Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami selaku kelompok 3 telah menyelesaikan
laporan hasil diskusi kelompok kecil pada modul 1 blok XI mengenai Penyakit Kulit dengan
Penyebab Infeksi dan Infestasi. Fokus pokok pembelajaran dalam modul ini adalah pembahasan
mengenai definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan serta diagnosis banding
yang mencakup etiologi dan manifestasi klinis dari Morbus Hansen atau Kusta hingga pembahasan
– pembahasan lain yang mendukung pemahaman kita terhadap modul kali ini.
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Hadi Irawiraman, M.Kes, Sp.PA selaku tutor kelompok 3 yang telah membimbing
kami selama menjalani diskusi kelompok kecil sehingga materi diskusi dapat mencapai
sasaran pembelajaran yang sesuai.
2. Dosen-dosen yang telah memberikan materi pendukung pada pembahasan, baik saat
perkuliahan maupun praktikum sehingga semakin membantu pemahaman kami terhadap
materi pada modul ini.
3. Kepada seluruh pihak yang turut membantu penyelesaian laporan ini. Baik sarana dan
prasarana kampus yang kami pergunakan.
Dan tentunya kami sebagai penyusun mengharapkan agar makalah ini dapat berguna baik
bagi penyusun maupun bagi para pembaca di kemudian hari. Kami memohon maaf apabila dalam
penulisan laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan
dihati para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.
Semoga laporan kami tentang Gonore ini dapat mendukung pemahaman pembaca terhadap materi
tersebut.

Hormat Kami,

Kelompok 3

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................................... 1
Daftar Isi.................................................................................................................................. 2
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang....................................................................................................... 3
B. Manfaat................................................................................................................... 3
Bab II Isi
Step 1.......................................................................................................................... 4
Step 2.......................................................................................................................... 4
Step 3.......................................................................................................................... 5
Step 4.......................................................................................................................... 6
Step 5.......................................................................................................................... 6
Step 6.......................................................................................................................... 7
Step 7.......................................................................................................................... 7
Bab III Penutup
A. Kesimpulan............................................................................................................. 25
B. Saran....................................................................................................................... 25
Daftar Pustaka.......................................................................................................................... 26

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam diskusi ini, kami membahas mengenai modul satu, tentang Penyakit
Kulit dengan Penyebab Infeksi dan Infestasi. Pembahasan mengenai definisi, etiologi,
patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan serta diagnosis banding yang mencakup etiologi
dan manifestasi klinis dari Morbus Hansen atau Kusta hingga pembahasan – pembahasan
lain yang mendukung pemahaman terhadap modul kali ini. Dalam diskusi ini, kami
dituntut untuk menguasai modul ini karena termasuk salah satu jenis perdarahan
uterus yang sangat banyak terjadi dikalangan masyarakat.

B. Manfaat Modul
Adapun manfaat modul ini ialah diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan
tentang definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan serta diagnosis banding
yang mencakup etiologi dan manifestasi klinis dari Morbus Hansen atau Kusta. Dengan
demikian, setelah kita mampelajari tentang modul ini, diharapkan kita mampu sebagai
seorang calon dokter untuk bisa menghadapi permasalahan tentang Penyakit Kulit
dengan Penyebab Infeksi dan Infestasi.

3
BAB 2
ISI

Skenario
Kebal ??? ….. Kok bercak Putih di kulitnya kebal???

Iwan ( 41 tahun ) seorang supir taksi heran karena kulitnya ada bercak-bercak putih di kulitnya terasa
kebal. Keadaan ini sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Sudah berobat ke mantra dan suster tetangga
tetapi tidak ada perubahan. Telah diberi macam-macam salep malah tambah membesar. Dia mengaku tidak
ada keluarga atau tetangga yang mempunyai penyakit seperti dirinya ini. Tapi ada paman yang pernah tinggal
di rumahnya bertahun-tahun yang mempunyai penyakit kulit berupa bercak-bercak kemerahan hampir
seluruh tubuhnya. Pamannya ini berobat ke puskesmas lebih dari setahun.

STEP 1 Identifikasi Istilah


Rasa Kebal : Mati rasa terhadap rabaan, tekanaan, suhu, dan yang lainnya karena
kerusakan sel saraf perifer.

