Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK XIV KELAINAN ABDOMEN


MODUL 4 IKTERIK DAN HEMATEMESIS MELENA

Disusun oleh : Kelompok


3

SATRIA

DANANJAYA S. NIM.1410015013
M. ARIS INDRAWAN NIM.1410015005
AHMAD KAFI NIM.1410015040
RINDA NUGRAHINI NIM.1410015050
JUMASRI TANDI RAPANG NIM.1410015044
VIVI EVITA DEWI NIM.1410015035
MAHLINA NUR LAILI NIM.1410015014
AMALIA ASWIN NIM.1410015002
ZUHAIDAH KARIMAH NIM.1410015066
YULIANA BELINDA NIM.1410015061

Tutor : dr. Ronny Isnuwardhana, M.IH

Tutor Pengganti:
Dr. dr. Swandari Paramita, M.Kes
Dr. Krispinus Duma, SKM, M.KEs

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nyalah makalah Modul 4 tentang ”Ikterik dan Hematemesis Melena” di
dalam blok 14 Kelainan Abdomen ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok
kecil (DKK) kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini, antara lain :
1. Dr. dr. Swandari Paramita, M.Kes dan Dr. Krispinus Duma, SKM, Mselaku
tutor pengganti yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi
kelompok kecil (DKK).
2. Teman-teman kelompok 3 yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya
sehingga diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik
dan dapat menyelesaikan makalah hasil diskusi kelompok kecil (DKK)
kelompok 3.
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
angkatan 2014 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu.
Akhirnya, tentunya makalah ini belum sempurna dan masih terdapat banak
kekurangan . Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun sangat kami
harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi makalah hasil diskusi kelompok
kecil (DKK) ini.

Samarinda, 13 November 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR......................................................................................................
i
DAFTAR ISI....................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................................
1
1.3 Tujuan..........................................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
Skenario.............................................................................................................................
2
Step 1 (Identifikasi Istilah)................................................................................................
2
Step 2 (Identifikasi Masalah)............................................................................................
2
Step 3 (Analisis Masalah).................................................................................................
3
Step 4 (Strukturisasi Konsep)............................................................................................
4
Step 5 (Learning Objective)..............................................................................................
4
Step 6 (Belajar Mandiri)....................................................................................................
4
Step 7 (Sintesis).................................................................................................................
5
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................
40
3.2 Saran............................................................................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................
41

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hematemesis merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran
cerna bagian atas yang ditandai dengan muntah yang mengandung darah dan
feses yang berwarna kehitaman, yang merupakan tanda khas dari perdarahan
saluran cerna bagian atas karena reaksi yang terjadi antara hemoglobin dan asam
lambung. Kebanyakan kasus hematemesis adalah keadaan gawat di rumah sakit
yang menimbulkan 8-14% kematian di rumah sakit. Faktor utama yang berperan
penting dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan untuk menilai
masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan diagnostik dalam
menentukan sumber perdarahan. Sumber perdarahan saluran pencernaan bagian
atas sendiri terbagi dua yaitu sumber perdarahan yang beraal dari varises esofagus
dan perdarahan non-varises esofagus. Penting bagi mahasiwa untuk mengetahui
perbedaan tersebut dalam penentuan tatalaksana yang tepat sasaran. Kasus yang
paling dominan yang akan dibicarakan di makalah ini berfokus pada perdarahan
oleh karena varises esofagus. Dimana etiologi penting dari varises esofagus
sendiri adalah hipertensi porta yang disebabkan oleh sirosis hepatis yang
merupakan komplikasi dari peradangan terus menerus pada hepar seperti pada
hepatitis. Untuk ini dalam diskusi kali ini, kami membahas definisi, etiologi,
patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan dari varises esofagus, hepatitis, dan
sirosis hepatis.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan yaitu agar kita bisa memahami dan menjelaskan hal-hal
yang berkaitan dengan kelainan pada sistem hepatobilier serta mengetahui
algoritma penatalaksanaan pada masing-masing kelainan yang ditemukan.

1
BAB II
ISI

SKENARIO
Muntah Darah
Laki-laki 70 tahun datang ke unit gawat darurat dengan keluhan muntah darah
sejak 2 jam yang lalu. Perut terasa kembung dan buang air besar berwarna hitam.
Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Badan
terasa lemas dan mual. Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 100.60 mmHg,
nadi 100x per menit, konjunctiva pucata, mata dan kulit sekilas tampak kuning.
Pemeriksaan fisik didapatkan spider naevi, eritema palmar dan pembesaran lien
Schuffner 2.

STEP 1. (IDENTIFIKASI ISTILAH)


1. Spider Nevi : Lesi vaskular yang terdapat pada aerola center yang
terdiri atas vaskuler kecil yang melebar membentuk seperti
laba-laba.
2. Garis Schuffner : Garis yang menghubungkan antara SIAS kanan sampai
umbilicus, yang diteruskan ke aorta, terdiri dari 8 titik.
Garis ini menunjukkan derajat pembesaran lien.
3. Eritema palmaris : Kemerahan pada tenar dan hipotenar telapak tangan yang
dikaitkan dengan metabolisme estrogen.

STEP 2. (IDENTIFIKASI MASALAH)


1. Bagaimana mekanisme hematemesis dan apa penyebabnya?
2. Mengapa terjadi perut kembung dan melena?
3. Mengapa pasien lemas dan mual?
4. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan pada kasus di skenario?
5. Mengapa konjungtiva pucat, mata serta kulit berwarna kuning?
6. Apa yang menyebabkan terjadinya spider nevi dan eritema palmar?
7. Apa pemeriksaan penunjang untuk kasus ini?
8. Apa kemungkinan diagnosis banding?

STEP 3. (ANALISIS MASALAH)


1. Terjadinya perdarahan pada saluran cerna atas dibedakan menjadi dua, yaitu
perdarahan varises dan nonvarises. Perdarahan varises disebabkan oleh
peningkatan tekanan vena porta, dimana kompensasinya adalah pembentukan

2
vena kolateral yang rapuh dan akhirnya akan pecah menyebabkan terjadinya
perdarahan. Jika perdarahan terjadi di bagian bawah saluran cerna (gaster)
sehingga bercampur dengan asam lambung/HCL akan menyebabkan melena.
Hal ini berbeda dengan hemtochezia dengan perdarahan segar karena darah tidak
tercampur HCL.
2. Penyebab terjadinya kembung adalah karena peningkatan tekanan
intraabdominal.
3. Lemas disebabkan oleh karena perdarahan masif yang ditandai dengan
penurunan tekanan darah, dapat juga karena hipoglikemi akibat anoreksia atau
output berlebihan (mual, muntah)
4. Interpretasi hasil pemeriksaan:
- TD : 100/60 mmHg  hipotensi
- N : 100x/menit  normal
- Konjungtiva pucat  penurunan jumlah darah (akibat hipotensi)
- Mata dan kulit kuning  dapat terjadi secara fisiologis pada neonatus,
namun cenderung patologis pada dewasa, dimana terjadi peningkatan kadar
bilirubin dalam darah.
- Spider nevi dan eritema palmar disebabkan oleh hiperestrogenemia.
- Titik Schuffner 2  pembesaran lien.
5. Telah terjawab pada nomor 4.
6. Spider nevi dan eritema palmar dapat disebabkan oleh hormon estradiol terutama
sirosis hepatis yang mencerminkan adanya hipertensi porta yang dikompensasi
dengan adanya pembuluh darah kolateral. Kerusakan hati menyebabkan
Keluhan
gangguan metabolisme estradiol sehingga terjadi akumulasi estradiol.
7. Pemeriksaan penunjang:
Hematemesis
- SerumMelena
SGOT & SGPT
- Endoskopi
Kembung
- Pemeriksaan
Mual darah lengkap
- Radiologi : USG, CT, MRI, Angiografi
Lemas
8. Diagnosis banding: TD : 100/60 mmHg
- Sirosis hepatis N : 100 x/menit
- Hepatitis Schuffner 2
- Perdarahan non varises Ikterik
Pemeriksaan Fisik Eritema Palmar
Spider Nevi
STEP 4. (STRUKTURISASI KONSEP)

Darah Lengkap
Radiologi – USG, CT
Pemeriksaan Penunjang Serum SGPT & SGOT

Diagnosis Banding

3
Sirosis Hepatis
Hepatitis
Perdarahan Non-varises
STEP 5. (LEARNING OBJECTIVE)
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang ikterus, hematemesis, dan melena.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang hepatitis
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang sirosis hepatis

STEP 6. BELAJAR MANDIRI

STEP 7. SINTESIS
7.1. IKTERIK, HEMATEMESIS DAN MELENA
IKTERIK
DEFINISI
Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh sehingga menyebabkan perubahan
warna jaringan menjadi kuning. Ikterus biasanya dapat dideteksi pada sklera, kulit
atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2 sampai 3 mg/dl.

ETIOPATOFISIOLOGI

Empat mekanisme yang

4
menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus :
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin oleh hati
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatic dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh
obstruksi mekanis
 Pembentukan bilirubin berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab
tersering dari pembentukan bilirubin berlebihan. Ikterus yang timbul juga sering
disebut sebagai icterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung
normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Bilirubin
tak terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat diekskresi didalam urine
dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian, terjadi peningkatan pembentukan
urobilinogen (akibat peninkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan
konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam feses dan urin sehingga menyebabkan warna urin dan feses lebih gelap.
 Gangguan ambilan bilirubin
Ambilan bilirubin tak terkonjugasi terikat albumin oleh sel hati dilakukan dengan
memisahkan dan mengikatkan bilirubin terhadap protein penerima. Hanya beberapa
obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin oleh hati.
Hiperbilirubinemia dan icterus biasanya menghilang bila obat pencetus dihentikan.
 Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (<12,9 mg/100 ml) yang timbul antara hari
kedua dan kelima setelah lahir disebut sebagai icterus fisiologis neonates. Ikterus
neonatal yang normal ini disebabkan oleh imaturitas enzim glukoronil transferase.
Aktivitas glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa hari hingga minggu
kedua setelah lahir dan setelah itu icterus akan menghilang. Gangguan konjugasi
bilirubin dapat terjadi pada seseorang mengalami defisiensi progresif enzim
glukoronil transferase. Misalnya pada gangguan herediter pada penyakit sindrom
Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II.
 Penurunan eksreksi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskeresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional maupun
obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi.

