RSUD BANYUASIN
TAHUN 2018
DIARE AKUT
Kode ICD : A00-A09
1. Definisi Kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi dengan feses cair atau
lembek dengan/ tanpa lendir atau darah, dengan frekuensi 3 kali atau lebih
sehari, berlangsung kurang dari 14 hari, kurang dari 4 episode/bulan.
Perubahan konsistensi feses menjadi lebih lembek/cair dan frekuensi defekasi
lebih sering menurut ibu
2. Etiologi Penyebab terpenting: Rotavirus, E. coli, Shigella, Campylobacter jejuni,
Vibrio cholera, Salmonella. Dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas,
inflamasi dan imunologi
3. Patogenesis Diare sekretorik: bakteri menempel di mukosa, mengeluarkan enterotoksin,
mengaktifkan second massenger sehingga pompa-pompa sekresi (terutama
pompa Chlorida) menjadi lebih aktif menghasilkan feses dengan konsistensi
cair. Contoh kolera.
Diare osmotik: defisiensi enzim-enzim pencernaan (enzim laktase merupakan
enzim yang paling cepat terpengaruh dan paling lambat pulih) menyebabkan
absorpsi makanan tidak sempurna menimbulkan beban osmotik di usus kecil
bagian distal.Sisa makanan akan diurai oleh baktei kolon menjadi substansi-
substansi yang lebih kecil (laktosa akan diurai menjadi asam-asam lemak
rantai pendek, gas hidrogen, dan lain-lain) sehingga beban osmotik akan
meningkat lagi menimbulkan diare. Contoh defisiensi enzim laktase.
Diare campuran/sitolitik : Inflamasi/virus merusak villi sehingga terjadi
gangguan absorpsi makanan (mekanisme diare osmotik). Rusaknya villi
menyebabkan hiperplasi dan hipertropi kripta menimbulkan diare sekretorik.
Contoh: infeksi rotavirus.
4. Anamnesis Frekuensi BAB: 3 kali atau lebih, konsistensi feses cair atau lembek
(konsistensi feses cair tanpa ampas walaupun hanya sakali dapat disebut
diare), jumlah feses, ada tidaknya muntah, gejala-gejala klinik lain (batuk-
pilek, panas, kejang, dan lain-lain), riwayat masukan cairan sebelumnya,
minum lahap atau malas minum.
5. Pemeriksaan Tanda-tanda dehidrasi, komplikasi, penyakit penyulit (bronkopneumoni,
fisik bronkiolitis, malnutrisi, penyakit jantung dan dekompensasi kordis, dan :
keadaan umum (gelisah, cengeng, rewel, letargi, tampak sakit berat),
frekuensi nadi, suhu, frekuensi nafas (tanda asidosis atau adanya penyakit
penyulit). Pemeriksaan yang meliputi keadaan umum pasien, status dehidrasi,
pemeriksaan abdomen, ekskoriasi pada bokong, dan manifestasi kulit.
Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar kepala,
perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat
badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya
6. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Diare akut murni : darah rutin, feses rutin dan kultur feses
Penunujang Bukan diare akut murni atau diare akut dengan komplikasi : Darah lengkap,
elektrolit, BSS, kultur darah, urin lengkap, kultur urin.
8. Tatalaksana Terapi cairan dan elektrolit :
Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:
Diare akut murni.
Diare akut dengan penyulit/komplikasi.
Bentuk penyulit, jenis dan jumlah cairan dilihat pada skema 2. Terapi diet lihat
skema 1
Terapi medikamentosa :
Diberikan preparat zink elemenal, untuk usia < 6 bulan sebanyak 1 x 10 mg
dan usia ≥ 6 bulan sebanyak 1 x 20 mg selama 10-14 hari. Obat-obatan
antimikroba termasuk antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit
diare akut. Patokan pemberian antimikroba/antibiotika adalah sebagai
berikut:
1. Kolera.
2. Diare bakterial invasif.
3. Diare dengan penyakit penyerta.
4. Diare karena parasit/jamur.
Ad. 1. Kolera :
Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi
Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.
9. Edukasi Pendidikan kesehatan dilakukan pada saat visite dan di ruangan khusus
dimana orangtua penderita dikumpulkan.
Pokok ceramah meliputi :
Usaha pencegahan diare dan KKP.
Usaha pertolongan untuk mencegah dehidrasi pada diare dengan
menggunakan oralit dan cairan.
Imunisasi.
Keluarga berencana.
Penderita dipulangkan :
Bi1a yakin ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit
kepada anak dengan cukup wa1aupun diare masih berlangsung.
Kausa diare/penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati (tidak
mutlak).
Cairan DG = KAEN 3A
DIARE KRONIK
Kode ICD : A06
12. Pemeriksaan Riwayat penyakit: saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi
fisik tinja meliputi penampakan, konsistensi, adanya darah atau
lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala infeksi saluran
pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic
fibrosis), terjadinya diare sesudah diberikan susu. Buah-
buahan (defisiensi sukrase-isomerase), hubungan dengan
serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah
gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome),
nyeri abdomen berulang yang berat (insufisiensi pankreas yang
berat), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya
(enterokolitis pseudomembranosa). Kelompok umur dapat
memprediksi penyakit. Bayi muda: diare intraktabel pada bayi,
alegi protein susu sapi atau kedelai, enteritis karena infeksi
yang berkepanjangan, atrofi vilus idiopatik, penyakit
Hirschrprung, defek transpor kongenital. Anak 2 tahun keatas,
kolon irritabel (irritable colon of infancy, chronic nonspesific
diarrhea), enteritis karena virus yang berkepanjangan,
giardiasis, difisiensi sukrase-isomaltase, tumor sekretori,
inflamatory bowel disease, dan penyakit siliak.
13. Kriteria Pemeriksaan meliputi keadaan umum, status dehidrasi,
diagnosis pemeriksaan abdomen, ekskoriasi bokong, manifestasi kulit.
Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan,
gejala kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan,
10 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
osmolaritas kurang dari 600 mOsm/l dan bersifat
hipoalergik atau yang mengandung short chain
peptide (Pregestimil, Pepti Yunior).
Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-
lahan. Mula-mula dianjurkan konsentrasi 1/3 oral
(2/3 IV), selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral (1/3
IV), dan bila keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB
minimal 1 kg) diberikan pregestimil/ pepti yunior
dalam konsentrasi penuh.
Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan
apabila bayi/anak tidak mampu atau tidak mau
menerima makanan secara oral, namun keadaan
saluran gastrointestinalnya masih berfungsi.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan meningkatkan
secara bertahap kecepatan dan kadar formula sampai
mencapai kebutuhan nutrisi anak.
Komplikasi nutrisi enteral : hidrasi berlebih,
hiperglikemia, azotemia (konsumsi protein berlebih),
hipervitaminosis K, dehidrasi sekunder karena diare,
gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat
muntah dan diare), gagal tumbuh sekunder akibat
pemasukan energi tidak cukup, dan aspirasi, serta
defisiensi nutrisi sekunder karena kesalahan formula.
b. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh melalui jalur
intravena. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa,
asam amino, emulsi lemak, mineral, vitamin, trace
elemen. Jalur ini jangan digunakan apabila penderita
masih mempunyai saluran gastrointestinal yang
masih berfungsi serta masih dimungkinkan
pemberian secara peroral, enteral atau gastrostomi.
Pada umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang
dari 5 hari.
Indikasi nutrisi Ament ME, 1993 :
Penyakit yang Diperkirakan Berlangsung 7
Disfungsi Usus
Hari
Intractable Pankreatitits berat
vomiting
Diare Penyakit usus beradang berat, intoleransi
makanan enteral
Ileus Trauma/pembedaan berat atau sepsis
Obstruksi usus Kanker pseudo-obstruksi intestinal
halus
Malabsorbsi Kerusakan mukosa parah, sindroma usus
pendek enteritis
Penghentian Fistula enterokutan, ileus transplantasi, radiasi
makanan
peroral > 7 hari
Kebutuhan pada nutrisi parenteral :
a. Kalori :
Pada beberapa keadaan diperlukan penambahan
kebutuhan kalori: panas (12% per setiap setiap
kenaikan 1°C di atas 37°C) gagal jantung (15-20%),
pembedahan besar (20-30%), kombustio (sampai
100%), dan sepsis berat (25%).
b. Cairan :
11 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kebutuhan cairan sesuai umur (Ament ME, 1993)
c. Karbohidrat :
Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non
protein yang memberikan 3,4 kka1/gram dalam
bentuk monohidrat.
Keterbatasannya: phlebitis terjadi pada kadar >
10-12,5%.
Pemberian dilakukan secara bertahap untuk
memberikan kesempatan respon tubuh dalam
memproduksi insulin endogen dan mencegah
terjadinya glikosuria.
d. Asam amino
Kebutuhan asam amino menurut usia (Ament ME,
1993) :
Kebutuhan
(gr
Umur Mulai pemberian
prot/kg/hari
)
Bayi prematur 2,5 – 3 0,5 gr prot/kg/hari dinaikan 0,5 gr
prot/kg/hari.
Bayi 0– 2,5 – 3 1 gr prot/kg/hari dinaikan 0,5 gr
1tahun prot/kg/hari
Anak 2–13 1,5 – 2
tahun
Remaja- 1 – 1,5
Dewasa
e. Lemak :
Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak
menyediakan asam lemak essensial untuk
pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang
perkembangan yang normal.
Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan
10% (1 kkal/ml) dan 20% (2 kka1/ml).
Minimal 20-40% dari kebutuhan kalori total
diberikan berupa lemak intravena untuk
menghindari terjadinya defisiensi asam lemak,
yang dapat dicapai dengan penggunaan 0,5-1
gram emulsi lemak/kg/hari.
Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada
neonatus dalam 2 hari dengan tanda kecepatan
pertumbuhan yang lambat, kulit kering bersisik,
pertumbuhan rambut berkurang.
trombositopeni, peka terhadap infeksi dan
gangguan penyembuhan luka.
f. Elektrolit :
Kebutuhan elektrolit intravena (Ament ME, 1993) :
12 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(mEq/kg/24
(mEq/kg/24 jam)
jam)
Na 3–4 2–8
K 2–3 2–6
Cl 2–4 0–6
Ca 0,5 – 1 0,9 – 2,3
Fosfat 2 1 – 1,5
Mg 0,25 – 0,5 0,25 – 0,5
Medikamentosa :
a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu
diberikan karena tidak satupun yang memberikan efek
positif.
b. Obat anti mikroba :
Pemberian anti mikroba umumnya tidak dianjurkan,
bahkan dapat mengubah flora usus dan memperburuk
diare, kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat
(sepsis), anak dengan defisiensi imunologi dan anak
dengan diare kronis yang sangat berat. Metronidazole
efektif untuk Giardia lamblia.
c. Kortikosteroid :
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema
steroid pada tahap awal memberikan respon yang baik,
dan pada beberapa anak mendapat kombinasi dengan
steroid sistemik.
d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada
penyakit Chron apabila pengobatan konvensional tidak
mungkin.
e. Kolestiramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare
kronik, terutama malabsorbsi asam empedu serta pada
infeksi usus karena bakteri (mengikat toksin).
f. Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-
kasus bedah seperti penyakit Hirschprung, enterokolitis
nekrotikans. Operasi hanya dilakukan setelah keadaan
umum membaik.
11. Kepustakaan 1. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG.
Gangguan Absorpsi-Sekresi; Sindroma Diare. Seri Gramik:
Gastroenterologi Anak. Edisi ke-2. Surabaya : GRAMIK FK
UNAIR; 1999.
2. Ghishan RE. Chronic Diarrhea. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
WB Saunders Company; 2003. h. 1276-83.
3. Walker-Smith J, Barnard J, Bhutta Z, dkk. Chronic
diarrhea and malabsorption (including short gut
syndrome): Working Group Report of the First World
Congress of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
13 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. 2002; 33(Suppl).
4. World Health Organization. Persistent diarrhoea in
children in developing countries: memorandum from a
WHO meeting. Bull World Health Organ 1988;66: 709-17.
5. Thomas ED, Fortes A, Green C, Howdel P, Long R, Playford
R, dkk. Guidelines For The Investigation Of Chronic
Diarrhoea. GAD. 2003; 52 [Suppl]: V1-15.
6. Bhutta ZA, Hendricks KM. Nutritional Management of
Persistent Diarrhea in Childhood: A Perspective from the
Developing World. Journal of Pediatric Gastroenterology &
Nutrition. 1996; 22:17-37
7. Sudigbia I. Pencegahan dan Pengelolaan Diare Kronik.
Dalam: Sudigbia I, Harijono R, dan Sumantri A: Naskah
Lengkap PB IKA Penyakit Gastroenterologi. 1987.
8. Soenarto, SY. Diare Kronik dan Diare Persisten. Dalam:
Buku Ajar Diare. UKK Gastrohepatologi IDAI. 2008.
14 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PENYAKIT HIRSCHPRUNG (CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON)
Kode ICD : Q.43.1
1. Definisi Suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada
dinding kolon
2. Etiologi Kegagalan migrasi kranio kaudal sel ganglion sepanjang usus pada minggu
ke 5 sampai dengan minggu ke 12
3. Patogenesis Segmen aganglion menyebabkan peristaltik propulsif hilang, sfingter anal
internal gagal mengendor pada saat distensi rektum sehingga menyebabkan
obstruksi parsial saluran cerna bagian distal, distensi usus, dan konstipasi
4. Bentuk Klinis Berdasarkan panjang segmen yang terkena dapat dibedakan menjadi 3 tipe,
yaitu :
Penyakit Hirschsprung segmen pendek.
Merupakan 70% dari kasus. Segmen aganglionosis mulai dari anus
sampai sigmoid. Lebih sering pada anak laki-Iaki daripada anak
perempuan. Anamnesis yang mengarah adalah mekoneum terlambat dan
riwayat konstipasi pada masa neonatus.
Penyakit Hirschsprung segmen panjang
- Daerah aganglionosis melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai
seluruh kolon atau sampai ke usus halus. Kejadiannya sama banyak
pada anak perempuan dan anak laki-laki.
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala k1inik, pemeriksaan colok
dubur dan pemeriksaan penunjang yaitu foto x-ray dengan enema
barium dengan tehnik Hirschprung.
Penyakit Hirschsprung segmen ultra short
- Daerah aganglionosis hanya beberapa mm diatas anus. Gejala mirip
konstipasi fungsional.
5. Anamnesis Riwayat mekonium terlambat dan atau defekasi yang jarang pada masa
neonatus memperkuat diagnosis penyakit Hirschsprung. Riwayat kelahiran
dengan mekonium terlambat keluar, atau keluar pada minggu pertama
sehingga terjadi obstruksi parsial dan total (dengan gejala feses tidak dapat
dikeluarkan, distensi abdomen, dan muntah). Gambaran klinis obstruksi total
pada masa neonatus menunjukkan segmen yang terlibat lebih panjang.
Gambaran klinis konstipasi setelah masa neonatus, penyakit hirschsprung
sebagai penyebab dipikirkan setelah penyebab yang lebih sering (misalnya
hipotiroid) disingkirkan.
6. Pemeriksaan fisik Gambaran klinis obstruksi parsial saluran cerna bagian bawah: frekuensi
defekasi jarang, kembung, dan kadang-kadang muntah. Nyeri perut jarang
ditemukan pada penyakit ini. Colok dubur didapatkan hasil: jari akan
merasakan jepitan (karena kontriksi usus aganglionik) dan saat jari
dikeluarkan akan diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium feses yang
menyemprot (feses yang menyemprot terutama didapatkan pada pemeriksaan
colok dubur pertama kali, feses berbentuk pasta lebih mudah dikenali).
Gambaran klinis pada anak yang lebih besar adalah gejala konstipasi kronis
(pada yang ultrashort dapat menyerupai konstipasi fungsional), kadang-
kadang diare dan biasanya disertai gagal tumbuh.
7. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
9. Tatalaksana Foto polos abdomen ter1ihat gambaran usus-usus melebar atau gambaran
obstruksi usus letak rendah. Foto barium enema teknik hirschprung
ditemukan daerah transisi antara usus yang melebar dan yang menyempit
15 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(gambaraan ini khas untuk penyakit hirschsprung, tetapi tidak jelas jika
terjadi enterokolitis), gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di segmen
yang menyempit. Foto barium enema pada enterokolitis yang berhubungan
dengan Hirschsprung: cupping tidak jelas, mukosa usus irreguler (seperti
mata gergaji). Gambaran foto polos terutama posisi tegak, adanya “cut off
sign” air dan udara di kiri bawah abdomen mengarah ke diagnosis
entrokoloitis. Diagnosis pasti dengan biopsi rektal, dengan gambaran PA
tidak ditemukan sel ganglion di submukosa
10. Edukasi Washing atau irigasi dengan NaCl fisiologis dilakukan jika terdapat distensi
abdomen. Kolostomi dilakukan jika abdomen tetap kembung dan keluarga
tidak dapat melakukan irigasi, diikuti (dalam 3 sampai 6 bulan) operasi
difinitif Pullthrough, pada usia 6-12 tahun dengan metode Swenson
Duhamel.
16 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kode ICD : K29, K50-K55
1. Definisi Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan mukosa
gaster yang dibuktikan dengan endoskopi. Jika belum dibuktikan dengan
endoskopi didiagnosis sebagai dispepsia. Dispepsia dapat diakibatkan oleh
esofagitis, gastritis dan duodenitis.
2. Etiologi Obat obatan
Gangguan mikrosirkulasi
Makanan
Stress
Infeksi Helicobacter pylory
3. Patogenesis Obatan-obatan, makanan yang bersifat asam, dan infeksi Helicobacter pylory
mengiritasi mukosa lambung, menyebabkan produksi HCl meningkat. Stres
merangsang nervus vagus yang akan meningkatkan produksi asamklorida
(HCl) di dalam lambung. Peningkatan produksi HCl lambung mengiritasi
mukosa lambung menimbulkan gaastritis, esofagitis, dan atau duodenitis
dengan gejala mual, muntah, nyeri ulu hati, dan anoreksia.
4. Anamnesis Nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah, riwayat penggunaan obat
obatan dan makanan
5. Pemeriksaan fisik Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan
6. Kriteria Diagnosis gastritis dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dispepsia, mua1,
diagnosis muntah, dan nyeri epigastrik dan dibuktikan dengan endoskopi (EGD)
7. Pemeriksaan Gastritis
Penunujang Esofagitis
Duodenitis
8. Tatalaksana Dispepsia dengan keluhan yang berat, tidak sembuh dengan obat-obat
penekan asam lambung, kronik, atau berulang dilakukan pemeriksaan
endoskopis.
11. Kepustakaan 1. Soeparto P, Djupri LS, Subijanto MS, Ranuh R. Sindroma Gangguan
Motilitas Saluran Cerna. Seri Gramik: Gastroenterologi Anak. Edisi ke-2.
Surabaya : GRAMIK FK UNAIR; 1999. h. 32-118.
2. Murray KF, Christie DL. Vomiting. Pediatr Rev. 1998;19(10):337-
17 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
41.
3. Allen JK, Hill DJ, Heine RG, 2006; Food allergy in childhood. MJA,
185:394-400.
4. Berman. Vomiting during infancy. Dalam: Pediatric decision making.
Edisi ke-2. Philadelphia: BC Decker;1991. h. 332-5.
5. Hasal E, Decision in diagnosing and managing chronic
gastroesophageal reflux disease in children. J Pediatr. 2005; 146
Suppl:S3-12
6. Hiscock H, Jordan B. Problem crying in infancy. MJA. 2004;
181:507-12
7. Lindley KJ, Andrew PL. Pathogenesis and treatment of cyclical
vomiting. J Pediatr Gastroenterol and Nutr. 2005; 41 Suppl:S38-40
8. Ravelli AM, Tobanelli P, Volpi S, Ugazio AG. Vomiting and gastric
motility in infants with cow’s milk allergy. J Pediatr Gastroenterol and
Nutr. 2001; 32:59-64.
18 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
INFEKSI HELICOBACTER PYLORI
Kode ICD : A.045
1. Definisi Helicobater pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat berkoloni pada
saluran cerna dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodemum dan
gaster. Menular secara oral-oral, gastric oral, dan fekal-oral,
2. Etiologi Helicobacter pylori
3. Patogenesis Infeksi H. pylori pada antrum gaster, menimbulkan inflamasi mukosa gaster
dan duodeneum, yang dapat menimbulkan ulkus gaster dan duodenum.
Pemakaian obat-obat penekan asam lambung dapat mengakibatkan
peradangan terjadi pada korpus gaster.
4. Anamnesis Adanya gangguan saluran cerna seperti muntah, mual, diare, nyeri perut, dan
gejala dispepsia lainnya.
5. Pemeriksaan fisik Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan
6. Kriteria Penegakan diagnosis adalah dengan metode invasif dan non invasif.
diagnosis Diagnosa pasti dari penyakit ini berdasarkan biopsi.
19 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Relaps atau resisten terhadap obat
Management of Helicobacter pylori infectiond the Maastricht IV/ Florence Consensus Report
20 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
DIVERTICULUM MECKEL
Kode ICD : C.17.3
1. Definisi Adalah suatu keadaan terdapatnya gaster pankreas ektopik. Biasanya terletak
50-75 cm dari proksimal ileocaecal junction pada bagian antimesenterik
intestinal. Perdarahan umumnya tanpa disertai rasa sakit, timbu1 secara
periodik dan tidak dipengaruhi konsistensi feses.
2. Etiologi Asam atau sekresi pepsin dari mukosa yang ektopik dapat menyebabkan
ulkus sehingga terjadi perdarahan yang dapat menjadi masif.
3. Patogenesis Anomali disebabkan oleh karena persistensi dari bagian proksimal duktus
omfalomesenteric (duktus vitelin) dengan atau tanpa jaringan ikat.
10. Komplikasi Ulserasi, perdarahan, obstruksi usus halus, diverticulitis, dan perforasi
dan Prognosis
AKALASIA ESOFAGUS
21 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kode ICD :K.22.0
1. Definisi Adalah kelainan esofagus primer yaag ditandai dengan adanya obstruksi
esofagogastric junction dengan karakteristik bertambahnya tekanan sfingter
esophagus bagian bawah dan tidak adanya peristaltik esofagus.
2. Etiologi Gangguan motilitas esofagus
3. Patogenesis Gangguan motilitas esofagus akibat peristaltik yang melemah dan adanya
kontraksi yang menetap pada sfingter esophagus bagian bawah menyebabkan
obstruksi relatif di mana bagian proksimal esophagus melebar
(megaesofagus).
4. Anamnesis Adanya gejala klinik yang sering berupa :
1. Disfagia :
Perjalanan penyakit biasanya kronis dengan disfagia yang bertambah
berat. Berat ringannya disfagia menurut British Oesophageal Surgery
dibagi menjadi 5 tingkat, yaitu :
Tingkat 0 : normal.
Tingkat 1 : tidak dapat menelan makanan padat.
Tingkat 2 : tidak dapat menelan makanan daging halus.
Tingkat 3 : tidak dapat menelan sup atau makanan cair.
Tingkat 4 : tidak dapat menelan ludah.
2. Nyeri dada: Gejala kurang menonjol pada permulaan penyakit. Rasa
nyeri biasanya di substernal dan dapat menjalar ke belakang bahu,
rahang dan lengan, timbul bila makan/minum dingin.
3. Regurgitasi: Timbul tidak hanya berhubungan dengan bentuk/jenis
makanan tetapi juga berhubungan dengan posisi. Bila penyakit makin
kronis, maka pada saat penderita berbaring sisa makanan dan saliva yang
terdapat pada kantong esofagus dapat mengalir ke faring dan mulut
sehingga akhirnya dapat menimbulkan aspirasi pneumonia.
4. Kehilangan berat badan.
22 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
3. Pemeriksaan Manometer :
Setelah menelan, tekanan daerah sfingter esofagus menguat 2 kali normal
akibat dilatasi dan retensi makanan.
9. Edukasi 1. Konservatif
a. Diet cair /lunak dan hangat
b. Medikamentosa
Sedatif ringan untuk penenang.
Preparat kalsium antagonis seperti verapamil atau nifedipin dapat
digunakan karena dapat menurunkan tekanan sfingter esofagus
bagian bawah. Nifedipin diberikan 10-20 mg sublingual dapat
menurunkan tekanan esofagus bagian bawah kurang lebih 1 jam
akan tampak perbaikan gejala bila diberikan sebelum makan
2. Tindakan aktif
a. Forced dilatation: dilakukan pada akalasia ringan sedang. Ada 3
macam dilatator :
- Mekanik.
- Pneumatik.
- Hidrostatik.
b. Tindakan bedah yaitu operasi Heler dengan melakukan
esofagomiotomi.
Komplikasi yang timbul adalah : - Perforasi.
- Paralisis nervus phrenicus.
- Refluks gastroesofagal.
- Perdarahan masif.
- Disfagia.
OBSTRUKSI USUS
Kode ICD : K 56.60
23 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Definisi Adalah gangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus.
8. Tatalaksana Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder.
9. Edukasi Perbaiki dehidrasi, sesuai derajat dehidrasi. Cairan yang dapat digunakan
adalah NaCL fisiologis jika muntah tidak hijau dan Ringer laktat jika muntah
hijau. Patokan dehidrasi dan jumlah cairan yang digunakan dapat
berpedoman berdasarkan kriteria WHO untuk diare. Jika nadi tak teraba dan
tekanan darah tak terukur diberikan cairan resusitasi 20 ml/kgBB/ secepatnya.
24 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Tindakan operatif dilakukan setelah resusitasi cairan telah diberikan pada
obstruksi total. Tindakan operatif terencana jika obstruksi terjadi parsial
dengan derajat yang ringan
10. Komplikasi Perforasi daan peritonitis
dan Prognosis Komplikasi kehilangan cairan, elektrolit, dan gangguaan keseimbangan asam
basa
25 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
INVAGINASI
Kode ICD : K.56.1
2. Etiologi Kebanyakan kasus tidak diketahui, diduga karena hiperplasi dan hipertrofi
kelenjar limfe submukosa yang disebabkan oleh infeksi (umumnya virus).
Etiologi lainnya adalah kelainan saluran cerna misalnya polip dan divertikel.
7. Pemeriksaan a. Foto polos 3 posisi memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium
Penunujang lanjut penyakit.
b. Barium Enema :
1. Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi
dan gambaran pegas (coiled spring).
2. Berguna untuk mereduksi usus yang terkena, merupakan
pilihan pada semua bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24
jam. Berbahaya bila keadaan umum jelek dan peritonitis karena
tekanan enema dapat mengakibatkan perforasi usus.
c. USG
Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal
Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal
26 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
27 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Definisi Perdarahan yang terjadi dari saluran cerna. Klassifikasi perdarahan saluran
cerna (psc) berdasarkan lokasi dibagi dua. Psc atas (psca) terjadi bila sumber
perdarahan terletak di atas Ligamentum Treitz dan psc bawah (pscb) bila
terletak di bawahnya.
2. Etiologi Kelainan mukosa (erosi, ulkus dan peradangan).
Kelainan vaskuler (varises, hemangioma, vaskulitis).
Koagulopati.
Kelainan anatomi: duplikasi esofagus/gaster.
3. Patogenesis Perdarahan kronis: anemia defisiensi besi dengan retikulosit yang normal
atau cendrung menurun, perdarahan kronis juga dapat meyebabkan
retikulosit meningkat.
Perdarahan akut/banyak: syok dengan segala akibatnya
4. Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan melihat faktor usia Usia penderita merupakan
faktor yang penting untuk menentukan etiologi. .
Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.
Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : sindrom Mallory Weiss.
Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.
Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.
Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus.
6. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
28 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Alergi susu sapi
7. Pemeriksaan Laboratorium : darah lengkap, kimia darah, CT, BT, PT, APTT, feses
Penunujang rutin
Endoskopi
Radiologi
Arteriografi
8. Tatalaksana Cari gangguan hemodinamik.
Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10
menit sampai tanda vital membaik.
Transfusi darah (PRC atau FFP) bila diperlukan.
Observasi perdarahan
9. Edukasi Menerangkan penyebab perdarahan saluran cerna sehingga dapat dilakukan
pencegahan
10. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini,
Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book
29 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
30 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
KOLESTASIS
Kode ICD : K.71.0
1. Definisi Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya
terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya
ikterus, akibat peninggian kadar bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin
total jika bilirubin total > 5 mg/dl atau bilirubin direk ≥ 1 mg/dl jika kadar
bilirubin total ≤ 5 mg/dl.
2. Etiologi Berdasarkan etiologinya, kolestasis diklasifikasikan menjadi :
I. Kelainan Ekstrahepatik
a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c. Perforasi spontan duktus bilier
d. Massa (neoplasma, batu)
e. Inspissated bile syndrome
II. Kelainan Intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain:
a. Displasia arteriohepatik (sindroma alagille)
b. Sindroma Zellweger (sindroma serebrohepatorenal)
c. Intrahepatic bile duct poucity
B. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil
2. Penyakit coroli (pelebaran kista pada duktus intrahepatik)
C. Kelainan Metabolisme
1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat dan asam
empedu
2. Kelainan metabolik tidak khas : defisiensi α 1 antitripsin, dll
D. Hepatitis
1. Infeksi, antara lain TORCH, virus Hepatitis B, Reovirus tipe e,
dll
2. Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan
kemungkinan endotoksemia
E. Genetik atau kromosomal trisomi E, sindrom down, sindrom
donahue
F. Lain-lain : obstruksi intestinal, histiosis X, sindroma polispenia
3. Patogenesis Kelainan yang dapat menyebabkan terjadinya kolestasis
• Pada hepatosit, misalnya akibat kerja estradiol yang menurunkan aliran
garam empedu
• Pada membran hepatosit, misalnya pada defisiensi Na-K-ATPase yang
berfungsi sebagai pompa natrium
• Pada permukaan membran yang mengarah ke dalam saluran empedu,
misalnya pemberian obat seperti klorpromazin, karena mengganggu
fungsi mikrofilamen hingga penetrasi garam empedu ke membran
terganggu
• Gangguan pada saluran empedu yang terjadi didalam hari (intrahepatik)
atau di luar hati (ekstrahepatik
4. Anamnesis Saat timbulnya ikterus (kurang dari usia 3 bulan), lama ikterus, warna tinja,
31 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
perdarahan, riwayat keluarga,riwayat kehamilan dan kelahiran.
5. Pemeriksaan fisik Ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali, dan tanda
perdarahan.
6. Kriteria Untuk kolestasis evaluasi dilakukan pada usia minimal 2 minggu dan pada
diagnosis bayi preterm dapat ditunda sampai 3 minggu
Langkah diagnosis :
Bedakan hiperbilirubinemia indirek dengan hiperbilirubinemia direk
(kolestasis). Gambaran klinik hiperbilirubinemia indirek adalah warna
kulit kuning terang, kuning dimulai dari muka kemudian ke bagian distal
badan (sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin indirek, mengikuti
skala Krammer), dan urin berwarna jernih. Hiperbilirubinemia indirek
dapat disebabkan jaundice fisiologik (sampai umur 14 hari), “breast milk
jaundice”, penyakit sistemik (hemolisis, stadium awal hipotiroidsm,
obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia, hipoglikemia,
galaktocemia, dan intoleransi fruktosa), kelainan keturunan : Crigler-
Najjar syndromes (UDPGT deficiency tipe I bersifat total, tipe II bersifat
partial) dan Gilbert syndrome.
Evaluasi klinik (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan warna feses)
Pemeriksaan fraksi bilirubin: direk, indirek, dan total.
Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (SGPT/ALT, SGOT/AST,
Alkali fosfatase, GGT)
Pemeriksaan fungsi liver (albumin, PT/ aPTT, kadar glukosa serum,
ammonia)
Rule out penyebab-penyebab yang dapat diobati
Kultur bakteri (urin dan darah)
Serologi dan biakan virus (infeksi hepatitis kongenital)
Deteksi kelainan metabolik (galaktosemia, tyrosinemia heriditer,
intoleransi fruktosa heriditer, dan hipopitutarime/hipotiroid)
Deteksi defek sintesis asam empedu, neonatal iron storage disease,
hepatotoksis karena obat
Kelainan anatomik : atresia bilier, kista koledokus, inspissated bile/calculi
in common bile duct
Rule out obstruksi ekstrahepatikdan intrahepatik dengan ultrasonografi
dan biopsi hati.
7. Pemeriksaan Laboratorium :
Penunujang a. Rutin
Darah lengkap (terutama pada kasus yang dicurigai hiperbilirubinemia
indirek), uji fungsi hati: SGOT (AST), SGPT (ALT), gamma GT
(normal: meningkat pada bayi umur-umur muda), alkali fosfatase
(normal: meningkat pada waktu memasuki usia pubertas), waktu
protrombin dan tromboplastin (PT, aPTT), kadar albumin plasma,
kolesterol, kadar glukosa, ureum, kreatinin, urine reduction substance,
kadar amonia serum, kultur urine (jika dicurigai kolestasis
intrahepatik), kultur darah (jika dicurigai sepsis), parasintesis (jika
terbukti ada asites pada USG abdomen)
Bilirubin urine positif
Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk.
22.00-06.00) dan adanya empedu dalam tinja.
b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi
dengan menggunakan sonde (Levine tube), serologi untuk penyakit
infeksi (TORCH, HbsAg, HIV, dan lain-lain), skrining metabolik (asam
amino serum dan urin, asam organik urin), kelainan hormon (kadar
hormon tiroid, TSH), kultur virus, kadar α1 antitripsin, dan lain-lain.
Pencitraan :
32 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
a. Ultrasonografi hepar
Dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier, kista
koledokus, masa intra abdomen, dan patensi duktus bilier. Pada atresia
bilier: akurasi diagnostik USG 77%, dilakukan pada tiga fase yaitu pada
keadaan puasa (4-6 jam dengan alat USG berosolusi tinggi dan 10-12 jam
dengan alat USG berosulusi rendah), saat minum, dan sesudah minum (1
sampai 2 jam setelah makan) ataupun dua fase yakni puasa dan sesudah
minum. Apabila pada saat atau sesudah minum kandung empedu tidak
tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%) diagnosis atresia
bilier dapat ditegakkan.
b. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi
operatif, bila terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh
dengan anestesi umum
Biopsi hepar:
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi
eksplorasi
• Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi
duktus
dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler
masih normal
• Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus
yang disertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat
gambaran lobul yang kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis
porta dan proliferasi duktus ringan.
Paucity sistem bilier.
8. Tatalaksana Uji fungsi hati dilakukan untuk menentukan jenis hiperbilirubinemia dan
tatalaksana selanjutnya. Tatalaksana kolestasis intrahepatik :
Memperbaiki aliran empedu: Obat stimulasi aliran empedu adalah :
1. Asam ursodeoksikolat, dosis: 10 - 30 mg/kgBB/hari, bekerja
sebagai competitive binding empedu toksik, bile fow inducer,
suplemen empedu, dan hepatoprotektor.
2. Kolestiramin, dosis: 0,25 - 0,5 g/kgBB/hari, berfungsi menyerap
empedu toksik dan menghilangkan gatal.
3. Rifampicin, dosis: 10 mg/kgBB/hari, berfungsi meningkatkan
aktivitas enzim mikrosom dan menurunkan ambilan asam
empedu oleh sel hati
4. Fenobarbital: induksi enzim glukuronil transferase, digunakan
hanya pada hiperbilirubinemia indirek pada Crigler-Najjar
syndromes (UDPGT deficiency tipe II) dengan dosis: 3-10
mg/kgBB/hari
Multivitamin vitamin A : 5.000 - 25.000 U/ hari, D: D3 calcitriol:
0,05 - 0,2ug/kgBB/hari, E: 25 - 50 IU/kgBB/hari,K: K1 2,5 - 5 mg/ 2-
7x/ minggu
Nutrisi : diet lemak MCT.
Trace elemen: trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
Terapi komplikasi yang terjadi: misalnya hiperlipidemia/xantelasma
diberikan kolestipol dengan dosis 250-500 mg/kgBB/hari (gabungan
kolestramin dengan kolestipol), hipertensi portal (dibuktikan dengan
USG dopler) diberikan propanolol dengan dosis 1 – 6 mg/kgBB,
gagal hati dengan transplant
Dukungan psikologis
Mengobati penyebab kolestasis yang bisa diobati
Kolestasis ektrahepatik : operasi
Kolestasis intrahepatik, tergantung etiologi.
33 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
heriditer diberikan diet tirosin/fenilalamin rendah, intoleransi fruktosa
heriditer diberikan diet bebas fruktosa/laktosa,
hipotiroidisme/hipopitutarisme diberikan hormon-hormon tiroid, adrenal
dan growth hormon .
Obat-obatan dan toksin: obat-obatan penyebab hepatotoksin dihentikan,
endotoksin bakterial diberikan antibiotika yang sesuai (misalnya
Tersangka ISK dengan cefotaksim), TPN ditatalaksana dengan pemberian
intake oral secepatnya.
10. Komplikasi Sindrom klinik yang timbul tergantung pola makan/minum, lamanya
dan Prognosis kolestasis, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi.
11. Kepustakaan 1. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infections. Dalam: Suchy
FJ, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-1. St. Louis: Mosby
year book; 1994. h. 414-24.
2. Balisteri WF. Cholestasis. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
WB Saunders; 2004. h. 1203-7.
3. Haefelin DN, Griffiths P, Rizetto M. Systemic virosis producing
hepatitis. Dalam: Bircher J, dkk, penyunting. Oxford textbook of clinical
hepatology. Edisi ke-2. Oxford: Oxford University Press; 1999. h. 955-
63.
Emerick KM, Whitington PF. Molecular basis of neonatal cholestasis. Ped
Clin N Am. 2002;49(1):1-3.
12. Lain-lain
(Algoritme,
Protokol,
Prosedur,
Standing Order)
34 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Diagnosis awal kolestatik intrahepatik diberikan antibiotik untuk
Tersangka ISK (TISK) yang tidak hepatotoksik (cefotaksim) sampai hasil
kultur dan resistensi urin diketahui. Diagnosis sementara berupa TISK
ditegakkan karena meliputi hampir 30% kolestasis intra hepatik.
Adanya dismorfik mengarahkan diagnosis ke kelainan metabolik dan
infeksi TORCH kongenital.
Infeksi TORCH kongenital dicurigai jika bayi dismorfik, adanya riwayat
infeksi TORCH saat ibu hamil (gambaran klinis, riwayat kehamilan
terdahulu, atau pemeriksaan serologis), dan adanya kelainan kombinasi
(kelainan pendengaran, mata, jantung, dan hepatosplenogali).
Atresia biler dapat diprediksi dengan feses yaang seperti dempul
(spesifisitas tinggi, tetapi sensitivitas yang rendah)
35 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
2. Etiologi Belum diketahui secara pasti karena banyak faktor yang berperan.
Penyakit ini jarang ditemukan, lebih sering di Asia terutama Jepang.
3. Patogenesis Kista menyebabkan sumbatan saluran empedu, menimbulkan gejala
kolestasis
4. Anamnesis Nyeri perut, kuning, kadang kadang disertai demam akibat infeksi.
5. Pemeriksaan fisik Ikterus, dan dapat teraba massa tumor pada perut kanan atas.
Klasik berupa trias: ikterus, nyeri perut yang hilang timbul, dan massa tumor
pada perut kanan atas.
6. Kriteria Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.
diagnosis
36 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
RSUD BANYUASIN
KOLITIS ULSERATIF
Kode ICD : K.52.9
37 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
38 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dan Prognosis Pada tindakan non operatif angka kematian meningkat dan
apabila penderita dapat hidup akan terjadi kurang gizi.
39 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN
Kode ICD : T. 78.00-06
40 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
- Feses penderita.
41 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
42 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Lokalisasi sakit perut.
Demam.
Mual, muntah atau diare yang berhubungan dengan sakit
perut.
Ciri-ciri dari muntah atau diare.
Perubahan kebiasan defekasi, konsistensi dan warna feses.
Faktor- faktor yang memperingan dan memperberat sakit
perut.
Terapi yang sudah diberikan.
Riwayat trauma.
Riwayat pernah dirawat sebelumnya.
5. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan yang terbaik adalah pada waktu serangan, harus
lengkap dengan titik berat pada abdomen.
Pengamatan.
Secara umum penderita tampak tidak anemia, turgor
normal, sirkulasi normal.
Tanda vital : temperatur harus diperhatikan.
Periksa tanda-tanda peradangan dan proses infeksi pada
kepala, mata, telinga, hidung, tenggorokan, seperti
faringitis, OMA, dll.
Dada : perhatikan pergerakan dada, retraksi, frequensi
respirasi.
Abdomen :
- Pengamatan bentuk perut.
- Distensi / ketegangan dinding perut baik sebelum atau
sesudah rangsangan tangan (palpasi).
- Adanya cairan bebas, bising usus diseluruh perut
meningkat atau menurun sampai negatif.
- Perlu dicari tanda akut abdomen yaitu dinding
abdomen yang kaku, defence musculare, nyeri tekan,
nyeri lepas.
- Pada pemeriksaan di luar abdomen, cari kemungkinan
adanya hernia strangulata, hernia inguinalis yang
menyebabkan obstruksi dan peritonitis.
Rektum :
Pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan abnormalitas
sfingter internal atau eksternal, adanya massa feces,
warna, konsistensi, darah.
Sistem Genitourinaria :
Perhatikan di daerah genitalia adanya trauma, discharge,
peradangan nyeri pada anak remaja periksa daerah pelvis,
evaluasi adanya trauma, infeksi peradangan, besarnya
uterus, dan massa.
6. Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan fifik
Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan rutin darah, urin,
Penunujang tinja perlu dilakukan.
Jika ada kelainan dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus :
WBC dengan hitung jenis, sedimen urine, urinalisis, kultur
urin / tinja, foto polos abdomen.
Sakit perut berulang perlu dilakukan pemeriksaan barium
meal, barium enema, endoskopi, USG.
8. Tatalaksana Ditentukan apakah penyakitnya membutuhkan tindakan
bedah atau tidak. Bila tidak ditemukan kedaruratan perut,
penyebab sakit perut harus dicari dan diberi pengobatan yang
sesuai.
43 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
9. Edukasi Memberikan rasa aman dan edukasi kepada penderita dan
keluarga. Meyakinkan bahwa pada sakit perut fungsioanal, tidak
ada bukti adanya kelainan dasar yang serius
11. Kepustakaan Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker
Inc
Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier,
2006 Textbook of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis,
2004
Nelson Pediatric Text Book
12. Lain-lain
(Algoritme, Rome III Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal
Protokol, Disorders
Prosedur, H2. ABDOMINAL PAIN-RELATED FUNCTIONAL GI
DISORDERS
Standing Order)
H2a. Functional Dyspepsia
Diagnostic criteria* Must include all of the following:
Persistent or recurrent pain or discomfort centered in the
upper abdomen
(above the umbilicus)
Not relieved by defecation or associated with the onset of a
change in stool
frequency or stool form (i.e., not irritable bowel syndrome)
No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic or
neoplastic process
that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2 months
prior to diagnosis
H2b. Irritable Bowel Syndrome
Diagnostic criteria* Must include both of the following:
Abdominal discomfort** or pain associated with two or more
of the following
at least 25% of the time:
a. Improvement with defecation
b. Onset associated with a change in frequency of stool
c. Onset associated with a change in form (appearance) of
stool
No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic, or
neoplastic process
that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2 months
prior to diagnosis
** “Discomfort” means an uncomfortable sensation not described
as pain.
H2c. Abdominal Migraine
Diagnostic criteria* Must include all of the following:
Paroxysmal episodes of intense, acute periumbilical pain
that lasts for
hour or more
Intervening periods of usual health lasting weeks to months
The pain interferes with normal activities
The pain is associated with 2 of the following:
a. Anorexia
b. Nausea
c. Vomiting
d. Headache
e. Photophobia
44 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
f. Pallor
No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic, or
neoplastic process
considered that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled two or more times in the preceding 12 months
H2d. Childhood Functional Abdominal Pain
Diagnostic criteria* Must include all of the following:
Episodic or continuous abdominal pain
Insufficient criteria for other FGIDs
. No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic, or
neoplastic process
that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2 months
prior to diagnosis
H2d1. Childhood Functional Abdominal Pain Syndrome
Diagnostic criteria* Must satisfy criteria for childhood functional
abdominal pain and have at least 25% of the time one or more
of the following:
Some loss of daily functioning
Additional somatic symptoms such as headache, limb pain,
or difficulty sleeping
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2 months
prior to diagnosis.
45 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
KOLESISTITIS
Kode ICD : K 8
6. Pemeriksaan a. Laboratorium :
Penunujang Rutin : Hb, Lekosit, Hitung jenis.
Test faal hati : bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali fosfatase.
b. Radiologis : Perlu di buat foto polos abdomen, untuk
mendeteksi ada atau tidaknya batu empedu radio opak.
c. USG :
Pemeriksaan USG lebih banyak membantu menentukan
diagnosis.
Gambaran USG dari kolesistitis akut :
- Penebalan dinding kandung empedu lebih dari 3 cm.
- Pada dinding yang menebal terlihat suatu daerah
bebas gema diantara lapis luar dengan lapisan
dalam, sehingga terlihat tanda dinding yang rangkap
atau disebut Double Rim Sign. Hal ini disebabkan
karna adanya edema di dinding kandung empedu.
- Terdapat tanda Murphy Ultrasonik yaitu terasa nyeri
pada saat transduser sedikit di tekan diatas daerah
kandung empedu.
- Terdapat pembesaran kandung empedu.