STEP 2 Identifikasi Masalah


1. Mengapa timbul bercak putih?
2. Mengapa bercak putih terasa kebal?
3. Mengapa pengobatanya tidak efektif?
4. Apakah penyakit yang mungkin?
5. Pemeriksaan apa saja untuk menegakan diagnosis?
6. Penatalaksanaan untuk kasus diskenario?
7. Apakah penyakit menular atau tidak?

4
STEP 3 Analisa Masalah
1. Bercak putih dapat disebabkan berbagai banyak hal yang bias menyebabkan
hipopigmentasi. Hal yang menyebabkan bias karena bakteri, jamur, radiologi,
kurang higienis, efek samping kortikosteroid, defisiensi tyrosin dan usia.
2. Invasi bakeri bisa mengenai saraf perifer dan menyebabkan rasa kebal tersebut.
3. Bisa karena obat yang diberikan tidak sesuai dengan diagnosis atau diagnosisnya
salah. Bisa diagnosisnya sudah benar namun pemberian dosis obat tidak adekuat.
4. Kista :Hipopigmentasi atau bias juga hiperpigmentasi disertai gangguan saraf tepi.
Diagnosis banding :
Pitiriasis Vesicolor (Panu) : bersisik halus, bercak putih dan gatal bila berkeringat.
Pitiriasis Alba : bercak putih, tidak gatal, tidak kebal
Vitiligo : Bercak putih, tidak gatal dan tidak kebal yang merupakan penyakit
autoimun.
5. Bakterioskopi
Hitopatologi
Serologi
Tes antigen
6. Pengobatan dengan Multi drug treatment
a. Dapson
b. Rifampisin
c. Klofamizin
d. Protionamide
7. Penyakit ini bila kusta bisa menular melalui inhalasi dan juga kontak langsug
melalui kulit yang terluka.

STEP 4 Strukturisasi Konsep

5
STEP 5 Learning Objective
1. Morbus Hansen
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patogenesis
d. Diagnosis (Pemeriksaan dan Manifestasi Klinis)
e. Penatalaksanaan

6
f. Komplikasi
2. Diagnosis banding Morbus Hansen (Etiologi dan Manifestasi Klinis)
STEP 6 Belajar Mandiri
Pada step 6 ini, masing-masing anggota diskusi melakukan belajar mandiri
sehubungan dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan pada step 5 untuk mengetahui
lebih dalam mengenai materi yang akan dibahas pada diskusi kelompok kecil (DKK) 2.

STEP 7 Learning Objective


LO 1 MORBUS HANSEN
a. Definisi
Lepra (Morbus Hansen, kusta) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
M. leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit
dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat. Lepra merupakan infeksi bakteri granulomatosa kronis, terutama
mempengaruhi kulit dan saraf perifer yang disebabkan oleh M. Leprae.

b. Etiologi
Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada
tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media
artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi pararel
dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm. Basil ini berbentuk gram
positif, tidak bergerak dan tidakberspora dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk
kelompok, termasuk massa irreguler besar yang disebut globi. Dengan mikroskop elektron,
M. leprae terlihat mempunyai dinding yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida dan
kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini adalah suatu
arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 2 nm.
Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat spesifik pada M. lepra, yaitu adanya asam amino
glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin. Faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit meliputi bangsa atau ras, sosioekonomi, kebersihan dan keturunan.
Pada ras kulit hitam insiden bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada kulit putih
cenderung tipe lepramatosa. Banyak terjadi pada negaranegara berkembang dan golongan
sosioekonomi rendah dan lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan. Faktor genetik
berperan penting dalam penularan penyakit lepra. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi

7
yang dikandung ibu lepra.

c. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang
lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M
leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.
leprae pada, suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang
avirulens dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel
makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan
saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk
memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas,
yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman.Sayangnya setelah sernua kuman di fagositosis,
makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang
bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi
reaksi berlebinan dan masa epiteloid akan menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di samping itu sel
Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis.
Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan
beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf
yang progresif.

d. Diagnosis (Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan)


Manifestasi Klinis
Diagnosa penyakit kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteroskopik, dan
histopatologis. Diantaraketiganya, diagnosis secaraklinislah yang terpentingdan paling

8
sederhana (Djuanda, Adhi, 2010).
Bila basil M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem
imunitas seluler penderita. SIS yang baik akan lebih memberikan gambaran tuberkuloid,
sebaliknya SIS yang rendah memberikan gambaran lepramatosa (Djuanda, Adhi, 2010).
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit kusta
yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
1. TipeTuberkoloid polar ( TT )
a. Mengenai kulit dan saraf.
b. Lesi bias satu atau kurang, dapat berupa macula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
c. Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hamper sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
d. Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon
imun pejamu yang ade kuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
a. Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
b. Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
c. Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
d. Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal
3. Tipe Mid Borderline ( BB )
a. Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
b. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
c. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
d. Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
e. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oral pada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan cirri khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
a. Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar keseluruh tubuh.
Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian
tengah, beberapa plag tampak seperti punched out.

