Anda di halaman 1dari 236

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

SMF KESEHATAN ANAK


RSUD BANYUASIN

DIARE AKUT
Kode ICD : A00-A09

1. Definisi Kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi dengan feses cair atau
lembek dengan/ tanpa lendir atau darah, dengan frekuensi 3 kali atau lebih
sehari, berlangsung kurang dari 14 hari, kurang dari 4 episode/bulan.
Perubahan konsistensi feses menjadi lebih lembek/cair dan frekuensi defekasi
lebih sering menurut ibu
2. Etiologi Penyebab terpenting: Rotavirus, E. coli, Shigella, Campylobacter jejuni,
Vibrio cholera, Salmonella. Dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas,
inflamasi dan imunologi
3. Patogenesis Diare sekretorik: bakteri menempel di mukosa, mengeluarkan enterotoksin,
mengaktifkan second massenger sehingga pompa-pompa sekresi (terutama
pompa Chlorida) menjadi lebih aktif menghasilkan feses dengan konsistensi
cair. Contoh kolera.
Diare osmotik: defisiensi enzim-enzim pencernaan (enzim laktase merupakan
enzim yang paling cepat terpengaruh dan paling lambat pulih) menyebabkan
absorpsi makanan tidak sempurna menimbulkan beban osmotik di usus kecil
bagian distal.Sisa makanan akan diurai oleh baktei kolon menjadi substansi-
substansi yang lebih kecil (laktosa akan diurai menjadi asam-asam lemak
rantai pendek, gas hidrogen, dan lain-lain) sehingga beban osmotik akan
meningkat lagi menimbulkan diare. Contoh defisiensi enzim laktase.
Diare campuran/sitolitik : Inflamasi/virus merusak villi sehingga terjadi
gangguan absorpsi makanan (mekanisme diare osmotik). Rusaknya villi
menyebabkan hiperplasi dan hipertropi kripta menimbulkan diare sekretorik.
Contoh: infeksi rotavirus.
4. Anamnesis Frekuensi BAB: 3 kali atau lebih, konsistensi feses cair atau lembek
(konsistensi feses cair tanpa ampas walaupun hanya sakali dapat disebut
diare), jumlah feses, ada tidaknya muntah, gejala-gejala klinik lain (batuk-
pilek, panas, kejang, dan lain-lain), riwayat masukan cairan sebelumnya,
minum lahap atau malas minum.
5. Pemeriksaan Tanda-tanda dehidrasi, komplikasi, penyakit penyulit (bronkopneumoni,
fisik bronkiolitis, malnutrisi, penyakit jantung dan dekompensasi kordis, dan :
keadaan umum (gelisah, cengeng, rewel, letargi, tampak sakit berat),
frekuensi nadi, suhu, frekuensi nafas (tanda asidosis atau adanya penyakit
penyulit). Pemeriksaan yang meliputi keadaan umum pasien, status dehidrasi,
pemeriksaan abdomen, ekskoriasi pada bokong, dan manifestasi kulit.
Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar kepala,
perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat
badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya

6. Kriteria  Anamnesis
diagnosis  Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Diare akut murni : darah rutin, feses rutin dan kultur feses
Penunujang Bukan diare akut murni atau diare akut dengan komplikasi : Darah lengkap,
elektrolit, BSS, kultur darah, urin lengkap, kultur urin.
8. Tatalaksana Terapi cairan dan elektrolit :
Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:
Diare akut murni.
Diare akut dengan penyulit/komplikasi.

Ad 1. Diare akut murni


Ditujukan untuk :
Rehidrasi : mengganti previous water losses dengan IVFD
(mengunakan RL) atau per oral (menggunakan oralit).
Maintenance : mencegah dehidrasi dengan mengganti on going water
losses dengan oralit peroral/CRO.
Requirement : dengan makan dan minum seperti biasa.
Diare akut dehidrasi ringan sedang menggunakan oralit pada dengan dosis 75
ml/kgBB/4 jam, jika gagal upaya rehidrasi oral (URO) mengunakan cairan
ringer laktat dengan dosis 75 ml/kgBB/4 jam
Diare akut dehidrasi berat mengunakan cairan ringer laktat dengan dosis 30
ml/jam/kgBB sampai tanda-tanda dehidrasi hilang (target 120 ml/kgBB).
Monitoring rehidrasi dilakukan setiap jam, jika tanda-tanda dehidrasi hilang,
rehidrasi dihentikan.

Ad 2. Pada diare akut dengan penyulit :


Menggunakan modifikasi Sutejo dengan cairan yang mengandung:
Na : 63,3 mEq/L.
K : 10,4mEq/L.
CI : 61,4 mEq/L.
HCO3 : 12,6 mEq/L.
Kalori : 200 kalori
Yang terdiri dari NaCl 15% 10 cc (1 cc = 2,55 mEq/l), KC1 10% 4 cc (1 cc =
1,33 mEq/l), NaHCO3 8,4% 7 cc (1 cc = 1 mEq/l) dalam 500 cc D5% (mirip
cairan KAEN 3A).
Koreksi diberikan secara IV dengan kecepatan :
Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang :
4 jam I : 50 cc/kg BB.
20 jam II : 150 cc/kgBB.
Atau dapat diberikan dengan kecepatan yang sama 200 ml/kgBB/hari
Diare akut dengan penyulit dehidrasi berat :
4 jam I : 60 cc/kg BB.
20 jam II : 190 cc/kgBB.
Rehidrasi yang diberikan perhari tetap dimonitoring. Rehidrasi dihentikan
jika status rehidrasi telah tercapai (tidak ada tanda-tanda dehidrasi). Diare
akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang memerlukan cairan
rehidrasi antara 150 – 200 ml/kgBB/hari sedangkan dehidrasi berat 250
ml/kgBB/hari. Kebutuhan cairan rehidrasi untuk anak yang lebih besar (lebih
dari 10 kg) kurang dari nilai tersebut, sebagai patokan praktisnya adalah
dehidrasi ringan-sedang memerlukan 1,5 sampai 2 kali kebutuhan
maintenance (misalnya anak 20 kg, kebutuhan maitenancenya adalah 1500
ml dengan, yang berarti kebutuhan rehidrasinya 2250-3000ml), sedangkan
dehidrasi berat 2,5 kali maintenance.

Bentuk penyulit, jenis dan jumlah cairan dilihat pada skema 2. Terapi diet lihat
skema 1

Terapi medikamentosa :
Diberikan preparat zink elemenal, untuk usia < 6 bulan sebanyak 1 x 10 mg
dan usia ≥ 6 bulan sebanyak 1 x 20 mg selama 10-14 hari. Obat-obatan
antimikroba termasuk antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit
diare akut. Patokan pemberian antimikroba/antibiotika adalah sebagai
berikut:
1. Kolera.
2. Diare bakterial invasif.
3. Diare dengan penyakit penyerta.
4. Diare karena parasit/jamur.
Ad. 1. Kolera :
Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi
Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.
Ad. 2. Diare bakterial invasif :
Secara klinis didiagnosis jika :
Panas lebih dari 38,5oC dan meteorismus.
Ada lendir dan darah dalam tinja secara makroskopis maupun
mikroskopis.
Leukosit dalam tinja secara mikroskopis lebih dari 10/lpb atau +
+
Antibiotika yang dipakai sementara menunggu hasil kultur :
 K1inis diduga ke arah Shigella (setiap diare yang disertai
darah dapat dianggap shigelosis, jika tidak ada tanda klinis
yang khas untuk penyakit lainya atau belum dapat dibutikan
infeksi lainnya, melalui kultur) diberi Nalidixid acid
55mg/kgBB/hari diberi 4 dosis selama 10 hari atau
Ciprofloxacin 30 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 5 hari.
 K1inis diduga ke arah Salmonella diberikan Kloramfenikol
100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Ad. 3. Penyakit penyerta diobati sebagaimana mestinya.
Ad. 4 Untuk penyakit parasit diberikan :
 Amubiasis diberikan Metronidazole 50 mg/kbBB/hari dibagi
dalam 3 dosis selama 5-7 hari.
 Helminthiasis: untuk Ascaris/Ankylostoma/Oxyuris: Pyrantel
Pamoate 10 mg/kgBB/hari dosis tungga1 atau albendazole
400 mg dosis tunggal untuk anak lebih dari 2 tahun.
Untuk Trichuris : Mebendazole 2 X l00 mg selama 3 hari.
 Giardiasis : Metronidazole 15 mg/kgBB/hari selama 5 hari.
Untuk penyebab jamur diberikan :
Candidiasis diberikan Nistatin :
- Kurang dari 1 tahun : 4 X 100.000 IU se1ama 5 hari.
- Lebih dari 1 tahun : 4 X 300.000 IU se1ama 5 hari.

9. Edukasi Pendidikan kesehatan dilakukan pada saat visite dan di ruangan khusus
dimana orangtua penderita dikumpulkan.
Pokok ceramah meliputi :
 Usaha pencegahan diare dan KKP.
 Usaha pertolongan untuk mencegah dehidrasi pada diare dengan
menggunakan oralit dan cairan.
 Imunisasi.
 Keluarga berencana.
Penderita dipulangkan :
 Bi1a yakin ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit
kepada anak dengan cukup wa1aupun diare masih berlangsung.
 Kausa diare/penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati (tidak
mutlak).

10. Komplikasi  Asidosis metabolik


dan Prognosis  Gangguan elektolit, terutama hipokalemia
 Kembung dan ileus paralitik
 Sindoma hemolitik uremik
11. Kepustakaan 1. Nelson Pediatric Text Book King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C.
Managing acute gastroenteritis among children oral rehydration:
maintenance, and nutritional therapy. Centers for disease control and
prevention. MMWR. 2003;52:1-29.
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Nelson Pediatric Text Book Fortaine O, Newton C. A revolution in the
management of diarrhea. Bull WHO. 2001; 79: 471-9.
4. Santosham M, Duggan C, Brown KH, Greenough III WB. Management
of acute diarrhea. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric
Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis,
Management. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2006. H. 557-81.
5. World Health Organization. Guideline for the control of shigellosis,
including epidemics due to shigella dysenteriae type 1. WHO; 2003. H. 1-
70.
12. Lain-lain Skema 1. Terapi Cairan dan Pemberian Makanan Ada GE Akut Tanpa
(Algoritme, Penyulit.
Protokol, Pencegahan Patokan koreksi cairan
Rehidrasi
Prosedur,
Dehidrasi Cairan Dehidrasi Makan Minum melalui NGD (Nasogastrik
Waktu
Standing Order) Drip) adalah :
Tanpa - - 10-20 ASI diteruskan. Susu formula  Nadi masih dapat diraba
dehidras cc/kgBB/ diteruskan. Makanan padat
i BAB oralit diteruskan dengan dan masih dapat dihitung.
atau mengurangi makanan  Tidak ada
berserat, ekstra 1 porsi
meteorismus.
Ringan- 4 jam 75 cc (½ Idem Dapat ditangguhkan sampai  Tidak ada penyulit
sedang gelas) oralit/ anak menjadi segar
kg BB atau yang mengharuskan
ad libitum menggunakan cairan
sampairasa IV
haus hilang
 Dikatakan gagal jika
Berat 4 Jam IVFD RL 30 Idem Idem dalam 1 jam pertama
cc/kg BB 7½ muntah dan diare
tetes/kgBB/
menit. Oralit terlalu banyak atau
ad libitum syok bertambah berat.
segera
setelah anak
bias minum
Skema 2. Beberapa Penyulit
Gastroenteristis Akut dan
Penilaian dilakukan tiap 1 jam
Penanggulangannya.
Setelah
Idem penderita tanpa dehidrasi
rehidrasi Jenis/Cara
Jenis Terapi
Pemberian Jumlah Cairan Ket
Penyulit Medikametosea
Cairan
Gizi RL Sesuai GEA nurni Sesuai kausa/
kurang penyakit penyerta
Gizi buruk Modifikasi Maras : 250 cc/kgBB *
Sutejo Kwash: 200 cc/kgBB
Bronko Modifikasi ¾ Kebutuhan Sesuai BP **
Pneumoni Sutejo
a
Ensefalitis Modifikasi ¾ Kebutuhan Sesuai Ensefalitis
Sutejo
Meteoris Modifikasi ¾ Kebutuhan Antibiotik ***
mus Sutejo profilaksis
Miningitis Modifikasi ¾ Kebutuhan Sesuai menpur
Purulenta Sutejo
Dehidrasi Sesuai skema 3 Sesuai skema 3 Sesuai etiologi ****
hipotonis
Gagal Sesuai GGA 30 cc kg/BB + Sesuai GGA
Ginjal volume urin 1 hari
Akut sebelumnya + 12%
setiap kenaikan suhu
10 C
Impending Cairan rendah ¾ Kebutuhan Digitalisasi
Decomp natrium
Cordis
* Dapat mengunakan tatalaksana diare pada gizi buruk
** Diberikan pada bronkopneumonia dimana anak sangat sesak dan
sistim kardiovaskuler tidak mungkin menerima terapi rehidrasi
cepat.
*** Akibat lanjut dari meteorismus adalah terjadinya ballooning
effect, langkah-langkah; untuk mengatasi ini adalah dengan
melakukan dekompresi :
Dari atas dengan sonde lambung yang dihisap secara berkala.
Dari bawah dengan memasang schorstein.
Menghentikan makanan peroral (sesuai dengan beratnya
meteorismus) dan memberi makanan parenteral sedini mungkin.
**** Dasar klinis diagnosis dehidrasi hipertonis :
1. Klinis : turgor yang relatif baik, hiperiritabel, rasa haus yang
sangat nyata, kejang yang biasanya timbul setelah terapi
cairan.
2. Labor : kadar Na* serum 1ebih dari 150 meq/l.

Skema 3. Terapi Cairan Dehidrasi Hipertonik.


Target Jenis Cairan Ca
Jumlah Nadi Glukonas
Waktu
Cairan Kecepatan
(Jam)
(ml) 120- 140- Fili-
120 > 160
140 160 formis
1 15 3¾ tts/kgBB/
DG RL RL Rl RL 5 –10 cc
menit
2 15 Idem DG DG RL RL RL
3 15 Idem DG DG DG RL RL
4 15 Idem DG DG DG DG RL
Jam ke-9
190 23/8 tts/ kgBB/ 5-10 cc
5 s/d 24
menit Jam ke-17
3-10 cc

Cairan DG = KAEN 3A

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

DIARE KRONIK
Kode ICD : A06

1. Definisi Diare kronik adalah diare berlangsung 14 hari atau lebih,


dapat berupa diare cair atau disentri. Diare akut dengan
episode serangan 4 kali atau lebih dalam sebulan.
2. Etiologi Infeksi, non-infeksi, seperti malnutrisi, defisiensi imun,
defisiensi mikronutrient
3. Patogenesis Mekanisme patofisiologi diare kronik bergantung penyakit
dasarnya dan sering terdapat lebih dari satu mekanisme
(Arasu dkk. 1979), yaitu :
a. Diare osmotik.
b. Diare sekretorik.
c. Bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu,
malabsorbsi lemak.
d. Defek sistem pertukaran anion.
e. Kerusakan mukosa.
f. Motilitas dan transit abnormal.
g. Sindrom diare intraktabel.
h. Mekanisme-mekanisme lain.
Klasifikasikan diare kronik berdasarkan patogenesis dan
patofisiologi :
1. Diare persisten, yaitu diare yang melanjut/menetap
sampai 2 minggu atau lebih dan disebabkan oleh infeksi
serta sering disertai gangguan pertumbuhan.
Pendekatan diagnosis diare persisten, meliputi infeksi
persisten, intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi,
bakteri tumbuh lampau, dan malabsorpsi nutrien.
2. Sindroma rawan usus (SRU)/Irritable bowel syndrome
(IRS), yaitu suatu sindrom klinis yang menyebabkan
diare kronik non spesifik pada anak yang tampaknya
sehat, tidak ditemukan adanya kelainan organik.
3. Diare intraktibel bayi (Intractable diarrhea of infancy),
yaitu bayi dengan diare yang berhubungan dengan
kerusakan mukosa yang difus yang timbul sebelum bayi
berusia 6 bulan, berlangsung lebih dari 2 minggu,
disertai malabsorbsi dan malnutrisi. Berbagai penyakit
dapat menyebabkan diare yang sulit diatasi dengan
kerusakan mukosa usus halus lebih lanjut, yang
merupakan penyebab utama diare intraktabel.

4. Anamnesis Pembagian diare kronik yang didasarkan atas sifat tinja-berair,


berlemak atau berdarah, menurut Arasu dkk. (1979) akan
lebih membantu menghadapi masalah diare kronik. Klasifikasi
diare kronik pada bayi dan anak adalah sebagai berikut :
a. Watery stools atau tinja cair :
1. Gastroenteropati alergi :
 Alergi protein susu sapi.
 Alergi protein kedele.
2.a. Defisiensi disakaridase :
 Defisiensi lactase – sering sekunder.
 Defisiensi sucrose – isomaltase.
b. Malabsorbsi glukosa – galaktosa
5. Defek imun primer.
6. Infeksi usus oleh virus, bakteri dan parasit
(giardisis).
7. CSBS (Contaminated Small Bowel Syndrome).
 Obstruksi usus, ma1rotasi, short bowel
syndrome, dll.
 Penyakit Hirschsprung, enterokolitis.
8. Persistent post enteriting diarrhoea dengan atau
tanpa intoleransi karbohidrat.
9. Diare sehubungan dengan penyakit endokrin.
 Hiperparatiroidism.
 Insufisiensi adrenal.
 Diabetes melitus.
10. Diare sehubungan dengan tumor.
 Karsinoma medula tiroid.
 Ganglionewoma.
 Zolinger-Ellison syndrome.
11. Ma1absorbsi asam empedu.
 Cholerrhoeic diarrhoea.
b. Fatty stools atau tinja berlemak :
1. Insufisiensi pancreas, PEM, BBLR.
 Hipoplasia (Swachman Syndrome).
 Cystic fibrosis. celiac disease.
2. Limfangiektasi usus.
3. Kolestasis.
 Atresia biliaris ekstra atau intrahepatik.
 Hepatitis neonatal.
 Sirosis hepatis.
4. Steatorhoe akibat obat (misal: neomisin,
kolestiramin).
5. CSBS: -Short bowel syndrome.
6. Gastroenteropati alergi, defek imun primer,
enteropati akrodennatitis, anemia defisiensi besi.
c. Bloody stools atau tinja berdarah :
1. V. campylobacter, Salmonella, Shigella.
2. Disentri amuba.
3. Inflammatory bowel disease.
 Kolitis ulseratif.
 Penyakit Chron .
4. Enterokolitis pseudomembranosa.
5. Diare sehubungan dengan lesi anal.

12. Pemeriksaan Riwayat penyakit: saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi
fisik tinja meliputi penampakan, konsistensi, adanya darah atau
lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala infeksi saluran
pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic
fibrosis), terjadinya diare sesudah diberikan susu. Buah-
buahan (defisiensi sukrase-isomerase), hubungan dengan
serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah
gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome),
nyeri abdomen berulang yang berat (insufisiensi pankreas yang
berat), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya
(enterokolitis pseudomembranosa). Kelompok umur dapat
memprediksi penyakit. Bayi muda: diare intraktabel pada bayi,
alegi protein susu sapi atau kedelai, enteritis karena infeksi
yang berkepanjangan, atrofi vilus idiopatik, penyakit
Hirschrprung, defek transpor kongenital. Anak 2 tahun keatas,
kolon irritabel (irritable colon of infancy, chronic nonspesific
diarrhea), enteritis karena virus yang berkepanjangan,
giardiasis, difisiensi sukrase-isomaltase, tumor sekretori,
inflamatory bowel disease, dan penyakit siliak.
13. Kriteria Pemeriksaan meliputi keadaan umum, status dehidrasi,
diagnosis pemeriksaan abdomen, ekskoriasi bokong, manifestasi kulit.
Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan,
gejala kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan,
dan sebagainya. Tanda;tanda khas: anemia (inflamatory bowel
disease, penyakit siliak, fibrosis kistik), artritis (inflamatory
bowel disease), pubertas terlambat (penyakit Crohn), gagal
tumbuh (penyakit Crohn, malabsorpsi lemak), panas
(inflamatory bowel disease, gastroentritis karena infeksi).

14. Pemeriksaan  Ananmesis


Penunujang  Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

15. Tatalaksana Diare persisten dan diare kronis

16. Edukasi a. Pemeriksaan tinja :


 Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.
 Mikroskopis :
 Darah samar dan leukosit yang positif (≥ 10/lpb)
menunjukkan kemungkinan adanya peradangan
pada kolon bagian bawah.
 PH tinja yang rendah menunjukkan adanya
maldigesti dan malabsorbsi karbohidrat di dalam
usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang
ada di dalam kolon. PH rendah (<5,3): reduksi tinja
akibat maldigesti dan malabsorpsi KH, pH 6,0-7,5:
malabsorbsi asam amino, asam lemak
 Clinitest, untuk memeriksa adanya substansi reduksi
dalam sampel tinja yang masih baru, yang
menunjukkan adanya malabsorbsi karbohidrat.
 Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan
pengecatan butir lemak, merupakan skrining yang
cepat dan sederhana untuk menentukan adanya
malabsorbsi lemak.
 Biakan kuman dalam tinja, untuk mendapat
informasi tentang flora usus dan kontaminasi.
 Pengecatan gram: bakteri (mengetahui bakteri
dominan), jamur, parasit tinja (amoeba, giardia, telur
cacing/ cacing sebagai etiologi langsung). Beberapa
parasit perlu dikultur
 Elektrolit tinja: Stool anion gap = 290 – 2 ([Na]+[K]),
jika osmotik > 50, sekretorik < 50. Osmolalitas tinja: <
250 : kontaminasi dengan air/urin: fistula, banyak
minum, > 290 : metabolisme karbohidrat oleh
bakteri: overgroth kuman, penyimpanan lama
b. Pemeriksaan darah: darah rutin, elektrolit (Na, K; Cl) dan
bicarbonate, albumin, kadang diperlukan pemeriksaan
kadar serum, dll. Eosinofil tinggi: gastroenteritis
eosinofilik, alergi makanan, infeksi parasit. Netropenia:
sindroma Sluvachman. Hb dan albumin rendah, dan LED
tinggi menunjukkan penyakit organik. Anemia: sindroma
malabsorpsi. Anemia hipokrom mikrositer: peradarahan
kronis, malabsorpsi Fe. Anemia megaloblast: peny Seliak,
malabsorpsi kronik B12 dan asam folat, LED dan CRP
tinggi: IBD. B12 rendah: bacterial overgrowth, Albumin dan
protein lainnya rendah: malnutrisi, malabsorpsi, protein
losing enterophati, IgG campilobacter pylorik.
Imunodefisiensi: HIV, malnutrisi.
c. Breath hydrogen test, digunakan untuk evaluasi
malabsorbsi karbohidrat, overgrowth kuman.
d. Pemeriksaan radiologi :
Pemeriksaan radiologi saluran gastrointestinal membantu
mengidentifikasi cacat bawaan (malrotasi, stenosis) dan
kelainan-kelainan seperti limfangiektasis, inflammatory
bowel disease, penyakit Hirschsprung, enterokolitis
nekrotikans.
e. Kolonoskopi : memeriksa kelainan mukosa kolon, seperti
inflamatory bowel diseease, dan lain-lain.

10. Komplikasi Umum dan Dietetik.


dan Prognosis . Nutrisi enteral :
 Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif
dan dapat diterima untuk mempertahankan dan
mencukupi kebutuhan nutrisi penderita anak dengan
saluran pencernaan yang masih berfungsi. Jalur
enteral dapat ditempuh melalui oral atau
nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau
jejunostomi dengan feeding tube
 Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral
dapat dikategorisasikan dalam 3 macam diet:
i. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai
sumber protein dan dipakai untuk pasien dengan
fungsi usus yang normal.
ii. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan
berat molekul rendah dan dipakai untuk pasien
dengan gangguan fungsi gastrointestinal.
iii. Diet formula khusus, yang mengandung kadar
tinggi asam amino rantai bercabang untuk
pemakaian pada ensefalopati hepatik dan pasien
dengan perubahan kadar asam amino lain atau
kesalahan metabolisme bawaan (inborn errors of
metabolism)
 Kandungan formula yang ditetapkan meliputi:
i. Karbohidrat
Karbohidrat dipecah oleh enzim oligosakaridase
dalam mikrovili menjadi monosakarida yang akan
diabsorbsi ke dalam enterosit. Terdapat 4 enzim
oligosakaridase yang berbeda dalam mikrovili
yaitu maltase (glukosa amilase/glukosa a-
dekstrinase), lactase dan trehalase. Semua enzim
ini berkurang pada penyakit yang mengenai
mukosa usus halus. Lactase paling mudah
berubah dan paling akhir pulih apabila terjadi
kerusakan mukosa.
ii. Lemak
Lemak merupakan nutrien yang paling padat
kandungan kalorinya. Pemberian lemak pada
penderita diare kronik sangat penting karena
sering disertai keterbatasan pemasukan kalori.
iii. Protein
Kebutuhan protein dapat dipenuhi dengan
penggunaan protein utuh, protein hidrolisat,
asam amino atau gabungan.
iv. Vitamin dan mineral
Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi
pada anak, walaupun pemasukan kalori cukup,
jika terdapat malabsorbsi lemak atau terjadi
interaksi obat/diet yang sangat khusus.
 Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik
ialah yang mengandung glukosa primer (bebas
laktosa), protein hidrolisat, medium chain triglyceride,
osmolaritas kurang dari 600 mOsm/l dan bersifat
hipoalergik atau yang mengandung short chain
peptide (Pregestimil, Pepti Yunior).
 Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-
lahan. Mula-mula dianjurkan konsentrasi 1/3 oral
(2/3 IV), selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral (1/3
IV), dan bila keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB
minimal 1 kg) diberikan pregestimil/ pepti yunior
dalam konsentrasi penuh.
 Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan
apabila bayi/anak tidak mampu atau tidak mau
menerima makanan secara oral, namun keadaan
saluran gastrointestinalnya masih berfungsi.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan meningkatkan
secara bertahap kecepatan dan kadar formula sampai
mencapai kebutuhan nutrisi anak.
Komplikasi nutrisi enteral : hidrasi berlebih,
hiperglikemia, azotemia (konsumsi protein berlebih),
hipervitaminosis K, dehidrasi sekunder karena diare,
gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat
muntah dan diare), gagal tumbuh sekunder akibat
pemasukan energi tidak cukup, dan aspirasi, serta
defisiensi nutrisi sekunder karena kesalahan formula.
b. Nutrisi Parenteral
 Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh melalui jalur
intravena. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa,
asam amino, emulsi lemak, mineral, vitamin, trace
elemen. Jalur ini jangan digunakan apabila penderita
masih mempunyai saluran gastrointestinal yang
masih berfungsi serta masih dimungkinkan
pemberian secara peroral, enteral atau gastrostomi.
Pada umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang
dari 5 hari.
 Indikasi nutrisi Ament ME, 1993 :
Penyakit yang Diperkirakan Berlangsung 7
Disfungsi Usus
Hari
Intractable Pankreatitits berat
vomiting
Diare Penyakit usus beradang berat, intoleransi
makanan enteral
Ileus Trauma/pembedaan berat atau sepsis
Obstruksi usus Kanker pseudo-obstruksi intestinal
halus
Malabsorbsi Kerusakan mukosa parah, sindroma usus
pendek enteritis
Penghentian Fistula enterokutan, ileus transplantasi, radiasi
makanan
peroral > 7 hari
 Kebutuhan pada nutrisi parenteral :
a. Kalori :
Pada beberapa keadaan diperlukan penambahan
kebutuhan kalori: panas (12% per setiap setiap
kenaikan 1°C di atas 37°C) gagal jantung (15-20%),
pembedahan besar (20-30%), kombustio (sampai
100%), dan sepsis berat (25%).
b. Cairan :
Kebutuhan cairan sesuai umur (Ament ME, 1993)

Berat Badan Kebutuhan Cairan (ml/kg)


< 10 kg 100 ml
1.000 ml + 50 ml/kg untuk setiap kg >
10 – 20 kg
10 kg
1.500 ml + 20 ml/kg untuk setiap kg >
< 20 kg
20 kg

c. Karbohidrat :
 Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non
protein yang memberikan 3,4 kka1/gram dalam
bentuk monohidrat.
 Keterbatasannya: phlebitis terjadi pada kadar >
10-12,5%.
 Pemberian dilakukan secara bertahap untuk
memberikan kesempatan respon tubuh dalam
memproduksi insulin endogen dan mencegah
terjadinya glikosuria.
d. Asam amino
Kebutuhan asam amino menurut usia (Ament ME,
1993) :
Kebutuhan
(gr
Umur Mulai pemberian
prot/kg/hari
)
Bayi prematur 2,5 – 3 0,5 gr prot/kg/hari dinaikan 0,5 gr
prot/kg/hari.
Bayi 0– 2,5 – 3 1 gr prot/kg/hari dinaikan 0,5 gr
1tahun prot/kg/hari
Anak 2–13 1,5 – 2
tahun
Remaja- 1 – 1,5
Dewasa
e. Lemak :
 Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak
menyediakan asam lemak essensial untuk
pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang
perkembangan yang normal.
 Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan
10% (1 kkal/ml) dan 20% (2 kka1/ml).
 Minimal 20-40% dari kebutuhan kalori total
diberikan berupa lemak intravena untuk
menghindari terjadinya defisiensi asam lemak,
yang dapat dicapai dengan penggunaan 0,5-1
gram emulsi lemak/kg/hari.
 Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada
neonatus dalam 2 hari dengan tanda kecepatan
pertumbuhan yang lambat, kulit kering bersisik,
pertumbuhan rambut berkurang.
trombositopeni, peka terhadap infeksi dan
gangguan penyembuhan luka.
f. Elektrolit :
Kebutuhan elektrolit intravena (Ament ME, 1993) :
Dosis Anak
Dosis Bayi
Elektrolit (mEq/kg/24
(mEq/kg/24 jam)
jam)
Na 3–4 2–8
K 2–3 2–6
Cl 2–4 0–6
Ca 0,5 – 1 0,9 – 2,3
Fosfat 2 1 – 1,5
Mg 0,25 – 0,5 0,25 – 0,5

Medikamentosa :
a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu
diberikan karena tidak satupun yang memberikan efek
positif.
b. Obat anti mikroba :
Pemberian anti mikroba umumnya tidak dianjurkan,
bahkan dapat mengubah flora usus dan memperburuk
diare, kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat
(sepsis), anak dengan defisiensi imunologi dan anak
dengan diare kronis yang sangat berat. Metronidazole
efektif untuk Giardia lamblia.
c. Kortikosteroid :
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema
steroid pada tahap awal memberikan respon yang baik,
dan pada beberapa anak mendapat kombinasi dengan
steroid sistemik.
d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada
penyakit Chron apabila pengobatan konvensional tidak
mungkin.
e. Kolestiramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare
kronik, terutama malabsorbsi asam empedu serta pada
infeksi usus karena bakteri (mengikat toksin).
f. Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-
kasus bedah seperti penyakit Hirschprung, enterokolitis
nekrotikans. Operasi hanya dilakukan setelah keadaan
umum membaik.

Tatalaksana diare persisten meliputi mengatasi infeksi


persisten dengan mengunakan hasil kultur dan resistensi
feses (sebelumnya dapat dipertimbangkan mengunakan
antibiotik empiris), mengatasi intoleransi laktosa dengan
mengunakan diet yang bebas laktosa, mencegah atau
mengatasi alergi protein susu sapi, mencegah atau
mengatasi bakteri tumbuh lampau (dapat dipertimbangkan
pengunaan metronidazol), dan mengatasi malabsorpsi
nutrien dengan memberikan multivitamin.

11. Kepustakaan 1. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG.
Gangguan Absorpsi-Sekresi; Sindroma Diare. Seri Gramik:
Gastroenterologi Anak. Edisi ke-2. Surabaya : GRAMIK FK
UNAIR; 1999.
2. Ghishan RE. Chronic Diarrhea. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
WB Saunders Company; 2003. h. 1276-83.
3. Walker-Smith J, Barnard J, Bhutta Z, dkk. Chronic
diarrhea and malabsorption (including short gut
syndrome): Working Group Report of the First World
Congress of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. 2002; 33(Suppl).
4. World Health Organization. Persistent diarrhoea in
children in developing countries: memorandum from a
WHO meeting. Bull World Health Organ 1988;66: 709-17.
5. Thomas ED, Fortes A, Green C, Howdel P, Long R, Playford
R, dkk. Guidelines For The Investigation Of Chronic
Diarrhoea. GAD. 2003; 52 [Suppl]: V1-15.
6. Bhutta ZA, Hendricks KM. Nutritional Management of
Persistent Diarrhea in Childhood: A Perspective from the
Developing World. Journal of Pediatric Gastroenterology &
Nutrition. 1996; 22:17-37
7. Sudigbia I. Pencegahan dan Pengelolaan Diare Kronik.
Dalam: Sudigbia I, Harijono R, dan Sumantri A: Naskah
Lengkap PB IKA Penyakit Gastroenterologi. 1987.
8. Soenarto, SY. Diare Kronik dan Diare Persisten. Dalam:
Buku Ajar Diare. UKK Gastrohepatologi IDAI. 2008.

12. Lain-lain  Asidosis metabolic


(Algoritme,  Hipokalemia
Protokol,  Kembung dan ileus paralitik
Prosedur,
Standing Order) Prosedur puasa untuk membedakan diare persisten dan
kronik:
Puasa yang terbaik dilakukan selama 72 jam dan dilakukan
setelah pemeriksaan dasar lengkap (paling tidak pada hari
kedua). Tinja sebelum puasa harus dihitung jumlahnya (paling
tidak diketahui jumlah frekuensi defekasi perhari). Tinja 24,
48 jam harus dihitung jumlahnya dan dibandingkan dengan
tinja sebelum puasa. Diare osmotik: diare berhenti sebelum 48
jam. Diare sekretorik: diare tetap berlangsung atau berhenti
parsial setelah 48 jam.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
PENYAKIT HIRSCHPRUNG (CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON)
Kode ICD : Q.43.1

1. Definisi Suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada
dinding kolon
2. Etiologi Kegagalan migrasi kranio kaudal sel ganglion sepanjang usus pada minggu
ke 5 sampai dengan minggu ke 12
3. Patogenesis Segmen aganglion menyebabkan peristaltik propulsif hilang, sfingter anal
internal gagal mengendor pada saat distensi rektum sehingga menyebabkan
obstruksi parsial saluran cerna bagian distal, distensi usus, dan konstipasi
4. Bentuk Klinis Berdasarkan panjang segmen yang terkena dapat dibedakan menjadi 3 tipe,
yaitu :
 Penyakit Hirschsprung segmen pendek.
Merupakan 70% dari kasus. Segmen aganglionosis mulai dari anus
sampai sigmoid. Lebih sering pada anak laki-Iaki daripada anak
perempuan. Anamnesis yang mengarah adalah mekoneum terlambat dan
riwayat konstipasi pada masa neonatus.
 Penyakit Hirschsprung segmen panjang
- Daerah aganglionosis melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai
seluruh kolon atau sampai ke usus halus. Kejadiannya sama banyak
pada anak perempuan dan anak laki-laki.
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala k1inik, pemeriksaan colok
dubur dan pemeriksaan penunjang yaitu foto x-ray dengan enema
barium dengan tehnik Hirschprung.
 Penyakit Hirschsprung segmen ultra short
- Daerah aganglionosis hanya beberapa mm diatas anus. Gejala mirip
konstipasi fungsional.

5. Anamnesis Riwayat mekonium terlambat dan atau defekasi yang jarang pada masa
neonatus memperkuat diagnosis penyakit Hirschsprung. Riwayat kelahiran
dengan mekonium terlambat keluar, atau keluar pada minggu pertama
sehingga terjadi obstruksi parsial dan total (dengan gejala feses tidak dapat
dikeluarkan, distensi abdomen, dan muntah). Gambaran klinis obstruksi total
pada masa neonatus menunjukkan segmen yang terlibat lebih panjang.
Gambaran klinis konstipasi setelah masa neonatus, penyakit hirschsprung
sebagai penyebab dipikirkan setelah penyebab yang lebih sering (misalnya
hipotiroid) disingkirkan.
6. Pemeriksaan fisik Gambaran klinis obstruksi parsial saluran cerna bagian bawah: frekuensi
defekasi jarang, kembung, dan kadang-kadang muntah. Nyeri perut jarang
ditemukan pada penyakit ini. Colok dubur didapatkan hasil: jari akan
merasakan jepitan (karena kontriksi usus aganglionik) dan saat jari
dikeluarkan akan diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium feses yang
menyemprot (feses yang menyemprot terutama didapatkan pada pemeriksaan
colok dubur pertama kali, feses berbentuk pasta lebih mudah dikenali).
Gambaran klinis pada anak yang lebih besar adalah gejala konstipasi kronis
(pada yang ultrashort dapat menyerupai konstipasi fungsional), kadang-
kadang diare dan biasanya disertai gagal tumbuh.
7. Kriteria  Anamnesis
diagnosis  Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

8. Pemeriksaan Konstipasi idiopatik


Penunujang

9. Tatalaksana Foto polos abdomen ter1ihat gambaran usus-usus melebar atau gambaran
obstruksi usus letak rendah. Foto barium enema teknik hirschprung
ditemukan daerah transisi antara usus yang melebar dan yang menyempit
(gambaraan ini khas untuk penyakit hirschsprung, tetapi tidak jelas jika
terjadi enterokolitis), gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di segmen
yang menyempit. Foto barium enema pada enterokolitis yang berhubungan
dengan Hirschsprung: cupping tidak jelas, mukosa usus irreguler (seperti
mata gergaji). Gambaran foto polos terutama posisi tegak, adanya “cut off
sign” air dan udara di kiri bawah abdomen mengarah ke diagnosis
entrokoloitis. Diagnosis pasti dengan biopsi rektal, dengan gambaran PA
tidak ditemukan sel ganglion di submukosa
10. Edukasi Washing atau irigasi dengan NaCl fisiologis dilakukan jika terdapat distensi
abdomen. Kolostomi dilakukan jika abdomen tetap kembung dan keluarga
tidak dapat melakukan irigasi, diikuti (dalam 3 sampai 6 bulan) operasi
difinitif Pullthrough, pada usia 6-12 tahun dengan metode Swenson
Duhamel.

11. Komplikasi  Enterokolitis


dan Prognosis  Toxic megacolon

12. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc


2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini,
Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
GASTRITIS DAN DYSPEPSIA
Kode ICD : K29, K50-K55

1. Definisi Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan mukosa
gaster yang dibuktikan dengan endoskopi. Jika belum dibuktikan dengan
endoskopi didiagnosis sebagai dispepsia. Dispepsia dapat diakibatkan oleh
esofagitis, gastritis dan duodenitis.
2. Etiologi  Obat obatan
 Gangguan mikrosirkulasi
 Makanan
 Stress
 Infeksi Helicobacter pylory
3. Patogenesis Obatan-obatan, makanan yang bersifat asam, dan infeksi Helicobacter pylory
mengiritasi mukosa lambung, menyebabkan produksi HCl meningkat. Stres
merangsang nervus vagus yang akan meningkatkan produksi asamklorida
(HCl) di dalam lambung. Peningkatan produksi HCl lambung mengiritasi
mukosa lambung menimbulkan gaastritis, esofagitis, dan atau duodenitis
dengan gejala mual, muntah, nyeri ulu hati, dan anoreksia.
4. Anamnesis Nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah, riwayat penggunaan obat
obatan dan makanan
5. Pemeriksaan fisik Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan
6. Kriteria Diagnosis gastritis dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dispepsia, mua1,
diagnosis muntah, dan nyeri epigastrik dan dibuktikan dengan endoskopi (EGD)
7. Pemeriksaan  Gastritis
Penunujang  Esofagitis
 Duodenitis

8. Tatalaksana Dispepsia dengan keluhan yang berat, tidak sembuh dengan obat-obat
penekan asam lambung, kronik, atau berulang dilakukan pemeriksaan
endoskopis.

9. Edukasi 1) Terapi diet disesuaikan dengan toleransi penderita, sebaiknya lunak,


mudah dicerna dan tidak merangsang.
2) Terapi obat, diberikan berdasarkan gejala yang predominan. Obat-obatan
yang dapat di berikan :
 Untuk mengurangi faktor agresi asam lambung diberikan obat-obatan
peroral: antasida 4 ka1i sehari, simetidin 5-10 mg/kgBB/kali
sebanyak 4 kali sehari atau ranitidin 2-3 mg/kbBB/dosis diberikan 2-
3 kali perhari (maksimum 300 mg/hari), omeprazol 1-1,5
mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis (maksimum 2 x 20 mg perhari),
lanzoprazole 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis (maksimum 2 x 30
mg perhari).
 Jika terjadi perdarahan saluran cerna atas dapat diberikan sucralfate
40-80 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis (maksimum 1000 mg
dibagi 4 dosis).
 Untuk menekan muntah yang berlebihan diberikan metoklopramid
0,15-0,3 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari, domperidon 0,25-0,5
mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, ondansentron 0,1-0,15 mg/kgBB/kali
sebanyak 3 kali sehari.
 Antibakterial diberikan untuk eradikasi Hylicobacter pylori,
diberikan Amoxicilin 50 mg/kgBB/hari 4 kali sehari, Clarithromycin
7,5-15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2 ka1i sehari, ditambah PPI
(Omeprazol) dengan dosis 0,4-0,8 mg/kg/dosis 1 kali sehari
10. Komplikasi  Perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena
dan Prognosis  Ulkus peptikum, ulkus duodenum, perforasi dan anemia

11. Kepustakaan 1. Soeparto P, Djupri LS, Subijanto MS, Ranuh R. Sindroma Gangguan
Motilitas Saluran Cerna. Seri Gramik: Gastroenterologi Anak. Edisi ke-2.
Surabaya : GRAMIK FK UNAIR; 1999. h. 32-118.
2. Murray KF, Christie DL. Vomiting. Pediatr Rev. 1998;19(10):337-
41.
3. Allen JK, Hill DJ, Heine RG, 2006; Food allergy in childhood. MJA,
185:394-400.
4. Berman. Vomiting during infancy. Dalam: Pediatric decision making.
Edisi ke-2. Philadelphia: BC Decker;1991. h. 332-5.
5. Hasal E, Decision in diagnosing and managing chronic
gastroesophageal reflux disease in children. J Pediatr. 2005; 146
Suppl:S3-12
6. Hiscock H, Jordan B. Problem crying in infancy. MJA. 2004;
181:507-12
7. Lindley KJ, Andrew PL. Pathogenesis and treatment of cyclical
vomiting. J Pediatr Gastroenterol and Nutr. 2005; 41 Suppl:S38-40
8. Ravelli AM, Tobanelli P, Volpi S, Ugazio AG. Vomiting and gastric
motility in infants with cow’s milk allergy. J Pediatr Gastroenterol and
Nutr. 2001; 32:59-64.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
INFEKSI HELICOBACTER PYLORI
Kode ICD : A.045

1. Definisi Helicobater pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat berkoloni pada
saluran cerna dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodemum dan
gaster. Menular secara oral-oral, gastric oral, dan fekal-oral,
2. Etiologi Helicobacter pylori

3. Patogenesis Infeksi H. pylori pada antrum gaster, menimbulkan inflamasi mukosa gaster
dan duodeneum, yang dapat menimbulkan ulkus gaster dan duodenum.
Pemakaian obat-obat penekan asam lambung dapat mengakibatkan
peradangan terjadi pada korpus gaster.

4. Anamnesis Adanya gangguan saluran cerna seperti muntah, mual, diare, nyeri perut, dan
gejala dispepsia lainnya.
5. Pemeriksaan fisik Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan
6. Kriteria Penegakan diagnosis adalah dengan metode invasif dan non invasif.
diagnosis Diagnosa pasti dari penyakit ini berdasarkan biopsi.

7. Tatalaksana Tes invasif (endoskopi)


 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi
 Test Urea cepat pada jaringan biopsi
 Kultur bakteri
 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode non invasif
 Tes Imunoassay untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori
 Tes Urine dan Saliva untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori
 Tes Feses untuk Antigen Helicobacter pylori
 Tes Napas Urea

8. Edukasi  Mengeliminasi secara lengkap dari organisme


 Regimen terapi yang dikatakan berhasil jika dapat menyembuhkan
lebih dari 80% subjek yang diterapi
 Efek samping minimal
 Tidak menginduksi resistensi bakteri
Terapi eradikasi H. pylori diberikan selama 7-14 hari:
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin
(50 mg/kgBB/hari/12) + clarithromycin (15 mg/kgBB/hari/12 jam)
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin
(50 mg/kggBB/hari/12 jam) + metronidazole (20 mg/kgBB/hari/12 jam)
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari + clarithromycin
(15mg/kggBB/hari/12 jam) + metronidazole (20 mg/kgBB/hari

9. Komplikasi  Konseling: menghindari faktor yang meningkatkan resiko dispepsia


dan Prognosis dan ulkus peptikum
 Selama terapi eradikasi, maka obat-obatan NSAIDs mesti dihentikan.
 Diberitahu tentang efektifikasi terapi eradikasi
 Pentingnya menyelesaikan regimen obat inisial
Pencegahan
 Antibiotik untuk pencegahan sangat tidak dianjurkan
 Vaksin Helicobacter pylori (Helicobacter pylori urease + enterotoxin E.
Coli) à efektifitas sangat rendah
 Perbaiki hygiene dan gizi anak
10. Kepustakaan Prognosis
 Tergantung dari penanganannya
 Dideteksi lebih dini dan diterapi adekuat komplikasi minimal
 Terlambat didiagnosa atau terapi tidak adekuatkomplikasi lanjut
Komplikasi
 Ulkus dengan pendarahan gastrointestinal
 Kanker
 Relaps atau resisten terhadap obat

11. Lain-lain 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc


(Algoritme, 2. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Protokol, Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini,
Prosedur, Taylor & Francis, 2004
Standing Order)

Management of Helicobacter pylori infectiond the Maastricht IV/ Florence Consensus Report

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
DIVERTICULUM MECKEL
Kode ICD : C.17.3

1. Definisi Adalah suatu keadaan terdapatnya gaster pankreas ektopik. Biasanya terletak
50-75 cm dari proksimal ileocaecal junction pada bagian antimesenterik
intestinal. Perdarahan umumnya tanpa disertai rasa sakit, timbu1 secara
periodik dan tidak dipengaruhi konsistensi feses.
2. Etiologi Asam atau sekresi pepsin dari mukosa yang ektopik dapat menyebabkan
ulkus sehingga terjadi perdarahan yang dapat menjadi masif.
3. Patogenesis Anomali disebabkan oleh karena persistensi dari bagian proksimal duktus
omfalomesenteric (duktus vitelin) dengan atau tanpa jaringan ikat.

4. Anamnesis Kelainan sering ditemukan secara insidental pada laparatomi


Nyeri perut, perdarahan yang hilang timbul
5. Pemeriksaan fisik Hematoscezia
6. Kriteria Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan technitium scan (akurasi
diagnosis 90%). Diagnosis pasti diperoleh saat operasi
7. Pemeriksaan  Ileitis
Penunujang  Colitis colon proximal

8. Tatalaksana Radioisotop scanning

9. Edukasi Indikasi mutlak untuk reseksi adalah perdarahan, obstruksi usus,


diverticulitis, dan fistula umbilicoileal

10. Komplikasi Ulserasi, perdarahan, obstruksi usus halus, diverticulitis, dan perforasi
dan Prognosis

11. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc


2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini,
Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
AKALASIA ESOFAGUS
Kode ICD :K.22.0

1. Definisi Adalah kelainan esofagus primer yaag ditandai dengan adanya obstruksi
esofagogastric junction dengan karakteristik bertambahnya tekanan sfingter
esophagus bagian bawah dan tidak adanya peristaltik esofagus.
2. Etiologi Gangguan motilitas esofagus

3. Patogenesis Gangguan motilitas esofagus akibat peristaltik yang melemah dan adanya
kontraksi yang menetap pada sfingter esophagus bagian bawah menyebabkan
obstruksi relatif di mana bagian proksimal esophagus melebar
(megaesofagus).
4. Anamnesis Adanya gejala klinik yang sering berupa :
1. Disfagia :
Perjalanan penyakit biasanya kronis dengan disfagia yang bertambah
berat. Berat ringannya disfagia menurut British Oesophageal Surgery
dibagi menjadi 5 tingkat, yaitu :
 Tingkat 0 : normal.
 Tingkat 1 : tidak dapat menelan makanan padat.
 Tingkat 2 : tidak dapat menelan makanan daging halus.
 Tingkat 3 : tidak dapat menelan sup atau makanan cair.
 Tingkat 4 : tidak dapat menelan ludah.
2. Nyeri dada: Gejala kurang menonjol pada permulaan penyakit. Rasa
nyeri biasanya di substernal dan dapat menjalar ke belakang bahu,
rahang dan lengan, timbul bila makan/minum dingin.
3. Regurgitasi: Timbul tidak hanya berhubungan dengan bentuk/jenis
makanan tetapi juga berhubungan dengan posisi. Bila penyakit makin
kronis, maka pada saat penderita berbaring sisa makanan dan saliva yang
terdapat pada kantong esofagus dapat mengalir ke faring dan mulut
sehingga akhirnya dapat menimbulkan aspirasi pneumonia.
4. Kehilangan berat badan.