- Selain tanda-tanda tersebut di atas perlu dicari
penyebabnya.
Sebagai penyebab terbanyak yaitu batu empedu, yang
akan terlihat sebagai suatu massa padat berdensitas gema
meninggi, disertai bayangan akustik. Pada perubahan
posisi massa tersebut akan ikut bergerak
46 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
7. Tatalaksana a. Pengobatan kolesistitis termasuk hospitalisasi, hidrasi
dengan cairan IV, koreksi abnormalitas elektrolit dan
penghentian makanan oral.
b. Medikasi (misalnya Meperidine hidroklorida) harus
diberikan untuk mengurangi nyeri.
c. Antibiotika, termasuk ampisilin dan gentamisin digunakan
untuk mengobati kolesistitis akut karena mereka
diekskresikan dalam empedu atau melindungi organ
enteric secara adekuat. Sefalosporin generasi kedua atau
ketiga dapat digunakan sebagai alternatif.
d. Kolesistektomi laparoskopik adalah pengobatan pilihan
untuk manajemen kolesistitis akut tanpa komplikasi.
Indikasi utama untuk pembedahan :
1. Ketidakpastian mengenai diagnosis ditambah dengan
iritasi peritoneal perut bagian atas yang jelas
2. Kegagalan terhadap pengobatan non operatif :
Demam terus menerus lewat 24 jam.
Tanda-tanda iritasi peritoneal yang tak berubah atau
semakin lanjut.
Perkembangan atau pembesaran massa yang progesif.
Perkembangan peritonitis umum.
8. Komplikasi Perforasi.
dan Prognosis Peritonitis empedu.
Obstruksi bilier.
Sirosis bilier.
Kanker kandung empedu
Angka mortalitas keseluruhan untuk kolesistitis akut dan
kronik < 2 %
9. Kepustakaan Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker
Inc
Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi Pediatric
Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition,
Guandalini, Taylor & Francis, 2004
Nelson Pediatric Text Book
47 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
PERITONITIS TUBERKULOSA
Kode ICD : A 18.31
6. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Foto polos abdomen : gambaran peritonitis, massa
Penunujang omentum dan asites.
Biopsi peritonium untuk mencari gambaran patologis.
Kultur M. tuberkulosis dari bahan cairan asites atau biopsi
peritonium.
8. Tatalaksana Tatalaksana TB ekstrapulmonal yaitu Rifampisin dan INH
diberikanselama 12 bulan, Pirazinamid selama 2 bulan
pertama. Kortikosteroid diberikan 1-2 mg/kg BB selama 1-2
minggu pertama.
48 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
KONSTIPASI
Kode ICD : K.59.0
1. Definisi
Batasan konstipasi : jika terdapat 2 atau lebih kriteria
1. Frekuensi < 3x/minggu
2. Konsistensi keras
3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah
feses besar ≥ 1 x / 7 - 30 hari, perut kembung, sensasi
penuh, teraba massa di abdomen atau rektum
Berdasarkan waktu :
1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu
2. Konstipasi kronik : > 1 bulan
2. Etiologi
Hampir 90-95% penyebab konstipasi tidak diketahui (idiopatik)
dan bersifat fungsional. Hanya 5-10% yang mempunyai
penyebab organik, diantaranya Hirschprung’s disease, cyctic
fibrosis, fisiologi anorektal yang abnormal, dan fisura ani.
Penyebab non organik diantaranya adalah obat-obatan,
kondisi metabolik karena dehidrasi, diet kurang serat, dan
penyakit malabsorpsi
6. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Jarang di lakukan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
Penunujang mengidentifikasi adanya anemia, lekositosis, dan gangguan
metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid) atau uncover
49 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa
urin rutin dan kultur urine juga dilakukan terutama bila
diduga terjadi infeksi saluran kemih akibat konstipasi kronis.
10. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi antara lain nyeri anus, nyeri
dan Prognosis abdomen, fisura ani, enkopresis, enuresis, infeksi saluran
kemih, obstruksi ureter, prolaps rectum, ulkus soliter, sindrom
stasis (bakteri overgrowth, fermentasi karbohidrat, maldigesti,
dekonyugasi asam empedu, steatorea).
50 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
51 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
52 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
9. Edukasi Konseling: menghindari faktor yang meningkatkan resiko
dispepsia dan ulkus peptikum
Selama terapi eradikasi, maka obat-obatan NSAIDs mesti
dihentikan.
Diberitahu tentang efektifikasi terapi eradikasi
Pentingnya menyelesaikan regimen obat inisial
Pencegahan
Antibiotik untuk pencegahan sangat tidak dianjurkan
Vaksin Helicobacter pylori (Helicobacter pylori urease +
enterotoxin E. Coli) à efektifitas sangat rendah
Perbaiki hygiene dan gizi anak
10. Komplikasi Prognosis
dan Prognosis Tergantung dari penanganannya
Dideteksi lebih dini dan diterapi adekuat komplikasi
minimal
Terlambat didiagnosa atau terapi tidak
adekuatkomplikasi lanjut
Komplikasi
Ulkus dengan pendarahan gastrointestinal
Kanker
Relaps atau resisten terhadap obat
53 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
MARASMUS
ICD 10 : E 41
54 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ISK standard profesi ISK
Infeksi telinga kronis/mastoiditis standar profesi THT
Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah rutin
Penunjang 2. Urine rutin
3. Feses rutin
4. Gula darah sewaktu
5. Elektrolit: natrium, kalium
6. Analisis diet (kuantitas makanan/food recall, kualitas
makanan/food frequency)
7. Kimia darah: albumin, globulin, total protein
8. Foto thoraks
9. Mantoux test
8. Tatalaksana
Tatalaksana
1. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase
Siapkan tindak
10
lanjut
B. Urutan Pelaksanaan
55 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
- ReSoMal 5 ml/kgBB/NGT
Jam I: IVFD RLG 5% 15 ml/kgBB selama 1 jam (5
tts/menit/kgBB makro)
Jam II:
- Nadi kuat, frek nafas ↓ IVFD sampai 1 jam berikutnya,
ReSoMal (sesuai kemampuan)
- Nadi dan frekuensi napas tetap tinggi IVFD RLG 5% 4 ml/
kgBB/jam (1 tts/kgBB/menit)
10 Jam II
- IVFD diteruskan (sementara)
- ReSoMal selang-seling tiap jam dengan F-75
- ASI (+) diteruskan setelah F-75
- Catat nadi, frekuensi napas tiap 1 jam
Stabilisasi lanjutan bila telah:
- Rehidrasi F-75 / 2 jam
- Diare (-) resomal stop
- Diare (+) resomal tetap diberikan setiap diare
Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare
***Diare / muntah berkurang dapat menghabiskan sebagian besar F-
75
F-75/4 jam
B.1.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali, Catat
nadi, napas tiap 30’
10 Jam II :
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (tatalaksana kondisi I)
Membaik Memburuk
56 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD ( tatalaksana kondisi I)
B.1.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% (Oral/NGT)
2 Jam I:
F-75 tiap 30 menit, ¼ jumlah yang harus diberikan tiap 2 jam (NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)
Lethargis (-)**
Stabilisasi lanjutan: F-
75/2 jam
***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75
F-75/4 jam
B.1.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30
10 Jam II:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75
57 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
makanan peroral dengan menilai keadaan diare dan memperhatikan
kemampuan makan, digesti, dan absorpsi saluran cerna.
- F-75 F-100/4 jam, dengan volume F 75 yang terakhir (Tab. F-75)
dipertahankan 2 hari, catat nadi, frek. napas, dan asupan F-100/4 jam
(Tabel 7)
- Hari ke-3 F-100 (Tabel F-100) tiap 4 Jam dinaikkan 10 ml sampai
tidak mampu menghabiskkan (tidak melebihi jumlah maksimal 220
cc/kg BB pada tabel F-100)
- Hari ke-4 F-100/4 jam (Tabel F-100)
Pertahankan sampai hari ke 7-14 atau sesuai dengan kondisi anak.
C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5 mg
Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari
hipoglikemia, hipotermia, sekali selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau infeksi
saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam waktu Ampisilin IV atau IM (50 I diikuti dengan:
48 jam tambahkan mg/kg) setiap 6 jam Amoksisilin oral (15
selama 2 hari mg/kg), setiap 8 jam
selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang
membutuhkan tambahan Antibiotik khusus
antibiotik
58 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dengan dosis kapsul dengan dengan dosis
sesuai umur dosis sesuai sesuai umur
- Bercak / Bitot umur
- Nanah/radang
- Ulkus keruh
- Ulkus kornea
- Pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir
D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5 Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60 mg Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
Besi elemental dan 0,25 mg
Asam Folat) Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Sirup Besi
Setiap 5 ml mengandung Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15 mg)
30 mg Besi elemental Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30 mg)
Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia
berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari ke-
14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih sampai
kadar Hb normal selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.
E. Transfusi
Jika Hasil Pemeriksaan Hb atau Ht Tatalaksananya
- Hb < 4,0 g/dl Berikan transfusi darah segar sebanyak 10
ml/kgBB dalam waktu 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung gunakan Packet Red Cell untuk
transfusi dalam jumlah yang sama
Atau Berikan Furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada
saat transfusi dimulai.
- Hb 4,0-6,0 g/dl disertai distres Hentikan semua pemberian cairan lewat
pernafasan atau tanda gagal jantung oral/NGT selama anak ditransfusi.
59 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Sudivisi Nutrisi - Penyakit Metabolik Departemen IKA RSMH
Kritis Palembang
14. Indikator 1. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
Medis 2. BB/PB atau BB/TB > -3 SD
3. Komplikasi sudah teratasi
4. Ibu telah mendapat konseling gizi
5. Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kg BB/minggu selama 2 minggu
berturut-turut
6. Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat
dihabiskan
15. Target Gizi baik
16. Kepustakaan Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I dan II
Kemenkes RI 2013
60 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
KWASHIORKOR
ICD 10 : E 40
1. Definisi Terlihat sangat kurus dan atau edema dan atau BB/TB atau
BB/PB
Anak 0-5 tahun < - 3SD berdasarkan grafik BB/TB WHO tahun
2006 untuk dan grafik BB/TB CDC 2000 untuk anak > 5 tahun
2. Anamnesis Awal:
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi muntah atau diare, serta tampilan dari
bahan muntah atau diare
Saat terakhir kencing
Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Lanjutan:
Kebiasaan makan sebelum sakit
Makan/minum/menyusui pada saat sakit
Jumlah makanan dan cairan yang didapat dalam beberapa
hari terakhir
Kontak dengan penderita campak atau tuberkulosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Kejadian dan penyebab kematian dari kakak atau adik
Berat badan lahir
Tumbuh kembang, misalnya: duduk, berdiri, dan lain-lain
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan di Posyandu
Apakah sudah mendapatkan imunisasi lengkap
3. Pemeriksaan Gizi buruk dengan edema:
Fisik Perubahan status mental: apatis & rewel
Rambut tipis, kemerahan spt warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa sakit, mudah rontok
Wajah membulat dan sembab
Pandangan mata sayu
Pembesaran hati
Minimal pada kedua punggung kaki, bersifat pitting edema
Derajat edema:
+ Kedua punggung kaki
++ Tungkai & lengan bawah
+++ Seluruh tubuh (wajah & perut)
Derajat edema untuk menentukan jumlah cairan yang
diberikan
Otot mengecil (hipotrofi)
Kelainan kulit berupa bercak merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
(crazy pavement dermatosis)
Sering disertai penyakit infeksi (umumnya akut) anemia
dan diare
Gizi buruk tanpa edema:
Tampak sangat kurus, hingga seperti tulang terbungkus
kulit
Wajah seperti orang tua
Cengeng, rewel
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai
tidak ada (celana longgar/baggy pants)
Perut umumnya cekung
Tulang rusuk menonjol (Iga gambang/piano sign)
61 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang)
diare persisten
4. Kriteria Dasar Diagnosis:
Diagnosis Usia ≤ 5 tahun dengan growth chart WHO 2006, Z score <
-3SD
Usia > 5 tahun memakai CDC 2000, BB/TB < 70%
Klasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis
Langkah Diagnosis:
Tetapkan gizi buruk
Tetapkan klasifikasi / bentuk klinik gizi buruk
Tetapkan kondisi
Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan
penyerta), secara rutin:
TBC standard profesi TBC
ISK standard profesi ISK
Infeksi telinga kronis/mastoiditis standar profesi
THT
Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)
10. Tatalaksan
Tatalaksana
62 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase
Stabilisasi Tindak
Transisi Rehabilitasi
No. Tindakan Lanjut
H 8-14 Mg 3-6
H 1-2 H 3-7 Mg 7-26
Atasi/cegah
1
hipoglikemia
Atasi/cegah
2
hipotermia
Atasi/cegah
3
dehidrasi
Perbaiki ggn
4
elektrolit
5 Obati infeksi
Perbaiki def. +Fe
6 Tanpa Fe
nutrien mikro
Makanan stab.
7
Trans
Makanan tumbuh
8
kejar
9 Stimulasi
Siapkan tindak
10
lanjut
B. Urutan Pelaksanaan
63 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)
F-75/4 jam
B.1.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali,
Catat
nadi, napas tiap 30’
10 Jam II :
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (tatalaksana kondisi I)
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD ( tatalaksana kondisi I)
B.1.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
(Oral/NGT)
2 Jam I:
F-75 tiap 30 menit, ¼ jumlah yang harus diberikan tiap 2 jam
(NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)
64 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
tiap
Penyebab lain? 1 jam
- ASI
Lethargis (-)**
Stabilisasi lanjutan: F-
75/2 jam
***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75
F-75/4 jam
B.1.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30’
10 Jam II:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75
65 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
B.4. Persiapan untuk Tindak Lanjut di Rumah
Indikasi Pulang:
- Anoreksia teratasi/intake makanan sudah adekuat
- Infeksi teratasi, pengobatan lanjutan dapat dilakukan dipelayanan
kesehatan terdekat
- Ibu/Keluarga dapat merawatnya di rumah
C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5 mg
Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari sekali
hipoglikemia, hipotermia, selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau
infeksi saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam Ampisilin IV atau IM I diikuti dengan: Amoksisilin
waktu 48 jam tambahkan (50 mg/kg) setiap 6 jam oral (15 mg/kg), setiap 8 jam
selama 2 hari selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang Antibiotik khusus
membutuhkan tambahan
antibiotik
D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5
Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60 mg Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
66 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Besi elemental dan 0,25 mg
Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Asam Folat)
Sirup Besi
Setiap 5 ml mengandung Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15 mg)
30 mg Besi elemental Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30 mg)
Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia
berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari
ke-14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih
sampai kadar Hb normal selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.
D.3. Asam Folat
5 mg/hari pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari
D.4. Elekmin dan ReSoMal (lihat lampiran)
Tambahkan elekmin 1 ml untuk setiap 50 ml F75/F100
E. Transfusi
Jika Hasil Pemeriksaan Hb atau Ht Tatalaksananya
- Hb < 4,0 g/dl Berikan transfusi darah segar sebanyak 10
ml/kgBB dalam waktu 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung gunakan Packet Red Cell untuk
transfusi dalam jumlah yang sama
Atau Berikan Furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada
saat transfusi dimulai.
- Hb 4,0-6,0 g/dl disertai distres Hentikan semua pemberian cairan lewat
pernafasan atau tanda gagal jantung oral/NGT selama anak ditransfusi.
9. Edukasi 1. Pola makan yang baik
2. Anjuran mengunjungi/kontrol fasilitas kesehatan (posyandu,
puskesmas, rumah sakit) secara berkala
67 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina / IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
68 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
MARASMUS KWASHIORKOR
ICD 10 : E 42
1. Definisi Terlihat sangat kurus dan atau edema dan atau BB/TB atau BB/PB
Anak 0-5 tahun < - 3SD berdasarkan grafik BB/TB WHO tahun
2006 untuk dan grafik BB/TB CDC 2000 untuk anak > 5 tahun
2. Anamnesis Awal:
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi muntah atau diare, serta tampilan dari
bahan muntah atau diare
Saat terakhir kencing
Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Lanjutan:
Kebiasaan makan sebelum sakit
Makan/minum/menyusui pada saat sakit
Jumlah makanan dan cairan yang didapat dalam beberapa hari
terakhir
Kontak dengan penderita campak atau tuberkulosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Kejadian dan penyebab kematian dari kakak atau adik
Berat badan lahir
Tumbuh kembang, misalnya: duduk, berdiri, dan lain-lain
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan di Posyandu
Apakah sudah mendapatkan imunisasi lengkap
69 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Kriteria Dasar Diagnosis:
Diagnosis Usia ≤ 5 tahun dengan growth chart WHO 2006, Z score < -3SD
Usia > 5 tahun memakai CDC 2000, BB/TB < 70%
Klasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis
Langkah Diagnosis:
Tetapkan gizi buruk
Tetapkan klasifikasi / bentuk klinik gizi buruk
Tetapkan kondisi
Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan
penyerta), secara rutin:
TBC standard profesi TBC
ISK standard profesi ISK
Infeksi telinga kronis/mastoiditis standar profesi THT
Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah rutin
Penunjang 2. Urine rutin
3. Feses rutin
4. Gula darah sewaktu
5. Elektrolit: natrium, kalium
6. Analisis diet (kuantitas makanan/food recall, kualitas
makanan/food frequency)
7. Kimia darah: albumin, globulin, total protein
8. Foto thoraks
9. Mantoux test
10. Tatalaksana
Tatalaksana
1. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase
70 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Lanjut
H 1-2 H 3-7 H 8-14 Mg 3-6
Mg 7-26
Atasi/cegah
1
hipoglikemia
Atasi/cegah
2
hipotermia
Atasi/cegah
3
dehidrasi
Perbaiki ggn
4
elektrolit
5 Obati infeksi
Perbaiki def. +Fe
6 Tanpa Fe
nutrien mikro
Makanan stab.
7
Trans
Makanan tumbuh
8
kejar
9 Stimulasi
Siapkan tindak
10
lanjut
B. Urutan Pelaksanaan
B.1. Tatalaksana Fase Stabilisasi Awal dan Lanjutan Setiap Kondisi
B.1.1. Kondisi I
Stabilisasi awal
2 jam I :
- O2 1-2 l/menit, pasang NGT
- Pasang IVFD RLG 5% (RL + D10% 1:1)
- D10% IV bolus dosis 5 ml/kgBB
- ReSoMal 5 ml/kgBB/NGT
Jam I: IVFD RLG 5% 15 ml/kgBB selama 1 jam (5
tts/menit/kgBB makro)
Jam II:
- Nadi kuat, frek nafas ↓ IVFD sampai 1 jam berikutnya,
ReSoMal (sesuai kemampuan)
- Nadi dan frekuensi napas tetap tinggi IVFD RLG 5% 4 ml/
kgBB/jam (1 tts/kgBB/menit)
10 Jam II
- IVFD diteruskan (sementara)
- ReSoMal selang-seling tiap jam dengan F-75
- ASI (+) diteruskan setelah F-75
- Catat nadi, frekuensi napas tiap 1 jam
Stabilisasi lanjutan bila telah:
- Rehidrasi F-75 / 2 jam
- Diare (-) resomal stop
- Diare (+) resomal tetap diberikan setiap diare
Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare
71 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
F-75/4 jam
B.1.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali, Catat
nadi, napas tiap 30’
10 Jam II :
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (tatalaksana kondisi I)
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD ( tatalaksana kondisi I)
B.1.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% (Oral/NGT)
2 Jam I:
F-75 tiap 30 menit, ¼ jumlah yang harus diberikan tiap 2 jam (NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)
Lethargis (-)**
Stabilisasi lanjutan: F-
75/2 jam
***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75
72 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Bisa menghabiskan sebagian besar F-75
F-75/4 jam
B.1.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30’
10 Jam II:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75
C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5 mg
Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari
73 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
hipoglikemia, hipotermia, sekali selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau infeksi
saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam waktu Ampisilin IV atau IM I diikuti dengan:
48 jam tambahkan (50 mg/kg) setiap 6 jam Amoksisilin oral (15
selama 2 hari mg/kg), setiap 8 jam
selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang Antibiotik khusus
membutuhkan tambahan antibiotik
D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5 Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60
Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
mg Besi elemental dan
0,25 mg Asam Folat) Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Sirup Besi
Setiap 5 ml Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15 mg)
mengandung 30 mg
Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30 mg)
Besi elemental
Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia
berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari ke-
14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih sampai
kadar Hb normal selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.
D.3. Asam Folat
5 mg/hari pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari
74 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
E. Transfusi
Jika Hasil Pemeriksaan Hb atau Ht Tatalaksananya
- Hb < 4,0 g/dl Berikan transfusi darah segar sebanyak 10
ml/kgBB dalam waktu 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung gunakan Packet Red Cell untuk
transfusi dalam jumlah yang sama
Atau Berikan Furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada
saat transfusi dimulai.
- Hb 4,0-6,0 g/dl disertai distres Hentikan semua pemberian cairan lewat
pernafasan atau tanda gagal oral/NGT selama anak ditransfusi.
jantung
16. Kepustakaan Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I dan II
Kemenkes RI 2013
ANEMIA DEFISIENSI Fe
ICD 10 : D.50.9
75 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Definisi Adalah anemia yang disebabkan defisiensi zat Besi untuk
sintesis hemoglobin.
2. Anamnesis Anamnesis:
Anak tampak pucat, lemah, mudah lelah, sering berdebar-
debar dan sakit tulang.
Faktor predisposisi:
- Defisiensi ibu waktu hamil
- Bayi berat badan lahir rendah
- kelahiran kembar atau
perdarahan
- Pengikatan tali pusat terlalu
cepat
- Pola dan jumlah makanan tak
adekuat
- Infeksi, infestasi parasit.
3. Pemeriksaan 1. Anemis, tidak ikterus, mungkin ditemukan atrofi papil lidah,
fisik pada anemia kronis dapat terjadi pembesaran jantung dan
bising sistolik fungsional yang dinamakan dinamakan “Pan
Systolik Murmur”.
2. Hepar dan lien tidak membesar. Biasanya tidak tampak sakit
berat karena perjalanan penyakit menahun kecuali bila Hb
rendah sekali.
76 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis, Hb, Retikulosit ,feritin
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
77 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ICD 10 : D.56
5. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunujang Kadar Hb Rendah
Retikulosit tinggi
“Blood film“: anisositosis, poikilositosis, hipokrom, sel
target (+), fragmentosit, sel eritrosit muda (normoblast).
Kadar Hb F lebih dari 30% dan atau ditemukan Hb
Patologis pada Hb analisa
Radiologi:
Pada tulang-tulang panjang akan tampak gambaran
osteoporosis serta kortek tulang menipis akibat medulla
yang melebar.
Pada tulang tengkorak tampak atap tulang tengkorak yang
menebal, kadang-kadang tampak “Hair Brush Appearrance”.
6. Tatalaksana Pengobatan
1. Transfusi darah. Diberikan “Packed red cell leucodepleted”dan
untuk pertama kali diberikan bila Hb< 7 g/dl yang diperiksa
berturut-turut dengan jarak 2 minggu, atau Hb ≥7 g/dl
disertai gejala: perubahan muka, gangguan tumbuh kembang,
frkatur tulang dan terdapat hematopoeitik ekstra meduler.
Pada penanganan selanjutnya, trnasfusi diberikan bila Hb < 9
g/dl dan dipertahankan Hb 12 g/dl.
2. Pemberian “Iron Chelating Agent” atau kelasi besi jika
didapatkan kadar ferritin ≥ 1000. Preparat kelasi besi yang
digunakan ini adalah Deferiprone (ferriprox) dengan dosis 50-
100mg/hari (3x per hari), Deferasirox (exjade) dengan dosis
20-50 mg/hari (1x perhari).dan Deferoxamine (desferal)
dengan dosis 30-50 mg/kg selama 5 hari dalam seminggu
3. Diet yang adekuat, roboransia. Pemberian asam folat 2 x 5
mg/hari, vitamin E 2x 200 IU/hari, aspilet 80 mg jika
trombosit > 600.000/µl
9. Edukasi Pencegahan
Seluruh keluarga diperiksa. Bila ada pembawa sifat diberikan
marriage counselling sebelum menikah.
Saran Keluarga Berencana.
78 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
- Bila mendapatkan anak dengan fenotif normal, dianjurkan
untuk KB
- Bila tidak mendapatkan anak dengan fenotif normal, boleh
punya anak lagi dengan kemungkinan thalassemia atau
membawa sifat thalassemia.
Pencegahan terhadap infeksi, misalnya infeksi saluran
pernapasan.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kadar Hb, Ferritin serum
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
79 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
10. Definisi Adalah suatu keganasan pada seri granulopoetik ditandai
dengan akumulasi limfoblas di sumsum tulang dan merupakan
keganasan tersering pada anak.
Klasifikasi :
Kelompok “ French American British” (FAB), mengklasifikasikan
ALL dalam 3 golongan yaitu L 1, L2, dan L3. Klasifikasi FAB ini
dapat dipergunakan untuk meramalkan prognosa:
L1 : lebih baik dari L2.
L2 : lebih baik dari L3.
L3 : prognosa jelek
11. Anamnesis Pucat mendadak, demam, perdarahan kulit berupa bercak
kebiruan, perdarahan dari organ tubuh lainnya misalnya
epistaksis, perdarahan gusi, hematuria dan melena.
Bisa timbul mual, muntah, pusing dan nyeri pada sendi.
Sering demam dengan sebab yang tidak jelas.
12. Pemeriksa Anemis, demam, tanda-tanda perdarahan seperti petekia,
an fisik ekimosis, epistaksis, hematuria, dan melena.
Nyeri pada tulang dan sendi (infiltrasi ke tulang).
Hati dan limfa membesar bila terdapat infiltrat ke organ
tersebut.
Apabila terjadi infiltrasi ke SSP dapat timbul gejala rangsang
meningeal dan tekanan intrakranial meninggi
13. Kriteria Gambaran klinis berupa pucat, demam, perdarahan
Diagnosis seperti memar spontan, purpura, gusi berdarah, infiltrasi
ke organ berupa nyeri tulang, limfadenopati,
hepatosplenomegali, muntah, penglihatan kabur.
14. Diagnosis LLA HR dan SR
15. Diffrential AML
diagnosis
16. Pemeriksa Darah tepi: leukositosis atau hiperleukositosis yang hebat
an atau limfositosis relatif disertai gambaran penekanan
Penunujang sumsum tulang berupa anemia, trombositopenia, netropenia,
disertai adanya sel-sel blast (limfoblast > 5%)
BMP: sistim eritropoetik, granulopoetik tertekan. Limfoblast
10%
Apabila terjadi infiltrasi ke SSP maka dapat ditemukan sel-
sel leukemia dalam cairan serebrospinalis
17. Tatalaksan Pengobatan
a Menggunakan Protokol Indonesia 2006, yang terbagi
atas :
1. Protokol Indonesia 2006 – SR – A
2. Protokol Indonesia 2006 – SR – B
3. Protokol Indonesia 2006 – HR
18. Edukasi Mencegah perdarahan, infeksi selama dilakukan
kemoterapi
80 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
HEMOFILIA
ICD 10 : D.68.311
81 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
kekurangan faktor pembekuan VIII dan IX. Saat ini dikenal
2 bentuk hemofilia, yaitu hemofilia A karena kekurangan
faktor VIII (anti hemophilic factor) dan hemofilia B karena
kekurangan faktor IX (Christmas factor)
2. Anamnesis Perdarahan yang sukar berhenti setelah atau tanpa
adanya trauma/operasi
Perdarahan pada sendi dan otot yang mengenai
pembuluh darah besar.
Riwayat/silsilah keluarga dengan hemofilia
3. Pemeriksaan Kebiruan pada kulit, perdarahan otot, sendi (deformitas
fisik pada sendi)
4. Kriteria - Kecenderungan terjadi perdarahan yang sukar berhenti
Diagnosis setelah suatu tindakan atau timbul kebiruan atau
hematoma setelah trauma ringan atau terjadinya
hemarthrosis
- Riwayat keluarga
- Masa pembekuan memanjang
- Masa protombin normal, masa protombin parsial
memanjang
- Masa pembekuan tromboplastin ( thromboplastin
generation test) abnormal
82 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Hemofilia Sedang : faktor pembekuan 1-5%, dosis
konsentrat 15-25 Iμ/kgBB, akan meningkatkan faktor
VIII sebesar 30-50%, dosis maintenans 10-15 Iμ/kgBB
setiap 8-12 jam
Hemofilia Berat : faktor pembekuan < 1%, dosis
konsentrat 40-50 Iμ/kgBB, akan meningkatkan faktor
VIII sebesar 80-100%, dosis maintenans 20-25 Iμ/kgBB
setiap 8-12 jam
Pengobatan tergantung derajat hemofilia:
- Hemofilia berat : tidak menunggu
perdarahan,langsung terapi substitusi
dengan antihemofilia setiap hari sampai
mencapai target faktor pembekuan > 5%.
- Hemofilia sedang : tergantung adanya perdarahan
terutama perdarahan sendi.
9. Edukasi Pencegahan perdarahan
- Semua penderita dibatasi aktivitas fisik, dinasehatkan
dilarang olahraga yang menyebabkan benturan fisik seperti
sepakbola, beladiri, bersepeda
- Cara hidup penderita antara lain: jika sekolahnya bertingkat
sebaiknya kelasnya di lantai bawah, di rumah jangan banyak
perabot (meja) yang banyak siku-siku, rak buku jangan
tinggi sehingga penderita tidak perlu memanjat untuk
mengambilnya.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Perdarahan
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
83 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(bleeding disorder), akibat destruksi prematur trombosit yang
meningkat akibat autoantibodi yang mengikat antigen
trombosit. Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun, dengan
insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. ITP terjadi akut
dan biasanya sembuh sendiri dalam 6 bulan, bila dalam waktu
6 bulan tidak sembuh maka diagnosis menjadi ITP Kronis.
4. Kriteria Anamnesis
Diagnosis -Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi
virus, atau bakteri --(infeksi saluran napas atas, saluran
cerna), bisa juga terjadi setelah vaksinasi rubella, rubeola,
varisela, atau setelah vaksinasi dengan virus hidup.
-Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit didalam
darah. Diawali dengan perdarahan kulit berupa petekie hingga
lebam. Perdarahan ini biasanya dilaporkan terjadi mendadak.
-Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin,
aspirin dapat memicu --terjadinya kekambuhan. Obat yang
mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko timbulnya
perdarahan.
Pemeriksaan fisis
-Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada
kulit dan mukosa (hidung, gusi, saluran cerna dan traktus
urogenital)
-pembesaran limfa terjadi pada 10-20% kasus
84 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ditemukan adanya pembesaran hepar/lien/kelenjar getah
bening dan pada laboratorium ditemukan bisitopenia.
8. Tatalaksana Pengobatan
1 a. Pada penyakit pertama kali atau ITP akut
Trombosit > 60 X 10 9/µl
Observasi sambil mencari kausa selama 2 minggu
Bila lebih dari 2 minggu tidak ada perbaikan atau
trombosit menurun dengan perdarahan yang masif,
pengobatan dengan prednison dengan dosis 2
mg/kgBB/hari.
Bila trombosit < 60 X 10 9/µl langsung diberikan
terapi prednison.
b. Pada ITP yang berulang
Bila ada perdarahan, trombosit turun, langsung diterapi
prednison.
Keterangan:
- ITP akut, apabila terdapat episode perdarahan yang dapat
mencapai remisi dalam beberapa hari sampai minggu
atau sampai waktu 6 bulan, biasanya terjadi pada anak
usia 2-5 tahun
- ITP kronis / rekuren, apabila episode trombositopenia
terjadi dalam interval lebih dari 6 bulan, biasanya terjadi
pada anak usia > 7 tahun
2. Lama pengobatan:
Bila remisi, prednison tappering
Bila eksarsebasi, terapi selama 6 bulan, kemudian stop
Tak remisi, terapi 2 bulan, kemudian stop, diberi
sitostatika (seperti: siklofosfamid, vincristin, atau
vinblastin)
3. Alternatif lain dengan Imunoglobulin
9. Edukasi Perawatan / Pencegahan Perdarahan
Prinsip perawatan adalah mencegah perdarahan terutama
perdarahan intrakranial:
- Penderita istirahat, menghindari aktivitas yang dapat
menyebabkan trauma kepala dan peningkatan tekanan
intrakranial seperti lari, bersepeda, memanjat atau beladiri.
- Apabila penderita batuk, segera diobati sesuai penyebab dan
diberikan antitusif
- Mengusahakan defekasi yang baik dengan memberikan
makanan yang mudah dicerna, atau apabila kesulitan
defekasi dilakukan klisma atau diberikan laksansia.
- Bila anak rewel, dicari dan diatasi faktor pencetusnya, kalau
perlu diberikan sedatif.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Perdarahan, jumlah trombosit
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
85 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
LIMFOMA HODGKIN
ICD 10 : C.81.7
1. Definisi Limfoma Hodgkin merupakan bagian dari limfoma maligna
(keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat). Sel
ganas pada penyakit Hodgkin berasal dari sistem limforetikular
ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg pada organ yang
terkena. Limfosit yang merupakan bagian integral proliferasi sel
86 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi
kekebalan selular terhadap sel ganas tersebut.
8. Tatalaksana Pengobatan
1. Stadium I dan II : radioterapi.
2. Stadium III dan IV : kemoterapi menurut protokol MOPP
yang terdiri dari:
Nitrogen mustard 6 mg/m 2 pada hari pertama dan
kedelapan.
Vincristin 1,4 mg/m2 pada hari pertama dan kedelapan.
Prednison 60 mg/m2 mulai hari ke 1-14 kemudian
tapering off.
Procarbazine 100 mg/m2 mulai hari pertama sampai hari
ke-14.
Pemberian obat diulangi setelah masa istirahat selama 2
minggu, pengobatan diberikan selama 18-24 bulan terus
menerus.
87 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
88 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
proliferasi ganas sel-sel jaringan limfoid dari seri limfosit
2. Anamnesis Pembengkakan kelenjar limfe pada daerah-daerah
seperti leher, lipat paha, ketiak, abdomen, atau
mediastinum.
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 6 bulan
terakhir, tanpa diketahui penyebabnya.
Sering demam, sering berkeringat malam, anak tampak
lesu serta nafsu makan berkurang.
3. Pemeriksaan Pembesaran kelenjar limfe yang mempunyai konsistensi
fisik kenyal sampai keras dan biasanya merupakan rangkaian
kelenjar, pembesaran kelenjar tidak nyaeri, kulit sekitar
tidak merah.
4. Kriteria Adanya benjolan, gejala sistemik seperti berat badan
Diagnosis turun, nafsu makam menurun dan adanya hasil PA
5. Diagnosis Limfoma Non Hodgkin
6. Diffrential Limfoma Hodgkin
diagnosis Neuroblastoma
89 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
90 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Anamnesis Gambaraan klinis sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh
umur pasien, gambaran histopatologis, perbedaan
lingkunga tumor dan aberasi genetic yang terjadi.
Adanya massa/ tumor intraabdominal, disertai mual,
muntah, dan demam, penurunan berat badan. Tumor
pada abdomen dapat diraba dengan ukuran yang
bervariasi. Bila tumor menekan ginjal atau ureter dapat
menyebabkan gangguan pasase urine.
3. Pemeriksaan Tumor dapat diraba dengan ukuran bervariasi. Massa
fisik tumor biasanya terletak pada salah satu sisi di samping
garis tengah, walaupun ada beberapa yang membesar jauh
dari tulang belakang. Massa teraba keras/ kistik atau
cenderung berlobus-lobus atau irreguler. Kadang-kadang
didapat pelebaran vena pada dinding perut.
4. Kriteria Anamnesis adanya massa di abdomen
Diagnosis
5. Diagnosis Teratoma
6. Diffrential Neuroblastoma
diagnosis Wilms tumor
7. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunujang Darah/urin rutin biasanya normal. Kimia darah dalam
batas normal. Pada keadaan keganasan dapat dijumpai
peningkatan kadar alfa feto protein (AFP), β-hCG, dan
LDH.
Radiologi:
- Pada BNO dapat dijumpai bayangan massa yang
umumnya pada satu sisi abdomen dengan udara
terdorong kedalam usus diluar massa tersebut. Dapat
dijumpai bayangan kalsifikasi yang irreguler berupa
bercak-bercak kornifikasi yang merupakan
pembentukan tulang dan gigi.
- Pada IVP : tampak pendorongan dari ginjal pada sisi
yang sama dan mungkin akan mengalami penekanan
dengan tanda-tanda hidronefrosis karena penekanan
ureter
Patologi anatomi
8. Tatalaksana Terapi yang utama adalah pembedahan/pengangkatan
massa tumor.
Bila dijumpai komponen ganas maka diberikan terapi
radiasi atau pemberian kemoterapi berupa Actinomycin D,
Siklofosfamid dan Vincristin.
91 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
14. Indikator Klinis dan laboratoris
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
TUMOR WILM
ICD 10 : C.64.9
92 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ganas ginjal primer terbanyak pada bayi dan anak,
mencakup 6% dari seluruh penyakit keganasan pada
anak.
2. Anamnesis Adanya massa dalam perut yang sebagian besar diketahui
pertama kali oleh orang tua atau keluarga.. Kadang
disertai keluhan nyeri perut, BAK merah, penurunan berat
badan, tidak nafsu makan, mual, muntah, lesu, pucat dan
demam
3. Pemeriksaan Ditemukannya tumor dalam perut (tumor abdomen).
fisik
93 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
harus sudah ditegakkan dan segera dilakukan operasi.
2. Kemoterapi, tergantung stadium tumor.
a. Stadium I
Tidak diberikan kemoterapi prabedah.
Aktinomisin D 15 μg/kgbb/hari selama 5 hari
dimulai dalam 24 jam setelah nefrektomi.
Vinkristin 1,5/m2 diberikan pada hari ke 1, 7, 15,
22, dan 29 paska bedah.
Radioterapi tidak diberikan untuk :
1. Pasien kurang dari 2 tahun
2.Pasien berumur lebih dari 2 tahun, bila secara
mikroskopis tidak ditemukan perluasan sel
tumor kedalam kapsul.
Selanjutnya vinkristin dan aktinomisin D agar
diberikan setelah 9 minggu, 3 bulan, 6 bulan, 12
bulan dan 15 bulan paska bedah.
b. Stadium II
Tidak diberikan kemoterapi prabedah. Aktinomisin
D dan vinkristin diberikan dengan dosis dan cara
yang sama seperti pada stadium I.
Penyinaran paska bedah terhadap daerah tumor
dimulai bila mungkin dalam waktu 7 hari setelah
nefrektomi.
Pemberian kemoterapi selanjutnya seperti pada
stadium I, tetapi waktu pemberian : 6 minggu, 3,
6, 9, 12 dan 15 bulan paska bedah.
c. Stadium III
Tidak diberikan kemoterapi prabedah.
Aktinomisin D dan Vinkristin diberikan dengan
dosis dan cara yang sama seperti stadium I.
Penyinaran terhadap seluruh abdomen.
Kemoterapi pemeliharaan terdiri dari Vinkristin,
Aktinomisin D dan Adreamisin. Ketiganya
diberikan pada 6 minggu, 3, 6, 9, 12, 15 bulan
paska bedah. Dosis dan cara pemberian vinkristin
dan aktinomisin D seperti biasa, sedangkan
Adreamisan diberikan dengan dosis 50 mg/m 2
secara I.V. pada tiap hari I. Dosis pertama setelah
penyinaran diturunkan menjadi 30 mg/m2.
d. Stadium IV
Metastase ke paru-paru pada saat diagnosis
dengan tumor primer dapat diangkat : tidak
diberikan kemoterapi prabedah.
Operasi pada hari I (nefrektomi), kemoterapi paska
bedah seperti stadium II.
Radioterapi diberikan sebagai berikut :
- Bila tumor pecah, penyinaran seluruh abdomen
seperti pada stadium III, diberi 7 hari setelah
nefrektomi.
- Bila tumor tidak pecah, maka penyinaran
seperti pada stadium II.
- Bila hanya terdapat metastase ke paru-paru,
penyinaran terhadap lapangan paru ditunda
sampai penilaian respon kemoterapi yang
94 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
pertama dilakukan.
- Bila metastase tidak menghilang diberikan
penyinaran terhadap lapangan paru dengan
dosis 2.000 rad, untuk setiap lapangan paru
dengan dosis ekstra 1.000 rad untuk setiap
metastase, sisa tumor diobati dengan operasi.
Penyebaran hematogen: misalnya ke hati, tulang,
dsb., pada saat diagnosis, tidak diberikan
kemoterapi prabedah, operasi dengan
pengangkatan tumor primer.
Kemoterapi paskabedah: Vinkristin, aktinomisin
D, dan Adreamisin 50 mg/m2.
Penyinaran paska bedah terhadap daerah tumor
dan abdomen,
Kemoterapi pemeliharaan seperti pada stadium III.
Bila perlu dilakukan lobektomi hati untuk sisa
metastase.
e. Stadium V
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan
penilaian secara individual demi pasien (supportif).
9. Edukasi Menjaga personal hygine dan mencegah infeksi selama
kemoterapi
RETINOBLASTOMA
ICD 10 : C.69.20
95 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
yang merupakan keganasan intraokular yang paling sering
terjadi pada anak.
2. Anamnesis Pada tahap dini timbul gejala “cat's eye sign” dengan bintik
hitam mata menjadi putih dan bila terkena sinar mengkilat
seperti mata kucing (“cat’s eye sign”). Sering kali penderita
datang dengan stadium yang sudah lanjut dalam bentuk
bola mata membengkak atau menonjol, kadang menjadi
juling. Dapat adanya benjolan pada kelenjar limfe leher,
sakit kepala, pusing dan nyeri pada tulang.
3. Pemeriksaan Pada mata dijumpai adanya proptosis, leukoria unilateral
fisik atau bilateral.
Pada leher dapat dijumpai adanya pembesaran kelenjar
limfe preaurikuler.
4. Kriteria Laboratorium: BMP dicari apakah adanya sel-sel ganas
Diagnosis metastase ke sumsum tulang, punksi lumbal untuk
mencari adanya sel-sel metastase
Radiologi:
Untuk mencari komplikasi dilakukan foto thorak, dinilai
ada/tidaknya destruksi atau klasifikasi. “ bone survey “
apakah terjadi osteolisis tulang, CT scan orbit
PA (biopsy)
5. Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksan Penunjang
6. Diffrential Retinoblastoma intraokuler:
diagnosis
- Coat disease
- Persistent hyperplastic primary vitreus
- Retrolental fibroplasia
- Hamartoma retina
- Endoftalmitis
- Infeksi toksokara
- Hamartoma astrositik
- Meduloepitelioma
- Katarak
- Uveitis
Retinoblastoma Ekstraokular
- Selulitis orbital
- Neuroblastoma metastatik
- Rabdomiosarkoma orbital
- Leukemia
- limfoma
7. Pemeriksaan Tujuan: untuk menegakkan diagnosis dan staging
Penunujang -USG orbita
-Ct scan dan MRI orbita dan kepala sangat berguna untuk
mengevaluasi nervus optikus, orbital, keterlibatan sistem
saraf pusat dan adanya kalsifikasi intraokular
-Aspirasi biopsi jarum halus hanya direkomendasikan
pada kasus yang diagnosisnya --masih meragukan dan
merupakan langkah yang dilakukan untuk mencegah
penyebaran ekstraokular dari sel tumor
-Untuk melihat penyebaran ekstraokular: aspirasi dan
biopsi sumsum tulang, sitologi --cairan serebrospinal,
96 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
bone scan
8. Tatalaksana Pengobatan
Penatalaksanaan Retinoblastoma meliputi operasi
(enukleasi), radioterapi, dan kemoterapi.
1. Radioterapi :
Retinoblastoma termasuk jenis tumor yang respon
terhadap radioterapi
Stadium dini : dosis tiap hari : 150 - 200 rad (total
dosis < 2 tahun : 3.500 rad; total dosis > 2 tahun :
4.000 rad)
Paska operatif : pelaksanaan segera bila keadaan
umum baik
Syarat radioterapi : Hb > 8 g%, leukosit > 3.000/ µl,
trombosit > 80.000/µl
3. Sitostatika :
Siklofosfamid 300 mg/m2 LPT/minggu I.V. selama 3
minggu, dilanjutkan oral 250 mg/m2 LPT selama 5
hari berturut-turut dimulai hari 1-5.
Methotrexate 20-25 mg/m2 LPT/minggu dimulai hari
kedua.
Vincristin 2-2,5 mg/m2 LPT/minggu, dimulai hari
pertama, minimal 6 minggu.
Prednison dapat dipertimbangkan pemberiannya
dengan dosis 40-50 mg/m2 LPT/hari peroral hari 1-
4.
9. Edukasi Mejaga personal hygiene dan mencegah infeksi selama
kemoterapi
97 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009
98 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Definisi Infeksi dengue disertai dengan adanya bukti plasma
leakage bertendensi menimbulkan renjatan dan kematian
2. Anamnesis 1. Demam atau riwayat demam mendadak tinggi, terus
menerus, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C serta terjadi
kejang demam.
2. Manifestasi perdarahan
3. Dijumpai facial flush
4. Muntah
5. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok
dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga
kanan, dan nyeri perut.