9
b. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat
dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf
yang dapat teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe Lepromatosa polar ( LL )
a. Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemukaan estesi dan anhidrosis pada stadium dini.
b. Distribusi lesi khas : Wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
c. Badan : bagian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
d. Stadium lanjutan : Penebalan kulit progresif, Cuping telinga menebal, Garis muka
kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan
keratitis.
e. Lebih lanjut : Deformitas hidung, Pembesaran kelenjar limfe, orkitisatrofi, testis.
Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glousesanestesi. Penyakit progresif,
macula dan popul baru. Timbul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
f. Stadium lanjut : serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis
menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.

Pemeriksaan
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat penyakitnya :
a. Kapan timbul bercak/keluhan yang ada?
b. Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama (apakah ada
riwayat kontak)?
c. Lahir dan tinggak dimana?
d. Riwayat pengobatan sebelumnya?
2. Inspeksi
Tanda-tanda pada kulit :
a. Bercak kulit yang merah atau putih (gambaran yang paling sering ditemukan) dan
atau plakat pada kulit, terutama di wajah dan telinga
b. Bercak kurang/mati rasa
c. Bercak yang tidak gatal
d. Kulit mengkilap atau kering bersisik
e. Adanya kelianan kulit yang tidak berkeringat dan atau tidak berambut

10
f. Lepuh tidak nyeri

3. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan saraf tepi, pemeriksaan dilakukan pada saraf-saraf tepi yang paling
sering terlibat dalam penyakit kusta, dan dapat diraba. Dilakukan pemeriksaan
sensoris untuk menentukkan ada atau tidaknya anestesia. Hal ini mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau
masih belum jelas dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu,
yaitu panas dan dingin dengan menggunakan tabung reaksi.
selain itu, kadang diperlukan juga untu melakukan pemeriksaan saraf motorik guna
menentukan derajat kerusakan saraf perifer akibat penyakit kusta ini.
2. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada atau
tidaknya dehidrasi di daerahlesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang
dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan) cara menggoreskannya mulai
dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan kulit normal akan
lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi.
3. Untuk saraf perifer, juga perlu diperhatikan mengenai pembesaran, konsistensi, ada
atau tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Saraf yang diperiksa adalah saraf
superficial seperti N. Fasialis, N. Aurikularis magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N.
Medianus, N. Poplitea Lateralis, dan N. Tibialis posterior.
Bagi tipe yang kearah lepramatosa ada kelainan saraf yang bersifat menyeluruh dan
bilateral, sedangkan pada tipe tuberkoloid kelainan saraf lebih terlokalisasi
mengikuti tempat lesinya.
4. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopis, digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan bakteri
tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Hasil negatif pada
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. Leprae.
Untuk pemeriksaan rutin diambil di 4-6 tempat, yaitu pada kedua cuping
telingan bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, yaitu yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Cara pengambilan adalah dengan
menggunakan skalpel steril.

11
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri dengan interpretasi :
0 = bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ = bila ada 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2+ = bila ada 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3+ = bila ada 1-10 BTA dalam 1 lapangan pandang
4+ = bila ada 11-100 BTA dalam 1 lapangan pandang
5+ = bila ada 101-1000 BTA dalam 1 lapangan pandang
6+ = bila ada >1000 BTA dalam 1 lapangan pandang
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak
emersi pada pembesaran lesa objektif 100x.
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingan dengan
jumlah solid dan nonsolid.
rumus :
Syarat perhitungan :
a. Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
b. IB 1 + tidak perlu dibuat IM-nya. Karena untuk mendapat 100 BTA harus
mencari dalam 1000-10.000 lapangan pandang
c. Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB+3 maksimum
harus dicari dalam 100 lapangan pandang.
2. Pemeriksaan histopatologik
Gambaran PA pada tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang
nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non solid. Pada tipe lepramatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline didapati campuran unsur-
unsur tersebut.
3. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae. Antibodi yang terbentuk bersifat
spesifik dan nonspesifik. Untuk antibodi yang spesifik adalah antibodi
antiphenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35 kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik adalah antibodi anti lipoarabinomanan