5. Pemeriksaan fisik Tidak ada yang spesifik


6. Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (gejala disfagia dan regurgitasi)
diagnosis dan pemeriksaan radiologis.

7. Pemeriksaan  Karsinoma kardia lambung.


Penunujang  Spasme kardia.
 Striktura esofagus dekat diafragma.
 Hipermotilitas.
 Penyakit cagas.
8. Tatalaksana Pemeriksaan Radiologis :
1. Foto toraks polos :
Bermakna bila esofagus mengalami dilatasi yang hebat. Foto AP
memperlihatkan adanya bayangan yang menonjol ke arah jantung. Foto
lateral memperlihatkan adanya bayangan di posterior jantung. Terdapat
gambaran air fluid level di dalam esofagus, tak tampak gelembung udara
di daerah gaster.
2. Esofagografi :
Stadium permulaan adanya obstruksi kardia dan pelebaran minimal dari
esofagus. Stadium lanjut adanya penyempitan pada bagian distal esofagus
pada batas esofagogastric junction dengan pelebaran pada bagian
proksimalnya. Terdapat gambaran beak like appearance (seperti paruh
burung) atau mouse tail appearance. Pemeriksaan ini penting untuk
menyingkirkan kelainan seperti striktura esofagus dan keganasan.
Endoskop pada akalasia masih bisa dimasukkan ke dalam lambung
dengan hambatan ringan dan dapat terlihat dilatasi esofagus, mukosa
lembek dengan edema ringan, tanda-tanda esofagitis, dan penutupan
sfingter esofagus distal.
3. Pemeriksaan Manometer :
Setelah menelan, tekanan daerah sfingter esofagus menguat 2 kali normal
akibat dilatasi dan retensi makanan.

9. Edukasi 1. Konservatif
a. Diet cair /lunak dan hangat
b. Medikamentosa
 Sedatif ringan untuk penenang.
 Preparat kalsium antagonis seperti verapamil atau nifedipin dapat
digunakan karena dapat menurunkan tekanan sfingter esofagus
bagian bawah. Nifedipin diberikan 10-20 mg sublingual dapat
menurunkan tekanan esofagus bagian bawah kurang lebih 1 jam
akan tampak perbaikan gejala bila diberikan sebelum makan
2. Tindakan aktif
a. Forced dilatation: dilakukan pada akalasia ringan sedang. Ada 3
macam dilatator :
- Mekanik.
- Pneumatik.
- Hidrostatik.
b. Tindakan bedah yaitu operasi Heler dengan melakukan
esofagomiotomi.
Komplikasi yang timbul adalah : - Perforasi.
- Paralisis nervus phrenicus.
- Refluks gastroesofagal.
- Perdarahan masif.
- Disfagia.

10. Komplikasi Komplikasi


dan Prognosis  Aspirasi pneumonia.
 Perdarahan ulkus dalam mukosa.
 Perforasi akut.
 Karsinoma esofagus.
 karsinoma lambung.

11. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc


2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini,
Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

OBSTRUKSI USUS
Kode ICD : K 56.60

1. Definisi Adalah gangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus.

2. Etiologi Obstruksi lumen usus

3. Patogenesis Obstruksi menimbulkan stasis isi lumen menyebabkan bacterial overgrowth


sehingga menghasilkan gas, menyebabkan distensi usus, obstruksi pembuluh
vena dan arteri. Obstruksi arteri menimbulkan nekrosis sehingga terjadi
perforasi/peritonitis. Perforasi/peritonitis yang disebabkan obstruksi usus
selalu memberikan gambaran udara bebas dalam rongga abdomen
ekstraintestinal.
4. Anamnesis  Muntah, gejala ini dominan dan pertama muncul pada sumbatan saluran
cerna bagian atas dan menjadi gejala paling akhir muncul pada sumbatan
saluran cerna bagian bawah. Muntah hijau menunjukkan sumbatan
berada di bawah valvula vatery
 Sakit perut, kolik.
 Tidak ada atau gagal BAB dan flatus, gejala ini dominan dan pertama
muncul pada sumbatan saluran cerna bagian bawah dan menjadi gejala
paling akhir muncul sumbatan saluran cerna bagian atas.
 Kembung : pada sumbatan saluran cerna bagian bawah: kembung besifat
menyeluruh, pada sumbatan saluran cerna bagian atas: kembung besifat
lokal (di atas umbilikus) atau tidak tampak.
 Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna total terjadi mendadak dan
bersifat progresif. Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna parsial
bervariasi tergantung beratnya derajat obstruksi
 Riwayat operasi usus.
5. Pemeriksaan fisik  Distensi usus.
 Metallic sound.
 Darm contour.
 Bising usus meningkat pada awal penyakit, menurun atau menghilang
pada akhir penyakit atau jika ada perforasi.
 Gambaran klinis komplikasi, misalnya tanda-tanda dehidrasi, gangguan
keseimbangaan asam-basa.
6. Kriteria  Muntah/muntah hijau
diagnosis  Kembung
 Gagal BAB
 Nyeri abdomen akut

7. Pemeriksaan 1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :


Penunujang  Stenosis pilorus.
 Atresia atau stenosis duodenum.
 Atresia atau stenosis jejunum.
 Ileus mekonium.
 Volvulus.
 Hirschsprung.
2. Didapat :
 Intususepsi.
 Bolus askaris.

8. Tatalaksana Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder.

9. Edukasi Perbaiki dehidrasi, sesuai derajat dehidrasi. Cairan yang dapat digunakan
adalah NaCL fisiologis jika muntah tidak hijau dan Ringer laktat jika muntah
hijau. Patokan dehidrasi dan jumlah cairan yang digunakan dapat
berpedoman berdasarkan kriteria WHO untuk diare. Jika nadi tak teraba dan
tekanan darah tak terukur diberikan cairan resusitasi 20 ml/kgBB/ secepatnya.
Tindakan operatif dilakukan setelah resusitasi cairan telah diberikan pada
obstruksi total. Tindakan operatif terencana jika obstruksi terjadi parsial
dengan derajat yang ringan
10. Komplikasi Perforasi daan peritonitis
dan Prognosis Komplikasi kehilangan cairan, elektrolit, dan gangguaan keseimbangan asam
basa

11. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc


2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini,
Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
INVAGINASI
Kode ICD : K.56.1

1. Definisi Obstruksi usus yang disebabkan usus bagian proksimal berinvaginasi ke


dalam usus bagian distal. Bagian yang masuk disebut intususeptum dan
bagian yang dimasuki disebut intususipien.

2. Etiologi Kebanyakan kasus tidak diketahui, diduga karena hiperplasi dan hipertrofi
kelenjar limfe submukosa yang disebabkan oleh infeksi (umumnya virus).
Etiologi lainnya adalah kelainan saluran cerna misalnya polip dan divertikel.

3. Patogenesis Usus proksimal masuk ke usus bagian distal menimbulkan gejala-gejala


obstruksi dan strangulasi usus. Strangulasi usus pada akhirnya menyebabkan
nekrosis mukosa lapisan usus sehingga menimbulkan “red current jelly stool”

4. Anamnesis  Nyeri perut.


 Berak berdarah dan berlendir.
 Muntah.
 Kembung : tidak selalu ditemukan
5. Pemeriksaan fisik Massa berbentuk pisang ditemukan pada kuadran kanan atas.

6. Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik dan


diagnosis pemeriksaan penunjang

7. Pemeriksaan a. Foto polos 3 posisi memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium
Penunujang lanjut penyakit.
b. Barium Enema :
1. Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi
dan gambaran pegas (coiled spring).
2. Berguna untuk mereduksi usus yang terkena, merupakan
pilihan pada semua bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24
jam. Berbahaya bila keadaan umum jelek dan peritonitis karena
tekanan enema dapat mengakibatkan perforasi usus.
c. USG
 Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal
 Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal

8. Tatalaksana  Kasus gawat darurat bedah :


1. Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi).
2. Pembedahan (laparatomi eksplorasi).
 Tindakan yang harus dilakukan sebelumnya adalah memperbaiki
keadaan umum penderita yaitu memperbaiki cairan dan elektrolit,
dekompresi dengan NGT

9. Edukasi Perforasi dan peritonitis

10. Komplikasi 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc


dan Prognosis 2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini,
Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

PERDARAHAN SALURAN CERNA


Kode ICD : K 22,K 29
1. Definisi Perdarahan yang terjadi dari saluran cerna. Klassifikasi perdarahan saluran
cerna (psc) berdasarkan lokasi dibagi dua. Psc atas (psca) terjadi bila sumber
perdarahan terletak di atas Ligamentum Treitz dan psc bawah (pscb) bila
terletak di bawahnya.
2. Etiologi  Kelainan mukosa (erosi, ulkus dan peradangan).
 Kelainan vaskuler (varises, hemangioma, vaskulitis).
 Koagulopati.
 Kelainan anatomi: duplikasi esofagus/gaster.

3. Patogenesis  Perdarahan kronis: anemia defisiensi besi dengan retikulosit yang normal
atau cendrung menurun, perdarahan kronis juga dapat meyebabkan
retikulosit meningkat.
 Perdarahan akut/banyak: syok dengan segala akibatnya

4. Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan melihat faktor usia Usia penderita merupakan
faktor yang penting untuk menentukan etiologi. .
 Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.
 Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : sindrom Mallory Weiss.
 Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.
 Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.
 Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus.

5. Pemeriksaan fisik Sebanyak 20% perdarahan gastrointestinal merupakan kelainan sitemik


(melibatkan organ lain).
 Tanda-tanda sianosis, peningkatan tekanan ven porta : varises.
 Luka bakar luas, penyakit infeksi SSP: ulkus stress, kolitis iskemik.
 Hemangioma/telangiektasis: kelainan vaskuler.
 Eritema pada kulit, kelainan ginjal: sindrom Henoch Schonlein.

6. Kriteria  Anamnesis
diagnosis  Pemeriksaan fisik

Tabel. Penyebab-penyebab perdarahan saluran cerna

INFAN – 6 6 BULAN – 3 3 TAHUN KE


BULAN TAHUN ATAS
Psca Tertelan darah ibu Irritasi NGT Gastritis
(30%) Perdarahan Varises esofgeus
Irritasi NGT nasopharyngeal Ulkus peptikum
Ulkus peptikum Varises esofgeus Pengaruh obat-
Esofagitis Ulkus peptikum obatan
Varises esofagus Esophageal foreign Malory Weiss
Gastritis body Syndrome
Haemoragik Pengaruh obat- Hemotobilia
Gastric stress ulcers obatan
Ulkus duodenum
Hemorrhagic
disease of newborn

Psc Fisura Ani Fisura ani Fisura ani


b NEC Meckel’s Polip
Volvulus, diveticulum Intususepsi
Intussuscepsi Intusucepsi HUS
Meckel’s Polip IBD
diverticulum Diarrhea invasif HSP
Hemangioma HSP, HUS, ITP Trauma
Duplikasi Duplikasi Duplikasi
Tertelan darah ibu Hemangioma Hemangioma
Infeksi Tumor
Alergi susu sapi

7. Pemeriksaan  Laboratorium : darah lengkap, kimia darah, CT, BT, PT, APTT, feses
Penunujang rutin
 Endoskopi
 Radiologi
 Arteriografi
8. Tatalaksana  Cari gangguan hemodinamik.
 Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10
menit sampai tanda vital membaik.
 Transfusi darah (PRC atau FFP) bila diperlukan.
 Observasi perdarahan
9. Edukasi Menerangkan penyebab perdarahan saluran cerna sehingga dapat dilakukan
pencegahan
10. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini,
Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Algoritme tatalaksana perdarahan gastrointestinal


Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

KOLESTASIS
Kode ICD : K.71.0

1. Definisi Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya
terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya
ikterus, akibat peninggian kadar bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin
total jika bilirubin total > 5 mg/dl atau bilirubin direk ≥ 1 mg/dl jika kadar
bilirubin total ≤ 5 mg/dl.
2. Etiologi Berdasarkan etiologinya, kolestasis diklasifikasikan menjadi :
I. Kelainan Ekstrahepatik
a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c. Perforasi spontan duktus bilier
d. Massa (neoplasma, batu)
e. Inspissated bile syndrome
II. Kelainan Intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain:
a. Displasia arteriohepatik (sindroma alagille)
b. Sindroma Zellweger (sindroma serebrohepatorenal)
c. Intrahepatic bile duct poucity
B. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil
2. Penyakit coroli (pelebaran kista pada duktus intrahepatik)
C. Kelainan Metabolisme
1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat dan asam
empedu
2. Kelainan metabolik tidak khas : defisiensi α 1 antitripsin, dll
D. Hepatitis
1. Infeksi, antara lain TORCH, virus Hepatitis B, Reovirus tipe e,
dll
2. Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan
kemungkinan endotoksemia
E. Genetik atau kromosomal trisomi E, sindrom down, sindrom
donahue
F. Lain-lain : obstruksi intestinal, histiosis X, sindroma polispenia
3. Patogenesis Kelainan yang dapat menyebabkan terjadinya kolestasis
• Pada hepatosit, misalnya akibat kerja estradiol yang menurunkan aliran
garam empedu
• Pada membran hepatosit, misalnya pada defisiensi Na-K-ATPase yang
berfungsi sebagai pompa natrium
• Pada permukaan membran yang mengarah ke dalam saluran empedu,
misalnya pemberian obat seperti klorpromazin, karena mengganggu
fungsi mikrofilamen hingga penetrasi garam empedu ke membran
terganggu
• Gangguan pada saluran empedu yang terjadi didalam hari (intrahepatik)
atau di luar hati (ekstrahepatik

4. Anamnesis Saat timbulnya ikterus (kurang dari usia 3 bulan), lama ikterus, warna tinja,
perdarahan, riwayat keluarga,riwayat kehamilan dan kelahiran.
5. Pemeriksaan fisik Ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali, dan tanda
perdarahan.
6. Kriteria Untuk kolestasis evaluasi dilakukan pada usia minimal 2 minggu dan pada
diagnosis bayi preterm dapat ditunda sampai 3 minggu
Langkah diagnosis :
 Bedakan hiperbilirubinemia indirek dengan hiperbilirubinemia direk
(kolestasis). Gambaran klinik hiperbilirubinemia indirek adalah warna
kulit kuning terang, kuning dimulai dari muka kemudian ke bagian distal
badan (sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin indirek, mengikuti
skala Krammer), dan urin berwarna jernih. Hiperbilirubinemia indirek
dapat disebabkan jaundice fisiologik (sampai umur 14 hari), “breast milk
jaundice”, penyakit sistemik (hemolisis, stadium awal hipotiroidsm,
obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia, hipoglikemia,
galaktocemia, dan intoleransi fruktosa), kelainan keturunan : Crigler-
Najjar syndromes (UDPGT deficiency tipe I bersifat total, tipe II bersifat
partial) dan Gilbert syndrome.
 Evaluasi klinik (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan warna feses)
 Pemeriksaan fraksi bilirubin: direk, indirek, dan total.
 Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (SGPT/ALT, SGOT/AST,
Alkali fosfatase, GGT)
 Pemeriksaan fungsi liver (albumin, PT/ aPTT, kadar glukosa serum,
ammonia)
 Rule out penyebab-penyebab yang dapat diobati
 Kultur bakteri (urin dan darah)
 Serologi dan biakan virus (infeksi hepatitis kongenital)
 Deteksi kelainan metabolik (galaktosemia, tyrosinemia heriditer,
intoleransi fruktosa heriditer, dan hipopitutarime/hipotiroid)
 Deteksi defek sintesis asam empedu, neonatal iron storage disease,
hepatotoksis karena obat
 Kelainan anatomik : atresia bilier, kista koledokus, inspissated bile/calculi
in common bile duct
 Rule out obstruksi ekstrahepatikdan intrahepatik dengan ultrasonografi
dan biopsi hati.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :


 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

7. Pemeriksaan Laboratorium :
Penunujang a. Rutin
 Darah lengkap (terutama pada kasus yang dicurigai hiperbilirubinemia
indirek), uji fungsi hati: SGOT (AST), SGPT (ALT), gamma GT
(normal: meningkat pada bayi umur-umur muda), alkali fosfatase
(normal: meningkat pada waktu memasuki usia pubertas), waktu
protrombin dan tromboplastin (PT, aPTT), kadar albumin plasma,
kolesterol, kadar glukosa, ureum, kreatinin, urine reduction substance,
kadar amonia serum, kultur urine (jika dicurigai kolestasis
intrahepatik), kultur darah (jika dicurigai sepsis), parasintesis (jika
terbukti ada asites pada USG abdomen)
 Bilirubin urine positif
 Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk.
22.00-06.00) dan adanya empedu dalam tinja.
b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi
dengan menggunakan sonde (Levine tube), serologi untuk penyakit
infeksi (TORCH, HbsAg, HIV, dan lain-lain), skrining metabolik (asam
amino serum dan urin, asam organik urin), kelainan hormon (kadar
hormon tiroid, TSH), kultur virus, kadar α1 antitripsin, dan lain-lain.
Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
Dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier, kista
koledokus, masa intra abdomen, dan patensi duktus bilier. Pada atresia
bilier: akurasi diagnostik USG 77%, dilakukan pada tiga fase yaitu pada
keadaan puasa (4-6 jam dengan alat USG berosolusi tinggi dan 10-12 jam
dengan alat USG berosulusi rendah), saat minum, dan sesudah minum (1
sampai 2 jam setelah makan) ataupun dua fase yakni puasa dan sesudah
minum. Apabila pada saat atau sesudah minum kandung empedu tidak
tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%) diagnosis atresia
bilier dapat ditegakkan.
b. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi
operatif, bila terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh
dengan anestesi umum
Biopsi hepar:
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi
eksplorasi
• Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi
duktus
dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler
masih normal
• Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus
yang disertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat
gambaran lobul yang kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis
porta dan proliferasi duktus ringan.
 Paucity sistem bilier.
8. Tatalaksana Uji fungsi hati dilakukan untuk menentukan jenis hiperbilirubinemia dan
tatalaksana selanjutnya. Tatalaksana kolestasis intrahepatik :
 Memperbaiki aliran empedu: Obat stimulasi aliran empedu adalah :
1. Asam ursodeoksikolat, dosis: 10 - 30 mg/kgBB/hari, bekerja
sebagai competitive binding empedu toksik, bile fow inducer,
suplemen empedu, dan hepatoprotektor.
2. Kolestiramin, dosis: 0,25 - 0,5 g/kgBB/hari, berfungsi menyerap
empedu toksik dan menghilangkan gatal.
3. Rifampicin, dosis: 10 mg/kgBB/hari, berfungsi meningkatkan
aktivitas enzim mikrosom dan menurunkan ambilan asam
empedu oleh sel hati
4. Fenobarbital: induksi enzim glukuronil transferase, digunakan
hanya pada hiperbilirubinemia indirek pada Crigler-Najjar
syndromes (UDPGT deficiency tipe II) dengan dosis: 3-10
mg/kgBB/hari
 Multivitamin vitamin A : 5.000 - 25.000 U/ hari, D: D3 calcitriol:
0,05 - 0,2ug/kgBB/hari, E: 25 - 50 IU/kgBB/hari,K: K1 2,5 - 5 mg/ 2-
7x/ minggu
 Nutrisi : diet lemak MCT.
 Trace elemen: trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
 Terapi komplikasi yang terjadi: misalnya hiperlipidemia/xantelasma
diberikan kolestipol dengan dosis 250-500 mg/kgBB/hari (gabungan
kolestramin dengan kolestipol), hipertensi portal (dibuktikan dengan
USG dopler) diberikan propanolol dengan dosis 1 – 6 mg/kgBB,
gagal hati dengan transplant
 Dukungan psikologis
 Mengobati penyebab kolestasis yang bisa diobati
 Kolestasis ektrahepatik : operasi
 Kolestasis intrahepatik, tergantung etiologi.

9. Edukasi Infeksi hepatistsis kongenital : Herpes simpleks diberikaan asiklovir


intravena, sipilis diberikan penisilin 50.000 iu/kgBB/hari selama 10-14
hari, tuberkulosis diberikan OAT, toxoplasmosis diberikan pyrimethamin
1 mg/kgBB/2-4 hari dan sulfadiaazine 50-100 mg/kgBB/hari. Penyakit
metabolik: galaktosemia diberikan diet bebas galaktosa, tyrosinea
heriditer diberikan diet tirosin/fenilalamin rendah, intoleransi fruktosa
heriditer diberikan diet bebas fruktosa/laktosa,
hipotiroidisme/hipopitutarisme diberikan hormon-hormon tiroid, adrenal
dan growth hormon .
Obat-obatan dan toksin: obat-obatan penyebab hepatotoksin dihentikan,
endotoksin bakterial diberikan antibiotika yang sesuai (misalnya
Tersangka ISK dengan cefotaksim), TPN ditatalaksana dengan pemberian
intake oral secepatnya.

10. Komplikasi Sindrom klinik yang timbul tergantung pola makan/minum, lamanya
dan Prognosis kolestasis, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi.

11. Kepustakaan 1. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infections. Dalam: Suchy
FJ, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-1. St. Louis: Mosby
year book; 1994. h. 414-24.
2. Balisteri WF. Cholestasis. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
WB Saunders; 2004. h. 1203-7.
3. Haefelin DN, Griffiths P, Rizetto M. Systemic virosis producing
hepatitis. Dalam: Bircher J, dkk, penyunting. Oxford textbook of clinical
hepatology. Edisi ke-2. Oxford: Oxford University Press; 1999. h. 955-
63.
Emerick KM, Whitington PF. Molecular basis of neonatal cholestasis. Ped
Clin N Am. 2002;49(1):1-3.
12. Lain-lain
(Algoritme,
Protokol,
Prosedur,
Standing Order)

 Langkah awal, bedakan antara hiperbilirubinemia indirek dan direk


(kolestasis)
 Jika kolestasis, perkirakan kelainan yang terjadi intrahepatik atau
ektrahepatik, dengan melakukan pemeriksaan darah, fungsi hati, dan
sintesis hati. Kelainan ektrahepatik dibuktikan dengan pemeriksaan USG.
Biopsi hepar dapat dilakukan untuk membedakan kelainan intrahepatik,
ektrahepatik, dan paucity saluran empedu.
 Diagnosis awal kolestatik intrahepatik diberikan antibiotik untuk
Tersangka ISK (TISK) yang tidak hepatotoksik (cefotaksim) sampai hasil
kultur dan resistensi urin diketahui. Diagnosis sementara berupa TISK
ditegakkan karena meliputi hampir 30% kolestasis intra hepatik.
 Adanya dismorfik mengarahkan diagnosis ke kelainan metabolik dan
infeksi TORCH kongenital.
 Infeksi TORCH kongenital dicurigai jika bayi dismorfik, adanya riwayat
infeksi TORCH saat ibu hamil (gambaran klinis, riwayat kehamilan
terdahulu, atau pemeriksaan serologis), dan adanya kelainan kombinasi
(kelainan pendengaran, mata, jantung, dan hepatosplenogali).
 Atresia biler dapat diprediksi dengan feses yaang seperti dempul
(spesifisitas tinggi, tetapi sensitivitas yang rendah)

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

KISTA DUKTUS KOLEDOKUS


Kode ICD : Q.44.4

1. Definisi Pelebaran saluran empedu baik ekstra maupun intrahepatik.

2. Etiologi Belum diketahui secara pasti karena banyak faktor yang berperan.
Penyakit ini jarang ditemukan, lebih sering di Asia terutama Jepang.
3. Patogenesis Kista menyebabkan sumbatan saluran empedu, menimbulkan gejala
kolestasis

4. Anamnesis Nyeri perut, kuning, kadang kadang disertai demam akibat infeksi.
5. Pemeriksaan fisik Ikterus, dan dapat teraba massa tumor pada perut kanan atas.
Klasik berupa trias: ikterus, nyeri perut yang hilang timbul, dan massa tumor
pada perut kanan atas.
6. Kriteria Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.
diagnosis

7. Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang, ditemukan peningkatan kadar bilirubin,


Penunujang transaminase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase dan kadar
amylase. USG mempunyai ketepatan diagnosis yang tinggi untuk diagnosa
dini, dimana terlihat gambaran massa tumor yang berbatas tegas ekolusen di
daerah kanan atas. Diagnosis pasti untuk untuk menentukan tipe kista dengan
kolangiografi.
8. Tatalaksana Penatalaksanaan dengan tindakan bedah yaitu eksisi total

9. Komplikasi Baik bila operasi dilakukan dalam keadaan dini


dan Prognosis

10. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc


2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor
& Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

KOLITIS ULSERATIF
Kode ICD : K.52.9

1. Definisi Reaksi radang difus yang ditandai oleh infiltrat neutrofil


dengan abses kripta yang mengenai usus besar bagian distal
yang dapat meluas ke proksimal sepanjang kolon dengan
panjang bervariasi.
2. Etiologi Idiopatik

3. Patogenesis Beberapa teori telah diajukan seperti faktor genetik,


perubahan imunitas, infeksi, alergi, alergi, diet, dan faktor
psikologis
4. Anamnesis  Diare kronik dengan darah segar
 Tidak dapat menahan defekasi
 Tenesmus dan kejang (kram) pada perut bagian bawah
terutama sesaat sebelum defekasi
5. Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
diagnosis  Manifestasi klinis
 Mikrobiologi.
 Serologi.
 Kolonoskopi.
 Biopsi.
6. Pemeriksaan  Laboratorium
Penunujang  Endoskopi
 Biopsi
7. Tatalaksana  Sulfazalazine, dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
 Hidrokostison enema 100 mg pada waktu tidur selama 6
minggu.
 Prednison oral 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-4 bulan, dosis
penuh diberikan selama 6 minggu kemudian diturunkan 5
mg/hari setiap minggu.
 Pada kasus gawat darurat dapat dilakukan kolektomi
8. Komplikasi Perdarahan, perforasi, striktur, megakolon toksik, karsinoma
dan Prognosis
9. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC
Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier,
2006 Textbook of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor &
Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

HIPERTROFI STENOSIS PILORUS


Kode ICD : Q.40.0

1. Definisi Hipertrofi dari otot sirkuler pilorus yang menyebabkan


obstruksi pintu keluar lambung
2. Etiologi Tidak diketahui

3. Patogenesis Hipertrofi dan hiperplasi otot sirkuler pylorus menimbulkan


obstruksi pylorus parsial yang bersifat progresif

4. Anamnesis  Muntah tidak mengandung empedu (nonbilious vomiting),


bersifat progresif.
 Muntah muncul 2-3 minggu, sebelumnya bayi terlihat sehat.
Muntah awalnya intermiten, muncul 30-60 menit setelah
minum.
 Frekuensi dan volume muntah progresif meningkat dan
akhirnya menimbulkan muntah projektil yang berulang
(Repetitive Projectile Vomiting)
 Dapat menimbulkan dehidrasi, berat badan tidak meningkat
bahkan menurun, konstipasi, kadang-kadang berdarah
(akibat esofagitis sekunder atau gastritis). Keadaaan yang
terlambat mendapat pertolongan ditemukan dehidrasi berat
dan alkalosis metabolik berat (dehydration hypochloremic
alkalosis)
5. Pemeriksaan fisik a. Tampak gerakan peristaltik lambung setelah 30-60
menit minum.
b. Teraba massa (hipertrofi otot pilorus) di perut kanan
atas.
6. Kriteria  Anamnesis
diagnosis  Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

7. Pemeriksaan a. Foto polos abdomen:


Penunujang  Penyempitan lumen pilorus (string sign).
 Tampak bayangan lambung sangat besar dan
berisi udara.
b. USG :
Akurasi 95%. Target sign adalah gambaran khas penebalan
mukosa pilorus pada stenosis pilorus lebih dari 14 mm.
c. Laboratorium :
 Alkalosis metabolik.
 Hipokalemia.
 Hiponatremia.
8. Tatalaksana a. Operatif
 Teknik operasi Fredet-Ramstedt (piloromiotomi).
b. Non operatif
 Medikamentosa : sulfas atropin dapat diberika jika
operasi tidak memungkinkan.
 Diet: makanan kental dalam porsi sedikit tetapi sering.
 Penderita ditaruh dalam posisi setengah duduk selama 1
jam setelah makan.
9. Komplikasi  Prognosis baik bila dilakukan tindakan operatif.
dan Prognosis  Pada tindakan non operatif angka kematian meningkat dan
apabila penderita dapat hidup akan terjadi kurang gizi.

10. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC


Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier,
2006 Textbook of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor &
Francis, 2004 Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN
Kode ICD : T. 78.00-06

1. Definisi Gambaran klinik yang disebabkan gangguan satu atau


beberapa organ yang disebabkan oleh makanan yang
mengandung racun / toksin
2. Etiologi Makanan yang mengandung racun dapat disebabkan oleh
terkontaminasi racun (zat kimia), makanan tersebut memang
mengandung racun (misalnya singkong), makanan tersebut
mengandung kuman yang menghasilkan racun.
1. Poisoning material
2. Food contamination
• Chemical material
• Bacterial toxin
• Foreign matter
• Organism
Dari lamanya terjadi keracunan setelah penderita
mengkonsumsi makanan/ minuman tersebut, secara garis
besar dapat dibedakan penyebabnya :
1. Bahan kimia : < 1 jam.
2. Eksotoksin dari kuman : < 8 jam (1 – 7 jam).
3. Endotoksin dari kuman : > 8 jam.
4. Kuman tersebut (infeksi) : > 24 jam.

3. Patogenesis Tergantung jenis racun

4. Anamnesis Apabila terdapat 1 orang atau lebih yang menunjukkan gejala


keracunan yang sama setelah mengkonsumsi
makanan/minuman yang sama atau bila pihak keluarga
penderita mengkaitkan kasusnya dengan kecurigaan
keracunan makanan.
5. Pemeriksaan fisik Tergantung jenis racun
• Aritmia jantung: tricyclic antidepressants,
amphetamine, aluminium phosphide, digitalis,
theophylline, arsenic, cyanide, chloroquin.
• Asidosis metabolik: isoniazid, methanol, salicylates,
phenformin, iron, cyanide.
• Gangguan saluran cerna: organophosphorus, arsenic,
iron, lithium, mercury.
• Sianosis: nitrobenzene compounds, aniline dyes, dan
dapsone.
6. Kriteria Diagnosis keracunan makanan/ minuman biasanya
diagnosis ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan
pemeriksaan jenis racunnya sendiri. Anamnesis: riwayat
adanya kontak dengan zat racun tersebut. Kontak terkadang
sulit diketahui. Gambaran klinis yang tidak spesifik dan
tampak sebab yang jelas, maka keracunan makan harus
disingkirkan lebih dahulu. Gambaran klinis sesuai dengan
penyebab keracunan makanan. Analisis: bahan lambung,
darah, ataupun urin. Spesimen yang harus disimpan/
diselamatkan dalam kasus keracunan makanan/minuman
adalah :
- Bahan makanan yang dicurigai penyebab racun.
- Muntahan penderita.
- Feses penderita.

7. Tatalaksana Prinsip pengobatan keracunan secara umum adalah :


1. Menentukan secepat mungkin penyebab keracunan dengan
pemeriksaan klinis, laboratorium toksikologis, kecepatan
mendapatkan contoh darah, urin, feses, muntahan
penderita serta bahan makanan/ minuman yang dicurigai
menjadi penyebab keracunan.
2. Mengeluarkan racun dari lambung, dengan cara membuat
penderita muntah atau tindakan bilas lambung.
3. Pemberian antidotum yang sesuai.
4. Pengobatan simptomatik dan suportif.
Yang terpenting di antara keempat prinsip tersebut adalah
pemberian antidotum, tetapi bila antidotum tidak tersedia
maka pengobatan simptomatik dan suportif memegang
peranan penting.
a. Keracunan Jamur
Antidotum yang diberikan adalah antimuskarinik berupa
Atropin dengan dosis 1-2 mg dapat diberikan setiap 30
menit secara subkutan sampai gejala menghilang atau
terjadi gejala atropinisasi.
b. Keracunan Singkong
Diberikan antidotum Natrium tiosulfat 30% sebanyak 30cc,
secara IV perlahan-lahan. Mula-mula diberikan diberikan 10cc
IV, kemudian anak dicubit untuk mengetahui apakah
kesadarannya telah pulih, bila belum sadar dapat diberikan 10
cc lagi sampai dosis maksimal. Bila terjadi sianosis dapat
diberikan oksigen.

8. Komplikasi Tergantung jenis racun


dan Prognosis

9. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC


Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier,
2006 Textbook of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor &
Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

NYERI/ SAKIT PERUT


Kode ICD : R.10

1. Definisi Nyeri perut merupakan manifestasi nyeri pada daerah


abdomen. Nyeri ini dapat disebabkan oleh organ di dalam
ataupun di luar abdomen
Nyeri perut berulang merupakan serangan sakit perut yang
timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka waktu tiga
bulan dan mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari.
2. Etiologi Nyeri perut dapat dibagi menurut penyebab gastrointestinal
dan non gastrointestinal, dan keduanya dibagi lagi menjadi
sakit perut bedah dan non bedah.
1). Nyeri perut non bedah :
a. Traktus gastrointestinalis dan mesenterium.
1. Kolik.
2. Ulkus peptikum.
3. Zollinger-Ellison Syndrome.
4. Gastritis.
5. Adenitis Mesenterika.
6. Kiste mesenterika.
7. Konstipasi.
b. Traktus Urinarius.
1. Penyakit pada traktus urinarius.
2. Henoch-Scholein Purpura.
c. Hepar dan kandung Empedu.
1. Hepatitis.
2. Perihepatitis.
3. Kolesistitis akut.
4. Kolelitiasis.
d. Lien. Pembesaran lien congestive.
e. Pankreas. Pankreastitis akut.
2). Nyeri perut akut bedah :
a. Traktus gastrointestinalis.
1. Appendisitis.
2. Intussusepsi.
3. Intestinal Malrotasi.
4. Volvulus.
5. Divertikulum Meckel.
6. Hernia inkarserata.
7. Obstruksi intestinal.
b. Traktus Urinarius.Calculus Renal.
c. Tumor Hepar.
d. Lien.
e. Trauma yang menyebabkan ruptur lien.

3. Patogenesis Mekanisme timbulnya sakit perut:


1. Gangguan vaskular.
2. Peradangan.
3. Obstruksi organ berongga di ruang peritoneum atau
retroperitoneum.
4. Penarikan dan peregangan peritoneum viseralis.

4. Anamnesis  Timbulnya rasa sakit.


 Onset dan lamanya sakit.
 Kwalitas dan berat ringannya.
 Lokalisasi sakit perut.
 Demam.
 Mual, muntah atau diare yang berhubungan dengan sakit
perut.
 Ciri-ciri dari muntah atau diare.
 Perubahan kebiasan defekasi, konsistensi dan warna feses.
 Faktor- faktor yang memperingan dan memperberat sakit
perut.
 Terapi yang sudah diberikan.
 Riwayat trauma.
 Riwayat pernah dirawat sebelumnya.
5. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan yang terbaik adalah pada waktu serangan, harus
lengkap dengan titik berat pada abdomen.
 Pengamatan.
 Secara umum penderita tampak tidak anemia, turgor
normal, sirkulasi normal.
 Tanda vital : temperatur harus diperhatikan.
 Periksa tanda-tanda peradangan dan proses infeksi pada
kepala, mata, telinga, hidung, tenggorokan, seperti
faringitis, OMA, dll.
 Dada : perhatikan pergerakan dada, retraksi, frequensi
respirasi.
 Abdomen :
- Pengamatan bentuk perut.
- Distensi / ketegangan dinding perut baik sebelum atau
sesudah rangsangan tangan (palpasi).
- Adanya cairan bebas, bising usus diseluruh perut
meningkat atau menurun sampai negatif.
- Perlu dicari tanda akut abdomen yaitu dinding
abdomen yang kaku, defence musculare, nyeri tekan,
nyeri lepas.
- Pada pemeriksaan di luar abdomen, cari kemungkinan
adanya hernia strangulata, hernia inguinalis yang
menyebabkan obstruksi dan peritonitis.
 Rektum :
Pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan abnormalitas
sfingter internal atau eksternal, adanya massa feces,
warna, konsistensi, darah.
 Sistem Genitourinaria :
Perhatikan di daerah genitalia adanya trauma, discharge,
peradangan nyeri pada anak remaja periksa daerah pelvis,
evaluasi adanya trauma, infeksi peradangan, besarnya
uterus, dan massa.
6. Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
diagnosis  Anamnesis
 Pemeriksaan fifik
 Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan rutin darah, urin,
Penunujang tinja perlu dilakukan.
Jika ada kelainan dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus :
WBC dengan hitung jenis, sedimen urine, urinalisis, kultur
urin / tinja, foto polos abdomen.
Sakit perut berulang perlu dilakukan pemeriksaan barium
meal, barium enema, endoskopi, USG.
8. Tatalaksana Ditentukan apakah penyakitnya membutuhkan tindakan
bedah atau tidak. Bila tidak ditemukan kedaruratan perut,
penyebab sakit perut harus dicari dan diberi pengobatan yang
sesuai.
9. Edukasi Memberikan rasa aman dan edukasi kepada penderita dan
keluarga. Meyakinkan bahwa pada sakit perut fungsioanal, tidak
ada bukti adanya kelainan dasar yang serius
11. Kepustakaan Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker
Inc
Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier,
2006 Textbook of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis,
2004
Nelson Pediatric Text Book
12. Lain-lain
(Algoritme, Rome III Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal
Protokol, Disorders
Prosedur, H2. ABDOMINAL PAIN-RELATED FUNCTIONAL GI
DISORDERS
Standing Order)
H2a. Functional Dyspepsia
Diagnostic criteria* Must include all of the following:
 Persistent or recurrent pain or discomfort centered in the
upper abdomen
(above the umbilicus)
 Not relieved by defecation or associated with the onset of a
change in stool
frequency or stool form (i.e., not irritable bowel syndrome)
 No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic or
neoplastic process
that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2 months
prior to diagnosis
H2b. Irritable Bowel Syndrome
Diagnostic criteria* Must include both of the following:
 Abdominal discomfort** or pain associated with two or more
of the following
at least 25% of the time:
a. Improvement with defecation
b. Onset associated with a change in frequency of stool
c. Onset associated with a change in form (appearance) of
stool
 No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic, or
neoplastic process
that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2 months
prior to diagnosis
** “Discomfort” means an uncomfortable sensation not described
as pain.
H2c. Abdominal Migraine
Diagnostic criteria* Must include all of the following:
 Paroxysmal episodes of intense, acute periumbilical pain
that lasts for
hour or more
 Intervening periods of usual health lasting weeks to months
 The pain interferes with normal activities
 The pain is associated with 2 of the following:
a. Anorexia
b. Nausea
c. Vomiting
d. Headache
e. Photophobia
f. Pallor
 No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic, or
neoplastic process
considered that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled two or more times in the preceding 12 months
H2d. Childhood Functional Abdominal Pain
Diagnostic criteria* Must include all of the following:
 Episodic or continuous abdominal pain
 Insufficient criteria for other FGIDs
 . No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic, or
neoplastic process
 that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2 months
prior to diagnosis
H2d1. Childhood Functional Abdominal Pain Syndrome
Diagnostic criteria* Must satisfy criteria for childhood functional
abdominal pain and have at least 25% of the time one or more
of the following:
 Some loss of daily functioning
 Additional somatic symptoms such as headache, limb pain,
or difficulty sleeping
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2 months
prior to diagnosis.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

KOLESISTITIS
Kode ICD : K 8

1. Definisi Kolesistitis adalah peradangan pada kantung empedu yang


dapat akut atau kronik.
2. Etiologi a.Kolesistitis akut :
- Stasis garam empedu : Obstruksi (batu empedu, nodus
limfatikus, tumor), kelaparan dan imobilisasi.
- Inflamasi : garam empedu, lysolecitin, bakteri.
- Iskemi : torsi, penyakit vaskuler.
b.Kolesistitis kronik : obstruksi berulang dan inflamasi
3. Anamnesis a. Nyeri abdomen.
b. Kwadran kanan atas.
c. Epigastrium.
d. Menyebar ke belakang, bahu.
e. Mual
f. Intoleran makanan lemak

4. Pemeriksaan fisik a. Abdomen tegang.


b. Kuning.
c. Demam.
d. Teraba massa.

5. Kriteria a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.


diagnosis b. Laboratorium :
c. Radiologis
d. USG :

6. Pemeriksaan a. Laboratorium :
Penunujang  Rutin : Hb, Lekosit, Hitung jenis.
 Test faal hati : bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali fosfatase.
b. Radiologis : Perlu di buat foto polos abdomen, untuk
mendeteksi ada atau tidaknya batu empedu radio opak.
c. USG :
 Pemeriksaan USG lebih banyak membantu menentukan
diagnosis.
 Gambaran USG dari kolesistitis akut :
- Penebalan dinding kandung empedu lebih dari 3 cm.
- Pada dinding yang menebal terlihat suatu daerah
bebas gema diantara lapis luar dengan lapisan
dalam, sehingga terlihat tanda dinding yang rangkap
atau disebut Double Rim Sign. Hal ini disebabkan
karna adanya edema di dinding kandung empedu.
- Terdapat tanda Murphy Ultrasonik yaitu terasa nyeri
pada saat transduser sedikit di tekan diatas daerah
kandung empedu.
- Terdapat pembesaran kandung empedu.
- Selain tanda-tanda tersebut di atas perlu dicari
penyebabnya.
Sebagai penyebab terbanyak yaitu batu empedu, yang
akan terlihat sebagai suatu massa padat berdensitas gema
meninggi, disertai bayangan akustik. Pada perubahan
posisi massa tersebut akan ikut bergerak
7. Tatalaksana a. Pengobatan kolesistitis termasuk hospitalisasi, hidrasi
dengan cairan IV, koreksi abnormalitas elektrolit dan
penghentian makanan oral.
b. Medikasi (misalnya Meperidine hidroklorida) harus
diberikan untuk mengurangi nyeri.
c. Antibiotika, termasuk ampisilin dan gentamisin digunakan
untuk mengobati kolesistitis akut karena mereka
diekskresikan dalam empedu atau melindungi organ
enteric secara adekuat. Sefalosporin generasi kedua atau
ketiga dapat digunakan sebagai alternatif.
d. Kolesistektomi laparoskopik adalah pengobatan pilihan
untuk manajemen kolesistitis akut tanpa komplikasi.
Indikasi utama untuk pembedahan :
1. Ketidakpastian mengenai diagnosis ditambah dengan
iritasi peritoneal perut bagian atas yang jelas
2. Kegagalan terhadap pengobatan non operatif :
 Demam terus menerus lewat 24 jam.
 Tanda-tanda iritasi peritoneal yang tak berubah atau
semakin lanjut.
 Perkembangan atau pembesaran massa yang progesif.
Perkembangan peritonitis umum.

8. Komplikasi  Perforasi.
dan Prognosis  Peritonitis empedu.
 Obstruksi bilier.
 Sirosis bilier.
 Kanker kandung empedu
Angka mortalitas keseluruhan untuk kolesistitis akut dan
kronik < 2 %
9. Kepustakaan Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker
Inc
Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi Pediatric
Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition,
Guandalini, Taylor & Francis, 2004
Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

PERITONITIS TUBERKULOSA
Kode ICD : A 18.31

1. Definisi Radang peritoneum yang disebabkan oleh M.tuberculosis

2. Etiologi Mycobacterium tuberculosa

3. Patogenesis  Peritonitis TB didahului oleh infeksi M. tuberculosis yang


menyebar secara hematogen ke organ di luar paru
termasuk di peritoneum.
 Cara lain adalah dengan penjalaran langsung dari kelenjar
mesenterika atau dari tuberkulosis usus.
4. Anamnesis Seperti pada dengan curiga TB pada umumnya
5. Pemeriksaan fisik Di temukan massa intraabdomen, adanya asites, kadang-
kadang ditemukan fenomena papan catur yaitu pada perabaan
abdomen didapatkan adanya massa yang diselingi perabaan
lunak

6. Kriteria  Anamnesis
diagnosis  Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan  Foto polos abdomen : gambaran peritonitis, massa
Penunujang omentum dan asites.
 Biopsi peritonium untuk mencari gambaran patologis.
 Kultur M. tuberkulosis dari bahan cairan asites atau biopsi
peritonium.
8. Tatalaksana Tatalaksana TB ekstrapulmonal yaitu Rifampisin dan INH
diberikanselama 12 bulan, Pirazinamid selama 2 bulan
pertama. Kortikosteroid diberikan 1-2 mg/kg BB selama 1-2
minggu pertama.

9. Komplikasi Perlengketan usus, obstruksi usus


dan Prognosis
10. Kepustakaan Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker
Inc
Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier,
2006 Textbook of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis,
2004
Nelson Pediatric Text Book

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

KONSTIPASI
Kode ICD : K.59.0

1. Definisi
Batasan konstipasi : jika terdapat 2 atau lebih kriteria
1. Frekuensi < 3x/minggu
2. Konsistensi keras
3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah
feses besar ≥ 1 x / 7 - 30 hari, perut kembung, sensasi
penuh, teraba massa di abdomen atau rektum
Berdasarkan waktu :
1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu
2. Konstipasi kronik : > 1 bulan

2. Etiologi
Hampir 90-95% penyebab konstipasi tidak diketahui (idiopatik)
dan bersifat fungsional. Hanya 5-10% yang mempunyai
penyebab organik, diantaranya Hirschprung’s disease, cyctic
fibrosis, fisiologi anorektal yang abnormal, dan fisura ani.
Penyebab non organik diantaranya adalah obat-obatan,
kondisi metabolik karena dehidrasi, diet kurang serat, dan
penyakit malabsorpsi

3. Patogenesis Konstipasi fungsional diduga berhubungan dengan masalah


fungsi usus, termasuk kontrol hormonal, syaraf, masalah otot-
otot pada kolon, rektum atau anus. Konstipasi fungsional
sering disebabkan kebiasaan defekasi dan diet yang buruk.
Kebiasaan defekasi yang tidak teratur, akibat penghambatan
refleks defekasi normal. Psikosomatik juga dapat menyebabkan
konstipasi. Terjadi pada usia 2 tahun psikosomatik juga dapat
menyebabkan konstipasi.

4. Anamnesis Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni lamanya gejala


(konstipasi akut atau kronik), frekuensi defekasi, konsitensi
feses, ada tidaknya darah pada feses, dan kebiasaan defekasi
(seberapa sering dan dimana pasien biasa defekasi). mengenai
kebiasaan makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik.
Penting juga untuk menanyakan umur saat awitan. Jika
gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan
besar bersifat fungsional.

5. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang


belakang dan perineum.

Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus


otot-otot sfingter ani dan mendeteksi obstruksi atau darah.
Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan adanya kelainan
anatomi (seperti anal stenosis dan fisura ani) dan trauma.

6. Kriteria  Anamnesis
diagnosis  Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Jarang di lakukan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
Penunujang mengidentifikasi adanya anemia, lekositosis, dan gangguan
metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid) atau uncover
excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa
urin rutin dan kultur urine juga dilakukan terutama bila
diduga terjadi infeksi saluran kemih akibat konstipasi kronis.

Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk


mengevaluasi konstipasi yaitu foto polos abdomen, studi
transit kolorektal, tes fungsi anorektal, biopsi hisap rektum,
dan defekografi. Karena peningkatan resiko kanker, dapat
dilakukan tes untuk menyingkirkan kanker, yaitu barium
enema, sigmoidoskopi atau kolonoskopi. Pemeriksaan
ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat dilakukan untuk
mencari penyebab organik lain yang memberikan gejala
konstipasi.Foto tulang belakang daerah lumbosakral dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil
pemeriksaan neurologi ektremitas bawah atau sakrum tampak
abnormal.

