Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kita telah mengenal bahwa diare dapat dibagi menjadi dua
berdasarkan waktu terjadinya, yakni diare akut dan diare kronik. Pada diare
kronik, diagnosis dan pengobatannya lebih rumit daripada diare akut. Angka
morbiditas diare kronik diantara semua pasien diare yang dirawat di rumah
sakit di Jakarta Utara sekitar 1 %. Data divisi gastroenterology
FKUI/RSUPNCM Jakarta menunjukkan prevalensi diare kronik sebesat 15
% dari seluruh pemeriksaan kolonoskopi selama 2 tahun (1995-1996).

Diare kronik merupakan suatu sindrom yang penyebab dan


paatogenesisnya sangat multi kompleks. Mengingat banyaknya penyakit
yang dapat menyebabkan diare kronik dan banyaknya pemeriksaan yang
harus dilakukan, maka sangat penting bagi dokter untuk dapat memilih yang
benar-benar cost effectiveness.

1.2 Manfaat modul


Adapun manfaat modul ini ialah diharapkan mahasiswa mampu
memahami tentang bagaimana diare kronik, dan diagnosa bandingnya bisa
terjadi mulai dari pengertiannya sampai penatalaksanaannya.
2

BAB II

ISI

2.1 SKENARIO
Diare Tak Kunjung Hilang

Pak Somad 56 tahun berobat ke poli penyakit dalam RSU AWS dengan keluhan
BAB encer 5-6 kali setiap harinya, sejak 2 bulan lalu, kadang-kadang berwarna
kemerahan dan badannya tampaksemakin kurus. Tanda vital pak somad,
Tekana darah 130/90 mmhg, nadi 90x/menit, RR 20x/menit. Dokter segera
melakukan pemerikasaan fisik dan penunjang lainnya.

2.2 STEP 1 IDENTIFIKASI ISTILAH SULIT


-
2.3 STEP 2 IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa penyebab BAB pak somad Encer 5-6 kali setiap hari, kadang
berwarna kemerahan, berlangsung selama 2 bulan terakhir, dan kenapa
pak somad mengalami penuruna berat badan ?
2. Apa interpretasi dari hasil pemerikasaan vital sign pak somad ?
3. Bagaimana cara penegakan diagnosis dari keluhan pak somad ?
4. Bagaimana penatalaksanaan dari keluhan pak somad ?
5. Apa saja diagnosis banding dari penyakit pak somad ?

2.4 STEP 3 CURAH PENDAPAT


1. BAB Encer :
- Gangguan Sekresi
- Peningkatan Motilitas Usus yang menyebabkan penurunan kesempatan
reabsorpsi cairan.
- Penurunan Motilitas Usus yang menyebabkan peningkatan
perkembangbiakan bakteri
- Gangguan osmolaritas
3

- Defisiensi enzim laktat

Berwarna merah di karenakan adanya darah dalam feses yang


menandakan terjadinya inflamasi pada usus
Penurunan Berat Badan : Akibat dehidrasi terus menerus dan kurangnya
asupan nutrisi.
6. TD : 130/90 mmHg, terjadi peningkatan sistol
Nadi : 90 kali permenit normal
RR : 20 kali permenit normal

7. Diagnosis:
- Anamnesis : Disertai nyeri apa tidak, waktu defekasi, volume
defekasi, warna dan volume darah, pola makan, konsumsi obat-obatan.
- Pem. Fisik : Turor kulit, konjungtiva, berat badan, palpasi
untuk mencari nyeri di abdomen.
- PEM. Penunjang : Colonoscopy, feses lengkap, darah lengkap, urin,
Radiologi, Radiogram, LED, analisi gas darah.

Dari keluhan diduga pak somad menderita diare kronik.

8. Terapi
- Pemberian RL sesuai tingkat dehidrasi pasien yang berat pada skenario
- Obat pengeras feses : Atapolit
- Antibiotik : Klindamisin
- Obat anti mikroba : Kuinolon
- Observasi Urin

5. Diagnosis Banding :

- IBD
- IBS
- Kolitis
4

2.5 STEP 4 STRUKTURISASI KONSEP

DIARE

Pemeriksaan :
- Anamnesis
- Pem. Fisik

DIARE KRONIK
Differential Diagnostic IBM
IBS
KOLITIS
Kolonoskopi
Darah lengkap Pem. Penunjang
Feses lengkap
Urin

Diagnosis Pasti Terapi

2.6 STEP 5 MERUMUSKAN SASARAN PEMBELAJARAN


Mahasiswa menjelaskan tentang definisi-penatalaksanaan dari
1. Diare kronik
2. IBD
3. IBS
4. Kolitis

2.7 STEP 6 BELAJAR MANDIRI


Pada Step 6 ini, mahasiswa diwajibkan untuk melakukan belajar mandiri sesuai
dengan learning objective yang telah dicapai pada DKK I. Diharapkan setelah
proses belajar mandiri ini mahasiswa dapat mengetahui, memahami, dan
menyampaikan hasil belajarnya pada DKK II.
5

2.8 STEP 7 SINTESIS


2.8.1 Diare Kronik
Definisi
Diare kronik buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih dari 200 gram atau 200
ml/24 jam, dengan frekuensi lebih dari 3 kali per hari yang berlangsung lebih dari
15 hari.

Epidemiologi
Data divisi gastroenterology FKUI/RSUPNCM Jakarta menujukka
prevalensi diare krpnik sebesar 15% dari seluruh pemeriksaan kolonoskopi selama
2 tahun (1995-1996). Talley dkk melaporkan prevalensi diare kronik pada
popolasi usia lanjut yaitu antara 7% sampai dengan 14%. Diperkirakan pada
masyarakat Barat didapatkan prevalensi diare kronik 4-5%.

Etiologi
Etiologi diare kronik sangat beragam dan tidak selalu hanya disebabkan
kalainan pada usus. Kelainan yang dapat menyebabkan diare kronik antara lain
kelainan endokrin, kelainan hepar, kelainan pancreas, infeksi, keganasan, dll.
Berikut etiologi diare kronik berdasarkan patofisiologinya:
1. Diare Osmotik
 Eksogen
- Makan cairan yang aktif osmotic, sulit diabsorbsi seperti: katarik
sulfat dan fosfat (mis. MgSO4), antasida mengandung garam
magnesium.
 Endogen
- Kelainan transport kongenital, malabsorbsi glukosa-galaktosa
- Defisiensi disakaridase pasca enteritis
2. Diare sekretorik
 Infeksi: Toksigenik, invasiveke mukosa
 Neoplasma: gastrinoma, sindrom Zollinger Ellison
6

 Hormon dan neurotransmitter


 Katarik: hidroksi asam empedu danasam lemak
 Kolitis mikroskopis (limfositik), kolagen
3. Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak
 Maldigesti intraluminal
 Malabsorbsi mukosa
 Obstruksi pasca mukosa
4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit
 Infeksi usus
 Kongenital
- Diare klorida congenital
- Diare karena kelainan transport Na+ usus
5. Motilitas dan waktu transit usus abnormal
 Sindroma kolon iritabel
 Hipertiroid
 Diabetes militus dengan polineuropati otonom
6. gangguan permeabilitas usus
 Penyakit seliak
 Penyakit usus inflamatorik
 Infeksi usus (Bakteri Shigella & Salmonella)
7. Eksudasi cairan, elektrolit dan mucus berlebihan
 Kolitis ulseratif
 Penyakit crohn
 Amubiasis
 Shigelosis

PATOFISIOLOGI

Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari mekanisme atau
patofisiologi seperti : 1). Diare osmotik : terjadi peningkatan osmotik di usus. 2)
7

diare sekretorik : terjadi peningkatan sekresi cairan usus. 3) Malarbsorbsi asam


empedu, malabsorbsi lemak : terjadi pembentukan micelle empedu. 4). Defek
system penukaran anion/transport elektrolit di enterosit. 5). Motilitas dan waktu
transit usus abnormal : terjadi motilitas yang lebih cepat, tidak teratur sehingga isi
usus tidak sempat diabsorbsi. 6). Gangguan permeabilitas usus : terjadi kalainan
morfologi usus pada membrane epitel spesifik sehingga permeabilitas mukosa
usus halus dan besar terhadap air dan gram/elektrolit terganggu. 7). Eksudasi
cairan : elektrolit dan mucus berlebihan : terjadi peradangan dan kerusakan
mukosa usus.