5
Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urin
menyebabkan bilirubinuria dan urin yang gelap. Urobilinogen feses dan urin sering
menurun sehingga menyebabkan feses berwarna pucat. Ikterus akibat
hiperbilirubinuria terkonjugasi biasanya lebih kuning daripada icterus karena
hiperbilirubinuria tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari oranye-kuning
muda atau tua sampai kuning- hijau muda atau tua bila terjadi obstruksi total aliran
empedu. Perubahan ini disebut sebagai iketrus kolestatik, yang merupakan nama lain
iketerus obstruktif. Kolesistasis dapat besrsifat intrahepatic atau ekstrahepatik.
Penyebab tersering kolestasis intrahepatic adalah penyakit pada parenkim hati
sedangkan penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Untuk penegakan diagnosis penyebab ikterik perlu dilakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Onset yang mendadak menunjukkan
proses akut. Onset lambat mengarah pada keadaan kronis seperti hepatitis kronis.
Keluhan kolik perut kanan atas menunjukkan keradangan akut seperti cholesistitis
atau batu saluran empedu. Riwayat berada di daerah endemis malaria mengarah pada
infeksi malaria. Riwayat minum alkohol, penggunaan jarum suntik secara bergantian
sering ditemukan pada penderita hepatitis alkoholik dan hepatitis viral kronis. Bila
pada pemeriksaan fisik didapatkan sklera kuning, maka kadar bilirubin setidaknya
sekitar 3 mg/dl. Selain sklera, hiperbilirubinemia juga dapat dideteksi dibawah lidah.
Jika bilirubin makin tinggi, kulit menjadi kekuningan. Warna urine berubah menjadi
pekat (seperti teh) akibat bilirubinuria. Splenomegali umumnya didapatkan pada
sirosis, proses hemolisis lama dan malaria kronis. Fungsi hepar dan status virus
hepatitis seseorang harus dievaluasi. Pemeriksaan penunjang ultrasonografi, Scanning
abdomen dan ERCP (Endoscopic retrograde cholangiopancreatography) digunakan
mendeteksi kelainan hepatobilier.
Ikterik harus dibedakan dari karotenoderma, yaitu kekuningan pada telapak
tangan, telapak kaki atau lipatan nasolabial seorang individu sehat yang makan sayur
dan buah-buahan yang mengandung karoten dalam jumlah banyak. Perbedaan yang
mencolok adalah hiperbilirubinemia pada karotenoderma tidak mengenai sklera.

HEMATEMESIS DAN MELENA


DEFINISI

6
Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran feses atau
tinja yang berwarna hitam seperti teh yang disebabkan oleh adanya perdarahan
saluran makan bagian atas. Warna hematemesis tergantung pada lamanya hubungan
atau kontak antara darah dengan asam lambung dan besar kecilnya perdarahan,
sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal,
(Nettina, Sandra M. 2001).
Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal, lengket yang
menunjukkan perdarahan saluran pencernaan bagian atas serta dicernanya darah pada
usus halus. Warna merah gelap atau hitam berasal dari konversi Hb menjadi hematin
oleh bakteri setelah 14 jam. Sumber perdarahannya biasanya juga berasal dari saluran
cerna atas, (Sylvia, A Price. 2005).
Biasanya terjadi hematemesis bila ada perdarahan di daerah proksimal jejunum
dan melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemesis. Paling
sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru dijumpai keadaan melena.
Banyaknya darah yang keluar selama hematemesis atau melena sulit dipakai sebagai
patokan untuk menduga besar kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas.
Hematemesis dan melena merupakan suatu keadaan yang gawat dan memerlukan
perawatan segera di rumah sakit.

ETIOLOGI
1) Kelainan di Esophagus
o Varises Esophagus
Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya varises
esophagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrium. Pada
umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan massif. Darah yang
dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena sudah
bercampur dengan asam lambung.
o Karsinoma Esophagus
Karsinoma esophagus sering memberikan keluhan melena daripada
hematemesis. Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis,
hanya sesekali penderita muntah darah dan itupun tidak massif.
o Sindroma Mallory-Weiss
Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat yang pada
akhirnya baru timbul perdarahan. Misalnya pada peminum alcohol atau pada
hamil muda. Biasanya disebabkan oleh karena terlalu sering muntah-muntah

7
hebat dan seterusnya.
o Esofagitis dan Tukak Esophagus
Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering intermitten
atau kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada
hematemis. Tukak di esophagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan jika
dibandingkan dengan tukak lambung dan duodenum.
2) Kelainan di Lambung
Gastritis Erisova Hemoragika
Hematemesis bersifat tidak massif dan timbul setelah penderita minum
obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung. Sebelum muntah penderita
mengeluh nyeri ulu hati.
Tukak Lambung
Penderita mengalami dyspepsia berupa mual, muntah, nyeri ulu hati dan
sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium yang
berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu massif dan
melena lebih dominan dari hematemesis.
3) Kelainan Darah
Polisetimia vera, limfoma, leukemia, anemia, hemofili, trombositopenia
purpura.

PATOFISIOLOGI
Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan
peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam
submukosa esophagus, lambung dan rectum serta pada dinding abdomen anterior
yang lebih kecil dan lebih mudah pecah untuk mengalihkan darah dari sirkulasi
splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena
tersebut menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah disebut varises.
Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal massif. Selanjutnya
dapat mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke
jantung, dan penurunan perfusi jaringan.
Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan
mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini
merangsang tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian
awal. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi jaringan mengakibatkan
disfungsi selular. Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh system
tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi system tersebut akan mengalami
kegagalan.

8
Pada melena dalam perjalanannya melalui usus, darah menjadi berwarna merah
gelap bahkan hitam. Perubahan warna disebabkan oleh HCL lambung, pepsin, dan
warna hitam ini diduga karena adanya pigmen porfirin. Kadang-kadang pada
perdarahan saluran cerna bagian bawah dari usus halus atau kolon asenden, feses
dapat berwarna merah terang/gelap.
Diperkirakan darah yang muncul dari duodenum dan jejunum akan tertahan pada
saluran cerna sekitar 6-8 jam untuk merubah warna feses menjadi hitam. Paling
sedikit perdarahan sebanyak 50-100 cc baru dijumpai keadaan melena. Feses tetap
berwarna hitam seperti teh selama 48-72 jam setelah perdarahan berhenti. Ini bukan
berarti keluarnya feses yang berwarna hitam tersebut menandakan perdarahan masih
berlangsung. Darah yang tersembunyi terdapat pada feses selama 7-10 hari setelah
episode perdarahan tunggal.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang ada yaitu :
a. Muntah darah (hematemesis)
b. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
c. Mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia)
d. Denyut nadi yang cepat, TD rendah
e. Akral teraba dingin dan basah
f. Nyeri perut
g. Nafsu makan menurun
h. Jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
anemia, seperti mudah lelah, pucat, nyeri dada dan pusing.

7.2. HEPATITIS
DEFINISI
Hepatitis adalah peradangan hati karena berbagai sebab. Hepatitis yang
berlangsung kurang dari 6 bulan disebut "hepatitis akut", hepatitis yang berlangsung
lebih dari 6 bulan disebut "hepatitis kronis".
Serangan hepatitis akut dapat terjadi tiba-tiba tanpa gejala awal atau bertahap.
Kerusakan akibat hepatitis akut biasanya hanya mengenai sebagian kecil jaringan hati
saja. Namun jika daya tahan tubuh pasien dalam keadaan buruk hepatitis akut dapat
mengancam jiwa.
Sedangkan hepatitis kronis terjadi jika sebagian hati (liver) yang mengalami
peradangan berkembang sangat lambat, tetapi sebagian lain dapat menjadi aktif dan

9
semakin memburuk dalam hitungan tahun. Akibat dari hepatitis kronis yang
memburuk adalah terjadinya sirosis atau kanker hati. Keduanya sering berakhir pada
kematian.
Hepatitis biasanya terjadi karena virus, terutama salah satu dari kelima virus
hepatitis, yaitu A, B, C, D atau E. Hepatitis juga bisa terjadi karena infeksi virus
lainnya, seperti mononukleosis infeksiosa, demam kuning dan infeksi
sitomegalovirus. Penyebab hepatitis non-virus yang utama adalah alkohol dan obat-
obatan.