8. Tatalaksana Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber


masalah, usia anak, dan kepribadian anak.

Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis,


kelainan primer harus diobati terlebih dahulu.

Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain


dengan menggabungkan teknik edukasi, evakuasi feses
(disimpaction), dan terapi rumatan (modifikasi tingkah laku,
pengaturan diet, dan pemberian laksansia).

9. Edukasi  Toilet education


 Diet tinggi serat

10. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi antara lain nyeri anus, nyeri
dan Prognosis abdomen, fisura ani, enkopresis, enuresis, infeksi saluran
kemih, obstruksi ureter, prolaps rectum, ulkus soliter, sindrom
stasis (bakteri overgrowth, fermentasi karbohidrat, maldigesti,
dekonyugasi asam empedu, steatorea).

Pada anak di bawah usia 5 tahun dengan konstipasi kronis,


sebanyak 50% sembuh dalam 1 tahun dan 65-75% sembuh
dalam 2 tahun dengan pemakaian laksansia bertahun-tahun.
Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung dari
penyebabnya. Sekitar 80% anak dengan konstipasi fungsional
biasanya berhasil diobati dalam 5 tahun.

11. Kepustakaan 1. Stephen M. Constipation. Dalam: Walker, penyunting.


Pediatric gastrointestinal disease. Volume ke-1.
Philadelphia: BC Decker; 1991. h. 90-108.
2. Benninga. Constipation and faecal incontinence in
childhood. Amsterdam: Universiteit van Amsterdam; 1994.
h. 13-35.
3. HM Spiro. Clinical gastroenterology. Edisi ke-4. New York:
Mc Graw Hill; 1993. h. 513-23.
4. Barbara JS. Digestive system disorders. Dalam: RE
Behrman, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2005. h. 510-8.
5. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, dkk. Constipation in
infants and children: evaluation and treatment. A medical
position statement of the North American Society for
Pediatric Gastroenterology and Nutrition. J Ped Gastr Nutr.
1999;29:615-26.
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI


Kode ICD : A.045

1. Definisi Helicobater pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat


berkoloni pada saluran cerna dan merupakan salah satu
penyebab ulkus duodemum dan gaster. Menular secara oral-
oral, gastric oral, dan fekal-oral,
2. Etiologi Helicobacter pylori

3. Patogenesis Infeksi H. pylori pada antrum gaster, menimbulkan inflamasi


mukosa gaster dan duodeneum, yang dapat menimbulkan
ulkus gaster dan duodenum. Pemakaian obat-obat penekan
asam lambung dapat mengakibatkan peradangan terjadi pada
korpus gaster.

4. Anamnesis Adanya gangguan saluran cerna seperti muntah, mual, diare,


nyeri perut, dan gejala dispepsia lainnya.
5. Pemeriksaan fisik Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan
6. Kriteria Penegakan diagnosis adalah dengan metode invasif dan non
diagnosis invasif.
Diagnosa pasti dari penyakit ini berdasarkan biopsi.
7. Pemeriksaan Tes invasif (endoskopi)
Penunujang  Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi
 Test Urea cepat pada jaringan biopsi
 Kultur bakteri
 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode non invasif
 Tes Imunoassay untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter
pylori
 Tes Urine dan Saliva untuk mendeteksi Antibodi
Helicobacter pylori
 Tes Feses untuk Antigen Helicobacter pylori
 Tes Napas Urea

8. Tatalaksana  Mengeliminasi secara lengkap dari organisme


 Regimen terapi yang dikatakan berhasil jika dapat
menyembuhkan lebih dari 80% subjek yang diterapi
 Efek samping minimal
 Tidak menginduksi resistensi bakteri
Terapi eradikasi H. pylori diberikan selama 7-14 hari:
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam +
amoksisilin (50 mg/kgBB/hari/12) + clarithromycin (15
mg/kgBB/hari/12 jam)
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam +
amoksisilin (50 mg/kggBB/hari/12 jam) + metronidazole
(20 mg/kgBB/hari/12 jam)
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari +
clarithromycin (15mg/kggBB/hari/12 jam) +
metronidazole (20 mg/kgBB/hari
9. Edukasi  Konseling: menghindari faktor yang meningkatkan resiko
dispepsia dan ulkus peptikum
 Selama terapi eradikasi, maka obat-obatan NSAIDs mesti
dihentikan.
 Diberitahu tentang efektifikasi terapi eradikasi
 Pentingnya menyelesaikan regimen obat inisial
Pencegahan
 Antibiotik untuk pencegahan sangat tidak dianjurkan
 Vaksin Helicobacter pylori (Helicobacter pylori urease +
enterotoxin E. Coli) à efektifitas sangat rendah
 Perbaiki hygiene dan gizi anak
10. Komplikasi Prognosis
dan Prognosis  Tergantung dari penanganannya
 Dideteksi lebih dini dan diterapi adekuat komplikasi
minimal
 Terlambat didiagnosa atau terapi tidak
adekuatkomplikasi lanjut
Komplikasi
 Ulkus dengan pendarahan gastrointestinal
 Kanker
 Relaps atau resisten terhadap obat

11. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker.


Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease,
Wyllie, Elsevier, 2006 Textbook of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor &
Francis, 2004

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

MARASMUS
ICD 10 : E 41

1. Definisi Terlihat sangat kurus dan atau BB/TB atau BB/PB


Anak 0-5 tahun < - 3SD berdasarkan grafik BB/TB WHO tahun
2006 untuk dan grafik BB/TB CDC 2000 untuk anak > 5 tahun
kurang dari 70%

2. Anamnesis Pada dasarnya terdapat kegagalan pertumbuhan, anaknya cengeng


atau apatis. Keluhan yang paling sering adalah diare kronik dengan
atau muntah. Kadang-kadang sangat lapar atau sebaliknya, dapat
menjadi anorexia. Kesulitan makan dapat terjadi karena pemberian
makan yang salah, juga dapat berhubungan dengan infeksi kronik.
Timbulnya keluhan gangguan-gangguan ini dapat dicetuskan oleh
suatu infeksi akut. Gangguan-gangguan yang timbul berupa: gejala
dehidrasi (buang air kecil terakhir lebih dari 6 jam yang lalu), mata
cekung, kaki tangan dingin, riwayat nutrisi yang buruk, pernah
kontak dengan penderita campak atau tuberkulosis paru, pernah
sakit campak dalam 3 bulan terakhir, riwayat kematian dari kakak
atau adik, berat badan lahir yang rendah, dan gangguan
perkembangan.

3. Pemeriksaan  Tampak sangat kurus, hingga seperti tulang terbungkus kulit


Fisik  Wajah seperti orang tua
 Cengeng, rewel
 Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai
tidak ada (celana longgar/baggy pants)
 Perut umumnya cekung
 Tulang rusuk menonjol (Iga gambang/piano sign)
 Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) 
diare persisten

4. Kriteria Dasar Diagnosis:


Diagnosis  Usia ≤ 5 tahun dengan growth chart WHO 2006, Z score < -3SD
 Usia > 5 tahun memakai CDC 2000, BB/TB < 70%
 Tanpa edema simetris

5. Diagnosis  Setelah menetapkan diagnosis gizi buruk, tetapkan kondisi!


Menetapkan 5 Kondisi berdasarkan:

Tanda Bahaya & Kondisi


Tanda Penting I II III IV V
Renjatan (Shock) + - - - -
Lethargis (Tidak Sadar) + + - + -
Muntah/Diare/Dehidras
+ + + - -
i

 Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan


penyerta), secara rutin:
 TBC  standar profesi TBC
 ISK  standard profesi ISK
 Infeksi telinga kronis/mastoiditis  standar profesi THT
 Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)

6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah rutin
Penunjang 2. Urine rutin
3. Feses rutin
4. Gula darah sewaktu
5. Elektrolit: natrium, kalium
6. Analisis diet (kuantitas makanan/food recall, kualitas
makanan/food frequency)
7. Kimia darah: albumin, globulin, total protein
8. Foto thoraks
9. Mantoux test

8. Tatalaksana

Tatalaksana

1. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase

Stabilisasi Rehabilitas Tindak


Transisi
No. Tindakan i Lanjut
H 1-2 H 3-7 H 8-14
Mg 3-6 Mg 7-26
Atasi/cegah
1
hipoglikemia
Atasi/cegah
2
hipotermia
Atasi/cegah
3
dehidrasi
Perbaiki ggn
4
elektrolit
5 Obati infeksi
Perbaiki def. +Fe
6 Tanpa Fe
nutrien mikro
Makanan stab.
7
Trans
Makanan
8
tumbuh kejar
9 Stimulasi

Siapkan tindak
10
lanjut

B. Urutan Pelaksanaan

B.1. Tatalaksana Fase Stabilisasi Awal dan Lanjutan Setiap Kondisi


B.1.1. Kondisi I
Stabilisasi awal
 2 jam I :
- O2 1-2 l/menit, pasang NGT
- Pasang IVFD RLG 5% (RL + D10% 1:1)
- D10% IV bolus dosis 5 ml/kgBB
- ReSoMal 5 ml/kgBB/NGT
 Jam I: IVFD RLG 5% 15 ml/kgBB selama 1 jam (5
tts/menit/kgBB  makro)
 Jam II:
- Nadi kuat, frek nafas ↓  IVFD sampai 1 jam berikutnya,
ReSoMal (sesuai kemampuan)
- Nadi dan frekuensi napas tetap tinggi  IVFD RLG 5% 4 ml/
kgBB/jam (1 tts/kgBB/menit)
 10 Jam II
- IVFD diteruskan (sementara)
- ReSoMal selang-seling tiap jam dengan F-75
- ASI (+) diteruskan setelah F-75
- Catat nadi, frekuensi napas tiap 1 jam
Stabilisasi lanjutan bila telah:
- Rehidrasi  F-75 / 2 jam
- Diare (-)  resomal stop
- Diare (+)  resomal tetap diberikan setiap diare
 Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
 Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare
***Diare / muntah berkurang dapat menghabiskan sebagian besar F-
75

F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)

Bisa menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/4 jam

B.1.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali, Catat
nadi, napas tiap 30’

10 Jam II :

Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (tatalaksana kondisi I)

Rehidrasi  Resomal dan F 75 selang-seling tiap jam


***Diare (-)  resomal stop
Diare (+)  resomal : - Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
- Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare

B.1.3. Kondisi III


Stabilisasi awal : 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
(Oral/NGT)
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 4, Buku I Hal. 10)
10 Jam II :

Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD ( tatalaksana kondisi I)

Rehidrasi  Resomal dan F 75 selang-seling tiap jam


***Diare (-)  resomal stop
Diare (+)  resomal : - Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
- Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare

B.1.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% (Oral/NGT)

2 Jam I:
F-75 tiap 30 menit, ¼ jumlah yang harus diberikan tiap 2 jam (NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)

Lethargis (+) **Lethargis (-)


F-75 / 30’, ¼ jumlah/2 jam (NGT) 10 jam berikutnya:
Catat nadi, frekuensi napas dan F-75 - F-75/2 jam (oral/NGT)
tiap 30’ - Nadi, napas, kesadaran tiap
Penyebab lain? 1 jam
- ASI

Lethargis (-)**
Stabilisasi lanjutan: F-

75/2 jam
***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)

Bisa menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/4 jam

B.1.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30

10 Jam II:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75

Stabilisasi lanjutan: F 75/2 jam


***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)

Bisa menghabiskan sebagian besar F-75  F-75/4 jam

B.2. Fase Transisi


 Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi, mulai pemberian
makanan peroral dengan menilai keadaan diare dan memperhatikan
kemampuan makan, digesti, dan absorpsi saluran cerna.
- F-75  F-100/4 jam, dengan volume F 75 yang terakhir (Tab. F-75)
dipertahankan 2 hari, catat nadi, frek. napas, dan asupan F-100/4 jam
(Tabel 7)
- Hari ke-3  F-100 (Tabel F-100) tiap 4 Jam  dinaikkan 10 ml sampai
tidak mampu menghabiskkan (tidak melebihi jumlah maksimal 220
cc/kg BB pada tabel F-100)
- Hari ke-4  F-100/4 jam (Tabel F-100)
Pertahankan sampai hari ke 7-14 atau sesuai dengan kondisi anak.

B.3. Fase Rehabilitasi


 Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi/transisi, kemampuan
makan baik.
BB < 7 Kg BB ≥ 7 Kg
- F-100 - F-100
- Makanan Lunak/Lembik - Mak. Lunak/Lembik dan Mak. Biasa
- Sari buah - Buah

B.4. Persiapan untuk Tindak Lanjut di Rumah


Indikasi Pulang:
- Anoreksia teratasi/intake makanan sudah adekuat
- Infeksi teratasi, pengobatan lanjutan dapat dilakukan dipelayanan
kesehatan terdekat
- Ibu/Keluarga dapat merawatnya di rumah

C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5 mg
Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari
hipoglikemia, hipotermia, sekali selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau infeksi
saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam waktu Ampisilin IV atau IM (50 I diikuti dengan:
48 jam tambahkan mg/kg) setiap 6 jam Amoksisilin oral (15
selama 2 hari mg/kg), setiap 8 jam
selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang
membutuhkan tambahan Antibiotik khusus
antibiotik

D. Mikronutrien dan Elektrolit


D.1. Vitamin A
Umur Dosis
< 6 bulan 50.000 SI ( ½ kapsul biru)
6-11 bulan 100.000 SI (1 kapsul biru)
1-5 tahun 200.000 SI (1 kapsul merah)

Jadwal dan dosis Pemberian Vitamin A


Gejala Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3
Tidak ada gejala mata atau tidak Diberi Tidak diberi Tidak diberi
pernah sakit campak dalam 3 kapsul dengan kapsul kapsul
bulan terakhir dosis sesuai
umur
Ada salah satu gejala: Diberi kapsul Diberi Diberi kapsul
dengan dosis kapsul dengan dengan dosis
sesuai umur dosis sesuai sesuai umur
- Bercak / Bitot umur
- Nanah/radang
- Ulkus keruh
- Ulkus kornea
- Pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir

D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5 Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60 mg Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
Besi elemental dan 0,25 mg
Asam Folat) Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Sirup Besi
Setiap 5 ml mengandung Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15 mg)
30 mg Besi elemental Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30 mg)

Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia
berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari ke-
14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih sampai
kadar Hb normal selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.

D.3. Asam Folat


5 mg/hari pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari

D.4. Elekmin dan ReSoMal (lihat lampiran)


Tambahkan elekmin 1 ml untuk setiap 50 ml F75/F100

E. Transfusi
Jika Hasil Pemeriksaan Hb atau Ht Tatalaksananya
- Hb < 4,0 g/dl Berikan transfusi darah segar sebanyak 10
ml/kgBB dalam waktu 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung gunakan Packet Red Cell untuk
transfusi dalam jumlah yang sama
Atau Berikan Furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada
saat transfusi dimulai.
- Hb 4,0-6,0 g/dl disertai distres Hentikan semua pemberian cairan lewat
pernafasan atau tanda gagal jantung oral/NGT selama anak ditransfusi.

9. Edukasi 1. Pola makan yang baik


2. Anjuran mengunjungi/kontrol fasilitas kesehatan (posyandu,
puskesmas, rumah sakit) secara berkala

10. Prognosis Tergantung beratnya komplikasi atau penyakit penyerta


Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Sudivisi Nutrisi - Penyakit Metabolik Departemen IKA RSMH
Kritis Palembang
14. Indikator 1. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
Medis 2. BB/PB atau BB/TB > -3 SD
3. Komplikasi sudah teratasi
4. Ibu telah mendapat konseling gizi
5. Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kg BB/minggu selama 2 minggu
berturut-turut
6. Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat
dihabiskan
15. Target Gizi baik

16. Kepustakaan Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I dan II
Kemenkes RI 2013

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

KWASHIORKOR
ICD 10 : E 40

1. Definisi Terlihat sangat kurus dan atau edema dan atau BB/TB atau
BB/PB
Anak 0-5 tahun < - 3SD berdasarkan grafik BB/TB WHO tahun
2006 untuk dan grafik BB/TB CDC 2000 untuk anak > 5 tahun
2. Anamnesis Awal:
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
 Lama dan frekuensi muntah atau diare, serta tampilan dari
bahan muntah atau diare
 Saat terakhir kencing
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Lanjutan:
 Kebiasaan makan sebelum sakit
 Makan/minum/menyusui pada saat sakit
 Jumlah makanan dan cairan yang didapat dalam beberapa
hari terakhir
 Kontak dengan penderita campak atau tuberkulosis paru
 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
 Kejadian dan penyebab kematian dari kakak atau adik
 Berat badan lahir
 Tumbuh kembang, misalnya: duduk, berdiri, dan lain-lain
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan di Posyandu
 Apakah sudah mendapatkan imunisasi lengkap
3. Pemeriksaan Gizi buruk dengan edema:
Fisik  Perubahan status mental: apatis & rewel
 Rambut tipis, kemerahan spt warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa sakit, mudah rontok
 Wajah membulat dan sembab
 Pandangan mata sayu
 Pembesaran hati
 Minimal pada kedua punggung kaki, bersifat pitting edema
 Derajat edema:
+  Kedua punggung kaki
++  Tungkai & lengan bawah
+++  Seluruh tubuh (wajah & perut)
 Derajat edema untuk menentukan jumlah cairan yang
diberikan
 Otot mengecil (hipotrofi)
 Kelainan kulit berupa bercak merah muda yg meluas &
 berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
(crazy pavement dermatosis)
 Sering disertai penyakit infeksi (umumnya akut)  anemia
dan diare
Gizi buruk tanpa edema:
 Tampak sangat kurus, hingga seperti tulang terbungkus
kulit
 Wajah seperti orang tua
 Cengeng, rewel
 Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai
tidak ada (celana longgar/baggy pants)
 Perut umumnya cekung
 Tulang rusuk menonjol (Iga gambang/piano sign)

Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang)
 diare persisten
4. Kriteria Dasar Diagnosis:
Diagnosis  Usia ≤ 5 tahun dengan growth chart WHO 2006, Z score <
-3SD
 Usia > 5 tahun memakai CDC 2000, BB/TB < 70%
 Klasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis
Langkah Diagnosis:
 Tetapkan gizi buruk
 Tetapkan klasifikasi / bentuk klinik gizi buruk
 Tetapkan kondisi
 Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan
penyerta), secara rutin:
 TBC  standard profesi TBC
 ISK  standard profesi ISK
 Infeksi telinga kronis/mastoiditis  standar profesi
THT
 Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)

Indikasi Rawat: Semua penderita gizi buruk berat dirawat


5. Diagnosis  Setelah menetapkan diagnosis gizi buruk, tetapkan kondisi!
Menetapkan 5 Kondisi berdasarkan:
Kondisi
Tanda Bahaya & Tanda Penting
I II III IV V
Renjatan (Shock) + - - - -
Lethargis (Tidak Sadar) + + - + -
Muntah/Diare/Dehidrasi + + + - -

 Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan


penyerta), secara rutin:
 TBC  standar profesi TBC
 ISK  standard profesi ISK
 Infeksi telinga kronis/mastoiditis  standar profesi
THT
 Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah rutin
Penunjang 2. Urine rutin
3. Feses rutin
4. Gula darah sewaktu
5. Elektrolit: natrium, kalium
6. Analisis diet (kuantitas makanan/food recall, kualitas
makanan/food frequency)
7. Kimia darah: albumin, globulin, total protein
8. Foto thoraks
9. Mantoux test

10. Tatalaksan

Tatalaksana
1. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase

Stabilisasi Tindak
Transisi Rehabilitasi
No. Tindakan Lanjut
H 8-14 Mg 3-6
H 1-2 H 3-7 Mg 7-26
Atasi/cegah
1
hipoglikemia
Atasi/cegah
2
hipotermia
Atasi/cegah
3
dehidrasi
Perbaiki ggn
4
elektrolit
5 Obati infeksi
Perbaiki def. +Fe
6 Tanpa Fe
nutrien mikro
Makanan stab.
7
Trans
Makanan tumbuh
8
kejar
9 Stimulasi
Siapkan tindak
10
lanjut

B. Urutan Pelaksanaan

B.1. Tatalaksana Fase Stabilisasi Awal dan Lanjutan Setiap Kondisi


B.1.1. Kondisi I
Stabilisasi awal
 2 jam I :
- O2 1-2 l/menit, pasang NGT
- Pasang IVFD RLG 5% (RL + D10% 1:1)
- D10% IV bolus dosis 5 ml/kgBB
- ReSoMal 5 ml/kgBB/NGT
 Jam I: IVFD RLG 5% 15 ml/kgBB selama 1 jam (5
tts/menit/kgBB  makro)
 Jam II:
- Nadi kuat, frek nafas ↓  IVFD sampai 1 jam berikutnya,
ReSoMal (sesuai kemampuan)
- Nadi dan frekuensi napas tetap tinggi  IVFD RLG 5% 4
ml/
kgBB/jam (1 tts/kgBB/menit)
 10 Jam II
- IVFD diteruskan (sementara)
- ReSoMal selang-seling tiap jam dengan F-75
- ASI (+) diteruskan setelah F-75
- Catat nadi, frekuensi napas tiap 1 jam
Stabilisasi lanjutan bila telah:
- Rehidrasi  F-75 / 2 jam
- Diare (-)  resomal stop
- Diare (+)  resomal tetap diberikan setiap diare
 Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
 Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare

***Diare / muntah berkurang dapat menghabiskan sebagian besar


F-75
F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)

Bisa menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/4 jam

B.1.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali,
Catat
nadi, napas tiap 30’
10 Jam II :

Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (tatalaksana kondisi I)

Rehidrasi  Resomal dan F 75 selang-seling tiap jam


***Diare (-)  resomal stop
Diare (+)  resomal : - Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
- Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare
B.1.3. Kondisi III
Stabilisasi awal : 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
(Oral/NGT)
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 4, Buku I Hal.
10)
10 Jam II :

Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD ( tatalaksana kondisi I)

Rehidrasi  Resomal dan F 75 selang-seling tiap jam


***Diare (-)  resomal stop
Diare (+)  resomal : - Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
- Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare

B.1.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
(Oral/NGT)

2 Jam I:
F-75 tiap 30 menit, ¼ jumlah yang harus diberikan tiap 2 jam
(NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)

Lethargis (+) **Lethargis (-)


F-75 / 30’, ¼ jumlah/2 jam (NGT) 10 jam berikutnya:
Catat nadi, frekuensi napas dan F-75 - F-75/2 jam (oral/NGT)
tiap 30’ - Nadi, napas, kesadaran
tiap
Penyebab lain? 1 jam
- ASI

Lethargis (-)**
Stabilisasi lanjutan: F-
75/2 jam
***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)

Bisa menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/4 jam

B.1.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30’

10 Jam II:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75

Stabilisasi lanjutan: F 75/2 jam


***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)

Bisa menghabiskan sebagian besar F-75  F-75/4 jam

B.2. Fase Transisi


 Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi, mulai pemberian
makanan peroral dengan menilai keadaan diare dan memperhatikan
kemampuan makan, digesti, dan absorpsi saluran cerna.

- F-75  F-100/4 jam, dengan volume F 75 yang terakhir (Tab. F-75)


dipertahankan 2 hari, catat nadi, frek. napas, dan asupan F-100/4
jam (Tabel 7)
- Hari ke-3  F-100 (Tabel F-100) tiap 4 Jam  dinaikkan 10 ml
sampai tidak mampu menghabiskkan (tidak melebihi jumlah
maksimal 220 cc/kgBB pada tabel F-100)
- Hari ke-4  F-100/4 jam (Tabel F-100)
Pertahankan sampai hari ke 7-14 atau sesuai dengan kondisi
anak.

B.3. Fase Rehabilitasi


 Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi/transisi,
kemampuan makan baik.
BB < 7 Kg BB ≥ 7 Kg
- F-100 - F-100
- Makanan Lunak/Lembik - Mak. Lunak/Lembik dan Mak. Biasa
- Sari buah - Buah
B.4. Persiapan untuk Tindak Lanjut di Rumah
Indikasi Pulang:
- Anoreksia teratasi/intake makanan sudah adekuat
- Infeksi teratasi, pengobatan lanjutan dapat dilakukan dipelayanan
kesehatan terdekat
- Ibu/Keluarga dapat merawatnya di rumah

C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5 mg
Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari sekali
hipoglikemia, hipotermia, selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau
infeksi saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam Ampisilin IV atau IM I diikuti dengan: Amoksisilin
waktu 48 jam tambahkan (50 mg/kg) setiap 6 jam oral (15 mg/kg), setiap 8 jam
selama 2 hari selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang Antibiotik khusus
membutuhkan tambahan
antibiotik

D. Mikronutrien dan Elektrolit


D.1. Vitamin A
Umur Dosis
< 6 bulan 50.000 SI ( ½ kapsul biru)
6-11 bulan 100.000 SI (1 kapsul biru)
1-5 tahun 200.000 SI (1 kapsul merah)

Jadwal dan dosis Pemberian Vitamin A


Gejala Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3
Tidak ada gejala mata atau Diberi kapsul Tidak diberi Tidak diberi
tidak pernah sakit campak dengan dosis kapsul kapsul
dalam 3 bulan terakhir sesuai umur
Ada salah satu gejala: Diberi kapsul Diberi kapsul Diberi kapsul
dengan dosis dengan dosis dengan dosis
- Bercak / Bitot sesuai umur sesuai umur sesuai umur
- Nanah/radang
- Ulkus keruh
- Ulkus kornea
- Pernah sakit campak
dalam 3 bulan
terakhir

D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5
Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60 mg Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
Besi elemental dan 0,25 mg
Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Asam Folat)
Sirup Besi
Setiap 5 ml mengandung Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15 mg)
30 mg Besi elemental Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30 mg)

Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia
berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari
ke-14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih
sampai kadar Hb normal selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.
D.3. Asam Folat
5 mg/hari pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari
D.4. Elekmin dan ReSoMal (lihat lampiran)
Tambahkan elekmin 1 ml untuk setiap 50 ml F75/F100

E. Transfusi
Jika Hasil Pemeriksaan Hb atau Ht Tatalaksananya
- Hb < 4,0 g/dl Berikan transfusi darah segar sebanyak 10
ml/kgBB dalam waktu 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung gunakan Packet Red Cell untuk
transfusi dalam jumlah yang sama
Atau Berikan Furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada
saat transfusi dimulai.
- Hb 4,0-6,0 g/dl disertai distres Hentikan semua pemberian cairan lewat
pernafasan atau tanda gagal jantung oral/NGT selama anak ditransfusi.
9. Edukasi 1. Pola makan yang baik
2. Anjuran mengunjungi/kontrol fasilitas kesehatan (posyandu,
puskesmas, rumah sakit) secara berkala

10. Prognosis Tergantung beratnya komplikasi atau penyakit penyerta


Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Sudivisi Nutrisi - Penyakit Metabolik Departemen IKA RSMH
Kritis Palembang
14. Indikator 1. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
Medis 2. BB/PB atau BB/TB > -3 SD
3. Komplikasi sudah teratasi
4. Ibu telah mendapat konseling gizi
5. Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kg BB/minggu selama 2
minggu
berturut-turut
6. Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat
dihabiskan
15. Target Gizi baik
16. Kepustakaan Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I dan II
Kemenkes RI 2013

Pangkalan Balai, Januari 2018


dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina / IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
MARASMUS KWASHIORKOR
ICD 10 : E 42

1. Definisi Terlihat sangat kurus dan atau edema dan atau BB/TB atau BB/PB
Anak 0-5 tahun < - 3SD berdasarkan grafik BB/TB WHO tahun
2006 untuk dan grafik BB/TB CDC 2000 untuk anak > 5 tahun

2. Anamnesis Awal:
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
 Lama dan frekuensi muntah atau diare, serta tampilan dari
bahan muntah atau diare
 Saat terakhir kencing
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin

Lanjutan:
 Kebiasaan makan sebelum sakit
 Makan/minum/menyusui pada saat sakit
 Jumlah makanan dan cairan yang didapat dalam beberapa hari
terakhir
 Kontak dengan penderita campak atau tuberkulosis paru
 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
 Kejadian dan penyebab kematian dari kakak atau adik
 Berat badan lahir
 Tumbuh kembang, misalnya: duduk, berdiri, dan lain-lain
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan di Posyandu
 Apakah sudah mendapatkan imunisasi lengkap

3. Pemeriksaan Gizi buruk dengan edema:


Fisik  Perubahan status mental: apatis & rewel
 Rambut tipis, kemerahan spt warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa sakit, mudah rontok
 Wajah membulat dan sembab
 Pandangan mata sayu
 Pembesaran hati
 Minimal pada kedua punggung kaki, bersifat pitting edema
 Derajat edema:
+  Kedua punggung kaki
++  Tungkai & lengan bawah
+++  Seluruh tubuh (wajah & perut)
 Derajat edema untuk menentukan jumlah cairan yang
diberikan
 Otot mengecil (hipotrofi)
 Kelainan kulit berupa bercak merah muda yg meluas &
 berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
 Sering disertai penyakit infeksi (umumnya akut)  anemia dan
diare

Gizi buruk tanpa edema:


 Tampak sangat kurus, hingga seperti tulang terbungkus kulit
 Wajah seperti orang tua
 Cengeng, rewel
 Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai
tidak ada (celana longgar/baggy pants)
 Perut umumnya cekung
 Tulang rusuk menonjol (Iga gambang/piano sign)
 Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) 
diare persisten
4. Kriteria Dasar Diagnosis:
Diagnosis  Usia ≤ 5 tahun dengan growth chart WHO 2006, Z score < -3SD
 Usia > 5 tahun memakai CDC 2000, BB/TB < 70%
 Klasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis

Langkah Diagnosis:
 Tetapkan gizi buruk
 Tetapkan klasifikasi / bentuk klinik gizi buruk
 Tetapkan kondisi
 Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan
penyerta), secara rutin:
 TBC  standard profesi TBC
 ISK  standard profesi ISK
 Infeksi telinga kronis/mastoiditis  standar profesi THT
 Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)

Indikasi Rawat: Semua penderita gizi buruk berat dirawat

5. Diagnosis  Setelah menetapkan diagnosis gizi buruk, tetapkan kondisi!


Menetapkan 5 Kondisi berdasarkan:
Kondisi
Tanda Bahaya & Tanda Penting
I II III IV V
Renjatan (Shock) + - - - -
Lethargis (Tidak Sadar) + + - + -
Muntah/Diare/Dehidrasi + + + - -

 Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan


penyerta), secara rutin:
 TBC  standar profesi TBC
 ISK  standard profesi ISK
 Infeksi telinga kronis/mastoiditis  standar profesi THT
 Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)

6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah rutin
Penunjang 2. Urine rutin
3. Feses rutin
4. Gula darah sewaktu
5. Elektrolit: natrium, kalium
6. Analisis diet (kuantitas makanan/food recall, kualitas
makanan/food frequency)
7. Kimia darah: albumin, globulin, total protein
8. Foto thoraks
9. Mantoux test

10. Tatalaksana

Tatalaksana

1. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase

No. Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi Tindak


Lanjut
H 1-2 H 3-7 H 8-14 Mg 3-6
Mg 7-26
Atasi/cegah
1
hipoglikemia
Atasi/cegah
2
hipotermia
Atasi/cegah
3
dehidrasi
Perbaiki ggn
4
elektrolit
5 Obati infeksi
Perbaiki def. +Fe
6 Tanpa Fe
nutrien mikro
Makanan stab.
7
Trans
Makanan tumbuh
8
kejar
9 Stimulasi
Siapkan tindak
10
lanjut

B. Urutan Pelaksanaan
B.1. Tatalaksana Fase Stabilisasi Awal dan Lanjutan Setiap Kondisi
B.1.1. Kondisi I
Stabilisasi awal
 2 jam I :
- O2 1-2 l/menit, pasang NGT
- Pasang IVFD RLG 5% (RL + D10% 1:1)
- D10% IV bolus dosis 5 ml/kgBB
- ReSoMal 5 ml/kgBB/NGT
 Jam I: IVFD RLG 5% 15 ml/kgBB selama 1 jam (5
tts/menit/kgBB  makro)
 Jam II:
- Nadi kuat, frek nafas ↓  IVFD sampai 1 jam berikutnya,
ReSoMal (sesuai kemampuan)
- Nadi dan frekuensi napas tetap tinggi  IVFD RLG 5% 4 ml/
kgBB/jam (1 tts/kgBB/menit)
 10 Jam II
- IVFD diteruskan (sementara)
- ReSoMal selang-seling tiap jam dengan F-75
- ASI (+) diteruskan setelah F-75
- Catat nadi, frekuensi napas tiap 1 jam
Stabilisasi lanjutan bila telah:
- Rehidrasi  F-75 / 2 jam
- Diare (-)  resomal stop
- Diare (+)  resomal tetap diberikan setiap diare
 Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
 Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare

***Diare / muntah berkurang dapat menghabiskan sebagian besar F-


75

F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)

Bisa menghabiskan sebagian besar F-75


F-75/4 jam

B.1.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali, Catat
nadi, napas tiap 30’
10 Jam II :

Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (tatalaksana kondisi I)

Rehidrasi  Resomal dan F 75 selang-seling tiap jam


***Diare (-)  resomal stop
Diare (+)  resomal : - Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
- Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare
B.1.3. Kondisi III
Stabilisasi awal : 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
(Oral/NGT)
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 4, Buku I Hal. 10)
10 Jam II :

Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD ( tatalaksana kondisi I)

Rehidrasi  Resomal dan F 75 selang-seling tiap jam


***Diare (-)  resomal stop
Diare (+)  resomal : - Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
- Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare

B.1.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% (Oral/NGT)

2 Jam I:
F-75 tiap 30 menit, ¼ jumlah yang harus diberikan tiap 2 jam (NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)

Lethargis (+) **Lethargis (-)


F-75 / 30’, ¼ jumlah/2 jam (NGT) 10 jam berikutnya:
Catat nadi, frekuensi napas dan F-75 - F-75/2 jam (oral/NGT)
tiap 30’ - Nadi, napas, kesadaran tiap
Penyebab lain? 1 jam
- ASI

Lethargis (-)**
Stabilisasi lanjutan: F-
75/2 jam
***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)


Bisa menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/4 jam

B.1.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30’

10 Jam II:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75

Stabilisasi lanjutan: F 75/2 jam


***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75

F-75/3 jam (sisanya lewat NGT)

Bisa menghabiskan sebagian besar F-75  F-75/4 jam

B.2. Fase Transisi


 Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi, mulai pemberian
makanan peroral dengan menilai keadaan diare dan memperhatikan
kemampuan makan, digesti, dan absorpsi saluran cerna.

- F-75  F-100/4 jam, dengan volume F 75 yang terakhir (Tab. F-75)


dipertahankan 2 hari, catat nadi, frek. napas, dan asupan F-100/4 jam
(Tabel 7)
- Hari ke-3  F-100 (Tabel F-100) tiap 4 Jam  dinaikkan 10 ml sampai
tidak mampu menghabiskkan (tidak melebihi jumlah maksimal 220
cc/kgBB pada tabel F-100)
- Hari ke-4  F-100/4 jam (Tabel F-100)
Pertahankan sampai hari ke 7-14 atau sesuai dengan kondisi anak.

B.3. Fase Rehabilitasi


 Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi/transisi, kemampuan
makan baik.
BB < 7 Kg BB ≥ 7 Kg
- F-100 - F-100
- Makanan Lunak/Lembik - Mak. Lunak/Lembik dan Mak. Biasa
- Sari buah - Buah

B.4. Persiapan untuk Tindak Lanjut di Rumah


Indikasi Pulang:
- Anoreksia teratasi/intake makanan sudah adekuat
- Infeksi teratasi, pengobatan lanjutan dapat dilakukan dipelayanan
kesehatan terdekat
- Ibu/Keluarga dapat merawatnya di rumah

C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5 mg
Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari
hipoglikemia, hipotermia, sekali selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau infeksi
saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam waktu Ampisilin IV atau IM I diikuti dengan:
48 jam tambahkan (50 mg/kg) setiap 6 jam Amoksisilin oral (15
selama 2 hari mg/kg), setiap 8 jam
selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang Antibiotik khusus
membutuhkan tambahan antibiotik

D. Mikronutrien dan Elektrolit


D.1. Vitamin A
Umur Dosis
< 6 bulan 50.000 SI ( ½ kapsul biru)
6-11 bulan 100.000 SI (1 kapsul biru)
1-5 tahun 200.000 SI (1 kapsul merah)

Jadwal dan dosis Pemberian Vitamin A


Gejala Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3
Tidak ada gejala mata atau tidak Diberi Tidak diberi Tidak diberi
pernah sakit campak dalam 3 bulan kapsul dengan kapsul kapsul
terakhir dosis sesuai
umur
Ada salah satu gejala: Diberi kapsul Diberi Diberi kapsul
dengan dosis kapsul dengan dengan dosis
- Bercak / Bitot sesuai umur dosis sesuai sesuai umur
- Nanah/radang umur
- Ulkus keruh
- Ulkus kornea
- Pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir

D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5 Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60
Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
mg Besi elemental dan
0,25 mg Asam Folat) Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Sirup Besi
Setiap 5 ml Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15 mg)
mengandung 30 mg
Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30 mg)
Besi elemental

Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia
berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari ke-
14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih sampai
kadar Hb normal selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.
D.3. Asam Folat
5 mg/hari pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari

D.4. Elekmin dan ReSoMal (lihat lampiran)


Tambahkan elekmin 1 ml untuk setiap 50 ml F75/F100
E. Transfusi
Jika Hasil Pemeriksaan Hb atau Ht Tatalaksananya
- Hb < 4,0 g/dl Berikan transfusi darah segar sebanyak 10
ml/kgBB dalam waktu 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung gunakan Packet Red Cell untuk
transfusi dalam jumlah yang sama
Atau Berikan Furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada
saat transfusi dimulai.
- Hb 4,0-6,0 g/dl disertai distres Hentikan semua pemberian cairan lewat
pernafasan atau tanda gagal oral/NGT selama anak ditransfusi.
jantung

9. Edukasi 1. Pola makan yang baik


2. Anjuran mengunjungi/kontrol fasilitas kesehatan (posyandu,
puskesmas, rumah sakit) secara berkala

10. Prognosis Tergantung beratnya komplikasi atau penyakit penyerta


Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Sudivisi Nutrisi - Penyakit Metabolik Departemen IKA RSMH
Kritis Palembang
14. Indikator 1. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
Medis 2. BB/PB atau BB/TB > -3 SD
3. Komplikasi sudah teratasi
4. Ibu telah mendapat konseling gizi
5. Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kg BB/minggu selama 2 minggu
berturut-turut
6. Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat
dihabiskan

15. Target Gizi baik

16. Kepustakaan Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I dan II
Kemenkes RI 2013

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

ANEMIA DEFISIENSI Fe
ICD 10 : D.50.9
1. Definisi Adalah anemia yang disebabkan defisiensi zat Besi untuk
sintesis hemoglobin.

2. Anamnesis Anamnesis:
 Anak tampak pucat, lemah, mudah lelah, sering berdebar-
debar dan sakit tulang.
 Faktor predisposisi:
- Defisiensi ibu waktu hamil
- Bayi berat badan lahir rendah
- kelahiran kembar atau
perdarahan
- Pengikatan tali pusat terlalu
cepat
- Pola dan jumlah makanan tak
adekuat
- Infeksi, infestasi parasit.
3. Pemeriksaan 1. Anemis, tidak ikterus, mungkin ditemukan atrofi papil lidah,
fisik pada anemia kronis dapat terjadi pembesaran jantung dan
bising sistolik fungsional yang dinamakan dinamakan “Pan
Systolik Murmur”.
2. Hepar dan lien tidak membesar. Biasanya tidak tampak sakit
berat karena perjalanan penyakit menahun kecuali bila Hb
rendah sekali.

3. Kriteria Anamnesis pucat kronik, dan kriteria diagnosis menurut


Diagnosis WHO:

- Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia


- Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N: 32-35%)
- Kadar Fe serum < 50Ug/dl ( N: 80-180 U/dl)
- Saturasi transferin < 15% (N: 20-50%)
- Tambahan: ferritin < 20 mg/ml

4. Diagnosis Anemia defisiensi besi


5. Diffrential Anemia Penyakit Kronik
diagnosis Thalasemia
Hemoglobinopati
6. Pemeriksaan Kadar Hb rendah, MCV < 79 CU, MCH < 27 μg, MCHC < 32%,
Penunujang hipokrom-mikrositik, poikilositosis, retikulosit tergantung
penyebab, serum iron merendah dan IBC meningkat, kadar
ferritin serum menurun.
7. Tatalaksana 1. Mencari faktor penyebab dan mengobati sesuai standar
profesi misalnya terhadap ankilostomiasis
2. Memberikan makanan yang banyak mengandung Heme Fe
seperti daging dan hati
1. Besi elemental 3-5 mg/kgBBdiberikan 3x sehari
Tranfusi. Diberikan packed red cell, apabila terdapat tanda-
tanda gangguan oksigenasi atau kadar Hb < 6 g%. Jumlah yang
diberikan = kenaikan Hb yang diinginkan X BB (kg) X 4, dengan
catatan makin rendah Hb anak maka dosis tiap kali transfusi
per hari menjadi semakin kecil (berkisar antara 5-10
cc/kgBB/hari)
8. Edukasi Menganjurkan pemberian ASI untuk bayi dan pemberian
preparat besi pada bayi prematur sampai usia 1 tahun atau
pemberian makanan tambahan yang mengandung suplemen
besi pada usia 4-6 bulan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis, Hb, Retikulosit ,feritin
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

ANEMIA HEMOLITIK ( THALASSEMIA )


ICD 10 : D.56

1. Definisi Merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang


disebabkan defek genetik (mutasi) pada gen-gen globin yang
ditandai oleh berkurangnya atau tidak disintesis satu atau lebih
rantai globin pembentuk hemoglobin.
2. Anamnesis Keluhan anemia umumnya : anak pucat yang lama (kronis),
lemah, mudah lelah, sering berdebar, perut membesar (akibat
hepatosplenomegali), gangguan pertumbuhan, riwayat transfusi
berulang, adanya riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
(thalassemia)
3. Pemeriksaan Anemis/pucat, pertumbuhan terganggu atau short stature,
fisik “Facies cooley”, pembesaran hati dan limpa, gizi kurang/buruk,
hiperpigmentasi kulit, pubertas terlambat.
2. Kriteria Anamnesis : Keluhan anemia umumnya disertai riwayat
Diagnosis penyakit yang sama dalam keluarga
Pemeriksaan Fisik : Anemis, wajah khas, pembesaran hati
dan limpa
Pemeriksaan Penunjang : Kadar Hb F lebih dari 11% dan
atau ditemukan Hb Patologis pada Hb analisa
3. Diagnosis Thalassemia β mayor
4. Diffrential - Anemia defesiensi Fe
diagnosis - Anemia Sideroblastik
- Anemia defisiensi G6PD

5. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunujang  Kadar Hb Rendah
 Retikulosit tinggi
 “Blood film“: anisositosis, poikilositosis, hipokrom, sel
target (+), fragmentosit, sel eritrosit muda (normoblast).
 Kadar Hb F lebih dari 30% dan atau ditemukan Hb
Patologis pada Hb analisa
Radiologi:
 Pada tulang-tulang panjang akan tampak gambaran
osteoporosis serta kortek tulang menipis akibat medulla
yang melebar.
Pada tulang tengkorak tampak atap tulang tengkorak yang
menebal, kadang-kadang tampak “Hair Brush Appearrance”.
6. Tatalaksana Pengobatan
1. Transfusi darah. Diberikan “Packed red cell leucodepleted”dan
untuk pertama kali diberikan bila Hb< 7 g/dl yang diperiksa
berturut-turut dengan jarak 2 minggu, atau Hb ≥7 g/dl
disertai gejala: perubahan muka, gangguan tumbuh kembang,
frkatur tulang dan terdapat hematopoeitik ekstra meduler.
Pada penanganan selanjutnya, trnasfusi diberikan bila Hb < 9
g/dl dan dipertahankan Hb 12 g/dl.
2. Pemberian “Iron Chelating Agent” atau kelasi besi jika
didapatkan kadar ferritin ≥ 1000. Preparat kelasi besi yang
digunakan ini adalah Deferiprone (ferriprox) dengan dosis 50-
100mg/hari (3x per hari), Deferasirox (exjade) dengan dosis
20-50 mg/hari (1x perhari).dan Deferoxamine (desferal)
dengan dosis 30-50 mg/kg selama 5 hari dalam seminggu
3. Diet yang adekuat, roboransia. Pemberian asam folat 2 x 5
mg/hari, vitamin E 2x 200 IU/hari, aspilet 80 mg jika
trombosit > 600.000/µl
9. Edukasi Pencegahan
 Seluruh keluarga diperiksa. Bila ada pembawa sifat diberikan
marriage counselling sebelum menikah.
 Saran Keluarga Berencana.
- Bila mendapatkan anak dengan fenotif normal, dianjurkan
untuk KB
- Bila tidak mendapatkan anak dengan fenotif normal, boleh
punya anak lagi dengan kemungkinan thalassemia atau
membawa sifat thalassemia.
 Pencegahan terhadap infeksi, misalnya infeksi saluran
pernapasan.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kadar Hb, Ferritin serum
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


ICD 10 : C.91.0
10. Definisi Adalah suatu keganasan pada seri granulopoetik ditandai
dengan akumulasi limfoblas di sumsum tulang dan merupakan
keganasan tersering pada anak.
Klasifikasi :
Kelompok “ French American British” (FAB), mengklasifikasikan
ALL dalam 3 golongan yaitu L 1, L2, dan L3. Klasifikasi FAB ini
dapat dipergunakan untuk meramalkan prognosa:
L1 : lebih baik dari L2.
L2 : lebih baik dari L3.
L3 : prognosa jelek
11. Anamnesis  Pucat mendadak, demam, perdarahan kulit berupa bercak
kebiruan, perdarahan dari organ tubuh lainnya misalnya
epistaksis, perdarahan gusi, hematuria dan melena.
 Bisa timbul mual, muntah, pusing dan nyeri pada sendi.
 Sering demam dengan sebab yang tidak jelas.
12. Pemeriksa  Anemis, demam, tanda-tanda perdarahan seperti petekia,
an fisik ekimosis, epistaksis, hematuria, dan melena.
 Nyeri pada tulang dan sendi (infiltrasi ke tulang).
 Hati dan limfa membesar bila terdapat infiltrat ke organ
tersebut.
 Apabila terjadi infiltrasi ke SSP dapat timbul gejala rangsang
meningeal dan tekanan intrakranial meninggi
13. Kriteria Gambaran klinis berupa pucat, demam, perdarahan
Diagnosis seperti memar spontan, purpura, gusi berdarah, infiltrasi
ke organ berupa nyeri tulang, limfadenopati,
hepatosplenomegali, muntah, penglihatan kabur.
14. Diagnosis LLA HR dan SR
15. Diffrential AML
diagnosis
16. Pemeriksa  Darah tepi: leukositosis atau hiperleukositosis yang hebat
an atau limfositosis relatif disertai gambaran penekanan
Penunujang sumsum tulang berupa anemia, trombositopenia, netropenia,
disertai adanya sel-sel blast (limfoblast > 5%)
 BMP: sistim eritropoetik, granulopoetik tertekan. Limfoblast
 10%
 Apabila terjadi infiltrasi ke SSP maka dapat ditemukan sel-
sel leukemia dalam cairan serebrospinalis
17. Tatalaksan Pengobatan
a  Menggunakan Protokol Indonesia 2006, yang terbagi
atas :
1. Protokol Indonesia 2006 – SR – A
2. Protokol Indonesia 2006 – SR – B
3. Protokol Indonesia 2006 – HR
18. Edukasi Mencegah perdarahan, infeksi selama dilakukan
kemoterapi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis dan laboratoris
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

HEMOFILIA
ICD 10 : D.68.311

1. Definisi Hemofilia merupakan suatu penyakit genetik atau


gangguan perdarahan yang bersifat herediter akibat
kekurangan faktor pembekuan VIII dan IX. Saat ini dikenal
2 bentuk hemofilia, yaitu hemofilia A karena kekurangan
faktor VIII (anti hemophilic factor) dan hemofilia B karena
kekurangan faktor IX (Christmas factor)
2. Anamnesis  Perdarahan yang sukar berhenti setelah atau tanpa
adanya trauma/operasi
 Perdarahan pada sendi dan otot yang mengenai
pembuluh darah besar.
 Riwayat/silsilah keluarga dengan hemofilia
3. Pemeriksaan Kebiruan pada kulit, perdarahan otot, sendi (deformitas
fisik pada sendi)
4. Kriteria - Kecenderungan terjadi perdarahan yang sukar berhenti
Diagnosis setelah suatu tindakan atau timbul kebiruan atau
hematoma setelah trauma ringan atau terjadinya
hemarthrosis
- Riwayat keluarga
- Masa pembekuan memanjang
- Masa protombin normal, masa protombin parsial
memanjang
- Masa pembekuan tromboplastin ( thromboplastin
generation test) abnormal

5. Diagnosis - Kecenderungan terjadi perdarahan yang sukar berhenti


setelah suatu tindakan atau timbul kebiruan atau
hematoma setelah trauma ringan atau terjadinya
hemarthrosis
- Riwayat keluarga
- Masa pembekuan memanjang
- Masa protombin normal, masa protombin parsial
memanjang
- Masa pembekuan tromboplastin ( thromboplastin
generation test) abnormal

6. Diffrential Penyakit Von Willebrand


diagnosis
7. Pemeriksaan  Darah tepi : pada saat awal normal (Hb, leukosit, trombosit)
Penunujang  Masa perdarahan normal, masa pembekuan memanjang,
rumpel leed negatif
 Plasma Tromboplastin Time (PTT) atau aPTT memanjang.
Protrombine Time (PT) dan Tromboplastin Time (TT) normal
 Pemeriksaan F VIII atau F IX kurang dari normal.
8. Tatalaksana Pengobatan/penanggulangan
a. Keadaan emergensi/penderita baru dan jenisnya belum jelas
diberikan plasma segar.
b. Pengobatan khusus tergantung jenis dan derajat hemofilia:
Hemofilia A diberi konsentrat faktor VIII
Hemofilia B diberi konsentrat faktor IX
Bila tidak ada konsentrat : Hemofilia A diberi Kriopresipitat
Hemofilia B diberi plasma segar
c. Pemberian konsentrat secara intravena selama 5-10 menit,
dosis sesuai derajat hemofilia
 Hemofilia Ringan : faktor pembekuan 5-10%, dosis
Konsentrat 10 Iμ/kgBB, akan meningkatkan faktor VIII
sebesar 20%
 Hemofilia Sedang : faktor pembekuan 1-5%, dosis
konsentrat 15-25 Iμ/kgBB, akan meningkatkan faktor
VIII sebesar 30-50%, dosis maintenans 10-15 Iμ/kgBB
setiap 8-12 jam
 Hemofilia Berat : faktor pembekuan < 1%, dosis
konsentrat 40-50 Iμ/kgBB, akan meningkatkan faktor
VIII sebesar 80-100%, dosis maintenans 20-25 Iμ/kgBB
setiap 8-12 jam
Pengobatan tergantung derajat hemofilia:
- Hemofilia berat : tidak menunggu
perdarahan,langsung terapi substitusi
dengan antihemofilia setiap hari sampai
mencapai target faktor pembekuan > 5%.
- Hemofilia sedang : tergantung adanya perdarahan
terutama perdarahan sendi.
9. Edukasi Pencegahan perdarahan
- Semua penderita dibatasi aktivitas fisik, dinasehatkan
dilarang olahraga yang menyebabkan benturan fisik seperti
sepakbola, beladiri, bersepeda
- Cara hidup penderita antara lain: jika sekolahnya bertingkat
sebaiknya kelasnya di lantai bawah, di rumah jangan banyak
perabot (meja) yang banyak siku-siku, rak buku jangan
tinggi sehingga penderita tidak perlu memanjat untuk
mengambilnya.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Perdarahan
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

IMMUNE TROMBOSITOPENIA PURPURA ( ITP )


ICD 10 : D.69.3

1. Definisi Immune thrombocytopenic purpura (ITP, yang disebut juga


autoimmune thrombocytopenic purpura, morbus Wirlhof, atau
purpura hemorrhagica, merupakan kelainan perdarahan
(bleeding disorder), akibat destruksi prematur trombosit yang
meningkat akibat autoantibodi yang mengikat antigen
trombosit. Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun, dengan
insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. ITP terjadi akut
dan biasanya sembuh sendiri dalam 6 bulan, bila dalam waktu
6 bulan tidak sembuh maka diagnosis menjadi ITP Kronis.

