapi efek dan efek samping dari agen antipsikotik. Setiap jalur memiliki kerja
yang unik pada fisik, kognitif, dan psikologis.
1. Jalur dopamin nigrostriatal.
Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal,
mengontrol movements atau pergerakan. Jalur ini merosot pada penyakit
Parkinson, dan blokade reseptor D2 di jalur ini menyebabkan penyakit drug-
induced-movement, EPS dan, akhirnya, tardive dyskinesia. Kekurangan
dopamin serta blokade reseptor dalam jalur ini juga dapat menyebabkan
distonia dan akatisia.
2. Jalur dopamin mesolimbik.
Hiperaktivitas dalam jalur dopamin mesolimbik diduga menyebabkan psikosis
dan gejala positif skizofrenia seperti halusinasi dan delusi. Jalur ini juga diduga
terlibat dalam emosi dan sensasi kesenangan (pleasure)-stimulan dan kokain
meningkatkan kegiatan dopamin di sini. Bahkan, paranoid dan psikosis yang
dapat diinduksi oleh penyalahgunaan stimulant dalam jangka masa panjang,
hampir tidak bisa dibedakan dari skizofrenia. Pemblokiran hiperaktivitas pada
jalur ini dapat mengurangi atau menghilangkan gejala positif.
3. Jalur dopamin mesokortikal.
Peran jalur dopamin mesokortikal, terutama pada skizofrenia, masih
diperdebatkan. Jalur ini diduga untuk mengontrol fungsi kognitif, dan
kekurangan dopamin dalam jalur ini bertanggung jawab untuk gejala negatif
dan kognitif dari skizofrenia. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah
tantangan terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis
akan menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif. Dengan kata
lain, agen antipsikotik harus dapat menurunkan dopamin di jalur mesolimbik
untuk mengurangi gejala positif tetapi meningkatkan dalam jalur mesokortikal
untuk mengobati gejala negatif dan kognitif.
4. Jalur dopamin tuberofundibular
Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan
prolaktin. Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga
memungkinkan laktasi. Jika fungsi normal dari jalur ini terganggu, misalnya,
dengan D2-blocking obat, hiperprolaktinemia dapat terjadi, dengan efek
samping seperti galaktorea, amenore, dan disfungsi seksual.