12
(LAM) yang dihasilkan oleh kuman M. Tuberculosis. Macam-macam
pemeriksaan serologis kusta meliputi :
a. Uji MLPA
b. Uji Elisa
c. ML dipstick Test
d. ML Flow test

e. Penatalaksanaan
Obat antikusta yang palng banyak dipakai saat ini adalah DDS (diaminodifenil)
kemudian klofazimin dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 antibiotik
lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.
Untuk mencegah adannya resistensi, pengobatan dengan multi drug treatment (MDT)
pada TB dimulai tahun 1951, namun pada kusta pada tahun 1971.
MDT pada kusta sebagai usaha untuk:
1. Mencegah dan mengobati resistensi
2. Memperpendek masa pengobatan
3. Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Untuk menyusun kombinasi obat, perlu diperhatikan:
1. Efek terapeutik obat
2. Efek samping obat
3. Harga obat
4. Kemungkinan penerapannya
 DDS ( diamino difenil sulfon)
Resistensi terhadapa DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer, terjadi
apabila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten, dan manifestasinya dapat dalam
berbagai tipe ( TT, BT, BB, BL, LL), bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi
yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan derajat
resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Resistensi sekunder terjadi oleh karena:
- Monoterapi
- Dosis terlalu rendah
- Minum obat tidak teratur
- Minum obat tidak adekuat , baik dosis ataupun lama pemberian

13
- Pengobtaan terlalu lam 4-24 tahun
Efek samping DDS antara lain nyeri kepala , erupsi obat, anemia hemolitik,
leucopenia, insomnia ,neuropati perifer, sindrom DDS , nekrolisis epidermal toksik ,
hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
 Rifampisin
Dosis 10 mg/kg BB, diberikan tiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan
sebagai monoterapi, karena memperbesar terjadinya resistensi , tetapi di kombinasikan dan
tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu.
Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome dan
erupsi kulit.
 Klofazimin (lamprene)
Dosis 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari,atau 3x100 mg setiap minggu. Juga
bersifat antiinflamaasi sehingg dapat dipaki pada penanggulangannya ENL dengan dosis
lebih yaiytu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.
Efek samping: warna merah kecoklatan pada kulit, dan kekuningan skelera sehingga mirip
ikterik , apabila dosis tinggi bisa menjadi masalah ketaatan. Selain itu, nyeri abdomen,
nausea, diare, anoreksia dan vomitus dan penurunan BB.
 Protianamid
Dosis 5-10 mg/kg BB setiap hari, tapi jarang digunakan di Indonesia.

Obat alternatif
 Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycrobacterium leprae in
vitro. Dosis optimal harian 400 mg. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh kuman
sebesar 99,99%. Efek samping : mual, diare dan gangguan gastrointestinal , ssp termasuk
insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi, namun tidak perlu
penghentian. Pengguanan pada anak, remaja, wanita hamil dan menuyusi karena pada
hewan muda menyebabkan artropati.
 Minosiklin
Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin.
Dosis standar harian 100 mg. efek : pewarnaan kuning pada gigi bayi dan anak, kadanh
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan

14
saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk
anak dan kehamilan.
 Klaritromisin
Kelompok antibiotic makrolid dan aktivitas bakterisidal terhadap M.Leprae. Dosis 500 mg
dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari.
Efek samping : nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila pemberian
lebih dari 2000 mg.

Cara pemberian MDT


1. MDT untuk multibasiler ( BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) :
- Rifampisin 600mg setiap bulan dalam pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin 300 mg setiap bulan , dalam pengawasan , diteruskan 50 mg sehari atau
100 mg selama sehari atau 3x100 mg setiap minggu
Mula-mula kombinasi diberi dosis dalam 24-36 bulan dengan syarat bakterioskopis
negative. Apabila positif, pengobtan dilanjutkan sampai negatif.
2. MDT untuk pausibasiler ( I, TT, BT dengan BTA negative)
- Rifampisin 500 mg tiap bulan, dengan pengawasan
- DSS 100mg setiap hari
Keduanya diberikan dalam 6 dosis dalam 6-9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama
pengobatan pemeriksaaan klinis tiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan akhir
pengobatan, minimal setiap 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada
keaktivan maka dinyatakan RFC.

f. Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi
kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian
distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis,
terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang
berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas.
Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL
kronik.