Manifestasi Klinis

Kebanyakan gejala klinik tidak spesifik dan menunjukkan adanya


malabsorbsi nutrient dan defisiensi vitamin/elektrolit. Tetapi adanya gejala klinik
tertentu menunjukkan adanya penyakit tertentu.

Meskipun 3 nutrien utama (lemak, karbohidrat, dan protein). Dapat


mengalami malabsorbsi, gejala klinik biasanya mengikuti malabsorsi karbohidrat
atau lemak. Malabsorbsi protein atau asam amino dapat terjadi tidak terlihat
secara klinik kecuali berat sekali sehingga menimbulkan malnutrisi atau
kerusakan transport asam amino yang menimbulkan penyakit sistemik congenital.
Malabsorbsi elektrolit dan air juga merupakan bagian dari patofisiologi diare
malabsorbsi.

Tanda-tanda steatorea yaitu tinja berwarna muda, berbau busuk, cenderung


mengambang, dan sulit di bersihkan dengan siraman air. Kadang-kadang keliatan
kilauan lemak di permukaan air. Hal ini menunjukkan adanya maldigesti atau
malabsorbsi lemak. Tinja yang menagmbang selain karena steatorea dapat juga
disebabkan karena adanya produksi gas oleh bakteri.

Diare berdarah menunjukkan bahwa penyakit mengenai rectum atau kolon


kiri. Hal ini menunjukkan adanya ulserasi.
8

Gejala klinik diare tidak berdarah tidak steatorea juga bergantung etiologi.
Pasien dengan sindrom usus iretable biasanya keadaan ummnya baik dan keluhan
mereka tidak sesuai dengan keadaan umumnya. Diare labih sering pada pagi hari
jarang pada malam hari.dan berganti-ganti dengan konstipasi dan disertai nyeri
abdomen. Penyakit ini disertai dengan dyspepsia fungsional.

Kolitis mikroskopik, limfositik dan kolagen ditandai dengan adanya diare


kronik. Dengan gambaran endoskopi normal, timbul lebih sering pada perempuan
usia 50-60 tahun

Diare tidak berdarah, tidak streatorea biasanya kontinyu atau intermitten.


Dengan remisi dan relaps timbul spontan atau dalam pengobatan. Kadang kala
timbul nyeri kolik, nausea atau muntah, keadaan umum penderita umumnya baik,
pemeriksaan laboratorium normal.

Diagnosa

Pemeriksaan dapat di bagi menjadi 2 tahap yaitu : pemeriksaan tahap


awal(dasar) yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah
sederhana, tinja serta urin, dan pemeriksaan lanjutan yang sangat rumit.
Pemeriksaan tahap awal dan lanjutan dapat dilakukan selama berobat rawat jalan
atau rawat inap dirumah sakit. Tergangtung keadaan umum pasien.

Pemeriksaan Dasar

Anamnesis. Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis etiologic.


Dalam melakukan anamnesis, perlu ditanyakan hal-hal seperti :

- Waktu dan frekuensi diare : diare pada malam hari atau tidak intermitten, atau
diare timbul mendadak, menunjukkan adanya diare organic. Lama diare kronik
lama dari 3 bulan juga mengarahkan kita pada penyakit organic. Perasaan ingin
buang air besar yang tidak bisa di tahan mengarah pada ke penyakit
inflamatorik. Diare yang terjadi pada pagi hari lebih sering karena stress.
- Bentuk tinja: bila terdapat minyak dalam tinja, tinja pucat menunjukkan
insufisiensi pancreas dan kelainan peroksimal ileosikal. Diare air seperti air
9

dapat terjadi akibat kelainan pada semua tingkat system pencernaan, tapi
terutama di usus halus. Adanya makanaan yang tidak tercerna menifestasi dari
kontak yang terlalu cepat antara tinja dan dinding usus, yang disebabkan
akibaatnya cepatnya waktu transit usus. Bau asam menujukkan pnyerapan
karbohidrat yang tidak sempurna.
- Keluhan lain yang menyertai diare: a). nyeri abdomen: merupakan kelainan
yang tidak khas, dapat terjadi pada kelainan organic maupun fungsional. Pada
diare karena penyakit organic, lokasi nyeri menetap sedangkan pada diare
fungsional nyeri dapat berubah-ubah baik tempat maupun penyebarannya.
Nyeri abdomen yang tidak disebabkan kelainan usus halus berlokasi disekitar
pusat dan kolik/nyeri yang disebabkan kelainan usus besar dapat terletak di
suprapubik, kanan atau kiri bawah. Nyeri terus-mnerus menandakan adanya
ulserasi yang berat pada usus atau adanya komplikasi abses.
- Obat: banyak obat yang menimbulkan diare misalnya : laksan, antibiotika, anti
kanker, antidepresan, antihipertensi, anti konvulsan, obat penurun kolesterol,
obat diabetes mellitus, obat saluran cerna,. Penghentian obat beberapa hari
dapat di coba untuk membantu penegakkan diagnosia. Bila diare berhenti
dengan dihentikannya obat, maka kemungkinan besar diare diebabkan oleh
oabat tersebut.
- Makanan/minuman : makanan dapat menimbulkan diare melalui mekanisme
osmotic yang berlebihan atau proses alergi. Diare dan mual yang menyertai
minum susu menunjukkan dugaan kuat adanya intoleransi laktosa dan sindrom
usus iriatif. Diare yang terjadi setelah makan, makanan yang osmotiknya tinggi
menunjukkan adanya diare kronik. Diare karena malabsorbsi karbohidrat dapat
intermiten dan biasanya disertai gejala kebung, flatus dank ram abdomen.
- Lain-lain : berat badan menurun dapat terjadi pada diare organic maupun
funsional. Disebabkan napsu makan yang menurun. Pada sindrom usus iriatif
didapatkan banyak keluhan yang menyertai diare seperti perut begah, nyeri
bagian daerah anus setelah defekasi, mual, atau sendawa. Hal ini jarang
terdapat pada diare karena kelainan organik.
10

Pemeriksaan fisis/manifestasi klinik. Kebanyakan gejala klinik tidak spesifik


dan menunjukkan adanya malabsorbsi nutrient dan defisiensi vitamin/elektrolit.
Tetapi adanya gejala klinik tertentu menunjukkan adanya penyakit tertentu.

Meskipun 3 nutrien utama (lemak, karbohidrat, dan protein). Dapat


mengalami malabsorbsi, gejala klinik biasanya mengikuti malabsorsi karbohidrat
atau lemak. Malabsorbsi protein atau asam amino dapat terjadi tidak terlihat
secara klinik kecuali berat sekali sehingga menimbulkan malnutrisi atau
kerusakan transport asam amino yang menimbulkan penyakit sistemik congenital.
Malabsorbsi elektrolit dan air juga merupakan bagian dari patofisiologi diare
malabsorbsi.

Tanda-tanda steatorea yaitu tinja berwarna muda, berbau busuk, cenderung


mengambang, dan sulit di bersihkan dengan siraman air. Kadang-kadang keliatan
kilauan lemak di permukaan air. Hal ini menunjukkan adanya maldigesti atau
malabsorbsi lemak. Tinja yang menagmbang selain karena steatorea dapat juga
disebabkan karena adanya produksi gas oleh bakteri.

Diare berdarah menunjukkan bahwa penyakit mengenai rectum atau kolon


kiri. Hal ini menunjukkan adanya ulserasi.