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Virus hepatitis A (HAV)
 Masa inkubasi 15-50 hari (rata-rata 30 hari)
 Distribusi di seluruh dunia; endemitas tinggi di negara berkembang
 HAV dieksresi di tinja oleh orang yang terinfeksi selama 1-2 minggu sebelum dan
1 minggu setelah awitan penyakit
 Viremia muncul singkat (tidak lebih dari 3 minggu), kadang-kadang sampai 90
hari pada infeksi yang membandel atau infeksi yang kambuh
 Ekskresi feses yang memanjang (bulanan) dilaporkan pada neonatus yang
terinfeksi
 Transmisi enterik (fekal-oral) predominan di antara anggota keluarga. KLB
dihubungkan dengan sumber umum yang digunakan bersama, makanan
terkontaminasi, dan air
 Faktor risiko lain, meliputi paparan pada:
- Pusat perawata sehari untuk bayi atau balita
- Institusi untuk developmentally disadvantage
- Bepergian ke negara berkembang
- Perilaku seks oral-anal
- Pemakaian bersama pada IVDU
 Tak terbukti adanya penularan maternal-neonatal
 Prevalensi berkolerasi dengan standar sanitasi dan rumah tinggal ukuran besar
 Transmisi melalui transfusi darah sangat jarang

Virus hepatitis E (HEV)


 Masa inkubasi rata-rata 40 hari
 Distribusi luas, dalam bnetuk epidemi dan endemi
 HEV RNA terdapat di serum dan tinja selama fase akut
 Hepatitis sporadik sering pada dewasa muda di negara sedang berkembang
 Penyakit epidemi dengan sumber penularan melalui air
 Intrafmilial, kasus sekunder jarang

10
 Dilaporkan adanya maternal-neonatal
 Di negara maju sering berasal dari orang yang kembali pulang setelah melakukan
perjalanan, atau imigran baru dari daerah endemik
 Viremia yang memanjang atau pengeluaran di tinja merupakan kondisi yang tidak
sering dijumpai
 Zoonosis: babi dan binatang lain

Virus hepatitis B (HBV)


 Masa inkubasi 15-180 hari (rata-rata 60-90 hari)
 Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut
 Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan berkembang menjadi
hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati
 Distribusi di deluruh dunia: prevalensi karier di USA < 1%, di asia 5-15%
 HBV ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, cairan tubuh lain
 Cara transmisi
- Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja
kesehatan, pekerja yang terpapar darah
- Transmisi seksual
- Penetrasi jaringan (perkutan) tau per mukosa : tertusuk jarum, penggunaan
ulang peralatan medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur
dan silet, tato, akunputur, tindik, penggunaan sikat gigi bersama
- Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant
- Tak ada bukti penyebaran fekal-oral

Virus hepatitis D (HDV)


 Masa inkubasi diperkirakan 4-7 minggu
 Endemis di mediterania, semenanjung balkan, bagian eropa bekas rusia
 Insidensi berkurang dengan adanya peningkatan vaksin
 Viremia singkat (infeksi akut) atau memanjang (infeksi kronik)
 Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan risiko infeksi HBV (koinfeksi
atau superinfeksi)
a. IVDU
b. Homoseksual atau biseksual
c. Resipien donor darah
d. Pasangan seksual
 Cara penularan:
a. Melalui darah
b. Transmisi seksual
c. Penyebaran maternal-neonatal

Virus hepatitis C (HCV)

11
 Masa inkubasi 15-160 hari (puncak pada sekitar 50 hari)
 Viremia yang berkepanjangan dan infeksi yang persisten umum dijumpai (55%-
85%). Distribusi geografik luas.
 Infeksi yang menetap dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis, kanker hati.
 Prevalensi serologi infeksi lampau/ infeksi yang berlangsung berkisar 1,8% di
USA, sedangkan di Italia dan Jepang dapat mencapai 20%
 Cara transmisi:
a. Darah (predominan) : IVDU dan penetrasi jaringan, resepien produk darah
b. Transmisi seksual : efisiensi rendah, frekuensi rendah
c. Maternal-neonatal : efisiensi rendah, frekuensi rendah
d. Tak terdapat bukti transmisi fekal-oral

ETIOLOGI
Hepatitis akibat infeksi virus
Sebagian besar kasus hepatitis disebabkan oleh bermacam-macam virus
hepatitis. Nama-nama virus penyebab hepatitis yang saat ini telah dikenali adalah
virus hepatitis A atau VHA, virus hepatitis B atau VHB, virus hepatitis C atau VHC,
virus hepatitis D atau VHD, virus hepatitis E atau VHE, virus hepatitis F atau VHF
dan virus hepatitis G atau VHG. Sedangkan penyakit hepatitis yang ditimbulkannya
disebut sesuai dengan nama virusnya. Di antara ketujuh jenis hepatitis tersebut,
hepatitis A, B dan C merupakan jenis hepatitis terbanyak yang sering dijumpai.
Sedangkan kasus hepatitis F masih jarang ditemukan. Para ahli pun masih
memperdebatkan apakah hepatitis F merupakan jenis hepatitis tersendiri atau tidak.
• Hepatitis A
• Hepatitis B
• Hepatitis C
• Hepatitis D
• Hepatitis E

Hepatitis akibat komplikasi penyakit lain


Beberapa penyakit ataupun gangguan metabolisme tubuh dapat menyebabkan
komplikasi pada hati (liver). Diabetes mellitus, hiperlipidemia (berlebihannya kadar
lemak dalam darah) dan obesitas sering menyebabkan penyakit hati (liver). Ketiga
kelainan tersebut membebani kerja hati (liver) dalam proses metabolisme lemak.
Akibat yang biasa timbul adalah kebocoran sel-sel hati (liver) yang berlanjut menjadi
kerusakan dan peradangan sel hati (liver) yang biasa disebut steatohepatitis. Pola
makan dan gaya hidup yang salah biasa menjadi pangkal dari kasus-kasus
steatohepatitis.

12
Terapi steatohepatitis lebih ditujukan kepada penyakit yang menyebabkannya.
Penderita diabetes mellitus diberi terapi diet rendah gula, insulin atau obat anti
diabetes. Penderita hiperlipidemia diterapi dengan diet rendah lemak dan obat
penurun kadar lemak (hipolipidemik). Sedangkan penderita obesitas diterapi dengan
program penurunan berat badan secara bertahap. Masalah yang timbul pada hati
(liver) umumnya membaik jika penyakit penyebabnya berhasil ditangani.
Hepatitis akibat konsumsi alcohol
Alkohol sangat dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati (liver). Mengapa
demikian? Jawabnya adalah di dalam tubuh, alkohol akan terpecah-pecah menjadi
zat-zat kimia lain. Sejumlah zat kimia tersebut bersifat racun yang menyebabkan
kerusakan sel-sel hati (liver). Jika anda menyayangi hati (liver) anda, maka hindari
konsumsi alkohol.
Hepatitis akibat konsumsi obat atau zat kimia
Zat kimia dari obat dapat menimbulkan masalah yang sama dengan reaksi akibat
infeksi virus hepatitis. Gejala dapat terdeteksi dalam waktu 2 hingga 6 minggu setelah
pemberian obat. Pada sebagian besar kasus, gejala hepatitis menghilang setelah
pemberian obat tersebut dihentikan. Namun beberapa kasus dapat berkembang
menjadi masalah hati serius jika kerusakan hati (liver) sudah terlanjur parah.
Obat-obatan yang cenderung berinteraksi dengan sel-sel hati (liver) antara lain
halotan (biasa digunakan sebagai obat bius), isoniasid (antibiotik untuk TBC),
metildopa (obat anti hipertensi), fenitoin dan asam valproat (obat anti epilepsi) dan
parasetamol (pereda demam). Jika dikonsumsi sesuai dosis yang dianjurkan,
parasetamol merupakan obat yang aman. Namun jika dikonsumsi secara berlebihan
parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati (liver) yang cukup parah bahkan
kematian.
Selain obat-obatan ada beberapa jenis polutan yang dapat merusak sel-sel hati
(liver) yaitu alfatoksin, arsen, karboijn tetraklorida, tembaga dan vinil klorida.
Hepatitis akibat penyakit autoimun
Hepatitis autoimun terjadi karena adanya gangguan pada sistem kekebalan yang
biasanya merupakan kelainan genetik. Sistem kekebalan tubuh justru menyerang sel
atau jaringan hati (liver). Selain merupakan kelainan genetik, gangguan ini dapat pula
dicetuskan oleh virus ataupun zat kimia tertentu. Klasifikasi hepatitis berdasarkan
etiologi dari virus, antara lain:
• Virus hepatitis A

13
Hepatitis A merupakan tipe hepatitis yang paling ringan.Virus hepatitis A
terutama menyebar melalui tinja. Penyebaran ini terjadi akibat buruknya tingkat
kebersihan. Di negara-negara berkembang sering terjadi wabah yang
penyebarannya terjadi melalui air dan makanan. Infeksi virus hepatitis A (VHA)
biasanya tidak sampai menyebabkan kerusakan jaringan hati (liver) yang parah.
Mayoritas mereka yang terinfeksi oleh virus ini dapat pulih sepenuhnya. Hepatitis
A menular melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh VHA.
• Virus hepatitis B
Hepatitis B merupakan jenis hepatitis yang berbahaya. Jenis hepatitis ini
merupakan jenis yang paling mudah menular dibanding jenis hepatitis yang lain.
Hepatitis B menular melalui kontak darah atau cairan tubuh yang mengandung
virus hepatitis B (VHB). Seseorang dapat saja mengidap VHB tanpa disertai
gejala-gejala klinik ataupun kelainan dan gangguan kesehatan. Orang tersebut
disebut pembawa VHB atau carrier VHB.
Seseorang dapat menjadi carrier karena individu tersebut mempunyai
pertahanan tubuh yang baik atau karena VHB-nya yang tidak aktif. VHB yang
tidak aktif menyebabkan mekanisme pertahanan tubuh tidak dapat mengenalinya
sebagai musuh sehingga sistem imunitas tidak melakukan perlawanan. Suatu saat
jika pertahanan tubuh individu tersebut melemah atau VHB-nya menjadi aktif
maka individu yang bersangkutan akan memperlihatkan gejala klinis hepatitis
(hepatitis symptoms).
Carrier VHB jumlahnya relatif banyak. Carrier VHB juga berpotensi
menularkan hepatitis B. Sebagian besar orang yang terinfeksi virus ini akan
sembuh. Hanya sebagian kecil saja yang berakhir pada kematian karena daya tahan
tubuhnya sangat rendah. Sekitar 10% kasus hepatitis B akan berkembang menjadi
hepatitis menahun (kronis). VHB pada penderita hepatitis B kronis dapat menjadi
tidak aktif, namun sebagain lagi dapat menjadi aktif dan memperburuk kondisi
hepatitis. Pada kasus terakhir inilah akhirnya biasa terjadi sirosis, kanker hati atau
gagal hati yang berakhir pada kematian.
VHB dapat ditemukan dalam darah, air liur, air susu ibu, cairan sperma atau
vagina penderita. Penularan hepatitis B terjadi melalui kontak darah, cairan tubuh
ataupun material lain yang terinfeksi seperti jarum suntik, alat-alat bedah yang
tidak steril, peralatan dokter gigi yang tidak steril, jarum akupunktur, jarum tato,
jarum tindik yang tidak steril. Penggunaan bersama alat-alat yang dapat