6. Bila syok: lemah, gelisah, produksi urine sedikit, kaki
tangan dingin
7. Terdapat kasus DBD di lingkungan
3. Pemeriksaan 1. Suhu tubuh dapat meningkat, normal atau hipotermi
fisik 2. Manifestasi perdarahan
a. Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2 atau 2.5 cm2)
merupakan manifestasi perdarahan yang paling
banyak pada fase demam awal.
b. Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan
untuk jalur vena (easy bruising).
c. Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum
lunak.
d. Perdarahan mukosa: epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan saluran cerna
e. Hematuria (jarang)
f. Menorrhagia (pada remaja dan dewasa)
3. Ruam makulopapular/rubellaform pada fase demam
4. Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae
kanan
5. Splenomegali (jarang)
6. Terdapat hemostasis yang tidak normal,
7. Terdapat perembesan plasma (khususnya pada rongga
pleura/efusi pleura dan rongga peritoneal/ascites)
8. Dapat disertai dengan hipovolemia, dan syok
Warning Signs: muntah persisten, nyeri perut,
menolak asupan per oral, letargi atau gelisah,
hipotensi postural, oliguria
Gejala kegagalan sirkulasi terjadi pada saat suhu
turun antara hari ke 3-7 demam berupa: kulit dingin
dan lembab, sianosis sirkumoral, nadi lemah dan
cepat. Pasien tampak letargi atau gelisah kemudian
jatuh dalam keadaan syok.
Tanda-tanda syok:
- Nadi cepat dan lemah
- Tekanan nadi sempit, diastolik cenderung naik
atau hipotensi
- Capillary refill time > 3 detik
- Akral dingin
- Gelisah
- Pada profound shock (DBD grade IV), nadi
tidak teraba dan TD tidak terukur
- Oliguria hingga anuria
Pada prolonged shock dapat terjadi:
- asidosis metabolik
99 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
- gagal mutliorgan
- perdarahan masif
- gagal hati dan renal
- ensefalopati
- perdarahan intrakranial
9. Fase konvalesen :
sinus bradikardi
aritmia
timbul ruam konvalesen
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
100 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
5. Diagnosis Demam Berdarah Dengue
6. Diffrential 1. Demam dengue
diagnosis 2. Infeksi virus lainnya seperti campak, rubella, demam
chikunguya
3. Leptospira, malaria dan demam tifoid
4. ITP, leukemia, anemia aplastik
5. Sepsis atau meningitis bila mengalami demam disertai
syok
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit,
Penunujang leukosit dan trombosit) serta hitung jenis saat awal
2. Pemeriksaan Ht dan trombosit secara berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue
Ig M Ig G Interpretasi Keterangan
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi sekunder -
- - Tidak terbukti diulang pada fase
adanya konvalesens
Infeksi
- + Infeksi pada 2-3 diulang pada fase
bulan sebelumnya konvalesens
101 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Keterangan* Kecepatan cairan
(ml/kg/jam)
Setengah 1.5
rumatan
Rumatan (R) 3
Rumatan + 5% 5
defisit
Rumatan+ 7% 7
defisit
Rumatan+ 10% 10
defisit
*Catatan: sesuai untuk berat badan ≤ 20 kg
Sumber: World Health Organization-South East Asia
Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011 dengan modifikasi.
102 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 5-7 hari
lama rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup
6. Tidak ditemukan distress napas dari efusi pleura dan
atau asites
7. Trombosit > 50.000 dengan kecenderugan meningkat.
8. Hematokrit stabil
9. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun
eksternal
10. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
11. Dua hari pasca syok
12. Mulai timbul ruam penyembuhan
16. Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional
Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue
Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1. Available from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html .
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment
prevention and control. Edisi kedua. WHO, Geneva,
1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and
control.2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in
parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823
Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi
Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit
Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR,
Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
103 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Skema 2. Tatalaksana DBD Derajat I dan II
104 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Skema 4. Tatalaksana DBD Derajat IV
105 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
DEMAM DENGUE
Kode ICD : A.91
106 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ruam
manifestasi perdarahan
lekopenia <4000/mm3
trombositopenia <150.000/mm3
tidak ditemukan bukti plasma leakage
ditambah minimal satu dari pernyataan berikut:
Bukti serologis infeksi dengue yang mendukung
Adanya kasus DBD baik di lingkungan sekolah,
rumah atau di sekitar rumah
5. Diagnosis Demam Dengue
6. Diffrential Infeksi Virus: Virus Chikungunya, dan penyakit infeksi
diagnosis virus lain seperti Campak, Campak Jerman, dan virus
lain yang menimbulkan ruam; Virus Eipstein Barr,
Enterovirus, Virus Influenza, virus Hepatitis A dan
Hantavirus
Infeksi Bakteri: Meningokokus, Leptospirosis, Demam
Tifoid, Meiloidosis, Penyakit riketsia, Demam
Skarlatina
Infeksi Parasit: Malaria
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit,
Penunujang leukosit dan trombosit) serta hitung jenis
2. Pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue
Ig Ig G Interpretasi Keterangan
M
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi -
sekunder
- - Tidak terbukti diulang
adanya infeksi
- + Infeksi pada diulang
2-3 bulan
sebelumnya
5. SGOT dan SGPT
6. Gula darah sewaktu
7. USG
8. Tatalaksana 1. Pengambilan keputusan untuk observasi rawat jalan
atau terapi/ rawat inap (Skema 1)
2. Parasetamol
3. Cairan per oral dan atau intravena (Cairan rumatan
atau cairan rehidrasi sesuai derajat dehidrasi apabila
kurang asupan atau perdarahan berat.)
4. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan diazepam bila
kejang
9. Edukasi 1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Melaksanakan upaya pencegahan 3M + (Meguras,
menutup, mengubur tempat penampungan air,
menaburkan bubuk abate, memelihara ikan pemakan
jentik nyamuk, membersihkan lingkungan, fogging,
mencegah gigitan nyamuk)
4. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
107 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
5. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan
untuk diberikan ke RT/RW tempat tinggal pasien
10. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 3-5 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup
6. Trombosit > 50.000, Hematokrit stabil
7. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun
eksternal
8. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
9. Kembalinya nafsu makan
10. Mulai timbul ruam penyembuhan
16. Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional
Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue
Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1. Available
from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html .
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment
prevention and control. Edisi kedua. WHO, Geneva,
1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and
control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in
parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan
bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD.
Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2005.
108 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Skema 1. Skrining pasien tersangka infeksi dengue
109 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
110 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
DEMAM TIFOID
Kode ICD : A01.0
Klasifikasi diagnosis:
Demam Tifoid klinis
Panas lebih dari 7 hari, di dukung gejala klinik lain:
Gangguan GIT : typhoid tongue, rhagaden,
anoreksia, konstipasi/ diare
Hepatomegali
Tidak ditemukan penyebab lain dari panas.
Demam Tifoid
Demam Tifoid klinis + Salmonella typhi (+) pada
biakan darah, urine atau fees dan/atau pemeriksaan
serologis yang mendukung
Demam Tifoid berat
Demam Tifoid + keadaan : lebih dari minggu kedua
sakit, toksik, dehidrasi, delirium jelas, hepatomegali
dan/atau splenomegali, leukopenia <2000/ul,
aneosinofilia, SGOT/ SGPT meningkat
Ensefalopati Tifoid/Tifoid toksik
Demam Tifoid atau Demam Tifoid klinis disertai satu
atau lebih gejala:
kejang
111 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
kesadaran menurun: soporous sampai koma
kesadaran berubah/ kontak psikik tidak ada
5. Diagnosis Demam Tifoid
6. Diffrential 1. Stadium dini: Influenza, Gastroenteritis, Bronkitis,
diagnosis infeksi Dengue, Bronkopneumonia
2. Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, Malaria
3. Demam Tifoid berat: Sepsis, Leukemia, Limfoma
7. Pemeriksaan 1. Darah tepi perifer:
Penunujang a. anemia (dapat terjadi akibat supresi sumusm
tulang, defisiensi besi, atau perdarahan usus)
b. leukopenia (jarang kurang dari 3000/µL)
c. limfositosis relatif
d. aneosinofilia
e. trombositopenia (terutama pada demam tifoid
berat)
2. Pemeriksaan serologi:
a. antibodi anti-Salmonela O9, atau
b. kadar IgM dan IgG anti Salmonella
3. Pemeriksaan biakan empedu dari spesimen:
a. darah (minggu 1-2 perjalanan penyakit)
b. urine (minggu ke-2 dan selanjutnya)
c. sumsum tulang (sampai minggu ke 4)
4. Pemeriksaan radiologi:
a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi
pneumonia
b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi
intraintestinal seperti perforasi usus atau
perdarahan saluran cerna
5. EKG bila mencurigai miokarditis
6. Biakan feses saat pulang untuk deteksi karier,
kemudian diulangi lagi 1 minggu kemudian. Apabila
2 kali berturut-turut dalam interval 1 minggu
Salmonella (-), berarti penderita sembuh dan tidak
merupakan carrier.
8. Tatalaksana 1. Antipiretik bila suhu tubuh >38,5°C
2. Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan)
Lini pertama:
Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari,
oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10 – 14
hari, kontraindikasi pada leukosit <2000/µl, dosis
maksimal 2g/hari atau
Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV
selama 14 hari atau
Kotrimoksazol TMP 4 mg/kg/kali, selama 10 hari
Linikedua/ multidrug resisten S. typhi
Seftriakson 80 mg/kg/hari IV selama 5-7 hari
Cefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali
sehari per oral selama 10 hari
Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama,
dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan anti
mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini
kedua
Karier S. typhi (S. typhi tetap ada dalam urin atau
feses selama lebih dari 6 -12 bulan) :
Ampisillin 100 mg/kg/hari, 4x hari atau
112 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Trimetoprim-sulfametoksazol 4-20 mg/kg/hari
selama 6-12 minggu
Lakukan pemeriksaan USG kandung empedu
untuk menentukan ada atau tidaknya kolelitiasis
atau disfungsi kandung empedu
3. Kortikosteroid diberikan pada demam tifoid berat
dengan perubahan status mental (Ensefalopati Tifoid)
atau syok yaitu dexametason 3mg/kg/kali (1x) IV,
dilanjutkan 1mg/kg/kali, setiap 6 jam sampai
dengan 48 jam (penggunaan lebih dari 48 jam akan
meningkatkan angka relaps)
4. Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi
usus
9. Edukasi 1. Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
2. Indikasi rawat:
Demam Tifoid klinis bila ada hiperpireksia,
dehidrasi atau KU lemah.
Semua Ensepalopati Tifoid
Semua demam Tifoid dengan komplikasi
3. Imunisasi
Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide)
usia 2 tahun atau lebih (IM), diulang tiap 3 tahun
Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia 6
tahun dengan interval selang sehari (1,3,5),
ulangan setiap 3-5 tahun. Belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk
turis yang bepergian kedaerah endemik
4. Tirah baring
5. Isolasi memadai
6. Kebutuhan cairan dan kalori dipenuhi. Diet lunak,
mudah dicerna.
7. Higiene perorangan dan lingkungan karena
penularan melalui fekal oral
10. Prognosis Dengan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat:
Ad vitam: bonam
Ad sanationam: ad bonam
Ad functional: ad bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 7-10 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
16. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella
infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of
the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk
Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics;
113 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2006, h.579-84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long
SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles
and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke-
2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the
gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter JH,
Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious
diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004,
h. 212-3
5. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL.
Textbook of pediatric infectious disease, 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders: 2004.
6. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS.
Buku ajar infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua.
Jakarta: IDAI; 2008.
114 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
RSUD BANYUASIN
MALARIA
Kode ICD : B50-54
115 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
:
a.Temperatur > 41C
b.Nadi filiformis
c.TD sistolik < 50 mmHg
d.Pucat
e.Takipneu
f.GCS < 11
g.Manifestasi perdarahan
h.Tanda dehidrasi
i.Ikterik
j.Terdengar ronchi
k.Oliguria hingga anuria
l.Kelainan neurologis berupa gejala rangsang
meningeal dan atau refleks patologis
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
116 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
hyperparasitaemia (> 2%/100 000/μl pada daerah
transmisi rendah atau >5% atau 250.000/ul pada
daerah transmisi tinggi)
hiperlaktatemia
gangguan ginjal
8. Tatalaksana 1. Antipiretik apabila demam > 38.5oC
2. Suportif (atas indikasi)
Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular
dan jaringan dengan pemberian oral atau
parenteral
Pelihara keadaan nutrisi
Transfusi darah pack red cell 10 ml/kg atau whole
blood 20 ml/kg apabila anemia dengan Hb
<7,1g/dl
Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen
darah yang sesuai
Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila
perlu pasang CVP.
Dialisis peritoneal dilakukan pada gagal ginjal
Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu
berikan oksigen
Apabila terjadi gagal nafas perlu pemasangan
ventilator mekanik
Pertahankan kadar gula darah normal.
3. Medikamentosa
Plasmodium falciparum
Lini Pertama: Artemisinin-based combination therapy
(ACT)
1. Artensunat + Amodiakuin + Primakuin
Artesunat (10 mg/kg) + Amodiakuin (4 mg/kg)
per oral dosis tunggal selama 3 hari (maks 4
tablet)
Setiap kemasan kombinasi artesunat-
amodiakuin terdiri dari 2 blister yaitu blister
artesunat 12 tablet @ 50mg dan blister
amodiakuin: 12 tablet @ 200mg 153mg
amodiakuin basa
Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal
hanya pada hari pertama (maks 3 tablet)
Tiap tablet primakuin mengandung 15 mg
basa.
Primakuin tidak boleh diberikan pada anak <
1 tahun dan penderita defisensi G6PD
2. [Artemether + lumefantrine (Coartem)] +
Primakuin
Artemether ((5–14 kg: 1 tablet; 15–24 kg: 2
tablet; 25–34 kg: 3 tablet; and > 34 kg: 4
tablet), diberikan 2 kali sehari untuk 3 hari,
setara dengan dosis artemether 2-4 mg/kg dan
lumefantrine 10-16 mg/kg.
Tiap tablet coartem mengandung 20 mg
artemether dan 120 mg lumefantrine
Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal
3. [Dihidroartemisinin + piperaquin (Arterakine)] +
117 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Primakuin
Dihydroartemisinin 4 mg/kg/hari (2-10
mg/kg/hari) dan piperaquine 18 mg/kg/hari
(16-24 mg/kg/hari) satu kali sehari untuk 3
hari
Tiap tablet arterakine mengandung 40 mg
dihydroartemisinin dan 320 mg piperaquine
Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal
Lini Kedua
Bila obat tidak tersedia, maka digunakan :
1. Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kg terbagi dalam 3
hari dengan perincian
Hari I: 10 mg/kg peroral + Primakuin 0,75
mg/kg peroral
Hari II: 10 mg/kg peroral
Hari III: 5 mg/kg peroral
2. Kombinasi kina + doksisiklin/klindamisin
Kina dosis 30 mg/kg/hari peroral dibagi 3
dosis diberikan selama 7 hari. Kemasan tablet
kina yang beredar di Indonesia: 200mg kina
fosfat atau kina sulfat.
Doksisiklin diberikan untuk anak 8-14 tahun
dengan dosis 2 mg/kg/hari selama 7 hari.
Sediaan doksisiklin yang tersedia tablet 50 mg
dan 100 mg.
Untuk anak di bawah 8 tahun doksisiklin
diganti clindamycin dengan dosis 10
mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
3. Kombinasi tetrasiklin/klindamisin + primakuin
Tetrasiklin diberikan dengan dosis 4-5
mg/kg/6 jam selama 7 hari.
Untuk anak di bawah 8 tahun tetrasiklin
diganti clindamycin dengan dosis 10
mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
Primakuin diberikan dengan dosis 0,75
mg/kg/dosis tunggal hanya pada hari pertama.
Plasmodium vivax & P. ovale:
Lini Pertama
Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Dosis dan lama pemberian Artesunat + Amodioakuin
sama dengan pada malaria falciparum + Primakuin
0,25 mg/kg/hari selama 14 hari
Lini Kedua
Kina + Primakuin
Kina 30mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari +
primakuin 0,25 mg/kg/hari selama 14 hari
118 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Artesunat+Amodiakuin dengan dosis yang sama
diberikan 1x/minggu selama 8-12 minggu
Plasmodium malariae
ACT 1x/hari selama 3 hari dengan dosis sama
dengan pengobatan malaria lainnya
119 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
menimbulkan kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan
kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan
primakuin dengan dosis 0,75 mg/kg.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina
parenteral oleh karena itu dianjurkan
pemberiannya dalam Dextrose 5%
120 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
8. WHO. Guidelines for the Treatment of Malaria.
2nd edition. 2010.
9. Harijanto, P. Eliminasi Malaria pada Era
Desentrallisasi. Dalam : Jendele Data dan Informasi
Kesehatan : Epidemiologi Malaria di Indonesia.
Triwulan I. 2011.
121 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
DIFTERI
Kode ICD : A.36
122 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dan epigastrium serta interkostal, sianosis
d. Derajat IV: Letargi, kesadaran menurun,
pernafasan melemah, sianosis
123 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Cairan parenteral diberikan untuk mempertahankan
hemodinamika tetap baik
5. Pemenuhan kebutuhan kalori, protein, cairan dan
elektrolit yang adekuat sesuai klinis menurut berat
badan dan umur, bila tidak dapat oral dapat
diberikan parenteral.
6. Dapat diinhalasi dengan nebulizer dengan NaCL 0.9%
agar jalan napas tetap bebas serta untuk menjaga
kelembaban udara pada pasien dengan difteria laring
Spesifik
1. Segera diberikan Anti Difteria Serum (ADS) secara
intravena (jika difteri dicurigai (tersangka difteri),
ADS harus segera diberikan tanpa menunggu hasil
laboratorium), didahului dengan uji kulit dengan cara
menyuntikan 0,1 ml ADS yang telah diencerkan
dengan NaCl 0,9% 1:100. Uji kulit dibaca dalam 20
menit dan dinyatakan positif bila timbul bentol
berukuran 10 mm atau lebih.
Dosis ADS yang diberikan tergantung lokasi dan
waktu ADS diberikan:
124 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1 1:1.000 0,1
2 1:1.000 0,3
3 1:1.000 0,6
4 1:100 0,1
5 1:100 0,3
6 1:100 0,6
7 1:10 0,1
8 1:10 0,3
9 1:10 0,6
10 Tanpa 0,1
pengenceran
11 Tanpa 0,3
pengenceran
12 Tanpa 0,6
pengenceran
13 Tanpa 1,0
pengenceran
2. Antibiotik:
Penisilin prokain 50.000-100.000 U/kg/hari selama
14 hari
Apabila hipersensitif terhadap penisilin diberikan
eritromisin 40-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (4x
sehari) selama 14 hari
3. Eliminasi difteri harus dibuktikan dengan dua kali
beruturut-turut hasil biakan negatif setelah 24 jam
antibiotik dihentikan.
4. Kortikosteroid diberikan bila terdapat gejala
obstruksi saluran napas bagian atas (dengan atau
tanpa bullneck) atau bila terdapat miokarditis.
5. Setiap penemuan kasus difteri (tersangka/terbukti)
harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan dalam waktu 1
x 24 jam
6. Vaksinasi difteri diberikan saat masa penyembuhan
penyakit
7. Pengobatan kontak (bekerja sama dengan petugas
surveilans Dinas Kesehatan)
Kontak erat, atau kontak serumah:
a. Surveilans
b. Vaksinasi difteri (sesuai usia)
c. Biakan apusan hidung dan tenggorok untuk C.
diphtheriae
d. Pemberian antibiotik:
Benzathine Penicillin G Intramuskular (dosis
tunggal) dengan dosis
600.000 IU untuk usia <6 tahun dan
1.200.000 IU untuk usia 6 tahun atau lebih;
atau
Eritromisin oral selama 7 hari dengan dosis
40 mg/kg BB/hari untuk anak
1 g/hari untuk dewasa
125 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Algoritma tatalaksana:
126 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
• Cepat lambatnya pemberian toxin
Hari pertama 0,3% (mortalitas)
Hari kedua 4%
Hari ketiga 12%
> hari ketiga 25%
Ad sanationam: bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 2-3 minggu
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
Tidak dijumpai komplikasi
16. Kepustakaan 1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL.
Textbook of pediatric infectious diseases. 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2009.
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and
practice of pediatric infectious diseases. 2nd ed.
Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious
disease of children. 11th ed. Philadelphia: Mosby;
2004.
4. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision
making strategies. WB Saunders: Philadelphia; 2002.
5. Red book, report of committee on infectious disease,
24th ed. American academy of pediatrics 2009
6. Top FH, Wehrle PF. Diphtheria. Communicable and
infectious disease. St Louis: Mosby; 1976. h. 223-38.
127 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
MORBILI
Kode ICD : B05
128 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
6. Diffrential 1. Rubela
diagnosis 2. Demam skarlatina
3. Eksantema subitum
4. Infeksi stafilokokus
5. Ruam akibat obat-obatan
129 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dengan gizi buruk dan anak berumur lebih kecil:
diare dengan dehidrasi, otitis media, croup,
bronkopneumonia, ensefalitis akut, SSPE
7. Imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan,
diulang saat masuk sekolah SD (program BIAS), atau
imunisasi MMR pada umur 12-15 bulan diulang saat
umur 5-6 tahun.
8. Pada anak yang pernah menderita campak, imunisasi
tidak perlu diberikan
10. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
11. Tingkat III
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 3-5 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Perbaikan klinis (tanpa sesak maupun diare)
3. Nafsu makan baik
4. Ruam kulit mulai menjadi kehitaman dan
mengelupas.
16. Kepustakaan 1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL.
Textbook of pediatric infectious disease, 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders: 2004.
2. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS.
Buku ajar infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua.
Jakarta: IDAI; 2008. American Academy of Pediatrics.
Measles. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 Report of
the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk
Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics;
2006, h. 441-52
3. Samuel LK. Measles (Rubeola). Dalam: Anne AG,
Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s
infectious diseases of children. Edisi ke-11.
Philadelphia; 2004. h. 353-68
4. Maldonado YA. Rubeola virus (measles and subacute
sclerosing panencephalitis). Dalam: Long SS,
Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and
practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003, h.1148-55
5. Maldonado YA. Measles. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004, h. 1026-32.
6. American Academy of Pediatrics. Measles. Dalam:
Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA,
penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee
in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village,
IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h. 441-52
130 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
131 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SEPSIS
Kode ICD : A41.9
132 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Hiperventilasi
5. Gangguan perfusi atau hipotensi
6. Dehidrasi
7. Perut kembung
8. Timbulnya petekia dan purpura
9. Ditemukan selulitis atau inflamasi sendi
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Sepsis
6. Diffrential 1. Intoksikasi
diagnosis 2. Sindrom Kawasaki
3. Leptospirosis
4. Tuberkulosis
5. Malaria
6. Kriptokokosis
7. Penyakit Lyme
8. Rocky Mountain Spotted Fever
9. Keganasan
7. Pemeriksaan 1. Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, hitung
Penunujang jenis leukosit, dengan apus darah tepi, LED
2. SGOT, SGPT, Bilirubin Total, Direk dan Indirek
3. Gula Darah Sewaktu
4. Ureum dan Creatinin
5. CRP
6. Procalcitonin
7. Elektrolit: Na, K, Ca, Cl
8. PT, aPTT, d-dimer, fibrinogen
9. Analisa gas darah
10. Urinalisis
11. Biakan darah berulang
12. Biakan urin
13. Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses
14. Biakan jamur pada darah dan urin
15. Pemeriksaan radiologis
16. Laktat
8. Tatalaksana 1. Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat
diberikan:
a. Sefotaksim 100-150mg/kgBB/hari iv dalam 3
dosis atau Ampicillin (150-200 mg/kg/hari iv
dalam 3 dosis) + Gentamisin (5-7 mg/kg/hari
dalam 2 dosis atau dosis tunggal)
b. Antibiotik spektrum luas sesuai pola kuman
rumah sakit jika kuman berasal dari health care
associated infections (HAISs)
c. Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan
bersama obat di atas bila didapatkan kecurigaan
bakteri anaerob.
d. Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi,
antibiotik diberikan secara definitif.
2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi
cairan, koreksi asam-basa.
3. Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien,
antara lain dengan pemberian oksigen dan
mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka
133 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Terapi Oksigen
5. Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
6. Terapi cairan intravena termasuk TPN
7. Glucose control: pertahankan kadar gula darah >70
mg/dl
8. Anti jamur sistemik atas indikasi
9. Antipiretik: parasetamol
10. Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
11. Terapi inhalasi
12. Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin
13. Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
14. Source control: drain dan debridement sumber
infeks bila memungkinkan
9. Edukasi 1. Tirah baring
2. Imunisasi
3. Perbaiki nutrisi
4. Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
5. Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam: dubia
11. Tingkat III
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 10-15 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi
16. Kepustakaan 1. Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP,
Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
2. Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam:
Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE.
Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke
13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
3. Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric
infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB
Lippincott, 1989. H 292-9
4. Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic
shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis Journ,
1992; 11: 739-49
5. Goldstein B, Giroir B, Rnadoplph A; International
Consensus Conference on Pediatric Sepsis.
International pediatric sepsis consensus conference :
definition for sepsis and organ dysfunction in
pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005. Jan;6(1):2-8
6. Dellinger RP, et al. Surviving Sepsis Campaign :
International Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care
134 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Medicine, 2013. Feb;41(2):580-637
135 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK
ICD-10 : I09.8
136 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
a. Bunyi jantung melemah
b. Adanya bising sistolik, mid diastolik di apeks atau
bising diastolik di basal jantung
c. Perubahan bising misalnya dari derajat I menjadi
derajat II.
d. Takikardia / irama derap
e. Kardiomegali
f. Perikarditis
g. Gagal jantung kongestif tanpa sebab lain.
3. Korea Sydenham
Gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan
sukar dikendalikan. Seringkali disertai dengan
kelemahan otot dan gangguan emosional. Semua otot
terkena, tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan
ekstremitas.
4. Eritema marginatum
Kelainan kulit berupa bercak merah muda, berbentuk
bulat, lesi berdiameter sekitar 2,5 cm, bagian
tengahnya pucat, sedang bagian tepinya berbatas
tegas, tanpa indurasi, tidak gatal, paling sering
ditemukan pada batang tubuh dan tungkai proksimal.
5. Nodul subkutan
Terletak di bawah kulit, keras, tidak sakit, mudah
digerakkan dan berukuran 3-10 mm. Lokasinya sekitar
ekstensor sendi siku, lutut, pergelangan kaki dan
tangan, daerah oksipital, serta di atas prosesus
vertebra torakalis dan lumbalis.
137 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit
Jantung Rematik (berdasarkan Revisi
Kriteria Jones)
5. Diagnosis
Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (ICD-10 :
I09.8)
6. Diffrential 1. Juvenile rheumatoid arthritis
diagnosis
2. SLE, artritis reaktif, artritis infeksius
3. Artritis akut karena virus (rubella, parvovirus, hepatitis
B, herpes, enterovirus)
7. Pemeriksaan 1. Laboratorium: ASTO dan kultur apus tenggorokan
Penunujang
2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Tatalaksana 1. Antibiotika
a. Untuk Eradikasi:
Benzatin penisilin.G:
BB ≤27 kg = 600.000-900.000 unit
BB ≥27 kg = 1,2 juta unit
Bila tidak ada, dapat diberikan Prokain Penisilin
50.000 Iµ/kgBB selama 10 hari.
Alternatif lain:
138 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Penisilin V (oral): BB ≤27 kg 2-3 x 250 mg
- Eritromisin
- Klaritromisin
- Azitromisin
139 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
karditis sampai usia 21 tahun
b.Kemudian
dosis
dikurangi
menjadi
60
mg/kg/
hari (4-6
mgg)
140 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Tabel 4 Petunjuk tirah baring dan ambulasi
Kardit Kardit
Hanya
is is Karditis
Artriti
Ringa Sedan Berat
s
n g
141 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
12. Tingkat I / II
Rekomendasi
13. Penelaah A
Kritis
14. Indikator SMF Kesehatan Anak
medis
15. Target 1. Gagal jantung telah teratasi.
2. Jadwal tirah baring dan terapi steroid telah selesai.
16. Kepustakaan 1. Eradikasi streptokokus pada tenggorokan dan
profilaksis sekunder dengan antibiotika.
2. Mengurangi dan mengatasi kecacatan pada katup
jantung.
3. Mengurangi dan mencegah komplikasi
1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th
edition. Mosby Elsevier, Texas.
2. World Health Organization 2004, WHO technical report
series: rheumatic fever and rheumatic heart disease,
Geneva.
3. Working Group on Pediatric Acute Rheumatic Fever
and Cardiology 2008, Consensus guidelines on
pediatric acute rheumatic fever and rheumatic heart
disease, Indian Pediatrics, vol. 45, pp. 565-573.
4. National Heart Foundation of Australia and the
Cardiac Society of Australia and New Zealand 2006,
Diagnosis and management of acute rheumatic fever
and rheumatic heart disease in Australia: an evidence-
based review, National Heart Foundation of Australia.
5. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar
kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.
6. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005,
Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak,
UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.
142 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
DEKOMPENSASI KORDIS
ICD-10 : I51.9
143 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Heart Association):
- Derajat I : asimptomatik
- Derajat II : dispnu bila aktivitas sedang
- Derajat III : dispnu bila aktivitas ringan
- Derajat IV : dispnu dalam keadaan istirahat.
5. Diagnosis Dekompensasi Kordis (ICD-10 : I51.9)
6. Diffrential Diagnosis banding etiologi:
diagnosis
1. Peningkatan beban volume: DSV,
DAP, insufisiensi katup jantung, anemia, gagal ginjal
dengan retensi cairan, dsb.
2. Peningkatan beban tekanan:
stenosis katup aorta atau pulmonal, hipertensi
sistemik/pulmonal, dsb
3. Gangguan miokard:
kardiomiopati, miokarditis
4. Perubahan frekuensi denyut
jantung: SVT, atrial flutter, atrial fibrilasi dsb.
7. Pemeriksaan 1. EKG
Penunujang 2. Lab darah: Hb, lekosit, hitung jenis, LED.
3. Foto thorak
4. Analisis gas darah dan elektrolit
5. Ekokardiografi
8. Tatalaksana 1. Istirahat di tempat tidur, posisi setengah duduk. Bayi
ditidurkan dengan posisi 30-45 derajat.
4. Medikamentosa:
144 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
hati pemberian digitalis pada DR/PJR,
bronkopnemonia. Digitalis tidak boleh diberikan
pada stenosis aorta, stenosis pulmonal, koarktasio
aorta, anemia (Hb <6 g%).
c. Vasodilator
Diberikan pada:
- Dekompensasi kordis yang disebabkan
pirau besar (DSV, DAP, DSAV)
- Dekompensasi kordis yang tidak responsif
dengan pengobatan di atas.
Dapat diberikan Kaptopril oral, dengan dosis 0,1-2
mg/kgBB/kali, dengan dosis maksimum 6
mg/kgBB/hari (dipilih dosis rendah). Diberikan
dalam tiga kali pemberian.
5. Atasi penyakit utama atau penyakit penyerta (RHD),
bronkopnemonia, anemia, CHD, dll.
6. Diet rendah garam
7. Pengawasan yang ketat terhadap gejala klinik untuk
menilai:
- Frekuensi denyut jantung, frekuensi napas
- Berat badan
- Tekanan vena jugularis
- Pembesaran hati, edema
- Produksi urin dalam 24 jam
9. Edukasi 1. Definisi dan etiologi: memahami penyebab dan gejala
yang timbul.
2. Prognosis: memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis
3. Pemantauan gejala: mengetahui mengapa dan kapan
harus ke dokter/rumah sakit
4. Terapi farmakologi: memahami indikasi, dosis, dan
efek obat
5. Diit, latihan
10. Prognosis Tergantung faktor pencetus/penyebab yang mendasari;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Gagal jantung teratasi
medis
145 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
15. Target 1. Menghilangkan faktor penyebab, misalnya penutupan
duktus arteriosus persisten
2. Menghilangkan faktor presipitasi, misalnya mengobati
infeksi, anemia, aritmia
3. Mengatasi gagal jantung
16. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for
practitioners, 5th edition. Mosby Elsevier, Texas.
2. The Task Force for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the
European Society of Cardiology 2012, ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2012, European Heart Journal, vol. 33, pp. 1787-1847.
3. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S,
Idris, NS & Gandaputra, EP 2009, Pedoman pelayanan
medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
4. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994,
Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
5. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE &
Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung pada
bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.
146 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
1. Definisi
Kelainan jantung bawaan yang ditandai dengan tetap
terbukanya duktus arteriosus.
2. Anamnesis 1. Adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
2. Takipneu.
3. Gangguan kesulitan minum.
4. Gangguan toleransi latihan,
5. Riwayat infeksi saluran nafas berulang.
3. Pemeriksaan 1. DAP kecil/sedang: BJ I dan BJ II normal, bising kontinu
fisik derajat III-V pada ICS II kiri linea sternalis.
2. DAP besar: hiperaktivitas ventrikel kiri dan kanan, murmur
kontinu kasar derajat III-IV pada ICS II kiri linea sternalis,
murmur diastolik di apeks.
3. DAP dengan hipertensi pulmonal: P2 mengeras dan bising
sistolik.
4. Kriteria 1. Anamnesis.
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik jantung: tetapkan
perkiraan besar DAP. tetapkan apakah terjadi gagal
jantung, tanda-tanda hipertensi pulmonal serta
adanya sindroma Eisenmenger
3. EKG untuk menentukan adanya
beban volume
4. Foto thorak untuk menilai corakan
vaskuler paru
5. Ekokardiografi untuk menentukan
besarnya DAP
6. Kateterisasi hanya dilakukan bila
dicurigai ada hipertensi pulmonal.
5. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten (ICD-10 : Q25.0)
6. Pemeriksaan 1. EKG
Penunujang
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
4. Kateterisasi
7. Tatalaksana Tutup DAP
1. Medikamentosa: Ibuprofen
Hari Dosis
I 10 mg/kgBB
147 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
II 5 mg/kgBB
III 5 mg/kgBB
Kontraindikasi:
a. Sepsis,
b. Perdarahan aktif saluran pencernaan,
c. Perdarahan periintraventrikular berat (PPIV derajat
III dan IV),
d. Trombositopenia (<50.000/mm3),
e. Penurunan fungsi ginjal (diuresis <1 cc/kgBB/jam;
serum kreatinin ≥1,3 mg/dL),
f. Penyakit jantung kongenital ductal dependent
g. Enterokolitis nekrotikans.
Indikasi pada:
DAP besar
DAP besar dengan gejala dekompensasi kordis
yang terjadi pada bayi baru lahir atau anak dengan
BB <6 kg
8. Edukasi 1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala
yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke
dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene,
terutama kebersihan gigi dan mulut untuk mencegah
terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk
penutupan DSV
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan
efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis.
11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
148 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Perbaikan klinis dan keadaan
medis umum membaik
149 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
150 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
DSV dengan hipertensi pulmonal
2. Operasi
1) Prosedur:
- PA banding: merupakan prosedur yang bersifat
paliatif (untuk mengurangi aliran darah ke paru
dan menurunkan tekanan arteri pulmonalis).
Prosedur ini jarang dilakukan kecuali bila
terdapat lesi tambahan lain sehingga prosedur
untuk menutup DSV sulit dilakukan.
151 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
6. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis.
10. Prognosis Tergantung ukuran, lokasi, dan ada tidaknya hipertensi
pulmonal;
152 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
4. Kriteria 1. Anamnesis
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG: RAD, RVH, RBBB.
4. Foto thorak: kardiomegali dan corakan vaskular paru
meningkat.
5. Ekokardiografi: untuk memastikan defek dan
mengukur besar defek.
a. Berdasarkan lokasi:
DSA primum
DSA sekundum
DSA kecil
DSA besar
c. Berdasarkan tekanan pulmonal:
153 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
6. Pemeriksaan 1. EKG: untuk menentukan adanya beban volume.
Penunujang 2. Foto thorak: untuk menilai corakan vaskuler paru.
3. Ekokardiografi: untuk memastikan defek dan dapat
mengukur besarnya defek.
4. Kateterisasi: bila dicurigai ada hipertensi pulmonal.
7. Tatalaksana Tutup ASD:
1. Tanpa operasi/transkateter: menggunakan ASO
(Amplatzer Septal Occluder)
11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Perbaikan klini dan keadaan umum membaik
medis
2. Gagal jantung teratasi.
2. Mencegah/mengatasi komplikasi
154 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS &
Gandaputra, EP 2009, Pedoman pelayanan medis,
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar
kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005,
Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak,
UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.
155 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
TETRALOGI OF FALLOT
ICD-10 : Q21.3
1. Definisi
Merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terdiri
dari DSV, stenosis pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan,
dan overriding aorta
2. Anamnesis 1. Sianosis saat lahir atau segera setelah lahir
3. Squatting
4. Hipoxic spell
4. Kriteria 1. Anamnesis.
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG.
4. Foto thorak.
5. Ekokardiografi.
Langkah diagnosis
Pikirkan kemungkinan TOF jika menemukan PJB
sianotik atau pada yang relatif ringan pada PJB dengan
gagal tumbuh + gejala squatting + sianosis/sesak pada
peningkatan aktivitas fisik (pada bayi sianosis ketika
menyusu atau menangis).
- RVH
3. Foto thorak:
156 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
- Corakan vaskuler paru menurun
4. Ekokardiografi:
- Overriding aorta
- RVH
5. Diagnosis Tetralogi of Fallot (ICD-10 : Q21.3)
6. Pemeriksaan 1. EKG
Penunujang
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
7. Tatalaksana 1. Medikamentosa
a. Propranolol 1-2 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis
untuk mencegah serangan sianotik (“hypoxic spells”)
b. Deteksi dan terapi anemia defisiensi besi
c. Profilaksis terhadap infective endocarditis untuk
setiap tindakan invasif (Amoksisilin 50 mg/kgBB
selama 5 hari)
d. Pada serangan sianotik (hypoxic spells):
- Pasien diletakkan dalam posisi “knee-chest”:
untuk meningkatkan resistensi sistemik
- Oksigen 2-4 L/menit
- Morfin sulfate 0,1-0,2 mg/kg/subkutan
- Atasi asidosis dengan pemberian Sodium
bikarbonat 1 mEq/kg IV
- Bila dengan terapi di atas belum ada
perbaikan dapat diberikan Propranolol 0,01-0,25
mg/kg/dosis (rata-rata 0,05 mg/kg) IV pelan-
pelan
- Untuk mencegah berulangnya serangan sianotik
diberikan Propranolol oral 1-2 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis
157 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
8. Edukasi Higiene mulut perlu diperhatikan untuk meniadakan
sumber infeksi terjadinya infective endocarditis
11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Hypoxic spell teratasi
medis
15. Target Tindakan operatif koreksi total TOF sudah dilakukan
pada usia 1-5 tahun.
158 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
KAWASAKI DISEASE
ICD-10 : M30.3
2. Konjungtivitis
- Strawberry tongue
b. Gejala-gejala kardiovaskuler:
2. Kardiomegali
3. Efusi perikardial
159 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Sistem genitourinaria: piuria yang steril
Fase Subakut
Fase Konvalesens
160 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
menunggu hari sakit ke-5.
2. Scarlet fever
7. Stevens-Johnson syndrome
10. Leptospirosis
3. Laboratorium
- Piuria
8. Tatalaksana
- Peningkatan enzim hati, hipoalbumin dengan
hiperbilirubinemia ringan (terjadi pada 10% kasus)
- Peningkatan enzim jantung troponin-1
(menggambarkan adanya kerusakan miokardia)
- Kadar lipid abnormal: penurunan HDL terjadi pada
saat sakit, total kolesterol normal, kadar trigliserid
meningkat.
4. Ekokardiografi
Tujuan untuk mendeteksi adanya aneurisma arteri
koronaria dan berbagai disfungsi kardiak lainnya.
a. Aneurisma arteri koronaria terjadi sebelum hari ke
10, selama periode itu terjadi beberapa
peningkatan:
- Arteritis koronaria
161 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
- Penurunan fungsi sistolik LV
- Terjadi regurgitasi katup mitral ringan
- Efusi perikardial
b. Konfigurasi, ukuran, nomor, ada atau tidaknya
intraluminal atau mural trombus sebaiknya
ditelaah lebih lanjut.
162 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Jakarta.
163 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
RSUD BANYUASIN
Skor Ballard)
164 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dan perkembangan intra
masa gestasi
Perawatan:
Dirawat dalam inkubator, jaga jangan sampai
hipotermi, suhu bayi 36,5-37,5oC
Bayi dengan distres pernapasan pengobatan lihat bab
distres pernapasan.
Tentukan usia gestasi
Bayi BB >1.500 gram tanpa asfiksia dan tak ada
tanda-tanda distres pernapasan dirawat gabung
Bila bayi <1.500 gram, pindah rawat bagian IKA dan
beri ASI/LLM
Bayi-bayi KMK (Kecil Masa Kehamilan) diberi minum
lebih dini (2 jam setelah lahir)
Periksa gula darah dengan dekstrostik bila ada tanda-
tanda hipoglikemia
Kebutuhan cairan setiap kgBB/24 jam
• Hari ke 1 : 80 cc
• Hari ke 2 : 100 cc
• Hari ke 3 : 120 cc
• Hari ke 4 : 130 cc
• Hari ke 5 : 135 cc
• Hari ke 6 : 140 cc
• Hari ke 7 : 150 cc
• Hari ke 8 : 160 cc
• Hari ke 9 : 165 cc
• Hari ke 10 : 170 cc
• Hari ke 11 : 175 cc
• Hari ke 12 : 180 cc
• Hari ke 13 : 190 cc
• Hari ke 14 : 200 cc
Jenis Cairan IVFD :
• BB >2.000 gram : dekstrose 10% 500 cc + Ca
165 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
glukonas 10%
• BB <2.000 gram : dekstrose 7½% 500 cc + Ca
glukonas 10%
Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 cc / kg BB
166 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
medis
- Kemampuan minum
15. Target Bayi sudah dapat minum secara adekuat sesuai dengan
kebutuhan dan tidak ada komplikasi.
167 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
9. The low birthweight infant. Dalam : Levene MI,
Tudehope DI, Sinha S, penyunting. Essential Neonatal
Mediceine. Edisi 4. Australia : Blackwell Publishing,
2008 ; 77 – 86
168 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ASFIKSIA PERINATAL
P 21.9
iskemik )
169 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
keringkan, rangsangan taktil, reposisi dan nilai: pernapasan frekuensi
jantung dan warna kulit.
B. Ventilasi Tekanan Positip ( VTP )
Ventilasi tekanan positip dapat diberikan dengan balon resusitasi dan
sungkup atau dengan balon resusitasi dan intubasi endotrakheal
(ETT).
1. Indikasi :
Bila bayi apnu/megap-megap atau bernapas tetapi frekuensi
jantung <100 kali permenit atau sianosis sentral menetap meskipun
diberikan oksigen aliran bebas sampai 100 %
2. Frekuensi :
Lakukan ventilasi dengan frekuensi 40-60 kali per menit selama 30
detik dengan oksigen 21 - 100% ( pada bayi cukup bulan dimulai
dengan oksigen 21 % dan pada bayi preterm dimulai dengan
oksigen lebih dari 21 % yang dapat ditingkatkan sampai dengan
target saturasi oksigen preduktal tercapai ) , lalu nilai frekuensi
jantung :
Frekuensi Jantung: Tindakan:
a. Di atas 100 : 1. Bila napas spontan dan saturasi
oksigen membaik, VTP hentikan bertahap.
2. Bila tidak bernapas, atau megap-megap
lanjutkan VTP
b. Diantara 60 dan 100 : 1. Membaik, pasang pipa orogastrik dan
lanjutkan VTP
2. Tidak membaik, evaluasi VTP yang
telah dilakukan ( posisi, perlekatan
sungkup, jalan napas bersih, mulut
terbuka, tekanan pada balon ), per-
timbangkan intubasi dan lanjutkan VTP
c. Di bawah 60 : 1. Lanjutkan VTP
2. Mulai kompresi dada
C. Kompresi Dada
1. Indikasi:
Frekuensi jantung < 60 kali per menit setelah 30 detik mendapat
VTP dengan oksigen 100%.
2. Frekuensi:
Kompresi dada dilakukan selama 30 detik. Setiap 2 detik dilakukan
3 kali kompresi dada dan 1 kali VTP ( selama 30 detik dilakukan
45 kali kompresi dada dan 15 kali VTP detik).
3. Evaluasi:
Setelah 30 detik melakukan tindakan kompresi dada dan ventilasi,
periksa frekuensi jantung atau nadi. Bila frekuensi jantung:
a. Kurang dari 60 kali per menit: lanjutkan tindakan kompresi
dada dan ventilasi dan pemberian epinefrin.
b. 60 kali per menit atau lebih : hentikan tindakan penekanan
dada tetapi lanjutkan ventilasi dengan oksigen 100%.
D. Intubasi Endotrakheal
1. Indikasi :
a. Bila cairan amnion bercampur mekoneum dan bayi mengalami
depresi napas, tonus otot jelek atau denyut jantung < 100 kali
permenit maka intubasi dilakukan pada kesempatan pertama
( perlu elakukan penghisapan melalui trakhea untuk mengeluar
kan mekoneum), sebelum memulai tindakan resusitasi yang
lain.
b. Bila VTP dengan balon dan sungkup tidak efektif (tidak
mengembangkan dada) atau memaksimalkan efisiensi VTP,
membutuhkan pemberian VTP agak lama, dicurigai ada hernia
diafragmatika, pemberian surfaktan dan bayi berat amat sangat
170 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
E. Obat-obatan
Obat-obatan baru diperlukan pada resusitasi neonatus bila tidak memberikan
respon dengan pemberian VTP yang adekuat dengan oksigen 100 % dan
kompresi dada.