1. Jalur Nigrostriatal
2. Jalur Mesolimbic
3. Jalur Mesocortical
4. Jalur Tuberofundibular

Gambar 2.1 Empat Jalur Dopamine Pada Otak Manusia

2.3 Efek Antipsikotik Tipikal


a. Gejala ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi
antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal, yaitu haloperidol,
trifluoperazine, perphenazine, fluphenazine, dan chlorpromazine. Namun lebih
sering diakibatkan oleh obat dengan potensial tinggi yang memiliki afinitas
yang kuat pada reseptor muskarinik. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan
otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu di luar kendali traktus
kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Reaksi distonia akut
Terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya mengenai
otot leher, lidah, muka dan punggung. Kadang-kadang pasien melaporkan
awitan subakut rasa tebal di lidah atau kesulitan menelan. Mungkin pula
terjadi krisis occulogyric atau opisthotonus. Biasanya terjadi pada minggu
pertama pengobatan dengan antipsikotik tipikal (Kusumawardhani, 2013).
Insiden yang tinggi ditemukan pada laki-laki, pasien dengan usia di bawah
30 tahun, dan pada pemberian obat berpotensi tinggi dengan dosis tinggi
(Sadock & Sadock, 2016).
2. Akatisia
Yaitu suatu kondisi yang secara subyekif dirasakan oleh penderita berupa
perasaan tidak nyaman, gelisah dan merasa harus menggerak-gerakkan
tungkai, terutama kaki. Pasien sering menunjukkan kegelisahan dengan
gejala-gejala kecemasan, dan atau agitasi. Sering sulit dibedakan dengan
gejala psikotiknya (Kusumawardhani, 2013).
3. Parkinsonisme
Ditandai oleh trias, yaitu tremor saat beristirahat, rigiditas dan
bradikinesia (di dalam DSM-IV-TR disebut akinesia). Tremor
parkinsonisme yang khas bergetar dengan laju tetap 3 hingga 6 siklus per
detik dan dapat ditekan oleh gerakan yang disengaja. Rigiditas merupakan
gangguan tonus otot yang dapat mengakibatkan hipertoniadengan jenis yang
pasti (tonus terus-menerus meningkat) atau jenis roda gigi (tremor
bertumpang tindih dengan rigiditas). Sindrom bradikinesia dapat mencakup
tampilan wajah orang mirip topeng, menurunnya gerangan lengan aksesori
tambahan ketika pasien berjalan dan kesulitan yang khas untuk memulai
gerakan. Sindrom kelinci adalah tremor yang mengenai lidah dan otot
perioral. Gambaran lain dapat berupa berpikir lambat, perburukan gejala
negatif, ludah berlebihan, berliur, jalan diseret, mikrografia, seborea, dan
disforia (Sadock & Sadock, 2016).
4. Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif
reseptor dopamin di putamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot
abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang
mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernapas, dan makan pasien dan
kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis
kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala
hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu.
b. Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM)
Sindrom maligna neuroleptik adalah komplikasi terapi antipsikotik yang
mengancam nyawa dan dapat terjadi kapanpun selama masa terapi. Gejalanya
mencakup rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme, obtundasi dan agitasi.
Gejala otonom mencakup demam tinggi, berkeringat dan meningkatnya
tekanan darah serta denyut jantung (Sadock & Sadock, 2016).
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM
berhubungan dengan sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine.
Blokade pusat reseptor D-2 pada hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di
medulla spinalis menyebabkan terjadinya peningkatan rigiditas otot dan tremor
yang berkaitan dengan jalur ekstrapiramidal. Blockade reseptor D2
hipotalamus juga menghasilkan peningkatan titik temperatur dan gangguan
mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara itu efek antipsikotik di perifer
tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum
sarkoplasma sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat
berkontribusi dalam terjadinya hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel
otot.
Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik
maligna baik neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi.
Berdasarkan penelitian, SNM lebih sering ditemukan pada pasien yang
mengkonsumsi haloperidol dan chlorpromazine.
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni
penggunaan antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan
dosis pengobatan, penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien
yang mengalami dehidrasi, kelelahan, dan agitasi. Selain itu pada pasien yang
telah mengalami SNM juga memiliki resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.

Tabel 2.1 Efek Obat Antipsikotik


No. Anti Psikotik Sedasi Otonomik Ekstrapiramidal
1. Chlorpromazine +++ +++ ++
2. Perphenazine + + +++
3. Trifluoperazine + + +++
4. Fluphenazine ++ + +++
5. Thioridazine +++ +++ +
6. Haloperidol + + ++++
7. Pimozide + + ++
Sumber: (Maslim, 2001)

2.4 Klorpromazin
Chlorpromazine (CPZ) adalah 2-klor-N-(dimetil-aminopropil)-fenotiazin.
Derivat fenotiazin lain didapat dengan cara substitusi pada tempat 2 dan 10 inti
fenotiazin (Arozal & Gunawan, 2007).