14
menimbulkan luka dapat menjadi media penularan VHB, sepeti pisau cukur, sikat
gigi, gunting kuku, dan lain-lain. Penularan hepatitis B dapat juga terjadi dari ibu
yang menerita hepatitis B kepada janin yang dilahirkannya. Karena VHB dapat
ditemukan di sperma maupun cairan vagina, maka penularan dapat terjadi pula
melalui hubungan seksual.
Penularannya tidak semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan
melalui darah atau produk darah. Penularan biasanya terjadi diantara para pemakai
obat yang menggunakan jarum suntik bersama-sama, atau diantara mitra seksual
(baik heteroseksual maupun pria homoseksual).
Ibu hamil yang terinfeksi oleh hepatitis B bisa menularkan virus kepada bayi
selama proses persalinan. Hepatitis B bisa ditularkan oleh orang sehat yang
membawa virus hepatitis B. Di daerah Timur Jauh dan Afrika, beberapa kasus
hepatitis B berkembang menjadi hepatitis menahun, sirosis dan kanker hati.
• Virus hepatitis C
Menyebabkan minimal 80% kasus hepatitis akibat transfusi darah. Virus
hepatitis C ini paling sering ditularkan melalui pemakai obat yang menggunakan
jarum bersama-sama. Jarang terjadi penularan melalui hubungan seksual. Untuk
alasan yang masih belum jelas, penderita "penyakit hati alkoholik" seringkali
menderita hepatitis C. Hepatitis C dapat menyebabkan peradangan hati yang cukup
berat. Kembali diperkirakan sekitar 80% infeksi virus hepatitis C (VHC)
berkembang menjadi hepatitis kronis dan dapat menyebabakan sirosis ataupun
kanker hati. Pada hepatitis C, peradangan yang berkembang menjadi sirosis
ataupun kanker hati memakan waktu yang relatif lebih singkat daripada apa yang
terjadi pada kasus hepatitis B. Hepatitis C menular melalui darah, biasnya karena
transfusi atau jarum suntik yang terkontaminasi VHC.
• Virus hepatitis D
Hepatitis D sering dijumpai pada penderita hepatitis B. Mengapa demikian?
Jawabnya adalah virus hepatitis D atau VHD ukurannya sangat kecil dan sangat
tergantung pada virus hepatitis B atau VHB. VHD membutuhkan selubung VHB
untuk dapat menginfeksi sel-sel hati (liver). Tak menherankan jika cara penularan
VHD sama dengan penularan VHB.
Seseorang dapat terjangkit hepatitis B dan D akut secara bersamaan. Sebagian
besar dapat sembuh dengan sendirinya tergantung ketahanan tubuhnya. Penderita
hepatitis B kronik dapat terkena hepatitis D akut, dan biasanya hepatitis D nya

15
berubah menjadi kronis. Kasus tersebut dapat juga berkembang menjadi sirosis hati
dalam waktu lebih singkat.
Hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B dan virus hepatitis D
ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat. Yang memiliki risiko
tinggi terhadap virus ini adalah pecandu obat.
• Virus hepatitis E
Virus hepatitis E kadang menyebabkan wabah yang menyerupai hepatitis A,
yang hanya terjadi di negara-negara terbelakang. Hepatitis E bersifat menyerupai
hepatitis A begitu pula dengan cara penularannya. Namun tingkat keparahannya
penyakitnya lebih ringan dibanding hepatitis A. Seperti hepatitis A, hepatitis E
sering bersifat akut dengan masa sakit singkat namun jika penderita dalam kondisi
ketahanan fisisk lemah, hepatitis E dapat parah hingga menimbulkan kegagalan
fungsi hati (liver). Virus hepatitis E atau VHE menyebar melalui makanan dan
minuman yang tercemar feses yang mengandung VHE.

Hepatitis Virus Akut


Merupakan keradangan akut parenchym hati karena infeksi virus hepatitis (tipe
A/B/C/D/E,dsb). Keluhan utama yang timbul berupa sclera mata kuning (ikterus).
Keluhan lain yang mungkin timbul adalah anoreksia/nausea(mual)/vomiting
(muntah)/panas badan/kelemahan tubuh/kencing kuning-coklat/"transient" pruritus.
Gejala lain berupa ascites (cairan bebas dalam rongga perut), hipoglikemia, edema,
terjadi bila keadaannya sudah berat. Biasanya gejala klinis tersebut terjadi dalam 3
fase, yaitu :
1. Fase preikterik : gangguan pencernaan (mual/muntah), lemah badan, gejala
seperti flu, air seni mulai lebih kuning coklat, sedang tinja mulai lebih pucat.
Berlangsung 3-10 hari sampai 2 minggu.
2. Fase ikterik : gejala saluran pencernaan dan "flu like syndrome" berkurang
sampai hilang, kecuali lemah badan disertai adanya mata kuning, sebah, nyeri
tekan pada daerah hypochondrium kanan (perut kanan atas). Air seni juga mulai
bertambah kecoklatan (seperti air teh). Berlangsung 1-2 minggu.
3. Fase penyembuhan : mulai timbul nafsu makan, lemah badan mulai berkurang,
sebah berkurang sampai hilang, warna kuning mulai berkurang sampai hilang,
warna air seni mulai lebih muda lagi. Ikterus umumnya hilang dalam 2-6 minggu.
Penyembuhan sempurna terjadi dalam 3-4 bulan (12-16 minggu)

16
Pada pemeriksaan didapatkan: ikterus, hepar (hati) sedikit membesar/lunak/nyeri
tekan (+ 70 % kasus), lien (limpa) membesar (+ 20 % kasus), panas (umumnya hilang
setelah ada ikterus/"transient" pruritus). Pada pemeriksaan laboratorium, yaitu
terdapat peningkatan SGOT/SGPT, LED meninggi, bilirubinemia, hipoalbuminemia,
dan peningkatan waktu protrombin (menunjukkan nekrosis hepatoseluler yang luas).
Pemeriksaan urine didapatkan bilirubin (+), yang akan bertambah pada fase ikterik
dan mulai menghilang pada fase penyembuhan. Pemeriksaan serologis akan positif
(tergantung jenis dan perjalanan penyakitnya), antara lain HBsAg, IgM antiHAV, IgM
antiHBc, anti HCV.

MANIFESTASI KLINIS
1. Spektrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata sampai kondisi
yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut
2. Sindrom klinis yang mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala prodromal
yang non spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti:
a. Malaise, anoreksia, mual dan muntah
b. Gejala flu, faringitis, batuk, coryza, fotofobia, sakit kepala, dan mialgia
3. Awitan gejala cenderung munculmendadak pada HAV dan HEV, pada virus yang
lain secara insidious
4. Demam jarang ditemukan kecuali pada infeksi HAV
5. Immune complex mediated, serum sickness like syndrome dapat ditemukan pada
kurang dari 10% pasien dengan infeksi HBV, jarang pada infeksi virus lain
6. Gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala anoreksia,
malaise, dan kelemahan dapat menetap
7. Ikerus dapat didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus (biasanya
ringan dan sementara) dapat timbul ketika ikterus meningkat
8. Pemeriksaan fisis menunjukkan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati
9. Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien

Gagal hati akut (Acute Liver Failure)


1. Perubahan status mental (ensefalopati): letargi, mengantuk, koma, perubahan pola
tidur, perubahan kepribadian
2. Edema serebral (biasanya tanpa edema papil)
3. Koagulopati (pemanjangan masa protrombin)
4. Gagal organ multipel, ARDS, aritmia jantung, sindroma hepatorenal, asidosis
metabolik, sepsis, perdarahan gastrointestinal, hipotensi
5. Asites, dapat anasarka
6. Case fatality rate 60%
7. Pemeriksaan fisis serial memperlihatkan hati yang mengecil

17
8. Frekuensi tinggi mencapai 10%-20% pada perempuan hamil semester ketiga
dengan hepatitis E

Hepatitis dengan kolestasis


1. Kuning sangat menonjol dan menetap selama beberapa bulan sebelum terjadinya
perbaikan yang komplit
2. Pruritus menonjol
3. Pada beberapa pasien terjadi anoreksia dan diare yang persisten
4. Prognosis baik pada pasien dengan resolusi yang komplit
5. Paling sering terjadi pada infeksi HAV

Hepatitis relaps
1. Kemunculan kembali gejala dan abnormalitas tes hati setelah beberapa minggu
sampai beberapa bulan setelah perbaikan atau kesembuhan.
2. Paling sering terjadi pada infeksi HAV, IgM anti HAV tetap positif dan dijumpai
HAV di tinja.
3. Dapat dijumpai artritis. Vaskulitis dan krioglobulinemia
Prognosis baik pada yang telah sembuh sempurna walaupun setelah kambuh yang
berulang (terutama dijumpai pada anak).