2. Anamnesis Perdarahan spontan di bawah kulit, perdarahan dari hidung,


perdarahan gusi, yang sering didahului oleh demam / infeksi
sebelumnya.
3. Pemeriksaan Adanya tanda-tanda perdarahan di kulit seperti petekie,
fisik ekimosis, epistaksis, atau gusi berdarah, atau dapat pula terjadi
anemia apabila perdarahan berlangsung lama/kronis. Rumple
Leed test positif.
Tidak ada pembesaran hati dan limpa.

4. Kriteria Anamnesis
Diagnosis -Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi
virus, atau bakteri --(infeksi saluran napas atas, saluran
cerna), bisa juga terjadi setelah vaksinasi rubella, rubeola,
varisela, atau setelah vaksinasi dengan virus hidup.
-Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit didalam
darah. Diawali dengan perdarahan kulit berupa petekie hingga
lebam. Perdarahan ini biasanya dilaporkan terjadi mendadak.
-Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin,
aspirin dapat memicu --terjadinya kekambuhan. Obat yang
mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko timbulnya
perdarahan.
Pemeriksaan fisis
-Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada
kulit dan mukosa (hidung, gusi, saluran cerna dan traktus
urogenital)
-pembesaran limfa terjadi pada 10-20% kasus

5. Diagnosis ITP Akut


ITPKronik
6. Diffrential - Penurunan produksi trombosit
diagnosis 1. kongenital: TAR syndrome, anemia fanconi,
thrombositopenia amegakariositik
2. didapat : leukemia, anemia aplastik, neuroblastoma,
defisiensi nutrisi, obat-obatan
- Peningkatan destruksi trombosit
1. Imun: Neonatal alloimmune Trombositopenia
2. Non imun: sindroma uremik hemolitik, DIC, penyakit
jantung sianotik
- Gangguan kualitas trombosit: Sindrom Wiskott-Aldrich,
Sindrom Bernard Soulier, Anomali May- Hegglin, Sindrom
Gray Platelet
- Sekuestrasi: Sindrom Kasabach-Merrit, hipersplenisme
7. Pemeriksaan Darah tepi :
Penunujang Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya normal.
Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal.
Anemia bisa terjadi bila --ada perdarahan spontan yang banyak
Trombositopenia. Besar trombosit umumnya normal, hanya
kadang ditemui --bentuk trombosit yang lebih besar (giant
plalets),
Masa perdarahan memanjang (--Bleeding Time)
BMP: Tidak perlu bila gambaran klinis dan laboratoris klasik.
Dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila gagal
terapi selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya pembesaran hepar/lien/kelenjar getah
bening dan pada laboratorium ditemukan bisitopenia.

8. Tatalaksana Pengobatan
1 a. Pada penyakit pertama kali atau ITP akut
 Trombosit > 60 X 10 9/µl
Observasi sambil mencari kausa selama 2 minggu
Bila lebih dari 2 minggu tidak ada perbaikan atau
trombosit menurun dengan perdarahan yang masif,
pengobatan dengan prednison dengan dosis 2
mg/kgBB/hari.
 Bila trombosit < 60 X 10 9/µl langsung diberikan
terapi prednison.
b. Pada ITP yang berulang
Bila ada perdarahan, trombosit turun, langsung diterapi
prednison.
Keterangan:
- ITP akut, apabila terdapat episode perdarahan yang dapat
mencapai remisi dalam beberapa hari sampai minggu
atau sampai waktu 6 bulan, biasanya terjadi pada anak
usia 2-5 tahun
- ITP kronis / rekuren, apabila episode trombositopenia
terjadi dalam interval lebih dari 6 bulan, biasanya terjadi
pada anak usia > 7 tahun
2. Lama pengobatan:
 Bila remisi, prednison tappering
 Bila eksarsebasi, terapi selama 6 bulan, kemudian stop
 Tak remisi, terapi 2 bulan, kemudian stop, diberi
sitostatika (seperti: siklofosfamid, vincristin, atau
vinblastin)
3. Alternatif lain dengan Imunoglobulin
9. Edukasi Perawatan / Pencegahan Perdarahan
Prinsip perawatan adalah mencegah perdarahan terutama
perdarahan intrakranial:
- Penderita istirahat, menghindari aktivitas yang dapat
menyebabkan trauma kepala dan peningkatan tekanan
intrakranial seperti lari, bersepeda, memanjat atau beladiri.
- Apabila penderita batuk, segera diobati sesuai penyebab dan
diberikan antitusif
- Mengusahakan defekasi yang baik dengan memberikan
makanan yang mudah dicerna, atau apabila kesulitan
defekasi dilakukan klisma atau diberikan laksansia.
- Bila anak rewel, dicari dan diatasi faktor pencetusnya, kalau
perlu diberikan sedatif.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Perdarahan, jumlah trombosit
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

LIMFOMA HODGKIN
ICD 10 : C.81.7
1. Definisi Limfoma Hodgkin merupakan bagian dari limfoma maligna
(keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat). Sel
ganas pada penyakit Hodgkin berasal dari sistem limforetikular
ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg pada organ yang
terkena. Limfosit yang merupakan bagian integral proliferasi sel
pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi
kekebalan selular terhadap sel ganas tersebut.

2. Anamnesis  Ditemukan pembesaran kelenjar limfe (60-80% ditemukan


pembesaran kelenjar limfe leher)
 Demam tanpa diketahui penyebabnya.
 Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam waktu 6
minggu terakhir tanpa diketahui penyebabnya.
 Berkeringat pada malam hari, lesu, nafsu makan menurun.
3. Pemeriksaan  Limfadenopati, dapat sebagian ataupun generalisata dengan
fisik predileksi terutama daerah servikal, yang tidak terasa nyeri,
diskret, elastik, dan biasanya kenyal
 Splenomegali
 Gejala-gejala penyakit paru (bila yang terkena kelenjar getah
bening mediastinum --dan hilus)
 Gejala-gejala penyakit susunan saraf (biasanya muncul
lambat)
4. Kriteria Biopsi dengan FNAB atau open biopsy.
Diagnosis

5. Diagnosis Gejala dan tanda tergantung dari lokasi tumor primernya.

6. Diffrential Limfoma non-Hodgkin


diagnosis
7. Pemeriksaan  Rontgen thoraks : ditemukan pembesaran kelenjar getah
Penunujang bening mediastinum
 USG abdomen : ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening paraaorta
 BMP : infiltrasi sel-sel limfoma pada sumsum tulang.

8. Tatalaksana Pengobatan
1. Stadium I dan II : radioterapi.
2. Stadium III dan IV : kemoterapi menurut protokol MOPP
yang terdiri dari:
 Nitrogen mustard 6 mg/m 2 pada hari pertama dan
kedelapan.
 Vincristin 1,4 mg/m2 pada hari pertama dan kedelapan.
 Prednison 60 mg/m2 mulai hari ke 1-14 kemudian
tapering off.
 Procarbazine 100 mg/m2 mulai hari pertama sampai hari
ke-14.
Pemberian obat diulangi setelah masa istirahat selama 2
minggu, pengobatan diberikan selama 18-24 bulan terus
menerus.

9. Edukasi Personal hygiene dan mencegah infeksi selama kemotrapi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis dan laboratoris
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

LIMFOMA NON HODGKIN


ICD 10 : C.85.9

1. Definisi Limfoma non Hodgkin merupakan bagian dari limfoma


maligna (keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat
padat) yang berupa tumor ganas yang disebabkan
proliferasi ganas sel-sel jaringan limfoid dari seri limfosit
2. Anamnesis  Pembengkakan kelenjar limfe pada daerah-daerah
seperti leher, lipat paha, ketiak, abdomen, atau
mediastinum.
 Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 6 bulan
terakhir, tanpa diketahui penyebabnya.
 Sering demam, sering berkeringat malam, anak tampak
lesu serta nafsu makan berkurang.
3. Pemeriksaan Pembesaran kelenjar limfe yang mempunyai konsistensi
fisik kenyal sampai keras dan biasanya merupakan rangkaian
kelenjar, pembesaran kelenjar tidak nyaeri, kulit sekitar
tidak merah.
4. Kriteria Adanya benjolan, gejala sistemik seperti berat badan
Diagnosis turun, nafsu makam menurun dan adanya hasil PA
5. Diagnosis Limfoma Non Hodgkin
6. Diffrential Limfoma Hodgkin
diagnosis Neuroblastoma

7. Pemeriksaan  Patologi Anatomi


Penunujang  Rontgen thoraks : ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening mediastinum
 USG abdomen : ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening paraaorta
 BMP : infiltrasi sel-sel limfoma pada sumsum tulang.
8. Tatalaksana Pengobatan
Kemoterapi menurut protokol COPP yang terdiri dari:
 Cyclophosphamide 800 mg/m2/hari pada hari pertama
I.V.
 Vincristin 2 mg/m2/hari pada hari pertama I.V.
 Prednison 60 mg/m2 pada hari ke 1-7, kemudian
tapering off.
 Procarbazine 100 mg/m2 mulai hari pertama sampai
hari ke-14 tapi tidak diberikan karena sulit didapat.
Pemberian obat diulangi setelah masa istirahat selama 2
minggu, pengobatan diberikan selama 3 tahun remisi terus
menerus.

9. Edukasi Menjaga kebersihan diri (personal hygiene) dan mencegah


infeksi selama dilakukan kemoterapi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis, laboratorium dan pemeriksaan penunjang
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

TUMOR SEL GERMINAL (TERATOMA)


ICD 10 : C.62.90

1. Definisi Merupakan neoplasma yang berkembang dari sel germinal


primordial embrio manusia. Keganasan ini terjadi karena
transformasi keganasan dari sel germinal.
2. Anamnesis Gambaraan klinis sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh
umur pasien, gambaran histopatologis, perbedaan
lingkunga tumor dan aberasi genetic yang terjadi.
Adanya massa/ tumor intraabdominal, disertai mual,
muntah, dan demam, penurunan berat badan. Tumor
pada abdomen dapat diraba dengan ukuran yang
bervariasi. Bila tumor menekan ginjal atau ureter dapat
menyebabkan gangguan pasase urine.
3. Pemeriksaan Tumor dapat diraba dengan ukuran bervariasi. Massa
fisik tumor biasanya terletak pada salah satu sisi di samping
garis tengah, walaupun ada beberapa yang membesar jauh
dari tulang belakang. Massa teraba keras/ kistik atau
cenderung berlobus-lobus atau irreguler. Kadang-kadang
didapat pelebaran vena pada dinding perut.
4. Kriteria Anamnesis adanya massa di abdomen
Diagnosis
5. Diagnosis Teratoma
6. Diffrential Neuroblastoma
diagnosis Wilms tumor

7. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunujang Darah/urin rutin biasanya normal. Kimia darah dalam
batas normal. Pada keadaan keganasan dapat dijumpai
peningkatan kadar alfa feto protein (AFP), β-hCG, dan
LDH.
Radiologi:
- Pada BNO dapat dijumpai bayangan massa yang
umumnya pada satu sisi abdomen dengan udara
terdorong kedalam usus diluar massa tersebut. Dapat
dijumpai bayangan kalsifikasi yang irreguler berupa
bercak-bercak kornifikasi yang merupakan
pembentukan tulang dan gigi.
- Pada IVP : tampak pendorongan dari ginjal pada sisi
yang sama dan mungkin akan mengalami penekanan
dengan tanda-tanda hidronefrosis karena penekanan
ureter
Patologi anatomi
8. Tatalaksana Terapi yang utama adalah pembedahan/pengangkatan
massa tumor.
Bila dijumpai komponen ganas maka diberikan terapi
radiasi atau pemberian kemoterapi berupa Actinomycin D,
Siklofosfamid dan Vincristin.

9. Edukasi Jaga personal Hygiene dan mencegah infeksi selama


kemoterapi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis dan laboratoris
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

TUMOR WILM
ICD 10 : C.64.9

1. Definisi Tumor Wilms adalah tumor ganas embrional ginjal yang


berasal dari metanefron. Tumor ini merupakan tumor
ganas ginjal primer terbanyak pada bayi dan anak,
mencakup 6% dari seluruh penyakit keganasan pada
anak.
2. Anamnesis Adanya massa dalam perut yang sebagian besar diketahui
pertama kali oleh orang tua atau keluarga.. Kadang
disertai keluhan nyeri perut, BAK merah, penurunan berat
badan, tidak nafsu makan, mual, muntah, lesu, pucat dan
demam
3. Pemeriksaan Ditemukannya tumor dalam perut (tumor abdomen).
fisik

4. Kriteria Biopsi (pemeriksaan histopatologis)


Diagnosis
5. Diagnosis Anamnesis
- Adanya massa dalam perut (tumor abdomen)
merupakan gejala awal tumor Wilms -yang paling
sering (60%), kadang-kadang disertai nyeri perut.
- Hematuria (makroskopis) terdapat sekitar 25% kasus,
akibat infiltrasi tumor ke --dalam sistem kaliks.
- Gejala lain berupa obstipasi, penurunan berat badan,
diare, demam, malaise dan --anoreksia. Pada beberapa
pasien dapat ditemukan nyeri perut yang bersifat kolik
akibat adanya gumpalan darah dalam saluran kencing
Pemeriksaan Fisis
- Tumor abdomen (berbatas tegas dan biasanya tidak
melewati garis tengah
- Hipertensi (60% kasus)
- Demam
- Tanda-tanda sindrom yang berhubungan dengan
tumor Wilms
- Pletore (karena polisitemia)
- Hematuria
6. Diffrential - Hepatoblastoma
diagnosis - Tumor adrenokortikal
- Neuroblastoma
- Hidronefrosis
- Kista ginjal
- Mesoblastic nephroma
- Renal cell carcinoma
7. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunujang  LED meningkat.
 Pada urinalisa dapat ditemukan gross hematuria
ataupun mikroskopis hematuria.
 Pada darah tepi dapat ditemukan anemia.
 Terjadi peningkatan pada alfa feto protein.
Radiologis:
 Pemeriksaan USG harus segera dilakukan.
 Pada foto polos abdomen terdapat pembesaran ginjal
 Pada IVP: gambaran khas berupa distorsi dari pelvis
renalis dan kaliks pada daerah yang terkena.
8. Tatalaksana Pengobatan
Prinsip pengobatan Tumor Wilm adalah kombinasi dari
pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi.
1. Pembedahan.
Dalam 24-48 jam setelah masuk rumah sakit diagnosis
harus sudah ditegakkan dan segera dilakukan operasi.
2. Kemoterapi, tergantung stadium tumor.
a. Stadium I
Tidak diberikan kemoterapi prabedah.
 Aktinomisin D 15 μg/kgbb/hari selama 5 hari
dimulai dalam 24 jam setelah nefrektomi.
 Vinkristin 1,5/m2 diberikan pada hari ke 1, 7, 15,
22, dan 29 paska bedah.
 Radioterapi tidak diberikan untuk :
1. Pasien kurang dari 2 tahun
2.Pasien berumur lebih dari 2 tahun, bila secara
mikroskopis tidak ditemukan perluasan sel
tumor kedalam kapsul.
Selanjutnya vinkristin dan aktinomisin D agar
diberikan setelah 9 minggu, 3 bulan, 6 bulan, 12
bulan dan 15 bulan paska bedah.
b. Stadium II
 Tidak diberikan kemoterapi prabedah. Aktinomisin
D dan vinkristin diberikan dengan dosis dan cara
yang sama seperti pada stadium I.
 Penyinaran paska bedah terhadap daerah tumor
dimulai bila mungkin dalam waktu 7 hari setelah
nefrektomi.
 Pemberian kemoterapi selanjutnya seperti pada
stadium I, tetapi waktu pemberian : 6 minggu, 3,
6, 9, 12 dan 15 bulan paska bedah.
c. Stadium III
 Tidak diberikan kemoterapi prabedah.
 Aktinomisin D dan Vinkristin diberikan dengan
dosis dan cara yang sama seperti stadium I.
 Penyinaran terhadap seluruh abdomen.
 Kemoterapi pemeliharaan terdiri dari Vinkristin,
Aktinomisin D dan Adreamisin. Ketiganya
diberikan pada 6 minggu, 3, 6, 9, 12, 15 bulan
paska bedah. Dosis dan cara pemberian vinkristin
dan aktinomisin D seperti biasa, sedangkan
Adreamisan diberikan dengan dosis 50 mg/m 2
secara I.V. pada tiap hari I. Dosis pertama setelah
penyinaran diturunkan menjadi 30 mg/m2.
d. Stadium IV
 Metastase ke paru-paru pada saat diagnosis
dengan tumor primer dapat diangkat : tidak
diberikan kemoterapi prabedah.
 Operasi pada hari I (nefrektomi), kemoterapi paska
bedah seperti stadium II.
 Radioterapi diberikan sebagai berikut :
- Bila tumor pecah, penyinaran seluruh abdomen
seperti pada stadium III, diberi 7 hari setelah
nefrektomi.
- Bila tumor tidak pecah, maka penyinaran
seperti pada stadium II.
- Bila hanya terdapat metastase ke paru-paru,
penyinaran terhadap lapangan paru ditunda
sampai penilaian respon kemoterapi yang
pertama dilakukan.
- Bila metastase tidak menghilang diberikan
penyinaran terhadap lapangan paru dengan
dosis 2.000 rad, untuk setiap lapangan paru
dengan dosis ekstra 1.000 rad untuk setiap
metastase, sisa tumor diobati dengan operasi.
 Penyebaran hematogen: misalnya ke hati, tulang,
dsb., pada saat diagnosis, tidak diberikan
kemoterapi prabedah, operasi dengan
pengangkatan tumor primer.
 Kemoterapi paskabedah: Vinkristin, aktinomisin
D, dan Adreamisin 50 mg/m2.
 Penyinaran paska bedah terhadap daerah tumor
dan abdomen,
 Kemoterapi pemeliharaan seperti pada stadium III.
 Bila perlu dilakukan lobektomi hati untuk sisa
metastase.
e. Stadium V
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan
penilaian secara individual demi pasien (supportif).
9. Edukasi Menjaga personal hygine dan mencegah infeksi selama
kemoterapi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis dan laboratoris
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

RETINOBLASTOMA
ICD 10 : C.69.20

1. Definisi Retinoblastoma adalah tumor ganas saraf retina embrional


yang merupakan keganasan intraokular yang paling sering
terjadi pada anak.
2. Anamnesis Pada tahap dini timbul gejala “cat's eye sign” dengan bintik
hitam mata menjadi putih dan bila terkena sinar mengkilat
seperti mata kucing (“cat’s eye sign”). Sering kali penderita
datang dengan stadium yang sudah lanjut dalam bentuk
bola mata membengkak atau menonjol, kadang menjadi
juling. Dapat adanya benjolan pada kelenjar limfe leher,
sakit kepala, pusing dan nyeri pada tulang.
3. Pemeriksaan Pada mata dijumpai adanya proptosis, leukoria unilateral
fisik atau bilateral.
Pada leher dapat dijumpai adanya pembesaran kelenjar
limfe preaurikuler.
4. Kriteria Laboratorium: BMP dicari apakah adanya sel-sel ganas
Diagnosis metastase ke sumsum tulang, punksi lumbal untuk
mencari adanya sel-sel metastase

Radiologi:
Untuk mencari komplikasi dilakukan foto thorak, dinilai
ada/tidaknya destruksi atau klasifikasi. “ bone survey “
apakah terjadi osteolisis tulang, CT scan orbit
PA (biopsy)
5. Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksan Penunjang
6. Diffrential Retinoblastoma intraokuler:
diagnosis
- Coat disease
- Persistent hyperplastic primary vitreus
- Retrolental fibroplasia
- Hamartoma retina
- Endoftalmitis
- Infeksi toksokara
- Hamartoma astrositik
- Meduloepitelioma
- Katarak
- Uveitis

Retinoblastoma Ekstraokular
- Selulitis orbital
- Neuroblastoma metastatik
- Rabdomiosarkoma orbital
- Leukemia
- limfoma
7. Pemeriksaan Tujuan: untuk menegakkan diagnosis dan staging
Penunujang -USG orbita
-Ct scan dan MRI orbita dan kepala sangat berguna untuk
mengevaluasi nervus optikus, orbital, keterlibatan sistem
saraf pusat dan adanya kalsifikasi intraokular
-Aspirasi biopsi jarum halus hanya direkomendasikan
pada kasus yang diagnosisnya --masih meragukan dan
merupakan langkah yang dilakukan untuk mencegah
penyebaran ekstraokular dari sel tumor
-Untuk melihat penyebaran ekstraokular: aspirasi dan
biopsi sumsum tulang, sitologi --cairan serebrospinal,
bone scan
8. Tatalaksana Pengobatan
Penatalaksanaan Retinoblastoma meliputi operasi
(enukleasi), radioterapi, dan kemoterapi.

1. Operatif /exenteratio orbita, dipertimbangkan apabila:


 Tumor meliputi > 50% bola mata
 Dicurigai keterlibatan rongga orbita atau saraf
optikus
 Terdapat keterlibatan segmen anterior, dengan atau
tanpa glaukoma neovaskular

1. Radioterapi :
Retinoblastoma termasuk jenis tumor yang respon
terhadap radioterapi
 Stadium dini : dosis tiap hari : 150 - 200 rad (total
dosis < 2 tahun : 3.500 rad; total dosis > 2 tahun :
4.000 rad)
 Paska operatif : pelaksanaan segera bila keadaan
umum baik
 Syarat radioterapi : Hb > 8 g%, leukosit > 3.000/ µl,
trombosit > 80.000/µl
3. Sitostatika :
 Siklofosfamid 300 mg/m2 LPT/minggu I.V. selama 3
minggu, dilanjutkan oral 250 mg/m2 LPT selama 5
hari berturut-turut dimulai hari 1-5.
 Methotrexate 20-25 mg/m2 LPT/minggu dimulai hari
kedua.
 Vincristin 2-2,5 mg/m2 LPT/minggu, dimulai hari
pertama, minimal 6 minggu.
 Prednison dapat dipertimbangkan pemberiannya
dengan dosis 40-50 mg/m2 LPT/hari peroral hari 1-
4.
9. Edukasi Mejaga personal hygiene dan mencegah infeksi selama
kemoterapi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis dan laboratoris
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.

Pangkalan Balai, Januari 2018


dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

DEMAM BERDARAH DENGUE


Kode ICD : A.91
1. Definisi Infeksi dengue disertai dengan adanya bukti plasma
leakage bertendensi menimbulkan renjatan dan kematian
2. Anamnesis 1. Demam atau riwayat demam mendadak tinggi, terus
menerus, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C serta terjadi
kejang demam.
2. Manifestasi perdarahan
3. Dijumpai facial flush
4. Muntah
5. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok
dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga
kanan, dan nyeri perut.
6. Bila syok: lemah, gelisah, produksi urine sedikit, kaki
tangan dingin
7. Terdapat kasus DBD di lingkungan
3. Pemeriksaan 1. Suhu tubuh dapat meningkat, normal atau hipotermi
fisik 2. Manifestasi perdarahan
a. Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2 atau 2.5 cm2)
merupakan manifestasi perdarahan yang paling
banyak pada fase demam awal.
b. Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan
untuk jalur vena (easy bruising).
c. Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum
lunak.
d. Perdarahan mukosa: epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan saluran cerna
e. Hematuria (jarang)
f. Menorrhagia (pada remaja dan dewasa)
3. Ruam makulopapular/rubellaform pada fase demam
4. Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae
kanan
5. Splenomegali (jarang)
6. Terdapat hemostasis yang tidak normal,
7. Terdapat perembesan plasma (khususnya pada rongga
pleura/efusi pleura dan rongga peritoneal/ascites)
8. Dapat disertai dengan hipovolemia, dan syok
 Warning Signs: muntah persisten, nyeri perut,
menolak asupan per oral, letargi atau gelisah,
hipotensi postural, oliguria
 Gejala kegagalan sirkulasi terjadi pada saat suhu
turun antara hari ke 3-7 demam berupa: kulit dingin
dan lembab, sianosis sirkumoral, nadi lemah dan
cepat. Pasien tampak letargi atau gelisah kemudian
jatuh dalam keadaan syok.
 Tanda-tanda syok:
- Nadi cepat dan lemah
- Tekanan nadi sempit, diastolik cenderung naik
atau hipotensi
- Capillary refill time > 3 detik
- Akral dingin
- Gelisah
- Pada profound shock (DBD grade IV), nadi
tidak teraba dan TD tidak terukur
- Oliguria hingga anuria
 Pada prolonged shock dapat terjadi:
- asidosis metabolik
- gagal mutliorgan
- perdarahan masif
- gagal hati dan renal
- ensefalopati
- perdarahan intrakranial
9. Fase konvalesen :
 sinus bradikardi
 aritmia
 timbul ruam konvalesen
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik

Tersangka DBD: bila definisi kasus DBD belum terpenuhi


Definisi kasus DBD:
1. Demam,
2. Manifestasi perdarahan,
3. Disertai trombositopenia ≤100.000/µL,
4. Bukti plasma leakage berupa peningkatan
hematokrit ≥ 20%, dapat disertai dengan efusi pleura
atau asites
5. Dapat disertai dengan syok

Berdasarkan tingkat keparahan DBD (harus memenuhi


definisi kasus DBD):

DBD Derajat Tanda & Gejala Klinis Laboratorium

DBD I Deman dengan -


manifestasi perdarahan Trombositopenia
tidak spontan (uji ≤ 100.000/mm3
bendung + atau easy - Penngkatan Ht
bruishing) dan bukti ≥ 20%
kebocoran plasma
DBD II Sama dengan derajat I -
ditambah perdarahan Trombositopenia
spontan ≤ 100.000/mm3
- Penngkatan Ht
≥ 20%
DBD III Sama dengan derajat I -
atau II ditambah Trombositopenia
kegagalan sirkulasi ≤ 100.000/mm3
(nadi lemah, tekanan - Penngkatan Ht
nadi sempit ≤ 20 ≥ 20%
mmHg, hipotensi,
letar
i)
DBD IV Sama -
dengan derajat III Trombositopenia
ditambah syok ≤ 100.000/mm3
profunda dengan nadi - Penngkatan Ht
tidak ≥ 20%
eraba dan tekanan
darah tidak terukur
5. Diagnosis Demam Berdarah Dengue
6. Diffrential 1. Demam dengue
diagnosis 2. Infeksi virus lainnya seperti campak, rubella, demam
chikunguya
3. Leptospira, malaria dan demam tifoid
4. ITP, leukemia, anemia aplastik
5. Sepsis atau meningitis bila mengalami demam disertai
syok
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit,
Penunujang leukosit dan trombosit) serta hitung jenis saat awal
2. Pemeriksaan Ht dan trombosit secara berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue

Ig M Ig G Interpretasi Keterangan
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi sekunder -
- - Tidak terbukti diulang pada fase
adanya konvalesens
Infeksi
- + Infeksi pada 2-3 diulang pada fase
bulan sebelumnya konvalesens

5. SGOT dan SGPT


6. Gula darah sewaktu atas indikasi
7. Foto rontgen dada dalam posisi AP atau right lateral
decubitus
8. USG
9. AGD dan elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida)
atas indikasi
10. CT/BT dan PT/aPTT atas indikasi
11. LP atas indikasi
12. CT-Scan atau MRI atas indikasi
8. Tatalaksana 1. Parasetamol (bila T > 38.5C)
2. Cairan per oral dan atau intravena (cairan rumatan,
cairan rehidrasi sesuai derajat dehidrasi, atau cairan
resusitasi).
Cairan dapat berupa kristaloid, koloid.
- Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa
kritis.
- Cairan koloid digunakan pada pasien dengan
perembesan plasma hebat, dan tidak ada respon
pada minimal volume cairan kristaloid yang
diberikan.
- Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus
diberikan untuk menjaga volume dan cairan
intravaskular yang adekuat.
- Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan
dengan keadaan klinis.
- Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat
badan ideal sebagai acuan untuk menghitung
volume cairan.

Tabel 1. Kecepatan cairan intravena


Keterangan* Kecepatan cairan
(ml/kg/jam)
Setengah 1.5
rumatan
Rumatan (R) 3
Rumatan + 5% 5
defisit
Rumatan+ 7% 7
defisit
Rumatan+ 10% 10
defisit
*Catatan: sesuai untuk berat badan ≤ 20 kg
Sumber: World Health Organization-South East Asia
Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011 dengan modifikasi.

3. Indikasi pemberian cairan intravena:


a. Asupan cairan oral tidak adekuat atau muntah
b. Saat Ht terus naik 10-20% (bersamaan dengan
penurunan trombosit) walaupun telah direhidrasi
oral
c. Ancaman syok atau syok
4. Pemantauan KU, kesadaran, tanda vital dan diuresis
secara berkala
5. Antagonis H2 dan penghambat pompa proton atas
indikasi
6. Transfusi PRC, TC, FFP/ Cryo atau dapat Whole Blood
atas indikasi
7. Vitamin K1 iv pada perdarahan masif
8. Antikonvulsan seperti fenitoin, fenobarbital dan
diazepam jika terdapat kejang
9. Terapi oksigen atas indikasi
10. Kortikosteroid diberikan pada DBD Ensefalopati
11. Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati atau
dugaan infeksi bakteri sekunder
12. Inotropik dan vasopressor kadang-kadang
diperlukan pada Dengue Shock Syndrome
13. Hemodialisis atau plasmafaresis pada kasus
perburukan klinis dapat dipertimbangkan
14. Pemberian diuretik pada kasus-kasus dengan
overload cairan

9. Edukasi 1. Tirah baring


2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Monitor tanda kegawatan
4. Melaksanakan upaya pencegahan 3M plus (menguras,
menutup dan mengubur)
5. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
6. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan
untuk diberikan ke RT/RW tempat tinggal pasien
10. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 5-7 hari
lama rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup
6. Tidak ditemukan distress napas dari efusi pleura dan
atau asites
7. Trombosit > 50.000 dengan kecenderugan meningkat.
8. Hematokrit stabil
9. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun
eksternal
10. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
11. Dua hari pasca syok
12. Mulai timbul ruam penyembuhan
16. Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional
Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue
Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1. Available from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html .
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment
prevention and control. Edisi kedua. WHO, Geneva,
1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and
control.2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in
parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823
Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi
Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit
Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR,
Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

Skema 1. Tatalaksana Tersangka DBD derajat I & II (tanpa syok)


Skema 2. Tatalaksana DBD Derajat I dan II

Skema 3. Tatalaksana DBD Derajat III


Skema 4. Tatalaksana DBD Derajat IV

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

DEMAM DENGUE
Kode ICD : A.91

1. Definisi Demam Dengue merupakan penyakit demam akut yang


dapat disertai manifestasi perdarahan, disebabkan oleh
virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4
jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4, dan
ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopictus
2. Anamnesis 1. Demam mendadak tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai
40°C serta dapat terjadi kejang demam.
2. Dijumpai facial flush
3. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri retroorbital,
nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di
bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut
4. Lesu dan tidak mau makan
5. Ruam makulopapular
6. Manifestasi perdarahan
7. Konstipasi atau diare
8. Depresi umum
3. Pemeriksaan 1. Demam: 39-40°C, umumnya berakhir 5-7 hari
fisik 2. Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka
(muka kemerahan), leher, dan dada
3. Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit
makulopapular/rubellaform
4. Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie
pada kaki bagian dorsal, lengan atas, dan tangan
(Convalescent rash), berupa petekie mengelilingi
daerah yang pucat pada kulit yg normal, dapat disertai
rasa gatal
5. Manifestasi perdarahan
a. Perdarahan kulit: uji bendung positif dan/atau
petekie
b. Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak,
perdarahan saluran cerna (jarang terjadi, dapat
terjadi pada DD dengan trombositopenia berat)
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik

Diagnosis klinis Demam Dengue ditegakkan atas dasar:


Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus
menerus, bifasik disertai dengan 2 atau lebih gejala
berikut:
 sakit kepala
 nyeri retro orbital
 arthralgia
 myalgia
 ruam
 manifestasi perdarahan
 lekopenia <4000/mm3
 trombositopenia <150.000/mm3
 tidak ditemukan bukti plasma leakage
ditambah minimal satu dari pernyataan berikut:
 Bukti serologis infeksi dengue yang mendukung
 Adanya kasus DBD baik di lingkungan sekolah,
rumah atau di sekitar rumah
5. Diagnosis Demam Dengue
6. Diffrential  Infeksi Virus: Virus Chikungunya, dan penyakit infeksi
diagnosis virus lain seperti Campak, Campak Jerman, dan virus
lain yang menimbulkan ruam; Virus Eipstein Barr,
Enterovirus, Virus Influenza, virus Hepatitis A dan
Hantavirus
 Infeksi Bakteri: Meningokokus, Leptospirosis, Demam
Tifoid, Meiloidosis, Penyakit riketsia, Demam
Skarlatina
 Infeksi Parasit: Malaria
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit,
Penunujang leukosit dan trombosit) serta hitung jenis
2. Pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue
Ig Ig G Interpretasi Keterangan
M
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi -
sekunder
- - Tidak terbukti diulang
adanya infeksi
- + Infeksi pada diulang
2-3 bulan
sebelumnya
5. SGOT dan SGPT
6. Gula darah sewaktu
7. USG
8. Tatalaksana 1. Pengambilan keputusan untuk observasi rawat jalan
atau terapi/ rawat inap (Skema 1)
2. Parasetamol
3. Cairan per oral dan atau intravena (Cairan rumatan
atau cairan rehidrasi sesuai derajat dehidrasi apabila
kurang asupan atau perdarahan berat.)
4. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan diazepam bila
kejang
9. Edukasi 1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Melaksanakan upaya pencegahan 3M + (Meguras,
menutup, mengubur tempat penampungan air,
menaburkan bubuk abate, memelihara ikan pemakan
jentik nyamuk, membersihkan lingkungan, fogging,
mencegah gigitan nyamuk)
4. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
5. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan
untuk diberikan ke RT/RW tempat tinggal pasien
10. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 3-5 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup
6. Trombosit > 50.000, Hematokrit stabil
7. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun
eksternal
8. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
9. Kembalinya nafsu makan
10. Mulai timbul ruam penyembuhan
16. Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional
Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue
Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1. Available
from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html .
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment
prevention and control. Edisi kedua. WHO, Geneva,
1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and
control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in
parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan
bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD.
Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2005.
Skema 1. Skrining pasien tersangka infeksi dengue
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

DEMAM TIFOID
Kode ICD : A01.0

1. Definisi Demam Tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia


yang disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella typhi.
2. Anamnesis 1. Demam lebih dari 7 hari, timbul insidius, naik secara
bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus
menerus tinggi, lisis pada minggu ketiga (step-ladder
temperature chart)
2. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi,
nyeri kepala
3. Gangguan GIT: anoreksia, nyeri perut, kembung,
diare atau konstipasi, muntah
4. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan
kesadaran, kejang, dan ikterus
3. Pemeriksaan Bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan
fisik komplikasi, gejala yang dapat ditemuikan :
1. Rhagaden
2. Lidah tifoid
3. Bradikardi relatif
4. Meteorismus
5. Hepatomegali
6. Kesadaran dapat menurun, dari apatis, delirium
hingga koma
7. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan
paru
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik

Klasifikasi diagnosis:
 Demam Tifoid klinis
Panas lebih dari 7 hari, di dukung gejala klinik lain:
 Gangguan GIT : typhoid tongue, rhagaden,
anoreksia, konstipasi/ diare
 Hepatomegali
 Tidak ditemukan penyebab lain dari panas.
 Demam Tifoid
Demam Tifoid klinis + Salmonella typhi (+) pada
biakan darah, urine atau fees dan/atau pemeriksaan
serologis yang mendukung
 Demam Tifoid berat
Demam Tifoid + keadaan : lebih dari minggu kedua
sakit, toksik, dehidrasi, delirium jelas, hepatomegali
dan/atau splenomegali, leukopenia <2000/ul,
aneosinofilia, SGOT/ SGPT meningkat
 Ensefalopati Tifoid/Tifoid toksik
Demam Tifoid atau Demam Tifoid klinis disertai satu
atau lebih gejala:
 kejang
 kesadaran menurun: soporous sampai koma
 kesadaran berubah/ kontak psikik tidak ada
5. Diagnosis Demam Tifoid
6. Diffrential 1. Stadium dini: Influenza, Gastroenteritis, Bronkitis,
diagnosis infeksi Dengue, Bronkopneumonia
2. Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, Malaria
3. Demam Tifoid berat: Sepsis, Leukemia, Limfoma
7. Pemeriksaan 1. Darah tepi perifer:
Penunujang a. anemia (dapat terjadi akibat supresi sumusm
tulang, defisiensi besi, atau perdarahan usus)
b. leukopenia (jarang kurang dari 3000/µL)
c. limfositosis relatif
d. aneosinofilia
e. trombositopenia (terutama pada demam tifoid
berat)
2. Pemeriksaan serologi:
a. antibodi anti-Salmonela O9, atau
b. kadar IgM dan IgG anti Salmonella
3. Pemeriksaan biakan empedu dari spesimen:
a. darah (minggu 1-2 perjalanan penyakit)
b. urine (minggu ke-2 dan selanjutnya)
c. sumsum tulang (sampai minggu ke 4)
4. Pemeriksaan radiologi:
a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi
pneumonia
b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi
intraintestinal seperti perforasi usus atau
perdarahan saluran cerna
5. EKG bila mencurigai miokarditis
6. Biakan feses saat pulang untuk deteksi karier,
kemudian diulangi lagi 1 minggu kemudian. Apabila
2 kali berturut-turut dalam interval 1 minggu
Salmonella (-), berarti penderita sembuh dan tidak
merupakan carrier.
8. Tatalaksana 1. Antipiretik bila suhu tubuh >38,5°C
2. Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan)
Lini pertama:
 Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari,
oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10 – 14
hari, kontraindikasi pada leukosit <2000/µl, dosis
maksimal 2g/hari atau
 Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV
selama 14 hari atau
 Kotrimoksazol TMP 4 mg/kg/kali, selama 10 hari
Linikedua/ multidrug resisten S. typhi
 Seftriakson 80 mg/kg/hari IV selama 5-7 hari
 Cefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali
sehari per oral selama 10 hari
Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama,
dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan anti
mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini
kedua
Karier S. typhi (S. typhi tetap ada dalam urin atau
feses selama lebih dari 6 -12 bulan) :
 Ampisillin 100 mg/kg/hari, 4x hari atau
Trimetoprim-sulfametoksazol 4-20 mg/kg/hari
selama 6-12 minggu
 Lakukan pemeriksaan USG kandung empedu
untuk menentukan ada atau tidaknya kolelitiasis
atau disfungsi kandung empedu
3. Kortikosteroid diberikan pada demam tifoid berat
dengan perubahan status mental (Ensefalopati Tifoid)
atau syok yaitu dexametason 3mg/kg/kali (1x) IV,
dilanjutkan 1mg/kg/kali, setiap 6 jam sampai
dengan 48 jam (penggunaan lebih dari 48 jam akan
meningkatkan angka relaps)
4. Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi
usus
9. Edukasi 1. Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
2. Indikasi rawat:
 Demam Tifoid klinis bila ada hiperpireksia,
dehidrasi atau KU lemah.
 Semua Ensepalopati Tifoid
 Semua demam Tifoid dengan komplikasi
3. Imunisasi
 Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide)
usia 2 tahun atau lebih (IM), diulang tiap 3 tahun
 Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia 6
tahun dengan interval selang sehari (1,3,5),
ulangan setiap 3-5 tahun. Belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk
turis yang bepergian kedaerah endemik
4. Tirah baring
5. Isolasi memadai
6. Kebutuhan cairan dan kalori dipenuhi. Diet lunak,
mudah dicerna.
7. Higiene perorangan dan lingkungan karena
penularan melalui fekal oral
10. Prognosis Dengan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat:
Ad vitam: bonam
Ad sanationam: ad bonam
Ad functional: ad bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 7-10 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
16. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella
infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of
the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk
Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics;
2006, h.579-84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long
SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles
and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke-
2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the
gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter JH,
Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious
diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004,
h. 212-3
5. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL.
Textbook of pediatric infectious disease, 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders: 2004.
6. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS.
Buku ajar infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua.
Jakarta: IDAI; 2008.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

MALARIA
Kode ICD : B50-54

1. Definisi Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik


yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies
Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat
intermiten, anemia, dan hepato-splenomegali yang
hidup dan berkemabng dalm eritrosit manusaia dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina.
2. Anamnesis 1. Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau
riwayat bepergian ke daerah endemis malaria dalam
1-4 minggu sebelumnya. Ada riwayat sakit malaria,
pernah minum obat malaria, dan riwayat mendapat
transfusi.
2. Demam, lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu
makan, nyeri punggung, nyeri daerah perut, pucat,
mialgia, atralgia, dan diare.
3. Pada malaria tanpa komplikasi hanya ditemukan
gejala malaria tanpa tanda berat dan bukti (klinis
atau laboratorium) disfungsi organ vital
4. Pada malaria berat didapat keluhan tambahan
gangguan kesadaran, demam tinggi, ikterik, pucat,
perdarahan hidung, gusi, atau saluran cerna, nafas
cepat atau sesak nafas, warna urine seperti teh tua
atau kehitaman (black water fever), produksi urine
sedikit, kejang dan sangat lemah (prostration).
5. Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri
atas beberapa serangan demam dengan interval
tertentu (paroksisme), diselingi periode bebas demam.
Sebelum demam pasien merasa lemah, nyeri kepala,
tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
6. Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold
stage), stadium demam (hotstage), dan stadium
berkeringat (sweating stage).Paroksisme jarang
dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali
bermanifestasi sebagai kejang. Periode paroksisme
berhubungan dengan ruptur skizon:
 P. vivax dan P. ovale: demam tiap 48 jam
 P. malariae: demam tiap 72 jam
 P. falciparum: demam tidak khas dapat terus
menerus
7. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran
(lebih dari satu jenis -- Plasmodium atau infeksi
berulang dari satu jenis Plasmodium), demam terus
menerus (tanpa interval),
8. Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
3. Pemeriksaan 1. Demam
fisik 2. Pucat pada konjungtiva palpebra atau telapak tangan
3. Splenomegali
4. Hepatomegali
5. Ikterik
6. Pada malaria berat dapat ditemukan tanda klinis lain
:
a.Temperatur > 41C
b.Nadi filiformis
c.TD sistolik < 50 mmHg
d.Pucat
e.Takipneu
f.GCS < 11
g.Manifestasi perdarahan
h.Tanda dehidrasi
i.Ikterik
j.Terdengar ronchi
k.Oliguria hingga anuria
l.Kelainan neurologis berupa gejala rangsang
meningeal dan atau refleks patologis
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik

Malaria tanpa komplikasi: infeksi simtomatik dengan


parasitemia malaria tanpa tanda berat dan bukti (klinis
atau laboratorium) disfungsi organ vital
Malaria berat: infeksi simtomatik dengan parasitemia
malaria dengan tanda berat dan bukti (klinis atau
laboratorium) disfungsi organ vital
5. Diagnosis Malaria
6. Diffrential 1. Demam tifoid
diagnosis 2. Meningitis
3. Apendisitis
4. Gastroenteritis
5. Hepatitis
6. Influenza dan infeksi virus lainnya
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan apus darah tepi:
Penunujang  Tebal: ada tidaknya Plasmodium
 Tipis: identifikasi spesies Plasmodium/tingkat
parasitemia (hitung parasit)
dikerjakaan saat penegakan diagnosis dan diulang
pada hari ke 3, 7 , 14 dan 28 setelah pengobatan
2. Rapid diagnostic test (RDT) malaria
3. Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan
komplikasi yang terjadi:
a. Darah perifer lengkap
b. Urinalisis
c. SGOT, SGPT, bilirubin total/direk/indirek
d. Alkali fosfatase, albumin
e. Ureum, kreatinin
f. AGD dan elektrolit
g. Gula darah sewaktu
h. EKG
i. Foto toraks
j. Analisis cairan serbrospinalis
k. Biakan darah
4. Temuan laboratorium malaria berat:
 hipoglikemia (gula darah < 40 mg/dl)
 asidosis metabolik
 anemia normositik berat (Hb < 5 g/dl, Ht < 15%)
 haemoglobinuria
 hyperparasitaemia (> 2%/100 000/μl pada daerah
transmisi rendah atau >5% atau 250.000/ul pada
daerah transmisi tinggi)
 hiperlaktatemia
 gangguan ginjal
8. Tatalaksana 1. Antipiretik apabila demam > 38.5oC
2. Suportif (atas indikasi)
 Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular
dan jaringan dengan pemberian oral atau
parenteral
 Pelihara keadaan nutrisi
 Transfusi darah pack red cell 10 ml/kg atau whole
blood 20 ml/kg apabila anemia dengan Hb
<7,1g/dl
 Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen
darah yang sesuai
 Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
 Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila
perlu pasang CVP.
 Dialisis peritoneal dilakukan pada gagal ginjal
 Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu
berikan oksigen
 Apabila terjadi gagal nafas perlu pemasangan
ventilator mekanik
 Pertahankan kadar gula darah normal.
3. Medikamentosa
Plasmodium falciparum
Lini Pertama: Artemisinin-based combination therapy
(ACT)
1. Artensunat + Amodiakuin + Primakuin
 Artesunat (10 mg/kg) + Amodiakuin (4 mg/kg)
per oral dosis tunggal selama 3 hari (maks 4
tablet)
Setiap kemasan kombinasi artesunat-
amodiakuin terdiri dari 2 blister yaitu blister
artesunat 12 tablet @ 50mg dan blister
amodiakuin: 12 tablet @ 200mg 153mg
amodiakuin basa
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal
hanya pada hari pertama (maks 3 tablet)
Tiap tablet primakuin mengandung 15 mg
basa.
Primakuin tidak boleh diberikan pada anak <
1 tahun dan penderita defisensi G6PD
2. [Artemether + lumefantrine (Coartem)] +
Primakuin
 Artemether ((5–14 kg: 1 tablet; 15–24 kg: 2
tablet; 25–34 kg: 3 tablet; and > 34 kg: 4
tablet), diberikan 2 kali sehari untuk 3 hari,
setara dengan dosis artemether 2-4 mg/kg dan
lumefantrine 10-16 mg/kg.
Tiap tablet coartem mengandung 20 mg
artemether dan 120 mg lumefantrine
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal
3. [Dihidroartemisinin + piperaquin (Arterakine)] +
Primakuin
 Dihydroartemisinin 4 mg/kg/hari (2-10
mg/kg/hari) dan piperaquine 18 mg/kg/hari
(16-24 mg/kg/hari) satu kali sehari untuk 3
hari
Tiap tablet arterakine mengandung 40 mg
dihydroartemisinin dan 320 mg piperaquine
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal

Lini Kedua
Bila obat tidak tersedia, maka digunakan :
1. Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kg terbagi dalam 3
hari dengan perincian
Hari I: 10 mg/kg peroral + Primakuin 0,75
mg/kg peroral
Hari II: 10 mg/kg peroral
Hari III: 5 mg/kg peroral
2. Kombinasi kina + doksisiklin/klindamisin
 Kina dosis 30 mg/kg/hari peroral dibagi 3
dosis diberikan selama 7 hari. Kemasan tablet
kina yang beredar di Indonesia: 200mg kina
fosfat atau kina sulfat.
 Doksisiklin diberikan untuk anak 8-14 tahun
dengan dosis 2 mg/kg/hari selama 7 hari.
Sediaan doksisiklin yang tersedia tablet 50 mg
dan 100 mg.
Untuk anak di bawah 8 tahun doksisiklin
diganti clindamycin dengan dosis 10
mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
3. Kombinasi tetrasiklin/klindamisin + primakuin
 Tetrasiklin diberikan dengan dosis 4-5
mg/kg/6 jam selama 7 hari.
Untuk anak di bawah 8 tahun tetrasiklin
diganti clindamycin dengan dosis 10
mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
 Primakuin diberikan dengan dosis 0,75
mg/kg/dosis tunggal hanya pada hari pertama.
Plasmodium vivax & P. ovale:

Lini Pertama
Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Dosis dan lama pemberian Artesunat + Amodioakuin
sama dengan pada malaria falciparum + Primakuin
0,25 mg/kg/hari selama 14 hari

Lini Kedua
Kina + Primakuin
Kina 30mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari +
primakuin 0,25 mg/kg/hari selama 14 hari

Pengobatan vivaks relaps


Dosis primakuin ditingkatkan 0,5 mg/kg/hari untuk
14 hari, regiman lainnya sama dengan sebelumnya

Penderita defisiensi G6PD


Artesunat+Amodiakuin dengan dosis yang sama
diberikan 1x/minggu selama 8-12 minggu
Plasmodium malariae
ACT 1x/hari selama 3 hari dengan dosis sama
dengan pengobatan malaria lainnya

Penganganan malaria berat :

Pilihan utama: Artesunat intravena


Pengobatan malaria di tingkat RS dianjurkan untuk
menggunakan artesunate intravena.
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi
60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut
dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat
5%. Larutan artesunat dibuat dengan mencampur
60 mg serbuk kering artesunik dan 0,6 ml natrium
bikarbonat 5%, diencerkan dengan Dextrose 5%
sebanyak 3 - 5 cc dan diberikan secara bolus
perlahan-lahan.
Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kg
per-iv sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya
diberikan 2,4 mg/kg per-iv setiap 24 jam sampai
penderita mampu minum obat. Pengobatan
dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-
piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.