1. Epinefrin
a. Indikasi:
- Frekuensi jantung tetap di bawah 60 kali per menit walaupun telah dilakukan
paling sedikit 30 detik ventilasi adekuat dengan oksigen 100% dan penekanan
dada.
- Frekuensi jantung nol. Bila detak jantung tidak dapat dideteksi, epinefrin
harus diberikan segera pada saat yang sama dengan VTP dan penekanan dada
dimulai.
b. Pemberian:
Dosis 0,1-0,3 ml/kgBB epinefrin 1:10.000 intravena atau 0,3-1
ml/kgBB melalui ETT, dapat diulang setiap 3-5 menit bila frekuensi
jantung kurang dari 60 kali per menit.
2. Cairan penambah volume darah
Bila bayi tidak memberikan respon terhadap resusitasi dan ada bukti
kehilangan darah maka indikasi pemberian cairan penambah volume
darah, yaitu garam fisiologis atau ringer laktat dengan dosis 10
ml/kgBB.
3. Nalokson
Bila ibu mendapat morphin atau petidin dalam waktu 4 jam terakhir
dan tidak ada usaha napas, tetapi frekuensi jantung dan kulit normal
langsung diberikan Nalokson 0,1 mg/kgBB intravena melalui vena
umbilikalis atau pipa endotrakeal.
Ingatlah, walaupun didapatkan frekuensi jantung nol, penekanan dan ventilasi
harus dilanjutkan sampai diambil keputusan medik untuk menghentikan
tindakan resusitasi.
Resusitasi dihentikan bila semua langkah dilakukan dengan baik selama 15
menit frekuensi jantung tetap nol.
9. Edukasi Penjelasan mengenai komplikasi jangka panjang dan
jangka pendek dari asfiksia perinatal.
171 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Wilkins, 2005; 302- 26.
3. Sill J. Perinatal asphyxia. Dalam: Gomella TL,
Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, penyunting.
Neonatology, management, procedur, on-call problem,
desease, and drug. Edisi ke 6. New York: Lange McGraw
Hill, 2009;624-36.
4. Goldsmith JP. Delivery room resuscitaion of the
newborn. Dalam : Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC,
penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-perinatal
medicine. Edisi ke 9. Missouri: Elsevier, 2011;449-74
5. Papile LA, Adcock LM. Perinatal Asphyxia. Dalam :
Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting.
Manual of Neonatal care. Edisi ke 6. Philadelphia :
Lippincott William & Wilkins, 2008; 518-28.
172 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
173 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
GAWAT NAPAS PADA NEONATUS
P 22.0
174 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
lebar, bercak infiltrat kasar )
4. Pneumothorak : gejala klinis + foto thorak ( radiolusen
dan kolaps parsial atau total paru yang terkena,
pergeseran mediastinum, pendataran diafragma) +
transiluminasi positip, terutama pada bayi kecil.
5. Hernia Diafragmatika : gejala klinis + foto thorak
( tampak gambaran usus di rongga thorak )
6. Farese Syaraf Frenikus : gejala klinis + foto thorak
( elevasi diafragma sisi farese, pergeseran mediastinum
dan atelektassis ) + USG ( gangguan / berkurang
gerakan diaragma sisi farese )
Transiluminasi
175 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
spuit 5 cc serta three way stopcock
( diagnosis dan terapi )
b. Hernia Diafragmatika : operatif ( repair diafragma )
c. Farese Syaraf Frenikus : konservatif ( bayi
dimiringkan ke sisi farese ), operatif bila setelah 1
bulan tidak ada perbaikan ( plikasi diafragma )
15. Target Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali
16. Kepustakaan 1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E.,
Pryhuber G.S. Acute Respiratory Disorders. Dalam:
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof
the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William
& Walkins, 2005;553-77.
176 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Distress Syndrome and its management. Dalam:
Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting.
Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine.
Edisi 8. Missouri : Mosby Elsevier, 2006;1097-107.
177 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PENYAKIT MEMBRAN HIALIN
P22.0
Sepsis
178 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ceftazidim.
9. Edukasi Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali
11. Tingkat II
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis
medis
15. Target Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali
16. Kepustakaan 1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E.,
Pryhuber G.S. Acute Respiratory Disorders. Dalam:
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof
the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William
& Walkins, 2005;553-77.
179 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
6. Rodriguez R.J., Martin R.J., Fanaroff A.A. Respiratory
Distress Syndrome and its management. Dalam:
Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting.
Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine.
Edisi 8. Missouri : Mosby Elsevier, 2006;1097-107.
180 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SINDROMA ASPIRASI MEKONEUM
P24.0
1. Definisi Masuknya air ketuban yang bercampur mekoneum ke
dalam saluran nafas
6. Diffrential Pneumonia
diagnosis
181 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
serta komplikasi yang mungkin timbul.
11. Tingkat II
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis : Tanda-tanda gawat nafas
medis
15. Target Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali
16. Kepustakaan 1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E.,
Pryhuber G.S. Acute Respiratory Disorders. Dalam:
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof
the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William
& Walkins, 2005;553-77.
182 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Blackwell Publishing, 2008 ; 92-110.
183 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
GANGGUAN BICARA DAN BAHASA PADA ANAK
F80.8
184 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
yang tak sesuai dengan umur anak.
- Gangguan komunikasi yang tak tergolongkan
Misal: gangguan suara(karena kelainan pita
suara, kebenaran, kualitas, nada atau suara)
185 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
14. Setelah usia 4 tahun tidak lancar baerbicara.
15. Setelah usia 7 tahun masih ada kesalahan
ucapan.
16. Pada usia berapa saja terhadap hipernasalitas
dan hiponatalitas, sangat keras dan tidak dapat
didengar serta terus menerus
memperdengarkan suara serak.
a. Faktor biologi
- Gangguan pendengaran
- Gangguan perkembangan bahasa (Gangguan
bahasa spesifik = Specific Language Impairment)
- Kelainan organ bicara dan bahasa
- Retardasi mental
- Kelainan genetik atau kromosom
- Autisme
- Mutisme selektif
- Afasia reseptif
- Sindroma Landau-Kleffner (sangat jarang)
- Penyakit metabolik dan neurodegeneratif
b. Faktor lingkungan
- Lingkungan yang sepi
- Status sosial ekonomi
- Teknik pengajaran yang salah
- Sikap orangtua
- Lingkungan yang kurang memberikan stimulasi
- Child abuse
- Bahasa bilingual
2. Pemeriksaan fisik
o TB. PB, Lingkar kepala, THT, organ bicara dan
craniofacial
o Evaluasi perilaku
3. Pemeriksaan penunjang.
o Tes pendengaran dan
o Pemeriksaan penujang lain sesuai indikasi dan
faktor risiko
24. Diffrential - Gangguan pendengaran
diagnosis - Retardasi Mental
- Autisme
Ad.A. Konsultasi
Psikiater anak
Bila ada gangguan bahasa dan tingkah laku.
Ahli THT
186 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran
Ahli syaraf anak
Untuk mengetahui adanya kelainan neurologi
Mencari penyakit metabolik dan gangguan organik
lainnya.
Gangguan Retardasi
Pendengara Motorik : Palsi serebralis Mental
n Personal Sosial : Autisme
ADHD
Tidak bicara
hanya pada Gangguan Perkembangan bicara dan
lingkungan berbahasa :
Terapi
tertentu Tipe ekspresif
wicara
Tipe reseptif – ekspresif
Psikiater /
Gangguan fonologi
Psikolog
Gagap
Mutisme Kelainan Suara
Selektif
Psikiater /
Halusinasi, gangguan pikiran Skizofrenia Psikolog
anak
187 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Anak dengan gejala gangguan bicara dan
berbahasa
Rujuk ke:
Gangguan organik alat Y Bedah
bicara a Mulut /
Neuropedia
Tidak tri
Gangguan Retardasi
Pendengara Motorik : Palsi serebralis Mental
n Personal Sosial : Autisme
ADHD
Tidak bicara
hanya pada Gangguan Perkembangan bicara dan
lingkungan berbahasa :
Terapi
tertentu Tipe ekspresif
wicara
Tipe reseptif – ekspresif
Psikiater /
Gangguan fonologi
Psikolog
Gagap
Mutisme Kelainan Suara
Selektif
Psikiater /
Halusinasi, gangguan pikiran Skizofrenia Psikolog
anak
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator - Kemampuan bahasa dan bicara
medis - Kemampuan sosialisasi dan kognin\si
15. Kepustakaan 1. Glascoe FG. Developmental screening and
surveillance. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook
of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
188 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Elsevier; 2007. h. 74-80.
2. Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno
H, Gde Ranuh IGN, penyunting. Buku Ajar I Tumbuh
Kembang dan Remaja. Jakarta: IDAI; 2005. h. 1-126.
3. Blackman JA. Developmental screening: Infants,
toddlers, and preschoolers. Dalam: Levine MD, Carey
WB, Crocker AC, penyunting. Developmental-
Behavioral Pediatrics. Edisi ke-3. Philadelphia:
Saunders; 1999. h 689-95.
4. Glascoe FG. Developmental screening. Dalam
Parker S, Zuckerman B, Augustyn M, penyunting.
Developmental and behavioral pediatrics. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004. h
41-50.
5. Illingworth RS. The normal child. Edisi 10.
India:Elsevier: 2005. h.127-89.
6. Knight JR dkk, penyunting. Bright Futures case
studies for primary care clinicians: child development
and behavior. The Bright Futures Center for pediatric
education in growth and development, behavior and
adolescent health. Children hospital, Boston. 2001.
7. UKK Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial IDAI.
Deteksi dan intervensi kelainan gangguan bicara
dengan ELMS-2. Yogyakarta, 2007.
8. Judith EC, Nancy TM, Roanne K, Karzon dan jay
FP. Unilateral Hearing loss is associate with worse
speech language score in children. Pediatrics 2010;
125;e1348
189 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
CEREBRAL PALSI
G80.0-8
190 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
c. Spastic diphlegia (G80.1)
d. Spastic paraphlegia
e. Spastic monophlegia dan triphlegi
Dyskinetik Cerebral palsy
a. Athetosis (G80.4)
b. Chorea athetosis
c. Bentuk-bentuk lain
Ataxic Cerebral palsy (G80.8)
Bentuk-bentuk campuran
3. Pemeriksaan penunjang
Untuk mencari faktor risiko dan untuk menyingkirkan
penyebab yang masih aktif atau progresif
191 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
9. Edukasi a. Rencana pengobatan
b. Pengobatan jangka panjang, dan
memerlukan kerja sama dengan keluarga
c. Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat II A
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kemampuan perkembangan motorik, bicara, dan
medis intelektual.
15. Kepustakaan 1. Johnston VM. Cerebral Palsy. Dalam: Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting.
Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 2494-5.
2. Palmer FB, Hoon AH. Cerebral Palsy. Dalam: Parker
S, Zuckerman B. Development and Behavioral
Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2005.
h. 145-51.
3. Blasco PA. Motor Delays. Dalam: Parker S,
Zuckerman B. Development and Behavioral
Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2005.
h 42-7.
4. Williams J, Venning H. Physical disability. Dalam:
Polnay L. Community Paediatrics.Edisi ke-3.
Edinburgh: Churcill; 2003. h. 503-6.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L.
Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh:
Churcill; 2003. h. 469-78.
6. Marwa OE, Sadia AT, Mohaed EA Ahmed MA Ade
EM, Mohamed HM. Role of piracetam in treatment of
cerebral palsy disease. Journal of Behavioral health.
2012;1(1): 53-58
192 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
AUTISME
F84.0
193 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Tak mau menengok bila dipanggil
Seringkali menolak untuk dipeluk
Tidak ada usaha melakukan interaksi dengan
orang lain, asyik main sendiri
Bila didekati untuk diajak main malah menjauh
194 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dari bahan yang kasar
195 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan.
Minimal harus ada satu gejala dibawah ini :
a. Mempertahankan suatu minat atau lebih
dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan
b. Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik
atau rutinitas yang tak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan
diulang-ulang
d. Sering kali sangat terpukau pada bagian-
bagian benda
o Sebelum umur 3 tahun tampak adanya
keterlambatan atau gangguan dalam bidang
1. Interaksi sosial
2. Bicara + Bahasa
3. Cara bermain yang monoton, kurang variatif
o Bukan disebabkan oleh sindroma Rett atau gangguan
disintegratif masa kanak-kanak
5. Diagnosis - Anamnesis
Riwayat gangguan perkembangan bicara dan bahasa
Riwayat gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan
prilaku
- Pemeriksaan fisik terdapat gangguan perilaku yang
khas yaitu hiperaktif atau hipoaktif, gerakan
stereotipik. repetitive, echolalia, dan tidak ada kontak
mata.
- Pemeriksaan penunjang
- Tes pendengaran
- Tes IQ
6. Diffrential 1. Retardasi mental (RM)
diagnosis 2. Skizofrenia
3. Gangguan perkembangan bahasa
4. Gangguan pendengaran
5. PDD yang lain
- Sindroma Rett
- Sindroma Asperger
- Gangguan desintegrasi masa anak
6. ADHD/GPPH
8. Tatalaksana Tujuan :
- mengurangi masalah perilaku yang abnormal
- meningkatkan kemampuan belajar dan
perkembangannya, terutama dalam penguasaan
bahasa
196 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dari: tenaga pendidik, tenaga medis (psikiater, dokter
anak), psikolog. Ahli terapi wicara, pekerja sosial,
fisioterafis dan perawat
Berbagai jenis terapi yang harus di jalankan secara
terpadu tersebut, sesuai dengan keadaan dan keperluan
anak, mencakup :
1. Terapi medikamentosa
2. Terapi nonmedikamentosa
1. Terapi medikamentosa:
Pada penderita autisme dengan gejala-gejala seperti
tempertantrum, agresifitas, melukai diri sendiri dan
perilaku stereotifik, pemberian obat akan membantu
memperbaiki perilaku dan respon anak terhadap
lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima terapi
yang lain. Obat-obat yang diberikan adalah obat-obat
yang mempengaruhi kerja sel otak dan memperbaiki
abnormalitas kadar neurotransmitter, seperti:
- Risperidon, dimulai dengan dosis 2 x 0,1 mg,
dapat dinaikkan 0,05 mg setiap 3-5 hari sampai
tercapai dosis 1-2 mg/hari. Dapat memperbaiki
hubungan sosial, atensi, agresifitas, hiperaktifitas
dan perilaku menyakiti diri sendiri.
- Aripiprazole, dimulai dengan dosis 2 mg sekali
sehari, dapat dinaikkan bertahap hingga maksimal
10 mg/hari. Dapat mengurangi gangguan
iritabilitas yang berhubungan dengan autis
(tantrum, agresivitas, perubahan mood tiba-tiba,
perilaku yang merugikan diri sendiri). Digunakan
pada anak usia 6-17 tahun.
- Haloperidol, dosis 0,25-3 mg/ hari, dibagi 2-3
dosis. Dapat memperbaiki agresifitas,
hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotifik.
- Thioridazine, dosis 0,5-3 mg/ kg/ hari dibagi 2-3
dosis. Dapat menurunkan agresifitas dan agitasi.
2. Terapi nonmedikamentosa:
- Terapi perilaku
Keadaan hiperaktifitas, impulsifitas, gerakan
stereotifik, cara bermain yang tidak sama dengan
anak lain, juga adanya agresifitas, temper tantrum,
dan cenderung melukai diri sendiri memerlukan
intervensi perilaku.
Metode yang banyak dipakai adalah ABA (Applied
Behavioral Analysis). Usia terbaik adalah sekitar 2-
3 tahun dan intensitas terapi sekitar 40 jam
perminggu.
- Terapi bicara
197 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Terapi bicara perlu dilakukan sejak dini dengan
intensif bersama dengan terapi lain.
- Terapi okupasi
Terapi okupasi diperlukan untuk melatih motorik
halus dan ketrampilan agar anak dapat melakukan
gerakan memegang, menggunting, menulis dengan
terkontrol dan teratur.
- Sensori integrasi
Sensori integrasi adalah pengorganisasian
informasi melalui semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan,
pendengaran, body awareness dan gravitasi) untuk
menghasilkan respons yang bermakna.
- AIT (Auditory Integration Training)
Diberikan kepada individu yang hipersensitif
terhadap suara dan mengganggu pendengaran
mereka. Mulanya ditentukan suara yang
mengganggu pendengaran dengan perangkat
audiometer. lalu diikuti seri terapi yang
memperdengarkan suara-suara yang direkam,
tetapi tidak disertai dengan suara yang
menyakitkan. Selanjunya dilakukan desnsitisasi
terhadap suara yang menyakitkan tersebut.
- Terapi Edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan ketrampilan
sosial, ketrampilan sehari-hari agar anak dapat
mandiri. Salah satu metode yang banyak dipakai
adalah metode TEACCH (Treatment and Education
of Autistic and Related Communication
Handicapped Children). metode ini sangat
terstruktur, mengintegrasikan metode klasik yang
individual, metode pengajaran yang sistematik,
terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata
khusus.
- Terapi diet
Terapi diet bebas glutein dan casein bersifat
individual. Dapat dipertimbangkan bila dengan diet
tersebut ada penurunan hiperaktifitas.
9. Edukasi 1. Pengobatan bersifat jangka panjang
2. Sangat memerlukan kerja sama dengan keluarga
3. Terapi bicara dirumah
4. Sekolah dan pendidikan khusus
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Dengan penatalaksanaan yang tepat dan terpadu gejala-
gejala autistiknya bisa dikurangi semaksimal mungkin.
Bila anak tersebut mempunyai kecerdasan yang normal
atau tinggi, tidak tertutup kemungkinan ia bisa mencapai
198 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
jenjang pendidikan yang tinggi.
Prognosis penyandang autisme sangat tergantung dari
diagnosis dini, berat ringannya gejala, kecerdasan anak,
umur pada saat terapi, kemampuan bicara dan terutama
intensitas terapi. Keterlibatan orang tua sangat
mempengaruhi dan penting dalam membantu kemajuan
anaknya .Penyandang autisme dikatakan “sembuh” bila
ia telah bisa membaur dan mandiri dalam masyarakat.
11. Tingkat IB
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator - Kemampuan berkomunikasi
medis - Kemampuan sosialisasi
- Kemampuan kognisi
15. Kepustakaan 1. Dalton R, Forman MA. Autistic Disorder. Dalam:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 87-8
2. Caronna EB. Autism. Dalam: Parker S, Zuckerman B.
Development and Behavioral Pediatric. Edisi 2.
Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 124-9.
3. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L.
Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh;
Churcill; 2003. h. 469-78.
4. Tanguay PE. Pervasive developmental disorders A. 10
year- review. J. Am. Acad. Child Adolesc Psychiatry.
2000; 39:1079-95
5. Maestro S, Muratori F. Attentional skill during the first
6 month of age in autism spectrum disorder. J Am
Acad Child Adolesc Psychiatry. 2002; 41:10
6. Brereton AV, Tonge BJ. Screening young people for
autism with the developmental behavior check-list. J
Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2002; 41:11
7. Baird G, Charman T. A screening instrument for
autism at 18 months of age: A 6- year follow up study.
J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2000; 39:6
8. Alisjahbana A. Tanda awal dari autisme. Disampaikan
pada konferensi nasional autism-1. Jakarta, 2-4 Juli
2003.
9. Filipek PA, Acardo PJ, Aswahwal S, Baronek GT, Cook
EH, Dawson G, dkk. Practise parameter: screening
and diagnosis of autism. Neurology.2000.; 55: 468-79
10. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Washington: American
Psychiatric Association; 1994. h 66-71.
199 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
11. Randall O, Linmarie S, Ronal NM, Patricia CL George
M, Roert DM, William HC , Robert LF. Aripiprazole in
the treatment of irritability in children and
adplesscents with autistic disorder. Pediatric
2009;124;1533-1540
12. Nazni P, Wesely EG, Nishadevi V. Impact of Casein
and Glutein Free Dietary Intervention on selected
Autistic Children. Iran J Pediatr 2008:18:244-250
200 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
201 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Selalu menghindari, menyatakan keengganan
atau mengalami kesulitan dalam keterlibatan
dengan tugas yang membutuhkan usaha mental
yang lama (seperti pekerjaan sekolah dan PR).
Selalu kehilangan barang-barang yang
diperlukan untuk tugas dan kegiatan (mis: tugas
sekolah, pensil, buku, alat-alat atau mainan)
Selalu mudah teralihkan perhatiannya oleh
stimulus dari luar.
Impulsifitas
Selalu cepat-cepat menjawab
pertanyaan sebelum pertanyaan selesai
diajukan.
Selalu kesulitan menunggu dalam
barisan atau menunggu giliran dalam
permainan atau dalam situasi kelompok.
Selalu menyelak atau menyerobot
orang lain (mis: ikut dalam percakapan orang
lain atau permainan)
202 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
E. Tidak ada secara eksklusif selama perjalanan penyakit
perkembangan pervasive, skizofrenia atau penyakit
psikotik lainnya dan tidak disebabkan gangguan mood,
ansietas atau gangguan kepribadian.
5. Diagnosis 1. Anamnesis
- Riwayat perkembangan
- Riwayat keluarga
- Riwayat gangguan perilaku
2. Pemeriksaan fisik.
Untuk menyingkirkan diagnosa banding
Berat badan , tinggi badan, Lingkar kepala
Gangguan perilaku misalnya kontak mata tidak
ada, hiperaktivitas, inattensi dan impulsivitas
Tes Denver, score Conners scale
Pemeriksaan neurologis
3. Pemeriksaan penunjang
Tes pendengaran, tes IQ
Berdasarkan tipe :
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder,
Predominantly Inattentive Type F90.0 : jika kriteria
A(1) dipenuhi tapi kriteria A(2) tidak, dalam 6 bulan
terakhir.
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder,
Predominantly Hiperactive Impulsive Type F90.1 :
jika kriteria A(2) dipenuhi tapi kriteria A(1) tidak,
dalam 6 bulan terakhir.
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder, Combined
Impulsive Type F 90.2 : jika kedua kriteria A(!) dan
kriteria A(2) dipenuhi dalam 6 bulan terakhir
203 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
emosi dan menurunkan sifat antisosial. Medikasi
diberikan jika gejala ADHD menyebabkan efek negatif
yang nyata terhadap kemampuan akademik dan sosial
anak. Obat-obat yang biasa dipakai antara lain:
- Metilfenidat, dimulai dengan dosis 0,3 mg/ kg/
kali, 2 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan 0,15
mg/ kg/ kali sampai didapat efek optimal. Dosis
maksimal 20 mg/ hari.
- Atomoxetine, dimulai dengan dosis 0,5 mg/kg/hari
sehari sekali. Setelah 2-3 hari dosis dapat
ditingkatkan menjadi 2x0,5 mg/kg sampai dosis
maksimal 1,4mg/kg/hari. Dapat meningkatkan
atensi dan mengurangi hiperaktif.
- Risperidon, dimulai dengan dosis 2 x 0,1 mg,
dapat dinaikkan 0,05 mg setiap 3-5 hari sampai
tercapai dosis 1-2 mg/hari. Dapat memperbaiki
hubungan sosial, atensi, agresifitas, hiperaktifitas
dan perilaku menyakiti diri sendiri.
- Dekstroamfetamin, dimulai dengan dosis 0,15 mg/
kg/ kali, 2 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan
0,15 mg/ kg/ kali. Dosis maksimal 5 mg/
hari.
- Pemoline, dosis anak <8 tahun: 37,5 mg pada pagi
hari, anak > 8 tahun: 37,5 mg pagi + 18,75 mg
siang.
Jika satu obat tidak efektif atau timbul masalah,
dapat dicoba kelompok obat lainnya. Medikasi
dimulai dengan dosis paling rendah yang dinaikkan
perlahan-lahan sampai respon optimal. Efek samping
diminimalkan dengan pengaturan dosis, waktu atau
bentuk medikasi. Sekali dosis yang tepat sudah
didapatkan harus dievaluasi ulang dan disesuaikan
terus ke atas karena dapat terjadi efek toleransi atau
anak bertambah besar sehingga dibutuhkan dosis
lebih tinggi. Terapi harus diteruskan sampai lewat
masa remaja ( kecuali 20% anak ADHD yang
sembuh). Keputusan untuk mengakhiri obat
didasarkan pada periode singkat saat stop obat
(biasanya 2-4 minggu) selama masa stress berkurang.
B. Terapi Psikologi
- Latihan orangtua. Dalam tahap terapi tingkah laku,
latihan untuk orang tua merupakan prioritas
tertinggi. Tujuannya untuk mengajar orang tua
bagaimana mengatur pembatas sekaligus insentif
untuk tingkah laku yang tepat dan menimbulkan
respon emosi destruktif. Apa yang dibutuhkan
adalah perubahan komplit dalam respon alami
204 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
terhadap tindakan negatif. Latihan untuk dewasa
(orang tua dan guru) dalam penatalaksanaan
tingkah laku biasanya membutuhkan rujukan.
Untuk orang tua pengobatan dilakukan dalam
kelompok kecil. Klinisi harus tahu bahwa tujuan
terapi tatalaksana tingkah laku adalah perbaikan
lingkungan dimana dilakukan kehidupan sehari-
hari, tidak untuk mengubah dasar alamiah anak.
- Terapi tambahan. Terapi tambahan mungkin
dibutuhkan tergantung pada lingkaran keluarga
dan anak. Terdapat keterbatasan usaha tradisional,
psikoterapi individu untuk anak ADHD. Tujuan
terapi ini adalah untuk memperbaiki harga diri.
Tidak ada bukti bahwa psikoterapi individual
memperbaiki kemampuan anak untuk memberikan
perhatian atau mengurangi impulsif. Bila anak
mulai menjadi lebih tua dan lebih waspada,
psikoterapi dapat memfasilitasi pengertian
bagaimana tingkah laku mempengaruhi yang
lainnya. Psikoterapi dinamis keluarga harus
disiapkan. Latihan kemampuan komunikasi
keluarga juga memiliki keterbatasan fokus,
mungkin ini lebih menolong jika anak ADHD
mendekati remaja. Fokus terapi ini adalah
menciptakan pengaturan dan menguatkan
peraturan di tempat keluarga.
C. Kriteria merujuk.
Kebanyakan klinisi tingkat dasar akan terlibat dalam 2
aspek terapi yaitu : (1) menjelaskan kondisi terhadap
anak dan keluarga (2) memberikan resep dan
mengikuti pengobatan. Terapi psikososial akan
diberikan oleh yang lain walaupun klinisi juga harus
tahu tipe pengobatan dan tujuan tiap strategi
pengobatan. Jika anak gagal merespon obat stimulan
yang diberikan atau memberikan efek samping yang
tidak diharapkan, rujuk ke spesialis seperti dokter
anak tumbuh kembang atau psikiater anak.
205 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
kasus sampai dewasa. Riwayat keluarga ADHD, gangguan
psikososial dan komorbiditas dengan gangguan konduk,
mood dan ansietas meningkatkan resiko menetapnya
ADHD.
Delikuensi atau personalitas antisosial pada masa
adolesen atau dewasa terlihat pada pemantauan 25-40%
anak dengan ADHD. Pasien ADHD dilaporkan
mempunyai kecenderungan mencoba narkotika den
mengalami adiksi pada masa adolesen.
Kasus-kasus yang memperlihatkan tingkah laku agresif
terhadap orang dewasa, IQ yang rendah, hubungan
dengan kawan yang buruk dan menetapnya gejala ADHD
mempunyai prognosa yang kurang baik.
11. Tingkat IB
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Perilaku
medis Prestasi Akademik
206 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Christopher K, Jeffrey N, Randy S, Bart S, Keith S,
Scott W, Douglas K, Joachim W, Nancy JT, Donald H.
Once-Daily Atomoxetine Treatment for Children and
Adolescents With Attention Deficit Hyperactivity
Disorder: A Randomized, Placebo-Controlled Study. Am
J Psychiatry 2002; 159:1896–1901
207 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
RETARDASI MENTAL
F06.8
- RM borline IQ 70 – 79
- RM ringan IQ 52 – 69
- RM sedang IQ 36 – 51
- RM berat IQ 20 – 35
- RM sangat berat IQ < 20
208 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
terdeteksi karena tidak bisa mengikuti pelajaran di
sekolah. Kebanyakan RM yang border line atau ringan.
6. Diffrential - Gangguan pendengaran
diagnosis - Autisme
7. Pemeriksaa - Test IQ
n - Pemeriksaan penunjang lain tidak rutin sesuai
Penunujang indikasi untuk mencari penyebab dan sesuai faktor
risiko
8. Tatalaksana Umum : masalah pendidikan, edukasi dan latihan
Tim multidisiplin (dokter anak, psikiater, neurolog,
psikolog, guru, terapis okupasi, terapi bicara, perawat)
Sesuai dengan IQ
Pendidikan di SLB
RM ringan
Mampu didik diajar baca tulis
Bisa dilatih keterampilan tertentu sebagai bekal hidup
dan mandiri seperti orang dewasa normal
Memerlukan bimbingan dari keluarga
RM sedang
Mampu latih bisa dilatih keterampilan tertentu
(pertukangan, pertanian)
Dilatih mengurus diri sendiri
Selalu memerlukan bimbingan dan pengawasan
RM berat
Dilatih higiene dasar saja
Dilatih kemampuan bicara yang sederhana
Tidak dapat dilatih keterampilan kerja
Memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur
hidup
RM sangat berat
Kemampuan berbahasa sangat minimal
Seluruh hidup tergantung pada orang disekitarnya
9. Edukasi RM merupakan masalah jangka panjang
Anak memerlukan bimbingan seumur hidup
Sekolah dan pendidikan khusus
Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat 4
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kemampuan bicara, sosialisasi, kemadirian dan kognisi
medis
15. Kepustakaan 1. Shonkoff JP. Mental Retardation. Dalam: Kliegman
209 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 125-9
2. Kastner W. Mental Retardation: Behavioral Probelms
Palsy. Dalam: Parker S, Zuckerman B. Development
and Behavioral Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott; 2005. h. 234-7
3. Coulter DL. Mental Retardation: Diagnostic
Evaluations. Dalam: Parker S, Zuckerman B.
Development and Behavioral Pediatric. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 238-41
4. Williams J, Venning H. Physical disability. Dalam:
Polnay L. Community Paediatrics. Edisi ke-3.
Edinburgh: Churcill; 2003. h. 503-6.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L.
Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh:
Churcill; 2003. h. 469-478
210 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
SINDROMA DOWN
Q90
211 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
keterlambatan perkembangan pubertas.
Manifestasi kulit : kulit lembut, kering dan tipis, xerosis,
atopic dermatitis, palmoplantar hyperkeratosis, dan
seborrheic dermatitis.
5. Diagnosis Anamnesis
Perkembangan terlambat, adanya faktor resiko
Pemeriksaan Fisik
Gambaran Dismorfik yang khas
Pemeriksaan Penunjang
tes kromosom dan fungsi tiroid
212 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
6. Terapi perilaku
Mengajarkan anak DS yang sudah berusia lebih besar
agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang
tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang
berlaku di masyarakat.
7. Terapi Remedial.
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami
gangguan kemampuan akademis dan yang dijadikan
acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari
sekolah biasa
8. Pendidikan di SLB
9. Edukasi Masalah perkembangan anak, pengobatan, pendidikan
dan prognosa
213 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
214 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Jadwal Imunisasi IDAI
5. Jenis-jenis A. Hepatitis B
Vaksin Jenis vaksin :
- Inactivated viral vaccine (IVV = HbSAg
yang telah diinaktifasi)
- Vaksin rekombinan : HB Vax (MSD);
Engerix (smith Kline Becham); Bimugen
(kahatsuka)
- Plasma derived : Hepa B: vaksin hepatitis
B (biofarma) : Hepaccine B (Cheil
Chemical & ford)
Dosis: 0,5 cc/dosis.
Cara pemberian : SC/IM
Jadwal imunisasi :
Disarankan untuk diberikan bersama BCG dan
Polio I pada kesempatan kontak pertama
dengan bayi.
Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg negatif
mendapat ½ dosis anak vaksin rekombinan
atau 1 dosis anak vaksin plasma derived. Dosis
kedua harus diberikan 1 bulan atau lebih
setelah dosis pertama.
Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapat
0,5 cc Hepatitis B immune Globulin (HBIG)
dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 1 dosis
anak vaksin rekombinan atau 1 dosis anak
vaksin plasma derived pada tempat suntikan
yang berlainan. Dosis kedua direkomendasikan
pada umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau
bersama dengan vaksin campak pada umur 9
bulan.
Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui
status HbsAgnya mendapat 1 dosis anak
plasma rekombinan atau 1 dosis anak vaksin
plasma derived dalam waktu 12 jam setelah
lahir. Dosis kedua direkomendasikan pada
umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau
bersama dengan vaksin campak pada umur 9
bulan. Diberikan booster 5 tahun kemudian,
dianjurkan pemeriksaan kadar anti HbsAg
sebelumnya.
215 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak)
Efek samping : reaksi lokal ringan, demam sedang
24-48 jam, lesu, saluran pencernaan rasa tidak
enak
B. BCG
Jenis Vaksin : Calmette & Guerin (Biofarma,
Pasteur, Glaxo) suatu live attenuated vaccine (LAV).
Dosis : 0,05 cc/dosis
Cara pemberian : intrakutan
Jadwal imunisasi: pada kesempatan kontak
pertama dengan bayi, tidak diperlukan booster
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Dermatosis yang progresif (sementara)
Efek samping : reaksi lokal, adenitis
C. DPT
Jenis vaksin : Difteri (toksoid)
Pertusis (Inactivated Bacterial Vaccine-IBV,
Bordetella pertusis tipe I)
Tetanus (toksoid)
Dosis: 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : IM atau SC dalam
Jadwal imunisasi:
1. Imunisasi dasar : tiga dosis dengan
interval 4-6 minggu. Dosis I diberikan pada umur
2 bulan
2. Booster : dosis IV diberikan 1 tahun
setelah dosis III dan dosis V dan VI berupa DT
diberikan pada umur 6 dan 12 tahun
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Difteri : tidak ada
- Pertusis : riwayat kelainan neurologis
- Tetanus : tidak ada
Efek samping: reaksi lokal, demam, reaksi
akinetik, kejang, gejala ensefalopati
akibat komponen vaksin pertusis. Jika muncul
reaksi ini, imunisasi DPT
dilanjutkan hanya dengan DT
D. Polio
Jenis vaksin : vaksin polio oral sabin (LAV)
Dosis : 2 tetes/dosis
Cara pemberian : oral
Jadwal imunisasi :
Dosis I diberikan pada umur sedini mungkin
bila bayi lahir di RS (Bersama dengan BGC)
atau pada kontak pertama bila bayi datang
ke RS atau posyandu (biasanya umur 2
bulan). Selanjutnya dosis II, III dan IV
diberikan dengan interval 4 minggu,
bersamaan dengan DPT I, II dan II. Jika BCG
dan Polio I diberikan bersamaan dengan DPT
I, Polio IV diberikan 4-6 minggu setelah
DPT/Polio III.
216 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Booster : dosis V diberikan I tahun setelah
dosis IV dan dosis VI dan VII diberikan pada
umur 6 dan 12 tahun.
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Diare (sementara)
Efek samping : tidak ada reaksi klinis.
Kemungkinan polio paralitik yang dapat dievaluasi
dari 1 per 8 juta dosis pada anak yang telah
diimunisasi dan 1 per 5 juta dosis pada kontak.
E. Campak
Jenis vaksin : Schwarz (LAV)
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM
Jadwal imunisasi :
Imunisasi dasar : diberikan pada umur 9
bulan
Bisa diulang minimal 6 bulan setelah
pemberian campak yang pertama.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak), alergi
terhadap telur (benar-benar
terbukti), mendapat injeksi gammaglobulin dalam 6
minggu terakhir
Efek samping: demam dengan atau tanpa rash 6-12
hari setelah diimunisasi pada 15-20% anak.
F. MMR (Measle-Mump-Rubela)
Jenis vaksin : Triple vaccine Measles, Mumps
Rubella (LAV), isinya :
Measle : campak
Mump : Urabe (trimovax-pasteur),
Jeryl Lynn (MMR-
MSD)
Rubella : RA 27/73
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM
Jadwal imunisasi :
Imunisasi dasar : diberikan pada umur 12
bulan atau 6 bulan setelah imunisasi
campak.
Booster : diberikan pada umur 12 tahun
Kontra indikasi : sama dengan campak
Efek samping : sama dengan campak + parotitis:
dmam, rash, ensefalitis,
parotitis, meningoensefalitis, tuli neural unilateral
(tetapi dilaporkan sembuh
sempurna tanpa gejala sisa).
G. Tifus Abdominalis
Jenis vaksin : Vi CPS (capsular poly sacharide)
: Typhim Vi (Pasteur
Merieux)
Oral : Vivotif (Ty2/A strain)
Dosis : Polisakarida 0,5 cc/dosis
Oral : 1 kapsul lapis enterik atau 1 sachet.
Cara pemberian :
- Polisakarida : SC atau IM satu kali
217 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
- Oral, 3 kali selang sehari.
Jadwal imunisasi :
Imunisasi dasar : Polisakasrida
direkomendasikan diberikan pada umur > 2
tahun.
Oral direkomendasikan diberikan pada umur
> 6 tahun dalam 3 dosis dengan interval dosis
selang sehari.
Booster : polisakarida diberikan setiap 3
tahun
Oral : setelah 3-7 tahun.
Kontra indikasi : < 2 tahun (mutlak), tidak
dianjurkan sebelum umur 6 tahun, proteinuria,
penyakit progresif
Efek samping :
- Reaksi lokal ditempat suntikan : indurasi,
nyeri 1-5 hari
- Reaksi sistemik : demam, malaise, sakit
kepala, nyeri otot, komplikasi neuropatik,
kadang-kadang bisa syok, kolaps.
H. Varisela
Jenis vaksin : Strain OKA dari virus Varicella
zoster.
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC
Jadwal imunisasi :
Imunisasi dasar : Anak berumur 12 bulan
sampai dengan 12 tahun diberikan 1 dosis.
Anak 13 tahun keatas diberikan 2 dosis dengan
interval 4-8 minggu.
Booster : Jika diberikan pada umur 12 bulan
harus diulang umur 12 tahun.
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Penyakit demam akut yang berat (sementara)
- Hipersensitif terhadap neomisin atau
komponen vaksin lainnya
- TBC aktif yang tidak diobati
- Penyakit kelainan darah
Efek samping :
- Ringan: reaksi lokal di tempat suntikan
- Reaksi sistemik : demam ringan, erupsi
papulo vesikular dengan lesi kurang dari 10
Catatan : hindarkan pemberian salisilat selama 6
minggu setelah vaksinasi karena dilaporkan
terjadi Reye’s Syndrome setelah pemberian salisilat
pada anak dengan varicella alamiah.
218 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM
Jadwal imunisasi :
Imunisasi dasar :
o Untuk vaksin conjugate H-Influenza Tipe B
(Act-HiB)
Bila anak datang pada umur 2-6 bulan,
direkomendasikan diberikan pada umur
2,4 dan 6 bulan
Bila anak datang pada umur 6-12 bulan,
direkomendasikan diberikan pada umur
2 dosis dengan interval 1-2 bulan.
Bila anak datang pada umur >12 bulan,
Act HiB hanya diberikan 1 kali
o Untuk vaksin Pedvax HIB MSD
Bila diberikan pada umur 2-14 bulan
maka diberikan dalam 2 dosis dengan
interval 2 bulan.
Bila diberikan pada umur > 15 bulan maka
diberikan 1 kali saja.
Booster :
o Untuk Act-HIB : bila imunisasi dasar
diberikan pada umur 2-10 bulan, booster
pada umur 12-15 bulan setelah suntikan
terakhir.
o Untuk Pedva: bila imunisasi dasar sebelum 1
tahun, booster diberikan 12 bulan setelah
suntikan terakhir.
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap komponen
vaksin
Infeksi akut dengan demam
Efek samping :
- Lokal : eritema, nyeri dan indurasi
- Reaksi sistemik : demam, nausea, muntah
dan/atau diare, menangis > ½-1 jam dan
rash.
- Infeksi akut dengan demam.
J. Hepatitis A
Jenis vaksin : partikel virus aktif yang
diinaktivasi 9IVV0
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC/ IM
Jadwal imunisasi :
- Imunisasi dasar : anak berumur > 2
tahun diberikan 3 dosis dengan jadwal 0
bulan, 1 bulan, dan 6 bulan.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak)
219 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pedoman vaksinasi DPT pada anak/bayi dengan
riwayat kejang
Kejang
220 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kritis
14. Indikator Kelengkapan imunisasi
medis
15. Kepustakaan I.G.N. Gde Ranuh, Hariyono Suyitno,Sri Rezeki S
Hadinegoro, Cissy B Kartasasmita, Ismoedijanto,
Soedjatmiko, penyunting. Pedoman Imunisasi di
Indonesia. Edisi ke 4.Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011.
221 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
SYOK SEPSIS
(ICD 10: R57.2)
222 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
penyakit dasar neuromuskular atau mendapat
anestesi umum.
223 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
11. Laktat darah
12. Golongan darah
13. T3, fT4
14. Foto toraks
15. EKG
16. Pulse oksimetri
8. Tatalaksan 1. Oksigenasi dengan nasal kanul, masker, nasal
a continuous positive airway pressure (NCPAP), atau ETT
( T – piece) dan ventilator;
2. Resusitasi cairan 20 mL/kgBB dalam 5-10 menit, dapat
diulang sampai dengan total 60 mL/kgBB
menggunakan cairan kristaloid (Ringer asetat, Ringer
laktat, NaCl 0,9%, atau koloid (Gelatin, Albumin);
3. Bila terdapat hipoglikemia yaitu bila glukosa darah
kurang dari 40 mg/dL koreksi dengan dextrose
(Dextrose 10% atau Dextrose 40%) 0,5 g/kgBB bolus IV
atau IO;
4. Bila terdapat hipokalsemia, yaitu:
5. Usia 1-12 bulan: Ca serum <9,0 mg/dL atau ion Ca
(iCa) <1,05 mmol/L
6. Usia >1 tahun: Ca serum <8,8 mg/dL atau iCa <1,1
mmol/L
7. Koreksi dengan Ca glukonas 10% 50-100 mg/kgBB
( 0,5-1 mL/kgBB) IV atau IO selama 5-10 menit;
8. Pada kasus syok refrakter cairan lakukan pemasangan
kateter vena sentral (CVC);
9. Setelah resusitasi cairan, tatalaksana selanjutnya
adalah pemantauan hemodinamik.
10.Penggunaan obat-obatan vasoaktif berdasarkan:
Kombinasi dengan:
Titrasi cairan 5-10 mL/kgBB selama 10-15 menit bila
terdapat penurunan nadi setelah passive leg raising (PLR)
Kombinasi dengan
iv. Milrinon: dosis bolus 75 mcg/kgBB selama 15 menit,
dilanjutkan titrasi mulai dosis 0,5 mcg/kgBB/menit,
sampai dosis maksimal 0,75 mcg/kgBB/menit, atau
224 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
v. Titrasi sodium nitroprusid mulai 0,5 mcg/kgBB/menit,
dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit
Kombinasi dengan:
Titrasi cairan 5-10 mL/kgBB selama 10-15 menit bila
terdapat penurunan nadi setelah passive leg raising (PLR)
atau diameter vena cava inferior (IVC) kolap >40%.
Kombinasi dengan
Titrasi norepinefrin mulai 0,05 mcg/kgBB/menit, sampai
dosis maksimal 1 mcg/kgBB/menit
Kombinasi dengan:
Titrasi cairan 5-10 mL/kg selama 10-15 menit bila
terdapat penurunan nadi setelah passive leg raising (PLR)
atau diameter vena cava inferior (IVC) kolap >40%.
225 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
diberikan bila didapatkan adanya tanda-tanda infeksi
jamur sistemik.
e. Bila didapatkan hasil kultur dan sensitivitas
antibiotik maka antibiotik yang digunakan adalah
antibiotik sesuai hasil kultur.
f. Antibiotik lain yang dapat digunakan sebagai
antibiotik lini pertama sesuai indikasi adalah
golongan makrolide (erithromycin, azithromycin,
clarithromycin, vancomycin), golongan kuinolon
(ciprofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin).
g. Pada toxic shock syndrome dengan hipotensi
refrakter berikan Klindamisin dan terapi antitoksin
atau intravenous immunoglobulin (IVIG)’
24 Jam Pertama
Glukosa IV
226 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Hindari hipoglikemia (glukosa darah <60 mg/dL)
3. Pertahankan glukosa serum 80–180 mg/dL
4. Tentukan target glucose infusion rate (GIR) untuk
memantau konsentrasi glukosa IV
Neonatus 6-8 mg/kgBB/menit
Bayi-anak usia sekolah 5-7 mg/kgBB/menit
Anak usia sekolah dan 2-3 mg/kgBB/menit
remaja
Gagal hati Sampai 16
mg/kgBB/menit
5. Pertimbangkan cairan D10% jika D5% tidak dapat
menyediakan kebutuhan sesuai usia
6. Jika kadar glukosa serum >180 mg/dL, pertimbangkan
terapi insulin dengan infus kontinu untuk mengontrol
hiperglikemia.