15
LO 2 PERBEDAAN MANIFESTASI KLINIS MORBUS HANSEN DENGAN
DIAGNOSIS BANDINGNYA
1. Pitiriasis Versikolor
Definisi
Pitiriasis versikolor (P. versikolor) adalah infeksi jamur superfisial pada lapisan
tanduk kulit, ditandai adanya makula di kulit, skuama halus dan disertai rasa gatal
ringan yang umumnya muncul saat berkeringat. Sifat dari penyakit ini biasanya kronik
dan asimptomatik.
P. versikolor termasuk dalam golongan mikosis superfisial, disebabkan oleh yeast
lipofilik, dimorfik yang merupakan flora normal kulit, dikenal dalam genus Malassezia
dan diantara spesies itu disebut sebagai Malassezia furfur (M. furfur). Kondisi patogen
terjadi bila terdapat perubahan keseimbangan hubungan antara hospes dengan ragi
sebagai flora normal kulit. P. versikolor timbul ketika ragi Malassezia yang secara
normal mengkoloni kulit berubah dari bentuk yeast menjadi bentuk miselial yang
patologik, kemudian menginvasi stratum korneum kulit. Beberapa kondisi dan faktor
yang berperan pada patogenesis P. versikolor antara lain lingkungan dengan suhu dan
kelembaban tinggi, produksi kelenjar sebum dan keringat, genetik, penyakit cushing,
keadaan imunocompromised dan malnutrisi.
Etiologi
Pitiriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi disebabkan oleh
Malasezia furfur (jamur Pytirosporum orbiculare).
Gejala
Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit kronis yang ditandai oleh bercak putih
sampai coklat yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang badan dan kadang-
kadang terlihat di ketiak, sela paha,tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala. Nama
lainnya adalah tinea versikolor atau panu.
Kelainan kulit pitiriasis versikolor ditemukan terutama di punggung, dada, leher
dan lengan walaupun dapat terjadi di bagian tubuh lain. Pada anak-anak, terkadang
dapat timbul di daerah wajah. Timbul bercak putih atau kecoklatan yang kadang-kadang
gatal bila berkeringat. Bisa pula tanpa keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita
mengeluh karena malu oleh adanya bercak tersebut. Pada orang kulit berwarna, kelainan

16
yang terjadi tampak sebagai bercak hipopigmentasi (warna kulit lebih terang dibanding
kulit sekitarnya), tetapi pada orang yang berkulit pucat maka kelainan bisa berwarna
kecoklatan ataupun kemerahan. Di atas kelainan kulit tersebut terdapat skuama (sisik
halus).

2. Vitiligo
Definisi
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat ditandai dengan adanya makula
putih yang dapat meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel
melanosit, misaknya rambut dan mata.
Etiologi
Penyebab belum diketahui, berbagau faktor pencetus sering dilaporkan, misalnya
krisis emosi dan trauma fisis.
Patogenesis
1. Hipotesis autoimun
Adanya hubungan antara vitiigo dengan tiroiditis Hashimoto, anemia oernisiosa,
dan hiperparatiroid melanosit dijumpai pada serum 80% penderita vitiligo.
2. Hipotesis neurohumoral
Karena melanosit terbentuk dari neuralcest, maka diduga faktor faktor neural
berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekol.
Kemungkinan adanya produk intermediate uang terbentuk selama sintesis katekol
yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat
dan pembuluh darah terhadap respon syaraf, misalnya asetilkolin.
3. Autositotoksik
Sel melanositbmembentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan DOPA
ke dopakonin. Dopakonin akan dioksidasi menjadi berbagai indol dan radikal bebas.
Melanosit pada lesi vitiligo dirusakoleh penupukan prekursor melanin. Secara in
vitro dibuktikan tirosin,ndopa,ndan dopakrom merupakan sititioksik terhadap
melanosit.
4. Pajanan terhadap bahan kimiawin
Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan Mono Benzil Eter Hidrokinon
alam sarung tangan atau detergen mengandung fenol.
Gejala Klinis