DIAGNOSIS SECARA SEROLOGIS


1. Transmisi infeksi secara enterik
a. HAV
- IgM anti HAV dapat dideteksi selama fase akut dan -6 bulan setelahnya
- Anti HAV yang positif tanpa IgM anti HAV mengindikasikan infeksi
lampau
b. HEV
- Belum tersedia pemeriksaan serologi komersial yang telah disetujui
FDA
- IgM dan IgG anti HEV baru dapat dideteksi oleh pemeriksaan untuk
riset
- IgG anti HEV dapat tetap terdeteksi selama 20 bulan
2. Transmisi infeksi melalui darah
a. HBV
- Diagnosis serologis telah tersedia dengan mendeteksi keberadaan dari
IgM antibodi terhadap antigen core hepatitis (IgM anti HBc dan HBs Ag)
- HbeAg dan HBV DNA
- IgG anti HBc
- Antibodi terhadap HbsAg (anti HBs)
b. HDV
- Pasien HbsAg positif dengan :

18
o Anti HDV dan atau HDV RNA sirkulasi (pemeriksaan belum
mendapat persetujuan)
o IgM anti HDV dapat muncul sementara
- Koinfeksi HBV/HDV
o HbsAg positif
o IgM anti HBc positif
o Anti HDV dan atau HDV RNA
- Superinfeksi HDV
- Titer anti HDV akan menurun sampai tak terdeteksi dengan adanya
perbaikan infeksi
c. HCV
- Diagnosis serologis
o Deteksi anti HCV
- HCV RNA
o Petanda yang paling awal muncul pada infeksi akut hepatitis C
o Muncul setelah beberaapa minggu infeksi
o Ditemukan pada infeksi kronik HCV

TATALAKSANA
Infeksi yang sembuh spontan
1. Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan
menyebabkan dehidrasi.
2. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat
 Tidak ada rekomendasi diet khusus
 Makan pagi dengan porsi yang cukup besar merupakan makanan yang paling
baik ditoleransi.
 Menghindari konsumsi alkohol selama fase akut
3. Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus dihindari
4. Pembatasan aktivitas sehari-hari tergantung dari derajat kelelahan dan malaise
5. Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis A, E, D. pemberian interferon alfa
pada hepatitis C akut dapat menurunkan resiko kejadian infeksi kronik. Peran
lamivudin atau adefovir pada hepatitis B akut masih belum jelas. Kortikosteroid
tidak bermanfaat.
6. Obat-obat yang tidak perlu harus dihentikan.

Gagal hati akut


1. Perawatan di RS
 Segera setelah diagnosis ditegakkan
 Penanganan terbaik dapat dilakukan pada RS yang menyediakan program
transplantasi hati.
2. Belum ada terapi yang terbukti efektif
3. Tujuan

19
 Sementara menunggu perbaikan infeksi spontan dan perbaikan fungsi hati
dilakukan monitoring kontinu dan terapi suportif.
 Pengenalan dini dan terapi terhadap komplikasi yang mengancam nyawa
 Mempertahankan fungsi vital
 Persiapan transplantasi bila tidak terdapat perbaikan
4. Angka survival mencapai 65-75% bila dilakukan transplantasi dini

Hepatitis kolestasis
1. Perjalanan penyakit dapat dipersingkat dengan penberian jangka pendek
prednisone atau asam ursodioksikolat.
2. Pruritus dapat dikontrol dengan kolestiramin

Hepatitis relaps
Penanganan serupa dengan hepatitis yang sembuh spontan

PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap infeksi hepatitis dengan penularan secara enterik
HAV
Pencegahan dengan imunoprofilaksis
1. Imunoprofilaksis sebelum paparan
a. Vaksin HAV yang dilemahkan
 Efektifitas tinggi
 Sangat imunogenik
 Antibody protektif terbentuk dalam 15 hari pada 85-90% subyek
 Aman, toleransi baik
 Efektifitas proteksi selama 20-50 tahun
 Efek samping utama adalah nyeri di tempat penyuntikan
b. Dosis dan jadwal vaksin HAV
 >19 tahun. 2 dosis of HAVRIX (1440 Unit Elisa) dengan interval 6-12 bulan.
 Anak >2 tahun. 3 dosis HAVRIX (360 Unit Elisa), 0, 1, dan 6-12 bulan atau
2 dosis (720 Unit Elisa), 0, 6-12 bulan.
c. Indikasi vaksinasi
 Pengunjung ke daerah resiko tinggi
 Homoseksual dan biseksual
 IVDU
 Anak dan dewasa muda pada daerah yang pernah mengalami kejadian luar
biasa luas.
 Anak pada daerah dimana angka kejadian HAV lebih tinggi dari angka
rasional.
 Pasien yang rentan dengan penyakit hati kronik

20
 Pekerja laboratorium yang menangani HAV
 Pramusaji
 Pekerja pada bagian pembuangan air
2. Imunoprofilaksis pasca paparan
 Keberhasilan vaksin HAV pada pasca paparan belum jelas
 Keberhasilan immunoglobulin sudah nyata akan tetapi tidak sempurna
 Dosis dan jadwal pemberian immunoglobulin
o Dosis 0,02 ml/kg, suntikan pada daerah deltoid sesegera mungkin setelah
paparan.
o Toleransi baik, nyeri pada daerah suntikan
o Indikasi : kontak erat dan kontak dalam rumah tangga dengan infeksi HAV
akut.

HEV
Kemunculan IgG anti HEV pada kontak dengan pasien hepatitis E dapat bersifat
proteksi, akan tetapi efektifitas dari immunoglobulin yang mengandung anti HEV
masih belum jelas.
 Pengembangan immunoglobulin titer tinggi sedang dilakukan
 Vaksin HEV sedang dalam penelitian klinis pada daerah endemik

HBV
Pencegahan pada infeksi yang ditularkan melalui darah
1. Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan
a. Vaksin rekombinan ragi
 Mengandung HBsAg sebagai imunogen
 Sangat imunogenik, menginduksi konsentrasi proteksi anti HBsAg pada >
95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit 3 dosis.
 Efektifitas sebesar 85-95% dalam mencegah infeksi HBV
 Efek samping utama : nyeri sementara pada tempat suntikan 10-25%, demam
ringan dan singkat pada <3%.
 Booster tidak direkomendasikan walaupun setelah 15 tahun imunisasi awal.
 Booster hanya untuk individu dengan imunokompromais jika titer di bawah
10mu/ml.
 Peran imunoterapi untuk pasien hepatitis B kronik sedang dalam penelitian.
b. Dosis dan jadwal vaksinasi HBV. Pemberian IM (deltoid) dosis dewasa untuk
dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis anak (1/2 dosis
dewasa), diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian.
c. Indikasi
 Imunisasi universal untuk bayi baru lahir
 Vaksinasi catch up untuk anak sampai umur 19 tahun (bila belum
divaksinasi).

21
 Grup risiko tinggi:
 Pasangan dan anggota keluarga yang kontak dengan karier hepatitis B
 Pekerja kesehatan dan pekerja yang terpapar darah
 IVDU
 Homoseksual dan biseksual pria
 Individu dengan banyak pasangan seksual
 Resipien transfuse darah
 Pasien hemodialisis
 Sesame narapidana
 Individu dengan penyakit hati yang sudah ada (misal hepatitis C kronik).
2. Imunoprofilaksis pasca paparan dengan vaksin hepatitis B dan immunoglobulin
hepatitis B (HBIG).
Indikasi :
 Kontak seksual dengan individu yang terinfeksi hepatitis akut :
a) Dosis 0,04-0,07 ml/kg HBIG sesegera mungkin setelah paparan
b) Vaksin HBV pertama diberikan pada saat atau hari yang sama pada deltoid
sisi lain.
c) Vaksin kedua dan ketiga diberikan 1 dan 6 bulan kemudian
 Neonatus dari ibu yang diketahui mengidap HBsAg positif:
a) Setengah milliliter HBIG diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir di
bagian anterolateral otot paha atas.
b) Vaksin HBV dengan dosis 5-10 mikrogram, diberikan dalam waktu 12 jam
pada sisi lain. Diulang pada 1 dan 6 bulan.
 Efektifitas perlindungan melampaui 95%

Vaksin kombinasi untuk perlindungan dari hepatitis A dan B


Vaksin kombinasi (Twinrix-GlaxoSmithKline) mengandung 20 mikrogram protein
HBsAg dan >720 Unit Elisa hepatitis A virus yang dilemahkan memberikan proteksi
ganda dengan pemberian suntikan 3 kali berjarak 0, 1, dan 6 bulan.
Diindikasikan untuk individu dengan risiko baik terhadap infeksi HAV maupun HBV.

7.3. SIROSIS HATI


PENDAHULUAN
Sirosis hati atau SH (“liver cirrhosis”) merupakan perjalanan akhir dari suatu
kelainan patologi dari berbagai macam penyakit hati. Istilah sirosis diperkenalkan
pertama kali oleh Laennec pada taun 1826. Diambil dari bahasa Yunani “scirrhus”
atau “kirrhos” yang artinya warna oranye dan dipakai untuk menunjukkan warna
oranye atau warna kuning kecoklatan dari permukaan hati yang tampak pada saat
dilakukan otopsi.

22
WHO memberi batasan histologi dari sirosis sebagai proses kelainan hati yang
bersifat merata (“diffuse”) yang ditandai dengan fibrosis dan perubahan bentuk atau
arsitektur yang normal dari hati ke bentuk struktur nodul-nodul yang abnormal.
Progresivitas kerusakan hati ini dapat berlangsung dalam waktu beberapa minggu
sampai beberapa tahun.
Banyak kerusakan hati yang ditandai dengan fibrosis. Batasan fibrosis sendiri
adalah penumpukan yang berlebihan dari matriks ekstraseluler (seperti: collagens,
glycoproteins, proteoglycans) dalam hati. Respons fibrosis terhadap kerusakan hati
bersifat reversible. Berbeda pada sebagian besar pasien dengan sirosis, pada kejadian
ini prosesnya biasanya tidak reversible.

EPIDEMIOLOGI
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000 kematian
per tahun di Amerika serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian utama yang ke-9
di AS, dan bertanggungjawab terhadap 1,2% seluruh kematian di AS. Banyak pasien
yang meninggal pada dekade keempat atau kelima kehidupan mereka akibat penyakit
ini. Setiap tahun ada tambahan 2000 kematian yang disebabkan karena gagal hati
fulminan (fulminan hepatic failure).
Belum ada data resmi secara nasional tentang sirosis hati di Indonesia. Namun
dari beberapa laporan Rumah Sakit Umum Pemerindah di Indonesia berdasar
diagnosis klinik saja, dapat dilihat bahwa prevalensi sirosis hati yang dirawat di
bangsal Penyakit Dalam umumnya berkisar antara 3,6-8,4% di Jawa dan Sumatra,
sedang di Sulawesi dan Kalimantan di bawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata
prevalensi sirosis adalah 3.5% dari seluruh pasien yang dirawat di Bangsal Penyakit
Dalam, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat di sini.
Perbandingan pria: wanita rata-rata adalah 2.1: 1, dan usia rata-rata 44 tahun. Rentang
usia 13-88 tahun.