7. Bila gula darah lebih dari 180 mg/dL dengan GIR 4
mg/kg/menit maka :
i. Jika kadar glukosa serum >180 mg/dL,
pertimbangkan terapi insulin dengan infus kontinyu
untuk mengontrol hiperglikemia;
ii. Titrasi insulin (50 IU Rapid acting insulin dalam 50
mL NaCl 0,9%) mulai 0,05 IU/kgBB sampai
maksimal 0,1 IU/kgBB;
iii. Monitor gula darah tiap 30 menit hingga target
glukosa darah stabil antara 60 – 180 mg/dL.
Di atas 24 jam
227 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Konsultasikan dengan ahli nutrisi untuk komposisi dan
target kalori
2. NP dapat digantikan atau dikombinasikan dengan NE.
3. Mulai NP sebagai jembatan menuju NE dalam 72 jam
setelah masuk jika salah satu kondisi di bawah ini
terpenuhi:
4. NE tidak diindikasikan (untuk alasan yang telah
disebutkan di atas)
5. Intoleransi pemberian makan terjadi
6. Pemberian NP melalui jalur sentral (NP jalur perifer
tidak disarankan)
7. Cairan dekstrosa/asam amino harus disertai dengan
lipid untuk menyediakan asam lemak esensial.
Dekstrosa
Mulai dengan D5%–D10% dan naikkan sesuai dengan
nasihat ahli nutrisi
Lipid
Mulai pada 0,5–2 g/kgBB/hari, naikkan sesuai nasihat
RD
228 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
12. Gunakan diuretik bila terjadi overload cairan bila syok
telah tertangani. Jika gagal dapat digunakan dialisis
intermiten
13. Lakukan evaluasi dan penyesuaian terapi setiap 15-30
menit hingga mencapai sasaran terapi klinis,
laboratoris, dan hemodinamis (lihat poin
sasaran/indikator medis).
14. Segera setelah syok tertangani dapat diberikan nutrisi
enteral atau parenteral bila ada kontraindikasi
pemberian nutrisi enteral.
9. Edukasi 1. Penjelasan tentang penyakit yang diderita oleh pasien
pada keluarga;
2. Penjelasan tentang tatalaksana pasien pada
keluarga;
3. Penjelasan prognosis penyakit pada keluarga.
10. Prognosis 1. Ad vitam : dubia ad malam
2. Ad sanationam : dubia ad malam
3. Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat 1. Oksigenasi: 2
Evidens 2. Resusitasi cairan: 2
3. Pemberian antibiotik: 1
4. Pemberian inotropik/vasopressor: 2
5. Pemberian kortikosteroid: 1
6. Pemberian transfusi PRC: 1
7. Pemberian transfusi TC dan plasma: 2
8. Pemberian sedasi: 1
9. Kontrol gula darah: 2
10. Pemberian diuretik dan terapi sulih ginjal: 2
11. Terapi nutrisi: 2
12. Tingkat 1. Oksigenasi: C
2. Resusitasi cairan: C
Rekomendasi 3. Pemberian antibiotik: D (untuk Clostridium difficile:
A)
4. Pemberian inotropik/vasopressor: C
5. Pemberian kortikosteroid: A
6. Pemberian transfusi PRC: B
7. Pemberian transfusi TC dan plasma: C
8. Pemberian sedasi: D
9. Kontrol gula darah: C
10. Pemberian diuretik dan terapi sulih ginjal: C
11. Terapi nutrisi: C
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Klinis:
medis a. Frekuensi denyut jantung/nadi menurun
b. Kualitas nadi sentral dan perifer sama
c. Akral hangat, pengisian kapiler <2 detik
d. Diuresis >1 mL/kgBB/jam
e. Kesadaran membaik
f. Tekanan sistolik >P5
g. Saturasi oksigen (SpO2) 92-100%
h. Delivery oxygen index (DO2I) >750 mL/menit/m²
2. Laboratoris:
a. Kadar laktat serum <2,0 mmol/L
b. Saturasi vena sentral (vena cava superior) >70%
229 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
kalau sarana tersedia
c. Penurunan base deficit <3 (atau base excess >-3)
d. Penurunan anion gap (AG) <16
Catatan: AG= [(Na + K) – (Cl – HCO3)] – [0,25x(44-albumin dalam g/L)]
230 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2010;38:1875–81.
231 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
GAGAL NAPAS AKUT
(ICD 10: J96.0)
232 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
e. Suara napas dasar menurun
f. Merintih
g. Rales
1. Takikardia
Tabel 3. Batas takikardia anak sesuai usia
2. Dehidrasi
3. Penurunan kesadaran: iritabel, somnolen, dan
obtundasi
4. Sianosis sentral atau perifer
Tabel 4. Penilaian klinis gagal napas akut
233 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Suara Napas Stridor, Tidak
napas paradoksik, mengi, terdengar
stridor, berdeguk, suara
mengi, megap-
berdenuk megap
Warna kulit Kemerahan Sianosis Berbecak
atau pucat, sentral walau biru,
sianosis telah diberi sianosis
sentral, O2, berbecak perifer dan
membaik biru sentral
dengan
pemberian O2
4. Kriteria Gagal napas akut dapat dibagi menjadi tiga:
Diagnosis
1. Tipe I (hipoksemia, oksigenasi): PaO 2 rendah, PaCO2
normal atau rendah, terutama disebabkan abnormalitas
ventilasi/perfusi.
2. Tipe II (hiperkapnia, ventilasi): Pada umumnya karena
hipoventilasi alveolar, peningkatan ventilasi ruang mati,
atau peningkatan produksi CO2.
3. Tipe campuran
5. Diagnosis Gagal napas akut (ICD 10: J96.0)
234 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
reservoir 7-8 L/menit 60%
Sungkup 6 L/menit 60
oksigen dengan 7 L/menit 70
reservoir 8 L/menit 80
9 L/menit 90
10 L/menit 99
235 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
11. Tingkat 1. Oksigenasi: 2
Evidens 2. Resusitasi cairan: 2
3. Pemberian transfusi PRC: 1
4. Pemberian transfusi TC dan plasma: 2
12. Tingkat 1. Oksigenasi: C
2. Resusitasi cairan: C
Rekomendasi 3. Pemberian transfusi PRC: B
4. Pemberian transfusi TC dan plasma: C
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Klinis:
medis 1. Perbaikan kesadaran
2. Frekuensi napas normal sesuai usia
3. Frekuensi denyut jantung normal sesuai usia
4. Tidak ada suara napas tambahan
5. Tidak ada sesak napas dan penggunaan otot
bantu napas
2. Laboratoris:
1. Perbaikan parameter laboratorium ke arah normal
KEJANG DEMAM
236 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kode ICD : R 56.0
Pengobatan Rumat
Pengobatan rumat adalah pengobatan yang diberikan secara
terus menerus dalam waktu tertentu.
1. Obat rumat yang dapat menurunkan risiko berulangnya
kejang demam hanya fenobarbital atau asam valproat.
Semua obat antikonvulsan lain tidak bermanfaat untuk
mencegah berulangnya kejang demam.
2. Dosis valproat adalah 10-40 mg/kgBB/hari dibagi 2 – 3
dosis sedangkan fenobarbital 3 – 5 mg/kgBB/hari dibagi
2 dosis.
3. Pengobatan rumat cukup diberikan selama satu tahun,
kecuali pada kasus yang sangat selektif (rekomendasi D)
237 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar. Sedangkan
pemakaian asam valproat pada usia kurang dari 2 tahun
dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Bila
memberikan valproat, periksa SGOT dan SGPT setelah 2
minggu, satu bulan, kemudian tiap 3 bulan.
5. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan salah satu atau lebih gejala sebagai
berikut:
Kejang lama > 15 menit.
Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata
sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemparesis,
paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
Kejang fokal.
Bila ada keluarga sekandung atau orang tua yang
mengalami epilepsi.
Pengobatan rumat tidak harus diberikan tetapi dapat
dipertimbangkan dalam keadaan :
1. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
2. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang
dari 12 bulan.
Catatan :
Semua peneliti setuju bahwa kejang demam > 15
menit merupakan indikasi pengobatan rumat.
Yang dimaksud dengan kelainan neurologis yang nyata
misalnya kelumpuhan, mikrosefali. Kelainan neurologis
tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan
ringan bukan merupakan indikasi.
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan
bahwa anak mempunyai fokus organik di otak sisi
kontralateral.
238 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dianjurkan adalah 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
239 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
resiko
- 10-49/100 pasien yang memiliki kombinasi faktor resiko
epilepsi kemungkinan menjadi menderita epilepsi
- 30-60% tidak mendapat resiko berulang kejang bila
diberi diazepam per oral atau per rektal saat demam
16. Kepustakaan 1. Taslim. Kejang Demam. Buku Ajar Neurologi Anak.
Edisi II BP IDAI, Jakarta 2000: 244-6
2. Hardiono, dkk.Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia 2006
3. Offringa M, Newton R Prophylactic drug management for
Febrile seizure in children. 1-5. Diunduh dari http : www.
Thecochranelibrary.com
EPILEPSI
Kode ICD : G 40
240 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Anamnesis Kejang: bervariasi tergantung lokasi gangguan elektrik pada
otak, berlangsung hanya beberapa detik hingga status
epileptikus, berulang, interiktal dan post iktal biasanya sadar.
Suhu badan normal.
Riwayat trauma.
Riwayat kejang sebelumnya.
Riwayat kejang dalam keluarga.
Kelainan neurologis.
5. Diagnosis Epilepsi
8. Terapi Pengobatan :
Mengatasi kejang
Mencari faktor penyebab sindrom epilepsi
Menghindari faktor pencetus terjadinya serangan
Psikososial: memberikan penjelasan pada orang tua
penderita tentang perawatan anak dengan epilepsi
Obat maintenance yang diberikan diusahakan hanya satu
jenis dengan dosis serendah mungkin dan dosis dapat
dinaikkan dalam 3-4 hari
241 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Efek samping : nyeri perut, rambut rontok,
peningkatan berat badan, trombositopenia, hepatitis.
3. Difenilhidantoin
Indikasi : bangkitan partial dan umum.
Dosis : 4-10 mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis.
Efek samping : hiperplasi gusi .
4. Fenobarbital
Indikasi : bangkitan partial umum, tonik.
Dosis : 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis.
Efek samping : mengantuk, gangguan sifat berupa
hiperaktifitas, hiperiritabilitas dan agresifitas, gangguan
kognitif dan daya ingat
9. Edukasi 1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali
3. Penghentian pengobatan dilakukan setelah 2 tahun bebas
kejang dan secara perlahan – lahan
4. Menentukan obat yang dapat digunakan bersama-sama orang
tua
10. Prognosis Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat
menimbulkan kerusakan otak akibat hipoksia, keadaan ini jika
ditambah lagi dengan hiperpireksia dan hipotensi maka akan
menimbulkan kerusakan di cerebellum.
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
242 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
243 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
neurosistisirkosis.
- Vaskulitis SSP.
- Defisiensi rantai kompleks I mitokondria.
- Polimikrogiria perisilvian.
Gejala Klinis
Regresi kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif.
Agnosia verbal auditorik.
Aktivitas abnormal epileptiform.
Kejang epileptik, terutama pada malam hari.
Hiperkinesia.
Gangguan tingkah laku: hiperaktif, agresif, depresi.
Gangguan perhatian.
2. Anamnesis Kejang terutama malam hari.
Regresi kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif.
Gangguan tingkah laku dan perhatian.
3. Pemeriksaan Keadaan umum baik.
Fisik Keadaan spesifik: afasia, agnosia verbal auditorik,
hyperkinesia.
4. Kriteria Afasia didapat dengan onset pada usia 3-7 tahun.
Diagnosis Gambaran EEG:
- Saat bangun adalah gelombang spike di daerah
temporo-parietal.
- Saat tidur: gelombang spike generalisata.
Kejang epileptik terutama pada malam hari (adanya electrical
status epilepticus in sleep - ESES) pada 80% kasus (level of
evidence III).
Prognosis nya yaitu semakin muda usia saat gejala mulai,
maka semakin buruk prognosis dalam hal fungsi bahasa (level
of evidence III).
5. Diagnosis Sindroma Landau Kleffner
6. Differential Autisme
diagnosis Pervasive developmental disorder
Gangguan pendengaran
Ketidakmampuan belajar
Gangguan pengolahan pendengaran / lisan
Attention deficit disorder
Cacat intelektual
Skizofrenia anak-anak
Masalah emosional / perilaku
7. Pemeriksaan MRI untuk menyingkirkan tromboemboli serebrovaskuler,
Penunjang tumor otak, demielinisasi, penyakit neurodegeneratif, infeksi
intrakranial
EEG
Tes audiometri
8. Terapi Medikamentosa
Anti kejang: diazepam, valproat, benzodiazepin, etosuksimid
(fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin tidak bermanfaat).
Kortikosteroid:
- Prednison 2-5 mg/kgBB/hari po selama 6 bulan, lalu di-
tappering selama 3 bulan.
- Metil prednisolon 20-30 mg/kgBB/hari iv selama 3-5
hari, selanjutnya prednison 2 mg/kgBB/hari per oral,
dan di-tappering selama 1-2 bulan.
ACTH 20-100 IU/m2 im/sc (dewasa 500-1000 IU/hari) (level
of evidence III)
Diet ketogenik.
Speech therapy.
Psikoterapi.
244 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Terapi bedah: multiple subpial transection.
9. Edukasi 1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah
2. Memberikan informasi mengenai pentingnya kepatuhan untuk
minum obat anti kejang untuk mencegah kejang
3. Memberikan informasi mengenai pentingnya terapi wicara dan
terapi psikologi baik di rumah maupun di luar rumah
10. Pengobatan untuk kelainan EEG sering tidak berhasil,
meskipun sejumlah antikonvulsan dan kortikosteroid telah
digunakan.
Pada sindrom Landau-Kleffner, di mana terdapat gangguan
fungsi bahasa terisolasi, juga terdapat pengaruh terhadap
fungsi kognitif lain.
Semakin muda usia saat gejala mulai, maka semakin buruk
prognosis dalam hal fungsi bahasa (level of evidence III).
11. Tingkat II
evidence
12. Tingkat A
rekomenda
si
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator 1. Regresi kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif secara
medis mendadak (level of evidence II).
2. Gambaran EEG berupa gelombang spike di daerah temporo-
parietal saat tidur pada 90% kasus (level of evidence III).
15. Kepustakaan 1. Sankar R et al. Paroxysmal Disorders. Dalam: Menkes JH,
Sarnat HB, Maria BL. Child Neurology. Edisi Ketujuh. Los
Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 858-943.
2. Passat J, Lumbantobing SM, Ismael S. Kelainan Paroksismal.
Dalam: Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi
Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 190-209.
3. Bhardwaj P et al. Acquired epileptic aphasia: Landau-Kleffner
syndrome. Journal of Pediatric Neurosciences. 2009: 52-53.
MENINGITIS TUBERKULOSA
Kode ICD : A.17.0
245 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kejang bersifat umum dan intermiten.
Kesadaran menurun.
Riwayat kontak TB atau menderita TB.
Gejala klinis
Ubun-ubun besar membonjol pada bayi
Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Gejala rangsang meningeal positif
Gangguan syaraf otak
4. Kriteria 1. CT-Scan Kepala : ditemukan tuberkuloma hidrosefalus
Diagnosis 2. Uji tuberkulin
3. Riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa
4. Diagnosa pasti: ditemukan basil tahan asam dalam sediaan
hapus dan biakan LCS
246 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
kadar glukosa menurun (<40 mg/100ml)
kadar klorida (680 mg 100 ml)
bila LCS didiamkan timbul: fibrinous web (pedikel) yang
merupakan tempat tersering ditemukan hasil kuman TBC
2. Pengobatan suportif :
pemberian cairan
jenis cairan: cairan 2 : 1 (Dekstrosa 5% + NaCI 15%). jumlah
cairan pada hari pertama 70% dari kebutuhan maintenance
o nutrisi yang adekuat
o pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
o posisi diubah-ubah
bila edema otak diterapi sesuai dengan talaksana edema otak
5. Fisioterapi
247 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
yang dapat timbul.
5. Perlunya pemantauan tumbuh kembang anak pasca rawat.
6. Memberitahu keluarga tentang perlunya pengobatan OAT
rutin dan efek samping OAT yang dapat timbul serta lamanya
pengobatan.
7. Memberitahu keluarga tentang perlunya mengukur dan
mencatat ukuran kepala bayi.
8. Memberitahu keluarga tentang perlunya fisioterapi jika
terdapat kerusakan syaraf dan berikan nasihat sederhana
pada orang tua untuk melakukan latihan pasif pada anak di
rumah.
Komplikasi
Mata atrofi optic dan kebutaan
THT gangguan pendengaran dan keseimbangan
Sequele neurologis minor kelainan syaraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan pada koordinasi dan spastisitas
Kelainan pituitari dan hipotalamus prekoks seksual,
hiperprolaktinemia, defisiensi DH, hormon pertumbuhan,
kortikotropin dan gonadotropin
11. Tingkat I
evidence
12. Tingkat A
rekomenda
si
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator 1. Kejang umum dan intermiten, disertai riwayat demam tidak
medis terlalu tinggi, rasa lemah, anoreksia, mual, muntah, sakit
kepala, riwayat kontak TB atau menderita TB, dan kesadaran
menurun.
2. Ditemukan pada pemeriksan fisik: Ubun-ubun besar
membonjol pada bayi, gejala rangsang meningeal positif.
3. Adanya fokus primer dapat berasal dari paru (terutama),
kelenjar getah bening atau tulang.
4. CT-Scan Kepala: tuberkuloma, hidrosefalus.
5. Uji tuberkulin: positif.
6. LCS: xantocrom, jumlah sel meninggi, tapi jarang yang
melebihi 1000 mm3, dengan limfosit MN>PMN, kadar protein
meningkat (>300 mg/100 ml), kadar glukosa menurun (<40
mg/100ml), kadar klorida (680 mg 100 ml), fibrinous web
(pedikel) (+) bila LCS didiamkan, basil tahan asam (+) dalam
sediaan hapus dan biakan LCS.
15. Target lama Penderita dapat pulang setelah 2-4 minggu mendapat steroid full
perawatan dose (1-2 minggu) dengan syarat:
1. Tanda vital dalam batas normal (tekanan darah terkontrol).
2. Penderita dalam keadaan sadar.
3. Penderita dapat memperoleh dukungan nutrisi dan cairan
sesuai dengan kebutuhan ketika berada di rumah.
4. Kejang teratasi.
16. Kepustakaan 1. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam:
Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child Neurology. Edisi
248 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Ketujuh. Los Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H.
445-8.
2. Saharso D, Hidayati SN. Meningitis Tuberkulosa. Dalam:
Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak.
Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 353-362.
3. Prasad K, Singh MB. Corticosteroids for managing tuberculous
meningitis. The Cochrane Library. 2008.
TETANUS NEONATORUM
Kode ICD : A.33
249 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Fisik Trismus
Mulut mencucu
Kaku kuduk
Perut papan
Anggota gerak spastis
Mungkin dengan demam dan sianosis
Mungkin terdapat radang atau supurasi umbilikus
Penentuan derajat tetanus neonatorum (kriteria Chandra):
No Penilaian Skor
1 Umur : < 6 hari 4
6-10 hari 2
> 10 hari 1
2 Kejang : Spontan 2
Rangsang 1
3 Sianosis 2
4 Suhu tubuh 380C atau lebih 1
5 Trimus / rhisus sardonikus 1
7. Pemeriksaan -
Penunjang
8. Terapi ATS 10.000 unit pada hari I : 1/3 SC sekitar pusat
o 1/3 IV
o 1/3 IM
ATS 10.000 unit pada hari II IM
Antibiotika : metronidazol 15-30mg/kgBB per oral atau IV
tiap 6 jam selama 7-10 hari (level of evidence I).
Antikonvulsan : Diazepam 8-10 mg/kgBB/hari dibagi 12 kali
IV.
Kalau tidak ada diazepam dapat diberikan:
- fenobarbital 30 mg sebagai dosis awal dilanjutkan 6 x
15 mg per oral.
- largaktil 10 mg sebagai dosis awal, dilanjutkan 6x2 mg
per oral.
Tali pusat dibersihkan dengan H2O2 3%.
Perawatan dalam ruang isolasi di mana ruangan gelap dan
tidak gaduh.
9. Edukasi Untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum yaitu dengan
melakukan:
Pemotongan tali pusat menggunakan alat steril.
Suntikan TT pada ibu hamil.
10.Prognosis Prognosis ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis
luka dan status imunitas pasien.
Pada tetanus neonatorum derajat III prognosis buruk.
11. Tingkat I
evidence
12. Tingkat A
250 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
rekomendasi
13. Penelaah SMFKesehatan Anak
kritis
14. Indikator 1. Adanya kekakuan otot (spasme), kejang rangsang, trismus,
medis kaku kuduk, sianosis, tanpa disertai gangguan kesadaran
yang terjadi pada neonates.
2. Riwayat pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak
steril.
3. Riwayat ibu tidak mendapat imunisasi TT selama hamil.
15. Target lama Satu minggu perawatan di mana bayi telah berhenti kejang, tidak
perawatan lagi mendapatkan diazepam dalam sediaan injeksi, serta bayi
dapat minum secara adekuat.
16. Kepustakaan Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI.
Tetanus. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2010. H. 322-330.
251 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Patogenesis: Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti.
Diperkirakan setelah infeksi akut virus morbili hidup dalam
bentuk inaktif dalam sel.
Bentuk klinis:
Dibagi menjadi 4 stadium :
Stadium I
Gangguan psikointelektual berupa gangguan mental dan
kepribadian. Pasien tampak labil, kemampuan belajar
menurun, mudah lupa, letargi, depresi. Stadium berlangsung
6 bulan.
Stadium II
Adanya kejang dan kerusakan motor. Kerusakan
ekstrapiramidal meliputi koreoatetosis, dan balismus.
Stadium III
Adanya koma dan opistotonus, spastisitas, gangguan syaraf
otonom. Stadium berlangsung kurang dari 6 bulan,
kebanyakan meninggal pada stadium ini.
Stadium IV
Hilangnya fungsi korteks cerebri, mutism dan disfungsi
otonom. Berlangsung 1-10 tahun.
2. Anamnesis Didahului oleh riwayat morbili tipikal, sembuh total tanpa
komplikasi beberapa tahun sebelum onset.
Keluhan yang sering ditemukan:
o Jatuh/tersentak
o Kemunduran intelegensi
o Penyakit psikiatrik
o Paresis/paralisis
o Gangguan bicara
3. Pemeriksaan Sesuai dengan stadium yang dialami
Fisik
1. Kriteria Gejala klinis sesuai stadium
Diagnosis Titer antibodi morbili dalam darah dan LCS
EEG
LCS
2. Diagnosis Sub Acute Sclerosing Panencephalitis
3. Differential Ensefalitis
Diagnosis Acquired immunodeficiency syndrome encephalopathy
Subacute necrotizing encephalomyelopathy (Leigh disease)
4. Pemeriksaan EEG (level of evidence III): Tahap awal EEG normal atau
Penunjang perlambatan non spesifik.
Pada stadium II: gambaran supression burst pattern/periodic
slow wave complexes (PSWC).
Pada stadium lanjut: abnormal/bervoltase rendah.
Darah: titer antibodi morbili 1/124-1/2048.
LCS: jernih, sel normal, glukosa normal, protein
normal/sedikit meningkat. Titer antibodi morbili 1/8 s/d
1/64.
MRI: Berguna untuk menilai progresifitas penyakit dan
pengaruh pengobatan. Tampak gambaran lekoensefali pada
intensitas signal T2 pada substansia alba, batang otak
maupun serebelum.
5. Terapi Belum ada pengobatan yang memuaskan.
Manfaat isoprinosin 100 mg/kgBB/hari, interferon
intraventrikel masih kontroversial.
Bila ada kejang mioklonik dapat diberikan antikonvulsan
karbamazepin, asam valproat/pirimidon.
Pemberian nutrisi yang baik, pengobatan infeksi sekunder dan
suportif.
252 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
6. Edukasi Memberi informasi kepada keluarga tentang prognosis yang
buruk (penderita bias meninggal dunia) pada penyakit ini dan
walaupun penderita dapat bertahan hidup kemungkinan besar
penderita akan menjadi vegetatif.
7. Prognosis Fatal, pada umumnya penderita meninggal 6 bulan s/d 3
tahun setelah gejala timbul.
Dilaporkan 5% sembuh spontan.
8. Tingkat III
evidence
9. Tingkat A
rekomendasi
10.Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
11.Indikator Adanya keluhan seperti jatuh/tersentak, kemunduran
medis intelegensi, penyakit psikiatrik, paresis/paralisis, gangguan
bicara yang sering ditemukan, yang didahului oleh riwayat
morbili tipikal.
Pemeriksaan penunjang yaitu EEG, darah, dan MRI. Pada
EEG tahap awal normal atau perlambatan non spesifik, pada
stadium II menunjukkan gambaran supression burst
pattern/periodic slow wave complexes (PSWC), dan pada
stadium lanjut gambaran abnormal/bervoltase rendah. Pada
pemeriksaan darah titer antibodi morbili 1/124-1/2048 pada
MRI kepala tampak gambaran lekoensefali pada intensitas
signal T2 pada substansia alba, batang otak maupun
serebelum.
12.Target lama Beberapa pasien telah membaik atau stabil setelah beberapa
perawatan perawatan 6 minggu intraventrikular interferon-alfa, mulai dari
105 luas permukaan tubuh U/m2 / hari dikombinasikan dengan
lisan Isoprinosine, 100 mg / kg / hari.
13.Kepustakaan 1. Fenichel GM. Psychomotor Retardation and Regression.
Dalam: Clinical Pediatric Neurology: A Signs and Symptomps
Approach. Edisi Keenam. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2009. H. 147-8.
2. Bellini WJ et al. Subacute Sclerosing Panencephalitis: More
Cases of This Fatal Disease Are Prevented by Measles
Immunization than Was Previously Recognized. The Journal of
Infectious Disease. The Oxford Journals. 2005; 192 (10):
1686-93.
POLIOMIELITIS PARALITIKA
Kode ICD : A 80.9
1. Pengertian Penyakit infeksi virus akut yang mengenai medulla spinalis dan
(Definisi) batang otak.
253 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Bentuk klinis (klasifikasi):
Paralisis residual berupa asimetris, atrofi otot dan deformitas.
Refleks tendon berkurang atau hilang.
Tak ada gangguan rasa raba.
Nyeri otot yang sangat hebat.
Tak ada gangguan fungsi kandung kemih.
Kriteria Surveilens :
- AFP rate : 1 per 100.000 pada penduduk usia <15 tahun
- Spesimen yang adekuat dari kasus AFP > 60 %
254 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
12. Tingkat II
evidence
13. Tingkat A
rekomendasi
14. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
15. Indikator 1. Adaya kelumpuhan yang bersifat akut, asimetris dengan
medis progresifitas kelumpuhan 3-4 hari.
2. Adanya gejala rangsang meningeal diikuti kelumpuhan flaccid
asimetris.
3. Pada isolasi virus dari tinja dan orofaring, ditemukan virus
virus polio tipe Brunhilde, Lansing dan Leon.
16. Target lama Tujuh hari
perawatan
14. Kepustakaan 1. Maria BL, Bale JF. Infections of The Nervous System. Dalam: Menkes
JH, Sarnat HB, Maria BL. Child Neurology. Edisi Ketujuh. Los Angeles:
Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 445-8.
2. Pidcock et al. Infection and Autoimmune Diseases Affecting Motor
Neurons of the Spinal Cord: Chapter 88 Anterior Horn Cell and Cranial
Motor Neuron Disease. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM,
Schor NF. Swaiman’s Pediatric Neurology Principle and Practice
Volume Satu. Edisi Kelima. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. H.
1497-8.
3. Nara P, Lumbantobing SM. Penyakit Unit Motor dan Sindrom
Neurokutan. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi
Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 276-277.
255 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
adalah pengumpulan cairan di dalam jaringan otak, baik intraseluler
atau ekstraseluler. Fishman membagi edema serebri menjadi edema
vasogenik, edema sitotoksik dan edema interstitial.
1. Edema vasogenik terjadi akibat a) peningkatan permeabilitas
kapiler, b) peningkatan tekanan transmural kapiler, c) retensi
cairan ekstravaskuler pada ruangan intersisial. Keadaan ini dapat
terjadi karena tumor otak, lesi traumatik, perdarahan intraserebral,
fokus inflamasi atau hematom sudural kronis.
2.Edema sitotoksik terjadi akibat proses intraseluler pada astrosit
dan neuron. Keadaan ini disebabkan iskemi fokal atau umum dan
hipoksia akibat infark serebri. Dapat terjadi pada keadaan hipoksia,
iskemia dan infeksi.
3.Edema interstisial terjadi akibat transudasi CSS melauli barier
ependimal dari sistem ventrikel ke jaringan otak. Dapat terjadi pada
gangguan sirkulasi CSS.
2. Anamnesa Sakit kepala; sering bertambah saat bangun pagi, batuk, bersin,
mengedan, perubahan posisi kepala tiba-tiba (pada proses lesi
desak ruang).
Muntah; bersifat proyektil tanpa disertai rasa mual, mulanya
hanya timbul saat bangun pagi kemudian dapat terjadi setiap
waktu.
Pada anak besar: penurunan kesadaran atau perubahan
kepribadian, pada bayi: Letargi dan Iritabel,
Gejala lain (pada proses lesi desak ruang) : penglihatan
ganda/diplopia, strabismus, kelumpuhan, kejang, gangguan
keseimbangan/koordinasi.
256 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Sindroma herniasi sentral (transtentorial bilateral):
- Etiologi: edema sitotoksik, anoksia, trauma
- Deskripsi: pergeseran ke bawah kedua lobus temporalis menekan
diensefalon dan midbrain
- Temuan klinis: postur dekortikasi/deserebrasi; pupil kecil, reaktif,
pernafasan Cheyne-Stokes
Kelainan ekstraserebral
- Craniosynostosis primer
- Penyakit Crouzon
- Sindrom Apert’
- Perdarahan ekstradural
- Hematom subdural kronis
- Kleeblattscha¨ del deformity
257 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
- USG/CT-Scan/MRI kepala
- Darah perifer lengkap, analisis gas darah, elektrolit darah
Medikamentosa
Tindakan bedah
258 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(kraniektomi) untuk mengatasi pergeseran dan herniasi otak.
(Level of EBM I)
- Tindakan bedah lain tergantung dari etiologi (hidrosefalus,
perdarahan intrakranial, abses otak, tumor otak).
259 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
MENINGITIS BAKTERIALIS
Kode ICD : G.00
260 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Anamnesis Panas
Penurunan kesadaran
Kejang
High pitch cry pada bayi
3. Pemeriksaan Suhu febris
Fisik Penurunan kesadaran à GCS
GRM (+) à kaku kuduk, Brudzinsky, Kernig
Gangguan syaraf otak
Gejala klinis :
Tidak ada yang patognomonik untuk meningitis, bervariasi
tergantung:
Umur
Lama sakit sebelum diperiksa
Reaksi anak terhadap infeksi
Pada bayi sukar didiagnosis dini. Gejala klinis pada bayi :
Panas
Hyperirritable
Gangguan kesadaran
Poor muscle tone
Kejang
UUB menonjol
Muntah
Pada anak gejala klinisnya :
Gejala umum : panas, sakit kepala, nausea dan
muntah, photophobia, irritabilitas, letargi, gangguan
kesadaran.
Gejala Neurologis : GRM (tanda Kernig dan tanda
Brudzinsky I & II, kaku kuduk), kejang, UUB menonjol,
penurunan kesadaran.
4. Kriteria Gejala klinis
Diagnosis Pungsi lumbal
5. Diagnosis Meningitis Bakterialis
6. Differential Meningitis tuberkulosis
Diagnosis Meningitis aseptik
Encephalitis
7. Pemeriksaan a. Pemeriksaan darah tepi :
Penunjang Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
LED meningkat
Pemeriksaan CRP positif
b. LCS :
Opalesen sampai keruh (stadium dini dapat jernih)
Reaksi none dan pandy (+) satu atau lebih
Jumlah sel ratusan sampai ribuan per mm 3 cairan LCS,
terutama PMN, pedikel (-)
Kadar glukosa menurun <40 mg/dl
Kadar protein meningkat 100-500 mg/dl
Kadar chlorida kadang-kadang merendah
(EBM level 1)
Mikrobiologi : sediaan langsung dengan pengecatan gram, kultur
dan resistensi test. Dari hasil kultur didapatkan Bakteri
penyebab terbanyak pada usia 1-3 bulan: E. Coli,
L.monocytogenes, Neisseria meningitidis, S. Agalactiae,
S.pneumoniae, Haemophilus influenzae
Usia 3 bulan-18 tahun: N. Meningitidis, S. Pneumoniae, H.
Influenzae.
8. Terapi 1. Kausal :
Antibiotika diberikan sesuai dengan kuman penyebab dan
mampu melewati “Blood Brain Barrier”
Beri antibiotika polifragmasi sebelum diketahui kuman
penyebab. (70-90 % disebabkan N. Meningitidis, S.
261 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pneumoniae)
Sefalosporin generasi ke III yaitu Cefriaxone 100
mg/kg/hari dosis tunggal (maksimum 4 gram/hari) iv atau
Cefotaxime 300 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis dibagi
dalam 2 dosis dan vancomycin 15 mg/kg tiap 6 jam
(maksimal 500 mg tiap 6 jam) lama pemberian 7-14 hari
(EBM level I).
Bila vancomysin tidak tersedia, dapat diberikan Ampisilin
300-400 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis IV dan
sefalosporin (ceftriaxone atau cefotaxime).
Perubahan antibiotika selanjutnya tergantung dari hasil
resistensi tes.
Untuk mengatasi edema otak diberi kortikosteroid
dexametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari
selama 4–5 hari. (EBM level II)
Untuk mencegah reaksi immunologis deksametason
diberikan terlebih dahulu sebelum pemberian antibiotika.
2. Suportif
Pemberian cairan
Jumlah cairan sesuai dengan kebutuhan maintenance (EBM
level 1)
Nutrisi yang adekuat
Kejang diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang
demam sampai diketahui sekuele +/-
Bila terjadi kenaikan tekanan intrakranial dengan tanda :
o Kesadaran menurun progresif
o Tonus otot meningkat
o Kejang yang tidak teratasi
o Fontanella menonjol
o Bradipnoe
o Tekanan darah meningkat
Diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25-1
gram/kgBB/kali diberikan perinfus selama 30-60 menit,
dapat diulangi setelah 8 jam.
Pemberian O2.
Pembersihan jalan nafas
Awasi ketat fungsi vital
Perawatan atau follow up yang ketat 24-48 jam pertama
untuk melihat adanya “Sindroma Inapropriate Anti
Diuretic Hormone” (SIADH). Apabila ada SIADH dperlukan
monitor kadar elektrolit dan berat badan, manifestasi
klinis SIADH sebagai berikut :
a. Retensi air
Balans cairan positif
Berat badan naik
Tidak ada edema perifer
Pitting edema di daerah sternum
b. Gejala sistem gastrointestinalis, anoreksia, nausea,
muntah.
c. Gejala neurologik, letargi, pusing, kejang, perubahan
pada pupil, koma.
d. Laboratorium
- Hiponatremia (manifestasi klinis baru terlihat
sesudah Na<125 mEq/L)
- Ureanitrogen dan kreatinin darah rendah
- Na urin > 20 mEq/L
- BD urin > 1,012
262 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dengan rumus sebagai berikut:
Na defisit dalam mmol = (135-Na os) x 0,6 x BB(kg)
2,55
Tindak lanjut :
Mengawasi keseimbangan cairan dan elektrolit
Pengukuran lingkaran kepala jika UUB belum menutup
Setelah 48-72 jam pemberian antibiotika adekuat belum ada
perbaikan klinis yaitu berupa : keadaan umum memburuk,
panas tetap tinggi, kesadaran makin menurun, kejang sukar
diatasi, maka harus dipikirkan adanya komplikasi/pemberian
antibiotika yang tidak teratur atau tidak sensitif dan
dilakukan pemeriksaan :
Lumbal fungsi ulang
Funduskopi
Transiluminasi
USG kepala jika UUB belum menutup
9. Edukasi 1. memberi informasi kepada keluarga bahwa dapat terjadi
komplikasi-komplikasi dari penyakit ini
2. Memberitahu kepada keluarga akan kemungkinan adanya
gejala sisa / defisit neurologis
3. Perlu adanya pemantauan tumbuh kembang anak pasca
rawat
10. Prognosis Komplikasi yang dapat segera timbul yaitu berupa :
Kenaikan tekanan intrakranial
Nekrosis atau infark jaringan otak
Ventrikulitis
Gangguan nervus kranialis
Sindroma inappropriate antidiuretik hormone (SIADH)
Subdural empiema
Abses serebri
263 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
WBC pada LCS kurang dari 1.000 :1
Hb kurang dari 11 gram :1
Glukosa pada LCS kurang dari 20 mg/dl : 0,5
Gejala sudah lebih dari 3 hari : 0,5
Resiko menjadi tinggi bila skoring total lebih dari 4,5
11. Tingkat I/II/IV
evidence
12. Tingkat A
rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator 1. Kejang dengan demam (20-30%)
medis 2. Pemeriksaan laboratorium
3. Pemeriksaan LCS (70-90 % kultur LCS S.pneumonia dan
n.meningitidis, 1/3 kasus oleh L.Monocytogens)
4. Pemeriksaan kultur darah (80-90% kultur darah positif)
5. Adanya defisit neurologis dan gejala sisa
15. Setelah pemberian antibiotik selama 7-10 hari bila klinis sudah
Perawatan baik dan hasil pemeriksaan LCS sudah normal, penderita
dipulangkan. Jika klinis baik namun pemeriksaan LCS belum
normal tapi ada perbaikan dibandingkan LP pertama (jumlah sel
60-120 per mm3) antibiotika diteruskan sampai dengan 14 hari.
Jika klinis tetap baik penderita dipulangkan dan kontrol ke
poliklinik anak.
ENSEFALITIS
Kode ICD : A.86
264 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(Definisi)
2. Etiologi Neonatus: Neonatus: Herpes simplex virus type 2,
cytomegalovirus, rubella virus, Listeria monocytogenes,
Treponema pallidum, Toxoplasma gondii
Bayi dan Anak: Eastern equine encephalitis virus,
Japanese encephalitis virus, Murray Valley encephalitis
virus (rapid in infants), influenza virus, La Crosse virus
3. Anamnesis Gejala dapat ringan sampai berat, tergantung jenis virus dan
jaringan otak yang terkena.
Panas mendadak tinggi (sering dengan hiperpireksia)
Sakit kepala
Nausea dan muntah
Kesadaran cepat menurun (letargia, stupor, dan koma)
Kejang umum/fokal/twitching
Afasia, hemiparesis
Adanya riwayat penyakit primer dapat membantu diagnosis.
Misalnya Mump, morbili, varicella
1. Pemeriksaan Demam tinggi
Fisik GCS menurun
Ruam kulit pada ensefalitis karena enterovirus, varisela
zoster
Defisit neurologis: paresis, paralisis, afasia, ataxia,
paralisis syaraf otak
2. Kriteria Adanya trias demam tinggi, penurunan kesadaran, dan kejang,
Diagnosis tanpa adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
3. Diagnosis Ensefalitis
4. Differential Post imunisasi ensefalitis
Diagnosis Encephalomyelitis (seperti acute desseminated
encephalomyelitis (ADEM))
vasculitis
collagen vascular disorders, and paraneoplastic
syndromes(EBM level II)
5. Pemeriksaan 1. Laboratorium (LCS)
Penunjang Sering dalam batas normal (warna jernih, kadar protein
dan glukosa normal)
Dapat juga jumlah sel sedikit meningkat, kadar protein
sedikit meningkat (50-200) dan kadar glukosa biasanya
normal, pandy (-) atau (+)
Diagnosis pasti dengan mengisolasi virus dari LCS.
2. EEG
Sering menunjukkan aktivitas listrik yang merendah sesuai
dengan kesadaran yang menurun
3. Neuroimaging meliputi MRI atau CT scan
Tampak edema cerebri difuse maupun fokal.
9. Terapi 1. Ensefalitis dapat disebabkan oleh berbagai virus namun terapi
antiviral spesifik ditujukan ensefalitis virus yang disebabkan
oleh herpes virus khususnya herper simplex ensefalitis
dengan diagnosis pasti pemeriksaan PCR. Apabila didapatkan
klinis kejang fokal maka dapat diberikan asiklovir intravena
dengan dosis 10 mg/kg BB tiap 8 jam pada anak dengan
fungsi ginjal yang baik, dan 20 mg/kgBB iv setiap 8 jam pada
neonatus yang diberikan sesegera mungkin untuk
menurunkan angka kematian dan sekuele. Bila dalam
observasi 3 hari mengalami perbaikan maka asiklovir
diteruskan hingga 14 hari, namun bila tidak ada perbaikan
maka terapi dihentikan (EBM level A I). Bila dicurigai infeksi
bakterial dapat diterapi dengan terapi empiris sesuai terapi
meningitis bakterialis.(EBM level A-III)
2. Simptomatik
Kejang diatasi sesuai dengan tatalaksana kejang
Hiperpireksia diatasi dengan:
265 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
a. surface cooling: es ditempatkan pada pembuluh darah
besar yang letaknya superfisial
b. antipiretik
c. meniup udara/mendinginkan udara sekitarnya.
d. hibernasi, diberikan klorpromazin 2 mg/kgBB/hari
atau prometasin 4 mg/kgBB/hari secara IV atau IM
dalam tiga kali pemberian
Untuk mengatasi edema otak diberikan kortikosteroid
deksametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali dalam 3 kali
pemberian, selama 4-5 hari.
2. Suportif
Pemberian cairan : dilakukan retriksi cairan, jenis cairan
diberikan cairan (Dekstrose 5 % + NaCI 15%), dengan
perbandingan 2 : 1. jumlah cairan pada hari pertama 70 %
dari kebutuhan maintenance.
Bila edema otak diterapi sesuai penatalaksanaan edema
otak
Pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
Posisi diubah-ubah
Nutrisi yang adekuat
Tindak lanjut
Mencari dan mengobati penyakit penyerta
Fisioterapi bila sekuelle (+). Dilakukan 1 minggu tidak
panas
10. Edukasi 1. Memberi informasi kepada keluarga akan adanya
kemungkinan gejala sisa.
2. Jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke
departemen terkait
3. Memberitahu tentang pentingnya pemantauan tumbuh
kembang pasca rawat
11. Prognosis 1. Tergantung dari penyebab ensefalitis
2. Ada tidaknya gejala sisa pasca rawat
12. Tingkat II/III/IV
evidence
13. Tingkat A
rekomendasi
14. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
15. Indikator 1. Adanya trias demam tinggi, penurunan kesadaran, dan
medis kejang, tanpa adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial
2. Adanya virus penyebab
2. Defisit neurologis dan ada tidaknya gejala sisa
3. Pemeriksaan LCS menunjukkan pleocytosis (predominantly
mononuclear cells) dan peningkatan kadar protein, sebanyak
3-5% penderita encephalitis menunjukkan normal LCS)
4. Diagnosis pasti dari isolasi virus pada LCS
16. Target Lama pemberian asiklovir adalah 14-21 hari. (EBM level A-III)
Lama Antimikroba empiris bila dicurigai meningitis bakterialis.
Perawatan Bila sugestif rickettsial atau infeksi ehrlichial sebaiknya terapi
ditambahkan doksisiklin. (EBM level A-III). Jika etiologi sudah
diketahui, antimikroba sebaiknya sesuai dengan penyebab infeksi
atau terapi sebaiknya dihentikan bila tatalaksana langsung
terhadap etiologi tidak tersedia.
Jika masih panas 3 hari setelah pengobatan pikirkan komplikasi
atau antibiotikanya tidak adekuat.
266 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Pediatric neurology : Principles and practices fourth edition
chapter 64
3. Saharso darto. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku ajar
neurologiIDAI.Jakarta: 2000
4. Swaiman’s Pediatric Neurology principle Chapter 80
5. Allan R. Tunkel, Carol A et al. The management of
Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious
Disease Society of America.2008
1. Pengertian Kasus AFP adalah semua anak berusia kurang dari 15 tahun
267 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(Definisi) dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara
akut (mendadak/<14 hari) dan bukan disebabkan oleh ruda
paksa
2. Anamnes Kelumpuhan bersifat flaccid ( layuh ) yang terjadi < 14 hari
is Riwayat trauma disangkal
3. Pemeriks Tergantung bentuk klinis
aan Fisik
4. Kriteria Gejala klinis
Diagnosis Pemeriksaan fisik
Laboratorium
5. Diagnosi Klinis Acute Flaccid Paralysis dengan kemungkinan diagnosis
s SGB, Myelitis Transversa, Poliomyelitis paralitika, neuritis
traumatika, Chronic Inflammatory Demyelinating Polineuropathy
6. Pemeriks LCS
aan EMG
Penunjang MRI
7. Terapi 1. Segera lapor ke Dinas Kesehatan setempat (termasuk laporan
KLB)
2. Suportif
Istirahat selama fase akut. Bila keadaan berat istirahat
mutlak 2 minggu
Pengawasan ketat akan terjadinya paralise pernafasan
Kepala anak diletakkan lebih rendah dan dimniringkan ke
salah satu sisi bila refleks menelan terganggu
3. Simptomatik
Antipiretik bila demam
Keteterisasi bila retensi urin
Bantuan pernafasan mekanis bila paralise pernafasan di
ruang perawatan khusus
4. Pengambilan spesimen feses
Pengambilan spesimen 2x dengan interval 24 jam
Syarat :
- berat feses > 8 gram
- tidak dalam keadaan kering
- suhu dalam kontainer pengiriman 00–80 C atau masih ada
cold pack yang baku
5. Fisioterapi
Dilakukan untuk mencegah atrofi, kontraktur dan kelemahan
otot
8. Edukasi 1. Pengawasan ketat akan terjadinya paralise pernafasan
2.Lapor ke dinas kesehatan
3. Pemantauan adanya defisit neurologis
4. Rutin fisioterapi
9. Prognosis Poliomielitis dapat menyebabkan atrofi asimetris berat dan
deformitas skeletal. Paralitik poliomielitis dapat menyebabkan
kematian akibat paralisis bulbar oleh gagal napas.