Farmakodinamik
CPZ (Largactil) berefek farmakodinamik sangat luas, Largactil diambil dari
kata large action. Efek pada susunan saraf pusat, CPZ menimbulkan efek sedasi
yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap rangsang dari lingkungan. Pada
pemakainan lama, dapat timbul toleransi terhadap efek sedasi. Timbulnya sedasi
sangat tergantung dari status emosional penderita sebelum minum obat.
Chlorpromazine berefek antipsikosis terlepas dari efek sedasinya. Refleks
terkondisi yang diajarkan pada tikus hilang oleh CPZ. Pada manusia kepandaian
pekerjaan tangan yang memerlukan kecekatan dan daya pemikiran berkurang.
Aktivitas motorik diganggu antara lain terlihat sebagai efek kataleptik pada tikus.
CPZ menimbulkan efek menenangkan pada hewan buas. Efek ini juga dimiliki
oleh obat lain, misalnya barbiturate, narkotik, meprobamat, dan klordiazepoksid.
Berbeda dengan barbiturate, CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat
rangsang listrik maupun rangsang oleh obat. Semua derivate fenotiazine
mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek
ekstrapiramidal) (Arozal & Gunawan, 2007).
Farmakokinetik
Kebanyakan antipsikosis diabsorbsi sempurna, sebagian diantaranya
mengalami metabolisme lintas pertama. Bioavailabilitas klorpromazin dan
tioridazin berkisar antara 25-35%. Kebanyakan antipsikosis bersifat larut dalam
lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92-99%), serta memiliki volume
distribusi besar (lebih dari 7 L/kg). Metabolit klorpromazin ditemukan di urin
sampai beberapa minggu setelah pemberian obat terakhir (Arozal & Gunawan,
2007).
Efek Samping
Gejala ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, hipotermia (kadang-kadang
panas), mengantuk, apatis, pucat, mimpi buruk, insomnia, depresi, agitasi,
perubahan pola EEG, kejang, gejala anti muskarinik yang terdiri atas: mulut
kering, hidung tersumbat, konstipasi, kesulitan buang air kecil, dan pandangan
kabur; gejala kardiovaskular meliputi: hipotensi, takikardi dan aritmia. Terjadi
perubahan EKG, pengaruh endokrin seperti: gangguan menstruasi, galaktore,
ginekomastia, impotensia, dan perubahan berat badan.
Terjadi reaksi sensitivitas seperti: agranulositosis, leukopenia, leukositosis
dan anemia hemolitik, fotosensitisasi, sensitisasi kontak dan ruam, sakit kuning
dan perubahan fungsi hati, sindrom neuroleptik maligna, sindrom menyerupai
lupus eritematosus juga dilaporkan. Perubahan pada lensa dan kornea, pigmentasi
kulit, kornea, konjungtiva dan retina. Pigmentasi keunguan pada kulit, kornea,
konjungtiva dan retina (Badan POM RI, 2015).
Dosis
- Dosis dewasa
 Psikosis
 Oral
 Dosis awal : sekitar 10-25 mg per oral sebanyak 3 kali sehari. Total
dosis harian harus ditingkatkan di 20-50 mg setiap
kenaikan 3 atau 4 hari sampai gejala dikendalikan.
 Dosis pemeliharaan biasa bisa digunakan 200 mg hari secara oral
Beberapa pasien memerlukan dosis yang lebih tinggi (misalnya, 800 mg
sehari tidak jarang pada pasien penyakit jiwa). Tingkatkan dosis secara
bertahap sampai gejala dapat dikendalikan. Perbaikan maksimum baru
akan terlihat setelah beberapa minggu atau bahkan berbulan-bulan.
Lanjutkan dosis optimum selama 2 minggu, kemudian secara bertahap
kurangi dosis ke tingkat terendah yang efektif..
 IM : Dosis awal 25-50 mg. Dosis dapat diulang dalam satu jam. Dosis
selanjutnya dapat ditingkatkan dan diberikan setiap 2-4 jam sesuai
kebutuhan.
 Mania (gangguan bipolar)
 Oral : 10 mg per oral 3-4 kali sehari atau 25 mg oral 2-3 kali sehari.
Untuk kasus yang lebih berat gunakan 25 mg per oral 3 kali
sehari. Setelah 1-2 hari, dosis dapat ditingkatkan dengan 20-50
mg/hari pada interval setengah mingguan.
 Injeksi
 Untuk kontrol cepat pada gejala berat, injeksi 1 x 25 mg. Jika perlu,
ulangi dalam 1 jam. Dosis berikutnya harus oral, 25-50 mg tiga kali
sehari.
 Pada kasus yang sangat parah, injeksi 1 x 25 mg. Jika perlu, dapat
memberikan tambahan 25-50 mg injeksi dalam 1 jam. Tingkatkan
dosis selanjutnya secara bertahap selama beberapa hari sampai 400
mg setiap 4-6 jam.
- Dosis anak
 Skizofrenia
Untuk anak usia ≥ 6 bulan
 Oral : 0,5-1 mg/kg/dosis oral setiap 4-6 jam; anak yang lebih tua
mungkin memerlukan 200 mg/hari atau lebih tinggi.
 Injeksi (IM atau IV) : 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 6-8 jam.
Dosis maksimal yang dianjurkan
 < 5 tahun (< 22,7 kg) : 40 mg/hari
 ≥ 5 tahun (22,7-45,4 kg) : 75 mg/hari

2.5 Trifluoperazin
Trifluoperazin adalah obat anti-psikotik dalam kelompok obat yang disebut
fenotiazin, merupakan antagonis untuk reseptor D2 mesolimbik postsinaptik di
otak, yang bekerja dengan mengubah aksi bahan kimia di otak sehingga
mengurangi pelepasan hormon hipotalamus dan hipofisis. Trifluoperazine
digunakan untuk mengobati kecemasan atau gangguan psikotik seperti
skizofrenia. Trifluoperazin memiliki waktu paruh 24 jam dan dimetabolisme di
hati (Multum, 2018).