Gejala klinik diare tidak berdarah tidak steatorea juga bergantung etiologi.
Pasien dengan sindrom usus iretable biasanya keadaan ummnya baik dan keluhan
mereka tidak sesuai dengan keadaan umumnya. Diare labih sering pada pagi hari
jarang pada malam hari.dan berganti-ganti dengan konstipasi dan disertai nyeri
abdomen. Penyakit ini disertai dengan dyspepsia fungsional.

Kolitis mikroskopik, limfositik dan kolagen ditandai dengan adanya diare


kronik. Dengan gambaran endoskopi normal, timbul lebih sering pada perempuan
usia 50-60 tahun

Diare tidak berdarah, tidak streatorea biasanya kontinyu atau intermitten.


Dengan remisi dan relaps timbul spontan atau dalam pengobatan. Kadang kala
timbul nyeri kolik, nausea atau muntah, keadaan umum penderita umumnya baik,
pemeriksaan laboratorium normal.
11

Pemeriksaan tinja. Harus diperhatikan benar apakah tinja berbentuk air/cair,


setengah cair atau lembek, berlemak atau bercampur darah. Contoh tinja harus
segera diperiksa untuk melihat adanya leukosit, erotrosit, parasit (amoeba, giardia,
cacing/telur cacing). Adanya gelembung lemak member dugaan kearah
malabsorbsi lemak yang mengarah ke penyakit pancreas dll. Adanya amilum yang
banyak dalam tinja menunjukkan adanya maldigesti karbohidrat. Eritrosit dalam
tinja menunjukkan adanya luka, colitis ulserasi, polip atau keganasan dalam usus
atau kadang infeksi juga. Leukosit dalam tinja menunjukkan adanya
kemungkinan infeksi atau inflamasi usus. Pemeriksaan pH tinja perlu dilakukan
bila ada dugaan malabsorbsi karbohidrat, dimana pH tinja di bawah 5,3 (asam)
disertai tes reduktif positif menunjukkan adanya intoleransi glukosa. pH diantara
6,0-7,5 ditemukan pada sindrom malabsorbsi asam amino dan asam lemak.
Pewarnaan dengan gram perlu dikerjakan untuk mencari kemungkinan infeksi
oleh bakteri, jamur dll. Pemeriksaan darah samar yang positif, kelainan lemak
tinja dan tes phenolphthalein tinja positif mengarahkan pada diagnosis penyakit
usus inflamatorik (IBD), diare malabsorbsi atau diare factitious. Analisis tinja ini
merupakan pemeriksaan yang relative murah dan mudah tetapi sering terdapat
positif maupun negative palsu. Oleh karena itu sebaiknya diperiksakan 2 contoh
sekaligus atau 2 kali pada hari berlainan secra berturut-turut. Harus dimintakan
pemeriksaan tinja dengan cara pemekatan sehingga kemungkinan positif lebih
besar. Diare dengan volume banyak dan berbau busuk menunjukkan adanya
infeksi, dan bila terdapat keadaan demikian, dapat langsung dilakukan
pemeriksaan kultur tinja untuk bakteri atau jamur. Harus diingat bahwa
pemeriksaan fisik dan tinja normal tidak selalu menyingkirkan kelainan organic.
Pemeriksaan beda osmotic tinja dapat dilakukan untuk membedakan diare
osmotic dan sekretorik. Pada diere osmotic beda osmotic tinja lebih dari 50 m0sm
per kg tinja sedang pada diare sekretorik beda osmotic tinja kurang dari 50 m0sm
per kg tinja. Osmolalitas tinja yang rendah <250 m0sm/kg menunjukkan
kontaminasi tinja dengan air atau urin atau adanya fistula gastrokolika dan
terminumnya cairan hipotonik. Osmolalitas tinja >290 m0smbsering disebabkan
metabolisme bakterial dari karbohidrat tinja selama penyimpanan tinja sampai
12

600 m0sm/kg. berat tinja lebih dari 400 gr/24 jam menunjukkan adanya penyakit
organic. Diare amebic dapar berupa cair atau berdarah dan dapat berlangsung
tahunan dengan ditemukannya leukosit pada tinja. Setengah kasus steatorea
mengalami diare cair karena sekresi air dan elektrolit kolon dapat dicetuskan oleh
asam lemak dan asam hidroksi lemak. Eklusi kelainan patologik lain setelah
semua pemeriksaan hasilnya negative adalah diagnosis irritable bowel syndrome.
Percobaan trial dengan metronidazole menolong dan mendiagnosis giardiasis.
Diare pada HIV dengan atau tanpa AIDS biasa disebabkan infeksi di usus 75-
85%. Dan dilakukan pemeriksaan tinja untuk menemukan organism yang jarang
seperti Cryptosporidium atau Isospora belli.

Pemeriksaan laboratorium lain, antara lain :


Darah. Idealnya pemeriksaan darah ini dilakukan setelah pemeriksaan tinja, bila
pemeriksaan tinja saja belum mengarah pada diagnosis. Laju endap darh yang
tinggi, kadar hemoglobin yang rendah, kadar albumin serum yang rendah
menunjukkan adanya penyakit organic. Led & CRP yang tinggi ditemukan pada
penyakit usus inflamatori (IBD). Pada anemia hemoglobin turun), perlu diperiksa
apakah ada defisiensi vitamin B12, asam folat, defisiensi besi karena gangguan
absorbsi.

2.8.2 KOLITIS INFEKSI

Kolitis infeksi adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang
berdasarkan penyebab dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

a. Kolitis infeksi, misalnya: shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebic,


kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain.
b. Kolitis non-infeksi, misalnya: kolitis ulserative, penyakit crohn’s,
kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik
(simple kolitis).
13

 Kolitis Amebik (Amebiasis Kolon)


Batasan
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.
Epidemiologi
Prevalensi amebiasis di berbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan
10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia
merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularan lewat kontaminasi feses ke
makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau
lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang
padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.
Pasien yang asimptomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya
mengeluarkan kista pada fesesnya. Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar
tubuh manusia. Sedangkan pada pasien denan infeksi amoeba akut/kronik yang
invasive selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut
tidak dapat bertahan lama di luar tubuh manusia.

Patofisiologi

E. histolityca terdapat dalam dua bentuk yaitu: kista dan tropozoit yang
bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Di
dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan tropozoit yang akan
menjadi dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis yang ditimbulkan bervariasi,
sebagian besar aimptomatik atau menimbulkan sakit yang sifatnya ringan sampai
berat.
Berdasar pola isoenzimnya, E.hystolityca dibagi menjadi golongan
zymodeme patogenik dan zymodeme non patogenik. Walaupun mekanismenya
belum seluruhnya jelas, diperkirakan tropozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan immunosupresi
seperti pemakai steroid memudahkan invasi parasit ini. Penglepasan bahan toksik
ini menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila
proses berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undermined,
kedalaman ulkus mencapai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus
14

menebal dengan sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal.
Ulkus dapat terjadi di semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian kolon
asenden dan sigmoid, kdang-kadang appendiks dan ileum terminalis.
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amebiasidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD8. Unvasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk masa yang disebut
ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden.
Gejala Klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi, mulai dari asimptomatik sampai berat
dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulserative. Beberapa jenis keadaan klinis
pasien amebiasis adalah sebagai berikut:
1. Carrier (cyst passer): ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa
gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi,
kadang-kadang diare. 90% pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun,
sisanya berkembang menjadi kolitis ameba.
2. Disentri ameba ringan: kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare
ringan dengan feses berbau busuk serta bercampur darah dan lender,
keadaan umum pasien baik.
3. Disentri ameba sedang: kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali
dengan nyeri spontan.
4. Disentri ameba berat: diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual,
anemia
5. Disentri ameba kronik: gejala menyerupai disentri ameba ringan, diselingi
dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena
kelelahan, demam, atau makanan yang sukar dicerna.