10.Tingkat II/IV
evidence
11.Tingkat A
rekomendasi
268 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Lama
Perawatan
15. Kepustakaan 1. Pediatric Neurology: Principles and Practice fourth edition
2. Menkes. Child Neurology chapter 9
3. Valeria Sansone, Giovanni Meolaet al. Treatment for
periodic paralysis. Cochrane library 2007.
4. Arthur Marx et al. Differential diagnosis acute flaccid
paralysis and its role in poliomyelitissurveilance.
MIELITIS TRANSVERSA
ICD: G37.3
269 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Pengertian Penyakit ini ditandai kelumpuhan progresif disertai hilangnya
(Definisi) fungsi perasa dan fungsi otot sphingter, dan biasanya didahului
oleh infeksi pernapasan.
9. Tingkat II/III/IV
evidence
10. Tingkat A
rekomendasi
270 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
271 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ICD: SO9.9
Nilai
Membuka mata :
Spontan 4
Terhadap bicara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respons motorik
Mengikuti perintah 5
Lokalisasi nyeri 4
Fleksi terhadap nyeri 3
Ektensi terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respons verbal
Terorientasi 5
Kata-kata 4
Suara 3
Menangis 2
Tidak ada 1
272 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(SIGN2009), CT Scan kepala harus dilakukan pada anak
dengan trauma kepala bila Skala Koma Glasgow ≤ 13 pada
evaluasi awal:
Hilang kesadaran lebih dari lima menit
Dicurigai adanya fraktur tengkorak atau ubun-ubun
yang tegang adanya kelainan neurologis dan tanda-tanda
fraktur dasar tengkorak.
CT Scandipertimbangkan dalam 8 jam pasca trauma bila
terdapat:
kemerahan/bengkak/laserasi lebih dari 5 cm di kepala
kejang pasca trauma tanpa riwayat epilepsi
amnesia lebih dari 5 menit, kecurigaan trauma kepala
bukan karena kecelakaan
jatuh yang bermakna
tiga atau lebih episode muntah, pusing, atau respon
lambat
usia kurang dari satu tahun dengan Skala Koma Glasgow
<15
EEG bila terdapat gangguan kesadaran yang lama dan
kejang
USG kepala pada trauma lahir atau fontanela belum
menutup
7. Terapi Perbaiki jalan nafas, bila perlu pernafasan buatan dan
intubasi
Atasi kejang dan shock
Pemberian cairan intravena, diberikan 75% dari kebutuhan
untuk mengurangi edema otak
Obati edema otak dengan natrium hipertomik (NaCl 3%)
mampu menurunkan TIK dengan mempertahankan
tekanan osmolar parenkim otak. NaCl 3% diberikan bolus
dalam 5 menit dengan dosis 2-4 ml/kgBB IV. Dihentikan
bila kadar natrium >155 mEq/L (EBM level I)
Antibiotika diberikan pada luka yang kotor
Toksoid tetanus diberikan sebagai profilaksis pada luka
yang kotor dan bila anak belum mendapat booster dalam 4
tahun
Pemberian nutrisi yang adekuat
Observasi terhadap fungsi vital dan gejala neurologis
konsultasi
- Bagian bedah syaraf bila ada kecurigaan terhadap
trauma kapitis maligna
- Bagian bedah umum bila ada trauma di tempat lain
(trauma thoraks, trauma abdomen, dan fraktur).
8. Edukasi 1. Trauma kepala ringan tanpa penurunan kesadaran dapat
dirawat di rumah
2. Tirah baring selama 3 hari.
3. Selama observasi di rumah anak sebaiknya tidak minum
obat anti muntah, karena dapat membuat gejala muntah
tertutupi. Analgetik diberikan jika perlu.
4. Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak setiap 2-3
jam per hari sampai 72 jam setelah jatuh.
5. Anak segera dibawa ke rumah sakit, jika selama observasi
didapatkan: Anak tampak tidur terus atau tidak sadar
9. Prognosis Tergantung dari berat ringannya dari cedera yang ditimbulkan
Tergantung GCS yang rendah, pupil tidak reaktif dan
terdapatnya cedera kepala ekstrakranial mayor.
Pada cedera kepala tertutup pada ¼ anak yang bertahan maka
kesadaran akan kembali kurang dari 24 jam. Perbaikan
sempurna namun kadang terjadi transient sequele. Kebocoran
273 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
pada LCS dapat menyebabkan meningitis sekunder, post-
traumatic epilepsi, dan dapat berkembang menjadi carotid
artery–cavernous sinus fistula. Communicating
hydrocephalus lebih sering disebabkan perdarahan
subarachnoid.
10. Tingkat I/II/IV
evidence
11. Tingkat A
rekomendasi
12. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
13. Indikator 1.Adanya jejas pada kepala baik disertai maupun tidak disertai
medis lesi pada isinya.
2. Ada atau tidaknya penurunan kesadaran (56% sadar, 30.2%
drowsy, confused, 13.8% major impairement)
3. Defisit neurologis yang dapat timbul: sebanyak 7.4%
mengalami kejang, 3.8% paralyses, sebanyak 5.9% terdapat
major neurologic redidu.
4. CT scan kepala: sebanyak 7-40% pasien cedera kepala
ringan mengalami fraktur linier tengkorak
14. Target Lama Tergantung dari berat ringannya dari cedera yang ditimbulkan
Perawatan
15. Kepustakaan 1. Menkes. Child neurology chapter 9. Lippincott Williams
& Wilkins. 2006
2. Lazuardi Samuel. Trauma Kapitis pada Anak. Buku Ajar
Neurologi Anak. IDAI. Jakarta: 2000
3. Puldjiadi Antonius, Hegar Briul, HandyastutiSsetyo, et al.
Trauma kepala. Panduan praktek klinis IDAI.Balai penerbit
IDAI : 2011
4. MRC CRASH trial collaboration.2008
CEFALGIA
274 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kode ICD : R.51
1. Pengertian Cefalgia adalah nyeri atau sakit sekitar kepala, termasuk nyeri
(Definisi) di belakang mata serta perbatasan antara leher dan kepala
bagian belakang
Secara garis besar, penyebab cefalgia dapat dibagi 5 kategori,
antara lain:
Nyeri kepala vaskuler
Muskuloskeletal (nyeri kepala tegang otot)
Organik (tumor, malformasi, dan ensefalopati)
Psikogenik
Lain-lain (peradangan,arthritis, neuralgia)
Pola sakit Kemungkinan penyebabnya
kepala
Akut Terlokalisir
Infeksi saluran nafas akut seperti sinusitis, otitis
media
Kerusakan pada gigi seperti abses gigi, disfungsi
sendi temporomandibular
Infeksi sistemik seperti mengitis
Sentral : perdarahan akut intrakranial
Akut Migrain
rekuren
Kronis non Penyebab psikis
progresif
Kronis Space occupying lesion. Hipertensi intrakranial
progresif jinak
2. Anamnesi Saat sakit kepala muncul, lokasi, kualitas, frekuensi, durasi,
s beratnya sakit kepala, gangguan aktivitas sehari-hari oleh sakit
kepala, gejala prodormal atau aura yang mendahului sakit
kepala, riwayat trauma kepala, adakah defisit neurologis
sebelum, selama dan sesudah sakit kepala, riwayat keluarga
sakit kepala. Adanya depresi, gangguan emosi
3. Pemeriksa Keadaan umum pasien dan status mentalnya
an Fisik Ada kelainan pada kekuatan otot, reflex, dan koordinasinya.
Terutama otot-otot leher dan bahu.
Cari abnormalitas dari gigi dan gusi serta struktur kranial
dan wajah lainnya.
Pemeriksaan saraf kranial, cerebellum, sensoris, fungsi
motorik termasuk refleks untuk mencari kelainan tumor
atau vaskuler di hemisphere cereberi, cerebellum, atau
batang otak.
Pemeriksaan rangsang meningeal
Pemeriksaan funduskopi
4. Kriteria Gejala klinis
Diagnosis Pemeriksaan fisik
Laboratorium
5. Diagnosis Cefalgia
6. Diagnosis1. 1. Sefalgia Primer : bila tidak ditemukan penyebab organik dari
Banding suatu sakit kepala. Yang termasuk cefalgia primer yaitu
migrain, tension-typed headache, dan cluster headache.
2. Sefalgia Sekunder : bila didapat penyebab organik yang
mendasari keluhan sakit kepala pada penderita.
Penyebab sefalgia sekunder:
Sefalgia yang berhubungan dengan trauma kepala atau
leher
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan vaskuler
kepala dan servikal
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan intrakranial
275 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
nonvaskuler
Sefalgia yang berhubungan dengan infeksi
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan hemostasis
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan cranium,
leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau
stuktur kranial atau wajah lainnya
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan psikiatri
7. Pemeriksa Keadaan umum pasien dan status mentalnya
an Fisik Ada kelainan pada kekuatan otot, reflex, dan koordinasinya.
Terutama otot-otot leher dan bahu.
Cari abnormalitas dari gigi dan gusi serta struktur kranial
dan wajah lainnya.
Pemeriksaan saraf kranial, cerebellum, sensoris, fungsi
motorik termasuk reflex untuk mencari kelainan tumor atau
vaskuler di hemisphere cereberi, cerebellum, atau batang
otak.
Pemeriksaan rangsang meningeal
Pemeriksaan funduskopi
8. Pemeriksa Laboratorium darah, LED
an Penunjang Lumbal Pungsi
Elektroensefalografi
CT Scan Kepala, MRI
9. Terapi 1.Cefalgia primer
A. Migrain
Istirahat
Analgetik : ibuprofen (10 mg/kgBB/kali) atau naproxen
(10 mg/KgBB/kali)
Jika sakit kepala moderat dan berat dipertimbangkan
diberi Triptans
Di follow up selama 12 - 24 jam jika tidak membaik:
pemberian obat parenteral di UGD dengan Triptans, atau
dihydroergotamin (1 mg), atau asam valproat jika
membaik nilai frekuensi migrain
Frekuensi migrain < 2x/bulan tidak ada profilaksis
Frekuensi migrain ≥ 2x/bulan diobati profilaksis dengan
Cyproheptadine (0,1 mg/kgBB/kali), atau propanolol (0,2-
0,5 mg/kgBB/kali), atau amitriptilin (0,5-1
mg/kgBB/kali).Kemudian di follow up frekuensi migraine
selama 1 – 3 bulan. Kalau membaik tidak diobati, kalau
tidak membaik diterapi dengan biofeedback, latihan
relaksasi, riboflavin, tablet valproat extended release
(5mg/kgBB/kali), gabapentin (2mg/kgBB/kali),
topiramate (1mg/kgBB/kali) atau verapamil (1-3
mg/kgBB/kali)
B. Tension Headache
Istirahat
Analgetik, contohnya parasetamol
Dipertimbangkan : terapi relaksasi, biofeedback, terapi
massage, tizanidine (0,01 mg/kgBB/kali) , amitriptilin
(0,5-1 mg/kgBB/kali)
Dinilai selama 1 – 3 bulan
Jika tidak ada perbaikan pertimbangkan untuk pemberian
konseling psikologi, injeksi trigger point, injeksi Botox
C. Cluster Headache
Fase akut: oksigen atau ergotamine (1mg/hari) atau
sumatriptan
Preventif: verapamil, litium, ergotamine, metisergit,
276 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
kortikosteroid, topiramat
2.Cefalgia sekunder
Diatasi penyakit yang mendasarinya
277 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SPASME INFANTIL
Kode ICD : G 40.4
8. Pemeriksaa 1. EEG
n Penunjang Gambaran khas adalah hipsaritmia, yaitu adanya gelombang-
gelombang “spike” dan lambat yang timbul di seluruh bagian
korteks tetapi tidak sinkron.
2. CT scan tidak khas
9. Terapi ACTH 40-80 Unit IM dalam 2 dosis
Dimulai dalam dosis besar selama 1-2 minggu, lama pengobatan
seluruhnya 4 minggu. Pengobatan dihentikan bila tidak ada
perbaikan klinis dalam 2 minggu. Bila terdapat perbaikan
dengan klinis hilangnya spasme dan hipsaritmia maka dosis ini
dipertahankan kemuadian diturunkan secara bertahap setengah
dari dosis. Bila ACTH tidak tersedia maka dapat diberikan metil
prednisolone 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Lama
dan indikasi sama dengan golongan ACTH.
Nitrazepam (mogadon). 0,1-2,2 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis. Mula-mula dosis rendah dan dinaikkan perlahan-lahan
sampai kejang terkontrol. Biasanya digunakan pada spasme
infantile simptomatik.
Klonazepam, dosis 0,025-0,15 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis. Digunakan pada tipe simptomatik.
Asam valproat 10-40 mg/kgBB/hari. Dimulai dengan
dosis rendah.
278 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
10. Edukasi Pengawasan terhadap kejang
279 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
UNPROVOKED SEIZURE
Kode ICD : R 56.8
280 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ketiga kalinya maka kemungkinan berulang 80% (EBM level
II)
Bila terdapat EEG abnormal maka risiko untuk terjadinya
rekurensi akan meningkat.
12.Tingkat II/III
evidence
13.Tingkat B
rekomendasi
14.Penelaah 1. Dr. H. Syarif Darwin SpA(K)
kritis 2. Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K)
3. Dr. RM. Indra , SpA
15. Indikator Serangan kejang tanpa demam pertama kali
medis
16. Target 3 hari
lama
perawatan
17. Kepustakaan 1. Champhiel, Carold. Peter R. Pediatric epilepsy an overview. In Swaiman’s Pe
Principle& Practice.Fifth edition. Chapter 50: 2012. P 1951-53
2. The epilepsie. Child Neurology sixth edition chapter 13 Hirtz D, Ashwal S, Be
paramete: evaluating a first nonfebrile sizure in children. Report of the qualit
subcommitee of American Academy of Neurology , the Child Neurology Soci
American Epilepsy Society.2000; 55:616-23
3. Gloss D, Nolan SJ, Staba R. The role of high-frequencyoscillations in epilepsy
Cochrane Database of Systematic Reviews 2014. Issue 1.
4. D. Hirtz, A. Berg, D. Bettis, et al. Practice parameter: Treatment of the child
unprovoked seizure 2003;60;166-175
281 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
URTIKARIA
Kode ICD : L.50
282 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dengan cepat, terdapat distres pernafasan.
b. adrenalin (1:1000) dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali
subkutan (maksimum 0,3 ml) dilanjutkan dengan pemberian
antihistamin penghambat reseptor histamine H1
3. Antihistamin:
a. antihistamin H1generasi I:
klorfeniramin maleat (ctm): 0,35 mg/kg/hari dibagi 3
dosis
b. antihistamin H1 generasi II:
cetirizine 0,25 mg/kg/hari sekali sehari
c. antihistamin H2
untuk membantu aktivitas antihistamin H1
simetidin 5 mg/kg/kali 3x sehari
4. Tabir surya à urtikaria solar (panjang gelombang 285-320 nm)
5. U. dingin à hindari mandi/ berenang di air dingin
6. HAE : Hindari faktor eksaserbasi: panas, aktivitas, aspirin, alkohol
7. Kortikosteroid
a. Untuk urtikaria/angioedema yamg berat
b. diberikan bila tidak memberikan respon yang baik dengan
obat-obat diatas
12. Edukasi Meyakinkan penderita/keluarga:
U/A à remisi spontan ( hari, bulan, tahun)
U /A tidak menyebabkan cacat
U/A dapat dikontrol dengan satu atau kombinasi obat-obatan
13. Komplikasi Komplikasi
dan Prognosis Angioedema merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja
terjadi obstruksi jalan nafas karena edema laring dan sekitarnya, atau
anafilaksis yang dapat mengancam jiwa.
Prognosis
Baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat
14. Tingkat IV
Evidens
15. Tingkat C
rekomendasi
16. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
17. Indikator Ruam /edema menghilang
medis
18. Taksiran 3-5 hari
lama
perawatan
19. Kepustakaan 1. Matondang C.S. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi
imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. Jakarta.
2008. Hal 224-34
2. Leung DYM, Dreskin SC. Urticaria (Hives) and Angioedema.
Dalam: Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co. 2008.
3. Leung DYM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
283 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SYOK ANAFILAKSIS
Kode ICD : T78.2
1. Definisi Reaksi alergi sistemik berat terhadap stimulus apapun, dengan onset
mendadak dan biasanya berlangsung < 24 jam, terdiri dari bentol,
kemerahan, gatal, angioedema, stridor, wheezing, nafas pendek,
muntah, diare atau syok yang mengancam kehidupan.
2. Anamnesis 1. Terdapat berbagai gejala yang timbul mendadak: gelisah, lemah,
pucat, sesak, pingsan, mual, muntah, nyeri perut, suara serak,
sesak nafas, batuk kering, pilek, hidung tersumbat, mengi,
gatal pada mulut dan muka, timbul bentol di kulit,
pembengkakan pada mata
2. Penyebab anafilaksis yang dicurigai: makanan, obat-obatan,
gigitan serangga atau transfusi
3. Onset setelah paparan agen penyebab (onset yang disebabkan
oleh agen penyebab yang diinjeksikan lebih cepat daripada yang
dicerna)
4. Penyakit penyerta (penyakit kardiovaskuler, asma dan penyakit
saluran nafas yang lain, rhinitis alergi, eksim, penyakit
psikiatrik, mastocitosis)
5. Obat-obatan lain yang dikonsumsi (ACE inhibitor, beta bloker)
3. Pemeriksaan Masalah yang mengancam jiwa:
fisik o Airway: edema saluran nafas, suara serak, stridor
o Breathing: nafas cepat, wheezing, kelelahan, sianosis, SpO2
<92%, kebingungan
o Circulation: pucat, dingin, tekanan darah turun, pingsan,
mengantuk/coma, takikardi atau nadi tidak teraba.
Adanya urtikaria dan angioedema.
4. Bentuk Klinis Tergantung organ dan derajat beratnya serangan, penderita harus
(Klasifikasi) dimonitor status respirasi dan kardiovaskuler
Kulit
Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliformis,
pilor erecti
Reaksi lokal
Oral
Pruritus pada bibir, lidah, palatum, edema pada bibir dan
lidah, rasa seperti logam di mulut
Saluran Nafas (organ syok utama)
Laring: pruritus dan rasa sesak pada tenggorokan, disfagia,
disfonia, serak, batuk kering, gatal pada saluran telinga luar
Paru: nafas pendek, dispnu, dada sesak, batuk dalam,
wheezing
Hidung: gatal, bengkak, rinore, bersin
Apabila lidah dan orofaring terkena bisa terjadi sumbatan
saluran nafas atas
Stridor bila saluran atas terkena
Obstruksi total saluran nafas merupakan penyebab kematian
terbanyak
Kardiovaskuler
Pingsan/sinkop, nyeri dada, disritmia, hipotensi
Takikardia kompensata karena penurunan tonus pembuluh
darah
Kebocoran kapiler dapat menyebabkan kehilangan volume
intravaskuler dan hipotensi
Gastrointestinal
Mual, kolik, muntah, diare
Diagnosis ditegakkan secara klinis, perlu dicari riwayat penggunaan
284 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa
keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga
Kriteria perlu dipikirkan diagnosis banding.
Diagnosis Langkah diagnosis anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis
6. Diffrential Pada reaksi sistemik ringan dan sedang: urtikaria dan angioedema
diagnosis Pada reaksi sitemik berat:
1. Syok Hipovolemik
2. Syok Septik
3. Syok Kardiogenik
4. Syok Neurogenik
5. Hipoglikemia
6. Ketoasidosis
7. Dehidrasi
7. Pemeriksaan 3. Darah rutin
penunjang 4. Urin rutin
5. Analisis Gas Darah
8. Tatalaksana Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung, bila pasien
mengalami henti jantung-paru, harus dilakukan resusitasi
kardiopulmoner.
Adrenalin (epinefrin) 1: 1000 mg dosis 0,01 mg/kg intramuskuler
maksimal 0,3 mg atau: >12 tahun: 5 mcg IM (0,5 mL); 6-12
tahun: 3 mcg IM (0,3 mL), < 6 tahun: 150 mcg (0,15 mL)
Intubasi dan trakeostomi: bila terdapat sumbatan jalan nafas
bagian atas karena edema
Torniket: kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada
ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang
torniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gig1tan
tersebut
Oksigen: diberikan pada penderita yang mengalami sianosis,
sesak atau penderita dengan mengi.
Difenhidramin: untuk mengurangi gejala gatal, kemerahan,
angioedema, urtikaria, gejala pada mata dan hidung, namun
tidak dapat menggantikan adrenalin karena tidak dapat
mengurangi gejala obstruksi saluran nafas atas, hipotensi dan
syok dosis 1 mg/kg maksimum 50 mg.
Cairan intravena: untuk mengatasi syok pada anak: kristaloid 20
ml/kg secepatnya
Aminofilin
Vasopresor
Kortikosteroid, walaupun kortikosteroid tidak menolong pada
penatalaksanaan akut reaksi anafilaksis, kortikosteroid berguna
untuk mencegah gejala berulang
Pengobatan suportif
285 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
9. Edukasi Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya
makanan, obat-obatan dan lain-lain.
Jelaskan pada guru-teman, pengasuh, dan pada anak bahwa
anak tersebut menderita reaksi anafilaksis terhadap makanan,
obat-obatan dan lain-lain.
Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan
tentang cara pemakaiannya
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat IV
evidens
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator Respon klinis baik bila :
medis a. Keadaan umum : Kompos Mentis
b. Tanda vital stabil
c. Tanda – tanda komplikasi tidak ada
15. Taksiran
lama
perawatan
16. Daftar 1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.
kepustakaan Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
286 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Sampson HA. Donald Y.M. Leung. Adverse Reactions to
Drugs. Chapter 151. Behrman N, Kliegman Jenson. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co
2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
287 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
1. Definisi Merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan trias
kelainan pada: kulit mukosa orifisium serta mata yang disebabkan
oleh reaksi hipersensitivitas atau kompleks imun.
2. Anamnesis Gejala prodromal: demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri
dada, muntah, pegal otot dan atralgia.
Timbul ruam (lesi makula eritem) yang secara cepat berkembang
menjadi lepuh (vesikel, bula) pada bagian tubuh yang disertai lesi
mukosa dan mata
Identifikasi faktor penyebab: infeksi sebelumnya/riwayat makan
makanan tertentu, riwayat pemakaian obat-obatan, imunisasi, dll.
Jarak waktu paparan faktor penyebab dengan timbulnya gejala (gejala
dapat timbul 8 minggu, biasanya 4-30 hari setelah paparan)
3. Pemeriksaan Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan
fisik bagian dari severe cutaneous adverse reactions yang diklasifikasikan
berdasarkan luas permukaan tubuh (body surface area/BSA) yang
terkena:
1. Steven-Johnson syndrome (< 10% BSA)
2. Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap
(10-30% BSA)
3. Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis (>30%
BSA)
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang
berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma.
Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa
demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah,
pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi kulit, mukosa dan
mata yang dapat diikuti kelainan viseral.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula,
berupa lesi kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh
tubuh. Sering timbul perdarahan pada lesi menimbulkan gejala
fokal berbentuk target, iris atau mata sapi. Predileksi pada area
ekstensor tangan dan kaki serta muka yang meluas ke seluruh
tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi erosi,
ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan
kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia.
b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut
(100%), kemudian disusul oleh kelainan di alat genital (50%),
sedangkan di hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Pada selaput mukosa dapat ditemukan vesikel, bula, erosi,
ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Kelainan di
mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian
atas dan esofagus. Pada faring dapat terbentuk pseudomembran
berwarna putih atau keabuan yang menimbulkan kesukaran
menelan.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang
tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa
blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata biasanya
288 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat terjadi erosi dan
perforasi kornea.
Kelainan klinis SSJ/NET biasanya timbul cepat dan menakutkan
dengan keadaan umum yang berat, disertai demam, dehidrasi,
gangguan pernapasan, muntah, diare, melena, pembesaran kelenjar
getah bening dan hepatosplenomegali sampai pada penurunan
kesadaran dan kejang.
Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat
berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu.
4. Kriteria Anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan trias:
Diagnosis 1. Kelainan kulit
2. Kelainan mukosa
3. Kelainan mata
5. Diagnosis Steven-Johnson syndrome
Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap
Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis
6. Diffrential Staphylococcus scalded skin syndrome
diagnosis Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa bula
numular di leher, ketiak dan wajah. Juga terdapat epidermolisis, tetapi
selaput lender jarang dikenai.
7. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya
Penunjang dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum.
Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah :
1. Pemeriksaan darah tepi (Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, hitung
eosinofil total, LED). Leukosit biasanya normal atau sedikit
meninggi, dan pada hitung jenis eosinofil meningkat.
2. Elektrolit (Na,K) untuk melihat adanya gangguan elektrolit akibat
kehilangan cairan transdermal
3. Albumin, protein total, fungsi ginjal
4. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.
5. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila
diragukan gambaran klinisnya dapat dilakukann biopsi dan
pemeriksaan histopatologik untuk membedakan. Pada pemeriksan
histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis epidermis
sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis,
pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh
darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat
memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin. Untuk
mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka
bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur
kurang dari 24 jam.
8. Tatalaksana o Identifikasi dan segera hentikan pemakaian obat/makanan/agen
yang dicurigai sebagai faktor penyebab
o Rawat diruang rawat khusus (isolasi dari penderita lain), bila ada
kegawatan rawat di PICU
o Terapi cairan (jenis dan jumlah) dan elektrolit disesuaikan dengan
luas permukaan tubuh yang terkena dan kelainan elektrolit yang
ada
o Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih antibiotika
yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bakterisidal
dan tidak ada kontrainidkasi seperti: gentamisin 5mg/kgBB/hari
terbagi dalam dua dosis, atau netromisin 4-6 mg/kgBB/hari.
o Nutrisi: pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan
sampai mukosa oral kembali normal.
o Topikal :
- Kulit : kompres NaCl 0,9%
- Mulut : kumur-kumur antiseptik
- Mata : lubrikasi dengan air mata buatan
salep mata yang mengandung antibiotika
o Transfusi (bila perlu)
289 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
o Konsultasi dengan bagian lain sesuai keadaan penderita (Mata,
THT)
9. Edukasi Harus dicegah kontak ulang dengan faktor penyebab
Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang penderita
10. Komplikasi Berbagai komplikasi dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron,
Dan miositis, mielitis, bronkopneumonia, nefritis, poliartritis atau
Prognosis septikemia.
Pada kasus yang tidak berat prognosisnya baik dan penyembuhan
terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau dengan pengobatan terlambat dan tidak memadai,
angka kematian berkisar antara 5-15%. Prognosis lebih buruk bila
terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta
sepsis.
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator Klinis: tanda vital, luas lesi pada kulit, mukosa dan mata, nafsu
medis makan
Laboratoris: darah perifer, elektrolit, albumin, urinalisis
15. Taksiran 14-21 hari
lama
perawatan
16. Daftar 1. Akin AAP, Takumansang DS. Sindrom Stevens-Johnson.
kepustakaan Dalam:Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal 307-11
2. Cantani A. Allergic and pseudoallergic reactions to drugs. Dalam:
Cantani A. Pediatric Allergy, Asthma and Immunology.
Springerlink.Berlin 2008. 1166-70.
3. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis).In: Wolff K,
Goldsmith KA, Katz KI, Gilchrest KA, Paller AS, Leffell DJ editors.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Seventh Edition. New
York: McGraw-Hill Book Co.2008. 349-55
4. Morelli JG. Vesicobullous disorder. Chapter 653. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
5. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
290 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN
Kode ICD : D69.0
1. Definisi Sindroma klinis yang disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah kecil
sistemik, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik yang berupa purpura
nontrombositopenik, artritis atau artralgia, nyeri abdomen atau
perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.
2. Anamnesis Timbul ruam kemerahan yang berubah menajdi ungu di ekstremitas
(terutama di ekstremitas bawah)
Nyeri perut, BAB hitam, nyeri sendi, bengkak pada sendi
Apakah gejala ini sudah berulang sebelumnya
Apakah ada BAK merah, nyeri kepala
3. Pemeriksaan Kulit: ruam makuloeritematosa yang palpabel, berlanjut menjadi
fisik purpura, tanpa adanya trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan
ekstremitas bagian bawah (pada 100% kasus) purpura lambat laun
berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu
menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan
ekstremitas (punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas
bawah, tidak menimbulkan deformitas yang menetap.
Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan
perdarahan gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang
dapat perforasi usus dan intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-
3% kasus.
Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)
4. Kriteria Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di
Diagnosis bokong dan ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut :
nyeri obdema, atau perdarahan gastrointestinalis, artralgia atau artritis
dan hematuria atau nefritis.
Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung
atau menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada
PHS tidak spesifik, jumlah trombosit normal atau meningkat, LED
dapat meningkat, kadar komplemen normal, kadar IgA dalam darah
mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung darah. Biopsi
lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi pada dinding
pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan
telusuri komplikasi.
5. Diagnosis Purpura henoch schonlein
6. Diagnosis Penyakit Kawasaki
Banding Lupus eritematosus sistemik
Polyarteritis Nodosa
Urticarial vasculitis
ITP
7. Pemeriksaan Laboratorium
Penunujang 1. Darah tepi: trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan
purpura yang disebabkan trombositopenia, biasanya juga eosinofilia.
LED dapat meningkat.
2. Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan
kadar IgA dalam darah mungkin meningkat.
3. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun
291 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
penurunan kreatinin klirens
4. Feses: ditemukan darah
Pencitraan:
Bila dicurigai adanya intususepsi: USG dan foto polos abdomen
8. Tatalaksana 1. Suportif dan simptomatis:
Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti asetaminofen atau
ibuprofen.
Artritis ringan dan demam: ibuprofen atau parasetamol
Nyeri perut: makanan lunak
2. Kortikosteroid
diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan
saluran cerna, purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal
progresif (sindroma nefrotik, kerusakan glomerulus), edema
jaringan lunak yang hebat, gangguan SSP, dan perdarahan paru,
dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 250-750 mg (IV) selama 3-7
hari + siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 100-200 mg (oral) selang sehari,
siklosfosfamid 100-200 mg selama 30-75 hari
- Tappering off predinon 25 mg/bulan terapi selasai minimal
dalam 6 bulan.
Nyeri perut berat dan pencegahan terjadinya nefritis:
kortikosteroid oral jangka pendek dosis 1-2 mg/kg/hari terbagi 3
dosis selama 5-7 hari kemudian diturunkan perlahan-lahan
selama 2-3 minggu.
Nyeri perut berat dengan mual dan muntah: 1-2 mg/kg/hari
3. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP.
4. Jika akut abdomen konsul bedah.
5. Monitoring:
Tekanan darah
Nyeri perut, perdarahan saluran cerna
Purpura/lesi kulit baru yang timbul
Laboratorium: leukosit, LED, urinalisis dan feses
9. Edukasi Menjelaskan pada penderita/keluarga:
Kemungkinan rekurensi terjadi pada 50% kasus
Gejala dan kemungkinan komplikasi yang terjadi
Jadwal pemberian obat terutama kortikosteroid dan jadwal
penurunannya, efek samping dan cara memakan obat
10. Komplikasi Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
dan Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
Prognosis SSP : defisit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa
minggu. 50% kasus dapat rekuren.
Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator Tanda vital stabil, terutama tekanand arah normal
medis Gejala yang mengganggu menghilang: nyeri perut, nyeri sendi, lesi kulit,
BAB hitam
Perbaikan dari hasil-hasil laboroatorium: LED, leukosit, fungsi ginjal,
urinalisis dan pemeriksaan feses
15. Taksiran 10-14 hari
lama
perawatan
16. Daftar 1. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akib AA,
292 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
kepustakaan Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter 166.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co
2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles
and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
4. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010
293 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
294 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau
dapat berhubungan dengan kelainan organik serebral.
Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam
(mediatinum, intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali.
Anemia: normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi
rendah dapat disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia
dan gangguan hemostatis.
Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi.
Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan
alveolar masif.
Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
Kelainan sistem pencernaan : terjadi akibat vaskulitis seperti :
perdarahan intestinal, pankreatitis, perforasi usus atau ulserasi
hemoragis. Dapat terjadi diare karena infeksi saluran cerna.
Perdarahan digestif karena pemberian obat (anti inflamasi), hepatitis
dan dapat terjadi asites.
Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf
optik. Pada retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan
(Cotton Wool Spots), papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang),
scotoma, gangguan penglihatan unilateral dan keratitis.
4. Kriteria Dasar Diagnosis:
Diagnosis Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang paling
bayak dianut adalah menurut American Rheumathism Association (ACR).
Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria
ARA tersebut. 4 kriteria positif menunjukkan 90% sensitivitas dan 96%
spesifisitas. Salah satu butir pernyataan cukup untuk memenuhi
kriteria. Kriteria ARA ini terdiri dari
1. Eritema malar (Butterfly rash)
2. Lupus diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal
5. Artritis
6. Nefritis: proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine
7. Ensefalopati, konfulsi, psikosis
8. Pleuritis atau perikarditis
9. Gangguan hematologi: sitopenia
10.Imunoserlogipositif : antibody antidouble stranded DNA (anti
dsDNA), antibody antinuclear Sm, sel LE, serologisifilis (positif
palsu)
11.Antibodi Antinuklear positif (ANA).
Langkah Diagnosis
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat
mengidentifikasi manifestasi klinis dan butir-butir kriteria ACR.
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium/ penunjang lain.
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
Analisis darah tepi lengkap
Sel LE
antibodi Antinuklear (ANA)
Anti ds DNA (anti DNA natif)
Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll)
Titer komplemen C3, C4 dan CH5O
Titer IgM, IgG dan IgA
Krioglobulin
Masa pembekuan
Uji coombs
Elektroforesis protein
Kreatinin dan ureum darah
Protein urine (total protein dalam 24 jam)
Biakan kuman, terutama dalam urine
Foto rontgen dada.
295 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
3. Tegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ACR dan identifikasi
luasnya manifestasi klinis.
4. Telusuri komplikasi.
296 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
80 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis selama 3-6 minggu,
dilanjutkan tapp of selama 1-2 minggu)
Untuk lupus fulminan akut, lupus nefritis
akut yang berat, trombositopenia
(<50.000/mm ) 3
tanpa perdarahan dan
gangguan koagulasi, lupus eritematosus kutan
berat sebagai bagian terapi inisial lupus
diskoid
c. Metil prednisolon parenteral
Dosis 30 mg/kg/hari IV (max 1 gr) selama 90
menit 3 hari berturut-turut dilanjutkan secara
intermiten (tiap minggu) disertai prednison
dosis rendah setiap hari
Indikasi: penyakit aktif berat tidak terkontrol
dengan steroid oral dosis tinggi, rekurensi aktif
sangat berat, anemia hemolitik yang berat,
trombositopenia berat.
4. Imunosupresan
1. Siklofosfamid:
Oral 1-3 mg/kg/hari
Parenteral: awal 500-750 mg/m2 LPT
maksimum 1 g/m /hari
2
297 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
<6 bulan: 360 mg/hari
6-12 bulan: 540 mg/hari
1-10 tahun: 800 mg/hari
11-18 tahun: 1200 mg/hari
3. Dosis vitamin D (hidroksikolkalsoferol)
BB<30 kg: 20 mcg po 3 kali/minggu
BB>30 kg: 50 mcg po 3 kali/minggu
E. Pencegahan
1. Pencegahan terhadapa paparan sinar matahari
Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV
tertinggi: jam 09.00/10.00-15.00/16.00
Pakai lengan panjang, celana panjang, kerudung,
topi, kacamata hitam
Pakai tabir surya/sunblock minimal SPF 24
298 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Dokter Anak Indonesia. Jilid II. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesi. 2011. Hal: 175-83.
299 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
1. Definisi Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit
rematik yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.
2. Anamnesis 1. Usia onset penyakit < 16 tahun
2. Gejala artritis (pembengkakan atau efusi, adanya 2 atau lebih:
keterbatasan gerak, nyeri, atau nyeri saat digerakkan dan perabaan
hangat) pada satu atau lebih sendi
3. Lama penyakit > 6 minggu
4. Jumlah sendi yang terkena:
Poliartritis: ≥5 sendi
Oligoartritis < 5 sendi
Sistemik: gejala artritis dengan adanya demam
5. Gejala lain : nafsu makan menurun, BB turun, bila penyakit berat
terjadi gangguan tidur di malam hari akibat nyeri
6. Nyeri sendi tidak berpindah, sendi jarang terlihat merah
7. Terdapat kekakuan sendi pada pagi hari
3. Pemeriksaa Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi,
n Fisik terbanyak pada sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada sendi
lutut, pergelangan kaki dan siku.
Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya
mengenai sendi besar) terutama didaerah tungkai.
Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan puncak
tunggal atau ganda > 39°C selama 2 minggu atau lebih muncul
artritis. Biasanya disertai kelainan sistemik berupa ruam reumatoid
serta kelainan viseral (hepatosplenomegali, serositis, limpadenopati).
4. Kriteria Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya tidak terlihat
Diagnosis eritem. Secara klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2
gejala inflamasi: gerakan sendi yang terbatas, nyeri atau sakit pada
pergerakan dan panas. Pada anak kecil yang lebih menonjol adalah
kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari.
Dipakai kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology
Association (ACR),yaitu
Usia penderita kurang dari 16 tahun
Artritis (bengkak atau efusi; adanya dua atau lebih tanda :
keterbatasan gerak, nyeri sendi, dan panas pada sendi) pada satu
sendi atau lebih
Lama sakit lebih dari 6 minggu
Tipe onset penyakit (dalam waktu 6 bulan)
- Poliartritis (≥5 sendi)
- Oligoartritis (< 5 sendi)
- Sistemik dan artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin
terdapat ruam atau keterlibatan ekstrartikuler, seperti
limadeopati, hepatosplenomegali, dan perikarditis.
Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan.
Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ARJ : kaku sendi pada pagi
hari, ruam reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik,
spondilitis servikal, nodul reumatoid, tenosinovitis. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan antibodi antinuklear (ANA), faktor reumatoid
(RF), serta peningkatan titer komplemen C3 dan C4.
Langkah Diagnosis :
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis ARJ semata-
mata berdasarkan klinis.
Pemeriksaan laboratorium/penunjang untuk mendukung/
menyingkirkan diagnosis.
300 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Tegakkan diagnosis dan identifikasi luasnya manifestasi klinis
5. Diagnosis Artritis Reumatoid Juvenil ( ICD 10: M.08.0 )
6. Diagnosis Demam rematik akut
Banding Lupus eritematosusu sistemik
Keganasan
7. Pemeriksaa Pemeriksaan laboratorium:
n Penunjang Darah perifer lengkap:
o Tergantung derajat peradangan sistemik atau persendian, bisa
ditemukan peningkatan leukosit, trombosit, LED dan
penurunan Hb dan MCV
CRP
Anti nuclear antibody (ANA): positif pada 40-85% anak ARJ
oligoartritis dan poliartritis tetapi biasa ditemukan positif pada tipe
sistemik
Rheumatoid factor
Pemeriksaan radiologi: tidak rutin, dilakukan pada kasus dimana
terjadi pembengkakan sendi yang nyata
Peradangan jaringan ikat lunak, osteoporosis regional
8. Tatalaksana Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu
untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan
melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, praktek sosial,
bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.
Medikamentosa :
Pilihan obat anti inflamasi non steroid (AINS)
1. Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral,
dibagi3-4 dosis, diberikan bersama makanan, selama 1-2 tahun
setelah gejala klinis menghilang, atau:
2. Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.
3. AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak.
Pemberiannya hanya untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan
inflamasi pada anak tertentu yang tidak responsif terhadap AAS
atau sebagai pengobatan inisial, misalnya :
Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30
mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberi bersama makanan atau
antasid.
Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6
jam sesuai kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari
untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada penyakit
sistemik (pemberian > 10 hari memerlukan pengawasan yang ketat,
tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat menimbulkan
kelainan ginjal.
Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic Drugs
(SAARDs) hanya diberikan pada poliartristik progresif yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan AINS, contoh : Hidroksi klorokuin,
garam emas (gold salt), Penisilamin dan sulfa salazin.
- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan AINS),
dosis 6-7 mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu turunkan jadi 5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, jika setelah terapi 6 bulan tidak
ada perbaikan obat dihentikan
- Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap
pengobatan AAS/AINS lain setelah 6 bulan. Pengobatan dengan
AAS/AINS lain diteruskan selama pemakaian garam emas.
Preparat yang dipakai Gold sodium thiomalate dan auro
thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM dan kemudian dosis
ditingkatkan sampai 0,75-1 mg/kgBB/minggu (< 50mg). Jika
remisi telah tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan dosis yang
sama dengan injeksi tiap-tiap 2 minggu selama 3 bulan,
kemudian setiap 3 minggu setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu,
diteruskan sampai beberapa tahun remisi. Preparat oral garam
emas dipakai Auranofin : dosis dimulai 0,1-0,2 mg/kgBB/hari
301 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(maksimal 9 mg/hari), kemudian ditingkatkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 3 bulan sampai mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama
pengobatan dapat sampai beberapa tahun remisi.
- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari)
selama 3 bulan, kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari)
dalam 2 dosis selama 3 bulan, sampai maksimum10
mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan. Dosis
rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.
- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis, diberi
bersama makan, jangan diberikan bersama antasid. Setelah tidak
ada keluhan dosis diturunkan perlahan-lahan sampai 25
mg/kgBB/hari. Dapat digunakan beberapa tahun.
Kortikosteroid : diberikan jika gejala penyakit sistemik, uveitis
kronis dan untuk pemberian obat secara parenteral termasuk intra
artikuler. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol : prednison 0,25-1
mg/kgBB/hari dosis tunggal, jika keadaan lebih berat dosis terbagi
jika terjadi perbaikan klinis dosis diturunkan pelan-pelan,
kemudian stop.
Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan
dipakai metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons
tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian, dapat dinaikkan
menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama pengobatan adekuat 6 bulan.
Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid
dan klorambusil.
Indikasi Pulang
Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi
9. Edukasi Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ
tipe oligoartritis dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat terapi
hidroksi klorokuin.
Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang
dan sendi dilakukan fisio terapi di bagian URM.
Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas,
memperbaiki pergerakan sendi.
10. Komplikasi Gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan
epifisis dini.
Komplikasi akibat pengobatan steroid
Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis ginjal sekunder
Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti ankilosis, luksasio atau
fraktur.
Prognosis 70-90% sembuh tanpa kecacatan, 10% dapat terjadi cacat sampai
dewasa.
Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.
Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis,
atau disertai uveitis kronik, erosi sendi, fase aktif yang berlangsung
lama, nodul reumatoid dan faktor reumatoid positif.
Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan
gagal ginjal akibat amilodosis serta infeksi.
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator Klinis: peradangan sendi, ROM, demam
medis LED, leukosit, CRP, SGOT, SGPT
Indikasi Pulang
Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi
15. Daftar 1. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munazir Z,
kepustakaan Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
302 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Indonesia : edisi ke 2. Jakarta. 2008. Hal: 332-44.
2. Miller ML, Cassidy JT. . Juvenile Rheumatoid Arthritis.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co
2008.
3. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010.
303 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
Klasifikasi Imunologis:
a. Berdasarkan CD4+
Imunodefisiens CD4+ menurut umur
i
<11 bln (%) 12-35 bln 36-59 bln >5
(%) (%) th(sel/mm3)
Tidak ada >35 >30 >25 >500
Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499
Sedang 25-30 20-25 15-20 200-349
Berat <25 <20 <15 <200
atau<15%
304 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Nilai TLC berdasarkan umur
<11 bln 12-35 bln 36-59 bln ≥ 5 th
(sel/mm3) (sel/mm3) (sel/mm3) (sel/mm3)
TLC <4000 <3000 <2500 <2000
CD4+ <1500 <750 <350 <200
Kriteria a. Diagnosis presumptif (dicurigai) HIV pada anak < 18 bulan:
Diagnosis - Bila ada 1 kriteria berikut:
Pneumonia P jirovecii, mengitis kriptokokus, kandidiasis
esofagus.
Toksoplasmosis
Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan
standar
ATAU
- Minimal 2 gejala berikut:
Oral thrush
Pneumonia berat
Sepsis berat
Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit
HIV yang lanjut pada ibu
CD4+ <20%
b. Dasar diagnosis
- anamnesis adanya faktor risiko tertular HIV
- gambaran klinis menunjukkan penurunan kekebalan
- adanya antibodi IgG spesifik HIV
5. Diagnosis HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus) (ICD 10: B.20)
6. Diffrential Imunodefisiensi primer
diagnosis
7. Pemeriksaan Penegakan diagnosis:
Penunjang usia <18 bulan:
- bila tersedia: PCR RNA (DNA)
- antibodi anti HIV dapat dilakukan untuk melihat
apakah anak terpapar HIV dari ibu diulang setelah
anak berusia 18 bulan
usia >18 bulan:
- antibodi HIV
- konfirmasi : westernblot atau PCR RNA/DNA (bila ada)
- pemeriksaan CD4+ untuk melihat status imunosupresi
pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT, SGPT sesuai indikasi
untuk melihat efek samping obat
pemeriksaan infeksi oportunistik yang sering terjadi bersamaan
dengan infeksi HIV (TBC, hepatitis B dan C)
pemeriksaan lain (laboratorium, pencitraan dll) dan konsultasi ke
ahli terkait disesuaikan dengan infeksi oportunistik.