Efek Samping
Dapat menyebabkan beberapa reaksi, seperti mengantuk, pusing, penurunan
kesadaran, fotosensitifitas dan gangguan penglihatan. Selain itu, penggunaan
trifluoperazine dapat menyebabkan reaksi yang lebih serius, seperti agitasi
motorik konstan dan tidak disengaja, dikombinasikan dengan periode gerakan
yang sangat lambat. Efek pada sistem endokrin menyebabkan sembelit,
berkurangnya aktivitas seksual, hiperglikemia. Pada dosis yang berlebihan atau
penghentian obat secara tiba-tiba dapat menimbulkan kejang, kehilangan
kesadaran, demam, takikardi, dan gagal hati. Sindrom maligna neuroleptik dapat
terjadi pada pemberian dosis tinggi.
Dosis
- Dosis dewasa
 Skizofrenia
 Oral
 Dosis awal : 2-5 mg dua kali sehari (pasien bertubuh kecil atau
kurus harus dimulai dari dosis rendah)
 Dosis rumatan : 15-20 mg/hari, kadang hingga 40 mg/hari atau lebih
pada beberapa kasus. Kadar dosis terapeutik optimal
harus dicapai dalam 2 atau 3 minggu.
 IM
 Untuk pasien yang membutuhkan kendali segera dari gejala berat
1-2 mg (1/2 hingga 1 mL) dengan injeksi IM dalam setiap 4-6 jam
sesuai kebutuhan. Dosis melebihi 6 mg/24 jam sangat jarang
dibutuhkan dan hanya pada kasus pengecualian dosis lebih dari 10
mg/24 jam.
Injeksi tidak boleh diberikan dalam interval kurang dari 4 jam karena
efek akumulasi obat.
 Kecemasan
Untuk terapi cemas nonpsikotik : 1-2 mg per oral 2 kali sehari, tidak lebih
dari 6 mg/hari atau > 12 minggu.
- Dosis anak  6-12 tahun (pasien dirawat inap atau di bawah pengawasan
ketat)
 Oral
Dosis awal : 1 mg 1 atau 2 kali sehari.
Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap hingga gejala terkendali atau
hingga efek samping mulai mengganggu. Dosis lebih dari 15 mg/hari
biasanya dibutuhkan. Beberapa anak yang lebih besar dengan gejala yang
berat mungkin butuh dosis yang lebih besar.
 IM
Jika dibutuhkan untuk segera mengontrol gejala yang berat, dapat diberikan
1 mg (1/2 mL) sekali atau dua kali sehari.
Dosis harus disesuaikan dengan berat badan anak dan tingkat keparahan
gejala.

2.6 Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania penderita psikosis
yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal
timbul pada 80% penderita yang diobati haloperidol (Arozal & Gunawan, 2007).