Kemasan dan cara pemberian artemeter


Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang
berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak.
Artemeter diberikan dengan dosis 1,6mg/kg
intramuskular dan diulang setelah 12 jam.
Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kg
intramuskular satu kali sehari sampai penderita
mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat
minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+
primakuin.

Obat alternatif: Kina dihidroklorida parenteral


Kemasan dan cara pemberian kina parenteral
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif
untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia
derivat artemisinin parenteral. Obat ini dikemas
dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu
ampul berisi 500 mg/2 ml.
Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kg (bila
umur < 2 bulan: 6 - 8 mg/kg ) diencerkan dengan
dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10
ml/kg diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam
sampai penderita dapat minum obat, selanjutnya
diberikan kina peroral sampai 7 hari.
Catatan
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra
vena, karena toksik bagi jantung dan dapat
menimbulkan kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan
kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan
primakuin dengan dosis 0,75 mg/kg.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina
parenteral oleh karena itu dianjurkan
pemberiannya dalam Dextrose 5%

9. Edukasi 1. Pemakaian kelambu saat tidur


2. Penggunaan losion anti nyamuk
3. Minum obat malaria pencegahan apabila bepergian
kedaerah endemis malaria
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ada bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 7-10 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Respon klinis dan parasitologis memadai
3. Tidak ada parasitemia
4. Tidak ditemukan komplikasi
16. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Malaria. Dalam:
Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA,
penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee
in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village,
IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h. 435-
41.
2. Daily JP. Malaria. Dalam: Anne AG, Peter JH,
Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious
diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004.
h. 337-48.
3. Krause, Peter J. Malaria (Plasmodium). Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia; 2004. h. 1139-43.
4. Wilson CM. Plasmodium species (Malaria). Dalam:
Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting.
Principles and practice of pediatric infectious
diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier
Science; 2003, h.1295-1301
5. World Health Organization. Severe falciparum
malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2000.
6. Depkes RI. Pedoman Tatalaksana Malaria. Dirjen
PP & PL Depkes RI. 2012.
7. Depkes R. Pedoman Penatalaksanaan Kasus
Malara di Indonesia: Gebrak Malaria Ditjen PP 7 PL.
Depkes RI. 2008.
8. WHO. Guidelines for the Treatment of Malaria.
2nd edition. 2010.
9. Harijanto, P. Eliminasi Malaria pada Era
Desentrallisasi. Dalam : Jendele Data dan Informasi
Kesehatan : Epidemiologi Malaria di Indonesia.
Triwulan I. 2011.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
DIFTERI
Kode ICD : A.36

1. Defin Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat


isi menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit dan/atau mukosa
2. Anamnesis 1. Riwayat kontak dengan karier, baik melalui droplet,
bahan muntahan atau debu
2. Bervariasi mulai dari gejala ringan yang menyerupai
common cold dengan gejala demam tidak terlalu
tinggi, pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik
ringan
3. Anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri
menelan
4. Suara serak, sesak nafas, lesu, pucat dan lemah
3. Pemeriksaan 1. Difteri nasal anterior:
fisik  Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus
dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet
pada nares dan bibir atas
 Terdapat pseudomembran putih pada daerah
septum nasi

2. Difteri faring atau tonsil


 Timbul pseudomembrane yang melekat, berwarna
putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding
faring, sukar diangkat meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke bawah ke laring dan
trakea, yang berdarah saat dilepaskan
 Limfadenitis servikal dan submandibular, dapat
timbul bullneck bila limfadenitis terjadi bersama
dengan edema jaringan lunak leher yang luas.
 Bila terjadi perluasan dari difteria faring maka
gejala yang tampak merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia
 Dapat terjadi gagal napas
 Dapat terjadi paralisis palatum molle, baik uni-
maupun bilateral, disertai kesulitan menelan dan
regurgitasi

3. Pada difteria laring, napas dapat berbunyi, stridor


progresif, suara parau dan batuk kering. Membran
dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, koma
dan kematian

4. Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai


derajat obstruksi sebagai berikut:
a. Derajat I: Anak tenang, dispneu ringan, stridor
inspiratoar, retraksi suprasternal
b. Derajat II: Anak gelisah, dispneu hebat, stridor
masih hebat, retraksi suprasternal dan
epigastrium, sianosis belum tampak
c. Derajat III: Anak sangat gelisah, dispneu makin
hebat, stridor makin hebat, retraksi suprasternal
dan epigastrium serta interkostal, sianosis
d. Derajat IV: Letargi, kesadaran menurun,
pernafasan melemah, sianosis

5. Difteria dapat juga mengenai kulit, vulvovaginal,


konjungtiva dan telinga.
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Laboratorium: Isolasi C. diphtheria dari spesimen

Diagnosis berdasarkan CDC / WHO 2003 :


1. Tersangka: kriteria klinis (+), laboratorium (-), dan
tidak ditemukan kasus sama yang terbukti secara
laboratorium di sekitar tempat tinggal penderita
2. Terbukti: kriteria klinis (+), laboratorium (+), atau
ditemukannya kasus yang sama yang terbukti secara
laboratorium di sekitar tempat tinggal penderita
5. Diagnosis Difteria
6. Diffrential 1. Difteria hidung : rhinorrhea (commoncold, sinusitis,
diagnosis adenoiditis), benda asing, lues kongenital (snuffles)
2. Difteriatonsil-faring : tonsilitis membranosa akut oleh
Streptococcus mononukleosis infeksiosa, tonsilitis
membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika
primer, moniliasis, bloody scrasia, pasca
tonsilektomi, vincent angina, candidiasis
3. Difteria laring: laringitis/infectious croups yang lain
(spasmodic croup), angioneurotic edema, benda asing
4. Difteria kulit: impetigo dan infeksi kulit oleh
Streptococcus atau Staphylococcus
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah perifer lengkap: hemoglobin,
Penunujang hematokrit, trombosit, lekosit dan hitung jenis.
2. Pewarnaan gram dan pewarnaan khusus untuk C.
Diphtheriae (Neisser/Albert) dari sediaan apus
pseudomembran
3. Diagnosis pasti dari isolasi C. diphtheriae dengan
pembiakan pada media Loeffler.
4. Foto rontgen toraks (atas indikasi)
5. Foto soft tissue leher (atas indikasi)
6. AGD dan elektrolit (atas indikasi)
7. EKG pada waktu penderita dirawat, dan diulang
minimal 3 kali per minggu
8. Skin test sebelum pemberian ADS
9. Urine lengkap
10. Ureum dan kreatinin (atas indikasi)
8. Tatalaksana Umum
1. Atasi obstruksi jalan nafas segera dengan konsultasi
dengan ahli THT untuk melakukan tindakan
trakeostomi. Trakeostomi dilakukan bila terdapat
gangguan pernapasan yang progresif, atau obstruksi
saluran napas derajat II atau lebih
2. Pasien dirawat di ruang isolasi sampai masa akut
terlampaui dan biakan apusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut (2 – 3 minggu)
3. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 – 3
minggu
4. Cairan parenteral diberikan untuk mempertahankan
hemodinamika tetap baik
5. Pemenuhan kebutuhan kalori, protein, cairan dan
elektrolit yang adekuat sesuai klinis menurut berat
badan dan umur, bila tidak dapat oral dapat
diberikan parenteral.
6. Dapat diinhalasi dengan nebulizer dengan NaCL 0.9%
agar jalan napas tetap bebas serta untuk menjaga
kelembaban udara pada pasien dengan difteria laring

Spesifik
1. Segera diberikan Anti Difteria Serum (ADS) secara
intravena (jika difteri dicurigai (tersangka difteri),
ADS harus segera diberikan tanpa menunggu hasil
laboratorium), didahului dengan uji kulit dengan cara
menyuntikan 0,1 ml ADS yang telah diencerkan
dengan NaCl 0,9% 1:100. Uji kulit dibaca dalam 20
menit dan dinyatakan positif bila timbul bentol
berukuran 10 mm atau lebih.
Dosis ADS yang diberikan tergantung lokasi dan
waktu ADS diberikan:

Tabel. Dosis dan cara pemberian ADS sesuai tipe


difteri

Tipe Difteria Dosis ADS Cara


(IU) pemberian
Difteria hidung 20.000 IM
Difteria tonsil 40.000 IM atau IV
Difteria faring 40.000 IM atau IV
Difteria laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di 80.000 IV
atas
Difteria + penyulit, 80.000- IV
bullneck 100.000
Terlambat berobat 80.000- IV
(>72 jam), 100.000
lokasi dimana saja
Sumber Krugman, 1992 (dengan modifikasi)

a. Hari I: Separuh dosis ADS diberikan secara


intravena dengan pengenceran 20 kali dengan
NaCl 0,9% atau dekstrose 5%, atau dilarutkan
dalam 200 ml NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,
diberikan dalam 4-8 jam (tidak melebihi 1 ml/jam).
Bila uji kulit positif lakukan desensitasi dengan
cara sebagai berikut (ADS diberikan secara
bertahap, sambil melihat tanda-tanda alergi/
anafilaktik):

Tabel. Desensitisasi ADS: Jalur intravena


Nomor dosis, Pengenceran Jumlah
diberikan tiap serum dalam injeksi
interval 15 menit NaCl 0,9% (ml)
1 1:1.000 0,1
2 1:1.000 0,3
3 1:1.000 0,6
4 1:100 0,1
5 1:100 0,3
6 1:100 0,6
7 1:10 0,1
8 1:10 0,3
9 1:10 0,6
10 Tanpa 0,1
pengenceran
11 Tanpa 0,3
pengenceran
12 Tanpa 0,6
pengenceran
13 Tanpa 1,0
pengenceran

b. Hari II: Separuh dosis ADS diberikan secara


intramuskular

2. Antibiotik:
Penisilin prokain 50.000-100.000 U/kg/hari selama
14 hari
Apabila hipersensitif terhadap penisilin diberikan
eritromisin 40-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (4x
sehari) selama 14 hari
3. Eliminasi difteri harus dibuktikan dengan dua kali
beruturut-turut hasil biakan negatif setelah 24 jam
antibiotik dihentikan.
4. Kortikosteroid diberikan bila terdapat gejala
obstruksi saluran napas bagian atas (dengan atau
tanpa bullneck) atau bila terdapat miokarditis.
5. Setiap penemuan kasus difteri (tersangka/terbukti)
harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan dalam waktu 1
x 24 jam
6. Vaksinasi difteri diberikan saat masa penyembuhan
penyakit
7. Pengobatan kontak (bekerja sama dengan petugas
surveilans Dinas Kesehatan)
Kontak erat, atau kontak serumah:
a. Surveilans
b. Vaksinasi difteri (sesuai usia)
c. Biakan apusan hidung dan tenggorok untuk C.
diphtheriae
d. Pemberian antibiotik:
Benzathine Penicillin G Intramuskular (dosis
tunggal) dengan dosis
 600.000 IU untuk usia <6 tahun dan
 1.200.000 IU untuk usia 6 tahun atau lebih;
atau
Eritromisin oral selama 7 hari dengan dosis
 40 mg/kg BB/hari untuk anak
 1 g/hari untuk dewasa
Algoritma tatalaksana:

9. Edukasi 1. Tirah baring


2. Prognosis pasien
3. Imunisasi DPT
4. Imunisasi catch up:

Tabel. Jadwal imunisasi DPT


Usia Interval minimum pemberian
Usia minimal Dosis Dosis Dosi Dosis
dosis 1-2 2-3 s 3-4 4-5
pertama
4 bln – 6 6 minggu 4 4 6 6
thn (DTaP) minggu mingg bula bulan
u n
7 thn – 7 tahun 4 4 6 6
18 minggu mingg bula bulan
thn(DTaP) * u n
6
bulan*
*
Keterangan:
* Apabila dosis pertama diberikan saat usia < 12 bulan
**Apabila dosis kedua diberikan saat usia ≥ 12 bulan
Booster (Td) diberikan setiap 10 tahun (Td adalah vaksin
dewasa dengan jumlah antigen sepersepuluh jumlah
antigen pada anak)
5. Cari sumber penularan dan karier
10. Prognosis Ad vitam: dubia ad malam
Prognosis tergantung pada:
• Usia
• Lanjutnya penyakit
• Lokasi
• Patogenisitas bakteri
• Cepat lambatnya pemberian toxin
Hari pertama 0,3% (mortalitas)
Hari kedua 4%
Hari ketiga 12%
> hari ketiga 25%
Ad sanationam: bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 2-3 minggu
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
Tidak dijumpai komplikasi
16. Kepustakaan 1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL.
Textbook of pediatric infectious diseases. 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2009.
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and
practice of pediatric infectious diseases. 2nd ed.
Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious
disease of children. 11th ed. Philadelphia: Mosby;
2004.
4. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision
making strategies. WB Saunders: Philadelphia; 2002.
5. Red book, report of committee on infectious disease,
24th ed. American academy of pediatrics 2009
6. Top FH, Wehrle PF. Diphtheria. Communicable and
infectious disease. St Louis: Mosby; 1976. h. 223-38.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
MORBILI
Kode ICD : B05

1. Definisi Campak, measles atau rubeola adalah penyakit virus


akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini
sangat infeksius, dapat menular sejak awal masa
prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah
munculnya ruam, ditandai oleh panas tinggi diikuti
dengan keluarnya ruam yang kemudian menghitam
pada akhir perjalanan penyakit.
2. Anamnesis 1. Demam tinggi terus menerus 38,5oC atau lebih
2. Disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan
silau bila terkena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti
diare
3. Timbul ruam kulit pada hari ke 4-5 demam,
didahului oleh suhu yang meningkat lebih tinggi dari
semula.
4. Dapat mengalami kejang
5. Saat ruam timbul, anak masih demam, batuk dan
diare dapat bertambah parah sehingga anak
mengalami sesak napas atau dehidrasi
6. Tanda penyembuhan: Adanya kulit kehitaman dan
bersisik (hiperpigmentasi)
3. Pemeriksaan Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari,
fisik terdiri dari tiga stadium:

1. Stadium prodromal: berlangsung 2-4 hari, ditandai


dengan demam yang diikuti dengan batuk, pilek,
faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan
konjungtivitis. Tanda patognomonik timbulnya
enantema mukosa pipi di depan molar tiga disebut
bercak Koplik yang timbul 24 jam sebelum muncul
ruam dan menghilang pada hari ketiga timbulanya
ruam.

2. Stadium erupsi: ditandai dengan timbulnya ruam


makulopapular yang bertahan selama 5-6 hari.
Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut di
belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah,
leher, dan akhirnya ke ekstremitas. Saat timbul ruam
anak masih demam.

3. Stadium penyembuhan (konvalesens): setelah 3 hari


ruam berangsur-angsur menghilang sesuai urutan
timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan
mengelupas yang akan menghilang setelah 1-2
minggu.

4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis


Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan serologis jika diperlukan (IgM campak)

5. Diagnosis Campak (ICD 10: B05)


6. Diffrential 1. Rubela
diagnosis 2. Demam skarlatina
3. Eksantema subitum
4. Infeksi stafilokokus
5. Ruam akibat obat-obatan

7. Pemeriksaan 1. Darah tepi: jumlah leukosit normal/turun atau


Penunujang meningkat apabila ada komplikasi infeksi bakteri
2. Apabila ada komplikasi ensefalopati dilakukan:
a. Pemeriksaan cairan serebrospinalis
b. Kadar elektrolit darah
c. Analisis gas darah
3. Feses lengkap apabila ada komplikasi enteritis
4. Apabila ada komplikasi bronkopneumonia dilakukan:
a. Pemeriksaan foto rontgen dada
b. Analisis gas darah
8. Tatalaksana 1. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari
pemberian cairan yang cukup, suplemen nutrisi,
antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder,
anti konvulsi diberikan bila terjadi kejang, dan
vitamin A.
2. Indikasi rawat inap: hiperpireksia, dehidrasi,
kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi.
3. Pasien dirawat di ruang isolasi, tirah baring.
4. Vitamin A diberikan sekali sehari selama 2 hari
dengan dosis 50.000 IU pada usia < 6 bulan, pada
usia 6 bulan-1 tahun 100.000 IU oral pada usia 6
bulan-1 tahun dan, 200.000 IU oral pada usia > 1
tahun.
5. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai,
jenis makanan disesuaikan dengan tingkat
kesadaran pasien dan ada-tidaknya komplikasi.
6. Pengobatan komplikasi yang sesuai
7. Imunisasi campak dapat diberikan untuk
pencegahan anak yang kontak dengan kasus
campak, apabila vaksin campak diberikan 72 jam
setelah kontak campak.
8. Immunoglobulin dapat diberikan untuk mencegah
timbulnya campak pada individu yang terpapar
dalam 6 hari, terutama diindikasikan pada kasus
immunocompromised. Dosis yang direkomendasikan
0,25 mg/kg IM, untuk pasien imunokompromais
dosis yang diberikan 0,5 mg/kg IM (dosis maksimum
15 mL). Immunoglobulin diberikan pada kelompok
risiko tinggi terjadinya komplikasi yaitu bayi < 1
tahun, wanita hamil, dan anak yang
immunocompromised
9. Edukasi 1. Rawat di bangsal isolasi
2. Tirah baring
3. Menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin.
4. Melaksanakan cuci tangan 6 langkah
5. Penyakit Campak merupakan penyakit yang
swasirna.
6. Menjelaskan risiko terjadinya komplikasi pada pasien
dengan gizi buruk dan anak berumur lebih kecil:
diare dengan dehidrasi, otitis media, croup,
bronkopneumonia, ensefalitis akut, SSPE
7. Imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan,
diulang saat masuk sekolah SD (program BIAS), atau
imunisasi MMR pada umur 12-15 bulan diulang saat
umur 5-6 tahun.
8. Pada anak yang pernah menderita campak, imunisasi
tidak perlu diberikan
10. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
11. Tingkat III
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 3-5 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Perbaikan klinis (tanpa sesak maupun diare)
3. Nafsu makan baik
4. Ruam kulit mulai menjadi kehitaman dan
mengelupas.
16. Kepustakaan 1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL.
Textbook of pediatric infectious disease, 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders: 2004.
2. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS.
Buku ajar infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua.
Jakarta: IDAI; 2008. American Academy of Pediatrics.
Measles. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 Report of
the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk
Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics;
2006, h. 441-52
3. Samuel LK. Measles (Rubeola). Dalam: Anne AG,
Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s
infectious diseases of children. Edisi ke-11.
Philadelphia; 2004. h. 353-68
4. Maldonado YA. Rubeola virus (measles and subacute
sclerosing panencephalitis). Dalam: Long SS,
Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and
practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003, h.1148-55
5. Maldonado YA. Measles. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004, h. 1026-32.
6. American Academy of Pediatrics. Measles. Dalam:
Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA,
penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee
in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village,
IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h. 441-52
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
SEPSIS
Kode ICD : A41.9

1. Definisi Sepsis: sindrom klinis hasil dari respon inflamasi


sistemik (Systemic inflammatory response
syndrome/SIRS) terhadap infeksi (dugaan
klinis/terbukti)

SIRS: respon klinis terhadap proses infeksi atau non-


infeksi yang ditandai dengan minimal 2 keadaan berikut
(salah satunya harus temperatur atau jumlah lekosit
yang abnormal):
 suhu core 38,5oC atau <36oC
 takikardi atau bradikardi
 takipneu
 leukositosis, leukopenia atau hitung jenis bergeser ke
kiri (netrofil imatur > 10%)

Infeksi: Adanya dugaan infeksi patogen atau terbukti


(berdasarkan hasil biakan positif, pewarnaan jaringan,
atau uji PCR) ATAU sindrom klinis yang sangat dicurigai
berhubungan dengan infeksi. Bukti infeksi meliputi
temuan positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan,
atau laboratorium (misal: ditemukannya sel darah putih
pada cairan tubuh yang seharusnya steril, perforasi
viscus, gambaran radiografi sesuai pneumonia, ruam
petekie atau purpura, atau purpura fulminans).

Sepsis berat: sepsis + disfungsi organ akut (minimal 1


organ: kardiovaskular atau sindrom distress pernapasan
akut) atau minimal 2 disfungsi organ lainnya.

Syok septik: sepsis + syok yang refrakter terhadap


resusitasi cairan atau disfungsi kardiovaskular

2. Anamnesis 1. Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer


atau dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari
timbulnya sepsis.
2. Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam,
hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang disusul
dengan hipotensi
3. Gelisah dan agitasi
4. Letargi
5. Muntah
6. BAK sedikit
7. Riwayat luka bakar luas
8. Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
9. Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/
rawat inap
10. Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway
11. Riwayat pemberian antibiotik atau antivirus
3. Pemeriksaan 1. Penurunan kesadaran, letargi, agitasi
fisik 2. Hipotermia atau hipertermia
3. Takikardia atau bradikardi
4. Hiperventilasi
5. Gangguan perfusi atau hipotensi
6. Dehidrasi
7. Perut kembung
8. Timbulnya petekia dan purpura
9. Ditemukan selulitis atau inflamasi sendi
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Sepsis

6. Diffrential 1. Intoksikasi
diagnosis 2. Sindrom Kawasaki
3. Leptospirosis
4. Tuberkulosis
5. Malaria
6. Kriptokokosis
7. Penyakit Lyme
8. Rocky Mountain Spotted Fever
9. Keganasan
7. Pemeriksaan 1. Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, hitung
Penunujang jenis leukosit, dengan apus darah tepi, LED
2. SGOT, SGPT, Bilirubin Total, Direk dan Indirek
3. Gula Darah Sewaktu
4. Ureum dan Creatinin
5. CRP
6. Procalcitonin
7. Elektrolit: Na, K, Ca, Cl
8. PT, aPTT, d-dimer, fibrinogen
9. Analisa gas darah
10. Urinalisis
11. Biakan darah berulang
12. Biakan urin
13. Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses
14. Biakan jamur pada darah dan urin
15. Pemeriksaan radiologis
16. Laktat
8. Tatalaksana 1. Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat
diberikan:
a. Sefotaksim 100-150mg/kgBB/hari iv dalam 3
dosis atau Ampicillin (150-200 mg/kg/hari iv
dalam 3 dosis) + Gentamisin (5-7 mg/kg/hari
dalam 2 dosis atau dosis tunggal)
b. Antibiotik spektrum luas sesuai pola kuman
rumah sakit jika kuman berasal dari health care
associated infections (HAISs)
c. Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan
bersama obat di atas bila didapatkan kecurigaan
bakteri anaerob.
d. Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi,
antibiotik diberikan secara definitif.
2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi
cairan, koreksi asam-basa.
3. Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien,
antara lain dengan pemberian oksigen dan
mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka
4. Terapi Oksigen
5. Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
6. Terapi cairan intravena termasuk TPN
7. Glucose control: pertahankan kadar gula darah >70
mg/dl
8. Anti jamur sistemik atas indikasi
9. Antipiretik: parasetamol
10. Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
11. Terapi inhalasi
12. Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin
13. Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
14. Source control: drain dan debridement sumber
infeks bila memungkinkan
9. Edukasi 1. Tirah baring
2. Imunisasi
3. Perbaiki nutrisi
4. Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
5. Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam: dubia
11. Tingkat III
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 10-15 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi
16. Kepustakaan 1. Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP,
Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
2. Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam:
Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE.
Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke
13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
3. Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric
infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB
Lippincott, 1989. H 292-9
4. Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic
shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis Journ,
1992; 11: 739-49
5. Goldstein B, Giroir B, Rnadoplph A; International
Consensus Conference on Pediatric Sepsis.
International pediatric sepsis consensus conference :
definition for sepsis and organ dysfunction in
pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005. Jan;6(1):2-8
6. Dellinger RP, et al. Surviving Sepsis Campaign :
International Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care
Medicine, 2013. Feb;41(2):580-637

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK
ICD-10 : I09.8

1. Defini 2. Demam rematik (DR)


si adalah sindrom klinik akibat infeksi kuman
Streptococcus beta hemolyticus grup A, dengan satu
atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut,
karditis, korea minor, nodul subkutan atau eritema
marginatum.

3. Demam Rematik Akut (DRA)


adalah istilah untuk penderita demam rematik yang
terbukti dengan tanda radang akut.

4. Demam Rematik Inaktif


adalah istilah untuk penderita dengan riwayat demam
rematik tetapi tanpa terbukti tanda radang akut.

5. Penyakit Jantung Rematik (PJR)


adalah kelainan jantung yang ditemukan pada DRA
atau kelainan jantung yang merupakan gejala sisa
(sekuele) dari DR.

2. Anamnesis 1. Demam, nyeri pada persendian yang berpindah pindah,


tanda- tanda peradangan pada sendi (merah, panas,
nyeri dan fungsilaesia).
2. Adanya gerakan-gerakan cepat, bilateral tanpa tujuan
dan sukar dikendalikan.
3. Pucat, malaise, cepat lelah, dan gejala lain seperti
epistaksis dan nyeri perut.
4. Riwayat sakit tenggorokan 1-5 minggu (rata-rata 3
minggu) sebelum timbul gejala
5. Riwayat demam rematik pada waktu lampau.
6. Riwayat keluarga dengan demam rematik
3. Pemeriksaan 1. Poliartritis migrans
fisik Biasanya menyerang sendi-sendi besar seperti sendi
lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan.
Sendi yang terkena menunjukkan gejala peradangan
yang jelas seperti bengkak, merah, panas sekitar sendi,
nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi. Artritis
reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah.
Kelainan ini ditemukan pada sekitar 70% pasien DRA.
2. Karditis
Karditis merupakan gejala mayor terpenting, karena
hanya karditis yang dapat meninggalkan gejala sisa,
terutama kerusakan katup jantung.
Seorang penderita demam reumatik dikatakan
menderita karditis bila ditemukan satu atau lebih
tanda-tanda berikut:
a. Bunyi jantung melemah
b. Adanya bising sistolik, mid diastolik di apeks atau
bising diastolik di basal jantung
c. Perubahan bising misalnya dari derajat I menjadi
derajat II.
d. Takikardia / irama derap
e. Kardiomegali
f. Perikarditis
g. Gagal jantung kongestif tanpa sebab lain.

Tabel 2. Pembagian Karditis menurut Decourt

Karditis Ringan Karditis Sedang Karditis Berat

Takikardi, Tanda-tanda Ditandai dengan


murmur ringan karditis ringan, gejala
pada area mitral, bising jantung sebelumnya
jantung yang yang lebih jelas ditambah gagal
normal, EKG pada area mitral jantung kongestif
normal dan aorta,
aritmia,
kardiomegali,
hipertropi atrium
kiri dan ventrikel
kiri.

3. Korea Sydenham
Gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan
sukar dikendalikan. Seringkali disertai dengan
kelemahan otot dan gangguan emosional. Semua otot
terkena, tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan
ekstremitas.

4. Eritema marginatum
Kelainan kulit berupa bercak merah muda, berbentuk
bulat, lesi berdiameter sekitar 2,5 cm, bagian
tengahnya pucat, sedang bagian tepinya berbatas
tegas, tanpa indurasi, tidak gatal, paling sering
ditemukan pada batang tubuh dan tungkai proksimal.

5. Nodul subkutan
Terletak di bawah kulit, keras, tidak sakit, mudah
digerakkan dan berukuran 3-10 mm. Lokasinya sekitar
ekstensor sendi siku, lutut, pergelangan kaki dan
tangan, daerah oksipital, serta di atas prosesus
vertebra torakalis dan lumbalis.

4. Kriteria Diagnosis demam rematik ditegakkan berdasarkan


Diagnosis Kriteria WHO tahun 2003 (berdasarkan revisi kriteria
Jones)

Tabel 1. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk


Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit
Jantung Rematik (berdasarkan Revisi
Kriteria Jones)

Kategori Diagnostik Kriteria

 Demam  Dua mayor


rematik serangan atau satu mayor dan
pertama dua minor ditambah
dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
 Demam  Dua mayor
rematik serangan atau satu mayor dan
rekuren tanpa PJR dua minor ditambah
dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
 Demam  Dua minor
rematik serangan ditambah dengan bukti
rekuren dengan PJR infeksi SGA sebelumnya
 Korea  Tidak
Sydenham diperlukan kriteria
mayor lainnya atau
bukti infeksi SGA
 PJR (stenosis  Tidak
mitral murni atau diperlukan kriteria
kombinasi dengan lainnya untuk
insufisiensi mitral mendiagnosis sebagai
dan/atau gangguan PJR
katup aorta)
Sumber: WHO, 2004

5. Diagnosis
Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (ICD-10 :
I09.8)
6. Diffrential 1. Juvenile rheumatoid arthritis
diagnosis
2. SLE, artritis reaktif, artritis infeksius
3. Artritis akut karena virus (rubella, parvovirus, hepatitis
B, herpes, enterovirus)
7. Pemeriksaan 1. Laboratorium: ASTO dan kultur apus tenggorokan
Penunujang
2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Tatalaksana 1. Antibiotika
a. Untuk Eradikasi:
Benzatin penisilin.G:
BB ≤27 kg = 600.000-900.000 unit
BB ≥27 kg = 1,2 juta unit
Bila tidak ada, dapat diberikan Prokain Penisilin
50.000 Iµ/kgBB selama 10 hari.
 Alternatif lain:
Penisilin V (oral): BB ≤27 kg 2-3 x 250 mg

BB >27 kg 2-3 x 500 mg

 Amoksisilin (oral): 50 mg/kgBB/hari, dosis


tunggal (maks. 1 g) selama 10 hari
 Bila alergi terhadap penisilin dapat digunakan:
- Sefalosporin spektrum sempit: sefaleksin,
sefadroksil
- Klindamisin: 20 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
(dosis maks. 1,8 g/hari) selama 10 hari
- Azitromisin: 12 mg/kgBB/hari, dosis tunggal
(dosis maks. 500 mg) selama 5 hari
- Klaritromisin: 15 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
(maks. 250 mg/kali) selama 10 hari
- Eritromisin: 40 mg/kgBB/hari dibagi 2-4 kali
sehari (dosis maksimum 1 g/hari) selama 10 hari
b. Untuk profilaksis sekunder:
 Benzatin penisilin G:
BB ≤27 kg = 600.000 unitsetiap 3 atau 4 minggu, i.m

BB >27 kg = 1,2 juta unit


 Alternatif lain:
- Penisilin V : 2 x 250 mg, oral
- Sulfadiazin : BB ≤27 kg 500 mg sekali
sehari
BB >27 kg 1000 mg sekali sehari
Bila alergi terhadap Penisilin dan Sulfadiazin dapat
diberikan:

- Eritromisin
- Klaritromisin
- Azitromisin

9. Edukasi Tabel 2. Lama pemberian antibiotika profilaksis


sekunder:
Lama pemberian setelah
Kategori
serangan terakhir

Demam rematik dengan Selama 10 tahun atau


karditis dan penyakit sampai usia 40 tahun,
jantung residual (kelainan pada beberapa kondisi
katup persisten) (risiko tinggi terjadi
rekuren) dapat seumur
hidup

Demam rematik dengan Selama 10 tahun atau


karditis tetapi tanpa sampai usia 21 tahun
penyakit jantung residual
(tanpa kelainan katup)

Demam rematik tanpa Selama 5 tahun atau


karditis sampai usia 21 tahun

2. Obat Anti Inflamasi: diberikan untuk DRA atau


PJR yang rekuren
Tabel 3. Rekomendasi penggunaan anti inflamasi
Karditi Karditi
Hanya Karditi
s s
Artritis s Berat
Ringan Sedang

Predniso - - 2-4 2-6


n mgg* mgg*

Aspirin a.100 3-4 6-8 mgg 2-4 bln


mg/kgBB/ mgg**
hr dalam
4-6 dosis
(2 mgg)

b.Kemudian
dosis
dikurangi
menjadi
60
mg/kg/
hari (4-6
mgg)

Dosis : Prednison 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis

Aspirin 100 mg/kgBB/hari dibagi 4-6 dosis


* Dosis Prednison di tappering (dimulai pada minggu
ketiga) dan Aspirin dimulai minggu ketiga kemudian
di tappering.
** Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kgBB
setelah 2 minggu pengobatan

3. Istirahat (lihat tabel 3)


Tabel 4 Petunjuk tirah baring dan ambulasi

Kardit Kardit
Hanya
is is Karditis
Artriti
Ringa Sedan Berat
s
n g

Tirah baring 1-2 3-4 4-6 Selama


mingg mingg mingg masih
u u u terdapat
gagal
jantung
kongestif
Ambulasi 1-2 3-4 4-6 2.3 bul
bertahap mingg mingg mingg an
(boleh rawat u u u
jalan bila
tidak
mendapat
steroid)
4. Penanganan gagal jantung kongestif sesuai
tatalaksana gagal jantung kongestif
5. Tatalaksana Korea Sydenham’s:

a. Kurangi aktivitas fisik dan stres

b. Untuk kasus berat dapat digunakan:

- Fenobarbital: 15-30 mg setiap 6-8 jam atau

- Haloperidol dimulai dengan dosis 0,5 mg dan


ditingkatkan setiap 8 jam sampai 2 mg
6. Pasien dengan gejala sisa berupa PJR, memerlukan
tatalaksana tersendiri (akan dirujuk) tergantung pada
berat ringannya penyakit, berupa:
a. Tindakan dilatasi balloon perkutan (balloon mitral
valvulotomy) untuk mitral stenosis
b. Tindakan operasi katup jantung berupa valvuloplasti
atau penggantian katup.
10. Prognosis 1. Mengurangi aktivitas fisik dan stress.
2. Menjelaskan tentang lama pemberian antibiotik
profilaksis sekunder (Tabel 3) dan efek samping
pengobatan.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene,
terutama kebersihan gigi dan mulut untuk mencegah
terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan prognosis penyakit.
11. Tingkat Tergantung ada tidaknya kerusakan jantung permanen;
Evidens
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
12. Tingkat I / II
Rekomendasi
13. Penelaah A
Kritis
14. Indikator SMF Kesehatan Anak
medis
15. Target 1. Gagal jantung telah teratasi.
2. Jadwal tirah baring dan terapi steroid telah selesai.
16. Kepustakaan 1. Eradikasi streptokokus pada tenggorokan dan
profilaksis sekunder dengan antibiotika.
2. Mengurangi dan mengatasi kecacatan pada katup
jantung.
3. Mengurangi dan mencegah komplikasi
1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th
edition. Mosby Elsevier, Texas.
2. World Health Organization 2004, WHO technical report
series: rheumatic fever and rheumatic heart disease,
Geneva.
3. Working Group on Pediatric Acute Rheumatic Fever
and Cardiology 2008, Consensus guidelines on
pediatric acute rheumatic fever and rheumatic heart
disease, Indian Pediatrics, vol. 45, pp. 565-573.
4. National Heart Foundation of Australia and the
Cardiac Society of Australia and New Zealand 2006,
Diagnosis and management of acute rheumatic fever
and rheumatic heart disease in Australia: an evidence-
based review, National Heart Foundation of Australia.
5. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar
kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.
6. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005,
Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak,
UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

DEKOMPENSASI KORDIS
ICD-10 : I51.9

1. Definisi Dekompensasi kordis adalah ketidakmampuan jantung


untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi
kebutuhan tubuh.

2. Anamnesis 1. Sesak napas terutama saat beraktivitas. Sesak napas


dapat mengakibatkan kesulitan makan/minum dan,
dalam jangka panjang, gagal tumbuh;
2. Sering berkeringat (peningkatan tonus simpatis);
3. Ortopnea: sesak nafas yang mereda pada posisi tegak;
4. Dapat dijumpai mengi;
5. Edema di perifer atau pada bayi biasanya di kelopak
mata.
3. Pemeriksaan 1. Tanda gangguan miokard
fisik
- Takikardia: HR >60 kali/menit pada bayi dan 100
kali/menit pada anak (saat diam). Jika HR >200
kali/menit perlu dicurigai ada takikardia
supraventrikular
- Kardiomegali pada pemeriksaan fisis dan/atau foto
thorak
- Peningkatan tonus simpatis: berkeringat, gangguan
pertumbuhan
- Irama derap (gallop).

2. Tanda kongesti vena paru (gagal jantung kiri)


- Takipne
- Sesak napas, terutama saat aktivitas
- Ortopne
- Mengi atau ronki
- Batuk

3. Tanda kongesti vena sistemik (gagal jantung kanan)


- Hepatomegali: kenyal dan tepi tumpul
- Peningkatan tekanan vena jugularis (tidak ditemukan
pada bayi)
- Edema perifer (tidak dijumpai pada bayi)
- Kelopak mata bengkak (pada bayi)

4. Kriteria 1. Berdasarkan cardiac output: high dan low cardiac


Diagnosis failure
2. Berdasarkan onset: akut dan kronik
3. Berdasarkan sisi jantung: kiri, kanan, atau kiri dan
kanan
4. Berdasarkan klasifikasi fungsional NYHA (New York
Heart Association):
- Derajat I : asimptomatik
- Derajat II : dispnu bila aktivitas sedang
- Derajat III : dispnu bila aktivitas ringan
- Derajat IV : dispnu dalam keadaan istirahat.
5. Diagnosis Dekompensasi Kordis (ICD-10 : I51.9)
6. Diffrential Diagnosis banding etiologi:
diagnosis
1. Peningkatan beban volume: DSV,
DAP, insufisiensi katup jantung, anemia, gagal ginjal
dengan retensi cairan, dsb.
2. Peningkatan beban tekanan:
stenosis katup aorta atau pulmonal, hipertensi
sistemik/pulmonal, dsb
3. Gangguan miokard:
kardiomiopati, miokarditis
4. Perubahan frekuensi denyut
jantung: SVT, atrial flutter, atrial fibrilasi dsb.
7. Pemeriksaan 1. EKG
Penunujang 2. Lab darah: Hb, lekosit, hitung jenis, LED.
3. Foto thorak
4. Analisis gas darah dan elektrolit
5. Ekokardiografi
8. Tatalaksana 1. Istirahat di tempat tidur, posisi setengah duduk. Bayi
ditidurkan dengan posisi 30-45 derajat.

2. Berikan oksigen (2-4 L/menit)

3. Berikan cairan ¾ kebutuhan normal perhari. Bila


terdapat anemia berat berikan tranfusi darah (packed
cell) terlebih dahulu, jumlah: 5-10 cc/kgBB diberikan
selama 2-3 jam.

4. Medikamentosa:

a. Diuretika (Furosemid) 1-2 mg/kgBB/kali iv


diberikan 2 kali perhari
b. Digitalisasi
Digitalisasi awal digoksin 30-50 g/kgBB sehari
peroral, dengan cara pemberian:
- ½ dosis diberikan pertama kali
- ¼ dosis 8 jam kemudian
- ¼ dosis diberikan 16 jam setelah dosis pertama
Dosis pemeliharaan digoksin (oral) 10-20
g/kgBB/hari diberikan pada hari kedua dan
seterusnya. Indikasi digitalis: takikardia, atrial
flutter, kardiomiopati.
Untuk dekompensasi dengan NYHA derajat I-III
dapat langsung dengan dosis pemeliharaan. Hati-
hati pemberian digitalis pada DR/PJR,
bronkopnemonia. Digitalis tidak boleh diberikan
pada stenosis aorta, stenosis pulmonal, koarktasio
aorta, anemia (Hb <6 g%).
c. Vasodilator
Diberikan pada:
- Dekompensasi kordis yang disebabkan
pirau besar (DSV, DAP, DSAV)
- Dekompensasi kordis yang tidak responsif
dengan pengobatan di atas.
Dapat diberikan Kaptopril oral, dengan dosis 0,1-2
mg/kgBB/kali, dengan dosis maksimum 6
mg/kgBB/hari (dipilih dosis rendah). Diberikan
dalam tiga kali pemberian.
5. Atasi penyakit utama atau penyakit penyerta (RHD),
bronkopnemonia, anemia, CHD, dll.
6. Diet rendah garam
7. Pengawasan yang ketat terhadap gejala klinik untuk
menilai:
- Frekuensi denyut jantung, frekuensi napas
- Berat badan
- Tekanan vena jugularis
- Pembesaran hati, edema
- Produksi urin dalam 24 jam
9. Edukasi 1. Definisi dan etiologi: memahami penyebab dan gejala
yang timbul.
2. Prognosis: memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis
3. Pemantauan gejala: mengetahui mengapa dan kapan
harus ke dokter/rumah sakit
4. Terapi farmakologi: memahami indikasi, dosis, dan
efek obat
5. Diit, latihan
10. Prognosis Tergantung faktor pencetus/penyebab yang mendasari;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Gagal jantung teratasi
medis
15. Target 1. Menghilangkan faktor penyebab, misalnya penutupan
duktus arteriosus persisten
2. Menghilangkan faktor presipitasi, misalnya mengobati
infeksi, anemia, aritmia
3. Mengatasi gagal jantung
16. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for
practitioners, 5th edition. Mosby Elsevier, Texas.
2. The Task Force for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the
European Society of Cardiology 2012, ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2012, European Heart Journal, vol. 33, pp. 1787-1847.
3. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S,
Idris, NS & Gandaputra, EP 2009, Pedoman pelayanan
medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
4. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994,
Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
5. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE &
Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung pada
bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

DUKTUS ARTERIOUS PERSISTEN (DAP)


ICD-10 : Q25.0

1. Definisi
Kelainan jantung bawaan yang ditandai dengan tetap
terbukanya duktus arteriosus.
2. Anamnesis 1. Adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
2. Takipneu.
3. Gangguan kesulitan minum.
4. Gangguan toleransi latihan,
5. Riwayat infeksi saluran nafas berulang.
3. Pemeriksaan 1. DAP kecil/sedang: BJ I dan BJ II normal, bising kontinu
fisik derajat III-V pada ICS II kiri linea sternalis.
2. DAP besar: hiperaktivitas ventrikel kiri dan kanan, murmur
kontinu kasar derajat III-IV pada ICS II kiri linea sternalis,
murmur diastolik di apeks.
3. DAP dengan hipertensi pulmonal: P2 mengeras dan bising
sistolik.
4. Kriteria 1. Anamnesis.
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik jantung: tetapkan
perkiraan besar DAP. tetapkan apakah terjadi gagal
jantung, tanda-tanda hipertensi pulmonal serta
adanya sindroma Eisenmenger
3. EKG untuk menentukan adanya
beban volume
4. Foto thorak untuk menilai corakan
vaskuler paru
5. Ekokardiografi untuk menentukan
besarnya DAP
6. Kateterisasi hanya dilakukan bila
dicurigai ada hipertensi pulmonal.
5. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten (ICD-10 : Q25.0)

6. Pemeriksaan 1. EKG
Penunujang
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
4. Kateterisasi
7. Tatalaksana Tutup DAP
1. Medikamentosa: Ibuprofen

Hanya efektif pada bayi prematur usia <1 minggu


Dosis:

Hari Dosis
I 10 mg/kgBB
II 5 mg/kgBB
III 5 mg/kgBB
Kontraindikasi:
a. Sepsis,
b. Perdarahan aktif saluran pencernaan,
c. Perdarahan periintraventrikular berat (PPIV derajat
III dan IV),
d. Trombositopenia (<50.000/mm3),
e. Penurunan fungsi ginjal (diuresis <1 cc/kgBB/jam;
serum kreatinin ≥1,3 mg/dL),
f. Penyakit jantung kongenital ductal dependent
g. Enterokolitis nekrotikans.