17
Makula berwarna putih dengan diameter beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas. Kadang-kadang terlihat makula
hipomelanotiknselain makula apigmentasi.
Didalam makula vitiligo dapat ditemukan makula denganigmentasi normal atau
hiperpigmentasibdisebut repigmentasi perifolikular. Kadnag-kadang ditemukan tepi lesi
yang meninggi, eritema, dan gal, disebut inflamator.
Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang teritama diatas jaril
periorifisial, sekitar mata, mulut, dan hidung, tibialis anterior,ndan pergelangan tangan
bagian fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada area yang terkena
trauma dapat timbul vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang-kadang mengenai genital
eksterna,puting susu,nbibir dan ginggiva.
Klasifikasi
Ada 2 bentuk vitiligo :
1. Lokalisata yang dapat dibagi lagi :
a. Fokal : satu atau lebih makula pada satu area, tetapi tidak segmental
b. Segmental : satu atau lebih makulanpada satu area, dengan distribusi menurut
dermatom,misalnya satu tungkai
c. Mukosal : hanya terdapat pada membran mukosa.
Jarang penderita vitiligonlokalisata yang berubah menjadi generalisata.
2. Generalisata
Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Vitiligo
generalisata dapat dibagi lagi menjadi :
a. Akrofasial : depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka,
merupakan stadium mula vitiligo yang generalisata
b. Vulgaris : makula tanoa pola tetentu di banyak tempat
c. Campuran : depigmentasi terjadi menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan
vitiligo total.

3. Pitiriasis Alba
Definisi
Bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya. Ditandai
dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta
meninggalkan area yang depigmentasi.

18
Etiologi
Menurut pendapat ahli diduga adanya infeksi Streptococcus, tapi belum dapat
dibuktikan. Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi lesi diduga impetigo dapat
merupakan faktor pencetus. Pitiriasis alba juga merupakan manifestasi dermatitis non
spesifik, yang belum diketahui penyebabnya. Sabun dan sinar matahari bukan
merupakan faktor yang berpengaruh.
Gejala Klinis
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 (30-40%). Wanita dan pria
sama banyak. Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warana merah
muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi
yang dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita
dating berobat terutama pada orang kulit berwarna. Bercak biasanya multiple 4 sampai
20 dengan diameter antara ½ - 2 cm. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-
60%), paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada
ekstremitas dan badan. Dapat simetris pada bokong, paha atas, punggung, dan ekstensor
lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat sebagai leukoderma setelah
skuama menghilang.

4. Psoriasis
Definisi
Penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai dengan
adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis
dan transparan, disertai fenomen tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner.
Etiologi
Ada beberapa macam faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Psoriasis ini.
Diantaranya adalah :
 Faktor Genetik
Bila orangtuanya tidak menderita psoriasis, maka risiko mendapat psoriasis
adalah 12%. Tapi, apabila salah seorang orangtuanya menderita psoriasis risikonya
mencapai 34-39%. Hal ini karena psoriasis berhubungan dengan HLA.
 Faktor Imunologik

19
Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu dari tiga jenis
sel, yakni limfosit T, sel penyaji antigen (dermal), atau keratinosit.
 Faktor Pencetus
Beberapa faktor pencetus yang dapat menimbulkan terjadinya psoriasis
diantaranya stress psikik, infeksi fokal, trauma, endokrin, gangguan metabolik, obat,
alkohol, dan merokok.
Gejala Klinis
Keadaan uum tidak dipengaruhi, kecuali pada keadaan psoriasis yang menjadi
eritroderma. Sebaian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada skalp,
perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku
serta lutut, dan daerah lumbosakral.
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi dengan sukama di
atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering
eritema yang ditengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis,
kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan bervariasi:
lentikular, numular, atau plakat, dapat berkonfluensi. Jika seluruhnya atau sebagian
besar lentikular disebut psoriais gutata, biasanya pada anak-anak dan dewasa muda dan
terjadi setelah infeksi akut dan Streptococcus.
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspiz, dan Kobner. Kedua
fenomena yang disebut lebih dahulu dianggap khas, hanya kira-kira 47% yang positif
dan didapati pula pada penyakit lain, misalnya liken planus dan veruka plana juvenilis.
Fenomena tetesan lilin adalah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada
goresan seperti lilin yang digores, disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Cara
menggores dapat dengan pinggir gelas alas. Pada fenomena Auspitz tampak serum atau
darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis.
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku, yakni sebanyak 50%, yang agak
khas ialah yang disebut pitting nail atau nail pit berupa lekukan-lekukan miliar. Kelaian
yang tak khas adalah berupa kuku yang keruh, tebal, bagian istalnya terangkat karena
terdapat lapisan tanduk dibawahnya dan onikolisis.
Psoriasis juga dapat menimbulkan kelainan pada sendi sebesar 10-15% pada pasien
psoriasis. Umumnya pada sendi distal interfalang. Umumnya bersifat poliartikular,
tempat pedileksinya pada sendi interfalangs distal, terbanyak terdapat pada usia 30-50
tahun. Sendi membesar, kemudian terjadi ankilosis dan lesi kistik subkorteks. Kelainan

20
pada mukosa jarang ditemukan.