Diagnosis

Pada pasien yang dicuriga mengidap amebiasis kolon, pertama kali


diperiksa adanya eritrosit dalam feses, jika positif, pemeriksaan dilanjutkan.
15

Pemeriksaan feses segar yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal
pada 3 spesimen feses yang terpisah, untuk mencari adanya bentuk tropozoit.
Untuk identifikasi kista dilakukan pemeriksaan feses denga pengecatan trichrome,
jika perlu dengan teknik konsentrasi fese.

Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya ntibodi terhadap ameba,


positif pada 85-95% pasien dengan infeksi ameba yang invasive.

Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada


pasien amebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya diloakukan dini sebelum dilakukan
terapi. Ulkus yang terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas,
dengan dasar yang melebar (undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih
kekuningan. Mukosa di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk tropozoit biasanya
dapat ditemukan pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian
diperiksa dengan mikroskop setelah diberi larutan garam fisiologis.

Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambarannya


sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika terbentuk ameboma tampak sebagai
filling defect.

Diagnosa Banding

Kolitis amebik sangat perlu dibedakan dan kolitis ulserosa atau kolitis
krohn karena pemberian kortikosteroid pada kolitis amebic menyebabkan
penyebaran organism dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian pasien.

Diagnosis banding yang lain adalah kolitis karena infeksi Shigella,


Salmonella, Campylobacter, Yersinia, E.Coli patogen, dan kolitis
pseudomembran.

Komplikasi

1. Intestinal. Berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma,


intususepsi, dan striktur.
16

2. Ekstraintestinal. Dapat terjadi abses hati, amebiasis kulit, amebiasis


pleuropulmonal, abses otak, limpa, atau organ lain.
Penatalaksanaan
1. Karier asimptomatik. Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal
agents) antara lain: Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg 3x/hari selama
20 hari atau paramomycine 500 mg 3x/hari selama 10 hari.
2. Kolitis ameba akut. Metronidazole 750 mg 3x/hari selama 5-10 hari
ditambah dengan obat luminal tersebut di atas.
3. Amebiasis ekstraintestinal (missal abses hati ameba). Metronidazole 750
mg 3x/hari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut di
atas.
4. Beberapa obat yang juga dpat digunakan untuk amebiasis ekstraintestinal
antara lain: klorokuin fosfat 1 gr/hari selama 2 hari dilanjutkan 500
mg/hari selama 19 hari; emetin 1 mg/kgbb/hari im (maksimal 60 mg)
selama 10 hari. Emetin merupakan obat yang efektif untuk membunuh
tropozoit di jaringan atau yang berada di dinding usus, tetapi tidak
bermanfaat untuk ameba yang berada di lumen usus.

 Kolitis Pseudomembran

Batasan
Colitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang
ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudatif yang melekat di permukaan
mukosa.

Etiologi
Walaupun umumnya timbul sebagai komplikasi pemakaian antibiotic,
namun colitis pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era antibiotic. Yang
dianggap sebagai kuman penyebab adalah Clostridium difficile, toksin yang
dikeluarkan mengakibatkan colitis. Mekanisme pasti antibiotic menjadikan usus
lebih rentan terhadap C.difficile belum jelas. Penjelasan yang paling mungkin
17

adalah penekanan flora usus normal oleh antibiotic memberi kesempatan tumbuh
dan terbentuknya kolonisasi C.difficile disertai pengeluaran toksin.

Epidemiologi
C.difficile ditemukan di tinja 3-5% orang dewasa sehat tanpa kelainan
apapun di kolonnya. Colitis pseudomembran bisa mengenai semua umur.
Penularan bisa secara kontak langsung lewat tangan atau perantara makanan
minuman tercemar. Semua jenis antibiotic kecuali aminoglikosida intravena,
potensial menimbulkan colitis pseudomembran, namun yang paing sering adalah
ampisilin, klindamisin dan sefalosporin.

Patogenesis
C.difficile menimbulkan colitis dengan cara toxin-medicated. Kuman
mengeluarkan dua toksin utama, toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan
enterotoksin yang sangat berpengaruh terhadap semua kelainan yang terjadi,
sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat pada mukosa yang masih
utuh.

Gejala Klinis
Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotic digunakan,
tetapi mungkin pula baru muncul setelah 6 minggu antibiotic dihentikan. Gejala
yang paling sering dikeluhkan adalah diare cair disertai kram perut. Diare yang
terjadi dapat ringan, tetapi biasanya banyak sampai 10-20 kali sehari. Sebagaian
besar pasien mengalami demam walaupun dapat terjadi hiperpireksia, umumnya
suhu tidak melampaui 380C. Terdapat leukositosis sering sampai 50.000/mm.
yang lebih sering terjadi adalah colitis ringan. Pada kasus yang berat dapat terjadi
komplikasi berupa dehidrasi, edema anasarka, gangguan elektrolit, megakolon
toksik, atau perforasi kolon. Penggunaan narkotik atau antiperistaltik
meningkatkan resiko megakolon.
18

Diagnosa
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotic
perlu dipikirkan terjadinya colitis pseudomembran. Diagnosis colitis
pseudomembran dapat cepat dibuat dan akurat dengan melakukan pemeriksaan
kolonoskopi. Jika ditemukan lesi khas colitis pseudomembran, seyogyanya tetap
dilaukan biopsy untuk pemeriksaan histopatologi. Secara tipikal, diawali dengan
lesi kecil (2-5mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul mukosa diantaranya
seringkali terlihat normal atau mngkin menunjukan berbagai derajat eritema,
granularitas, dan kerapuhan. Jika lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang
luas berwarna kuning keabu-abuan dan jika diambil dengan forsep biopsy terlihat
mukosa di bawahnya mengalami ulserasi.
C.difficile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran
yang terdiagnosis secara kolonoskopi. Hasil biakan positif tidak diagnostic,
karena pada pasien yang berada di rumah sakit tanpa colitis ditemukan biakan
C.difficile positif sebesar 10-25%.

Sebagai standar baku adalah ditemukannya toksin B di tinja, sehubungan


dengan efek sitopatik toksin B pada kultur jaringan. Karena pemeriksaan ini
memakan waktu dan mahal, biasanya cukup memeriksa terdapatnya toksin A
dengan metode ELISA.

Gambaran histopatologi colitis pseudo membrane bervariasi tergantung


beratnya penyakit dan saat kapan biopsi dikerjakan. Price dan Davies (1977),
membagi lesi menjadi 3 tipe. Lesi tipe 3 yang ditandai dengan nekrosis total
mukosa tidak khas karena C.difficile, dapat terjadi pula pada kasus berat lainnya,
misalnya colitis iskemia.
19

KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI KOLITIS PSEUDOMEMBRAN


Lesi Klasifikasi Histopatologi
Vulkano Tipe 1 Nekrosis epithelial fokal
dengan PMN dan fibrin
tersebar di dalam lumen
Glandular Tipe 2 Pelebaran kelenjar
dengan PMN dan musin,
dilapisi pseudomembran.
Mukosa sekitarnya tidak
terkena.
Nekrosis Tipe 3 Nekrosis mukosa total
dengan mukosa dilapisi
pseudomembran yang
tebal.

Diagnosa Banding
Colitis pseudomembran perlu dibedakan dengan kasus diare akibat kuman
pathogen lain, efek samping penggunaan obat yang bukan antibiotic, colitis non-
infeksi dan sepsis intra abdominal.
Penatalaksanaan
Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotic yang diduga
menjadi penyebab, juga obat yang mengganggu peistaltik dan menvegah
penyebaran nosokomial. Pada kasus yang ringan keadaan sudah bisa teratasi
dengan penghentian antibiotic disertai pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus
dengan gejala yang lebih berat seyogyannya dilakukan pemeriksaan deteksi oksin
C.difficile dan terapi spesifik per oral menggunakan metronidazol atau
vankomisin,
Pada colitis ringan sampai sedang digunakan metronidazol dengan dosis
peroral 250-500 mg empat kali sehari selama 7-10 hari. Pada kasus dengan colitis
yang berat menggunakan vankomisin per oral, dosisnya 125-500mg empat kali
20

sehari selama 7-14 hari. Alternative pengobatan lainnya menggunakan


kolestiramin untuk mengikat toksin yang dihasilkan C.difficile, tetapi obat ini juga
mengikat vankomisin diberikan peroral dengan dosis 4 gram tiga kali sehari
selama 5-10 hari.