8. Tatalaksana Penilaian:
a. Nilai status nutrisi, pertumbuhan dan kebutuhan intervensinya
b. Nilai status imunisasi dan berikan imunisasi yang sesuai
c. Nilai tanda dan gejala infeksi oportunistik (IO) dan pajanan TB.
Bila dicurigai terdapat IO, lakukan diagnosis dan pengobatan
sebelum mulai ART
d. Lakukan penilaian stadium HIV
e. Identifikasi obat-obatan lain termasuk obat tradisional karena
mungkin dapat beinteraksi dengan obat ARV
f. Lakukan penilaian stadium imunologis, bila CD4+ tidak tersedia
dapat dipakai TLC
g. Nilai apakah anak memenuhi kriteria pemberian ART. Indikasi
pemberian ART (menurut WHO 2010)
usia Stadium klinis Imunologis /CD4+
<24 bulan Semua diterapi
>24 bulan Stadium 3 dan 4 Semua diterapi
(tangani dulu IO)
Stadium 1 dan 2 CD4+ <25%: terapi
305 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
h. Nilai situasi keluarga :
Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediannya
untuk mematuhi pengobatan dan pemantauan pada anak
terutama ART
Nilai pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan
pengobatannya serta informasi mengenai status infeksi HIV
dalam keluarga
Indikasi rawat:
Gizi buruk
Infeksi berat/sepsis
Pneumonia
Diare kronis dengan dehidrasi
Rekomendasi ART
Regimen lini pertama yang direkomendasikan 2 Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NRTI) ditambah 1 Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor:
a. Anak usia < 3 th:
Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau
Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP)
b. Anak usia ≥ 3 th:
Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau
efavirenz (EFV)
Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP) atau
efavirenz (EFV)
Nama obat Dosis
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
Zidovudine (AZT) Usia <4 minggu: 4 mg/kg/dosis 2 kali sehari
(tab 300 mg) Usia 4 minggu-13 tahun: 180-240 mg/m 2/ dosis
2x sehari
Max 300 mg/dosis 2x sehari ATAU
6-7 mg/kgBB/ dosis tiap 12 jam = 160
mg/m2/dosis
Lamivudine (3TC) <30 hari: 2 mg/kg/dosis 2x/hari
(tab 150 mg) >30 hari atau < 60 kg: 4 mg/kg/dosis 2x hari
Max 150 mg/kg/dosis 2 x hari
Stavudine (d4T) BB <30 kg: 1 mg/kg/dosis 2x sehari
Cap: 15 mg, 20 mg, BB> 30 kg: 2 mg/kg/dosis 2x sehari
30 mg, 40 mg
Syr 200 cc: 1 mg/ml
Non Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)
Nevirapin (NVP) 2 mgg I: 5 mg/kgBB sekali sehari (max 200 mg)
Tab 200 mg 2 mgg II: 5 mg/kgBB/ dosis (2x sehari)
Selanjutnya: 7 mg/kgBB/dosis (2x sehari) untuk
anak < 8 th
Untuk anak >8 th: =dewasa
Efavirenz (EFV) 10-15 kg: 200 mg 1x sehari
Cap: 50mg, 15-<20 kg: 250 mg 1x sehari
100 mg, 200 mg 20-<25 kg: 300 mg 1x sehari
600 mg 25-<32,5 kg: 350 mg 1x sehari
32,5-<40 kg: 400 mg 1x sehari
Profilaksis Pneumonia P. jirovecii: cotrimoxazole 5 mg/kgBB/hari
sekali sehari; terapi Pneumonia P. jirovecii 15 mg/kg/hari terbagi 3
dosis selama 21 hari
Pemantauan
Pemantauan anak terinfeksi HIV yang belum terindikasi
pemberian ARV
306 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Item dasar Bulan Bula Bulan Bulan Tiap
1 n2 3 6 6
bln
Evaluasi klinis X X X X X X
BB&TB X X X X X X
Status nutrisi & X X X X X X
kebutuhannya
Kebutuhan CTX & X X X X X X
kepatuhan berobat
Konseling mencegah X X X
pemakaian narkoba,
penularan PMS &
kehamilan
Pencegahan IO dan X X X X X X
pengobatan
Laboratorium
Hb dan leukosit X X
SGPT X
CD4+% atau absolut X X
307 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun
sejak diagnosis AIDS ditegakkan.
11. Tingkat IV
evidens
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator Klinis: tanda vital, sesak, pucat, BAB, muntah, toleransi makan
medis obat-obatan, status nutrisi
Laboratoris: darah perifer
15. Taksiran 14-30 hari
lama
perawatan
16. Daftar 1. Matondang CS, Kurniati. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Dalam:
kepustakaan Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 378-414
2. Yogev R, Chadwick EG . Acquired Immunodeficiency
Syndrome (Human Immunodeficiency Virus). Bab
273.Dalam: Behrman N, Kliegman Jenson. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Suyoko EMD, Sari DY. Gambaran klinis dan diagnosis HIV pada
bayi dan anak. Dalam: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E,
Endyarni B, Muktiarti D. HIV infection in infants and children in
Indonesia: current challenges in management. Unit Pendidikan
Kedokteran Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FK UI.
Jakarta 2009
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter
anak Indonesia. Jilid 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
5. Depkes RI. Pedoman tatalaksana infeksi HIV dan terapi anti
retroviral pada anak di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.
308 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Diabetes Melitus
Kode ICD : E10.41
1. Definisi Diabetes adalah keadaan akibat tubuh tidak dapat
membuat insulin secara cukup atau insulin tidak
dapat bekerja secara optimal sehingga terjadi
peningkatan gula darah dan gangguan metabolisme
lemak serta protein.
2. Anamnesis polifagia, poliuria (sering kencing malam
hari/ngompol), polidipsia, berat badan turun, badan
lemas, gatal-gatal, faktor genetik (riwayat keluarga
dengan DM).
4. Kriteria Berdasarkan:
Diagnosis Anamnesis
Gejala klinis
Laboratorium
Diabetes simptomatis/klinis
Gejala klasik: polidipsia, poliuria, polifagia,
berat badan turun.
Gula darah puasa > 120 mg/dl atau Gula
darah 2 jam PP > 200 mg/dl atau Gula darah
sewaktu > 200 mg/dl.
Diabetes ketoasidosis
Hiperglikemia, ketonemia, asidosis, ketonuria,
glukosuria.
Diabetes asimtomatis/prediabetes
Curiga bila terdapat 2 gejala pada nomer 1b
OGTT
Tes autoantibodi insulin (AAI) + HLA+ ICA+L(Islet
Cell Antibody).
5. Diagnosis DM tipe I
DM tipe II
309 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
obat/penyakit pankreas/penyakit lain.
310 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Reduksi urine (-)
Tipe I :
Dosis tergantung individu masing-masing.
Basal Bolus :
- Basal Insulin, sebesar 40-50% dosis harian; dan
- Bolus Insulin sebanyak 3 kali sehari
Basal Insulin menggunakan Insulin Long acting atau
Intermediate acting.
Bolus Insulin menggunakan Insulin kerja pendek/
kerja cepat.
Dosis keduanya disesuaikan dengan profil gula darah.
Dengan dosis total Insulin 0,5 – 2 iu/ kgBB/ hari (rata-
rata 0,7 – 1,5 iu/ kgBB/ hari)
Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap (10%)
setiap dua atau tiga hari sekali sampai dosis
optimum, dengan monitoring pemeriksaan gula
darah dan reduksi urine.
Tipe II: coba stop insulin, penyesuaian diet dan
aktifitas, kalau perlu obat diabetes oral. Bila berat
badan sekitar 80% standar, coba stop obat diabetes.
11. Tingkat Ib
Evidens
311 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kadar gula darah terkontrol
Medis Anak makan dan minum baik
Tanda-tanda infeksi tidak dijumpai
Keluarga / orang tua siap untuk pengobatan
mandiri
Nilai HbA1c < 7%
Mencegah komplikasi
tumbuh kembang optimal
15. Daftar 1. Diabetes control and complication Trial research
kepustakaan group: The effect of intensive treatment of diabetes
on the development and progression of long term
complication in insulin dependent diabetes mellitus.
N Engl J Med 1993;329:977-986.
2. Holl RW, Swift PG, Mortensen HB, Lynggaard H,
Vanelli M, Aman J, etc: Insulin injection regimens
and metabolic control in an international survey of
adolescents with type 1 diabetes over 3 years:
results from the Hvidore study group. Eur J Pediatr
2003; 162: 22-29.
3. Peveler RC, Bryden KS, Neil HA, Fairburn CG,
Turner HM, etc: The relationship of disordered
eating habits and attitudes to clinical outcomes in
young adults females with type 1 diabetes. Diabetes
Care 2005; 28: 84-88.
312 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
DIABETES KETOASIDOSIS
Kode ICD :E13.10
7. Pemeriksaan Darah.
Penunjang Kimia darah: glukosa darah, serum elektrolit, fungsi
ginjal
Darah tepi lengkap.
Analisis gas darah.
313 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Urin: keton urin, reduksi urin, poliuria (> 900 ml/m2/hari).
Dehidrasi
Ringan Sedang Berat
10%: 100 15%: 150
Bayi 5%: 50 ml/kg
ml/kg ml/kg
Anak 3%: 30 ml/kg 6%: 60 ml/kg 9%: 90 ml/kg
b) Pemberian insulin.
Berikan regular insulin atau Rapid Insulin 0,1
314 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
iu/kgBB/jam secara intravena (perdrip) dan diberikan
secara terpisah dengan jalur infus untuk resusitasi cairan
50 iu insulin dimasukkan dalam 500 ml NS 0,9% atau 10
Iµ insulin dalam 100 ml NS 0,9%
Berikan dengan kecepatan 1 ml/kg/jam
Kadar gula darah tidak boleh turun > 100 mg/dL per jam
Jumlah cairan untuk pemberian insulin ini
diperhitungkan juga, sehingga tetesan resusitasi cairan
perlu dikurangi dengan jumlah tetesan insulin.
Insulin tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Kecepatan
pemberian insulin dapat disesuaikan (misal menjadi 0,05
µ/kgBB/jam) sesuai klinis. Penggantian pemberian secara
subkutan harus dilakukan dulu 30 menit sebelumnya
baru insulin drip distop.
Apabila kadar gula darah telah mencapai 250-300 mg/dL,
cairan resusitasi ditambahkan dekstrose 5% dalam
perbandingan 1:1 dengan cairan NaCl 0,9%.
Pertahankan kadar gula darah antara 200-250 mg/dl
selama pemberian insulin intravena dengan melakukan
monitoring berkala.
315 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ketat (setiap jam dan hal ini harus di cross check dengan
gula darah vena) pada 4 jam pertama dan selanjutnya
setiap 4 jam
Periksa Na, K, Cl, ureum, hematokrit, gula
darah, analisis gas darah setiap 2-4 jam. Peningkatan
lekosit dapat disebabkan oleh stress dan tidak dapat
dijadikan sebagai tanda infeksi
Waspadai terjadinya edema serebri yang
biasanya terjadi pada jam-jam pertama resusitasi dengan
gejala kesadaran menurun dan hiponatremia.
Bila terjadi edema serebri berikan manitol 0,5-1
g/kgBB/drip dalam 20 menit dan bisa diulang 2 jam
kemudian
Cari faktor pencetus KAD (misal infeksi,
noncompliance).
Fase Subakut
Pemberian insulin secara intravena dapat diganti secara
subkutan apabila
Penderita sudah tidak mengeluh nyeri perut
Kedaruratan asidosis telah teratasi (pernafasan Kussmaul
tidak ada, kadar HCO3> 15 mEq/L).
Pemberian nutrisi
Edukasi
Sangat penting dilakukan edukasi pada orangtua, penderita
9. Edukasi DM dan lingkungan agar tercapai kontrol metabolik yang
baik dan mencegah terjadinya komplikasi DM (KAD).
Ad Vitam: dubia ad bonam/malam
10. Prognosis Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
11. Tingkat III
Evidens
12. Tingkat C
Rekomend
asi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
Tercapainya kontrol metabolik optimal dengan
14. Indikator memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Klinis Insulin
Pengaturan makan
Exercise
Edukasi
Monitoring gula darah teratur.
1. Charfen MA, Fernandez-Frackelton M: Diabetic
Ketoacidosis. Emerg Med clin North Am 2005;23:609-628.
15. Daftar 2. Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, Bohn DJ, Daneman
D, Danne TPA, Glaser NS, Hanas R,Hintz. ESPE/Lawrence
kepustakaan Wilkins Concensus Statement on Diabetic Ketoacidosis in
316 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Children and Adolescents. Paediatrics 2004;113:133-140.
3. Rosenbloom Al. Hyperglycemic crises and their
complications in children. J Pediatr Endocrinol Metab
2007;20:5-18.
Pangkalan Balai, Januari 2018
HIPOTIROID KONGENITAL
Kode ICD :E03.0- E03.1
317 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Ubun-ubun besar melebar (> 0,5 cm) terutama
fontanella posterior
Makroglosi, kesulitan minum, sering keselek dan
sering kesulitan bernafas
Suara besar dan parau, tangis serak
Hernia umbilikalis (hipotoni otot), sering
obstipasi, distensi abdomen
Reflek tendon melambat
Nadi lambat, kulit kering dan dingin, terdapat
mottling (bercak-bercak)
Miksedema / sembab pada wajah,
hipertelorisme.
ECG (tidak spesifik): low voltage, prolonged
conduction time
Foto toraks: bayangan jantung membesar.
c. Masa bayi dan anak
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
(motorik, mental, gigi, tulang, pubertas)
Miksedema, sering obstipasi
Ubun-ubun besar terlambat menutup
Makroglosi
Kesulitan belajar, anemia
Aktivitas lambat, retardasi mental makin jelas.
Catatan: goiter jarang dijumpai (tetapi bayi dengan goiter
sering didapat pada ibu Grave yang diobati dengan
PTU).
318 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(Elektromiografi) atas indikasi
9. Terapi Berikan hormon tiroid: Tiroksin (0,1 mg) dengan dosis
awal:
Usia: 0 - 3 bulan 8 – 10 g/kg BB/hari
3 – 6 bulan 7 – 11 g/kg BB/hari
6 – 12 bulan 6 – 8 g/kg BB/hari
1 – 5 tahun 4 – 6 g/kg BB/hari
kemudian dosis ditingkatkan atau diturunkan
tergantung evaluasi klinis dan pemeriksaan
laboratorium.
Bila terdapat kelainan jantung atau pada hipotiroid
berat (dengan miksedema) dosis dimulai dengan ¼
dosis rumatan dan ditingkatkan secara bertahap
tiap 5 hari sampai tercapai dosis optimum.
10. Edukasi Pencegahan : Skrining Hypothyroid saat bayi baru lahir
(usia 1 – 2 hari)
Ad Vitam: dubia ad bonam
11. Prognosis Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
12. Tindak Selama terapi harus selalu dievaluasi :
lanjut a. Klinis :
Gejala timbulnya hipotiroid (bila dosis terlalu
rendah / tidak teratur berobat)
Gejala timbulnya hipertiroid ( bila dosis terlalu
tinggi)
b. Laboratorium: T4/fT4, TSH 4–6 minggu sekali
untuk 3 bulan pertama, kemudian setiap 3 bulan
dan 4 bulan sekali untuk tahun kedua, seterusnya
setiap 6 bulan selama 5 tahun
c. Radiologis: Bone age / maturasi tulang 2 tahun
sekali
d. Psikometri: dimulai sejak usia 12-18 bulan setiap 2
tahun
e. BERA / tes pendengaran: sedini mungkin dan
evaluasi setiap tahun
f. EMG (bila mungkin) untuk evaluasi “ conducting
nerve “
g. EEG (atas indikasi ).
13. Tingkat III
Evidens
14. Tingkat C
Rekomendasi
15 Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
16. Indikator - Normalisasi fungsi tiroid
Klinis - Optimalisasi Pertumbuhan dan perkembangan
termasuk :
Motorik kasar
Motorik halus
319 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Bicara
Perkembangan sosial
- Pencegahan Komplikasi
17. Daftar 1. Foley TP Jr, Malvaux P, Blizzard RM: Thiroid
kepustakaan disease: in Kappy MS, Blizard RM, Migeon CJ:
Wilkins: the Diagnosis and treatment of Endocrine
Disorders in childhood and adolescence, ed 4.
Springfield, Thomas,1994,pp457-533.
2. Svenson J, ericsson UB, Nilsson P, et al:
Levothyroxin treatment reduces thyroid size in
children and adolescence with chronic autoimun
thyroiditis. JClin Endocrinol metabolic.
320 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
HIPERTIROID
Kode ICD : P72.1
321 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
subakut, tumor hipofise yang memproduksi TSH atau
hipofise resisten thyroxine.
Laboratorium fungsi tiroid
5. Pemeriksaan USG tiroid dan skintigrafi kalau perlu
Penunjang EKG bila perlu
Pemeriksaan imunologi (bila fasilitas ada)
322 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
a) Konservatif / medikamentosa dengan obat anti
6.Terapi tiroid/ATD:
Dapat diberikan :
1. Methimazol dengan dosis :
Dosis inisial 0,4mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis,
dilanjutkan dosis pemeliharaan 0,2mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis.
2. Propiltiourasil (PTU) dengan dosis :
Anak kecil: 5-7 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis,
dosis ditingkatkan / diturunkan bertahap sesuai
dengan evaluasi klinis dan laboratorium
Anak besar : pada umumnya 3 X 100
mg/hari.
Gejala klinis berkurang setelah 1-2 minggu,
kelainan laboratorium normal setelah 4-6 minggu
(perlu dipantau T3, fT4, TSH dan BMR).
Bila fT4 rendah perlu diperiksa TSH untuk menilai
over treatment.
Dosis PTU diturunkan sesuai hasil pemantauan
klinis dan laboratorium.
30-40% pasien remisi setelah 2-3 tahun dan di
tappering 6 bln-1 th sehingga bila dihentikan tidak
terjadi hipertiroid.
Obat lain yang sering digunakan :
323 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Indikasi: pasien yang akan dilakukan
pembedahan atau pada
krisis tirotoksik.
Dosis 0,1-0,3 ml (iodine 5% dan 10%
potassium iodide dalam air) 3 hari sekali
4. Glukokortikoid
Indikasi: krisis hipertiroid dan progressive severe
Grave’s opthalmopathy.
b) Pembedahan (tiroidektomi)
Dipertimbangkan bila 2-3 tahun terapi konservatif
tidak terjadi remisi
Persiapan:
Sebelum pembedahan pasien harus tirah baring
dengan diet cukup 1-3 minggu Pra pembedahan
hingga 1 minggu pasca bedah diberi larutan KY
jenuh 10 tetesan untuk mencegah timbulnya
thyroid storm
Thyroid Storm keadaan darurat
Terapi :
Sodium iodida iv 1-2 gram
Dexamethason
Propanolol
Kontrol hipertermi dan cairan (infus)
Setelah tiroidektomi perlu observasi
Hipotiroid akibat reseksi berlebih (harus
diberi hormon tiroid seumur hidup)
Tirotoksikosis berulang karena reseksi tiroid
kurang
Hipoparatiroid (kelenjar paratiroid secara
tidak sengaja terambil).
c) Ablasi Terapi dengan Radioactive Iodine (RAI)
Diindikasikan pada tirotoksikosis rekuren setelah
pembedahan
Digunakan 131 I atau 123 I (14)
Efek biologi dari 131I adalah partikel radiasi
necrosis dan kegagalan replikasi dari folikel sel
yang tidak dirusak.
Sasaran terapi adalah membuat euthyroid atau
hipothyroid .
Hipotiroid biasanya terjadi dalam 6 bulan-satu
tahun (10%-20%) dan bisa transien atau
permanen sehingga perlu tiroksin sepanjang
hidupnya
324 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Ad Vitam: dubia ad bonam/malam
7. Prognosis Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
8.Edukasi/Tinda a. Monitoring efek samping obat
k ES PTU: agranulositopenia, hepatitis, cholestasis
lanjut jaundice, trombositopenia, anemia
aplastik (sangat jarang), gatal, urtikaria,
atralgia, demam (dapat dikurangi dengan
mengganti jenis obat tionamida lain).
b. Monitoring kemungkinan relaps.
c. Monitoring pertumbuhan.
9.Tingkat III
Evidens
10. Tingkat C
Rekomendasi
11. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
12. Indikator - pencegahan komplikasi
Klinis - normalisasi fungsi tiroid
- optimalisasi tumbuh kembang
-
13. Daftar 1. Beck-Pecoz P, Persani L, La Franchi S: Safety of
kepustakaan medications and hormons used in the treatment of
pediatric thyroid disorders. Pediatric endocrinol Rev
2004;2 (suppl 1) 124-133
2. Dallas JS, Folley TP Jr.Hyperthyroidism: inlifshitz F
(ed): Pediatric Endocrinology, ed5 New York, Informa
Health Care 2007, pp 415-442.
3. Hung W, Sarlis NJ: Autoimmune and non-
Autoimmune hyperthyroidism in pediatric patients:
a review and personal commentary on management.
Pediatr Endocrinol Rev 2004;2:21-38.
325 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
Perawakan Pendek
Kode ICD : R.62.52
1. Definisi Perawakan pendek atau short stature merupakan
panjang badan / tinggi badan berada dibawah P3
atau < –2SD pada kurva pertumbuhan
2. Anamnesis Pola pertumbuhan anak (berat badan dan
tinggi badan mulai bayi)
Riwayat kehamilan ibu
Riwayat kehamilan dan perkembangan fisis
Riwayat penyakit kronis, operasi dan obat-
obatan
Riwayat penyakit dalam keluarga
Riwayat pubertas orang tua
Riwayat nutrisi
Aspek psikososial
326 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Bila TB < -3SD: 80% patologis.
Penurunan kecepatan pertumbuhan antara
umur 2-12 tahun (memotong beberapa garis
persentil) dianggap patologis kecuali
dibuktikan lain.
Ratio BB dan TB mungkin mempunyai nilai
diagnostik dalam menentukan etiologi. (Pada
kelainan endokrin umumnya tidak
mengganggu BB sehingga anak terlihat
gemuk. Kelainan sistemik umumnya lebih
mengganggu BB dibanding TB sehingga anak
lebih terlihat kurus.
4. Kriteria Perawakan pendek patologis :
Diagnosis TB < P3 atau < –2SD
Kecepatan tumbuh < P25
Prakiraan tinggi dewasa dibawah target height
Umur tulang (bone age) terlambat.
Defisiensi hormon pertumbuhan harus terlebih
dahulu ditetapkan :
TB < P3 atau < –2 SD
Kecepatan tumbuh < P25
Usia tulang terlambat 2 tahun
Kadar GH10 ng/ml pada uji
provokasi/stimulasi hormon pertumbuhan
(oleh bagian endokrinologi anak)
Tidak ada dismorfik, kelainan tulang maupun
sindrom tertentu
Berdasarkan Etiologi
6. Diagnosis Varian normal
Banding Familial / genetic short stature
Constitutional delay of growth and puberty /
maturation.
Perawakan pendek primer
Sindrom-sindrom yang dihubungkan dengan
kelainan kromosom
Sindrom-sindrom yang lain
IUGR, yang disebabkan kelainan saat dalam
kandungan, disfungsi plasenta berat
Skeletal dysplasia/osteochondrodysplasia
Storage disorder (jarang).
Perawakan pendek sekunder
Kelainan sistemik (penyakit kronis)
Malnutrisi
Kelainan endokrin
Metabolic disorders
Iatrogenic short stature
Psychososial/ emotional short stature
(psychosocial dwarfism).
Perawakan pendek idiopatik
Tidak dijumpai kelainan.
327 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
7. Pemeriksaan a) Lakukan pemeriksaan penunjang:
Penunjang Lab rutin ( DL, UL, FL ) untuk mencari
kelainan sistemik
Pemeriksaan umur tulang (bone age)
b) Pemeriksaan lanjutan (atas indikasi):
Fungsi tiroid (free T4, TSH)
Analisis kromosom (pada wanita): untuk
diagnosis sindrom Turner
Uji stimulasi/provokasi hormon pertumbuhan
(pemeriksaan hormon pertumbuhan secara
acak tidak ada manfaatnya sama sekali dan
hasilnya tidak bisa diinterpretasikan).
328 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Medis
Algoritme
329 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Perawakan Pendek
Anamnesis / Pemeriksaan Fisik
330 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Dismorfik Tampak Sehat / Dismorfik Tampak Sakit
Penyakit Kromosom
331 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Gejala kelebihan androgen
5.Diagnosis Kerja Hiperplasia adrenal kongenital (tipe salt
wasting/klasik, non klasik, simple virilizing form)
6.Pemeriksaan a. Tipe Klasik
Penunjang Na rendah dan K tinggi
Peningkatan serum 17-OHP dan hormon
androgen adrenal
Kortisol serum rendah
Ambigus genitalia
Pemeriksaan PRA merupakan indesi sensitif
untuk insufisiensi mineralokortikoid.
Genitografi: terlihat uterogenital dan uterus
USG genitalia interna: terlihat uterus
Foto rontgen usia tulang untuk evaluasi
pubertas prekoks.
Tes genetik
b. Tipe Non Klasik
Perlu uji stimulasi ACTH
332 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Suplementasi NaCl 1-2 g/hari sampai usia
2 tahun.
Monitoring Terapi
Pemberian kortisol seumur hidup.
Evaluasi 17-OHP dan Astrostenedion tiap 2
bulan-1 tahun dan pemeriksaan plasma
renin activity secara periodik.
Hidrokortison 10-20 mg/m2/hari.
Alternatifnya Prednison 5-7,5 mg/m2/hari
atau Deksametason 0,25-0,5 mg/m2/hari
dengan pemantauan.
Evaluasi terapi dengan memantau
pertumbuhan, umur tulang, serum 17-
OHP, androstenedion, dan testosteron.
b. Kondisi Khusus
Pada pembedahan atau trauma, muntah
hebat, dan diare, pasien dirawat dan obat
diberikan secara IM.
Pada kegawatan / infeksi, dosis dapat
ditingkatkan 2-3 kali untuk beberapa hari.
2) Terapi pembedahan
3) Konseling psikiatri
4) Konseling genetik
8.Prognosis Ad Vitam: dubia ad Bonam/malam
Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
9. Edukasi Kepatuhan pengobatan, monitoring ketat terhadap
timbulnya komplikasi
10.Tingkat III
Evidens
11.Tingkat C
Rekomendasi
12.Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
13.Indikator - minimalisir komplikasi
Klinis - kadar elektrolit darah normal (tipe klasik)
- optimalisasi tumbuh kembang
14.Daftar 1. Clayton P, Miller WL, Oberfield SE, Ritzen EM,
kepustakaan Sippel WG, Speiser PW: Consensus statement on
21-hydroxylase deficiency from the Europen Society
for Paediatric Endocrine Society. J Clin Endoc
Metab 2002;87: 4048-4053.
2. Speiser PW, White PC, New MI: Congenital adrenal
hyperplasia; James VH (ed): The Adrenal Gland.
Comprehensive Endocrinology, revised ser. New
York, Raven Press, 1992,pp 371-372
333 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
334 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
OSTEOGENESIS IMPERFECTA
Kode ICD
335 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
sering disertai fraktur vertebra.
o Densitas mineral tulang (bone densitometry) diukur
dengan Dual-Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA)
yang menghasilkan nilai rendah pada penderita.
o Ultrasonografi prenatal pada minggu 15-18
kehamilan untuk mendeteksi kelainan panjang
tulang anggota badan. Yang tampak dapat berupa
gambaran normal (tipe ringan) sampai dengan
gambaran isi intrakranial yang sangat jelas karena
berkurangnya mineralisasi tulang kalvaria atau
kompresi kalvaria. Selain itu dapat juga ditemukan
tulang panjang yang bengkok, panjang tulang
berkurang (terutama tulang femur), dan fraktur iga
multipel. USG prenatal ini terutama untuk
mendeteksi OI tipe II.
336 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
RE, Kliegman RM, Jenson HB,eds. Nelson textbook of
14.Daftar pediatrics, edisi ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004,
kepustakaa 2336-8
2. Marini JC. Osteogenesis imperfecta-managing brittle
n
bones. N Engl J Med 1998; 339: 986-7
3. Root AW, Diamond Jr FB. Disorders of calcium
metabolism in the child and adolescent. Dalam:
Sperling MA, eds. Pediatric endocrinology, edisi ke-2.
Philadelphia: Saunders, 2002, 657-85.
4. Nussbaum RL, McInnes RR, Willard HF. The molecular
and biochemical basis of genetic disease. Dalam:
Thompson and thompson genetic in medicine, edisi ke-
6. Philadelphia: Saunders, 2004, 229-346.
5. http://www.ema.europa.eu: Assessment report for
Zometa (Zoledronic acid). European Medicines Agency.
Evaluation of Medicine for human use. London.2010.
337 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SINDROMA TURNER
Kode ICD : Q96.8
338 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
tidak diketahui –
Hipotiroid 10
Metabolik
Alopesia 2
Vitiligo 2
Kelainan
2,5
gastrointestinal
Intoleransi karbohidrat 40
Kriteria Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang
Diagnosis
Diagnosis Sindroma Turner
Kerja
Diferential Banyak gambaran fisik sindroma Turner yang merupakan
diagnosis konsekuensi adanya limfedema intrauterine. Gambaran
yang sangat mirip ditemukan pada sindroma Noonan
dengan gangguan gen yang memberikan efek pada laki-
laki dan wanita dengan gambaran tubuh yang pendek dan
adanya defek kongenital pada jantung (biasanya
kardiomiopati pada jantung kanan.
Pemeriksaa a. Masa Prenatal : deteksi dengan USG
n Jarang ditemukan higroma kistik dan kelainan pada
Penunjang ginjal (horse shoe kidney) dan abnormalitas jantung.
339 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
induksi pubertas sesuai usianya untuk mencegah
terjadinya osteoporosis. Terapi lainnya tergantung klinis
yang ditemukan.
Prognosis Ad vitam: dubia ad malam
Ad sanationam: ad malam
Ad Fungsionam: dubia ad malam
Tingkat III
Evidens
Tingkat C
Rekomend
asi
Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
Indikator - optimalisasi pertumbuhan dan pencapaian pubertas
Klinis - mengatasi komplikasi sistemik
1. Bannink EM, Raat H, Mulder PG, de Muinck Keizer
Daftar Schrama SM : Quality of life after growth hormone theraphy
kepustakaa and induced puberty in women with Turner syndrome. J
n
Pedriatr 2006;148:95-101.
2. Bondy CA: Care of girls and women with Turner syndrome:
a guideline of the Turner syndrome study group. J Clin
Endocrinol Metab 2007;92:10-25.
340 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SINEKIA VAGINA
Kode ICD : N89.5
341 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
in children. J pediatric Child Health 1993; 29.(3):
235-236
342 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kriptorkismus
Kode ICD :Q53.9
343 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Gambar 1. Posisi Testis pada Kriptorkismus
344 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Indikasi rawat : torsio testis
9.Tindak Pantau komplikasi
Pada usia pubertas: ajarkan pasien untuk
Lanjut/Edukasi memeriksa testis sendiri tiap bulan untuk
(Pediatric deteksi dini keganasan.
Health
Promotion)
10.Prognosis Ad vitam: dubia ad bonam/malam
Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
11.Tingkat III
Evidens
12.Tingkat C
Rekomendasi
PENYAKIT HIRSCHPRUNG
345 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ICD 10 : Q.43.1
346 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
11. Tingkat I
evidens
12. Tingkat A
rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator Gambaran klinis
Medis
15. Target Operasi kolonostomi atau difinitif
16. Kepustakaan 1. Raffensperger JG.
Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
2. Walker WA, Sherman PM.
Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario, BC
Decker Inc, 2004
3. Wyllie R, Hyams JS.
Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006
347 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
OBSTRUKSI USUS
ICD 10 : K 56.60
348 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
pada obstruksi total. Tindakan operatif terencana jika obstruksi
terjadi parsial dengan derajat yang ringan
9. Edukasi Perlunya dilakukan operasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat I
evidens
12. Tingkat A
rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator Adanya tanda-tanda obstruksi
Medis
15. Target Dilakukan operasi
16. Kepustakaa 1. Raffensperger JG. Swenson’s
n Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton & Lange, 1990.
2. Walker WA, Sherman PM.
Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario, BC
Decker Inc, 2004
3. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric
Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition. Netherlands,
Saunders, 2006
349 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
350 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
ibu Tumor
Infeksi
Alergi susu
sapi
7. Pemeriksaan Laboratorium : darah lengkap, kimia darah, CT, BT, PT,APTT,
Penunjang feses rutin
Endoskopi
Radiologi
Arteriografi
8. Terapi Cari gangguan hemodinamik.
Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB
10 menit sampai tanda vital membaik.
Transfusi darah (PRC atau FFP) bila diperlukan. Transfusi >85
ml/kgBB, konsul bedah cito, untuk dilakukan eksplorasi
Observasi perdarahan, jika perdarahan minimal: pastikan darah
apa bukan, salah satu caranya dengan melakukan pemeriksaan
darah samar (Benzidine test)
Tentukan adanya riwayat trauma, jika tidak ada
Tentukan adanya kelainan sistemik (misalnya demam atau
tanda eksploresensi kulit) dan kelainan THT, jika tidak ada
Tentukan adanya diastesis hemoragik: lakukan Rumple leed
test, CT, BT, PT, aPTT, hitung trombosit, jika dalam batas
normal
Tentukan lokasi perdarahan saluran cerna berdasarkan
gambaran klinis
Lakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi dan atau
kolonoskopi
Tatalaksana perdarahan saluran cerna berdasarkan penyebab
Tatalaksana umum: stabilisasi KU
Perdarahan saluran cerna atas: pasang NGT jika perdarahan
masif atau aktif atau untuk memastikan lokasi, obat-obat
penekan asam lambung, dan obat pelindung mukosa (misalnya:
sucralfat)
9. Edukasi Menerangkan penyebab perdarahan saluran cerna sehingga dapat
dilakukan pencegahan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat I
evidens
12. Tingkat A
rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14. Indikator Gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
Medis
15. Target Mengetahui dan mengobati etiologi dan berhentinya perdarahan
16. Kepustakaan 1. Raffensperger JG. Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition.
Norwalk, Appleton & Lange, 1990.
2. Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease,
Fourth Edition. Ontario, BC Decker Inc, 2004
3. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver
Disease. Third Edition. Netherlands, Saunders, 2006
351 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
352 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
KOLESTASIS
ICD 10 : K.71.0
1. Pengertian Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang
(definisi) biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan, yang
menyebabkan timbulnya ikterus, akibat peninggian kadar bilirubin
direk > 20% dari kadar bilirubin total jika bilirubin total > 5 mg/dl
atau bilirubin direk ≥ 1 mg/dl jika kadar bilirubin total ≤ 5 mg/dl
2. Anamnesis Saat timbulnya ikterus (kurang dari usia 3 bulan), lama ikterus,
warna tinja, perdarahan, riwayat keluarga,riwayat kehamilan dan
kelahiran
3. Pemeriksaan Ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali, dan tanda
Fisik perdarahan
4. 4. Kriteria Untuk kolestasis evaluasi dilakukan pada usia minimal 2 minggu
Diagnosis dan pada bayi preterm dapat ditunda sampai 3 minggu
Langkah diagnosis :
Bedakan hiperbilirubinemia indirek dengan hiperbilirubinemia
direk (kolestasis). Gambaran klinik hiperbilirubinemia indirek
adalah warna kulit kuning terang, kuning dimulai dari muka
kemudian ke bagian distal badan (sesuai dengan peningkatan
kadar bilirubin indirek, mengikuti skala Krammer), dan urin
berwarna jernih. Hiperbilirubinemia indirek dapat disebabkan
jaundice fisiologik (sampai umur 14 hari), “breast milk jaundice”,
penyakit sistemik (hemolisis, stadium awal hipotiroidsm,
obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia,
hipoglikemia, galaktocemia, dan intoleransi fruktosa), kelainan
keturunan : Crigler-Najjar syndromes (UDPGT deficiency tipe I
bersifat total, tipe II bersifat partial) dan Gilbert syndrome.
Evaluasi klinik (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan warna feses)
Pemeriksaan fraksi bilirubin: direk, indirek, dan total.
Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (SGPT/ALT,
SGOT/AST, Alkali fosfatase, GGT)
Pemeriksaan fungsi liver (albumin, PT/aPTT, kadar glukosa
serum, ammonia)
Rule outpenyebab-penyebab yang dapat diobati
Kultur bakteri (urin dan darah)
Serologi dan biakan virus (infeksi hepatitis kongenital)
Deteksi kelainan metabolik (galaktosemia, tyrosinemia heriditer,
intoleransi fruktosa heriditer, dan hipopitutarime/hipotiroid)
Deteksi defek sintesis asam empedu, neonatal iron storage
disease, hepatotoksis karena obat
Kelainan anatomik : atresia bilier, kista koledokus, inspissated
bile/calculi in common bile duct
Rule outobstruksi ekstrahepatikdan intrahepatik dengan
ultrasonografi dan biopsi hati.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kolestasis
6. Diagnosis Kolestasis intrahepatik
Banding Kolestasis ekstrahepatik
7. Pemeriksaan Laboratorium :
Penunjang c. Rutin
Darah lengkap (terutama pada kasus yang dicurigai
353 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
hiperbilirubinemia indirek), uji fungsi hati: SGOT (AST), SGPT
(ALT), gamma GT (normal: meningkat pada bayi umur-umur
muda), alkali fosfatase (normal: meningkat pada waktu
memasuki usia pubertas), waktu protrombin dan tromboplastin
(PT, aPTT), kadar albumin plasma, kolesterol, kadar glukosa,
ureum, kreatinin, urine reduction substance, kadar amonia
serum, kultur urine (jika dicurigai kolestasis intrahepatik),
kultur darah (jika dicurigai sepsis), parasintesis (jika terbukti
ada asites pada USG abdomen)
Bilirubin urine positif
Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00,
serta pk. 22.00-06.00) dan adanya empedu dalam tinja.
d. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui
aspirasi dengan menggunakan sonde (Levine tube), serologi untuk
penyakit infeksi (TORCH, HbsAg, HIV, dan lain-lain), skrining
metabolik (asam amino serum dan urin, asam organik urin),
kelainan hormon (kadar hormon tiroid, TSH), kultur virus, kadar
α1 antitripsin, dan lain-lain.
Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
Dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier,
kista koledokus, masa intra abdomen, dan patensi duktus bilier.
Pada atresia bilier: akurasi diagnostik USG 77%, dilakukan pada
tiga fase yaitu pada keadaan puasa (4-6 jam dengan alat USG
berosolusi tinggi dan 10-12 jam dengan alat USG berosulusi
rendah), saat minum, dan sesudah minum (1 sampai 2 jam
setelah makan) ataupun dua fase yakni puasa dan sesudah
minum. Apabila pada saat atau sesudah minumkandung empedu
tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%)
diagnosis atresia bilier dapat ditegakkan.
b. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi
operatif, bila terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih
jauh dengan anestesi umum
Biopsi hepar:
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya
laparotomi eksplorasi
• Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi
duktus
dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur
lobuler masih normal
• Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari
lobulus yangdisertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga
terlihat gambaran lobul yang kacau. Selain itu ditemukan sel
raksasa, fibrosis porta dan proliferasi duktus ringan
Paucity sistem bilier
8. Terapi Uji fungsi hati dilakukan untuk menentukan jenis
hiperbilirubinemiadan tatalaksana selanjutnya. Tatalaksana
kolestasis intrahepatik :
Memperbaiki aliran empedu: Obat stimulasi aliran empedu
adalah :
5. Asam ursodeoksikolat, dosis: 10-30 mg/kgBB/hari, bekerja
sebagai competitive binding empedu toksik, bile fow
inducer,suplemen empedu, dan hepatoprotektor.
6. Kolestiramin, dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari, berfungsi
menyerap empedu toksik dan menghilangkan gatal.
7. Rifampicin, dosis: 10 mg/kgBB/hari, berfungsi
meningkatkan aktivitas enzim mikrosom dan menurunkan
ambilan asam empedu oleh sel hati
8. Fenobarbital: induksi enzim glukuronil transferase,
digunakan hanya pada hiperbilirubinemia indirek pada
354 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Crigler-Najjar syndromes (UDPGT deficiency tipe II) dengan
dosis: 3-10 mg/kgBB/hari
Multivitamin vitamin A : 5.000 - 25.000 U/ hari, D: D3
calcitriol: 0,05 - 0,2ug/kgBB/hari, E: 25 - 50 IU/kgBB/hari,K:
K1 2,5 - 5 mg/ 2-7x/ minggu
Nutrisi : diet lemak MCT.
Trace elemen: trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
Terapi komplikasi yang terjadi: misalnya
hiperlipidemia/xantelasma diberikan kolestipol dengan dosis
250-500 mg/kgBB/hari (gabungan kolestramin dengan
kolestipol), hipertensi portal (dibuktikan dengan USG dopler)
diberikan propanolol dengan dosis 1 – 6 mg/kgBB, gagal hati
dengan transplant
Dukungan psikologis
Mengobati penyebab kolestasis yang bisa diobati
Kolestasis ektrahepatik : operasi
Kolestasis intrahepatik, tergantung etiologi.
Infeksi hepatistsis kongenital : Herpes simpleks diberikaan
asiklovir intravena, sipilis diberikan penisilin 50.000
iu/kgBB/hari selama 10-14 hari, tuberkulosis diberikan OAT,
toxoplasmosis diberikan pyrimethamin 1 mg/kgBB/2-4 hari dan
sulfadiaazine 50-100 mg/kgBB/hari. Penyakit metabolik:
galaktosemia diberikan diet bebas galaktosa, tyrosinea heriditer
diberikan diet tirosin/fenilalamin rendah, intoleransi fruktosa
heriditer diberikan diet bebas fruktosa/laktosa,
hipotiroidisme/hipopitutarisme diberikan hormon-hormon tiroid,
adrenal dan growth hormon .
Obat-obatan dan toksin: obat-obatan penyebab hepatotoksin
dihentikan, endotoksin bakterial diberikan antibiotika yang sesuai
(misalnya Tersangka ISK dengan cefotaksim), TPN ditatalaksana
dengan pemberian intake oral secepatnya.
9. Edukasi Menjelaskan kemungkinan etiologi, diagnosisnya, dan tatalaksana
10.Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
11.Tingkat I
evidens
12. Tingkat A
rekomendasi
13.Penelaah SMF Kesehatan Anak
kritis
14.Indikator Gambaran klinis dan laboratoris yang menunjang diagnosis
Medis
15.Target Mengobati etiologi yang dapat diobati
16.Kepustakaan 4. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infections. Dalam:
Suchy FJ, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-1. St.
Louis: Mosby year book; 1994. h. 414-24.
5. Balisteri WF. Cholestasis. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-
17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h. 1203-7.
6. Haefelin DN, Griffiths P, Rizetto M. Systemic virosis producing
hepatitis. Dalam: Bircher J, dkk, penyunting. Oxford textbook of
clinical hepatology. Edisi ke-2. Oxford: Oxford University Press;
1999. h. 955-63.
7. Emerick KM, Whitington PF. Molecular basis of neonatal
cholestasis. Ped Clin N Am. 2002;49(1):1-3.
355 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Langkah awal, bedakan antara hiperbilirubinemia indirek dan direk (kolestasis)
Jika kolestasis, perkirakan kelainan yang terjadi intrahepatik atau ektrahepatik,
dengan melakukan pemeriksaan darah, fungsi hati, dan sintesis hati. Kelainan
ektrahepatik dibuktikan dengan pemeriksaan USG. Biopsi hepar dapat dilakukan
untuk membedakan kelainan intrahepatik, ektrahepatik, dan paucity saluran
empedu.
Diagnosis awal kolestatik intrahepatik diberikan antibiotik untuk Tersangka ISK
(TISK) yang tidak hepatotoksik (cefotaksim) sampai hasil kultur dan resistensi urin
diketahui. Diagnosis sementara berupa TISK ditegakkan karena meliputi hampir 30%
kolestasis intra hepatik.
Adanya dismorfik mengarahkan diagnosis ke kelainan metabolik dan infeksi TORCH
kongenital.
Infeksi TORCH kongenital dicurigai jika bayi dismorfik, adanya riwayat infeksi TORCH
saat ibu hamil (gambaran klinis, riwayat kehamilan terdahulu, atau pemeriksaan
serologis), dan adanya kelainan kombinasi (kelainan pendengaran, mata, jantung, dan
hepatosplenogali).
Atresia biler dapat diprediksi dengan feses yaang seperti dempul (spesifisitas tinggi,
tetapi sensitivitas yang rendah)
356 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
Konstipasi
ICD 10 : K.59.0
357 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan
menggabungkan teknik edukasi, evakuasi feses (disimpaction), dan
terapi rumatan (modifikasi tingkah laku, pengaturan diet, dan
pemberian laksansia).