Bentuk Klinis
a) Psoriasis Vulgaris
Bentuk ini lazim ditemukan, dinamakan pula tipe plak karena lesi-lesinya
umumnya berbentuk plak. Tempat predileksinya sama seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
b) Psoriasis Gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulya mendadak dan
diseminata, umumnya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas bagian atas
sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu juga
dapat tibul setelah infeksi yang lain, baik bakteri maupun virus.
c) Psoriasis Inversa (Psoriasis Fleksural)
Mempunyai tempat predileksi pada daerah flesor sesuai dengan namanya.
d) Psoriasis Eksudativa
Bentuk ini sangat jarang. Biaanya kelainan psoriasis kering, tetapi pada bentuk
ini kelainannya eksudatif seperti dermatitis akut.
e) Psoriasis Seboroik (Seboriasis)
Merupakan gabungan antara psoriasis dan dermatitis seboroik, skuama yang
biasanya kering menjadi agak berminyak dan agak lunak. Selain berlokasi pada
tempat yang lazim, juga terdapat pada tempat seboroik.
f) Psoriasis Pustulosa
Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa, bentuk lokalisata, dan generalisata.
Bentuk lokalisata contohnya psoriasis pustulosa palmoplantar (Barber). Sedangkan
bentuk generalisata contohnya psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zumbusch).
g) Psoriasis pustulosa palmoplantar (Barber)
Penyakit ini bersifat kronik dan residif, mengenani telapak tangan atau telapak
kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-kelompok pustul kecil, steril,
serta dalam, di atas kulit yang eritematosa, disetai gatal.
h) Psoriasis putulosa generalisata akut (von Zumbusch)
Dapat timbul akibat dari faktor pencetus, yaitu obat. Penyakit ini dapat timbul
pada penderita yang sedang atau telah menderita psoriasis. Dapat pula muncul pada
penderita yang belum pernah mengalami psoriasis.

21
Gejala awalnya ialah kulit yang nyeri, hiperagelsia disertai gejala umum berupa
demam, malese, neusea, anoreksia,. Plak psoriasis yang telah ada makin eritematosa.
Setelah beberapa jam timbul plak edematosa dan eritematosa pada kulit yang normal.
Dalam beberapa jam timbul banyak pustul yang miliar pada plak-plak tersebut.
Dalam sehari pustul-pustul berkonfluensi membentuk”lake of pus” berukuran
beberapa cm.
Kelainan-kelainan semacam ini akan terus menerus dan dapat menjadi
eritroderma. Pemeriksaan laboratorium menujukkan leukositosis, kultur pus dari
pustul steril.
i) Eritroderma Psoriatik
Eritroderma psoriatik dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu
kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk
psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama tebal universal. Ada
kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-samar, yakni lebih eritematosa dan
kulitnya lebih meninggi.

5. Dermatofitosis
Definisi
Adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum
korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur
deramatofita. Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas
Fungi imperfecti, yang tebragi dalam genus yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
epidermophyton. Menurut RIPPON (1974) selain sifat keratofilok masih banyak sifat
yang sama diantara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenic, kebutuhan,
zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Manifestasi Klinis
Berdasarkan lokalisasi, dermatofitosis terdiri dari :
a) Tinea Kapitis
Merupakan infeksi jamur pada kulit kepala dan rambut. Penderita terbanyak
anak-anak usia sekolah dan biasanya menghilang setelah pubertas. Penularan dapat
melalui hewan peliharaan dan dapat dari manusia ke manusia.
Ada tiga bentuk manifestasi klinis :