Pada kasus yang berhasil disembuhkan, ternyata dalam beberapa minggu


atau bulan kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan sete;ah pengobatan
spesifik diusahakan kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman
laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu.

 Disentri Basiler (Shigellosis)


Batasan
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri
genus shigella.

Epidemiologi
Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek,
kurang air, dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Sumber kuman
Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah
dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan penyakit
relative sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat
mudah terjadi penularan secara fecal-oral baik secara kontak langsung maupun
akibat makanan dan minuman yang terkontaminasi.

Patofisiologi
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi feses biasanya lunak (tidak cair),
disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorphonuklear (PMN)
dan darah.
Proses infeksi kuman ini adalah setelah melewati lmbung dan usus halus,
kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak di dalamnya.
21

Perluasan invasi kuman ke sel disekitarnya melalui mekanisme cell to cell


transfer. Walaupun lesi awal terjadi di lapisan epitel, respon inflamsi lokal yang
menyertai cukup berat, melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut
menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan artistektur
jaringan dan ulserasi mukosa. Jika penyakit berlanjut, maka terjadi penumpukan
sel inflamasi pad lamna propria, dengan abses pada kripta yang menjadi gambaran
utama.
S.dysenteriae, S.flexneri, dan S. somei menghasilkan eksotoksin antara
lain ShET1, ShET2, toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik,
dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu factor virulen
sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel epitel mukosa kolon dan
memperberat gejala klinis.
Kuman Shigella jarang melakukan penetrasi ke jaringan di bawah mukosa
sehingga jarang menyebabkan bakteriemia. Walaupun demikian pada keadaan
malnutrisi dan pasien immuno-compromised dapat terjadi bakteriemia. Selain itu
dapat pula terjadi kolitis hemorrhagic dan Sindrom Hemolitik Uremik (SHU).

Gejala Klinis
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala
klinis Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rata-rata 7 hari pada orang dewasa,
namun dapat berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiller yang tidak diobati
dengan baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada
fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, nyeri panas rectal, diare disertai
demam tinggi sampai 400 C. selanjutnya diare berkurang tetapi feses masih
mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-
nak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri
kepala, kaku kuduk, dan letarghi.
Pengidap pasca-infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu.
Walaupun jarang terjadi tela dilaporkan adanya pengidap Shigella yang
mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut
biasanya sembuh sendiri, dan dapat mengalami gejala Shigellosis yang intermiten.
22

Diagnosis
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan
keluhan nyeri abdomen bawah, rasa panas rectal dan diare. Pemeriksaan
mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk
memastikan diagnosis dilakukan kultur dan bahan tinja segar atau hapus rectal.
Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya colitis, namun pemeriksaan
tersebut pada umumnya tidak diperlukan, karena menyebabkan pasien merasa
sangat tidak nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila segera
diperlukan kepastian diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau
manifestasi akut colitis ulserosa idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsy harus
dikerjakan dalam waktu 4 hari dari saat gejala. Pada fase akut infeksi Shigella, tes
serologi tidak bermanfaat.
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan colitis ulseratif.
Demikian pula pemeriksaan barium enema, sigmoidoskopi, dan histopatologi juga
tidak dapat membedakannya. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif
dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotic yang
adekuat.

Diagnosa Banding
- Salmonelosis
- Sindrom diare karena enterotoksin E.colli
- Kolera
- Colitis ulseratif

Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi intestinal dan
ekstraintestinal. Komplikasi intestinal biasanya berupa megakolon toksik,
perforasi intestinal, dehidrasi renjatan hipovolemik dan malnutrisi. Sedangkan
komplikasi ekstraintestinal diantaranya adalah batuk, pilek, pneumonia,
meningismus, kejang, neuropati perifer, sindrom hemolitik uremik,
trombositopenia, reaksi leukemoid, dan arthritis (sindrom Reiter).
23

Penatalaksanaan
1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar
pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan
diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga
tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi intravena
2. Antibiotic. Penggunaan antibiotic berdasarkan beratnya penyakit yaitu
pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta
perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman didaerah tersebut. Beberapa
jenis antibiotic yang dianjurkan adalah :
a. Ampisilin 4x 500mg per hari, atau
b. Kotrimoksazol 2x 2tablet per hari, atau
c. Tetrasiklin 4x 500ng per hari selama 5 hari.
3. Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat motilitas
usus seperti narkotika dan derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi
bakteri dan memprovokasi terjadinya megakolon toksik.obat simtomatik
yang lain diberikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetik,
antipiretik dan antikonvulsi.

 Escherichia coli (Patogen)


Batasan
Infeksi kolon oleh serotype escherchia coli tertentu (O157:H7) yang
menyebabkan diare berdarah/tidak.

Epidemiologi
E.coli pathogen tersebut didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1 %),
penularan ke manusia sehingga menyebabkan KLB (outbreaks) adalah lewat
daging yang terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian
digiling dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah
lewat air minum yang tercemar, tempat berenang yang tercemar, dan antar
manusia.
24

Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1-8 hari. E.coli
pathogen dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun
tidak pernah ditemukan pada orang sehat.

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya diare dan sindrom hemolitik uremik pada pasien
yang terinfeksi E.coli pathogen masih belum jelas. Diduga E.coli pathogen mlekat
pada mukosa dan memproduksi toksin(shiga-like toxins) yang bekerja secara local
dan sistemik. Kerusakan pembuluh darah kolon akibat toksin tersebut
menyebabkan lipopolisakarida dan mediator inflammatory dapat beredar dalam
tubuh dan memicu terjadinya SHU. Anak dibawah lima tahun dan manula lebih
sering mengalami SHU daripada orag dewasa.

Gejala Klinis
Manifestasi klinis infeksi E.coli pathogen sangat bervariasi, dapat berupa
infeksi asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis),
SHU, purpura trombositopenik, sampai kematian.
Gejala klasik adalah nyeri abdomen yang sangat, diare yang kemudian diikuti
diare berdarah dan sebagian dari pasien datang dengan nausea dan vomiting. Pada
umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal, sehingga dapat
dikelirukan sebagai colitis non infeksi.

Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun sebagian


pasien tidak mengandung darah sama sekali.

Pada pemeriksaan kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa yang


edematous dan hyperemia, kadangkadang ditemukan ulserasi superficial. Dapat
dijumpai pula pseudomembran sehingga menyerupai infeksi C.difficile.

Pemeriksaan patologi menunjukan gambaran infeksi atau iskemik dengan


pola patchy kadang kadang dijumpai mikrotrombi fibrin.

Diagnosa Banding
Colitis pseudomembran dan colitis infeksi lainnya.
25

Penatalaksanaan
Pengobatan infeksi E.coli pathogen tidak spesifik, terutama pengobatan
suportif dan simtomatik. Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada
pasien yang mendapat antibiotic dan obat yang menghambat motilitas. Disamping
pemberian kotrimoksazol tidak mempunyai efek signifikan terhadap perjalanan
gejala gastrointestinal, ekskresi organisme dam komplikasi SHU.

 Kolitis Tuberkulosa
Batasan
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.

Epidemiologi
Lebih sering ditemukan di Negara bekembang dengan penyakit
tuberculosis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Patofisiologi
Penyebab terbanyak Mycobacterium tuberculosae biasanya lewat
tertelanya sputum yang mengandung kuman. Kadang-kadang akibat minum susu
yang tercemar Mycobacterium bovis. Terdapat hubungan tingginya frekuensi
tuberculosis saluran cerna dengan beratnya tuberculosis paru. Timbul 3 bentuk
kelainan : 1) ulseratif lesi aktif berupa tukak superficial, 2) hipertropik bentuk
lesinya berupa parut fibrosis dan massa yang menonjol menyerupai karsinoma, 3)
ulserohipertropik terdapat ulserasi dengan fibrosis yang merupakan bentuk
penyembuhan. Semua bagian saluran dapat terinfeksi, namun lokasi yang
tersering (85-90% kasus) adalah di daerah ileosekal.