2. Transkateter dengan menggunakan:


a. Coil: untuk DAP dengan diameter <3 mm
(DAP kecil)
b. ADO (Amplatzer Ductal Occluder): untuk DAP
sedang

3. Operasi: ligasi atau pemotongan duktus

Indikasi pada:
 DAP besar
 DAP besar dengan gejala dekompensasi kordis
yang terjadi pada bayi baru lahir atau anak dengan
BB <6 kg
8. Edukasi 1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala
yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke
dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene,
terutama kebersihan gigi dan mulut untuk mencegah
terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk
penutupan DSV
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan
efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis.

10. Prognosis Tergantung ukuran, lokasi, ada tidaknya hipertensi


pulmonal, ada tidaknya gagal jantung;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Perbaikan klinis dan keadaan
medis umum membaik

2. Gagal jantung teratasi

15. Target 1. DAP menutup

2. Mencegah sindroma Eisenmenger, infective


endocarditis, emboli, dilatasi/aneurisma a. pulmonalis

16. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th


edition. Mosby Elsevier, Texas.
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS &
Gandaputra, EP 2009, Pedoman pelayanan medis,
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar
kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005,
Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak,
UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL (DSV)


ICD-10 : Q21.0

1. Definisi Kelainan jantung bawaan yang ditandai adanya


lubang/defek pada septum interventrikular.

2. Anamnesis 1. Gangguan pertumbuhan.

2. Gangguan kesulitan minum.

3. Gangguan toleransi latihan.

4. Riwayat infeksi saluran nafas berulang.

3. Pemeriksaan 1. DSV kecil: BJ I dan BJ II normal, bising pansistolik


fisik
meniup dengan nada tinggi derajat III-V pada linea
parasternalis kiri ICS III-IV.
2. DSV sedang: Pemeriksaan jantung BJ I dan II normal,
bising pansistolik kasar derajat III-IV linea
parasternalis ICS III-IV.
3. DSV besar: Sering mengalami gagal jantung. Jantung
hiperaktivitas ventrikel kiri dan kanan, murmur
sistolik kasar derajat III-IV pada linea parasternalis kiri
ICS III-IV, murmur diastolik di apeks.
4. DSV dengan hipertensi pulmonal: P2 mengeras dan
bising sistolik.
5. DSV dengan sindrom Eisenmenger: sianosis pada
saat latihan, kemudian pada saat istirahat.
4. Kriteria 1. Berdasarkan besar defek:
Diagnosis  DSV kecil : diameter defek kurang
dari 1/3 diameter aorta
 DSV sedang : diameter defek 1/3-
2/3 diameter aorta
 DSV besar : diameter >2/3
diameter aorta
2. Berdasarkan lokasi defek:
 DSV perimembran/infrakristal
 DSV suprakristal/subarterial doubly
committed
 DSV muskuler
 DSV posterior
3. Berdasarkan tekanan pulmonal:
 DSV tanpa hipertensi pulmonal
 DSV dengan hipertensi pulmonal

5. Diagnosis Defek Septum Ventrikel (ICD-10 : Q21.0)


6. Pemeriksaan 1. EKG untuk menentukan adanya beban volume.
Penunujang 2. Foto thorak untuk menilai corakan vaskuler paru.
3. Ekokardiografi untuk memastikan ukuran dan lokasi
defek.
4. Kateterisasi pada DSV sedang dan besar atau secara
klinis dicurigai terdapat hipertensi pulmonal untuk
menilai hemodinamik.
7. Tatalaksana 1. Medikamentosa
 Bila ada gagal jantung kongestif tatalaksana sesuai
gagal jantung kongestif.
 Antibiotika profilaksis untuk mencegah Infektif
endokarditis, bila akan dilakukan tindakan seperti
cabut gigi atau sirkumsisi (Amoksisillin 50
mg/kgBB/hari selama 5 hari)

2. Operasi
1) Prosedur:
- PA banding: merupakan prosedur yang bersifat
paliatif (untuk mengurangi aliran darah ke paru
dan menurunkan tekanan arteri pulmonalis).
Prosedur ini jarang dilakukan kecuali bila
terdapat lesi tambahan lain sehingga prosedur
untuk menutup DSV sulit dilakukan.

- Tutup DSV dengan cara operasi: menggunakan


patch (surgical closure)

2) Indikasi dan waktu operasi:


- Usia 4-5 tahun dengan signifikan L-R shunt
dengan Qp/Qs >1,5

- Bayi dengan gagal jantung kongestif dan retardasi


pertumbuhan yang tidak respon dengan terapi
medikamentosa sebaiknya dioperasi pada usia
yang lebih awal.
8. Edukasi 1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala
yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke
dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene,
terutama kebersihan gigi dan mulut untuk mencegah
terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk
penutupan DSV
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan
efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis.
10. Prognosis Tergantung ukuran, lokasi, dan ada tidaknya hipertensi
pulmonal;

Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Perbaikan klinis dan keadaan umum membaik.
medis
2. Gagal jantung teratasi.

15. Target 1. DSV menutup

2. Mencegah dan mengatasu komplikasi


16. Kepustakaan
1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th
edition. Mosby Elsevier, Texas.
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS &
Gandaputra, EP 2009, Pedoman pelayanan medis,
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar
kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005,
Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak,
UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

DEFEK SEPTUM ATRIUM (DSA)


ICD-10 : I51.0

1. Definisi Terdapatnya defek pada septum atrium.

2. Anamnesis 1. Gangguan pertumbuhan.


2. Gangguan kesulitan minum.
3. Gangguan toleransi latihan.
4. Riwayat infeksi saluran nafas berulang.

3. Pemeriksaan 1. Defek kecil : bunyi jantung II wide fixed split. Bising


fisik ejeksi sistolik II-III/6 di tepi kiri sternal
atas.
2. Defek besar : bunyi jantung II wide fixed split. Bising
ejeksi sistolik II-III/6 di tepi kiri sternal
atas. Bising mid diastolik murmur di
tepi kiri bawah sternal.

4. Kriteria 1. Anamnesis
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG: RAD, RVH, RBBB.
4. Foto thorak: kardiomegali dan corakan vaskular paru
meningkat.
5. Ekokardiografi: untuk memastikan defek dan
mengukur besar defek.
a. Berdasarkan lokasi:

 DSA primum

 DSA sekundum

 DSA sinus venosus


b. Berdasarkan besarnya defek:

 DSA kecil

 DSA besar
c. Berdasarkan tekanan pulmonal:

 DSA tanpa hipertensi pulmonal

 DSA dengan hipertensi pulmonal


6. Kateterisasi: hanya dilakukan bila kecurigaan
hipertensi pulmonal.
5. Diagnosis Defek Septum Atrium (ICD-10 : I51.0)
6. Pemeriksaan 1. EKG: untuk menentukan adanya beban volume.
Penunujang 2. Foto thorak: untuk menilai corakan vaskuler paru.
3. Ekokardiografi: untuk memastikan defek dan dapat
mengukur besarnya defek.
4. Kateterisasi: bila dicurigai ada hipertensi pulmonal.
7. Tatalaksana Tutup ASD:
1. Tanpa operasi/transkateter: menggunakan ASO
(Amplatzer Septal Occluder)

Indikasi: DSA sekundum dengan minimal batas rim


superior dan inferior 7 mm
2. Operasi: usia 3-5 tahun

8. Edukasi 1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala


yang timbul.

2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke


dokter/rumah sakit.

3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene,


terutama kebersihan gigi dan mulut untuk mencegah
terjadinya infective endocarditis.

4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk


penutupan DSA

5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan


efek obat

6. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang


mempengaruhi prognosis

10. Prognosis Tergantung ukuran, lokasi, dan ada tidaknya hipertensi


pulmonal;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Perbaikan klini dan keadaan umum membaik
medis
2. Gagal jantung teratasi.

15. Target 1. DSA menutup

2. Mencegah/mengatasi komplikasi

16. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th


edition. Mosby Elsevier, Texas.
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS &
Gandaputra, EP 2009, Pedoman pelayanan medis,
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar
kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005,
Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak,
UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

TETRALOGI OF FALLOT
ICD-10 : Q21.3

1. Definisi
Merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terdiri
dari DSV, stenosis pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan,
dan overriding aorta
2. Anamnesis 1. Sianosis saat lahir atau segera setelah lahir

2. Sesak napas saat aktivitas

3. Squatting

4. Hipoxic spell

3. Pemeriksaan 1. Aktivasi ventrikel kanan meningkat


fisik
2. Bunyi jantung II tunggal

3. Thrill sistolik di bagian bawah dan tengah tepi kiri


sternal

4. Bising ejeksi sistolik yang keras (derajat III-V/6) di


bagian atas dan tengah tepi kiri sternal.

4. Kriteria 1. Anamnesis.
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG.
4. Foto thorak.
5. Ekokardiografi.

Langkah diagnosis
Pikirkan kemungkinan TOF jika menemukan PJB
sianotik atau pada yang relatif ringan pada PJB dengan
gagal tumbuh + gejala squatting + sianosis/sesak pada
peningkatan aktivitas fisik (pada bayi sianosis ketika
menyusu atau menangis).

Perhatikan secara khusus hal-hal berikut:


1. Pemeriksaan fisik jantung
2. EKG:

- Deviasi aksis ke kanan

- RVH
3. Foto thorak:

- Ukuran jantung normal

- “Boot shaped” heart


- Corakan vaskuler paru menurun
4. Ekokardiografi:

- VSD subaortic besar

- Overriding aorta

- Stenosis pulmonal/obstruksi RVOT (Right


Ventricle Outflow Track)

- RVH
5. Diagnosis Tetralogi of Fallot (ICD-10 : Q21.3)

6. Pemeriksaan 1. EKG
Penunujang
2. Foto thorak

3. Ekokardiografi

7. Tatalaksana 1. Medikamentosa
a. Propranolol 1-2 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis
untuk mencegah serangan sianotik (“hypoxic spells”)
b. Deteksi dan terapi anemia defisiensi besi
c. Profilaksis terhadap infective endocarditis untuk
setiap tindakan invasif (Amoksisilin 50 mg/kgBB
selama 5 hari)
d. Pada serangan sianotik (hypoxic spells):
- Pasien diletakkan dalam posisi “knee-chest”:
untuk meningkatkan resistensi sistemik
- Oksigen 2-4 L/menit
- Morfin sulfate 0,1-0,2 mg/kg/subkutan
- Atasi asidosis dengan pemberian Sodium
bikarbonat 1 mEq/kg IV
- Bila dengan terapi di atas belum ada
perbaikan dapat diberikan Propranolol 0,01-0,25
mg/kg/dosis (rata-rata 0,05 mg/kg) IV pelan-
pelan
- Untuk mencegah berulangnya serangan sianotik
diberikan Propranolol oral 1-2 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis

2. Operasi: rujuk ke RSCM/RSJ Harapan Kita


a. Paliatif: Blalock Taussig Shunt, dilakukan
pada bayi dengan klinis sangat sianotik.
b. Koreksi total

Prosedur paling baik dilakukan pada usia 1-5


tahun. Prosedur ini meliputi menutup VSD,
melebarkan RVOT yang sempit dengan cara reseksi
jaringan otot infundibular.
8. Edukasi Higiene mulut perlu diperhatikan untuk meniadakan
sumber infeksi terjadinya infective endocarditis

10. Prognosis Tergantung ukuran defek;

Ad vitam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Hypoxic spell teratasi
medis
15. Target Tindakan operatif koreksi total TOF sudah dilakukan
pada usia 1-5 tahun.

16. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th


edition. Mosby Elsevier, Texas.

2. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar


kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.

3. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005,


Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak,
UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
KAWASAKI DISEASE
ICD-10 : M30.3

1. Definisi Kawasaki disease adalah vaskulitis akut, self-limited,


tidak diketahui penyebabnya, terutama mengenai bayi
dan anak-anak.

2. Anamnesis Demam terus-menerus selama 5 hari

3. Pemeriksaan Fase akut


fisik
a. Gejala utama:

1. Demam tinggi (lebih dari 39oC)

2. Konjungtivitis

3. Perubahan pada bibir dan mukosa mulut antara


lain:

- Eritema, bibir kering dan perdarahan pada bibir

- Strawberry tongue

- Eritema yang menyebar pada mukosa orofaringeal

4. Eritema pada telapak tangan dan kaki, edema, dan


kadang-kadang terdapat nyeri

5. Pembesaran kelenjar limfe pada regio servikal

b. Gejala-gejala kardiovaskuler:

1. Takikardia, irama gallop dan atau gejala-gejala


gagal jantung

2. Kardiomegali

3. Efusi perikardial

4. Murmur pada regurgitasi katup mitral

5. Perubahan pada EKG meliputi: aritmia,PR interval


yang memanjang, perubahan gelombang segmen
ST-T

6. Kelainan pada arteri koronaria (terlihat pada akhir


minggu pertama).

c. Gangguan pada sistem organ yang lain, yaitu:

1. Sistem muskuloskeletal: artritis atau artralgia pada


beberapa sendi baik sendi yang kecil maupun sendi
yang besar
2. Sistem genitourinaria: piuria yang steril

3. Sistem gastrointestinal: nyeri perut dengan diare,


gangguan fungsi hati, gangguan pada kandung
empedu ditandai dengan ikterik

4. Sistem saraf pusat: iritabilitas, letargi atau


semikoma meningitis aseptik, dan tuli sensoris

Fase Subakut

1. Deskuamasi (pengelupasan) pada ujung


jari-jari tangan dan kaki merupakan karakteristik
utama

2. Rash, demam dan limfadenopati

Fase Konvalesens

Terdapat garis melintang (Beau’s line) pada jari-jari


tangan dan kaki.

4. Kriteria Karakteristik untuk menegakkan diagnosis:


Diagnosis
1. Demam terus-menerus selama 5 hari
2. Terdapat minimal 4 dari 5 karakteristik berikut:
a. Perubahan pada ekstremitas
- Akut: eritema dan edema
- Subakut: pengelupasan pada jari tangan dan jari
kaki pada minggu kedua dan ketiga
b. Eksantema pilomorpus
c. Infeksi konjungtiva bulbar bilateral tanpa eksudat
d. Perubahan pada bibir dan rongga mulut: eritema,
bibir kering, strawberry tongue, infeksi mukosa
mulut dan faringeal yang menyebar
3. Limfadenopati servikal (diameter >1,5 cm) biasanya
unilateral.
4. Menyingkirkan penyakit lain yang mempunyai gejala
klinis yang sama.

 Diagnosis Kawasaki disease dapat ditegakkan


bila terdapat demam >5 hari dan sedikitnya
terdapat 4 dari 5 karakteristik di atas
 Pasien dengan demam >5 hari dan memenuhi
kurang dari 4 kriteria di atas dapat didiagnosis
Kawasaki disease bila ditemukan abnormalitas
arteri koronaria melalui ekokardiografi
 Pasien yang memenuhi ≥4 kriteria di atas
ditambah dengan demam, dapat didiagnosis
Kawasaki disease pada hari sakit ke-4, tanpa
menunggu hari sakit ke-5.

5. Diagnosis Kawasaki Disease (ICD-10 : M30.3)

6. Diffrential 1. Infeksi virus (misalnya: campak, adenovirus,


diagnosis enterovirus, Epstein-Barr virus)

2. Scarlet fever

3. Staphylococcal scalded skin syndrome

4. Toxic shock syndrome

5. Bacterial cervical lymphadenitis

6. Drug hypersensitivity reactions

7. Stevens-Johnson syndrome

8. Juvenile rheumatoid arthritis

9. Rocky Mountain spotted fever

10. Leptospirosis

11. Mercury hypersensitivity reaction (acrodynia)

7. Pemeriksaan 1. Foto thorak.


Penunujang
2. Elektrokardiografi.

3. Laboratorium

- Leukositosis "shift to the left" dan anemia

- Peningkatan kadar CRP dan ESR

- Trombositosis (biasanya >450.000/mm) terjadi pada


hari ke 7

- Piuria

8. Tatalaksana
- Peningkatan enzim hati, hipoalbumin dengan
hiperbilirubinemia ringan (terjadi pada 10% kasus)
- Peningkatan enzim jantung troponin-1
(menggambarkan adanya kerusakan miokardia)
- Kadar lipid abnormal: penurunan HDL terjadi pada
saat sakit, total kolesterol normal, kadar trigliserid
meningkat.

4. Ekokardiografi
Tujuan untuk mendeteksi adanya aneurisma arteri
koronaria dan berbagai disfungsi kardiak lainnya.
a. Aneurisma arteri koronaria terjadi sebelum hari ke
10, selama periode itu terjadi beberapa
peningkatan:
- Arteritis koronaria
- Penurunan fungsi sistolik LV
- Terjadi regurgitasi katup mitral ringan
- Efusi perikardial
b. Konfigurasi, ukuran, nomor, ada atau tidaknya
intraluminal atau mural trombus sebaiknya
ditelaah lebih lanjut.

9. Edukasi 1. IVIG dosis tinggi (2 g/kgBB), dosis tunggal


(dalam 10-12 jam) dengan aspirin (80-100
mg/kgBB/hari) diberikan dalam 10 hari.

IVIG efektif menurunkan prevalensi terjadinya


abnormalitas arteri koronaria,

2. Dosis Aspirin diturunkan menjadi 3-5


mg/kg/hari dosis tunggal setelah anak bebas
demam 2-3 hari

10. Prognosis Perlunya pemantauan jangka panjang penderita


Kawasaki disease dengan pemeriksaan ekokardiografi
untuk mengevaluasi terjadinya abnormalitas arteri
koronaria.

11. Tingkat Ad vitam : dubia ad bonam


Evidens Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
12. Tingkat I / II
Rekomendasi
13. Penelaah A
Kritis
14. Indikator Perbaikan klinis dan keadaan umum membaik
medis
15. Target 1. Menurunkan inflamasi antara arteri
koronaria dengan miokardium.

2. Mencegah terjadinya trombosis yang


disebabkan oleh inhibisi agregitasi platelet.

16. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th


edition. Mosby Elsevier, Texas.

2. Newburger, JW, Takahashi, M, Gerber, MA, Gewitz,


MH & Tani, LY 2004, Diagnosis, treatment, and long-
term management of kawasaki disease: a statement for
health professionals from the committee on rheumatic
fever, endocarditis, and kawasaki disease, council on
cardiovascular disease in the young, american heart
association. Pediatrics, vol 114, pp. 1708-1733.

3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar


kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

BAYI BERAT LAHIR RENDAH


P 07.1

1. D  Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat


efinisi badan lahir kurang dari 2.500 gram tanpa memandang
masa gestasi.

Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1


jam setelah lahir.

2. A Keadaan ibu selama hamil (sesuai dengan faktor etiologi),


namnesis usia gestasi.

3. Pemeriksaan Pemeriksaan fisis lengkap bayi baru lahir. Pemeriksaan


fisik skor Balard untuk menilai usia gestasi, dan diplot pada
kurva Lubchenco untuk menilai kesesuaian berat lahir
dengan usia gestasi.
Klasifikasi :
A.Berdasarkan berat lahir :
1. Berat lahir kurang dari 1000 gr : bayi berat lahir amat
sangat rendah
2. Berat lahir kurang dari 1500 gr : bayi berat lahir sangat
rendah
3. Berat lahir kurang dari 2500 gr : bayi berat lahir rendah

B.Berdasarkan usia gestasi BBLR dibedakan:


1. 1.Kurang bulan : usia gestasi kurang dari 37 minggu.
2. Cukup bulan : usia gestasi >37 minggu atau lebih.

C.Berdasarkan berat lahir dan usia gestasi maka BBLR dapat


diklasifikasikan menjadi:
1. SMK (sesuai masa kehamilan)
2. KMK (kecil masa kehamilan)
3. atau BMK (besar masa kehamilan).

4. Kriteri Berdasarkan berat lahir dan usia gestasi diklasifikasikan


a Diagnosis sesuai dengan klasifikasi di atas.

5. Diagnosis - Timbang berat bayi

- Tentukan masa gestasi (hari pertama haid terakhir,

Skor Ballard)

- Tentukan bayi sesuai masa kehamilan atau kecil masa

kehamilan dengan menggunakan kurve pertumbuhan


dan perkembangan intra

uterin dari Battalgia dan Lubchenco

• Usia gestasi <37 minggu prematuritas murni

• Usia gestasi ≥36 minggu  dismatur

• Usia gestasi <37 minggu dan berat lahir kurang untuk

masa gestasi

tersebut  gabungan keduanya

-Cari faktor penyebab/risiko yang mendasari

6. Diffrential Sesuai klasifikasi


diagnosis
7. Pemeriksaan Glukosa darah, hemoglobin, leukosit, diff. count, serta
Penunujang pemeriksaan lain atas indikasi (foto thoraks, ECG,USG).

8. Tatalaksana Indikasi rawat:


- Semua bayi berat lahir kurang dari 1.500 gram
- Usia gestasi ≤35 minggu
- Bayi dengan komplikasi

Perawatan:
 Dirawat dalam inkubator, jaga jangan sampai
hipotermi, suhu bayi 36,5-37,5oC
 Bayi dengan distres pernapasan pengobatan lihat bab
distres pernapasan.
 Tentukan usia gestasi
 Bayi BB >1.500 gram tanpa asfiksia dan tak ada
tanda-tanda distres pernapasan dirawat gabung
 Bila bayi <1.500 gram, pindah rawat bagian IKA dan
beri ASI/LLM
 Bayi-bayi KMK (Kecil Masa Kehamilan) diberi minum
lebih dini (2 jam setelah lahir)
 Periksa gula darah dengan dekstrostik bila ada tanda-
tanda hipoglikemia
 Kebutuhan cairan setiap kgBB/24 jam
• Hari ke 1 : 80 cc
• Hari ke 2 : 100 cc
• Hari ke 3 : 120 cc
• Hari ke 4 : 130 cc
• Hari ke 5 : 135 cc
• Hari ke 6 : 140 cc
• Hari ke 7 : 150 cc
• Hari ke 8 : 160 cc
• Hari ke 9 : 165 cc
• Hari ke 10 : 170 cc
• Hari ke 11 : 175 cc
• Hari ke 12 : 180 cc
• Hari ke 13 : 190 cc
• Hari ke 14 : 200 cc
 Jenis Cairan IVFD :
• BB >2.000 gram : dekstrose 10% 500 cc + Ca
glukonas 10%
• BB <2.000 gram : dekstrose 7½% 500 cc + Ca

glukonas 10%
Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 cc / kg BB

- Mulai hari ke-3 baru ditambahkan NaCl 15% 6


cc/kolf dan KCl sesuai kebutuhan.

- Hari kedua diberi protein 1 gram/kgBB/hari,


dinaikkan perlahan- lahan 1½ gram, 2
gram, 2½ gram, 3 gram/kgBB/hari.

- Pada bayi tanpa distres pernapan (RR <60 x/menit)


dapat langsung diberi minum per oral
dengan menghisap sendiri atau dengan
nasogastrik drip. Bila bayi tidak mentolerir semua
kebutuhan peroral, maka diberikan sebanyak yang
dapat ditoleransi lambungnya dan sisanya diberikan
dengan IVFD.

- Pemberian minum tiap 2-3 jam pada bayi dengan BB


<1.500 gram secara sonde lambung, kemudian
dilanjutkan dengan menghisap langsung ASI dari
ibu, secara bertahap 1 x/hari dilanjutkan 2-3 x/hari
dan seterusnya akhirnya sampai penuh sampai bayi
dipulangkan.

- Bayi dengan masa gestasi <32 minggu diberikan:


 Theophilin per oral dosis awal 6 mg dan
dilanjutkan 1,5 mg/kgBB/kali tiap 8 jam sampai
masa gestasi 34 minggu.

 Theophilin juga diberikan pada bayi dengan masa


gestasi 33 -
34 minggu bila bayi tersebut apnu yang disertai
bradikardia dan sianosis.
Bila bayi belum bisa makan per oral dapat juga
diberikan
aminophylin IV dosis awal 7-8 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 2
mg/kgBB tiap 8 jam.
9. Edukasi Penjelasan mengenai komplikasi jangka panjang dan
jangka pendek dari BBLR dan perawtan metode
kangguru.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator - Berat badan
medis
- Kemampuan minum

15. Target Bayi sudah dapat minum secara adekuat sesuai dengan
kebutuhan dan tidak ada komplikasi.

16. Kepustakaan 1. Papageorgiou A., Pelausa E., Kovacs L. The extremely


Low-Birth-Weight infant. Dalam: MacDonald
MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting. Avery’s
Neonatology, pathophysiology & management of the
newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William &
Wilkin, 2005;459-89.

2. Anderson M.S., Hay W.W. Intrauterine growth


restriction and the small-for-gestational-age infant.
Dalam: MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M,
penyunting. Avery’s Neonatology, pathophysiology &
management of the newborn. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2005;490-522.

3. Grider D.L, Robinson T.L. Management of the


extremely Low Birth Weight infant during the first week
of life. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal FG,
Zenk KE, penyunting. Neonatology, management,
procedur, on-call problem, desease, and drug. Edisi 6.
Newyork : Lange McGraw Hill, 2011;163-74.

4. Rao R. Intrauterine Growth Restriction (Small for


Gestational Age). Dalam: Gomella TL, Cunningham
MD,Eyal FG, Zenk KE, penyunting. Neonatology,
management, procedur, on-call problem, desease, and
drug. Edisi 6. Newyork : Lange McGraw Hill, 2011;558-
67.

5. Lee. K.G. Identifying the high-risk newborn and


evaluating gestational age, prematurity, postmaturity,
large-for-gestational-age, and small-for-gestational-age
infants. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR,
penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6.
Philadelphia : Lippincott William & Walkins, 2008;41-
58.

6. Stewart J.E., Martin C.R., Joselow M.R. Follow-up care


of very low birth weight infants. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of
Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott
William & Walkins, 2008; 159-63.

7. Kliegman R.M. Intrauterine Growth Restriction. Dalam


: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting.
Fanaroff and Martin’s Neonatal-perinatal medicine.
Edisi ke 9. Missouri: Elsevier, 2011; 245 - 76

8. American Heart Association and Amercan Academy of


Pediatric. Textbook of neonatal resuscitation.
Kattwinkel J, penyunting. Edisi ke 6, 2011.
9. The low birthweight infant. Dalam : Levene MI,
Tudehope DI, Sinha S, penyunting. Essential Neonatal
Mediceine. Edisi 4. Australia : Blackwell Publishing,
2008 ; 77 – 86

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
ASFIKSIA PERINATAL
P 21.9

1. Definisi Kegagalan bernapas spontan dan teratur segera setelah


lahir sehingga terjadinya gangguan pertukaran gas ( O2
dan CO2 ) yang mengakibatkan bayi baru lahir
mengalami hipoksia, hiperkarbia dan asidosis metabolik

2. Anamnesis Faktor resiko ( etiologi )  perkiraan asfiksia.

Riwayat persalinan  lahir langsung menangis ( bernapas


spontan ) atau tidak.

3. Pemeriksaan Dinilai appearance (warna kulit), pulse (denyut jantung),


fisik grimace (mimik wajah), activity (tonus otot), respiratory
effort (usaha nafas) pada menit 1 dan 5, kalau perlu
setiap 5 menit sampai menit 20 sesuai dengan kondisi
bayi.

Penilaian bersamaan dengan langkah-langkah resusitasi.


Sambil melakukan resusitasi, menilai APGAR 1 menit, 5
menit, dan 10 menit. Setelah selesai resusitasi,
dilanjutkan dengan perawatan pasca resusitasi, dipantau
fungsi vital (nadi, pernafasan, kesadaran), mencari
komplikasi dan penyakit penyerta serta pemeriksaaan
fisik lengkap.

4. Kriteria 1. Nilai APGAR 0 – 3 pada menit ke 5


Diagnosis
2. Asidosis metabolik atau campuran ( pH darah arteri
umbikalsis < 7 )

3. Manifestasi neurologik ( kejang, hipotoni, koma,


esefalopatia hipoksik

iskemik )

5. Diagnosis Sesuai dengan nilai APGAR menit ke 5 dan manifestasi


neurologik

6. Diffrential Neonatal ensefalopati


diagnosis

7. Pemeriksaan Glukosa darah, hemoglobin, leukosit, diff. count, serta


Penunujang pemeriksaan lain atas indikasi (foto thoraks, ECG,USG).

8. Tatalaksana Sebelum melakukan langkah awal resusitasi lakukan penilaian awal:


1.Apakah cukup bulan ?
2.Apakah bernapas atau menagis ?
3.Apakah tonus otot baik ?
Bila ada jawaban “tidak“ dari ke tiga pertanyaan ini maka langkah awal
resusitasi harus dimulai, sedangkan bila semua jawaban “ya“ maka bayi
tersebut hanya dilakukan perawatan rutin saja (jaga kehangatan, bersihkan
jalan napas dan keringkan).
A. Langkah Awal Resusitasi
Letakkan bayi di meja resusitasi dengan alat pemancar panas,
letakkan pada posisi yang benar, lakukan penghisapan (bila perlu),
keringkan, rangsangan taktil, reposisi dan nilai: pernapasan frekuensi
jantung dan warna kulit.
B. Ventilasi Tekanan Positip ( VTP )
Ventilasi tekanan positip dapat diberikan dengan balon resusitasi dan
sungkup atau dengan balon resusitasi dan intubasi endotrakheal
(ETT).
1. Indikasi :
Bila bayi apnu/megap-megap atau bernapas tetapi frekuensi
jantung <100 kali permenit atau sianosis sentral menetap meskipun
diberikan oksigen aliran bebas sampai 100 %
2. Frekuensi :
Lakukan ventilasi dengan frekuensi 40-60 kali per menit selama 30
detik dengan oksigen 21 - 100% ( pada bayi cukup bulan dimulai
dengan oksigen 21 % dan pada bayi preterm dimulai dengan
oksigen lebih dari 21 % yang dapat ditingkatkan sampai dengan
target saturasi oksigen preduktal tercapai ) , lalu nilai frekuensi
jantung :
Frekuensi Jantung: Tindakan:
a. Di atas 100 : 1. Bila napas spontan dan saturasi
oksigen membaik, VTP hentikan bertahap.
2. Bila tidak bernapas, atau megap-megap
lanjutkan VTP
b. Diantara 60 dan 100 : 1. Membaik, pasang pipa orogastrik dan
lanjutkan VTP
2. Tidak membaik, evaluasi VTP yang
telah dilakukan ( posisi, perlekatan
sungkup, jalan napas bersih, mulut
terbuka, tekanan pada balon ), per-
timbangkan intubasi dan lanjutkan VTP
c. Di bawah 60 : 1. Lanjutkan VTP
2. Mulai kompresi dada
C. Kompresi Dada
1. Indikasi:
Frekuensi jantung < 60 kali per menit setelah 30 detik mendapat
VTP dengan oksigen 100%.
2. Frekuensi:
Kompresi dada dilakukan selama 30 detik. Setiap 2 detik dilakukan
3 kali kompresi dada dan 1 kali VTP ( selama 30 detik dilakukan
45 kali kompresi dada dan 15 kali VTP detik).
3. Evaluasi:
Setelah 30 detik melakukan tindakan kompresi dada dan ventilasi,
periksa frekuensi jantung atau nadi. Bila frekuensi jantung:
a. Kurang dari 60 kali per menit: lanjutkan tindakan kompresi
dada dan ventilasi dan pemberian epinefrin.
b. 60 kali per menit atau lebih : hentikan tindakan penekanan
dada tetapi lanjutkan ventilasi dengan oksigen 100%.
D. Intubasi Endotrakheal
1. Indikasi :
a. Bila cairan amnion bercampur mekoneum dan bayi mengalami
depresi napas, tonus otot jelek atau denyut jantung < 100 kali
permenit maka intubasi dilakukan pada kesempatan pertama
( perlu elakukan penghisapan melalui trakhea untuk mengeluar
kan mekoneum), sebelum memulai tindakan resusitasi yang
lain.
b. Bila VTP dengan balon dan sungkup tidak efektif (tidak
mengembangkan dada) atau memaksimalkan efisiensi VTP,
membutuhkan pemberian VTP agak lama, dicurigai ada hernia
diafragmatika, pemberian surfaktan dan bayi berat amat sangat

rendah (berat lahir kurang dari 1.000 gram).


Bila diperlukan kompresi dada, intubasi memudahkan koordinasi
kompresi dada dan VTP.
E. Obat-obatan
Obat-obatan baru diperlukan pada resusitasi neonatus bila tidak memberikan
respon dengan pemberian VTP yang adekuat dengan oksigen 100 % dan
kompresi dada.
1. Epinefrin
a. Indikasi:
- Frekuensi jantung tetap di bawah 60 kali per menit walaupun telah dilakukan
paling sedikit 30 detik ventilasi adekuat dengan oksigen 100% dan penekanan
dada.
- Frekuensi jantung nol. Bila detak jantung tidak dapat dideteksi, epinefrin
harus diberikan segera pada saat yang sama dengan VTP dan penekanan dada
dimulai.
b. Pemberian:
Dosis 0,1-0,3 ml/kgBB epinefrin 1:10.000 intravena atau 0,3-1
ml/kgBB melalui ETT, dapat diulang setiap 3-5 menit bila frekuensi
jantung kurang dari 60 kali per menit.
2. Cairan penambah volume darah
Bila bayi tidak memberikan respon terhadap resusitasi dan ada bukti
kehilangan darah maka indikasi pemberian cairan penambah volume
darah, yaitu garam fisiologis atau ringer laktat dengan dosis 10
ml/kgBB.
3. Nalokson
Bila ibu mendapat morphin atau petidin dalam waktu 4 jam terakhir
dan tidak ada usaha napas, tetapi frekuensi jantung dan kulit normal
langsung diberikan Nalokson 0,1 mg/kgBB intravena melalui vena
umbilikalis atau pipa endotrakeal.
Ingatlah, walaupun didapatkan frekuensi jantung nol, penekanan dan ventilasi
harus dilanjutkan sampai diambil keputusan medik untuk menghentikan
tindakan resusitasi.
Resusitasi dihentikan bila semua langkah dilakukan dengan baik selama 15
menit frekuensi jantung tetap nol.
9. Edukasi Penjelasan mengenai komplikasi jangka panjang dan
jangka pendek dari asfiksia perinatal.

Penjelasan mengenai faktor risiko asfiksia neonatorum.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat II
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Nilai Apgar dan manifestasi neurologik
medis
15. Target Tidak sesak, dengan frekuensi napas 40-60 kali per
menit. Tidak ada tanda-tanda infeksi, penyakit penyerta
dan komplikasi telah teratasi dan bisa minum secara
adekuat.

16. Kepustakaan 1. American Heart Association and Amercan Academy of


Pediatric. Textbook of neonatal resuscitation. Kattwinkel
J, penyunting. Edisi ke 6, 2011.
2. Rehan KV, Phibbs RH. Delivery room management. Dalam
: MacDonald MG, Seshia MK, Mullett MD, penyunting.
Avery’s Neonatology, pathopysiology & management of the
newborn. Edisi ke Philadelphia : Lippincot William &
Wilkins, 2005; 302- 26.
3. Sill J. Perinatal asphyxia. Dalam: Gomella TL,
Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, penyunting.
Neonatology, management, procedur, on-call problem,
desease, and drug. Edisi ke 6. New York: Lange McGraw
Hill, 2009;624-36.
4. Goldsmith JP. Delivery room resuscitaion of the
newborn. Dalam : Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC,
penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-perinatal
medicine. Edisi ke 9. Missouri: Elsevier, 2011;449-74
5. Papile LA, Adcock LM. Perinatal Asphyxia. Dalam :
Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting.
Manual of Neonatal care. Edisi ke 6. Philadelphia :
Lippincott William & Wilkins, 2008; 518-28.

Newborn Resuscitation Algorithm


Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
GAWAT NAPAS PADA NEONATUS
P 22.0

1. Definisi Kumpulan dari 2 atau lebih gejala gangguan ventilasi


paru yang ditandai dengan frekuensi napas > 60
kali/menit; merintih pada waktu ekspirasi; retraksi
interkostal, subkostal, supra-sternal, epigastrium;
pernapasan cuping hidung dan sianosis.

2. Anamnesis Masa gestasi, cara persalinan, nilai APGAR, air ketuban


bercampur mekoneum, faktor resiko atau faktor
predisposisi infeksi ( suhu ibu > 38o C, leukosit ibu >
15.000/mm3 , air ketuban keruh & berbau busuk,
ketubah pecah > 12 jam, partus kasep ).

3. Pemeriksaan Tergantung Bentuk Klinis :


fisik
1. Transient Tachypnoe of the Newborn : dispnu,
takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikuler
normal
2. Penyakit Membran Hyalin : dispnu, takipnu,
retraksi, merintih, sianosis, vesikuler menurun dan
tanda-tanda bayi kurang bulan
3. Bronkopneumonia : dispnu, takipnu, retraksi,
merintih, sianosis, vesikuler dapat normal atau
menurun dan jarang ditemukan ronki.
4. Sindroma Aspirasi mekoneum : dispnu, takipnu,
retraksi, merintih, sianosis, vesikuler dapat normal
atau menurun, meconeum staining, dada dapat
tampak lebih cembung.
5. Pnemothoraks : dispnu, takipnu, retraksi, merintih,
sianosis, vesiku ler menurun, sela iga melebar dan
dada tampak lebih cembung, asimetris gerakan
dinding dada.
6. Hernia Diafragmatika : dispnu, takipnu, retraksi,
merintih, sianosis, vesikuler menurun, dada tampak
lebih cembung, perut skapoid, dapat terdengar
peristaltik usus pada thoraks.
7. Kelumpuhan Syaraf Frenikus : dispnu, takipnu,
retraksi, merintih, sianosis, vesikuler menurun dan
sering ditemui palsi brakial Palsi ( farese/paralise Erb )

4. Kriteria Ditemukan gejala klinis atau gejala klinis ditambah


Diagnosis dengan hasil pemeriksaan penunjang yang positip.

1. Transient Tachypnoe of the Newborn : gejala klinis +


foto thorak ( hiper inflasi paru, peri hillar cuffing,
cairan dl fisura interlobularis, diafragma lebih datar,
kardiomegali ringan )
2. Penyakit Membran Hyalin : gejala klinis + foto thorak
( infiltrat retikulogranuler, air bronchogram, batas
jantung paru kabur, kollaps seluruh paru )
3. Bronkopneumonia : gejala klinis + foto thorak (infiltrat
tak spesifik ) 4. Sindroma Aspirasi Mekoneum :
gejala klinis + foto Thorak (diafragma datar, sela iga
lebar, bercak infiltrat kasar )
4. Pneumothorak : gejala klinis + foto thorak ( radiolusen
dan kolaps parsial atau total paru yang terkena,
pergeseran mediastinum, pendataran diafragma) +
transiluminasi positip, terutama pada bayi kecil.
5. Hernia Diafragmatika : gejala klinis + foto thorak
( tampak gambaran usus di rongga thorak )
6. Farese Syaraf Frenikus : gejala klinis + foto thorak
( elevasi diafragma sisi farese, pergeseran mediastinum
dan atelektassis ) + USG ( gangguan / berkurang
gerakan diaragma sisi farese )

5. Diagnosis Sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang

6. Diffrential Tergantung diagnosis


diagnosis

7. Pemeriksaan Darah : Hb, lekosit, Diff.count, trombosit, mikro


Penunujang LED dan CRP.

Radiologi ( foto toraks dan ultrasonografi )

Transiluminasi

8. Tatalaksana 1. Suportif, umumnya sama pada semua gawat napas,


yaitu :
a. Pemberian cairan
 IVFD dekstrose 71/2 % atau 10 % + Ca
glukonas sesuai degan kebutuhan bayi
 Mulai hari ke 3 ditambahkan NaCl 15 %
sebanyak 6 cc/kolf
 Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
 Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan
natrium bikarbonat ( 4 : 1 ) Bila dapat
diperiksa analisa gas darah, asidosis da
dikoreksi langsung dengan pemberian cairan
Natrium Bikarbonat 4,2 % secara perlahan-
lahan
 Bila belum bisa makan per oral beri larutan
asam amino 1-3 g/kgBB/hari. Bila sudah bisa
minum per oral beri ASI atau susu formula
b. Terapi oksigen ( intra nasal, head box, buble CPAP,
ventilator)
2. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada
perbaikan dalam 2 hari, gentamisin diganti dengan
ceftazidim.
3. Terapi khusus, tergantung dari etiologi gawat napas :
a. Pneumothorak :
 Tidak ada tension pneumothorak : berikan
oksigen 100 % selama 12 jam pada bayi
aterm ( nitrogen washing )
 Dengan tension pneumothorak dilakukan
pemasasangan kateter interkostal dengan
kontinuous suction ( WSD )
 Jika keadaan kritis dapat dilakukan aspirasi
dengan menggunakan wing needle no.21 dan
spuit 5 cc serta three way stopcock
( diagnosis dan terapi )
b. Hernia Diafragmatika : operatif ( repair diafragma )
c. Farese Syaraf Frenikus : konservatif ( bayi
dimiringkan ke sisi farese ), operatif bila setelah 1
bulan tidak ada perbaikan ( plikasi diafragma )

9. Edukasi Penjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan


serta komplikasi yang mungkin timbul.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam :dubia ad bonam/malam
11. Tingkat II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Klinis
medis
2. Pemeriksaan penunjang

15. Target Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali

16. Kepustakaan 1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E.,
Pryhuber G.S. Acute Respiratory Disorders. Dalam:
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof
the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William
& Walkins, 2005;553-77.

2. Truog W.E., Golombek S.G., Principles of Management


of Respiratory Problems. Dalam: MacDonald MG,Mullet
MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology
Pathophysiology & Managementof the Newborn. Edisi
6. Philadelphia : Lippincott William & Walkins,
2005;600-21.

3. Bany-Mohammed F, Gomella T.L. Hyaline Membrane


Disease. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal
FG, Zenk KE, penyunting. Neonatology, management,
procedur, on-call problem desease, and drug. Edisi 5.
Newyork : Lange McGraw Hill, 2003;524-52.

4. M.Sholeh Kosim. Gangguan Nafas pada bayi baru


lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa
GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi
1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2008;126-46.

5. Bhakta K.Y. Respiratory Distress Syndrome. Dalam:


Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting.
Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;323-30.

6. Rodriguez R.J., Martin R.J., Fanaroff A.A. Respiratory


Distress Syndrome and its management. Dalam:
Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting.
Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine.
Edisi 8. Missouri : Mosby Elsevier, 2006;1097-107.

7. Respiratory disorder. Dalam : Levene MI, Tudehope DI,


Sinha S,
penyunting. Essential Neonatal Mediceine. Edisi 4.
Australia :
Blackwell Publishing, 2008 ; 92-110.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
PENYAKIT MEMBRAN HIALIN
P22.0

1. Definisi Sindroma gawat nafas yang disebabkan defisiensi


surfaktan

2. Anamnesis Prematur, riwayat ibu DM, asfiksia, gemelli II, perdarahan


ante partum, persalinan dengan sectio cesaria

3. Pemeriksaan Dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikuler


fisik menurun dan tanda-tanda bayi kurang bulan.

4. Kriteria Gejala klinis + foto thorak ( infiltrat retikulogranuler, air


Diagnosis bronchogram, batas jantung paru kabur, kollaps seluruh
paru )

5. Diagnosis Berdasarkan anamnesis, klinis dan foto thorak

6. Diffrential Transient Tachypnoe of the Newborn


diagnosis
Pneumonia

Sepsis

7. Pemeriksaan Darah : Hb, lekosit, Diff.count, trombosit, mikro


Penunujang LED dan CRP.

Radiologi : foto toraks

8. Tatalaksana 1. Suportif, umumnya sama pada semua gawat napas,


yaitu :
a. Pemberian cairan
 IVFD dekstrose 71/2 % atau 10 % + Ca
glukonas sesuai dengan kebutuhan bayi
 Mulai hari ke 3 ditambahkan NaCl 15 %
sebanyak 6 cc/kolf
 Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
 Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose
dan natrium bikarbonat ( 4 : 1 ) Bila dapat
diperiksa analisa gas darah, asidosis dan
dikoreksi langsung dengan pemberian cairan
Natrium Bikarbonat 4,2 % secara perlahan-
lahan
 Bila belum bisa makan per oral beri larutan
asam amino 1-3 g/kgBB/hari. Bila sudah
bisa minum per oral beri ASI atau susu
formula
b. Terapi oksigen ( intra nasal, head box, buble CPAP,
ventilator )

2. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada


perbaikan dalam 2 hari, gentamisin diganti dengan
ceftazidim.

9. Edukasi Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat II
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis
medis
15. Target Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali

16. Kepustakaan 1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E.,
Pryhuber G.S. Acute Respiratory Disorders. Dalam:
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof
the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William
& Walkins, 2005;553-77.

2. Truog W.E., Golombek S.G., Principles of Management


of Respiratory Problems. Dalam: MacDonald MG,Mullet
MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology
Pathophysiology & Managementof the Newborn. Edisi
6. Philadelphia : Lippincott William & Walkins,
2005;600-21.

3. Bany-Mohammed F, Gomella T.L. Hyaline Membrane


Disease. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal
FG, Zenk KE, penyunting. Neonatology, management,
procedur, on-call problem desease, and drug. Edisi 5.
Newyork : Lange McGraw Hill, 2003;524-52.

4. M.Sholeh Kosim. Gangguan Nafas pada bayi baru


lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa
GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi
1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2008;126-46.

5. Bhakta K.Y. Respiratory Distress Syndrome. Dalam:


Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting.
Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;323-30.
6. Rodriguez R.J., Martin R.J., Fanaroff A.A. Respiratory
Distress Syndrome and its management. Dalam:
Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting.
Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine.
Edisi 8. Missouri : Mosby Elsevier, 2006;1097-107.

7. Respiratory disorder. Dalam : Levene MI, Tudehope DI,


Sinha S,
penyunting. Essential Neonatal Mediceine. Edisi 4.
Australia :
Blackwell Publishing, 2008 ; 92-110.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
SINDROMA ASPIRASI MEKONEUM
P24.0
1. Definisi Masuknya air ketuban yang bercampur mekoneum ke
dalam saluran nafas

2. Anamnesis Masa gestasi, cara persalinan, nilai APGAR, air ketuban


bercampur mekoneum, faktor resiko atau faktor
predisposisi infeksi ( suhu ibu > 38o C, leukosit ibu >
15.000/mm3 , air ketuban keruh & berbau busuk,
ketubah pecah > 12 jam, partus kasep ).

3. Pemeriksaan Dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikuler


fisik dapat normal atau menurun, meconeum staining, dada
dapat tampak lebih cembung.

4. Kriteria Gejala klinis + foto Thorak ( diafragma datar, sela iga


Diagnosis lebar, bercak infiltrat kasar )

5. Diagnosis Sesuai klinis dan fotothorak

6. Diffrential Pneumonia
diagnosis

7. Pemeriksaan Darah : Hb, lekosit, Diff.count, trombosit, mikro


Penunujang LED dan CRP.

Radiologi : foto toraks

8. Tatalaksana 1. Suportif, umumnya sama pada semua gawat napas,


yaitu :
a. Pemberian cairan
 IVFD dekstrose 71/2 % atau 10 % + Ca
glukonas sesuai dengan kebutuhan bayi
 Mulai hari ke 3 ditambahkan NaCl 15 %
sebanyak 6 cc/kolf
 Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
 Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose
dan natrium bikarbonat ( 4 : 1 ) Bila dapat
diperiksa analisa gas darah, asidosis dan
dikoreksi langsung dengan pemberian cairan
Natrium Bikarbonat 4,2 % secara perlahan-
lahan
 Bila belum bisa makan per oral beri larutan
asam amino 1-3 g/kgBB/hari. Bila sudah
bisa minum per oral beri ASI atau susu
formula
b. Terapi oksigen ( intra nasal, head box, buble
CPAP, ventilator )
2. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada
perbaikan dalam 2 hari, gentamisin diganti dengan
ceftazidim.

c. Edukasi Penjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan


serta komplikasi yang mungkin timbul.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat II
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis : Tanda-tanda gawat nafas
medis
15. Target Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali

16. Kepustakaan 1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E.,
Pryhuber G.S. Acute Respiratory Disorders. Dalam:
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof
the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William
& Walkins, 2005;553-77.

2. Truog W.E., Golombek S.G., Principles of Management


of Respiratory Problems. Dalam: MacDonald MG,Mullet
MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology
Pathophysiology & Managementof the Newborn. Edisi
6. Philadelphia : Lippincott William & Walkins,
2005;600-21.

3. M.Sholeh Kosim. Gangguan Nafas pada bayi baru


lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa
GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi
1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2008;126-46.

4. Bhakta K.Y. Respiratory Distress Syndrome. Dalam:


Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting.
Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;323-30.