Evakuasi feses dapat mengunakan gliserin 100% dengan dosis 1-3
ml/kgBB yang diencerkan dengan NaCl 0,9% dengan jumlah yang
sama. Dua kali sehari selama 2 sampai 5 hari. Dapat
dikombinasidengan Laktulosa peroral dosis 1-3 ml/kgBB/kali dalam
satu atau dua dosis.
Pemberian laksansia pada terapi rumatan dapat menggunakan laktosa
peroral dosis 1-3 ml/kgBB/kali dalam satu atau dua dosis.
9. Edukasi Toilet education
Diet tinggi serat
10. Prognosi Ad vitam : dubia ad bonam
s Ad sanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
evidens
12.Tingkat A
rekomenda
si
13. Penelaa SMF Kesehatan Anak
h kritis
14. Indikato Kriteria konstipasi
r Medis
15. Target Disimpaksi berhasil dan rektum kosong
16. Kepusta 6. Stephen M. Constipation. Dalam: Walker, penyunting. Pediatric
kaan gastrointestinal disease. Volume ke-1. Philadelphia: BC Decker;
1991. h. 90-108.
7. Benninga. Constipation and faecal incontinence in childhood.
Amsterdam: Universiteit van Amsterdam; 1994. h. 13-35.
8. HM Spiro. Clinical gastroenterology. Edisi ke-4. New York: Mc Graw
Hill; 1993. h. 513-23.
9. Barbara JS. Digestive system disorders. Dalam: RE Behrman,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia: WB Saunders; 2005. h. 510-8.
10.Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, dkk. Constipation in infants and
children: evaluation and treatment. A medical position statement of
the North American Society for Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. J Ped Gastr Nutr. 1999;29:615-26
11.Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk.
Pedoman pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.
358 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
359 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
BRONKOPNEUMONIA
Kode ICD : J18.O
7. Kriteria - Anamnesis,
Diagnosa - pemeriksaan fisik,
- pemeriksaan penunjang
9. Diagnosa - Bronkiolitis
Banding - Bronkitis Akut
360 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
11. Edukasi Imunisasi, ASI yang adekuat, asupan gizi yang cukup,
jauhkan anak dari polusi udara dan asap rokok
361 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
TUBERKULOSIS ANAK
Kode ICD : A16.4
7. Kriteria - Anamnesis
Diagnosa - Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan Penunjang
8. Pemeriksaan - Laboratorium rutin/ konvensional LED
362 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Penunjang - Rontgen :
- Infiltrat
- Pembesaran kel. Lymphe tidak khas
- Milier TBC paru
- Infiltrat endobronkial hebat
- Efusi pleura serosa
- Uji tuberkulin
9. Diagnosa - Tuberkulosis
Banding - Keganasan
Dosis
H : 5-10 mg/kgbb maximum 300 mg
R : 10 mg/kgbb diberikan 1 jam sebelum makan
Z : 20-30 mg/kgbb maximum 2 g/hari
Untuk TBC berat dapat diberikan obat 4 macam seperti
berikut :
E : (Etambutol) dosis 10-15 mg/kgbb atau
S : (Streptomisin) dosis 20-50 mg/kgbb maximum 750 mg
Perhatian :
1. Perhatikan terhadap perbaikan gizi
2. Diberikan rednisone untuk anak umur > 3 bulan
dengan TBC milier atau TBC serosa selama 1-3 bulan
Monitoring :
1. Teratur selama 2 bulan, klinis kurang maju lanjutkan
maintenance, evaluasi.
2. Tidak teratur dalam 1 bulan ulang ulang awal
Tidak teratur sertelah 1 bulan initial tergantung klinis
3. Initial 2 bulan teratur klinis baik, kemudian drop out
lanjutkan maintenance dan evaluasi
363 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
selesai
Imunisasi penyakit asal virus : H 5-20 mg/kgbb selama 1
bulan
364 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
ASMA BRONKIALE
Kode ICD : J45.9
9. Diagnosa - GER,
Banding
- rinosinobronkitis,
- obstructive sleep apnea syndrome,
- fibrosis kistik,
- primary cilliary dyskinesis,
- bends asing, vocal ford dysfunction
10. Terapi - Mencari dan menghindari faktor pencetus, untuk
365 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
diperlukan kerjasama dengan orang tua penderita.
- Mencegah serangan asma dengan pemberian obat untuk
mempertahankan sel-sel mediator tidak pecah. Obat-
obatan yang dipakai adalah sodium kromoglikat dan
ketotifen. Bila serangan diduga diakibatkan faktor alergi
dan serangan terjadi lebih dari 3 kali dalam sebulan
diberikan ketotifen dosis 0,025 mg/kgbb/hari dibagi
dalam 2 dosis diberikan selama 6 bulan atau lebih.
- Pengelolahana serangan akut/status asmatikus :
- Berikan ventolin nebulizer (0,5- 1 ampul)
11. Edukasi Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif,
penghindaran makanan alergenik, pengurangan pajanan
tungau & rontokan bulu binatang
12. Komplikasi - Pneumotoraks,
Prognosis - pneumomediastinum
- emfisema subkutis,
- atelektasis,
- aspergilosis bronkopulmonar alergik,
- gagal nafas,
- bronchitis,
- fraktur iga
13. Daftar
Pustaka Asma, dalam :Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologi
anak. lkatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008.
Hal 71-161
Global initiative for Asthma. Global strategy for
asthma management and prevention. National
institute health.
Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Respirologi Anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
366 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
367 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
RSUD BANYUASIN
TAHUN 2018
368 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
MALFORMASI ANOREKTAL
369 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
OMPHALOCELE
Monitoring
Mechanical ventilator diperlukan sampai beberapa
hari post operasi
Pertahankan nasogastric tube
Feeding dilakukan bila output dari NGT minimal,
warna sudah jernih dan bising usus baik
Tanda Vital, cegah hipotermi, status hidrasi NICU
Dukungan nutrisi secara enteral dan parenteral
Pemilihan antibiotika
8. Edukasi 1. Pemeriksaan USG prenatal
370 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
9. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad functionam : dubia
10.Kepustakaan 1. Grosfeld JL, O’neil JA, Fonkalsrud EW, Coran AG.
Pediatric Surgery: Sixth edition.2006; 1157-1171
2. Oldham KT, Colombani PM, Foglia RP. Principles and
practice of pediatric surgery. 2005;
3. Holcomb GW, Murphy JP. Ashcraft’s Pediatric
Surgery: fifth edition. 2010
371 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
UNDESCENSUS TESTIS
372 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
KISTA DUCTUS CHOLEDOCUS
HIRSCHRSPRUNG DISEASE
373 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
peristaltik sehingga terjadi gangguan pasase usus.
2. Anamnesis - Mekoneum telat 24 - 48 jam
- Muntah hijau
- Perut kembung
3. Pemeriksaan Regio abdomen :
Fisik I : cembung
P : lemas
P : timpani
A : BU (+)
RT : BAB menyemprot, ujung jari terjepit/lumen sempit
4. Kriteria 1. Riwayat : telat mekoneum, muntah hijau, perut kembung
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik : perut cembung, RT : BAB menyemprot
3. Pemeriksaan penunjang : colon in loop tehnik hircsprung,
full thicness rektal biopsy, suction rectal biopsy
5. Diagnosis Hirchsprung Disease (Q43.1)
6. Diagnosis 1. Sindrom sumbatan mekoneum ( meconeum plug
Banding
syndrome )
2. Stenosis ileum
3. Atresia ileum
4. Sepsis atau gangguan elektrolit
7. Pemeriksaan 1. Colon in loop tehnik hircprung
Penunjang
( terdapat zona transisi )
2. Full thickness rectal biopsy ( gold standard )
3. Suction rectal biopsy
8. Terapi - Rectal washing
- Colostomy (46.11)
- Operasi pull-through :
1. Tehnik Soave
2. Tehnik duhamel
3. Tehnik swenson
9. Edukasi 1. Rectal wash
2. Perawatan stoma (bila ada)
10.Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad functionam : dubia ad bonam/malam
11.Kepustakaan 1. Ashcraft, Holcomb KW , Murphy GW,
Patrick J, dalam Pediatric Surgery, 5th ed. 2009 p. 456-
467
2. Current, Craig T Albanese,MD, Karl G Sylvester,MD,
dalam CURRENT Diagnosis and Treatment, 13th ed.2010
p. 1180-1181
374 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
HIDROKEL SCROTUM
375 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
3. Pemeriksaan Tampak benjolan di daerah skrotum dengan konsistensi
Fisik kistik, tidak terdapat nyeri. Pada pemeriksaan transiluminasi
didapatkan hasil yang positif.
4. Kriteria 1. Benjolan di skrotum yang tidak nyeri
Diagnosis
2. P. fisik : benjolan konsistensi kistik, tidak nyeri
3.P. Penunjang : Pada USG testis ditemukan adanya Cairan
5. Diagnosis Hidrokel Skrotum (N43.0)
6. Pemeriksaan 1.USG testis
Penunjang
7. Terapi 1.Non operatif : bisa hilang sendiri sampai usia 2 tahun
2.Operatif: ligasi tinggi dilakukan bila bersifat symptomatic
dan setelah usia 2 tahun hidrokel tidak menghilang
8. Edukasi
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad functionam : dubia ad bonam/malam
10.Tingkat I/II/III/IV
Evidens
11.Tingkat A/B/C
Rekomendasi
12.Kepustakaan 1. Grosfeld JL, O’Neill JA, Fonkalsrud EW, Coran AG. Dalam
pediatric surgery. 6th ed. 2006.
2. O’Neill JA, Grosfeld JL, Fonkalsrud EW, Coran AG,
Caldamore AA dalam Principles of pediatric Surgery. 2nd
ed.
3. Aschraft, Holcomb KW, Murphy GW, Patrick J. Dalam
pediatric surgery 4th ed.2005.
4. P. Puri, M. Holwarth. Pediatric surgery. 2006. Pg 139-152
376 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
ATRESIA ESOFAGUS
377 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Kriteria 1.Riwayat: hipersalivasi, riwayat ibu polihidramnion
Diagnosis
2.Pemeriksaan fisik: hipersalivasi, sianotik, dengan
memasukkan NGT -> NGT tidak dapat masuk
3.Pemeriksaan penunjang : Darah rutin dan AGD, foto
thorax ditemukan NGT yang melengkung di daerah atresia
dan BNO
5. Diagnosis Atresia Esofagus (Q39)
378 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
ATRESIA ANI
1. Pengertian Suatu kelainan kongenital pada bayi yaitu tanpa anus atau
(Definisi) anus tidak sempurna
2. Anamnesis Bayi dengan perut kembung, muntah-muntah, tidak
didapatkan adanya anus (mekoneum terlambat keluar >24
jam setelah lahir, didapatkan fistula dan feses yang keluar
dari fistel tersebut.
3. Pemeriksaan Pada posisi supine didapatkan abdomen yang cembung.
Fisik Pada rectal toucher tidak didapatkan adanya anus,
ditemukan anal dimple dan bisa ditemukan fistula
4. Kriteria 1. Perut kembung
Diagnosis
2. Tidak didapatkan anus
3. Terdapat anal dimpel
4. Terdapat fistula
5. Diagnosis Atresia Ani (Q42.0 dgn fistula, Q42.1 tanpa fistula)
6. Diagnosis 1.Inkontinen bowel
Banding
7. Pemeriksaan 1.Radiologis foto tehnik cross lateral table
Penunjang
2.Distal Lopogram
8. Terapi 1. Simple anoplasty
2. Colostomi (46.11 temporary colostomy)
379 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
3. PSARP
9. Edukasi Luka operasi dibersihkan / spooling dengan povidon iodine
10. Rendam duduk setiap hari dimulai pada hari ke 3.
Minggu ke II mulai dilakukan businasi hingga wound healing
selesai
GASTROSKIZIS
380 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan foto polos thorax
Penunjang
2. Analisis gas darah
Prosedur Operatif
Monitoring
Distress Pernafasan, pertahankan penggunaan ETT dan
ventilator
Tanda Vital, cegah hipotermi, status hidrasi NICU
Dukungan nutrisi secara enteral dan parenteral
Pemilihan antibiotika
9. Edukasi 1. Pemeriksaan USG prenatal.
10.Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad functionam : dubia
11.Penelaah Kritis Peningkatan tekanan intra abdomen >20 mmhg
Peningkatan respiratory rate
Penurunan urin output
12.Kepustakaan 1. Grosfeld JL, O’neil JA, Fonkalsrud EW, Coran AG.
Pediatric Surgery: Sixth edition.2006; 1157-1171
2. Oldham KT, Colombani PM, Foglia RP. Principles and
practice of pediatric surgery. 2005;
3. Holcomb GW, Murphy JP. Ashcraft’s Pediatric Surgery:
fifth edition. 2010
381 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
HERNIA INGUINALIS
382 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
1. Cheiloraphy unilateral
8. Terapi 2. Nasoraphy (bila diperlukan)
383 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Perawatan luka
IV
11.Tingkat
Evidens
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
384 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah lengkap
Penunjang 2. Faal hemostasis
3. Foto thorax AP
385 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Cheiloraphy Bilateral
8. Terapi
11.Tingkat IV
Evidens
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
386 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
CELAH LANGIT-LANGIT
(ICD 10 : Q35.1, Q35.3, Q35.5)
387 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Celah langit-langit, palatum durum dan/atau palatum molle,
5. Diagnosis kanan dan/atau kiri, komplit dan/atau inkomplit
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
1. Palatoraphy
8. Terapi
IV
11.Tingkat
Evidens
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
388 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
Kelainan bawaan lahir berupa celah bibir satu sisi dan celah
1. Pengertian
(Definisi) langit-langit
389 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Adanya celah bibir satu sisi
2. Disertai / tidak disertai celah pada dasar hidung
3. Pemeriksaan 3. Adanya celah langit-langit (palatum durum dan / atau
Fisik palatum molle), satu sisi atau dua sisi
4. Adanya kelainan / infeksi pada pendengaran
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
1. Cheiloraphy Unilateral
8. Terapi 2. Nasoraphy (bila diperlukan)
3. Palatoraphy
1. Cara minum tidak boleh memakai dot / menetek (tidak
9. Edukasi boleh menghisap)
2. Perawatan luka
Ad vitam : dubia ad bonam
10.Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
14.Indikator Medis 80% luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
390 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
391 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Apakah ada gangguan berbicara?
1. Adanya celah bibir di kedua sisi
2. Disertai / tidak disertai celah pada dasar hidung
3. Pemeriksaan
3. Adanya celah langit-langit (palatum durum dan / atau
Fisik
palatum molle), satu sisi atau dua sisi
4. Adanya kelainan / infeksi pada pendengaran
4. Kriteria 1. Memenuhi keempat parameter anamnesis diatas
Diagnosis 2. Memenuhi keempat pemeriksaan fisik diatas
Celah bibir bilateral, komplit dan/atau inkomplit, disertai
celah langit-langit, palatum durum dan/atau palatum molle,
5. Diagnosis kanan dan/atau kiri, komplit dan/atau inkomplit
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
1. Cheiloraphy bilateral
8. Terapi 2. Palatoraphy
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
392 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
393 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Tumor jinak yang berasal dari melanosit berwarna
kehitaman, berbatas tegas pada telinga, dan saluran telinga
1. Pengertian
(Definisi) luar
Melanoma maligna
6. Diagnosis
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
1. Eksisi
2. Eksisi dan skin grafting
8. Terapi 3. Eksisi dan flap
Perawatan luka
9. Edukasi
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
394 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
395 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
MELANOCYTIC NEVI OF EYELID, INCLUDING CANTHUS
(ICD 10 : D22.1)
Melanoma maligna
6. Diagnosis
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
1. Eksisi
2. Eksisi dan skin grafting
8. Terapi 3. Eksisi dan flap
Perawatan luka
9. Edukasi
11.Tingkat IV
Evidens
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
396 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-
VIII, Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Alan D. McGregor, Ian A. McGregor, ed. Fundamental
Techniques of Plastic Surgery and Their Surgical
Applications, 10th eds. Churchill Livingstone, 2000
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed.
Plastic Surgery : Indications and Practice. Volume I-II,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2009
397 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Melanoma maligna
6. Diagnosis
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
1. Eksisi
2. Eksisi dan skin grafting
8. Terapi 3. Eksisi dan flap
Perawatan luka
9. Edukasi
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
398 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
399 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Melanoma maligna
6. Diagnosis
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
1. Eksisi
8. Terapi 2. Eksisi dan skin grafting
3. Eksisi dan flap
9. Edukasi Perawatan luka
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
400 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14.Indikator Medis
401 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Melanoma maligna
6. Diagnosis
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
1. Eksisi
8. Terapi 2. Eksisi dan skin grafting
3. Eksisi dan flap
Perawatan luka
9. Edukasi
402 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
403 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Melanoma maligna
6. Diagnosis
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
1. Eksisi
8. Terapi 2. Eksisi dan skin grafting
3. Eksisi dan flap
404 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Perawatan luka
9. Edukasi
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
405 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Melanoma maligna
5. Diagnosis
Banding
6. Pemeriksaan 1. Darah lengkap
406 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
1. Eksisi
7. Terapi 2. Eksisi dan skin grafting
3. Eksisi dan flap
8. Edukasi Perawatan luka
10.Tingkat Evidens IV
11.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
12.Penelaah Kritis
407 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
408 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kelainan kelopak mata dan area sekitar mata non trauma
6. Diagnosis
Banding
-
7. Pemeriksaan
Penunjang
Kompres dingin dan medikamentosa
8. Terapi
IV
11.Tingkat Evidens
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
409 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
410 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Benjolan permukaan rata, mudah digerakkan,
3. Pemeriksaan tidak lekat dasar
Fisik 2. Tidak ada tanda-tanda infeksi
Atheroma
6. Diagnosis
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
Eksisi
8. Terapi
Perawatan luka
9. Edukasi
IV
11.Tingkat Evidens
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
411 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
412 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Tumor jinak jaringan lemak sub kutis pada anggota gerak
1. Pengertian atas dan bawah
(Definisi)
Atheroma
6. Diagnosis
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
Eksisi
8. Terapi
Perawatan luka
9. Edukasi
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13.Penelaah Kritis
413 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
414 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Benign lipomatous neoplasm of skin and subcutaneous tissue of other and
unspecified sites
(ICD 10 : D17.3)
6. Diagnosis Atheroma
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
Eksisi
8. Terapi
Perawatan luka
9. Edukasi
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
10. Prognosis
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th eds.,
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Alan D. McGregor, Ian A. McGregor, ed. Fundamental
15. Kepustakaan
Techniques of Plastic Surgery and Their Surgical Applications,
10th eds. Churchill Livingstone, 2000
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
415 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
1. Pengertian Tumor jinak jaringan lemak sub kutis pada dada dan punggung
(Definisi)
1. Kapan mulai timbul
2. Anamnesis
2. Apakah ada gangguan fungsi di sekitar lesi
1. Benjolan permukaan rata, mudah digerakkan, tidak lekat
3. Pemeriksaan
dasar
Fisik
2. Tidak ada tanda-tanda infeksi
1. Memenuhi kedua parameter anamnesis diatas
4. Kriteria Diagnosis
2. Memenuhi kedua pemeriksaan fisik diatas
Benign lipomatous neoplasm of skin and subcutaneous tissue of
5. Diagnosis trunk
6. Diagnosis Atheroma
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
Eksisi
8. Terapi
Perawatan luka
9. Edukasi
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
10. Prognosis
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th
eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Alan D. McGregor, Ian A. McGregor, ed. Fundamental
15. Kepustakaan
Techniques of Plastic Surgery and Their Surgical Applications,
10th eds. Churchill Livingstone, 2000
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
416 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Benign lipomatous neoplasm of skin and subcutaneous tissue of head, face and
neck
(ICD 10 : D17.0)
6. Diagnosis Atheroma
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
8. Terapi Eksisi
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
417 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
Luka dan/atau memar akibat trauma lain yang tidak spesifik pada
1. Pengertian
(Definisi) permukaan kelopak mata dan daerah sekitar mata
Luka pada bagian lain kelopak mata dan area sekitar mata non
6. Diagnosis
Banding trauma
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
1. Penyembuhan luka per sekunder
8. Terapi
2. Skin grafting
Perawatan luka
9. Edukasi
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
10. Prognosis
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th
eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Alan D. McGregor, Ian A. McGregor, ed. Fundamental
Techniques of Plastic Surgery and Their Surgical Applications,
10th eds. Churchill Livingstone, 2000
418 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
diatas
4. Kriteria Diagnosis
2. Memenuhi kedua pemeriksaan fisik diatas
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
419 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic
Surgery, 6th eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins,
2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2 nd eds.,
Volume I-VIII, Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
15. Kepustakaan 3. Alan D. McGregor, Ian A. McGregor, ed. Fundamental
Techniques of Plastic Surgery and Their Surgical Applications,
10th eds. Churchill Livingstone, 2000
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed.
Plastic Surgery : Indications and Practice. Volume I-II,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2009
420 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
421 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Skin grafting
9. Edukasi Perawatan luka
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
422 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
1. Penyembuhan luka per sekunder
8. Terapi
2. Skin grafting
9. Edukasi Perawatan luka
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
423 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Kriteria 3. Memenuhi ketiga parameter anamnesis diatas
Diagnosis 4. Memenuhi kedua pemeriksaan fisik diatas
Other and unspecified superficial injuries of other parts of
5. Diagnosis head
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
424 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Apakah ada gangguan fungsi di sekitar lesi
3. Apakah ada perdarahan aktif
3. Pemeriksaan 1. Luka terbuka dan/atau memar pada kulit kepala, nyeri
Fisik 2. Tidak ada tanda-tanda infeksi
4. Kriteria 1. Memenuhi kedua parameter anamnesis diatas
Diagnosis 2. Memenuhi kedua pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Superficial injury of scalp
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
425 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Cedera pada bagian dalam kulit atau jaringan di bawah jari
1. Pengertian disertai adanya perdarahan tanpa ada luka terbuka atau
(Definisi) kerusakan kuku
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto manus AP/ oblique
8. Terapi Insisi-drainase (82.09)
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
426 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
RSUD BANYUASIN
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th
eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Wolfe, Hitchkiss, Pederson, Kozin, ed. Green’s Operative Hand
15. Kepustakaan
Surgery, 6th eds. Volume I-II. Philadelphia, Elsevier-Churchill
Livingstone, 2011
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
427 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
4. Foto manus AP/Oblique
1. Pemasangan intramedullary pinning
8. Terapi 2. Pemasangan plate dan screw
3. Pemasangan lumbrical splint
9. Edukasi Pasif mobilisasi jari-jari tangan
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
428 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th
eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Wolfe, Hitchkiss, Pederson, Kozin, ed. Green’s Operative Hand
15. Kepustakaan
Surgery, 6th eds. Volume I-II. Philadelphia, Elsevier-Churchill
Livingstone, 2011
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
429 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th eds.,
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
430 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Wolfe, Hitchkiss, Pederson, Kozin, ed. Green’s Operative Hand
Surgery, 6th eds. Volume I-II. Philadelphia, Elsevier-Churchill
Livingstone, 2011
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
Fracture of thumb
(ICD 10 :S62.5)
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
431 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th
eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Wolfe, Hitchkiss, Pederson, Kozin, ed. Green’s Operative Hand
15. Kepustakaan
Surgery, 6th eds. Volume I-II. Philadelphia, Elsevier-Churchill
Livingstone, 2011
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
8. Terapi Repair wound
432 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
6. Diagnosis -
Banding
433 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
8. Terapi Repair wound
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
434 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
4. Kriteria 1. Memenuhi kedua parameter anamnesis diatas
Diagnosis 2. Memenuhi kedua pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Open wound of thumb with damage to nail
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
8. Terapi Repair wound
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
435 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Pengertian Luka padaibujaritanpakerusakan kuku
(Definisi)
1. Kapan terjadinya trauma?
2. Anamnesis 2. Apakah ada gangguan menggerakkan ibu jari
tangan?
3. Pemeriksaan 1. Luka pada ibu jari
Fisik 2. Kuku dan nail bed tidak intak
4. Kriteria 1. Memenuhi kedua parameter anamnesis diatas
Diagnosis 2. Memenuhi kedua pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Open wound of thumb without damage to nail
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
8. Terapi Repair wound
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
436 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Open wound of wrist
(ICD 10 :S61.5)
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
8. Terapi Repair wound
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
437 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
4. Foto manus AP/Oblique
1. Reposisi sendi
8. Terapi
2. Pemasangan lumbrical splint
9. Edukasi Pasif mobilisasi jari-jari tangan
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
438 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
4. Foto manus AP/Oblique
1. Reposisi sendi
8. Terapi
2. Pemasangan lumbrical splint
9. Edukasi Pasif mobilisasi jari-jari tangan
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
439 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
4. Foto manus AP/Oblique
1. Reposisi sendi
8. Terapi
2. Pemasangan lumbrical splint
9. Edukasi Pasif mobilisasi jari-jari tangan
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
440 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
3. Wolfe, Hitchkiss, Pederson, Kozin, ed. Green’s Operative
Hand Surgery, 6th eds. Volume I-II. Philadelphia, Elsevier-
Churchill Livingstone, 2011
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed.
Plastic Surgery : Indications and Practice. Volume I-II,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2009
Ulkus Dekubitus
(ICD 10 : L89)
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
4. Perawatan Luka
8. Terapi
5. Debridement dan tutup defek
9. Edukasi Perawatan luka
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
441 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery,
6th eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-
VIII, Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Alan D. McGregor, Ian A. McGregor, ed. Fundamental
15.Kepustakaan
Techniques of Plastic Surgery and Their Surgical
Applications, 10th eds. Churchill Livingstone, 2000
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed.
Plastic Surgery : Indications and Practice. Volume I-II,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2009
Hemangioma
(ICD 10 : D18.0)
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
442 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th
eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Alan D. McGregor, Ian A. McGregor, ed. Fundamental
15. Kepustakaan
Techniques of Plastic Surgery and Their Surgical Applications,
10th eds. Churchill Livingstone, 2000
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
Lymphangioma
(ICD 10 : D18.1)
6. Diagnosis Limfedema
Banding
1. Darah lengkap
7. Pemeriksaan
2. Faal hemostasis
Penunjang
3. Foto thorax AP
8. Terapi Eksisi
443 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
Limfedema
(ICD 10 : Q82.0)
444 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
6. Penekanan dengan compressive garment
8. Terapi
7. Eksisi
Perawatan luka
9. Edukasi
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
10. Prognosis
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th
eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Alan D. McGregor, Ian A. McGregor, ed. Fundamental
15. Kepustakaan
Techniques of Plastic Surgery and Their Surgical Applications,
10th eds. Churchill Livingstone, 2000
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
Epispadias
(ICD 10 :Q64.0)
445 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Diagnosis 2. Memenuhi kedua pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Epispadias
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
Ekstrofia buli
(ICD 10 :Q64.1)
446 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1. Jarak tulang pubis melebar
2. Defek perut berbentuk segitiga yang memperlihatkan
3. Pemeriksaan selaput kandung kemih.
Fisik 3. Ukuran penis lebih kecil dari normal, testis belum
turun ke kantung kemaluan
4. Epispadia
1. Memenuhi kedua parameter anamnesis diatas
4. Kriteria Diagnosis
2. Memenuhi keempat pemeriksaan fisik diatas
Ekstrofia buli
5. Diagnosis
6. Diagnosis 1. Patent Urachus
Banding 2. Persistent Cloaca
1. Darahlengkap
7. Pemeriksaan 2. Faal hemostasis
Penunjang 3. Foto thorax AP
4. Foto Pelvis AP
1. Memperbaiki kandung kemih
8. Terapi
2. Melekatkan tulang pelvis satu sama lain.
Perawatan luka
9. Edukasi
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
10. Prognosis
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
SMF Kesehatan Bedah
13. Penelaah Kritis
80 % Luka operasi tidak infeksi selama 4 hari perawatan
14. Indikator Medis
1. Charles H. Thorne, ed. Grabb & Smith’s Plastic Surgery, 6 th
eds., Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
2. Stephen J. Mathes, ed. Plastic Surgery, 2nd eds., Volume I-VIII,
Philadelphia, Elsevier-Saunders, 2006
3. Alan D. McGregor, Ian A. McGregor, ed. Fundamental
15. Kepustakaan
Techniques of Plastic Surgery and Their Surgical Applications,
10th eds. Churchill Livingstone, 2000
4. Bahman Guyuron, Elof Eriksson, John A. Persing, ed. Plastic
Surgery : Indications and Practice. Volume I-II, Philadelphia,
Elsevier-Saunders, 2009
Epispadias
447 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
(ICD 10 :Q64.0)
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
448 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Burns involving 10-19% of body surface
(ICD 10 : T31.1)
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
2. Albumin
7. Pemeriksaan 3. SGOT/SGPT
Penunjang 4. BUN/ SK
5. Faal hemostasis
6. Foto thorax AP
1. Resusitasi cairan luka bakar (Baxter)
2. Analgesik
3. Antibiotik sesuai antibiogram terbaru
4. Profilaktik stress ulcer
5. Debridemant cuci luka bakar
8. Terapi 6. Roborantia
7. Tranfusi albumin
8. Tranfusi PRC/ WB/ TC
9. Dopamin/ dobutamin
10.Skin graft/ flap
11.Fisioterapi
1. Perawatan luka
9. Edukasi
2. Fisioterapi pasca MRS
10.Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
449 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
450 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
2. Albumin
7. Pemeriksaan 3. SGOT/SGPT
Penunjang 4. BUN/ SK
5. Faal hemostasis
6. Foto thorax AP
8. Terapi 1. Resusitasi cairan luka bakar (Baxter)
2. Analgesik
3. Antibiotik sesuai antibiogram terbaru
4. Profilaktik stress ulcer
5. Debridemant cuci luka bakar
6. Roborantia
7. Tranfusi albumin
8. Tranfusi PRC/ WB/ TC
9. Dopamin/ dobutamin
10.Skin graft/ flap
451 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
11.Fisioterapi
1. Perawatan luka
9. Edukasi
2. Fisioterapi pasca MRS
Ad vitam : dubia ad bonam
10.Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
452 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
2. Albumin
7. Pemeriksaan 3. SGOT/SGPT
Penunjang 4. BUN/ SK
5. Faal hemostasis
6. Foto thorax AP
8. Terapi 1. Resusitasi cairan luka bakar (Baxter)
2. Analgesik
3. Antibiotik sesuai antibiogram terbaru
4. Profilaktik stress ulcer
5. Debridemant cuci luka bakar
453 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
6. Roborantia
7. Tranfusi albumin
8. Tranfusi PRC/ WB/ TC
9. Dopamin/ dobutamin
10.Skin graft/ flap
11.Fisioterapi
1. Perawatan luka
9. Edukasi
2. Fisioterapi pasca MRS
Ad vitam : dubia ad bonam
10.Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
454 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Fraktur Maxilla
(ICD 10 : S02.6)
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
2. Faal hemostasis
7. Pemeriksaan
3. Foto skull AP/Lat, Waters
Penunjang
4. Foto CT-Scan 3D
455 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Ad vitam : dubia ad bonam
10.Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
456 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Fraktur Nasal
(ICD 10 : S02.2)
6. Diagnosis -
Banding
1. Darah lengkap
2. Faal hemostasis
7. Pemeriksaan
3. Foto skull AP/Lat, Waters
Penunjang
4. Foto CT-Scan 3D
457 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
5. Costochondral graft
6. Silikon
7. Gips Hidung
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
458 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Fraktur Zygoma
(ICD 10 : S02.6)
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah lengkap
Penunjang 2. Faal hemostasis
459 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
3. Foto skull AP/Lat, Waters
4. Foto CT-Scan 3D
1. ORIF
8. Terapi 2. Bone graft
11.Tingkat Evidens IV
12.Tingkat C
Rekomendasi
13.Penelaah Kritis SMF Kesehatan Bedah
460 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
461 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Penunjang Radiografi cervical dan lain-lain bila ada indikasi
CT-scan , indikasi :
GCS dibawah 15 setelah 12 jam post trauma
Susp open atau fraktur depresi
Tanda-tanda fraktur basis cranium (hemotimpanum,
raccoon eyes, CSF otorrhoea atau rhinorroea, Battle
sign)
Vomitus (lebih dari 2 episode)
Umur diatas 65 tahun
Amnesia sebelum cedera ( > 30 menit)
Mekanisme cedera yang berbahaya (cth: pejalan kaki
yang ditabrak oleh sepeda motor, jatuh dari ketinggan
> 3 atau 5 anak tangga)
Pemeriksaan kadar alcohol serta urine untuk skrining
toksik
8. Terapi 1.ABCD
2.sekondary survey : head to toe examination dan
pemeriksaan penunjang
3.Kriteria rawat:
1.Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala
berat)
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-
jawabkan
10. CT scan abnormal
4. Rawat jalan, bila
1.Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan
jelaskan tentang
'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
462 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
1991. 235-291.
3. Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The
Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and
Wilkins, 1996. 1611-1622.
4. Kriteria Anamnesis
Diagnosis Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan Radiograf tengkorak
463 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Penunjang Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada
indikasi
Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
Contoh darah untuk penentuan golongan darah
Tes darah dasar dan EKG
CT scan kepala
8. Terapi 1.ABCD
2. Secondary survey: head to toe examination dan
pemeriksaan penunjang
3.Perawatan ICU
4.Pemeriksaan neurologis berulang terutama pada 12-24
jam pertama
5. Operasi bila ada indikasi
9. Edukasi
10.Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam / malam
Ad sanatianam : dubia ad bonam / malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam / malam
11.Tingkat I /II/ III / IV
Evidens
12.Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13.Kepustakaan 1. ATLS
2. Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed.
Principles of Neorosurgery. New York : Raven Press,
1991. 235-291.
3. Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The
Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and
Wilkins, 1996. 1611-1622.
464 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
4. Kriteria Anamnesis
Diagnosis Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan Radiograf tengkorak
465 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Penunjang Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada
indikasi
Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
Contoh darah untuk penentuan golongan darah
Tes darah dasar dan EKG
CT scan kepala
9. Edukasi -
10.Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam / malam
Ad sanatianam : dubia ad bonam / malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam / malam
11.Tingkat I /II/ III / IV
Evidens
12.Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13.Kepustakaan 1. ATLS
2. Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed.
Principles of Neorosurgery. New York : Raven Press,
1991. 235-291.
3. Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The
Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and
Wilkins, 1996. 1611-1622.
466 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
HIDROSEFALUS
467 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
3.Tumor otak (C71.9)
4.Subdurral Effusion (I62.0)
5.Brainstem Gliomas (D33.0)
6.Epidural haemathoma (S06.4)
7. Pemeriksaan Pemeriksaan Cairan Cerebro Spinal
Penunjang Pemeriksaan radiologi : CT scan kepala
8. Terapi Ventrico-peritoneal Shunt (VP Shunt) (O2.34)
9. Edukasi -
10.Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam / malam
Ad sanatianam : dubia ad bonam / malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam / malam
11.Tingkat I /II/ III / IV
Evidens
12.Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13.Kepustakaan 1. Vanneste JA. Diagnosis and management of normal-
pressure hydrocephalus. J. Neurol, 2000 ; 247 : 5-14.
2. Frim DM, Scott RM, Madsen JR. Surgical management
of neonatal hydrocephalus. Neurosurg Clin N Am. Jan
1998;9(1):105-10.
3. Sainte-Rose C. Hydrocephalus in childhood. In:
Youmans JR, ed. Neurological Surgery. Philadelphia: WB
Saunders Company; 1996:890-926.
4. Partington MD. Congenital hydrocephalus. Neurosurg
Clin N Am. Oct 2001;12(4):737-42, ix.
468 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
HIDRANSEFALI
4. Diagnosis
Hidrancephali (G919)
5. Diagnosis Extreme hydrocephalus (Q03.3), alobar holoprosencephaly
Banding (Q04.2), porencephaly (G93.4)
6. Pemeriksaan 1. CT Scan
Penunjang 2. MRI
7. Terapi 1. Pembedahan
8. Edukasi 1.
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
10.Kepustakaan 1. Vanneste JA. Diagnosis and management of normal-
pressure hydrocephalus. J. Neurol, 2000 ; 247 : 5-14.
2. Frim DM, Scott RM, Madsen JR. Surgical management
of neonatal hydrocephalus. Neurosurg Clin N Am. Jan
1998;9(1):105-10.
3. Sainte-Rose C. Hydrocephalus in childhood. In:
Youmans JR, ed. Neurological Surgery. Philadelphia: WB
Saunders Company; 1996:890-926.
4. Partington MD. Congenital hydrocephalus. Neurosurg
Clin N Am. Oct 2001;12(4):737-42, ix
469 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
470 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018
MENINGOKEL
4. Kriteria 1. Anamnesis
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik
471 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
MENINGIOMA
472 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
SUBARAKHNOID HEMORAGIK
473 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
INTRASEREBRAL HEMATOMA
474 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
SUBDURAL HEMATOMA
475 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
NIP. 19730313 200604 2 009
EPIDURAL HEMATOMA
476 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Spondilitis TB
477 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
pada bagian anterior vertebra
- CT scan untuk melihat detail tulang, lesi litik irreguler,
kolaps diskus, dengan kontras memberikan asesmen
lebih baik dalam menilai jaringan lunak
- MRI: untuk menilai infeksi pada diskus dan osteomyelitis
pada tulang belakang serta penyebarannya pada
ligamentum posterior dan anterior, juga efektif untuk
menilai kompresi neural.
478 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Fraktur Metakarpal
479 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
480 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
- fraktur kompresi yang minimal dapat tidak terlihat
7. Terapi Terapi konservatif diarahkan pada fraktur kompresi yang
stabil dan tanpa deficit neurologist. Dititikberatkan pada
penanganan nyeri akut dengan analgetik, brace dan
fisioterapi. Secara umum, nyeri mengalami resolusi pada 4-8
minggu, namun deformitas tulang belakang dapat timbul.
Penatalaksanaan operatif pada fraktur kompresi dengan
gejala meliputi reduksi dan stabilisasi baik secara aproach
anterior dan posterior.
481 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
1. Pengertian Tumor tulang primer jinak bersifat destruktif lokal dengan potensi
(Definisi) menjadi tumor ganas, terjadi pada bagian cancellous tulang
panjang pasien dewasa muda, dengan predileksi pada distal radius,
distal femur, proximal tibia, dan proximal humerus (sacrum dan
vertebra pada 10% kasus)
482 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
NIP. 19730313 200604 2 009
Fraktur Klavikula
483 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dikencangkan secara teratur. Anak-anak <10 tahun
menggunakan strap atau splint selama 3-4 minggu sampai
bebas nyeri, sedangkan orang dewasa biasanya
membutuhkan waktu 4-6 minggu.
2. Pasien dianjurkan untuk melakukan pergerakan seperti
biasa begitu nyeri berkurang (strap/splint/sling sudah
dilepas).
484 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Osteosarcoma
485 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
Fraktur Kruris
486 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
305-306
2. Prof Chairuddin Rasjad MD. Phd, Pengantar Ilmu
Bedah Ortopedi 2 ed, Bintang Lamumpathe, 2003,
419, 395-399
3. Robert Salter, Text Book of Disorder and Injuries of
The Musculoskeletal System, 3 ed, Lippincott
Williams & Wilkins, 1999, 522-523, 582-5 84
487 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Fraktur Ankle
488 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Minute
489 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Fraktur Patela
490 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
491 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
492 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
trauma neurovascular dan trmboemboli
493 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Dislokasi Glenohumeral
494 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
fraktur rim glenoid
8. Edukasi 1. Mempertahankan arm sling atauvelpeauselama 2-4
minggu
2.Latihan ROM aktif pasif neurovascular dan trmboemboli
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
10.Tingkat I /II/ III / IV
Evidens
11.Tingkat A/B/C
Rekomendasi
12.Kepustakaan and Green’s Fractures in Adults and in Children. Lippincott
Williams & Wilkins, Ed.9
Handbook of Fractures. Lippincott William & Wilkins, Ed. 4
495 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Osteoblastoma
1. Pengertian Tumor tulang soliter jinak yang terjadi di tulang belakang dan
(Definisi) tulang panjang orang dewasa muda
2. Anamnesis Rasa sakit durasi panjang
Pembengkakan
Nyeri tidak bertambah saat malam hari
Gejala neurologis
3. Pemeriksaan I : tampak benjolan
Fisik P : ukuran benjolan, batas benjolan, konsistensi, permukaan
benjolan, mobilitas benjolan, nyeri tekan
4. Kriteria 1. Anamnesa
Diagnosis 2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
4. Pemeriksaan Laboratorium
5. Diagnosis Osteoblastoma
6. Diagnosis 1. Osteoid osteoma
Banding 2. Osteosarcoma
7. Pemeriksaan 1. CT Scan
Penunjang 2. X- Ray
496 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Burger’s Disease
497 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
498 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
3. European Heart Journal (2010) 31, 2915–2957
4. Schwartz, Principles of Surgery
499 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Gangren ec PAD
500 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
NIP. 19730313 200604 2 009
AV Shunt
5. Diagnosis
Arterio Venous Shunt
6. Pemeriksaan Echo Doppler
Penunjang .
7. Terapi 1. perawatan luka
2. antibiotik dan analgetik oral
8. Edukasi 1. tidak melakukan aktifitas ekstrim pada bagian yang di
lakukan AV Shunt
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad functionam : dubia ad bonam/malam
10.Kepustakaan Baileyand love general surgery, 26th. 2013
Schwart, Principles of Surgery
Current Diagnosis & Treatment: Surgery, 13th
501 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
DVT
502 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
NIP. 19730313 200604 2 009
Tension Pneumothorax
4. Kriteria 1. Anamnesa
Diagnosis 2. Menilai pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Tension pneumothorax
6. Diagnosis 1. Spontan pneumothorax
Banding 2. Simple pneumothorax
7. Terapi 1.Needle thoracosintesis
2.Chest tube
3.Inj. Antibiotik
4. Inj. Analgetik
8. Edukasi 1.Chest fisioterapi
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam / malam
Ad sanatianam : dubia ad bonam / malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam / malam
10.Tingkat I /II/ III / IV
Evidens
11.Tingkat A/B/C
Rekomendasi
12.Penelaah SMF Bedah Orthopedi
Kritis
13.Kepustakaan 1.Baileyand love general surgery, 26th. 2013
2. Advanced Trauma Life Support , American Collage of
Surgeon
503 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
NIP. 19730313 200604 2 009
ANEURYSMA
504 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN 4
Pneumothorax Simple
4. Kriteria 1. Anamnesa
Diagnosis 2. Menilai pemeriksaan fisik
3. Evaluasi hasil pemeriksaan tambahan (Ro Thorax
AP)
5. Diagnosis Simple Pneumothorax
6. Diagnosis 1.Tension pneumothorax
Banding
7. Pemeriksaan Ro Thorax AP (duduk)
Penunjang
8. Terapi 1. Chest tube
2. Inj. Antibiotik
3. Inj. Analgetik
9. Edukasi 1.Chest fisioterapi
10.Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam / malam
Ad sanatianam : dubia ad bonam / malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam / malam
11.Tingkat I /II/ III / IV
Evidens
12.Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13.Penelaah SMF Bedah Orthopedi
Kritis
14.Kepustakaan 1.Baileyand love general surgery, 26th. 2013
2. Advanced Trauma Life Support , American Collage of
Surgeon
3. Current Diagnosis & Treatment: Surgery, 13th
4.Schwartz
505 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
Hematothorax
4. Kriteria 1. Anamnesa
Diagnosis 2. Menilai pemeriksaan fisik
3. Evaluasi hasil pemeriksaan tambahan (Ro Thorax
AP)
4. Bila volume darah yang keluar saat pemasangan
chest tube > 1000 cc indikasi untuk thorakotomi
resusitasi
5. Diagnosis Hematothorax
6. Diagnosis 1.Hematotoraks massive
Banding 2.Effusi pleura
3. Atelektasis paru
506 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
Kritis
507 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN BEDAH
RSUD BANYUASIN
Pneumothorax Simple
1. Pengertian Fraktur pada tulang costae yang terjadi karena disebabkan oleh
(Definisi) traumatumpul
2. Anamnesis KU : Nyeri dada dan sesak
Riwayat trauma
Mekanisme trauma
3. Pemeriksaan Pernafasan : meningkat
Fisik Status lokalis:
Regio Thorax
Inspeksi : Respiratory rate ↑, gerakanpernafasan terbatas, jejas pada
dada
Palpasi : nyeri dada bila bernafas
Perkusi : dalam batas normal (jika tidak ada kelainan yang
menyertai )
Auskultasi : dalam batas normal (jika tidak ada kelainan yang
menyertai
4. Kriteria 1. Anamnesa
Diagnosis 2. Menilai pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan Radiologis (Ro Thorax AP)
4. Pemeriksaan Laboratorium : Darah rutin dan kimia
darah
5. Diagnosis Fraktur Costae
6. Diagnosis 1. Flail chest
Banding 2. Contusio Paru
7. Pemeriksaan Ro Thorax AP (duduk)
Penunjang
8. Terapi 1.Analgetik yang kuat
2.Intercostal Nerve block
3.Fiksasi interna
9. Edukasi 1. Rehabilitasi paru
2. Fisiotherapy paru
3. Chest exercise
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam / malam
Ad sanatianam : dubia ad bonam / malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam / malam
11. Tingkat I /II/ III / IV
Evidens
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Bedah Orthopedi
Kritis
14. Kepustakaan 1. Blunt Chest Trauma, Marry C. Mancini M.D, Ph.D . Department of
surgery, lousiana state university
2. Schwartz, Principles of Surgery
3. Baileyand love general surgery, 26th. 2013
508 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s
509 | P a n d u a n P r a k t i k K l i n i s