Gejala Klinis
Keluhan paling sering adalah nyeri perut kronik yang tidak khas. Dapat
terjadi diare ringan bercampur darah kadang-kadang konstipasi, anoreksia, demam
ringan, penurunan berat badan, atau teraba massa abdomen kanan bawah. Pada
26

sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan
tuberculosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya berasal dari
kuman yang tertelan bersama sputum.

Diagnosa
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberculosis di
jaringan, baik dengan pemeriksaan, mikroskopik langsung atau atas dasar hasil
kultur biopsy jaringan. Sedangkan diagnosis dugaan adanya colitis tuberkulosa
adalah bila didapatkan tuberkulosa paru aktif dengan penyakit ileosekal.
Pada pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi
lekuk mukosa, ulserasi, stenosis,pseudopolip, atau massa mirip keganasan di
sekum.

Pemeriksaan penting untuk menegakan diagnose colitis tuberkulosa


dengan kolonoskopi. Dengan kolonoskopi didapatkan visualisasi lesi secara
langsung, sekaligus melakukan biopsy untuk pemeriksaan kultur dan
histopatologi. Pada tuberculosis kolon biasanya ditemukan penyempitan lumen,
dinding kolon kaku, ulserasi dengan tepi yang ireguler dan edematous.

Diagnosa Banding
Penyakit Crohn, amebiasis, diverticulitis, dan karsinoma kolon

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi berupa perdarahan, perforasi, obstruksi
intestinal, fistula dan sindrom malabsorbsi. Komplikasi yang sering terjadi adalah
obstruksi intestinal.

Penatalaksanaan
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti
pada pengobatan tuberculosis pau. Kadang perlu dilakukan tindakan bedah untuk
mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberculosis yang sering dipakai adalah
:
27

 INH 5-10 mg/kgBB atau 400mg sekali sehari


 Etambutol 15-25 mg/kgBB atau 900-1200 mg sekali shari
 Rifampisin 10 mg/kgBB atau 450-600 mg sekali sehari
 Pirazinamid 25-35 mh/kgBB atau 1,5-2 g sekali sehari.

2.8.3 IRRITABLE BOWEL SYNDROME (IBS)

Definisi

IBS adalah salah satu penyakit gastrointestinal fungsional. Pengertian IBS


sendiri adalah adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa
gangguan organik. Gejala yang dapat muncul pada pasien dengan IBS cukup
bevariasi. Disisi lain pemeriksaan fisik dan laboratorium yang spesifik pada
pasien IBS tidak ada, oleh karena itu penegakkan diagnosis IBS kadang kala tidak
mudah.

Kejadian dari IBS mencapai 15% dari penduduk Amerika, hal ini
didasarkan pada gejala yang sesuai dengan kriteria IBS. Kejadian IBS lebih
banyak pada perempuan dan mencapai 3 kali lebih besar dari laki-laki.
Kepustakaan lain menyebutkan bahwa angka prevalensi IBS bisa mencapai 3,6-
21,8% dari jumlah penduduk dengan rata-rata 11%.

Etiologi

Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS disebabkan
oleh suatu faktor saja. Penelitian-penelitian terakhir mengarah untuk membuat
suatu model terintegrasi sebagai penyebab dari IBS. Banyak factor yang
menyebabkan terjadinya IBS antara lain gangguan motilitas, intoleransi makanan,
abnormalitas sensorik, abnormalitas dari interaksi aksis brain-gut,
hipersensitivitas visceral, dan pasca infeksi usus.

Adanya IBS predominan diare dan IBS predominan konstipasi


menunjukkan bahwa pada IBS terjadi suatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe
diare terjadi peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon
dan usus halus. Sedang pada IBS tipe konstipasi terjadi penurunan kontraksi usus
dan memanjangnya waktu transit kolon dan usus halus.

IBS yang terjadi pasca infeksi dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS.
Keluhan-keluhan IBS muncul setelah 1 bulan infeksi. Penyebab IBS pasca infeksi
antara lain virus, giardia atau amuba. Pasien IBS pasca infeksi biasanya
mempunyai gejala perut kembung, nyeri abdomen dan diare.
28

Kriteria Diagnosis

Diagnosis IBS sendiri didasarkan pada konsesus atau kesepakatan yang


tervalidasi dan tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk menentukan
diagnosis dari IBS tersebut. Saat ini kriteria diagnosis yang digunakan adalah
kriteria Rome III yang dipublikasi sejak tahun 2006. Kriteria ini didasarkan pada
adanya keluhan berupa rasa tidak nyaman atau nyeri yang telah berlangsung
sedikitnya selama 3 hari/bulan selama 3 bulan pertama (tidak perlu berurutan) dan
telah berlangsung dalam 3 bulan terakhir dan tidak bisa dijelaskan oleh adanya
abnormalitas secara kelainan struktur maupun biokimiawi. Selain itu terdapat
sedikitnya 2 dari 3 hal berikut ini yaitu nyeri hilang setelah dekefasi, perubahan
frekuensi dari defekasi (diare atau konstipasi) atau perubahan dari bentuk feses.

Nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdomen yang dirasakan oleh pasien
dengan IBS biasanya selalu membawa pasien tersebut untuk mencarikan
pertolongan dan tentunya hal ini akan mengurangi kualitas hidup dari pasien itu
sendiri dan cenderung menjadi tidak produktif. Diare juga gejala utama IBS yang
selalu membawa pasien untuk datang ke dokter, keluhan diare itu tentunya tidak
menyenangkan. Keluhan konstipasi yang juga menjadi keluhan utama pasien IBS
tipe konstipasi biasanya disertai oleh kembung serta rasa nyaman di ulu hati.

Setelah melakukan anamnesis yang lengkap dan mencocokan dengan


kriteria yang ada dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium meliputi darah perifer lengkap, biokimia darah serta
pemeriksaan fungsi hati dan pemeriksaan hormon tiroid pada pasien dengan gejala
diare kronisnya yang menonjol. Diagnosis IBS ditegakkan jika keluhan sesuai
kriteria Rome III dan tidak ditemukan kelainan organic lain. Sebagian besar kasus
yang telah memenuhi kriteria Rome III tanpa gejala alarm seperti yang disebutkan
di atas biasanya tidak ditemukan kelainan structural. Pada pasien IBS dengan
dominasi keluhan diare pemeriksaan kolonoskopi diikuti biopsi mukosa kolon
perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya kolitis mikroskopik.

Selain kriteria Roma III, secara praktis sering juga digunakan kriteria
Manning yang lebih sederhana dan menitik beratkan pada keadaan onset nyeri
antara lain adanya buang air besar yang cair dan peningkatan frekuensi buang air
besar saat timbulnya nyeri.

Dari masing-masing gejala yang terdapat pada kriteria Manning


sebenarnya mempunyai interpretasi masing-masing. Adanya feses cair disertai
frekuensi defekasi yang meningkat pada saat nyeri menginterpretasikan bahwa
terjadi perubahan fungsi intestinal. Sedang adanya nyeri yang berkurang setelah
defekasi menunjukkan bahwa nyeri berasal dari gastrointestinal bawah. Adanya
29

kembung menunjukkan bahwa kondisi sakit ini agaknya bukan kelainan organic.
Adanya rasa tidak lampias menginterpretasikan bahwa rectum irritable. Sedang
adanya lendir pada saat defekasi menunjukkan bahwa rectum teriritasi.