KLASIFIKASI MORFOLOGI
Klasifikasi ini jarang dipakai karena sering tumpang tindih satu sama lain.
1. Sirosis mikronoduler :
o Nodul : berbentuk Uniform, diameter <3 mm
o Penyebab : alkoholisme, hemokromatosis, obstruksi bilier, obstruksi vena

23
hepatica, pintasan jejuno-ilial, sirosis pada anak India (“Indian childhood
cirrhosis”).
o Sirosis mikronodular sering berkembang menjadi sirosis makronodular.
2. Sirosis makronoduler :
o Nodul : Bentuk nodul bervariasi, diameter > 3mm
o Penyebab : hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, defidiensi alpa 1antitripsin,
sirosis bilier primer (PBC).
3. Sirosis Campuran : Kombinasi antara sirosis mikronodular dan sirosis
makronodular. Sirosis mikronoduler sering berkembang menjadi sirosis
makronoduler.

KLASIFIKASI ETIOLOGI
Klasifikasi ini lebih terpilih, dan paling banyak dipakai dalam klinik. Dengan
mengabungkan data klinis biokimia, histologi, dan epidemiologi, penyebab sirosis
sebagian besar dapat ditentukan.
Pada masa lalu penyakit hati alkohol merupakan penyebab sirosis yang paling
menonjol di AS. Akhir-akhir ini hepatitis C mulai meningkat jumlahnya sebagai
penyebab utama hepatitis kronik maupun sirosis secara nasional. Di indonesia,
banyak penelitian menunjukan bahwa hepatitis B dan C merupakan penyebab sirosis
yang lebih menonjol dibanding penyakit hati alkoholik.
Banyak kasus sirosis “cryptogenic” ternyata disebabkan penyakit perlemakan
hati non-alkoholik (“nonalkoholik fatty liver disease”) NAFLD. Bila kasus-kasus
sirosis “cryptogenic” diteliti, ternyata banyak pasien menunjukan satu atau lebih
faktor resiko klasik NAFLD seperti: obesitas, DM, dan “hipertrigliseridemia”. Diduga
steatosis berkurang pada beberapa hati penderita, sementara fibrosis hatinya justru
berkembang dengan progresive. Ini yang membuat diagnosis histologi dari NAFLD
menjadi sulit.
Penyebab utama sirosis di Amerika Serikat adalah:
1. Hepatitis C (26%)
2. Penyakit hati alkoholik (21%)
3. Hepatitis C plus penyakit hati alkoholik (15%)
4. ”Cryptogenic” (18%)
5. Hepatitis B, yang bersamaan (“coincident”) dengan hepatitis D (15%)
6. Penyebab lain (“miscellaneous”) (5%)
Penyebab lain (“miscellaneous”) penyakit hati menahun dan sirosis:

24
1. Autoimmune hepatitis (lupoid hepatitis)
2. Primary biliary cirrhosis
3. Secondary biliary cirrhosis (berhubungan dengan obstruksi saluran empedu
ekstra hepatic menahun)
4. Primary sclerosing cholangitis
5. Hemochromatosis
6. Wilson disease
7. Alpha-1 antitrypsin deficiency
8. Granulomatous disease (eg, sarcoidosis)
9. Type IV glycogen storage disease
10. Drug-induced liver disease (eg, methotrexate, alpha methyldopa, amiodarone)
11. Venous outflow obstruction (eg, Budd-Chiari syndrome, veno-occlusive disease)
12. Chronic right-sided heart failure
13. Tricuspid regurgitation

PATOFISIOLOGI, PATOLOGI DAN PATOGENESIS


Patofisiologi Fibrosis
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian, kejadian tersebut
dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau
perlukaan hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum alcohol aktif. Hati
kemudian merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks
yang mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan
dalam membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata
membentuk kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan
pada hati.
Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata menjadi
sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh hepatocytes, sel
Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera berkepanjangan.
Sebagai contoh peningkatan kadar sitokin transforming growth facto beta 1 (TGF-
beta1) ditemukan pada pasien dengan Hepatitis C kronis dan pasien sirosis. TGF-
beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata untuk memproduksi kolagen tipe 1 dan pada
akhirnya ukuran hati menyusut
Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran dari
fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel
kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi
yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal. Adanya kapilarisasi dan
kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan penekanan pada banyak vena di
hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke sel hati dan pada akhirnya sel hati
mati, kematian hepatocytes dalam jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya

25
fungsi hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari
vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan
utama penyebab terjadinya manifestasi klinis.
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh
pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan
sedikit nodul yang regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular.
Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cidera hati lainnya. Tiga lesi hati
utama akibat induksi alkohol adalah 1) perlemakan hati alkoholik, 2) Hepatitis
alkoholik, 3) Sirosis alkoholik. (Sudoyo, Aru, W., 2009)
 PERLEMAKAN HATI ALKOHOLIK
Steatosis atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vokuola lunak dalam
sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke membran sel.
(Sudoyo, Aru, W., 2009)
 HEPATITIS ALKOHOLIK
Fibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan
alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat
berkontraksi di tempat cidera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah
periportal dan perisentral timbul septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya
menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus inio
mengelilingi massa kecil sel hati yang masih ada yang kemudian mengalami
regenerasi dan membentuk nodulus. Namun demikian, kerusakan sel yang terjadi
melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil,
berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik. (Sudoyo,
Aru, W., 2009)
Mekanisme cidera hati alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan
mekanismenya sebagai berikut : 1) Hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid
etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan
cidera sel di daerah yang jauh dari aliran darah yang teroksigenasi (misal daerah
perisentral); 2) Infiltrasi/aktivitas neutrofil, terjadi pelepasan chemoattractants
neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol. Cidera jaringan dapat terjadi
dari neutrofil dan hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen reaktif, proteasa,
dan sitokin; 3) Formasi acetaldehyde-protein adducts berperan sebgai
neoantinogen, dan menghasilkan limfosit yang tersentisitasi serta antibodi spesifik
yang menyerang hepatosit pembawa antigen ini; 4) pembentukan radikal bebas oleh

26
jalur alternatif dari metabolisme etanol, disebut sistem yang mengoksidasi enzim
mikrosomal. (Sudoyo, Aru, W., 2009)
Patogenesis fibrosis alkoholik meliputi banyak sitokin, antara lain faktor
nekrosis tumor, interleukin-1, PDGF, dan TGF-beta. Asetaldehid kemungkinan
mengaktivasi sel stelata tetapi bukan suatu faktor patogenik utama pada fibrosis
alkoholik. (Sudoyo, Aru, W., 2009)
 SIROSIS HATI PASCA NEKROSIS
Gambaran patologi biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri
dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padaat dan lebar.
Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran mikroskopik. Ukuran nodulus
sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim
regenerasi yang susunannya tidak teratur. (Sudoyo, Aru, W., 2009)
Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya
peranan sel stelata (stellate cell). Dalam keadaan normal sel stelata pempunyai
peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses
degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan proses keseimbangan. Jika terpapar
faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus (misal : hepatitis virus,
bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk
kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus dalam sel
stelata, dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh jaringan ikat. (Sudoyo, Aru,
W., 2009)

DIAGNOSIS
Pasien dengan sirosis dapat datang ke dokter hanya dengan keluhan sedikit,
bahkan dapat tanpa keluhan sama sekali, atau dengan keluhan penyakit lain. Keluhan
yang terakhir ini dapat timbul tidak khas sehingga kita menduga bukan penyakit hati
yang jadi penyebabnya. Beberapa keluhan dan gejala yang sering timbul pada sirosis,
antara lain adalah:
1. Kulit berwarna kuning (ikterus atau jaundice)
2. Rasa capek
3. Lemah
4. Nafsu makan menurun
5. Gatal
6. Mual
7. Penurunan berat badan
8. Nyeri perut

27
9. Mudah berdarah (akibat penurunan produksi faktor-faktor pembekuan darah)
10. Berak hitam seperti petis dan atau muntah darah
Pasien sirosis dapat tetap berjalan kompensata selama bertahun-tahun, sebelum
berubah menjadi dekompensata. Sirosis dekompensata dapat dikenal dari timbulnya
bermacam komplikasi, seperti: kuning atau ikterus, perdarahan varises, asites, atau
ensefalopati. Ikterus terjadi karena kegagalan fungsi hati, dan pengobatan terhadap
komplikasi ini biasanya mengecewakan, kecuali pasien mendapat transplantasi,
karena itu penting untuk mengenal dan mengobati penyebab yang menimbulkan
kelainan (superimposed) ini (misalnya: hepatitis alkoholik, obat hepatotoksik) yang
mungkin menjadi pencetus timbulnya ikterus tersebut.
Sesuai dengan konsensus Baveno IV, status klasifikasi sirosis hati dapat dibagi
menjadi 4 status klinik berdasarkan ada tidaknya varises, asites dan perdarahan
varises:
o Stadium 1: tidak ada varises, tidak ada asites
o Stadium 2: varises (+), tidak ada asites
o Stadium 3: asites dengan atau tanpa varises
o Stadium 4: perdarahan dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata, sementara
stadium 3 dan 4 dalam kelompok sirosis dekompensata.