22
1) Gray patch
Lesi inflamasi ringan multipel dan bersisik, rambut mudah putus, warna
rambut menjadi abu-abu, mudah dicabut dari akarnya, kemudian terjadi alopesia.
2) Black Dot ringworm :
Tampak alopesia dengan titik-titik hitam di tengahnya, yang terdiri dari
batang rambut yang patah tepat pada permukaan kulit atau di bawah permukaan
kulit kepala.
3) Kerion Selsi :
Dimulai dengan ruam eritematosa, skuama, papul, disertai rambut yang putus,
dapat disertai peradangan akut berupa indurasi yang mengeluarkan pus, keadaan
ini disebut sebagai kerion selsi. Pada penyembuhan akan menimbulkan jaringan
parut yang menetap.
b) Tinea Korporis
Suatu infeksi jamur pada kulit halus tanpa rambut (glabrous skin) di daerah
leher, wajah, lengan dan bokong. Sering dijumpai pada orang dewasa. Manifestasi
klinis berupa lesi anuler dengan tepi polisiklis. Pada daerah tepi tampak vesikel-
vesikel kecil dengan skuama halus dan aktif. Di sini dijumpai daerah penyembuhan
sentral. Rasa gatal bertambah pada waktu berkeringat. Bentuk lain tinea korporis
ialah tinea imbrikata. Lesi berupa plakat, polisiklis atau bulat dengan susunan
skuama membentuk lingkaran konsentris tersusun seperti atap genting dan
menghadap ke sentral.
c) Tinea Kruris
Lesi dijumpai pada daerah sela paha, anogenital dan pubis. Ruam letaknya
simetris pada lipatan paha kiri dan kanan, berupa makula atau plak yang eritema,
pinggir aktif, bentuk polisiklis dengan penyembuhan sentral. Ruam dapat meluas
sampai ke skrotum, pubis, bokong dan paha.
d) Tinea Manus et Pedis
Predileksi jamur ini pada kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan
kaki, jari tangan dan kaki serta daerah interdigitalis. Sering mengenai orang dewasa
yang setiap hari memakai sepatu tertutup, orang yang bekerja di tempat basah seperti
ibu rumah tangga, petani.

23
Secara klinis dikenal tiga bentuk :
1) Bentuk intertriginosa
Tampak lesi bentuk maserasi, deskuamasi dan erosi, berwama putih dan
basah di sela-sela jari. Bila penyakit kronik terlihat fisura (retak-retak) yang nyeri
bila tersentuh atau kena air sabun.
2) Bentuk vesikuler akut
Dijumpai vesikel dan bula di bawah kulit terutama pada telapak kaki bagian
tengah kemudian meluas. Sering disertai infeksi sekunder, keluhan penderita di
sini berupa perasaan gatal dan sakit.
3) Bentuk hiperkeratotik
Tampak pengelupasan kulit terus-menerus disertai eritama dan hiperkeratosis.
Bila hiperkeratosis hebat dapat timbul fisura yang dalam. Daerah yang paling
sering dikenai adalah telapak tangan dan kaki.
e) Tinea Barbae
Predileksi pads daerah jenggot, kumis dan jambang. Sering mengenai orang
dewasa yang bekerja sebagai pemerah susu ataupun petani. Ruam berupa papel
eritema, skuama dan dapat melebar ke pinggir dengan bentuk polisiklis. Dapat
berlanjut menjadi folikulitis; jenggot, kumis atau jambang akan putus-putus.
f) Tinea Unguium (Onikomikosis)
Infeksi jamur dermatofita pada kuku. Sering mengenai orang dewasa, sering
dengan tinea manus dan pedis. Kuku terlihat menjadi rusak dan rapuh serta warnanya
menjadi suram. Permukaan menebal, di bawah kuku tampak detritus yang
mengandung elemen-elemen jamur. Bila infeksi ringan terlihat bercak-bercak putih
dan kasar di permukaan kuku.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan gejala yang tampak pada pemeriksaan Pak Iwan serta didukung oleh
pernah kontak dengan pamannya yang memiliki penyakit kulit maka kemungkinan
diagnosa awal penyakit yang diderita Pak Iwan adalah Morbus Hansen atau Kusta
yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae.
Penularannya yang sering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang
bersuhu dingin atau melalui mukosa nasal. Gejala yang ditimbulkan salah satunya
berupa bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang mati rasa.
Sebelum melakukan pengobatan selain dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik diperlukan juga pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding
agar didapatkan diagnosa pasti penyakit yang dialami Pak Iwan.

B. Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor
maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2014, serta
dari berbagai pihak termasuk kakak tingkat di FK UNMUL ini.

DAFTAR PUSTAKA

25
Djuanda, Adhi, dkk.. 2011. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarat

26

Anda mungkin juga menyukai