Farmakodinamik
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi butirofenon
memperlihatkan banyak sifat farmakologi fenotiazin. Pada orang normal, efek
haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol memperlihatkan antipsikotik
yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit mania depresif dan skizofrenia.
Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda secara kuantitatif karena
butirofenon selain menghambat efek dopamin juga menghambat turn over ratenya
(Arozal & Gunawan, 2007).
Farmakokinetik
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam
plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam
dan masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini
ditimbun dalam hati kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresikan melalui
empedu. Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat
dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal (Arozal & Gunawan,
2007).
Efek Samping dan Intoksikasi
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang
tinggi, terutama pada pasien usia muda. Pengobatan dengan haloperidol harus
dimulai dengan hati-hati. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau
sebagai efek samping yang sebenarnya. Perubahan hematologik ringan dan
selintas dapat terjadi, tetapi hanya leukopenia dan agranulositosis sering
dilaporkan. Gangguan fungsi hepar dengan atau tanpa ikterus dilaporkan terjadi
(Arozal & Gunawan, 2007).
Indikasi
Indikasi utama haloperidol ialah untuk psikosis. Selain itu juga merupakan
obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu kelainan
neurologik yang aneh yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai
(grimacing) dan explosive utterances of foul expletives (koprolalia, mengeluarkan
kata-kata jorok. Selain itu dapat digunakan mengatasi gejala mania pada
gangguan bipolar (Arozal & Gunawan, 2007).
Dosis
- Dosis dewasa
 Skizofrenia, sindrom Tourette
 Oral
 Dosis untuk gejala sedang : 0.5-2 miligram (mg) diminum 2-3 kali
sehari.
 Dosis untuk gejala parah : 3-5 mg diminum 2-3 kali dalam sehari.
 Dosis awal bisa mencapai 100 mg/hari untuk kondisi yang sudah
cukup parah.
 Dosis perawatan disesuaikan dengan kondisi pasien.
 Agitasi
 Oral
 Dosis untuk gejala sedang : 0.5-2 miligram (mg) diminum 2-3 kali
sehari.
 Dosis untuk gejala parah : 3-5 mg diminum 2-3 kali dalam sehari.
 Dosis awal bisa mencapai 100 mg/hari untuk kondisi yang sudah
cukup parah.
 Dosis perawatan disesuaikan dengan kondisi pasien.
 Injeksi
 Dosis 2-5 mg yang disuntikkan secara IM setiap 4-8 jam sekali
 Dosis maksimum : 20 mg/hari
- Dosis anak
 Psikosis
 Oral
Untuk anak usia 3-12 tahun dengan berat badan 5-40 kg
 Dosis awal : 0.5 mg/hari diminum 2-3 dosis yang terpisah.
Tambahkan dosis sebanyak 0.5 mg setiap 5-7 hari
sekali untuk mendapatkan efek maksimal.
 Dosis perawatan : 0.05-0.15 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis terpisah.
Untuk anak usia > 13 tahun dengan berat badan > 40 kg
 Dosis untuk gejala sedang : 0.5-2 mg diminum sebanyak 2-3 kali
dalam sehari.
 Dosis untuk gejala berat : 3-5 mg diminum 2-3 kali sehari.
 Dosis perawatan disesuaikan dengan kondisi pasien.

Tabel 2.2 Nama Obat Antipsikotik Tipikal


No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
1. Chlorpromazine Chlorpromazine Tab 25-100mg 150-600mg/h
(Indofarma)
Promactil (Combipa) Tab 100mg
Meprosetil (Meprofarm) Tab 100mg
Cepezet (Mersifarma) Tab 100mg 50-100 mg (im)
Ampul 50 mg/2cc Setiap 4-6 jam
2. Perphenazine Perpenazine (Indofarma) Tab 4 mg 12-24 mg/h
Triflafon (Schoring) Tab 2-4-8 mg
3. Trifluoperazine Stelazine (Glaxo-smitrh- Tab 1-5 mg 10-15 mg/h
kline)
4. Fluphenazine Anatensol (B-M Squibb) Tab 2,5-5 mg 10-15 mg/h
5. Thioridazine Melleril (Novartis) Tab 50-100 mg 150-300 mg/h
6. Haloperidol Haloperidol (Indofarma) Tab 0,5-1,5-5 mg 5-15 mg/h
Dores (Pyridam) Cap 5 mg
Tab 1,5 mg
Serenace (Pfizer- Tab 0,5-1,5-5 mg
Pharmacia) Lig. 2 mg/ml
Amp 5 mg/cc 5-10 mg (im)
Haldol (Janssen) Tab 2-5 mg setiap 4-6 jam
Govotil (Guardiaan Tab 2-5 mg
Pharmatama)
Lodomer (Mersifarma) Tab 2-5 mg 5-10 mg (im)
Amp 5 mg/cc setiap 4-6 jam
Haldol Decanoas Amp 50 mg/cc 50 mg
(Janssen)
7. Pimozide Orap Forte (Janssen) Tab 4 mg 2-4 mg/h