5. Rodriguez R.J., Martin R.J., Fanaroff A.A. Respiratory


Distress Syndrome and its management. Dalam:
Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting.
Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine.
Edisi 8. Missouri : Mosby Elsevier, 2006;1097-107.

6. Respiratory disorder. Dalam : Levene MI, Tudehope DI,


Sinha S,
penyunting. Essential Neonatal Mediceine. Edisi 4.
Australia :
Blackwell Publishing, 2008 ; 92-110.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
GANGGUAN BICARA DAN BAHASA PADA ANAK
F80.8

19. Definisi Gangguan bahasa adalah gangguan yang mencakup


kemampuan untuk mengartikan atau mengungkapkan
informasi melalui simbol-simbol yang dapat dimengerti.
Gangguan bicara adalah gangguan pada kemampuan
untuk mengungkapkan informasi dalam bentuk bahasa
verbal (kata-kata).
20. Anamnesis A. Riwayat perkembangan bahasa dan bicara
B. Riwayat keterlambatan bicara dan bahasa dalam
keluarga
C. Faktor risiko atau faktor penyebab
21. Pemeriksaa 1. Pemeriksaan organ bicara
n fisik 2. Pemeriksaan THT
3. Pemeriksaan craniofacial
4. Evaluasi perilaku, mengamati anak saat bermain
sangat membantu dalam mengidentifikasi gangguan
tingkah laku, sebagai contoh:
a. Cara berkomunikasi dengan cara lain seperti
isyarat, atau penggunaan kode-kode yang dapat
dimengerti oleh lawan komunikasinya pada anak
dengan gangguan pendengaran.
b. Bicara meracau dengan bahasa yang tidak
dimengerti oleh orang lain pada anak autisme
c. Cemas, pemalu, tidak percaya diri serta tidak
mampu bicara pada situasi sosial tertentu pada
anak dengan mutisme selektif
22. Kriteria  Gangguan perkembangan bahasa, bicara anak
Diagnosis  Terdapat faktor resiko/penyebab gangguan bicara
Menurut DSM IV, SLI dibedakan menjadi:
- Gangguan Bahasa Ekspresif
Perkembangan bahasa ekspresif berada dibawah
ukuran standar perkembangan bahasa ekspresif
dan kapasitas non verbal.
Gejala meliputi : perbendaharaan kata-kata
terbatas, kesulitan membuat kalimat, sulit
mengingat kata-kata atau membuat kalimat
panjang dan kompleks.
- Gangguan Bahasa reseptif , ekspresif campuran
Perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif
berada dibawah ukuran standar kapasitas
intelektual nonverbal
Gejala berupa gangguan bahasa ekspresif dan
kesulitan memahami kata-kata atau jenis kata-
kata berurutan.
- Gangguan Fonologi
Gagal menggunakan suara-suara yang sesuai
dengan umur dan dialek misal: kesalahan dalam
memproduksi kata-kata menggunakan atau
mengorganisasikan kata-kata, menggantikan
satu suara dengan yang lain atau
menghilangkan suara.
- Gagap
Gangguan pada kelancaran dan waktu bicara
yang tak sesuai dengan umur anak.
- Gangguan komunikasi yang tak tergolongkan
Misal: gangguan suara(karena kelainan pita
suara, kebenaran, kualitas, nada atau suara)

Menurut Rutter klasifikasi gangguan bicara sbb :


RINGAN Keterlambatan akuisisi Dislalia
dari bunyi,kata-
kata,bahasa normal
SEDANG Keterlambatan lebih Disfasia ekspresif
berat dari akusisi
bunyi,kata-kata dan
perkembangan bahasa
terlambat
BERAT Keterlambatan lebih Disfasia reseptif
berat dari akusisi dan dan tuli persepsi
bahasa, gangguan
pemahaman bahasa
SANGAT Gangguan pada Tuli persepsi dan
BERAT seluruh kemampuan tuli sentral
bahasa
23. Diagnosis 1. Anamnesis
Riwayat pekembangan bicara dan bahasa

Kecurigaan adanya gangguan perkembangan bahasa


menurut Aram DM
1. Pada usia 6 bulan anak tidak mampu
memalingkan mata serta kepalanya terhadap
suara yang datang dari belakang atau samping.
2. Pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi
terhadap panggilan namanya sendiri.
3. Pada usia 15 bulan tidak mengerti dan memberi
reaksi terhadap kata-kata jangan, dada dan
sebagainya.
4. Pada usia 18 bulan tidak dapat menyebut 10 kata
tunggal.
5. Pada usia 21 bulan tidak memberi reaksi
terhadap perintah (misalnya duduk, kemari,
berdiri)
6. Pada usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-
bagian tubuh.
7. Pada usia 24 bulan belum mampu
mengetengahkan ungkapan terdiri dari 2 buah
kata.
8. Setelah usia 24 bulan hanya mempunyai
perbendaharaan kata yang sangat sedikit.
9. Pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat
dimengerti oleh anggota keluarga.
10. Pada usia 36 bulan belum dapat
mempergunakan kalimat-kalimat sederhana.
11. Pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan
menggunakan kalimat-kalimat sederhana.
12. Pada usia 36 bulan ucapannya tidak dimengerti
oleh orang diluar keluarganya.
13. Pada usia 31/2 tahun selalu gagal menyebut
kata akhir (ca untuk cat, ba untuk ban, dll)
14. Setelah usia 4 tahun tidak lancar baerbicara.
15. Setelah usia 7 tahun masih ada kesalahan
ucapan.
16. Pada usia berapa saja terhadap hipernasalitas
dan hiponatalitas, sangat keras dan tidak dapat
didengar serta terus menerus
memperdengarkan suara serak.

Riwayat Keterlambatan bicara dalam keluarga


Faktot risiko/penyebab gangguan bicara

a. Faktor biologi
- Gangguan pendengaran
- Gangguan perkembangan bahasa (Gangguan
bahasa spesifik = Specific Language Impairment)
- Kelainan organ bicara dan bahasa
- Retardasi mental
- Kelainan genetik atau kromosom
- Autisme
- Mutisme selektif
- Afasia reseptif
- Sindroma Landau-Kleffner (sangat jarang)
- Penyakit metabolik dan neurodegeneratif
b. Faktor lingkungan
- Lingkungan yang sepi
- Status sosial ekonomi
- Teknik pengajaran yang salah
- Sikap orangtua
- Lingkungan yang kurang memberikan stimulasi
- Child abuse
- Bahasa bilingual
2. Pemeriksaan fisik
o TB. PB, Lingkar kepala, THT, organ bicara dan
craniofacial
o Evaluasi perilaku
3. Pemeriksaan penunjang.
o Tes pendengaran dan
o Pemeriksaan penujang lain sesuai indikasi dan
faktor risiko
24. Diffrential - Gangguan pendengaran
diagnosis - Retardasi Mental
- Autisme

25. Pemeriksaa 1. Tes pendengaran


n 2. Tes IQ
Penunujang

26. Tatalaksana - Cari faktor penyebab, bila mungkin diatasi.


- Terapi bicara

Ad.A. Konsultasi
 Psikiater anak
Bila ada gangguan bahasa dan tingkah laku.
 Ahli THT
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran
 Ahli syaraf anak
Untuk mengetahui adanya kelainan neurologi
Mencari penyakit metabolik dan gangguan organik
lainnya.

Ad.B. Rujukan untuk terapi bicara


Indikasi :
1. Anak berumur 20-24 bulan belum bicara satu
katapun.
2. Anak berumur 28-30 bulan belum bisa mengucapkan
kata-kata
3. Anak berumur 3 tahun atau lebih bicaranya tidak bisa
dimengerti
4. Bila orang tua mengkhawatirkan kemampuan bicara
anaknya, pada usia berapapun.

Algoritme tatalaksana gangguan bahasa pada

Anak dengan gejala gangguan bicara dan


berbahasa
Rujuk ke:
Gangguan organik alat Y Bedah
bicara a Mulut /
Neuropedia
Tidak tri

Skrining Perkembangan umum Tes intelegensia


Tes
(Mis : Denver II) non verbal
pendengaran

Abnorm Norm Abnormal Normal Normal Abnorm


al al
al

Gangguan Retardasi
Pendengara Motorik : Palsi serebralis Mental
n Personal Sosial : Autisme

THT dan Gangguan defisit


Terapi Terapi wicara
perhatian dan
Wicara Terapi
hiperaktivitas
Tidak Y okupasi
a

ADHD
Tidak bicara
hanya pada Gangguan Perkembangan bicara dan
lingkungan berbahasa :
Terapi
tertentu Tipe ekspresif
wicara
Tipe reseptif – ekspresif
Psikiater /
Gangguan fonologi
Psikolog
Gagap
Mutisme Kelainan Suara
Selektif

Psikiater /
Halusinasi, gangguan pikiran Skizofrenia Psikolog
anak
Anak dengan gejala gangguan bicara dan
berbahasa
Rujuk ke:
Gangguan organik alat Y Bedah
bicara a Mulut /
Neuropedia
Tidak tri

Skrining Perkembangan umum Tes intelegensia


Tes
(Mis : Denver II) non verbal
pendengaran

Abnorm Norm Abnormal Normal Normal Abnorm


al al
al

Gangguan Retardasi
Pendengara Motorik : Palsi serebralis Mental
n Personal Sosial : Autisme

THT dan Gangguan defisit


Terapi Terapi wicara
perhatian dan
Wicara Terapi
hiperaktivitas
Tidak Y okupasi
a

ADHD
Tidak bicara
hanya pada Gangguan Perkembangan bicara dan
lingkungan berbahasa :
Terapi
tertentu Tipe ekspresif
wicara
Tipe reseptif – ekspresif
Psikiater /
Gangguan fonologi
Psikolog
Gagap
Mutisme Kelainan Suara
Selektif

Psikiater /
Halusinasi, gangguan pikiran Skizofrenia Psikolog
anak

27. Edukasi - Terapi bicara dirumah


- Sekolah dan pendidikan khusus

10. Prognosis Ad vitam : bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat IIA
Evidens

12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator - Kemampuan bahasa dan bicara
medis - Kemampuan sosialisasi dan kognin\si
15. Kepustakaan 1. Glascoe FG. Developmental screening and
surveillance. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook
of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. h. 74-80.
2. Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno
H, Gde Ranuh IGN, penyunting. Buku Ajar I Tumbuh
Kembang dan Remaja. Jakarta: IDAI; 2005. h. 1-126.
3. Blackman JA. Developmental screening: Infants,
toddlers, and preschoolers. Dalam: Levine MD, Carey
WB, Crocker AC, penyunting. Developmental-
Behavioral Pediatrics. Edisi ke-3. Philadelphia:
Saunders; 1999. h 689-95.
4. Glascoe FG. Developmental screening. Dalam
Parker S, Zuckerman B, Augustyn M, penyunting.
Developmental and behavioral pediatrics. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004. h
41-50.
5. Illingworth RS. The normal child. Edisi 10.
India:Elsevier: 2005. h.127-89.
6. Knight JR dkk, penyunting. Bright Futures case
studies for primary care clinicians: child development
and behavior. The Bright Futures Center for pediatric
education in growth and development, behavior and
adolescent health. Children hospital, Boston. 2001.
7. UKK Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial IDAI.
Deteksi dan intervensi kelainan gangguan bicara
dengan ELMS-2. Yogyakarta, 2007.
8. Judith EC, Nancy TM, Roanne K, Karzon dan jay
FP. Unilateral Hearing loss is associate with worse
speech language score in children. Pediatrics 2010;
125;e1348

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

CEREBRAL PALSI
G80.0-8

1. Definisi Cerebral Palsi merupakan suatu sindroma yang


memperlihatkan kelainan pada fungsi motorik berupa
kelainan gerak dan postur karena lesi yang statik akibat
gangguan pertumbuhan, trauma atau infeksi syaraf
motorik yang terjadi pada masa pertumbuhan
2. Anamnesis 1. Riwayat perkembangan motorik
2. Riwayat perkembangan yang lain: bahasa personal
sosial dan kognisi
3. Adanya faktor resiko (prenatal, perinatal, postnatal)
3. Pemeriksaan 1. Umumnya ada mikrosefali
fisik 2. Adanya defisit neurologi seperti :
- Tonus otot bervariasi dari hipotoni sampai dengan
hipertoni
- Refleks fisiologis yang meningkat
- Tanda-tanda spastisitas
- Sering ditemukan gerakan-gerakan yang tidaak
terkontrol seperti korea, atetosis, tremor
- Refleks primitif terlambat menghilang atau
meningkat intensitasnya
- Dapat ditemukan gangguan pada otot facial atau
oromotor

4. Kriteria 1. Riwayat keterlambatan perkembangan


Diagnosis motorik
2. Adanya defisit neurologis sesuai
dengan tipe dan derajatnya
3. Riwayat perkembangan yang lain:
bahasa personal sosial dan kognisi
4. Adanya faktor resiko (prenatal,
perinatal, postnatal)
5. Diagnosis 1. Anamnesis
 Riwayat perkembangan motorik
 Riwayat kehamilan ibu
 Riwayat kelahiran
 Adanya faktor risiko
2. Pemeriksaan fisik
Ditemukanya kelainan neurologis sesuai dengan
tipenya
Berdasarkan kelainan klinik yang lebih menonjol
ditemui, dapat digolongkan sebagai :
 Spastic Cerebral Palsy
a. Spastic hemiphlegia (G80.2)
b. Spastic tetraphlegia (G80.0)
c. Spastic diphlegia (G80.1)
d. Spastic paraphlegia
e. Spastic monophlegia dan triphlegi
 Dyskinetik Cerebral palsy
a. Athetosis (G80.4)
b. Chorea athetosis
c. Bentuk-bentuk lain
 Ataxic Cerebral palsy (G80.8)
 Bentuk-bentuk campuran

Berdasarkan derajat kemampuan fungsional, cerebral


palsi dibagi atas :
a. Golongan Ringan : penderita masih dapat
melakukan pekerjaan/aktivitas sehari-hari,
sehingga sama sekali/hanya sedikit membutuhkan
bantuan.
b. Golongan Sedang : aktivitas sangat terbatas.
Pederita membutuhkan bermacam-macam
bantuan/pendidikan khusus agar dapat mengurus
dirinya sendiri, bergerak atau berbicara sehingga
dapat bergaul di tengah masyarakat dengan baik.
c. Golongan Berat : penderita sama sekali tidak dapat
melakukan aktivitas fisik dan tidak mungkin dapat
hidup tanpa pertolongan orang lain.

3. Pemeriksaan penunjang
Untuk mencari faktor risiko dan untuk menyingkirkan
penyebab yang masih aktif atau progresif

6. Diffrential Keterlambatan perkembangan motorik


diagnosis

7. Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang sesuai indikasi dan faktor risiko


Penunujang yang mendasarinya seperti EEG, foto kranium, CT-scan
dan laboratorium, berguna untuk menyingkirkan
penyakit yang masih aktif atau progresif.
8. Tatalaksana 1. Sebaiknya diakukan sedini mungkin secara
multidisipliner dan mengikutsertakan orangtua/
keluarga.
2. Pengobatan medikamentosa ditujukan untuk
mengurangi spastisitas, menghilangkan bangkitan
epilepsi, serta mengontrol gerakan abnormal.
3. Pemberian piracetam dosis 80-120 mg/kg/hari,
terbukti memperbaiki perkembangan motorik dan
mental.
4. Usaha rehabilitasi, dilakukan fisioterapi, terapi
bicara sedini mungkin dan kadang-kadang diperlukan
tindakan terapi orthopedis.
5. Pendidikan penderita yang mengalami retardasi
mental dengan menyekolahkannya di Sekolah Luar
Biasa (SLB).
6. Melakukan penerangan / bimbingan kepada
orang tua serta masyarakat agar penderita dapat
hidup wajar.
9. Edukasi a. Rencana pengobatan
b. Pengobatan jangka panjang, dan
memerlukan kerja sama dengan keluarga
c. Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat II A
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kemampuan perkembangan motorik, bicara, dan
medis intelektual.
15. Kepustakaan 1. Johnston VM. Cerebral Palsy. Dalam: Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting.
Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 2494-5.
2. Palmer FB, Hoon AH. Cerebral Palsy. Dalam: Parker
S, Zuckerman B. Development and Behavioral
Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2005.
h. 145-51.
3. Blasco PA. Motor Delays. Dalam: Parker S,
Zuckerman B. Development and Behavioral
Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2005.
h 42-7.
4. Williams J, Venning H. Physical disability. Dalam:
Polnay L. Community Paediatrics.Edisi ke-3.
Edinburgh: Churcill; 2003. h. 503-6.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L.
Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh:
Churcill; 2003. h. 469-78.
6. Marwa OE, Sadia AT, Mohaed EA Ahmed MA Ade
EM, Mohamed HM. Role of piracetam in treatment of
cerebral palsy disease. Journal of Behavioral health.
2012;1(1): 53-58

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

AUTISME
F84.0

1. Definisi Autisme adalah gangguan perkembangan yang luas dan


berat (pervasive) dengan karakteristik gangguan
komunikasi, interaksi sosial, dan prilaku yang gejalanya
mulai tampak pada anak sebelum usia 3 tahun.
Menurut PPDGJ-III (Penggolongan Diagnostik Gangguan
Jiwa-III) 1993, autisme digolongkan gangguan
perkembangan pervasive (Pervasive Developmental
Disorder; PDD)
Menurut DSM-IV yang tergolong dalam PDD adalah
- Autistic disorder (autisme)
- Asperger syndrom
- PDD Not Otherwie Spesified (PPD –NOS)
- Childhood disintegratif disorders
- Rett Syndrom

2. Anamnesis Gejala autisme biasanya timbul sebelum anak berusia 3


tahun. Pada sebagian anak gejala-gajala bisa sudah ada
sejak lahir yang akan tampak makin jelas setelah anak
mencapai 3 tahun.
1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal
maupun non verbal
 Telambat bicara
 Meracau dengan bahasa yang tidak dimengerti
orang lain
 Bicara tidak dipakai untuk berkomunikasi
 Meniru atau membeo (echolalia)
 Pandai meniru nyanyian, nada maupun kata-
katanya tanpa mengerti artinya
 Sebagian (20 %) anak-anak ini tetap tak dapat
bicara sampai dewasa
 Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang
terdekat dan mengharapkan tangan tersebut
melakukan sesuatu untuknya

2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial


 Menolak / menghindar untuk bertatap mata
(kontak mata tidak ada)
 Tak mau menengok bila dipanggil
 Seringkali menolak untuk dipeluk
 Tidak ada usaha melakukan interaksi dengan
orang lain, asyik main sendiri
 Bila didekati untuk diajak main malah menjauh

3. Gangguan dalam bidang perilaku


Pada anak autis terdapat perilaku yang berlebihan
dan kekurangan
Contoh perilaku yang berlebihan:
 Hiperaktivitas motorik seperti tidak bisa diam, lari
ke sana ke mari tak terarah, melompat-lompat,
berputar-putar, memukul-mukul pintu atau meja,
mengulang-ulang gerakan tertentu. Perilaku ini
dapat membahayakan diri sendiri dan dapat
berupa agresifitas melawan orang lain
 Perilaku yang kekurangan, contohnya:
o Duduk dia bengong dengan tatap mata yang
kosong, bermain secara monoton dan kurang
variatif secara berulang-ulang.
o Duduk diam terpaku oleh sesuatu hal,
misalnya bayangan atau benda yang berputar.
Kadang-kadang ada kelekatan pada benda
tertentu seperti sepotong tali, kartu, kertas,
gambar, gelang karet atau apa saja yang terus
dipegangnya dan dibawa ke mana-mana

4. Gangguan dalam bidang perasaan/ emosi


 Tidak ada atau kurangnya empati, misalnya
melihat anak menangis tidak merasa kasihan
melainkan merasa terganggu sehingga anak yang
menangis tersebut mungkin didatangi dan
dipukulnya
 Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah-marah
tanpa sebab yang nyata
 Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum).
Terutama bila tidak mendapatkan apa yang
diinginkannya, ia bisa menjadi agresif dan
destruktif (merusak)

5. Gangguan dalam persepsi sensoris (tactile, auditory


hipersensity )
 Mencium-cium, menggigit atau menjilat mainan
atau benda apa saja
 Bila mendengar suara keras langsung menutup
telinga
 Tidak menyukai rabaan atau pelukan
 Merasa sangat tidak nyaman bila memakai pakaian
dari bahan yang kasar

6. Gangguan tidur dan makan


7. Gangguan efek dan mood (suasana hati)
8. Gangguan kejang
9. Aktivitas dan minat yang terbatas
10. Gangguan kognitif : 75-80% anak autis mengalami
retardasi mental.
Gejala-gejala diatas tidak harus ada semuanya pada
setiap anak, tergantung pada berat atau ringannya
keadaan autisnya.
3. Pemeriksaan - Berat badan, tinggi badan , lingkar kepala
fisik - Anak tidak menjalin interaksi soaial yang memadai
seperti : kontak mata kurang atau tidak ada, tidak
mau bermain dengan teman
- Ada gerakan repetitif , stereotipik, hiperaktif, dan
hipoaktif
- Scoring CHAT
4. Kriteria Menurut ICD-10 1993 & DSM IV 1994, kriteria diagnosis
Diagnosis autisme adalah sebagai berikut :
o Harus ada setidaknya 6 gejala dari 1, 2 dan 3 dengan
minimal 2 gejala dari 1 dan masing-masing satu
gejala dari 2 dan 3
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang
timbal balik. Minimal harus ada 2 dari gejala
dibawah ini :
a. Tidak mampu menjalani interaksi sosial
yang cukup memadai: kontak mata sangat
kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-
gerik kurang tertuju.
b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya
c. Tak ada empati (tak dapat merasakan apa
yang dirasakan orang lain)
d. Kurang mampu mengadakan hubungan
sosial dan emosional yang timbal balik

2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi.


Minimal harus ada satu gejala dibawah ini :
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama
sekali tak berkembang, anak tidak berusaha
berkomunikasi secara nonverbal
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak
dapat dipakai untuk komunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan
diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang
imajinatif dan kurang dapat meniru

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan, diulang-


ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan.
Minimal harus ada satu gejala dibawah ini :
a. Mempertahankan suatu minat atau lebih
dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan
b. Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik
atau rutinitas yang tak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan
diulang-ulang
d. Sering kali sangat terpukau pada bagian-
bagian benda
o Sebelum umur 3 tahun tampak adanya
keterlambatan atau gangguan dalam bidang
1. Interaksi sosial
2. Bicara + Bahasa
3. Cara bermain yang monoton, kurang variatif
o Bukan disebabkan oleh sindroma Rett atau gangguan
disintegratif masa kanak-kanak
5. Diagnosis - Anamnesis
Riwayat gangguan perkembangan bicara dan bahasa
Riwayat gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan
prilaku
- Pemeriksaan fisik terdapat gangguan perilaku yang
khas yaitu hiperaktif atau hipoaktif, gerakan
stereotipik. repetitive, echolalia, dan tidak ada kontak
mata.
- Pemeriksaan penunjang
- Tes pendengaran
- Tes IQ
6. Diffrential 1. Retardasi mental (RM)
diagnosis 2. Skizofrenia
3. Gangguan perkembangan bahasa
4. Gangguan pendengaran
5. PDD yang lain
- Sindroma Rett
- Sindroma Asperger
- Gangguan desintegrasi masa anak
6. ADHD/GPPH

7. Pemeriksaan - Tes pendengaran


Penunujang - Tes IQ

8. Tatalaksana Tujuan :
- mengurangi masalah perilaku yang abnormal
- meningkatkan kemampuan belajar dan
perkembangannya, terutama dalam penguasaan
bahasa

Ditangani oleh satu tim kerja yang terpadu yang terdiri


dari: tenaga pendidik, tenaga medis (psikiater, dokter
anak), psikolog. Ahli terapi wicara, pekerja sosial,
fisioterafis dan perawat
Berbagai jenis terapi yang harus di jalankan secara
terpadu tersebut, sesuai dengan keadaan dan keperluan
anak, mencakup :
1. Terapi medikamentosa
2. Terapi nonmedikamentosa

1. Terapi medikamentosa:
Pada penderita autisme dengan gejala-gejala seperti
tempertantrum, agresifitas, melukai diri sendiri dan
perilaku stereotifik, pemberian obat akan membantu
memperbaiki perilaku dan respon anak terhadap
lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima terapi
yang lain. Obat-obat yang diberikan adalah obat-obat
yang mempengaruhi kerja sel otak dan memperbaiki
abnormalitas kadar neurotransmitter, seperti:
- Risperidon, dimulai dengan dosis 2 x 0,1 mg,
dapat dinaikkan 0,05 mg setiap 3-5 hari sampai
tercapai dosis 1-2 mg/hari. Dapat memperbaiki
hubungan sosial, atensi, agresifitas, hiperaktifitas
dan perilaku menyakiti diri sendiri.
- Aripiprazole, dimulai dengan dosis 2 mg sekali
sehari, dapat dinaikkan bertahap hingga maksimal
10 mg/hari. Dapat mengurangi gangguan
iritabilitas yang berhubungan dengan autis
(tantrum, agresivitas, perubahan mood tiba-tiba,
perilaku yang merugikan diri sendiri). Digunakan
pada anak usia 6-17 tahun.
- Haloperidol, dosis 0,25-3 mg/ hari, dibagi 2-3
dosis. Dapat memperbaiki agresifitas,
hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotifik.
- Thioridazine, dosis 0,5-3 mg/ kg/ hari dibagi 2-3
dosis. Dapat menurunkan agresifitas dan agitasi.

2. Terapi nonmedikamentosa:
- Terapi perilaku
Keadaan hiperaktifitas, impulsifitas, gerakan
stereotifik, cara bermain yang tidak sama dengan
anak lain, juga adanya agresifitas, temper tantrum,
dan cenderung melukai diri sendiri memerlukan
intervensi perilaku.
Metode yang banyak dipakai adalah ABA (Applied
Behavioral Analysis). Usia terbaik adalah sekitar 2-
3 tahun dan intensitas terapi sekitar 40 jam
perminggu.
- Terapi bicara
Terapi bicara perlu dilakukan sejak dini dengan
intensif bersama dengan terapi lain.
- Terapi okupasi
Terapi okupasi diperlukan untuk melatih motorik
halus dan ketrampilan agar anak dapat melakukan
gerakan memegang, menggunting, menulis dengan
terkontrol dan teratur.
- Sensori integrasi
Sensori integrasi adalah pengorganisasian
informasi melalui semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan,
pendengaran, body awareness dan gravitasi) untuk
menghasilkan respons yang bermakna.
- AIT (Auditory Integration Training)
Diberikan kepada individu yang hipersensitif
terhadap suara dan mengganggu pendengaran
mereka. Mulanya ditentukan suara yang
mengganggu pendengaran dengan perangkat
audiometer. lalu diikuti seri terapi yang
memperdengarkan suara-suara yang direkam,
tetapi tidak disertai dengan suara yang
menyakitkan. Selanjunya dilakukan desnsitisasi
terhadap suara yang menyakitkan tersebut.
- Terapi Edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan ketrampilan
sosial, ketrampilan sehari-hari agar anak dapat
mandiri. Salah satu metode yang banyak dipakai
adalah metode TEACCH (Treatment and Education
of Autistic and Related Communication
Handicapped Children). metode ini sangat
terstruktur, mengintegrasikan metode klasik yang
individual, metode pengajaran yang sistematik,
terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata
khusus.
- Terapi diet
Terapi diet bebas glutein dan casein bersifat
individual. Dapat dipertimbangkan bila dengan diet
tersebut ada penurunan hiperaktifitas.
9. Edukasi 1. Pengobatan bersifat jangka panjang
2. Sangat memerlukan kerja sama dengan keluarga
3. Terapi bicara dirumah
4. Sekolah dan pendidikan khusus
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Dengan penatalaksanaan yang tepat dan terpadu gejala-
gejala autistiknya bisa dikurangi semaksimal mungkin.
Bila anak tersebut mempunyai kecerdasan yang normal
atau tinggi, tidak tertutup kemungkinan ia bisa mencapai
jenjang pendidikan yang tinggi.
Prognosis penyandang autisme sangat tergantung dari
diagnosis dini, berat ringannya gejala, kecerdasan anak,
umur pada saat terapi, kemampuan bicara dan terutama
intensitas terapi. Keterlibatan orang tua sangat
mempengaruhi dan penting dalam membantu kemajuan
anaknya .Penyandang autisme dikatakan “sembuh” bila
ia telah bisa membaur dan mandiri dalam masyarakat.

11. Tingkat IB
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator - Kemampuan berkomunikasi
medis - Kemampuan sosialisasi
- Kemampuan kognisi
15. Kepustakaan 1. Dalton R, Forman MA. Autistic Disorder. Dalam:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 87-8
2. Caronna EB. Autism. Dalam: Parker S, Zuckerman B.
Development and Behavioral Pediatric. Edisi 2.
Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 124-9.
3. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L.
Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh;
Churcill; 2003. h. 469-78.
4. Tanguay PE. Pervasive developmental disorders A. 10
year- review. J. Am. Acad. Child Adolesc Psychiatry.
2000; 39:1079-95
5. Maestro S, Muratori F. Attentional skill during the first
6 month of age in autism spectrum disorder. J Am
Acad Child Adolesc Psychiatry. 2002; 41:10
6. Brereton AV, Tonge BJ. Screening young people for
autism with the developmental behavior check-list. J
Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2002; 41:11
7. Baird G, Charman T. A screening instrument for
autism at 18 months of age: A 6- year follow up study.
J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2000; 39:6
8. Alisjahbana A. Tanda awal dari autisme. Disampaikan
pada konferensi nasional autism-1. Jakarta, 2-4 Juli
2003.
9. Filipek PA, Acardo PJ, Aswahwal S, Baronek GT, Cook
EH, Dawson G, dkk. Practise parameter: screening
and diagnosis of autism. Neurology.2000.; 55: 468-79
10. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Washington: American
Psychiatric Association; 1994. h 66-71.
11. Randall O, Linmarie S, Ronal NM, Patricia CL George
M, Roert DM, William HC , Robert LF. Aripiprazole in
the treatment of irritability in children and
adplesscents with autistic disorder. Pediatric
2009;124;1533-1540
12. Nazni P, Wesely EG, Nishadevi V. Impact of Casein
and Glutein Free Dietary Intervention on selected
Autistic Children. Iran J Pediatr 2008:18:244-250

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)


F.90.0-2

1. Definisi ADHD adalah kelompok gangguan tingkah laku


(sindroma tingkah laku) yang terdiri dari gangguan
hiperaktif dan/atau impulsif dan/atau kurang perhatian
(inatentif) yang tampak pada awal kehidupan anak dan
akan menetap setelah masa anak dan remaja, walaupun
manifestasi tingkah laku berubah tergantung rentang
perkembangan.
2. Anamnesis 1. Riwayat perkembangan
2. Riwayat keluarga
3. Riwayat gangguan perilaku seperti inattensi,
hiperaktivitas, dan impulsivitas
3. Pemeriksaan  Berat badan , tinggi badan, Lingkar kepala
fisik  Pemantauan perilaku misalnya kontak mata,
hiperaktivitas, inattensi dan impulsivitas
 Pemeriksaan neurologis
ADHD sering berhubungan dengan gangguan
neurologis nonspesifik yang menunjukkan imaturitas
neurologis atau lemahnya koordinasi.
 Tes Denver, score Conner’s scale
4. Kriteria Menurut ICD 10 (1993) dan DSM IV (1994) :
Diagnosis A. Kurang perhatian atau inattentive
1. Kurang perhatian : terdapat minimal 6 dari gejala
berikut yang menetap selama minimal 6 bulan
dalam derajat yang maladaptive dan inkonsisten
dengan tingkat perkembangan :
 Selalu gagal memperhatikan secara detail atau
melakukan kesalahan yang ceroboh dalam
pekerjaan sekolah, pekerjaan atau kegiatan
lainnya.
 Selalu kesulitan dalam mempertahankan
perhatian dalam pekerjaan atau kegiatan
bermain.
 Selalu seolah-olah tidak mendengar apa yang
dikatakan kepadanya.
 Selalu tidak mengikuti perintah dan gagal untuk
menyelesaikan pekerjaan sekolah, koor atau
tugas di tempat kerja (bukan karena sikap
melawan atau kegagalan untuk mengerti
perintah).
 Selalu kesulitan dalam mengorganisir tugas
atau kegiatan.
 Selalu menghindari, menyatakan keengganan
atau mengalami kesulitan dalam keterlibatan
dengan tugas yang membutuhkan usaha mental
yang lama (seperti pekerjaan sekolah dan PR).
 Selalu kehilangan barang-barang yang
diperlukan untuk tugas dan kegiatan (mis: tugas
sekolah, pensil, buku, alat-alat atau mainan)
 Selalu mudah teralihkan perhatiannya oleh
stimulus dari luar.

2. Hiperaktifitas impulsifitas : terdapat minimal


5 dari gejala berikut yang menetap selama minimal
6 bulan dalam derajat yang maladaptive dan
inkonsisten dengan tingkat perkembangan :
Hiperaktifitas
 Selalu tidak bisa diamnya tangan
atau kaki atau selalu menggeliat-geliat pada
waktu duduk.
 Meninggalkan kursi dalam kelas atau
pada situasi lain dimana seharusnya anak tetap
duduk di kursinya.
 Selalu berlari kesana kemari atau
memanjat berlebihan dalam situasi yang tidak
sesuai.
 Selalu kesulitan bermain atau terlibat
dalam kegiatan yang santai dan tenang.
 Selalu “siap pergi” atau bersikap
seolah-olah dikejar motor.
 Selalu berbicara berlebihan.

Impulsifitas
 Selalu cepat-cepat menjawab
pertanyaan sebelum pertanyaan selesai
diajukan.
 Selalu kesulitan menunggu dalam
barisan atau menunggu giliran dalam
permainan atau dalam situasi kelompok.
 Selalu menyelak atau menyerobot
orang lain (mis: ikut dalam percakapan orang
lain atau permainan)

B. Beberapa simptom yang menyebabkan ganggguan


telah ada sebelum usia 7 tahun.
C. Beberapa simptom yang menyebabkan gangguan ada
pada lebih dari 2 setting (mis: di sekolah, tempat kerja
dan di rumah).
D. Harus ada bukti jelas dari gangguan klinis yang
bermakna dalam bidang social, akademis atau fungsi
pekerjaan.
E. Tidak ada secara eksklusif selama perjalanan penyakit
perkembangan pervasive, skizofrenia atau penyakit
psikotik lainnya dan tidak disebabkan gangguan mood,
ansietas atau gangguan kepribadian.
5. Diagnosis 1. Anamnesis
- Riwayat perkembangan
- Riwayat keluarga
- Riwayat gangguan perilaku

2. Pemeriksaan fisik.
Untuk menyingkirkan diagnosa banding
 Berat badan , tinggi badan, Lingkar kepala
 Gangguan perilaku misalnya kontak mata tidak
ada, hiperaktivitas, inattensi dan impulsivitas
 Tes Denver, score Conners scale
 Pemeriksaan neurologis

3. Pemeriksaan penunjang
Tes pendengaran, tes IQ

Berdasarkan tipe :
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder,
Predominantly Inattentive Type F90.0 : jika kriteria
A(1) dipenuhi tapi kriteria A(2) tidak, dalam 6 bulan
terakhir.
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder,
Predominantly Hiperactive Impulsive Type F90.1 :
jika kriteria A(2) dipenuhi tapi kriteria A(1) tidak,
dalam 6 bulan terakhir.
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder, Combined
Impulsive Type F 90.2 : jika kedua kriteria A(!) dan
kriteria A(2) dipenuhi dalam 6 bulan terakhir

6. Diffrential  Gangguan perkembangan pervasif (autis dan


diagnosis penyakit seperti autis)
 Penyakit yang mempengaruhi perasaan
(depresi).
 Reaksi-reaksi terhadap stress (mis: gangguan
stress pasca trauma)
 Tuli
 Retardasi mental
7. Pemeriksaan a. Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya
Penunujang untuk menyingkirkan diagnosa banding
b. Tes psikologis. Jika dicurigai masalah
akademis dilakukan tes psikologis atau diagnostik
edukasi atau bicara dan bahasa, Beberapa tes
dibutuhkan untuk menyingkirkan dan juga
mengidentifikasi secara adekuat masalah belajar.
8. Tatalaksana A. Medikasi. Stimulansia SSP dapat meningkatkan
atensi, menurunkan hiperaktivitas dan mengurangi
impulsif. Jika anak juga melawan dan menyimpang
akan meningkatkan kepatuhan, mengurangi kelabilan
emosi dan menurunkan sifat antisosial. Medikasi
diberikan jika gejala ADHD menyebabkan efek negatif
yang nyata terhadap kemampuan akademik dan sosial
anak. Obat-obat yang biasa dipakai antara lain:
- Metilfenidat, dimulai dengan dosis 0,3 mg/ kg/
kali, 2 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan 0,15
mg/ kg/ kali sampai didapat efek optimal. Dosis
maksimal 20 mg/ hari.
- Atomoxetine, dimulai dengan dosis 0,5 mg/kg/hari
sehari sekali. Setelah 2-3 hari dosis dapat
ditingkatkan menjadi 2x0,5 mg/kg sampai dosis
maksimal 1,4mg/kg/hari. Dapat meningkatkan
atensi dan mengurangi hiperaktif.
- Risperidon, dimulai dengan dosis 2 x 0,1 mg,
dapat dinaikkan 0,05 mg setiap 3-5 hari sampai
tercapai dosis 1-2 mg/hari. Dapat memperbaiki
hubungan sosial, atensi, agresifitas, hiperaktifitas
dan perilaku menyakiti diri sendiri.
- Dekstroamfetamin, dimulai dengan dosis 0,15 mg/
kg/ kali, 2 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan
0,15 mg/ kg/ kali. Dosis maksimal 5 mg/
hari.
- Pemoline, dosis anak <8 tahun: 37,5 mg pada pagi
hari, anak > 8 tahun: 37,5 mg pagi + 18,75 mg
siang.
Jika satu obat tidak efektif atau timbul masalah,
dapat dicoba kelompok obat lainnya. Medikasi
dimulai dengan dosis paling rendah yang dinaikkan
perlahan-lahan sampai respon optimal. Efek samping
diminimalkan dengan pengaturan dosis, waktu atau
bentuk medikasi. Sekali dosis yang tepat sudah
didapatkan harus dievaluasi ulang dan disesuaikan
terus ke atas karena dapat terjadi efek toleransi atau
anak bertambah besar sehingga dibutuhkan dosis
lebih tinggi. Terapi harus diteruskan sampai lewat
masa remaja ( kecuali 20% anak ADHD yang
sembuh). Keputusan untuk mengakhiri obat
didasarkan pada periode singkat saat stop obat
(biasanya 2-4 minggu) selama masa stress berkurang.

B. Terapi Psikologi
- Latihan orangtua. Dalam tahap terapi tingkah laku,
latihan untuk orang tua merupakan prioritas
tertinggi. Tujuannya untuk mengajar orang tua
bagaimana mengatur pembatas sekaligus insentif
untuk tingkah laku yang tepat dan menimbulkan
respon emosi destruktif. Apa yang dibutuhkan
adalah perubahan komplit dalam respon alami
terhadap tindakan negatif. Latihan untuk dewasa
(orang tua dan guru) dalam penatalaksanaan
tingkah laku biasanya membutuhkan rujukan.
Untuk orang tua pengobatan dilakukan dalam
kelompok kecil. Klinisi harus tahu bahwa tujuan
terapi tatalaksana tingkah laku adalah perbaikan
lingkungan dimana dilakukan kehidupan sehari-
hari, tidak untuk mengubah dasar alamiah anak.
- Terapi tambahan. Terapi tambahan mungkin
dibutuhkan tergantung pada lingkaran keluarga
dan anak. Terdapat keterbatasan usaha tradisional,
psikoterapi individu untuk anak ADHD. Tujuan
terapi ini adalah untuk memperbaiki harga diri.
Tidak ada bukti bahwa psikoterapi individual
memperbaiki kemampuan anak untuk memberikan
perhatian atau mengurangi impulsif. Bila anak
mulai menjadi lebih tua dan lebih waspada,
psikoterapi dapat memfasilitasi pengertian
bagaimana tingkah laku mempengaruhi yang
lainnya. Psikoterapi dinamis keluarga harus
disiapkan. Latihan kemampuan komunikasi
keluarga juga memiliki keterbatasan fokus,
mungkin ini lebih menolong jika anak ADHD
mendekati remaja. Fokus terapi ini adalah
menciptakan pengaturan dan menguatkan
peraturan di tempat keluarga.

C. Kriteria merujuk.
Kebanyakan klinisi tingkat dasar akan terlibat dalam 2
aspek terapi yaitu : (1) menjelaskan kondisi terhadap
anak dan keluarga (2) memberikan resep dan
mengikuti pengobatan. Terapi psikososial akan
diberikan oleh yang lain walaupun klinisi juga harus
tahu tipe pengobatan dan tujuan tiap strategi
pengobatan. Jika anak gagal merespon obat stimulan
yang diberikan atau memberikan efek samping yang
tidak diharapkan, rujuk ke spesialis seperti dokter
anak tumbuh kembang atau psikiater anak.

9. Edukasi - ADHD dapat berlanjut sampai remaja, bahkan sampai


dewasa.
- Pendidikan khusus

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

Sebanyak 30-80% kasus tetap menunjukkan gejala


ADHD pada masa-masa adolesen dan sebanyak 65%
kasus sampai dewasa. Riwayat keluarga ADHD, gangguan
psikososial dan komorbiditas dengan gangguan konduk,
mood dan ansietas meningkatkan resiko menetapnya
ADHD.
Delikuensi atau personalitas antisosial pada masa
adolesen atau dewasa terlihat pada pemantauan 25-40%
anak dengan ADHD. Pasien ADHD dilaporkan
mempunyai kecenderungan mencoba narkotika den
mengalami adiksi pada masa adolesen.
Kasus-kasus yang memperlihatkan tingkah laku agresif
terhadap orang dewasa, IQ yang rendah, hubungan
dengan kawan yang buruk dan menetapnya gejala ADHD
mempunyai prognosa yang kurang baik.

11. Tingkat IB
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Perilaku
medis Prestasi Akademik

15. Kepustakaan 1. Dalton R, Forman MA. Autistic Disorder. Dalam:


Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 87-8
2. Caronna EB. Autism. Dalam: Parker S, Zuckerman B.
Development and Behavioral Pediatric. Edisi 2.
Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 124-9.
3. Daruna JH, Dalton R, Forman MA. Attention Deficit
Hyperactivity Disorder. Dalam: Kliegman RM, Behrman
RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007. h. 100-3.
4. Parker S. Attention Deficit Hyperactivity Disorder.
Dalam: Parker S, Zuckerman B. Development and
Behavioral Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott; 2005. h. 124-9.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L.
Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh;
Churcill; 2003. h. 469-78.
6. Tanguay PE. Pervasive developmental disorders A. 10
year- review. J. Am. Acad. Child Adolesc Psychiatry.
2000; 39:1079-95
7. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Washington: American
Psychiatric Association; 1994. h 66-71.
8. David M, Albert JA, Joan B, Charles C, David D,
Christopher K, Jeffrey N, Randy S, Bart S, Keith S,
Scott W, Douglas K, Joachim W, Nancy JT, Donald H.
Once-Daily Atomoxetine Treatment for Children and
Adolescents With Attention Deficit Hyperactivity
Disorder: A Randomized, Placebo-Controlled Study. Am
J Psychiatry 2002; 159:1896–1901

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

RETARDASI MENTAL
F06.8

1. Definisi Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ < 70), disertai


adanya kendala dalam penyesuaian perilaku adaptif
sosial dan gejalanya timbul dalam masa perkembangan
(usia < 18 tahun)
2. Anamnesis 1. Riwayat gangguan perkembangan dan pertumbuhan
2. Gangguan prilaku
3. Gangguan belajar
4. Faktor penyebab organik dan non organik
5. Riwayat prenatal, perinatal dan posnatal
3. Pemeriksaan Berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala
fisik Tanda-tanda dismorfik
Tes Denver
4. Kriteria  Anak dicurigai RM bila perkembangannya dibawah
Diagnosis rata-rata anak seusianya
 Ada tanda-tanda dismorfik
 Mungkin ditemukan penyebab kelainan  organik /
non organik
 Skrining  tes Denver anak RM perkembangan
terlambat di semua bidang, kecuali kadang-kadang
pada bidang motorik kasar
 Tes IQ < 70
5. Diagnosis  Anamnesis
Riwayat perkembangan terlambat
Riwayat kesulitan dalam belajar
 Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda dismorfik , mikrosefali, tes Denver
 Pemerisaan penunjang
Test IQ

Berdasarkan nilai IQ RM dibagi menjadi:

- RM borline IQ 70 – 79
- RM ringan IQ 52 – 69
- RM sedang IQ 36 – 51
- RM berat IQ 20 – 35
- RM sangat berat IQ < 20

Berdasarkan gejala klinis RM dibagi menjadi :

- Tipe klinis: Kelainan fisik dan mental cukup berat


sehingga mudah dideteksi dini. Kabanyakan
disebabkan oleh kelainan organik, memerlukan
perawatan terus menerus
- Tipe sosial budaya: penampilan seperti anak normal,
terdeteksi karena tidak bisa mengikuti pelajaran di
sekolah. Kebanyakan RM yang border line atau ringan.
6. Diffrential - Gangguan pendengaran
diagnosis - Autisme

7. Pemeriksaa - Test IQ
n - Pemeriksaan penunjang lain tidak rutin sesuai
Penunujang indikasi untuk mencari penyebab dan sesuai faktor
risiko
8. Tatalaksana  Umum : masalah pendidikan, edukasi dan latihan
 Tim multidisiplin (dokter anak, psikiater, neurolog,
psikolog, guru, terapis okupasi, terapi bicara, perawat)
 Sesuai dengan IQ
 Pendidikan di SLB
RM ringan
 Mampu didik  diajar baca tulis
 Bisa dilatih keterampilan tertentu sebagai bekal hidup
dan mandiri seperti orang dewasa normal
 Memerlukan bimbingan dari keluarga
RM sedang
 Mampu latih  bisa dilatih keterampilan tertentu
(pertukangan, pertanian)
 Dilatih mengurus diri sendiri
 Selalu memerlukan bimbingan dan pengawasan
RM berat
 Dilatih higiene dasar saja
 Dilatih kemampuan bicara yang sederhana
 Tidak dapat dilatih keterampilan kerja
 Memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur
hidup
RM sangat berat
 Kemampuan berbahasa sangat minimal
 Seluruh hidup tergantung pada orang disekitarnya
9. Edukasi  RM merupakan masalah jangka panjang
 Anak memerlukan bimbingan seumur hidup
 Sekolah dan pendidikan khusus
 Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat 4
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kemampuan bicara, sosialisasi, kemadirian dan kognisi
medis
15. Kepustakaan 1. Shonkoff JP. Mental Retardation. Dalam: Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 125-9
2. Kastner W. Mental Retardation: Behavioral Probelms
Palsy. Dalam: Parker S, Zuckerman B. Development
and Behavioral Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott; 2005. h. 234-7
3. Coulter DL. Mental Retardation: Diagnostic
Evaluations. Dalam: Parker S, Zuckerman B.
Development and Behavioral Pediatric. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 238-41
4. Williams J, Venning H. Physical disability. Dalam:
Polnay L. Community Paediatrics. Edisi ke-3.
Edinburgh: Churcill; 2003. h. 503-6.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L.
Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh:
Churcill; 2003. h. 469-478

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

SINDROMA DOWN
Q90

1. Definisi Sindroma Down (Down Syndrome) adalah suatu kondisi


keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak
yang diakibatkan adanya gangguan perkembangan
kromosom 21 yang dapat dikenal dengan melihat
manifestasi klinis yang cukup khas.