GEJALA KLINIK
 Anamnesis: perlu ditanyakan pemakaian alkohol jangka panjang, penggunaan
narkotik dalam bentuk suntikan, juga adanya penyakit hati menahun. Pasien
dengan hepatitis virus B atau C mempunyai kemungkinan tertinggi untuk
mengidap sirosis.
 Pemeriksaan fisik:
o Hepatomegali dan atau splenomegali. Pada palpasi, hati teraba lebih keras
dan berbentuk lebih tak teratur (“irregulair”) dari pada hati yang normal.
o Spider telangiectasias (spider naevi), terutama pada pasien dengan sirosis
alkoholik. Spider ini terutama ditemukan di kulit dada. Namun spider juga
dapat dijumpai pada mereka yang tidak mempunyai penyakit hati.
o Ikterus atau jaundice
o Erythema palmaris, warna merah saga pada tenar dan hipotenar telapak
tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolism hormone
esterogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada
kehamilan, arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan

28
hematologi.
o Pembengkakan perut (ascites) dan atau tungkai bawah (edema).
Penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta.
o Pasien dengan deposit tembaga (“copper”) yang abnormal di matanya
atau yang menunjukkan gejala-gejala neurology tertentu, mungkit
mengidap penyakit Wilson, yang merupakan kelainan genetic akibat
akumulasi tembaga yang abnormal di seluruh tubuh, termasuk dalam hati
yang menimbulkan sirosis.
o Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa
ditemukan pada pasien diabetes mellitus, distrofi refleks simpatetik, dan
perokok yang jga menkonsumsi alcohol.
o Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui,
dperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda ini dapat juga ditemukan
pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik.
o Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik
yang berat.
 Pemeriksaan laboratorium:
o Peningkatan abnormal enzim transaminease (AST atau SGOT dan ALT
atau SGPT), pada pemeriksaan rutin dapat menjadi salah satu tanda
adanya keradangan atau kerusakan hati, akibat berbagai penyebab,
termasuk sirosis.
o Sirosis yang lanjut dapat disertai penurunan kadar albumin dalam darah,
juga penurunan faktor-faktor pembeku darah.
o Peningkatan jumlah zat besi dalam darah dapat dijumpai pada pasien
dengan hemokromatosis, suatu penyakit genetic dari hati, yang juga dapat
menjurus ke sirosis.
o Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konstentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasein kolangitis sklerosis
primer dan sirosis bilier primer.
o Gamma-glutamil transpeptidase(GGT), konsentrasinya seperti halnya
alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit
hati alkoholik kronik, karena alcohol selain menginduksi GGT
mikrosomal hepatic, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari

29
hepatosit.
o Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi
bisa meningkat pada sirosis yang lanjut.
o Albumin, sintesisnya terjadi di jarngan hati, konsentrasinya menurun
sesuai dengan perburukan sirosis.
o Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin.
o Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati,
sehingga pada sirosis memanjang.
o Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan eksresi air bebas.
o Auto-antibodies (antinuclear antibody = ANA, anti smooth muscle
antibody = ASMA, dan anti-mitochondrial antibody = AMA) kadang-
kadang dapat ditemukan pada darah pasien dengan hepatitis autoimun,
atau PBC (primary biliary cirrhosis).
 Pemeriksaan endoskopi: varises esofagus dapat ditemukan secara kebetulan
pada pemeriksaan endoskopi. Sesuai dengan consensus Baveno IV, bila pada
pemeriksaan endoskopi pasien sirosis, tidak ditemukan varises, dianjurkan
melakukan pemeriksaan endoskopi ulang dalam waktu 2 tahun. Bila
ditemukan varises kecil, endoskopi ulang dilakukan dalam waktu 1 tahun.
Sebaliknya bila ditemukan varises besar, harus secepatnya dikerjakan terapi
prevensi untuk mencegah perdarahan pertama.
 Pemeriksaan USG, CT scan atau MRI: dapat dipakai untuk melakukan
evaluasi adanya kemungkinan penyakit hati. Pada pemeriksaan ini dapat
ditemukan adanya hepatomegali, nodul dalam hati, splenomegali, dan cairan
dalam abdomen, yang dapat menunjukkan adanya sirosis hati. Kanker hati
(hepatocellular carcinoma = HCC) dapat ditemukan dengan pemeriksaan
USG, CT scan, maupun MRI abdomen. Kanker hati sering timbul pada pasien
dengan penyakit dasar sirosis.
 Pungsi asites: bila terdapat penumpukan cairan dalam perut, dapat dilakukan
pemeriksaan dengan cara melakukan pungsi cairan asites tersebut. Dengan
pemeriksaan khusus dapat dipastikan penyebab timbulnya asites tersebut,
apakah akibat sirosis atau akibat penyakit lain. Juga dapat diketahui ada
tidaknya

KOMPLIKASI

30
1. Edema dan asites
2. SBP
3. Perdarahan saluran cerna
4. Ensefalopati hepatic
5. Sindroma hepato-renal
6. Sindroma hepato-pulmoner
7. Koagulopati
8. Kanker hati

TERAPI
Pengobatan yang spesifik dapat diberikan untuk berbagai kelainan hati sebagai
usaha untuk mengurangi keluhan hati sebagai usaha untuk mengurangi keluhan dan
mencegah perkembangan selanjutnya menjadi sirosis hati. Beberapa contoh, termasuk
antara lain: prednisolone dan azathioprine untuk hepatitis autoimum, interferon dan
antiviral yang lain untuk hepatitis B dan C, flebotomi untuk hemokromatosis,
ursodeoxycholic acid (UDCA) untuuk sirosis bilier primer (PBC), dan zenk dan
penicillamine untuk penyakit Wilson. Semua pengobatan ini menjadi sangat kurang
efektif bila hepatitis kronik sudah berkembang menjadi sirosis. Sekali sirosis terjadi,
pengobatan terutama ditujukan kepada komplikasi yang mungkin telah timbul.
Terapi sirosis termasuk antara lain:
1. Mencegah kerusakan lebih lanjut dari hati
o Istirahat, membatasi aktivitas fisik
o Konsumsi diet yang seimbang dan multivitamin setiap hari, seyogyanya yang
mengandung tinggi kalori dan kaya protein, bila tidak ada enselopati hepatik.
o Hindari obat-obat (termasuk alkohol) yang dapat merusak hati. Semua pasien
dengan sirosis harus menghindari alkohol. Juga pasien dengan hepatitis kronik B
dan C dapat mengalami perbaikan kerusakan hatinya dan memperlambat
progresifitasnya ke arah sirosis, dengan cara meghentikan pemakaian alkohol.
o Hindari obat-obat anti-inflamasi non steroid (NSAID). Pasien dengan sirosis
dapat mengalami kemunduran fungsi hati dan ginjalnya akibat NSAID.
o Eradikasi virus hepatitis B dan C, dengan menggunakan obat-obat antiviral.
Namun harus diingat bahwa tidak semua pasien sirosis akibat hepatitis virus
kronik, merupakan kandidat untuk pengobatan dengan anti-viral. Beberappa
pasien dapat mengalami kemunduran faal hati yang serius atau mengalami efek
samping yang berat, selama pengobatan.
o Pengambilan darah (flebotomi) pada pasien dengan hemokromatosis, untuk
menurunkan kadar zat besi dalam darah, dan mencegah kerusakan hati lebih
lanjut.

31
o Sistem imun dapat ditekan dengan obat-obat seperti prednisone atau azathioprine
(Imuran), untuk mengurangi inflamasi dalam hati pada hepatitis autoimun.
o Pasien dengan PBC dapat diobat dengan preparat asam empedu, seperti
ursodeoxycholic acid (UDCA).
o Imunisasi pasien sirosis terhadap infeksi hepatitis A dan B, berguna untuk
mencegah terjadinya kemunduran faal hati yang serius.
2. Mengobati kompikasi sirosis
o Asites dan edema
Pada sirosis hati yang lanjut, terjadi retensi cairan akibat akumulasi garam.
Retensi cairan paling sering terjadi pada daerah kaki akibat gravitasi, dan dalam
rongga perut akibat hipertensi portal. Asites dan edema juga bisa disebabkan
akibat hipoalbuminemia karena produksi albumin yang terganggu dalam hati.
Untuk membedakan penyebab asites, dapat dilakukan pemeriksaan SAAG
(serum-ascites albumin gradient): bila harganya > 1.1 gram%, penyebabnya
adalah penyakit non-peritoneal (hipertensi portal, hipoalbumin, asites chyllous,
tumor ovarium dll). Sebaliknya, bila < 1.1 gram%, disebabkan oleh penyakit
peritoneum atau eksudat (keganasan, peritonitis seperti tbc, jamur,amuba- atau
benda asing dalam peritoneum). Asites juga dapat dibagi dalam 4 tingkatan
asites: tingkat 1 – hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan seksama, tingkat
2 – deteksi lebih mudah tapi biasanya jumlahnya hanya sedikit, tingkat 3 –
tampak jelas tetapi tidak terasa keras (tense), tingkat 4 – bila asites mulai terasa
keras.
Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan untuk membatasi
asupan garam dan air. Jumlah diet garam yang dianjurkan biasanya sekitar 2
gram per hari, dan cairan sekitar 1 liter sehari. Kombinasi diuretika
spironolakton dan furosemide dapat menurunkan dan menghilangkan edema
dan asites pada sebagian besar pasien. Spironolakton diberikan dalam dosis 100
– 400 mg sehari. Bila perlu dapat dikombinasikan dengan furosemide 40 – 160
mg sehari, dengan pengawasan ketat terhadap tekanan darah, produksi urin,
status mental pasien, dan kadar elektrolit serum (terutama K).
Bila pemakaian diuretika tidak berhasil, dapat dilakukan parasentesis
abdomen, untuk mengambil cairan asites secara langsung dari rongga perut. Bila
ascites sedemikian besar sehingga menimbulkan keluhan yeri akibat distensi
abdomen, dan atau kesulitan bernapas karena keterbatasan gerakan diafragma,
parasentesis dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak lebih dari 5 liter (large
volume paracentesis = LVP). Pemberian albumin intravena sebanyak 6 – 8