Pada beberapa keadaan keadaan IBS dibagi dalam beberapa subgroup


sesuai dengan keluhan dominan yang ada pada seseorang. Pada Subgrup IBS yang
sering digunakan membagi IBS menjadi 4 yaitu IBS predominan nyeri perut, IBS
predominan diare, IBS predominan konstipasi, dan IBS alternating pattern.

Diferensial Diagnosis

Beberapa penyakit harus dipikirkan sebagai diferensial diagnosis dari IBS


karena penyakit-penyakit ini juga mempunyai gejala yang lebih kurang sama
seperti IBS.

Pada IBS diare sering dideferensial diagnosis dengan defisiensi lactase.


Kelainan lain yang juga harus dipikirkan adalah kanker kolorektal, diverticulitis,
inflammatory bowel disease (IBD), obstruksi mekanik pada usus halus atau kolon,
infeksi usus, iskemia, maldigesti dan malabsorbsi serta endometriosis pada pasien
yang mengalami nyeri saat menstruasi.

Ada beberapa tanda alarm yang harus diperhatikan sehingga diagnosis


lebih menjurus kearah suatu penyakit organic dari pada IBS, yaitu antara lain
onset umur lebih besar dari 55 tahun, riwayat keluhan pertama kali kurang dari 6
bulan, perjalanan penyakitnya progresif atau sangat berat, gejala-gejala timbul
pada malam hari, perdarahan per anus, anoreksia, berat badan turun, riwayat
keluarga menderita kanker, pada pemeriksaan fisik ditemukan kelainan missal
adanya distensi abdomen, anemia atau demam. Apabila tanda-tanda alarm ini
ditemukan selain gejala-gejala IBS maka penyebab organic harus dipikirkan
terlebih dahulu sehingga pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lain harus segera dilakukan.

Tatalaksana

Penatalaksanaan pasien IBS meliputi modifikasi diet, intervensi, psikologi


dan farmakoterapi. Ketiga bentuk ini harus berjalan secara bersamaan. Dalam
memberikan obat harus diingat bahwa tersebut memiliki efek samping dan juga
akan memperburuk kondisi psikis pasien.

Diet. Modifikasi ini untuk meningkatkan konsumsi serat ditujukan IBS


dengan konstipasi. Pada pasien dengan IBS tipe diare konsumsi serat dikurangi.
Pada IBS tipe konstipasi peningkatan konsumsi serat juga disertai konsumsi air
30

yang meningkat disertai aktifitas olahraga rutin. Beberapa makanan dapat


mencetuskan IBS antara lain gandum, susu, kafein, bawang, coklat dan beberapa
sayuran.

Psikoterapi. Pasien pada IBS biasanya mempunyai rasa cemas yang


tinggi pada penyakitnya. Karena biasanya rasa sakit perut dan buang air besar
cair atau susah buang air besar itu datangnya tiba-tiba. Karena pasien IBS itu
berpikiran bahwa ada sesuatu penyakit organik di dalam tubuhnya. Pasien dengan
IBS harus diperhatikan untuk mengendalikan stresnya. Pasien diminta untuk tidak
bekerja berlebihan dan menyampingkan waktu istirahat, menyediakan waktu yang
cukup untuk buang air besar secara teratur diluar waktu sibuk bekerja dan juga
yang terpenting selama makan disediakan waktu yang cukup agar makan yang
dilakukan dalam ketenangan dan tidak terburu- buru. Olahraga yang teratur
merupakan kunci penting yang juga harus diperhatikan agar pasien dengan IBS
dapat menyesuaikan dengan keluhan yang ada.

Obat-obatan. Obat – obatan yang diberikan untuk IBS terutama untuk


menghilangkan gejala yang timbul antara lain untuk mengatasi nyeri
abdomen,mengatasi konstipasi , mengatasi diare dan obat antiansietas. Tidak ada
obat tunggal yang diberikan pada pasien IBS , obat- obatan biasanya diberisecara
kombinasi. Untuk mengatasi nyeri abdomen diberikan obat golongan
antispasmodik yang mempunyai efek antikolinergik dan lebih bermanfaat pada
nyeri perut setelah makan, tetapi kurang bermamfat pada nyeri kronik disertai
gejala konstipasi. Obat – obatan yang sering beredar antara lain mebeverin 3x135
mg, hiosin N- butilbromida 3x10 mg ,Chlordiazepoksid 5mg/klinidum 2,5 mg 3x1
tab, alverin 3x30 mg dan obat antispasmodik terbaru yang sudah digunakan di
Indonesia otolium bromide.

Pada IBS tipe diare beberapa obat juga dapat digunakan antara lain
loperamid dengan dosis 2-16 mg perhari. IBS tidak disebabkan oleh jamur dan
infeksi sehingga antibiotik dan antijamur tidak dibutuhkan. Begitu juga dengan
enzim, malabsorbsi bukan penyebab IBS sehingga suplementasi ensim pada
pasien dengan IBS kurang tepat.
31

Prognosis
Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortilitas, gejala pasien IBS
biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus, dan hanya
kurang dari 5% yang akan memburuk dan sisanya dengan gejala yang menetap.

2.8.4 Inflamatory Bowel Disease

Pendahuluan
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang
melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum
diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu Kolitis Ulseratif,
Penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut maka dimasukkan
dalam kategori Indeterminate Colitis. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui
penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan radiasi.

Epidemiologi
Inflammatory Bowel Disease merupakan penyakit dengan kekerapan
tinggi di negara-negara Eropa atau Amerika. Laporan sekitar tahun 1990-an
didapatkan angka insiden untuk colitis ulseratif/penyakit crohn di Eropa 11,8/7,0,
Norwegia 13,6/5,8, Belanda 10/6,9, Jepang 1,9,0,5, Italia 5,2/2,3 per 100.000
orang. Jadi terdapat perbedaan tingkat kekerapan antara negara barat (bahkan
berbeda antara Eropa Utara dan Selatan) dengan negara Asia Pasifik. Sedangkan
untuk angka prevalensi didapatkan di Copenhagen 161,2/44,4, Italia 121/40,
Jepang 18,1/5,8, Singapura 6/3,6. Penyakit IBD cenderung punya puncak usia
yang terkena pada usia muda (umur 25-30 tahun) dan tidak terdapat perbedaan
bermakna antara perempuan dan laki-laki. Selain adanya perbedaan geografis di
atas, tampaknya orang kulit putih lebih banyak terkena dibandingkan kulit hitam
(untuk populasi produk di negara Barat). Dari segi ras, IBD banyak terdapat pada
orang yahudi. IBD cenderung terjadi pada kelompok social ekonomi tinggi, bukan
perokok, pemakai kontrasepsi oral dan diet rendah serat.
Di Indonesia belum dapat dilakukan studi epidemiologi ini. Data yang ada
berdasarkan laporan Rumah Sakit (Hospital Based). Data bersumber Rumah Sakit
di Jakarta dapat dilihat pada tebel 1. Sangat mungkin terjadi variasi akurasi
diagnosis antar laporan, mengingat akan terdapatnya perbedaan sarana diagnostik
penunjang yang tersedia. Sarana diagnostik di Pusat Rujukan akan dapat
menegakkan diagnosis secara tepat dan segera menerapkan pengobatan
definitifnya. Tetapi sistem rujukan di Indonesia belum berkembang secara optimal
32

sehingga sebagian besar kasus terduga IBD akan mengalami under-diagnosed atau
justru dapat terjadi over-diagnosed tentang IBD. Disini diperlukan suatu sistem di
bawah kewenangan profesi agar pasien tidak mengalami over-treatment atau
under-treatment. Diperlukan suatu konsensus profesi agar kasus IBD di Indonesia
dapat teridentifikasi secara lebih baik dan mendapat pengobatan lebih optimal.
Dipihak lain proses pencatatan dan pelaporan akan lebih seragam dam dapat lebih
dipertanggung jawabnya untuk suatu penelitian epidemiologik, baik dalam
populasi maupun data Rumah Sakit.