2. Anamnesis - Didapatkan keterlambatan pada semua aspek


perkembangan anak, baik motorik, bahasa, personal
sosial dan kognisi.
- Adanya faktor resiko seperti infeski intra uterin,
paparan radiasi, usia ibu > 35 tahun.
3. Pemeriksaan Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali
fisik dengan adanya penampilan fisik yang menonjol.
Kepala, muka dan leher :
 Paras muka yang hampir sama seperti muka orang
Mongol.
 Hipertelorisme dan lipatan epicantus.
 Mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk
lipatan (epicanthal folds), white Brushfield spots di
sekililing lingkaran di sekitar iris mata, medial
epicanthal folds, keratoconus,
strabismus, katarak, dan retinal detachment.
 Sela hidung yang datar.
 Protruding tongue, hypoplasia maxilla,
keterlambatan pertumbuhan gigi,  hypodontia,
juvenile periodontitis, dan kadang ada bibir
sumbing
 Low set ear.
1. Didapatkan brachycephalic, sutura dan
fontanela yang terlambat menutup. Tulang
ileum dan sayapnya melebar disertai sudut
asetabular yang lebih lebar, terdapat pada
87% kasus.
2. Pada sistim pencernaan dapat ditemui
kelainan berupa sumbatan pada esofagus
(esophageal atresia) atau duodenum
(duodenal atresia).
Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa
tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya
serta jarak antara jari pertama dan kedua baik
pada tangan maupun kaki melebar. Tapak tangan
hanya terdapat satu garisan urat (simian crease).
1. Tampilan kaki : Kaki agak pendek dan jarak
di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua
agak jauh terpisah dan tapak kaki.
2. Hypogenitalism (penis, scrotum, dan testes
kecil), hypospadia, cryptorchism, dan
keterlambatan perkembangan pubertas.
Manifestasi kulit : kulit lembut, kering dan tipis, xerosis,
atopic dermatitis, palmoplantar hyperkeratosis, dan
seborrheic dermatitis.

4. Kriteria  Anamnesis : perkembangan terlambat


Diagnosis  Pemeriksaan fisik : gambaran dismorfik yang khas
 Pemeriksaan kromosom
 Tes fungsi Tiroid

5. Diagnosis  Anamnesis
Perkembangan terlambat, adanya faktor resiko
 Pemeriksaan Fisik
Gambaran Dismorfik yang khas
 Pemeriksaan Penunjang
tes kromosom dan fungsi tiroid

6. Diffrential  Hipotiroid Kongenital


diagnosis  Fragile X Syndrom
 Prader Wili Syndrom
 CMV Kongenital
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Kromosom
Penunujang 2. Tes fungsi Tiroid
3. Pemeriksaan Radiologi, USG, ECG sesuai indikasi
4. Tes IQ
8. Tatalaksana 1. Stimulasi dini.
Stimulasi sedini mungkin kepada bayi yang DS, terapi
bicara, olah tubuh, karena otot-ototnya cenderung
lemah. Memberikan rangsangan-rangsangan dengan
permainan-permainan layaknya pada anak balita
normal.
2. Fisio Terapi. 
Penanganan  fisioterapi menggunakan tahap
perkembangan motorik kasar untuk mencapai manfaat
yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan.
3. Terapi Wicara.
Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang
mengalami keterlambatan bicara dan pemahaman
kosakata
4. Terapi Okupasi
Terapi ini diberikan untuk melatih anak dalam hal
kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan
sensorik dan motoriknya Terapi ini membantu anak
mengembangkan kekuatan dan koordinasi dengan
atau tanpa menggunakan alat.
5. Terapi Sensori Integrasi.
Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami
gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian
sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll. Dengan
terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan
terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
6. Terapi perilaku
Mengajarkan anak DS yang sudah berusia lebih besar
agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang
tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang
berlaku di masyarakat.
7. Terapi Remedial.
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami
gangguan kemampuan akademis dan yang dijadikan
acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari
sekolah biasa
8. Pendidikan di SLB
9. Edukasi Masalah perkembangan anak, pengobatan, pendidikan
dan prognosa

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat II-2
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kemampuan motorik, bicara, personal sosial dan kognisi
medis
15. Kepustakaan 1. Hardy, Olga, Worley, Gordon, et.al., Hypothyroidism in
Down Syndrome : Screening Guidelines and Testing
Methodology, 2004, NCBI Articles, PMC2683266
2. Leshin, Len, Pediatric Health Update on Down
Syndrome dalam Down Syndrome Vision for 21st
Century, Cohen, William I, Lynn, Nadel, Madnick, Myra
E, Willey Liss, New York, 2005.
3. Nelson, Behrman, Kliegman, Arvin, Ilmu Kesehatan
Anak edisi 15. Jakarta : Penerbit EGC. 2000
4. Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Jakarta
: Penerbit EGC. 2014

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

IMUNISASI PADA ANAK


ICD 10

1. Definisi Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan


kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam
tubuh manusia.
2. Anamnesis - Riwayat imunisasi sebelumnya
- Reaksi setelah mendapat imunisasi sebelumnya
- Adanya kontraindikasi imunisasi seperti : demam,
penyakit imunocompromised
3. Pemeriksaan Pemeriksaan fisik rutin BB, TB, dan
fisik Pemeriksaan untuk menilai apakah ada kontraindikasi
imunisasi seperti :
- Panas > 38,5 C
- Gizi buruk
- Penyakit imunocompromised
4. Jadwal 1. Menurut Program Pengembangan Imunisasi Dep. Kes
Imunisasi R.I. (PPI)
- Untuk bayi yang lahir di rumah sakit
- Untuk bayi yang datang ke rumah sakit/posyandu
2. Non PPI
Jadwal imunisasi Depkes pada bayi dengan
menggunakan vaksin DPT dan HBdalam bentuk
terpisah menurut tempat lahir bayi

Jadwal imunisasi Depkes pada bayi dengan


menggunakan vaksin DPT/HB combo
Umur Bayi Jenis Imunisasi
≤ 7 hari Hepatitis B (HB) 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT/HB 1, Polio 2
3 bulan DPT/HB 2
Po
io 3
4 bula DPT/HB 3, Polio 4
9 bulan Campak
Jadwal Imunisasi IDAI

5. Jenis-jenis A. Hepatitis B
Vaksin Jenis vaksin :
- Inactivated viral vaccine (IVV = HbSAg
yang telah diinaktifasi)
- Vaksin rekombinan : HB Vax (MSD);
Engerix (smith Kline Becham); Bimugen
(kahatsuka)
- Plasma derived : Hepa B: vaksin hepatitis
B (biofarma) : Hepaccine B (Cheil
Chemical & ford)
Dosis: 0,5 cc/dosis.
Cara pemberian : SC/IM
Jadwal imunisasi :
 Disarankan untuk diberikan bersama BCG dan
Polio I pada kesempatan kontak pertama
dengan bayi.
 Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg negatif
mendapat ½ dosis anak vaksin rekombinan
atau 1 dosis anak vaksin plasma derived. Dosis
kedua harus diberikan 1 bulan atau lebih
setelah dosis pertama.
 Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapat
0,5 cc Hepatitis B immune Globulin (HBIG)
dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 1 dosis
anak vaksin rekombinan atau 1 dosis anak
vaksin plasma derived pada tempat suntikan
yang berlainan. Dosis kedua direkomendasikan
pada umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau
bersama dengan vaksin campak pada umur 9
bulan.
 Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui
status HbsAgnya mendapat 1 dosis anak
plasma rekombinan atau 1 dosis anak vaksin
plasma derived dalam waktu 12 jam setelah
lahir. Dosis kedua direkomendasikan pada
umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau
bersama dengan vaksin campak pada umur 9
bulan. Diberikan booster 5 tahun kemudian,
dianjurkan pemeriksaan kadar anti HbsAg
sebelumnya.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak)
Efek samping : reaksi lokal ringan, demam sedang
24-48 jam, lesu, saluran pencernaan rasa tidak
enak
B. BCG
Jenis Vaksin : Calmette & Guerin (Biofarma,
Pasteur, Glaxo) suatu live attenuated vaccine (LAV).
Dosis : 0,05 cc/dosis
Cara pemberian : intrakutan
Jadwal imunisasi: pada kesempatan kontak
pertama dengan bayi, tidak diperlukan booster
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Dermatosis yang progresif (sementara)
Efek samping : reaksi lokal, adenitis

C. DPT
Jenis vaksin : Difteri (toksoid)
Pertusis (Inactivated Bacterial Vaccine-IBV,
Bordetella pertusis tipe I)
Tetanus (toksoid)
Dosis: 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : IM atau SC dalam
Jadwal imunisasi:
1. Imunisasi dasar : tiga dosis dengan
interval 4-6 minggu. Dosis I diberikan pada umur
2 bulan
2. Booster : dosis IV diberikan 1 tahun
setelah dosis III dan dosis V dan VI berupa DT
diberikan pada umur 6 dan 12 tahun
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Difteri : tidak ada
- Pertusis : riwayat kelainan neurologis
- Tetanus : tidak ada
Efek samping: reaksi lokal, demam, reaksi
akinetik, kejang, gejala ensefalopati
akibat komponen vaksin pertusis. Jika muncul
reaksi ini, imunisasi DPT
dilanjutkan hanya dengan DT
D. Polio
Jenis vaksin : vaksin polio oral sabin (LAV)
Dosis : 2 tetes/dosis
Cara pemberian : oral
Jadwal imunisasi :
 Dosis I diberikan pada umur sedini mungkin
bila bayi lahir di RS (Bersama dengan BGC)
atau pada kontak pertama bila bayi datang
ke RS atau posyandu (biasanya umur 2
bulan). Selanjutnya dosis II, III dan IV
diberikan dengan interval 4 minggu,
bersamaan dengan DPT I, II dan II. Jika BCG
dan Polio I diberikan bersamaan dengan DPT
I, Polio IV diberikan 4-6 minggu setelah
DPT/Polio III.
 Booster : dosis V diberikan I tahun setelah
dosis IV dan dosis VI dan VII diberikan pada
umur 6 dan 12 tahun.
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Diare (sementara)
Efek samping : tidak ada reaksi klinis.
Kemungkinan polio paralitik yang dapat dievaluasi
dari 1 per 8 juta dosis pada anak yang telah
diimunisasi dan 1 per 5 juta dosis pada kontak.
E. Campak
Jenis vaksin : Schwarz (LAV)
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM
Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar : diberikan pada umur 9
bulan
 Bisa diulang minimal 6 bulan setelah
pemberian campak yang pertama.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak), alergi
terhadap telur (benar-benar
terbukti), mendapat injeksi gammaglobulin dalam 6
minggu terakhir
Efek samping: demam dengan atau tanpa rash 6-12
hari setelah diimunisasi pada 15-20% anak.
F. MMR (Measle-Mump-Rubela)
Jenis vaksin : Triple vaccine Measles, Mumps
Rubella (LAV), isinya :
Measle : campak
Mump : Urabe (trimovax-pasteur),
Jeryl Lynn (MMR-
MSD)
Rubella : RA 27/73
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM
Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar : diberikan pada umur 12
bulan atau 6 bulan setelah imunisasi
campak.
 Booster : diberikan pada umur 12 tahun
Kontra indikasi : sama dengan campak
Efek samping : sama dengan campak + parotitis:
dmam, rash, ensefalitis,
parotitis, meningoensefalitis, tuli neural unilateral
(tetapi dilaporkan sembuh
sempurna tanpa gejala sisa).
G. Tifus Abdominalis
Jenis vaksin : Vi CPS (capsular poly sacharide)
: Typhim Vi (Pasteur
Merieux)
Oral : Vivotif (Ty2/A strain)
Dosis : Polisakarida 0,5 cc/dosis
Oral : 1 kapsul lapis enterik atau 1 sachet.
Cara pemberian :
- Polisakarida : SC atau IM satu kali
- Oral, 3 kali selang sehari.
Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar : Polisakasrida
direkomendasikan diberikan pada umur > 2
tahun.
Oral direkomendasikan diberikan pada umur
> 6 tahun dalam 3 dosis dengan interval dosis
selang sehari.
 Booster : polisakarida diberikan setiap 3
tahun
Oral : setelah 3-7 tahun.
Kontra indikasi : < 2 tahun (mutlak), tidak
dianjurkan sebelum umur 6 tahun, proteinuria,
penyakit progresif
Efek samping :
- Reaksi lokal ditempat suntikan : indurasi,
nyeri 1-5 hari
- Reaksi sistemik : demam, malaise, sakit
kepala, nyeri otot, komplikasi neuropatik,
kadang-kadang bisa syok, kolaps.

H. Varisela
Jenis vaksin : Strain OKA dari virus Varicella
zoster.
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC
Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar : Anak berumur 12 bulan
sampai dengan 12 tahun diberikan 1 dosis.
Anak 13 tahun keatas diberikan 2 dosis dengan
interval 4-8 minggu.
 Booster : Jika diberikan pada umur 12 bulan
harus diulang umur 12 tahun.
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Penyakit demam akut yang berat (sementara)
- Hipersensitif terhadap neomisin atau
komponen vaksin lainnya
- TBC aktif yang tidak diobati
- Penyakit kelainan darah

Efek samping :
- Ringan: reaksi lokal di tempat suntikan
- Reaksi sistemik : demam ringan, erupsi
papulo vesikular dengan lesi kurang dari 10
Catatan : hindarkan pemberian salisilat selama 6
minggu setelah vaksinasi karena dilaporkan
terjadi Reye’s Syndrome setelah pemberian salisilat
pada anak dengan varicella alamiah.

I. Haemophylus Influenza Tipe B (Act-HiB)


Jenis vaksin : Conjugate H. Influenza Tipe B
(Act-HiB) PRP-T (Pasteur
Merieux)
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM
Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar :
o Untuk vaksin conjugate H-Influenza Tipe B
(Act-HiB)
 Bila anak datang pada umur 2-6 bulan,
direkomendasikan diberikan pada umur
2,4 dan 6 bulan
 Bila anak datang pada umur 6-12 bulan,
direkomendasikan diberikan pada umur
2 dosis dengan interval 1-2 bulan.
 Bila anak datang pada umur >12 bulan,
Act HiB hanya diberikan 1 kali
o Untuk vaksin Pedvax HIB MSD
 Bila diberikan pada umur 2-14 bulan
maka diberikan dalam 2 dosis dengan
interval 2 bulan.
 Bila diberikan pada umur > 15 bulan maka
diberikan 1 kali saja.
 Booster :
o Untuk Act-HIB : bila imunisasi dasar
diberikan pada umur 2-10 bulan, booster
pada umur 12-15 bulan setelah suntikan
terakhir.
o Untuk Pedva: bila imunisasi dasar sebelum 1
tahun, booster diberikan 12 bulan setelah
suntikan terakhir.
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap komponen
vaksin
Infeksi akut dengan demam
Efek samping :
- Lokal : eritema, nyeri dan indurasi
- Reaksi sistemik : demam, nausea, muntah
dan/atau diare, menangis > ½-1 jam dan
rash.
- Infeksi akut dengan demam.

J. Hepatitis A
Jenis vaksin : partikel virus aktif yang
diinaktivasi 9IVV0
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC/ IM
Jadwal imunisasi :
- Imunisasi dasar : anak berumur > 2
tahun diberikan 3 dosis dengan jadwal 0
bulan, 1 bulan, dan 6 bulan.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak)
Pedoman vaksinasi DPT pada anak/bayi dengan
riwayat kejang

Kejang

Ya Tidak → beri DPT

Apakah kejang berhubungan


dengan DPT
(kejang yang terjadi 48 jam setelah
DPT dianggap berhubungan
dengan DPT)

Beri DT*←Ya Tidak

Apakah DPT III sudah


diberikan dan apakah sudah
lewat 6 bulan sejak kejang terakhir

Tidak/salah satu Ya keduanya →


lanjutkan DPT
Atau keduanya

Apakah ada gangguan neurologis


Yang sedang berlangsung
(ditunjang dengan evaluasi medis)

Ya Beri DT* Tidak → beri


DPT

Keterangan: * Bila mampu beri DTPa

6. Pemeriksaan Tidak memerlukan pemeriksaan penunjang


Penunujang

7. Tatalaksana Untuk imunisasi diberikan Parasetamol 10 ng/kgBB/kali


bila panas
8. Edukasi - Manfaat imunisasi
- KIPI
- Cara mengatasi KIPI
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad functionam : bonam
11. Tingkat 4
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kelengkapan imunisasi
medis
15. Kepustakaan I.G.N. Gde Ranuh, Hariyono Suyitno,Sri Rezeki S
Hadinegoro, Cissy B Kartasasmita, Ismoedijanto,
Soedjatmiko, penyunting. Pedoman Imunisasi di
Indonesia. Edisi ke 4.Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN

SYOK SEPSIS
(ICD 10: R57.2)

1. Definisi Sepsis (SIRS disertai adanya tanda – tanda infeksi baik


yang suspected ataupun proven) disertai oleh menetapnya
disfungsi organ kardiovaskuler setelah pemberian bolus
cairan isotonik intravena ≥40 mL/kgBB selama satu jam

2. Anamnesis Demam/ hipotermia, pada beberapa keadaan ditemukan:


a. Batuk
b. Sesak nafas
c. Diare
d. Muntah
e. Kejang

3. Pemeriksaa 1. Tanda-tanda vital:


n fisik a. Suhu tubuh inti >38,50C atau <360C
b. Takikardia atau denyut jantung >2SD di atas nilai
normal sesuai usia di mana tidak ada stimulus dari
luar, obat-obatan kronik, rangsangan nyeri, atau ada
peningkatan yang menetap tanpa sebab yang dapat
dijelaskan selama lebih dari 30 menit sampai empat
jam atau untuk anak <1 tahun: bradikardi atau
denyut jantung <P10 nilai normal sesuai usia di mana
tidak ada stimulus vagal dari luar, obat-obatan
penyekat beta atau kelainan jantung bawaan, atau
ada penurunan yang menetap tanpa sebab yang
dapat dijelaskan selama lebih dari 30 menit.

Tabel 1. Batas takikardia dan bradikardia anak sesuai


usia
Usia Frekuensi Frekuensi
denyut denyut
jantung/menit jantung/menit
(takikardia) (bradikardia)
0 hari-1 minggu >180 <100
1 minggu-1 >180 <100
bulan
1 bulan-1 >180 <90
tahun
2-5 tahun >140 NA
6-12 tahun >130 NA
13-18 tahun >110 NA
NA = Not Applicable

c. Frekuensi nafas rata–rata >2SD di atas nilai normal


sesuai usia atau menggunakan ventilator mekanik
karena proses akut yang tidak berhubungan dengan
penyakit dasar neuromuskular atau mendapat
anestesi umum.

Tabel 2. Batas takipnea anak sesuai usia

Usia Frekuensi napas/menit


0 hari-1 minggu >50
1 minggu-1 bulan >40
1 bulan-1 tahun >34
2 tahun-5 tahun >22
6 tahun-12 tahun >18
13 tahun-18 tahun >14

2. Gangguan perfusi, meliputi tiga dari tanda: Kualitas


nadi sentral lebih besar dari perifer, ekstremitas
dingin, pucat, atau mottled, waktu pengisian kapiler
atau capillary refill time (CRT) >2 detik, penurunan
tekanan nadi <20 mmHg, diuresis <1 mL/kgBB/jam
untuk BB <30 kg; atau <0,5 mL/kgBB/jam untuk BB
>30 kg, penurunan kesadaran atau perubahan status
mental.

Tabel 3. Batas hipotensi anak sesuai usia

Usia Tekanan darah sistolik


(mmHg)
4. Kriteria 0 hari-1
Pada minggu
syok sepsis, terdapat dua
<65gambaran klinis:
Diagnosis 1 minggu-1 <75
1. Gambaran hiperdinamik: takikardia, tekanan
bulan
darah normal atau turun, denyut nadi perifer kuat
1 bulan-1 tahun <100
(pulsus seler), kulit merah, akral hangat, pengisian
2 tahun-5 tahun <94
kapiler >2 detik, tekanan nadi melebar, dan penurunan
6 tahun-12 <105
kesadaran.
tahun
2. Gambaran hipodinamik: takikardia, denyut
13 tahun-18 <117
nadi perifer lebih lemah dibandingkan nadi sentral,
tahun
kulit pucat, mottled, akral dingin, pengisian kapiler >2
detik, tekanan nadi menyempit, penurunan kesadaran.
5. Diagnosis Syok sepsis (ICD 10: R57.2)

6. Diffrential 1. Syok kardiogenik


diagnosis 2. Syok hipovolemik
3. Syok anafilaksis

7. Pemeriksaa 1. Darah lengkap, hapusan darah


n 2. Kultur darah, urine, feses, LCS
Penunujang 3. SGOT dan SGPT
4. Albumin
5. Ureum dan kreatinin
6. Elektrolit serum: Na, K, Cl, Ca serum, Ca Ion, P, Mg
7. Glukosa darah sewaktu
8. CRP
9. Faal hemostasis, FDP, fibrinogen
10. Analisa gas darah arteri dan vena
11. Laktat darah
12. Golongan darah
13. T3, fT4
14. Foto toraks
15. EKG
16. Pulse oksimetri
8. Tatalaksan 1. Oksigenasi dengan nasal kanul, masker, nasal
a continuous positive airway pressure (NCPAP), atau ETT
( T – piece) dan ventilator;
2. Resusitasi cairan 20 mL/kgBB dalam 5-10 menit, dapat
diulang sampai dengan total 60 mL/kgBB
menggunakan cairan kristaloid (Ringer asetat, Ringer
laktat, NaCl 0,9%, atau koloid (Gelatin, Albumin);
3. Bila terdapat hipoglikemia yaitu bila glukosa darah
kurang dari 40 mg/dL koreksi dengan dextrose
(Dextrose 10% atau Dextrose 40%) 0,5 g/kgBB bolus IV
atau IO;
4. Bila terdapat hipokalsemia, yaitu:
5. Usia 1-12 bulan: Ca serum <9,0 mg/dL atau ion Ca
(iCa) <1,05 mmol/L
6. Usia >1 tahun: Ca serum <8,8 mg/dL atau iCa <1,1
mmol/L
7. Koreksi dengan Ca glukonas 10% 50-100 mg/kgBB
( 0,5-1 mL/kgBB) IV atau IO selama 5-10 menit;
8. Pada kasus syok refrakter cairan lakukan pemasangan
kateter vena sentral (CVC);
9. Setelah resusitasi cairan, tatalaksana selanjutnya
adalah pemantauan hemodinamik.
10.Penggunaan obat-obatan vasoaktif berdasarkan:

Low output-high resistance + hipotensi:

I. Titrasi dopamin mulai 5 mcg/kgBB/menit, dosis


maksimal 10 mcg/kgBB/menit, atau
II. Titrasi dobutamin mulai 5 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 20 mcg/kgBB/menit, atau
III. Titrasi epinefrin mulai 0,05 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 0,3 mcg/kgBB/menit

Kombinasi dengan:
Titrasi cairan 5-10 mL/kgBB selama 10-15 menit bila
terdapat penurunan nadi setelah passive leg raising (PLR)

Catatan: PLR dilakukan dengan cara menaikkan kedua tungkai dengan


sudut 45 selama 5 menit
Low output-high resistance + normotensi:
i. Titrasi dopamin mulai 5 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 10 mcg/kgBB/menit, atau
ii. Titrasi dobutamin mulai 5 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 20 mcg/kgBB/menit, atau
iii. Titrasi epinefrin mulai 0,05 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 0,3 mcg/kgBB/menit

Kombinasi dengan
iv. Milrinon: dosis bolus 75 mcg/kgBB selama 15 menit,
dilanjutkan titrasi mulai dosis 0,5 mcg/kgBB/menit,
sampai dosis maksimal 0,75 mcg/kgBB/menit, atau
v. Titrasi sodium nitroprusid mulai 0,5 mcg/kgBB/menit,
dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit

Kombinasi dengan:
Titrasi cairan 5-10 mL/kgBB selama 10-15 menit bila
terdapat penurunan nadi setelah passive leg raising (PLR)
atau diameter vena cava inferior (IVC) kolap >40%.

High output-low resistance:


vi. Titrasi norepinefrin mulai 0,05 mcg/kgBB/menit,
dosis maksimal 1 mcg/kgBB/menit
vii. Titrasi dopamin mulai 10 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 20 mcg/kgBB/menit, atau
viii. Titrasi epinefrin mulai 0,3 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 1 mcg/kgBB/menit

Low output- low resistance:


ix. Titrasi epinefrin mulai 0,05 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 0,3 mcg/kgBB/menit
x. Titrasi dopamin mulai 5 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 10 mcg/kgBB/menit, atau
xi. Titrasi dobutamin mulai 5 mcg/kgBB/menit, dosis
maksimal 20 mcg/kgBB/menit

Kombinasi dengan
Titrasi norepinefrin mulai 0,05 mcg/kgBB/menit, sampai
dosis maksimal 1 mcg/kgBB/menit

Kombinasi dengan:
Titrasi cairan 5-10 mL/kg selama 10-15 menit bila
terdapat penurunan nadi setelah passive leg raising (PLR)
atau diameter vena cava inferior (IVC) kolap >40%.

1. Berikan antibiotik spektrum luas pada 1 jam pertama


setelah dilakukan pengambilan kultur darah.
a. Antibiotik lini pertama: golongan penisillin
(ampicillin-sulbactam) atau golongan cephalosporin
(cetazidime atau ceftriaxone) yang dikombinasi
dengan golongan aminoglikosida (gentamisin)
b. Antibiotik lini kedua: diberikan bila dalam evaluasi
klinis selama 3 hari tidak didapatkan adanya
perbaikan dan belum didapatkan hasil kultur atau
hasil kultur didapatkan kuman Methicillin resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) maka diberikan
golongan karbapenem (meropenem, imipenem) yang
dikombinasi dengan golongan aminoglikosida
(amikacin).
c. Antibiotik lini ketiga: digunakan apabila dengan
pemberian antibiotik lini kedua tidak didapatkan
perbaikan klinis dalam tiga hari dan belum
didapatkan hasil kultur. Antibiotik yang digunakan
sebagai antibiotik lini ketiga adalah cefazolin yang
dikombinasi dengan vancomycin.
d. Antijamur seperti fluconazole atau micafungin
diberikan bila didapatkan adanya tanda-tanda infeksi
jamur sistemik.
e. Bila didapatkan hasil kultur dan sensitivitas
antibiotik maka antibiotik yang digunakan adalah
antibiotik sesuai hasil kultur.
f. Antibiotik lain yang dapat digunakan sebagai
antibiotik lini pertama sesuai indikasi adalah
golongan makrolide (erithromycin, azithromycin,
clarithromycin, vancomycin), golongan kuinolon
(ciprofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin).
g. Pada toxic shock syndrome dengan hipotensi
refrakter berikan Klindamisin dan terapi antitoksin
atau intravenous immunoglobulin (IVIG)’

2. Pada pasien yang tetap menunjukkan gejala syok


seperti kriteria diagnosis setelah pemberian epinefrin
dan norepinefrin, dianggap suatu syok resisten
katekolamin. Pada kondisi ini, berikan hidrokortison
bolus 2 mg/kgBB, dilanjutkan dosis rumatan 2
mg/kgBB selama 24 jam.

3. Transfusi darah (Packed red cell/PRC) dilakukan bila


kadar Hb <10 g/dL dan ScvO2 <70%. Target adalah
kadar Hb minimal 10 g/dL dan ScvO 2 >70%. Cara
pemberian adalah sebagai berikut :
a. Perhitungan kebutuhan : (80 x BB x selisih Hb)/
20%.
b. Volume pemberian : 10-20 mL/kgBB/hari.

4. Transfusi trombosit diberikan bila hitung trombosit


a. <10.000/mm3 tanpa adanya perdarahan
b. <20.000/mm3 dengan risiko perdarahan
bermakna
c. <50.000/mm3 dengan adanya perdarahan aktif,
tindakan pembedahan atau tindakan invasif.
5. Transfusi plasma atau FFP diberikan pada:
a. Sepsis induced thrombotic purpura disorder
b. Progressive disseminated intravascular coagulation
(DIC)
c. Secondary thrombotic microangiopaty
d. Thrombotic thrombocytopeni purpura

6. Pasien dengan ventilasi mekanis dapat diberikan


Sedasi lihat PPK Sedasi
7. Pertahankan kadar glukosa darah 50 -180 mg/dL.

24 Jam Pertama

Glukosa IV

1. Mulai pemberian cairan isotonis yang mengandung


glukosa dengan kecepatan rumatan
2. Hindari hipoglikemia (glukosa darah <60 mg/dL)
3. Pertahankan glukosa serum 80–180 mg/dL
4. Tentukan target glucose infusion rate (GIR) untuk
memantau konsentrasi glukosa IV
Neonatus 6-8 mg/kgBB/menit
Bayi-anak usia sekolah 5-7 mg/kgBB/menit
Anak usia sekolah dan 2-3 mg/kgBB/menit
remaja
Gagal hati Sampai 16
mg/kgBB/menit
5. Pertimbangkan cairan D10% jika D5% tidak dapat
menyediakan kebutuhan sesuai usia
6. Jika kadar glukosa serum >180 mg/dL, pertimbangkan
terapi insulin dengan infus kontinu untuk mengontrol
hiperglikemia.
7. Bila gula darah lebih dari 180 mg/dL dengan GIR 4
mg/kg/menit maka :
i. Jika kadar glukosa serum >180 mg/dL,
pertimbangkan terapi insulin dengan infus kontinyu
untuk mengontrol hiperglikemia;
ii. Titrasi insulin (50 IU Rapid acting insulin dalam 50
mL NaCl 0,9%) mulai 0,05 IU/kgBB sampai
maksimal 0,1 IU/kgBB;
iii. Monitor gula darah tiap 30 menit hingga target
glukosa darah stabil antara 60 – 180 mg/dL.
Di atas 24 jam

Nutrisi Enteral (NE)

1. Hubungi ahli nutrisi untuk pilihan formula dan target


kalori.
2. Mulai pada dosis 0,5 mL/kgBB/jam atau maksimal
25 mL/jam kecuali kondisi yang berefek secara
signifikan pada traktus gastrointestinal termasuk: jejas
iskemi berat, enterokolitis nekrotikans, pankreatitis
akut, peritonitis, obstruksi atau perdarahan traktus
gastrointestinal, trauma atau pembedahan pada usus,
sindrom kompartemen abdomen, instabilitas
hemodinamik (didefinisikan sebagai masih berlanjutnya
resusitasi cairan (>60 mL/kgBB selama 1 jam) atau
inisiasi/eskalasi obat vasoaktif dalam 8 jam terakhir.
3. Mulai nutrisi dengan peningkatan yang konsisten
untuk mencapai pemberian nutrisi penuh kecuali
ditemukan intoleransi
4. <7 tahun atau <25 kg naikkan 1 mL/kgBB/jam setiap
4–8 jam
5. >7 tahun atau ≥25 kg naikkan 25 mL/jam setiap 4–8
jam
6. Minimalkan interupsi pemberian makanan. Jika
pemberian makan tidak ditoleransi, mulai pada
kecepatan terakhir yang dapat ditoleransi
7. Pertimbangkan pemberian nutrisi enteral dengan
selang nasojejunum karena telah menunjukkan dapat
memperbaiki jumlah nutrisi yang diberikan
dibandingkan selang lambung.
Nutrisi Parenteral (NP)
1. Konsultasikan dengan ahli nutrisi untuk komposisi dan
target kalori
2. NP dapat digantikan atau dikombinasikan dengan NE.
3. Mulai NP sebagai jembatan menuju NE dalam 72 jam
setelah masuk jika salah satu kondisi di bawah ini
terpenuhi:
4. NE tidak diindikasikan (untuk alasan yang telah
disebutkan di atas)
5. Intoleransi pemberian makan terjadi
6. Pemberian NP melalui jalur sentral (NP jalur perifer
tidak disarankan)
7. Cairan dekstrosa/asam amino harus disertai dengan
lipid untuk menyediakan asam lemak esensial.

Dekstrosa
Mulai dengan D5%–D10% dan naikkan sesuai dengan
nasihat ahli nutrisi

Cairan Asam Amino


Sediakan protein yang adekuat untuk medukung balans
nitrogen positif, penyembuhan luka, dan
mempertahankan massa otot skelet.

Pedoman target protein:

0–2 tahun 2–3 g/kgBB/hari

2–13 tahun 1,5–2 g/kgBB/hari

13–18 tahun 1,5 g/kg/BB/hari

Kondisi pasien mungkin memerlukan deviasi dari


pedoman konsultasikan dengan ahli nutrisi.

Lipid
Mulai pada 0,5–2 g/kgBB/hari, naikkan sesuai nasihat
RD

0–2 tahun Maksimal 3 g/kgBB

>2 tahun Maksimal 2 g/kgBB

Pemeriksaan untuk NP (panel TPN)


8. Periksa saat memulai pemberian PN, dua kali seminggu
(Senin/kamis) selama pemberian PN;
9. Pantau kadar trigliserida.

Vitamin Esensial, Mineral, dan Elemen Trace


10. Konsultasikan dengan ahli nutrisi untuk memulai
rekomendasi sesuai usia;
11. Pemantauan pertumbuhan dan pemeriksaan
laboratorium berkelanjutan seperti yang disarankan
oleh ahli nutrisi.
12. Gunakan diuretik bila terjadi overload cairan bila syok
telah tertangani. Jika gagal dapat digunakan dialisis
intermiten
13. Lakukan evaluasi dan penyesuaian terapi setiap 15-30
menit hingga mencapai sasaran terapi klinis,
laboratoris, dan hemodinamis (lihat poin
sasaran/indikator medis).
14. Segera setelah syok tertangani dapat diberikan nutrisi
enteral atau parenteral bila ada kontraindikasi
pemberian nutrisi enteral.
9. Edukasi 1. Penjelasan tentang penyakit yang diderita oleh pasien
pada keluarga;
2. Penjelasan tentang tatalaksana pasien pada
keluarga;
3. Penjelasan prognosis penyakit pada keluarga.
10. Prognosis 1. Ad vitam : dubia ad malam
2. Ad sanationam : dubia ad malam
3. Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat 1. Oksigenasi: 2
Evidens 2. Resusitasi cairan: 2
3. Pemberian antibiotik: 1
4. Pemberian inotropik/vasopressor: 2
5. Pemberian kortikosteroid: 1
6. Pemberian transfusi PRC: 1
7. Pemberian transfusi TC dan plasma: 2
8. Pemberian sedasi: 1
9. Kontrol gula darah: 2
10. Pemberian diuretik dan terapi sulih ginjal: 2
11. Terapi nutrisi: 2
12. Tingkat 1. Oksigenasi: C
2. Resusitasi cairan: C
Rekomendasi 3. Pemberian antibiotik: D (untuk Clostridium difficile:
A)
4. Pemberian inotropik/vasopressor: C
5. Pemberian kortikosteroid: A
6. Pemberian transfusi PRC: B
7. Pemberian transfusi TC dan plasma: C
8. Pemberian sedasi: D
9. Kontrol gula darah: C
10. Pemberian diuretik dan terapi sulih ginjal: C
11. Terapi nutrisi: C
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Klinis:
medis a. Frekuensi denyut jantung/nadi menurun
b. Kualitas nadi sentral dan perifer sama
c. Akral hangat, pengisian kapiler <2 detik
d. Diuresis >1 mL/kgBB/jam
e. Kesadaran membaik
f. Tekanan sistolik >P5
g. Saturasi oksigen (SpO2) 92-100%
h. Delivery oxygen index (DO2I) >750 mL/menit/m²
2. Laboratoris:
a. Kadar laktat serum <2,0 mmol/L
b. Saturasi vena sentral (vena cava superior) >70%
kalau sarana tersedia
c. Penurunan base deficit <3 (atau base excess >-3)
d. Penurunan anion gap (AG) <16
Catatan: AG= [(Na + K) – (Cl – HCO3)] – [0,25x(44-albumin dalam g/L)]

e. Kadar glukosa 80-150 mg/dL


f. Kadar kalsium ion >1,1 meq/L
15. Kepustakaan 2.
1. Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ.
Clinical spectrum of shock in the pediatric emergency
department. Pediatr Emer Care 2010;26: 622-5.
2. Han YY, Carcillo JA, Dragotta MA. Early reversal of
pediatric-neonatal septic shock by community
physicians is associated with improved outcome.
Pediatrics 2003;112:793–9.
3. Santhanam I, Sangareddi S, Venkataraman S, Kissoon
N, Thiruvengadamudayan V, Kasthuri RK. A prospective
randomized controlled study of two fluid regimens in
the initial management of septic shock in the emergency
department. Pediatr Emerg Care 2008;24:647-55.

4. Carcillo JA, Han K, Lin J, Orr R. Goal-directed


management of pediatric shock in the emergency
department. Clin Ped Emerg Med 2007;8:165-75.

5. McKiernan CA, Lieberman SA. Circulatory shock in


children: an overview. Pediatr Rev 2005;26:451-60.

6. Marik PE, Monnet X, Teboul J-L. Hemodynamic


parameters to guide fluid therapy. Annals of Intensive
Care 2011;1:1-9.

7. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving


Sepsis Campaign: International guidelines for
management of severe sepsis and septic shock: 2012.
Crit Care Med 2012;41:580-637.

8. Vincent J-L, Sakr Y, Sprung CL, et al. Sepsis in


European intensive care units: results of the SOAP
study. Crit Care Med 2006;34:344-53.

9. Ceneviva G, Paschall JA, Maffei F, Carcillo JA.


Hemodynamic support in fluid-refractory pediatric
septic shock. Pediatrics 1998;102:e19.

10.Dhanani S, Barrowman NJ, Ward RE, Murto KT. Intra-


and inter-observer reliability using a noninvasive
ultrasound cardiac output monitor in healthy
anesthetized children. Pediatr Anesth 2011;21:858–64.

11.Cattermole GN, Leung PYM, Mak PSK, Chan SSW,


Graham CA, Rainer TH. The normal ranges of
cardiovascular parameters in children measured using
the ultrasonic cardiac output monitor. Crit Care Med
2010;38:1875–81.

12.Antonelli M, Levy M, Andrews PJD, et al. Hemodynamic


monitoring in shock and implications for management.
Intensive Care Med 2007;33:575-90.

13. Allen M. Lactate and acid base as a hemodynamic


monitor and markers of cellular perfusion. Pediatr Crit
Care Med 2011;12[Suppl.]:S43–S9.

14.Huang Y-CT. Monitoring oxygen delivery in the critically


ill. Chest 2005;128:554-60

15.Duke T. Dysoxia and lactate. Arch Dis Child


1999;81:343–50.

16.Bonanno FG. Shock - a reappraisal: the holistic


approach. J Emerg Trauma 2012;5:167-77.

17.Tobias JD. Shock in children: the first 60 minutes.


Pediatr Ann 1996;25:330-8.

18.Marik PE. Hemodynamic parameters to guide fluid


therapy. Transfusion Alter Transfusion Med
2010;11:102-12.

19.Pollack MM, Fields AI, Ruttimann UE. Distributions of


cardiopulmonary variables in pediatric survivors and
nonsurvivors of septic shock. Crit Care Med
1985;13:454–9.

20.Carcillo JA. Capillary refill time is a very useful clinical


sign in earlyrecognition and treatment of very sick
children. Pediatr Crit Care Med 2012;13:210-2.

21.Marik PE, Cavallazzi R, Vasu T, Hirani A. Dynamic


changes in arterial waveform derived variables and fluid
responsiveness in mechanically ventilated patients: A
systematic review of the literature. Crit Care Med
2009;37:2642–7.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN ANAK
RSUD BANYUASIN
GAGAL NAPAS AKUT
(ICD 10: J96.0)

1. Definisi Ketidakmampuan sistem respirasi untuk


memertahankan pertukaran gas normal yang dapat
terjadi karena kegagalan paru dan/atau pompa napas
yang terjadi dinamis (kontinum)

2.Anamnesis Harus dilakukan secara spesifik sesuai dengan


kecurigaan penyebabnya.
a. Sesak napas terjadi mendadak
b. Perburukan sesak dan apa yang telah diberikan
c. Riwayat sesak sebelumnya
d. Riwayat pengobatan sebelumnya
e. Napas pendek disertai nyeri kepala
f. Riwayat batuk sebelumnya
g. Disertai demam atau tidak
h. Riwayat tersedak
i. Riwayat trauma
j. Riwayat alergi
k. Terdengar suara napas tambahan seperti mengi atau
napas menggonggong
l. Penurunan aktivitas dan kesadaran
m.Riwayat prematuritas, rawat inap, dan intubasi
sebelumnya
n. Riwayat penyakit lain dan penyakit keluarga
3. Pemeriksaan a. Perubahan pola dan frekuensi napas
fisik Tabel 1. Jenis pola napas abnormal

Kelainan susunan saraf Cheyne Stokes, Biot,


pusat (SSP) ataksik
Kelainan metabolik Napas cepat dan dalam
(Kussmaul)
Kelainan parenkim paru Napas cepat dan dangkal
Kelainan penyempitan Napas lambat dan dalam
jalan napas

Tabel 2. Batas takipnea anak sesuai usia

Usia Frekuensi napas/menit


0 hari-1 minggu >50
1 minggu-1 bulan >40
1 bulan-1 tahun >34
2 tahun-5 tahun >22
6 tahun-12 tahun >18
13 tahun-18 tahun >14

b. Penggunaan otot bantu napas tambahan ditandai


dengan retraksi (epigastrium, interkostal,
suprasternal, supraklavikula, napas cuping hidung)
c. Mengi (inspirasi, ekspirasi, atau keduanya)
d. Stridor (inspirasi, ekspirasi, atau keduanya)
e. Suara napas dasar menurun
f. Merintih
g. Rales

Gejala-gejala yang menyertai:

1. Takikardia
Tabel 3. Batas takikardia anak sesuai usia

Usia Frekuensi denyut


jantung/menit (takikardia)
0 hari-1 minggu >180
1 minggu-1 bulan >180
1 bulan-1 tahun >180
2-5 tahun >140
6-12 tahun >130
13-18 tahun >110

2. Dehidrasi
3. Penurunan kesadaran: iritabel, somnolen, dan
obtundasi
4. Sianosis sentral atau perifer
Tabel 4. Penilaian klinis gagal napas akut

Penilaian Distres Gagal napas Henti


napas napas
Status Sadar, Kurang Tidak
mental gelisah, responsif responsif
agitasi atau terhadap
memberi suara dan
respon nyeri
terhadap
rangsang
nyeri
Tonus otot Dapat duduk Normal atau Lemas
(>4 bulan) hipotonia
Posisi Posisi tripod Posisi tripod, Tidak dapat
tubuh perlu bantu mempertah
mempertaha ankan
nkan posisi posisi
duduk tubuh (>7-9
bulan)
Frekuensi Lebih cepat Takipnea, Tidak ada
napas dari normal bradipnea napas
periodik,
bradipnea
agonal
Upaya Retraksi Upaya napas Tidak ada
napas interkostal, tidak upaya
napas cuping adekuat, napas
hidung, dinding dada
pemakaian naik turun
otot leher
Suara Napas Stridor, Tidak
napas paradoksik, mengi, terdengar
stridor, berdeguk, suara
mengi, megap-
berdenuk megap
Warna kulit Kemerahan Sianosis Berbecak
atau pucat, sentral walau biru,
sianosis telah diberi sianosis
sentral, O2, berbecak perifer dan
membaik biru sentral
dengan
pemberian O2
4. Kriteria Gagal napas akut dapat dibagi menjadi tiga:
Diagnosis
1. Tipe I (hipoksemia, oksigenasi): PaO 2 rendah, PaCO2
normal atau rendah, terutama disebabkan abnormalitas
ventilasi/perfusi.
2. Tipe II (hiperkapnia, ventilasi): Pada umumnya karena
hipoventilasi alveolar, peningkatan ventilasi ruang mati,
atau peningkatan produksi CO2.
3. Tipe campuran
5. Diagnosis Gagal napas akut (ICD 10: J96.0)

6. Diffrential a. Gangguan pada dinding dada, abdomen, dan diafragma


diagnosis (trauma, tumor intraabdomen, organomegali,
gastroschisis, omfalokel, hernia diafragma)
b. Gangguan pada pleura (pneumotoraks, efusi pleura)
c. Gangguan neuromuskular: dapat disebabkan karena
gangguan susunan saraf (sindrom Guillain Barre,
sepsis, tetanus, tumor atau perdarahan intrakranial)
atau obat (overdosis anestesi dan opiat)
d. Gangguan parenkim paru (pneumonia, edema paru,
acute respiratory distress syndrome/ARDS, acute lung
injury/ALI )
e. Gangguan pada jalan napas (croup, asma bronkial,
aspirasi benda asing)
7. Pemeriksaan a. Darah tepi lengkap
Penunujang b. Analisis gas darah
c. Glukosa darah sewaktu
d. Elektrolit: Na, K, Cl, Ca sesuai indikasi
e. Pulse oksimetri
f. Foto toraks AP (dan lateral)
g. Ultrasonografi kepala atau paru sesuai indikasi
8. Tatalaksana a. Pertahankan jalan napas terbuka, dapat dilakukan
dengan alat penyangga oropharyngeal airway (guedel),
nasopharyngeal airway, atau pipa endotrakeal;
b. Terapi oksigen yang diberikan dengan
mempertimbangkan kebutuhan FiO2, aliran inspirasi,
kenyamanan pasien, dan humidifikasi.

Tabel 4. Panduan praktis pemberian oksigen

Alat bantu Volume FiO2 (%)


Sungkup 5-6 L/menit 40%
oksigen tanpa 6-7 L/menit 50%
reservoir 7-8 L/menit 60%
Sungkup 6 L/menit 60
oksigen dengan 7 L/menit 70
reservoir 8 L/menit 80
9 L/menit 90
10 L/menit 99

Indikasi melakukan intubasi endotrakea adalah keadaan


berikut ini:

• Gagal kardiopulmonal/ henti kardiopulmonal;


• Distres napas berat/ kelelahan otot napas;
• Refleks batuk/gag reflex hilang;
• Memerlukan bantuan napas lama karena apnea atau
hipoventilasi;
• Transpor antar rumah sakit untuk pasien yang
berpotensi gagal napas.
c. Bila gagal napas akut disebabkan oleh asma bronkial,
berikan tata laksana sesuai clinical pathway asma
bronkial;
d. Bila gagal napas akut disebabkan oleh tension
pneumotoraks, lakukan needle chest decompression;
e. Bila terdapat bukti klinis dan/atau laboratoris adanya
infeksi bakteri, berikan antibiotik:
• Ampisilin +/- kloramfenikol
• Ampisilin + gentamisin
• Ampisilin + Sefotaksim
• Kloksasilin
• Seftriakson
• Seftazidim
• Am
• pisilin + sulbaktam
• Piperasilin + tazobaktam
• Imipenem
• Meropenem
• Vankomisin
f. Bila terdapat bukti klinis dan/atau laboratoris adanya
infeksi jamur, berikan antijamur:
• Amfoterisin B
• Flukonazol
• Kaspofungin
g. Berikan terapi cairan sesuai dengan defisit dan
kebutuhan cairan rumatan pasien.
9. Edukasi 4. Penjelasan tentang penyakit yang diderita oleh pasien
pada keluarga;
5. Penjelasan tentang tata laksana pasien (termasuk
tindakan invasif) pada keluarga;
6. Penjelasan prognosis penyakit pada keluarga.
10. Prognosis 4. Ad vitam : dubia (tergantung penyakit penyerta
dan penyulit)
5. Ad sanationam : dubia (tergantung penyakit penyerta
dan penyulit)
6. Ad fungsionam : dubia (tergantung penyakit penyerta
dan penyulit)
11. Tingkat 1. Oksigenasi: 2
Evidens 2. Resusitasi cairan: 2
3. Pemberian transfusi PRC: 1
4. Pemberian transfusi TC dan plasma: 2
12. Tingkat 1. Oksigenasi: C
2. Resusitasi cairan: C
Rekomendasi 3. Pemberian transfusi PRC: B
4. Pemberian transfusi TC dan plasma: C
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Klinis:
medis 1. Perbaikan kesadaran
2. Frekuensi napas normal sesuai usia
3. Frekuensi denyut jantung normal sesuai usia
4. Tidak ada suara napas tambahan
5. Tidak ada sesak napas dan penggunaan otot
bantu napas
2. Laboratoris:
1. Perbaikan parameter laboratorium ke arah normal

15. Kepustakaan 1. Panduan Nasional Praktek Klinik Gawat-


Darurat Pediatri IDAI
2. Springer SC, Proestley MA, Huh JW, Corden
TE. Pediatric respiratory failure. Diunduh dari:
emedicine.medscape.com/article/908172-overview.
3. Malisie RF. Kegawatan respirasi pada anak.
Dalam: Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhana N,
penyunting. Buku ajar pediatri gawat darurat. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi ke-
1. 2011. hal 63-89.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Gagal napas.
Dalam: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra EP, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman
pelayanan medis. Edisi ke-1. 2010. hal 84-8.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina / IV. a
NIP. 19730313 200604 2 009

Anda mungkin juga menyukai