32
gram/liter secara bersama-sama dengan LVP, dapat bermanfaat untuk
mempertahankan volume intravaskular dan mencegah terjadinya disfungsi
sirkulasi pascaparasentesis. LVP dapat dikerjakan setiap hari sampai asites
menghilang atau mengurang. Pengobatan lain untuk asites refrakter adalah TIPS
(transjugular intravenous portosystemic shunting) atau transplantasi hati.
o Perdarahan varises
Peningkatan tekanan dalam vena porta dapat menimbulkan varises esofagus
maupun lambung. Sekali varises telah berdarah, mereka cenderung untuk
berdarah kembali dan kemungkinan seorang pasien akan meninggal dari setiap
episode perdarahan adalah tinggi (30% - 35%). Perawatan termasuk obat-obat
dan prosedur-prosedur untuk mengurangi tekanan dalam vena portal dan
prosedur-prosedur untuk memperkecil varises (eradikasi).
 Propranolol atau nadolol, merupakan obat penyekat reseptor beta non-
selektif, efektif untuk menurunkan tekanan vena porta, dan dapat dipakai baik
untuk mencegah perdarahan pertama maupun untuk perdarahan ulang varises
pada pasien sirosis, terutama pada pasien dengan varises sedang sampai besar.
 Octreotide (Sandostatin) dan Somatostatin, juga terbukti dapat menurunkan
tekanan vena porta, dan telah dipakai sejak lama untuk pengobatan varises
sedang berdarah aktif. Obat ini diberikan dalam bentuk infus iv kontinyu.
 Terapetik endoskopi, baik skleroterapi maupun ligasi endoskopik,
keduanya efektif untuk menimbulkan obliterasi varises, baik untuk
menghentikan perdarahan varises aktif maupun untuk mencegah perdarahan
ulang.
 “Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)” adalah prosedur
nonbedah untuk menurunkan tekanan dalam vena porta. Biasanya dikerjakan
oleh dokter spesialis radiology. TIPS terutama berguna untuk pasien yang
gagal dalam pengobatan beta bloker, skleroterapi, maupun ligasi varises. TIPS
juga bermanfaat untuk pengobatan asites yang refrakter. Selain itu juga dapat
dipakai pada pasien sirosis untuk mencegah perdarahan varises, sementara
menunggu transplantasi hati. Efek samping yang paling sering ditemukan
adalah ensefalopati hepatic.
o Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
Pada sirosis, cairan yang mengumpul di dalam perut tidak mampu untuk
melawan infeksi secara normal. SBP adalah suatu komplikasi yang dapat
mengancam nyawa pasien.
Dengan pemberian antibiotik yang baik (cefotaxime 2 – 3 x 2 gram iv

33
selama 5 hari), dan deteksi serta pengobatan yang dini, prognosis biasanya baik.
Antibiotika lain yang dapat dipakai bila terjadi resistensi: ceftriaxone,
amoxicillin-clavulanic, dan fluoroquinolones. Beberapa pasien pemberian
antibiotik oral (ciprofloxacin, norfloxacin, dan trimethoprim -
sulfamethoxazole) selama beberapa hari, dapat digunakan untuk mencegah SBP.
Tidak semua pasien sirosis dan asites memerlukan pengobatan dengan
antibiotika untuk mencegah SBP, tetapi ada beberapa pasien yang mempunyai
resiko tinggi akan mendapat SBP, sehingga membutuhkan pencegahan:
 Pasien sirosis yang masuk rumah sakit dengan perdarahan varises, karena itu
antibiotika harus diberikan seawal mungkin untuk mencegah SBP.
 Pasien dengan episode SBP yang berulang kali.
 Pasien dengan kadar protein yang rendah dalam cairan asitesnya (cairan asites
dengan kadar protein yang rendah lebih mudah terkena infeksi).
o Ensefalopati Hepatik
Pasien-pasien dengan keluhan sulit tidur, sulit berkonsentrasi, pikiran yang
terganggu, kelakuan yang aneh, atau tanda-tanda lain dari ensefalopati hepatik
(EH) biasanya harus dirawat dengan diet rendah protein dan lactulose oral.
Pada pasien dengan ensefalopati hepatic yang semakin jelas (overt HE) ada
3 tindakan yang harus segera diberikan: (1) singkirkan penyebab enselofati lain,
(2) perbaiki atau singkirkan faktor pencetus, dan (3) segera mulai pengobatan
empiris, yang dapat berlangsung dalam jangka lama, seperti: klisma, diet rendah
atau tanpa protein, pemerian laktulosa, antibiotika (neomycin, netronidazole,
atau vancomycin), asam amino rantai cabang, bromocriptine, preparat zenk, dan
atau ornithine aspartate.
o Sindroma Hepatorenal
Pasien dengan sirosis yang semakin memburuk dapat berkembang menjadi
sindroma hepatorenal (SHR). Sindrom ini merupakan komplikasi yang serius, di
mana fungsi ginjal menurun. Kelainan ini sebenarnya merupakan kelainan fungsi
dari ginjal, dimana ginjal secara fisik sebenarnya tidak mengalami kerusakan
sama sekali. Penurunan fungsi disebabkan oleh perubahan aliran darah ke dalam
ginjal sendiri. Gambaran yang khas dari SHR: oliguria, hiponatremi, dan kadar
Na yang rendah dalam urin.
Ada 2 macam tipe SHR: tipe 1 – penurunan fungsi terjadi dalam beberapa
bulan, dan tipe 2 – penurunan fungsi terjadi sangat cepat dalam waktu 1 – 2
minggu.
Pengobatannya biasanya sulit. Ada beberapa cara pengobatan yang bisa
dicoba dengan hasil sangat bervariasi: infus albumin + vasopresor (octreotide

34
iv/sc), MARS (Molecular Adsorbent Recirculating System), TIPS, dan
transplantasi hati.

PROGNOSIS
Prognosis pada pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi akibat
sirosisnya. Pasien dengan sirosis kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama,
bila tidak berkembang menjadi sirosis dekompensata. Diperkirakan harapan hidup
pasien sirosis kompensata sekitar 47% dalam waktu 10 tahun. Sebaliknya pasien
sirosis dekompensata, mempunyai harapan hidup hanya sekitar 16% dalam waktu 5
tahun.
Indeks hati, juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk meniai prognosis pasien
sirosis hati dengan hematemesis melena yang mendapat pengobatan secara medik.
Pasien yang mengalami kegagalan hati ringan (indeks hati 0 – 2), angka kematian
antara 0 – 16%, sementara kegagalan hati sedang sampai berat (indeks hati 3 – 8)
angka kematian antara 18 – 40%.
Untuk pasien sirosis hati yang direncanakan untuk tindakan bedah, penilaian
prognosis pasien dilakukan dengan melakukan penilaian skor menurut dengan Child-
Turcotte-Pough (skor CTP). Sementara untuk penilaian pasien sirosis yang
direncanakan untuk tranplantasi dikerjakan dengan menggunakan skor MELD
(Model for End-stage Liver Disease) atau PELD (Pediatric End-stage Liver
Disease).

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu infeksi yang menyerang tractus
urinarius, mulai dari uretra hingga sampai ke ginjal. Penyebabnya bermacam-
macam, seperti E. coli. Patogenesis tergantung dari 2 hal yaitu faktor dari host
dan faktor dari mikroorganisme. Penanggulangannya sederhana, cukup diberi
antibiotika atau tidak diberi sama sekali, Namun ISK dapat menignkatkan resiko
BSK, begitu juga sebaliknya batu saluran kemih adalah massa keras seperti batu

35
yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih, atau infeksi. Batu saluran kemih
jenisnya bermacam-macam. Komplikasi batu pada saluran kemih adalah
obstruksi dan infeksi sekunder, serta komplikasi dari terapi, baik invasif maupun
noninvasif. Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu,
letak batu, dan adanya infeksi serta obstruksi.

3.2. Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari
segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai
tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari kawan sejawat
angkatan 2014, dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Sulaiman, Ali, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta: Sagung Seto.
Sudoyo dkk, 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi IV. Jakarta:
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tjokroprawiro A, et al. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : FK Unair
dan RS Pendidikan Dr.Soetomo.
Sudoyo dkk, 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.
De Franchis R (2010). Revising consensus in portal hypertension: Report of the
Baveno V consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy in

36
portal hypertension. Journal of Hepatology 53, 762-768.
Friedman LS (2014). Current medical diagnosis and treatmen 2014. In: Chapter 16:
Liver, Biliary Tract, & Pancreas Disorders, Mcgraw-Hill.
Grattagliano I, Ubaldi E, Bonfrate L, and Portincasa P (2011). Management of liver
cirrhosis between primary care and specialists. World J Gastroenterol 17(18),
2273-2282.
Hermono K (2006). Penatalaksanaan perdarahan varises esofagus. In: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam 4th Ed Jilid I, Ed AW Sudoyo, B Setiyohadi, P Alwi et al, Eds.
Jakarta: Pusat Penerbitan Dep I Penyakit Dalam FKUI, pp 222.
Hernomo K (2007). Sirosis Hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati 1st Ed, HA
Sulaiman, HN Akbar, Lesmana LA et al, Eds. Jakarta: Jayabadi, pp 335-346.
Moore CM and Van Thiel DH (2013). Cirrhotic ascites review: Pathophysiology,
diagnosis and management. World J Hepatol 5(5), 251-263.
Runyon, BA (2013). AASLD Practice Guideline, Management of Adult Patients with
Ascites Due to Cirrhosis: Update 2012. Hepatology 57, 1651-1653.
Starr SP and Raines D (2011). Cirrhosis: Diagnosis, Management, and Prevention.
Am Fam Physician 84(12), 1353-1359.
Tsochatzis EA, Bosch J, and Burroughs AK (2014). Liver cirrhosis. The Lancet 383,
1749-1761.
Wolf DC (2010). Cirrhosis. EMedicine Specialties. [Available at]:
http://emedicine.medscape.com/article/185856.overview.Accessed on June 28 ᄃ,
2010.
Sudoyo dkk, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi V. Jakarta: Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

37

Anda mungkin juga menyukai