ETIO-PATOGENESIS

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun
penjelasannya yang memadai mengenai pola distribusinya.

Tidak disangka bahwa factor genetic berperan penting dalam adanya


kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya keterlibatan familial. Teori
adanya peningkatan perbeabilitas epitel usus, terdapatnya anti neutrofil
sitoplasmivc autoantibody, peran nitric oksida, riwayat infeksi (terutama
mikobakterium paratuberkulosis) banyak di kemukakan. Yang tetap menjadi
masalah adalah hal yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya
33

kompleks, antara interaksi antigen eksogen, kemudian masuk antigen (termasuk


permeabilitas usus) dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD
8,9-14. Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali oleh
adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi
pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh factor genetic, defek imun,
lingkungan sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.

Gambaran Klinik
Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan
manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstra
intestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodusum, dan
kolangitis. Dapat pula disertai dengan gambaran keadaan sistemik yang timbul
sebagai dampak keadaan patologis seperti gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU
(Kolitis Ulseratif )lebih bervariasi di bandingkan PC(Penyakit Crohn). Hal ini
disebabkan distribusi anatomi saluran cerna yang terlibat KU adalah colon,
sedangkan pada PC melibatkan atau terjadi pada semua segmen saluran cerna ,
mulai dari mulut sampai anorektal.

Perjalanan penyakit IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi
ini dapat disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan.
DAI (Disease Activity Index) yang di dasarkan pada frekuensi diare, ada tidaknya
34

perdarahan per-anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan


endoskopi dan penilaian keadaan umum.

Derajat klinik KU dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan
frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia, yang terjadi dan
laju endap darah. Perjalanan penyakit KU dapat di mulai dengan serangan
pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah beratsecara gradual
setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai, dengan panjangnya
kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan
lapisan mukosa.

Pada PC selain gejala umum di atas adanya fistula merupakan karakteristik


(termasuk perianal). Nyeri perut relative lebih mencolok. Hal ini di sebabkan oleh
sifat lesi yang transmural sehingga menimbulkan fistula dan obstruksi serta
berdampak pada timbulnya bacterial over growth. Secara endoskopik penilaian
aktivitas penyakit KU relative mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi
mukosa dan luasnya, bagian usus yang terlibat. Tetapi pada PC hal tersebut lebih
sulit , terlebih bila ada keterlibatan usus halus (tidak terjangka oleh teknik
pemeriksaan kolonoskopik), sehingga di pakai criteria yang lebih spesifik
(Crohn’s Disease Activity Index) yang di dasari oleh adanya penilaian demam ,
data laboratorium, manifestasi ekstraintestinal, frekuensi diare, nyeri abdomen,
fistula, penurunan berat badan, terabanya masa intraabdomen, rasa sehat pasien.

Radiologi
Tidak terdapat perbedaan yang spesifik antara gambaran laboratorium PC
dan KU. Data laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai derejat aktivitas
penyakit dan dampaknya pada status nutrisi pasien. Penurunan kadar HB , Ht, dan
besi serum dapat menggambarkan derajat kehilangan darah lewat saluran cerna.
Tingginya kadar LED dan CRP yang positif menggambarkan aktivitas inflamasi,
serta rendahnya kadar albumin, mencerminkan status nutrisinya yang rendah.
35

Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi memiliki peranan penting dalam diagnosis dan
penatalaksanaan kasus IBD. Akurasi diagnostic kolonoskopi pada pada IBD
adalah 89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil meragukan.

Pada dasarnya KU merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon


secara difus dan kontinu, di mulai dari rectum dan menyebar/ progresif ke
proksimal. Data dari rumah sakit di Jakarta di dapatkan bahwalokalisasi KU
adalah 80% pada rectum dan Rektosigmoid 12 % kolon sebelah kiri , dan 8%
melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis). Sedangkan PC bersifat transmural,
segmental dan dapat terjadi pada saluran cerna bagian atas, usus halus ataupun
kolon. Dari data yang ada dilaporkan 11% kasus PC terbatas pada ileo-caecal,
33% pada ileo-colon dan 56% hanya pada kolon. Daerah ileo-caecal merupakan
daerah predileksi untuk beberapa penyakit yaitu PC, TB, amobiasis.

Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi lebih memepunyai nilai diagnostic
daripada specimen yang diambil secara biopsy per-endoskopik. Terlebih lagi bagi
36

PC lesinya bersifat transmural sehingga tidak terjangkau dengan teknik biopsy


pre-endoskopik. Gambaran khas pada KU adalah adanya abses kripti, distorsi
kripti, infiltasi sel mononuklesu dan polimorfonuklear di lamina propria.
Sedangkan pada PC adanya granuloma tuberkuloid merupakan hal yang
karakteristik di samping adanya infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina
propria serta ulserasi yang dalam.

Alur diagnosis

Pengobatan
Pengobatan Umum
Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi dalam bentuk bakteri
intralumen usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan proses
inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan, maka diusahakan untuk
mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotic, lavase usus,
mengikat produksi bakteri, menginstirahatkan kerja usus dan perubahan pola diet.
Metronidazole cukup banyak bermanfaat pada PC dalam menurunkan derajat
aktivitas penyakitnya pada keadaan aktif. Sedangkan pada KU jarang digunakan
antibiotic sebagai terapi terhadap agen proinflamasinya. Di samping beberapa
konstituen diet yang harus dihindari karena dapat mencetuskan serangan (seperti
wheat, cereal yeast dan produk peternakan), terdapat pula konstituen yang bersifat
antioksidan yang dalam penelitian dilaporkan bermanfaat pada kasus IBD yaitu
glutamine dan asam lemak rantai pendek. Edukasi pada pasien dan keluarganya
sangat diperlukan.
37

Obat golongan kortikosteroid.Obat golongan glukokortikoid merupakan


obat pilihan untuk PC (untuk semua derjat) dan KU derajat sedang dan berat. Pada
umunya pilihan jatuh pada prednisone, metilprednisolon (bentuk preparat peroral)
atau steroid enema. Pada keadaan berat, diberikan kortikosteroid parenteral.
Untuk memperoleh tujuan konsentrasi steroid yang tinggi pada dinding usus
dengan efek sistemik (dan efek sampingnya) yang rendah, saat ini telah
dikembangkan obat golongan glukortikoid non-sistemik dalam pengobatan IBD.
Dalam hal ini dapat dipakai obat budesonide baik dalam bentuk preparat oral
lepas lambat ataupun enema. Dosis rata-rata yang banyak digunakan untuk
mencapai fase remisi adalah setara dengan 40-60 mg prednisone, yang kemudian
dilakukan tapering dose setelah remisi tercapai dalam waktu 8-12 minggu.
38

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah disampaikan seperti di atas, dapat
disimpulkan bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan diare kronik. Diare
kronik dapat disebakan oleh penyakit kelainan organ karena infeksi berbagai
kuman virus, bakteri, parasit, maupun protozoa. Tetapi ada juga diare kronik
yang penyebabnya penyakitnya kurang dapat diketahui secara pasti (idiopatik)
yaitu IBS dan IBD

Oleh karena itu, penting untuk mencari penyebab diare kronik pada
pasien agar penanganan yang diberikan juga dapat tepat. Sehingga dapat
mengurangi risiko keadaan pasien yang memburuk akibat diare kronik yang
terus berkelanjutan. Untuk penanganan kasus diare kronik, selalu perhatikan
keadaan umum pasien. Karena keadaan umum ini merupakan yang harus
dijaga pada pasien dengan diare kronik.

B. Saran
Kami selaku penyusun ingin menyarankan kepada para pembaca untuk
tidak mudah merasa puas dengan apa yang telah disajikan pada laporan ini.
Harapannya, para pembaca dapat lebih mencari tahu mengenai materi yang
disampaikan melalui berbagai referensi yang lebih lengkap, dan lebih
memahaminya, agar tujuan dari pemaparan materi pada laporan ini dapat
tercapai.

Anda mungkin juga menyukai