2.7 Pemilihan Obat


Pemilihan obat dipengaruhi oleh tingkat sedasi yang diinginkan, dan
kerentanan pasien terhadap efek samping ekstrapiramidal. Bagaimanapun,
perbedaan antara obat antispikotik merupakan hal yang tidak begitu penting
dibanding variasi respon pasien terhadap obat; lebih lagi, toleransi terhadap efek
sekunder seperti sedasi biasa terjadi. Peresepan lebih dari satu antipsikosis pada
waktu yang bersamaan tidak direkomendasikan; karena dapat menimbulkan
bahaya dan tidak ada bukti nyata yang menyatakan efek samping dapat
diminimalkan. Klorpromazin masih digunakan secara luas meskipun efek
samping yang luas terkait dengan penggunaan obat ini. Obat ini memiliki efek
sedasi dan berguna untuk mengendalikan pasien beringas (violent) tanpa
menyebabkan pasien kehilangan kesadaran. Keadaan agitasi pada lansia dapat
dikendalikan tanpa menimbulkan kebingungan, satu dosis 10 hingga 25 mg sekali
atau dua kali sehari biasanya sudah memadai.
Flufenazin, haloperidol, dan trifluoperazin juga bermanfaat namun
penggunaannya dibatasi oleh tingginya kejadian gejala ekstrapiramidal.
Haloperidol lebih disukai karena mengendalikan psikosis hiperaktif dengan cepat.
Obat ini menyebabkan hipotensi yang lebih kecil dibanding klorpromazin dan
oleh karena itu obat ini umum digunakan untuk agitasi dan kegelisahan pada
lansia, walaupun risiko terjadinya efek samping ekstrapiramidal tinggi.
Promazin tidak cukup aktif melalui oral untuk digunakan sebagai obat
antipsikotik; obat ini telah digunakan untuk mengatasi agitasi dan kegelisahan
pada lansia.
Agitasi psikomotor, agitasi dan kegelisahan pada lansia, sebaiknya diselidiki
penyebab utamanya; keadaan ini dapat diatasi dengan dosis rendah klorpromazin
atau haloperidol jangka pendek. Penggunaan promazin untuk agitasi dan
kegelisahan pada lansia telah jarang dilakukan. (Badan POM RI, 2015)
BAB III
KESIMPULAN

Obat-Obatan Antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal


dan atipikal. Dopamin memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi
psikosis. Antipsikotik tipikal merupakan golongan obat yang memblokade
dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik
dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor antagonist). Walaupun efek
blokade reseptor dopamin D-2 di mesokortikal dan mesolimbik dipercaya sebagai
terapi pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab utama timbulnya
berbagai efek samping gangguan kognitif dan perilaku. Efek samping yang
mungkin terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal dapat berupa gangguan
fungsi kognitif, efek sedatif yang mungkin tidak diharapkan pada pasien yang
masih bisa aktif bekerja, dan efek antikolinergik berupa mulut kering dan
hipotensi postural. Efek gangguan hormonal dapat berupa amenorrhea pada
wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme pada pria, gangguan
libido, impotensi, dan ginekomasti.
Untuk efek samping yang perlu diperhatikan yakni gangguan
ekstrapiramidal (extrapyramidal syndrome) berupa reaksi distonia akut, tardive
diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson. Sedangkan efek samping yang perlu
diwaspadai dan memerlukan tindakan segera dan agresif yakni Sindrom
Neuroleptik maligna yang bila tidak segera ditangani dapat menyebabkan
kematian.
DAFTAR PUSTAKA

Arozal, W., & Gunawan, S. G. (2007). Psikotropik. In D. F. Terapeutik,


Farmakologi dan Terapi (5 ed., pp. 161-178). Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
Badan POM RI. (2015). Antipsikosis. Retrieved Agustus 27, 2019, from
pionas.pom.go.id: http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-4-sistem-saraf-
pusat/42-psikosis-dan-gangguan-sejenis/421-antipsikosis
Kusumawardhani, A. (2013). Terapi Fisik dan Psikofarmaka. In F. K. Indonesia,
S. D. Elvira, & G. Hadisukanto (Eds.), Buku Ajar Psikiatri (2 ed., pp. 377-
389). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Maslim, R. (2001). Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
Meltzer, H. Y., & Bobo, W. V. (2009). Antipsychotic and Anticholinergic Drugs.
In M. G. Gelder, N. C. Andreasen, J. J. Lopez-Ibor Jr., & J. R. Geddes,
New Oxford Textbook of Psychiatry (2 ed., Vol. 2, pp. 1208-1230). New
York: Oxford University Press.
Multum, C. (2018, Oktober 15). Trifluoperazine. Retrieved Agustus 31, 2019,
from drugs.com: https://www.drugs.com/mtm/trifluoperazine.html
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010). Kaplan & Sadock's Pocket Handbook of
Clinical Psychiatry (5 ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2016). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis (2 ed.). (Profitasari, T. M. Nisa, H. Muttaqin, & R. E. Sihombing,
Eds.) Jakarta: EGC.
Schatzberg, A. F., & Nemeroff, C. B. (2009). Textbook of Psychopharmacology
(4 ed.). England: The American Psychiatric Publishing .

Anda mungkin juga menyukai