DIARE AKUT
Kode ICD : A00-A09
1. Definisi Kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi dengan feses cair atau
lembek dengan/ tanpa lendir atau darah, dengan frekuensi 3 kali atau lebih
sehari, berlangsung kurang dari 14 hari, kurang dari 4 episode/bulan.
Perubahan konsistensi feses menjadi lebih lembek/cair dan frekuensi defekasi
lebih sering menurut ibu
2. Etiologi Penyebab terpenting: Rotavirus, E. coli, Shigella, Campylobacter jejuni,
Vibrio cholera, Salmonella. Dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas,
inflamasi dan imunologi
3. Patogenesis Diare sekretorik: bakteri menempel di mukosa, mengeluarkan enterotoksin,
mengaktifkan second massenger sehingga pompa-pompa sekresi (terutama
pompa Chlorida) menjadi lebih aktif menghasilkan feses dengan konsistensi
cair. Contoh kolera.
Diare osmotik: defisiensi enzim-enzim pencernaan (enzim laktase merupakan
enzim yang paling cepat terpengaruh dan paling lambat pulih) menyebabkan
absorpsi makanan tidak sempurna menimbulkan beban osmotik di usus kecil
bagian distal.Sisa makanan akan diurai oleh baktei kolon menjadi substansi-
substansi yang lebih kecil (laktosa akan diurai menjadi asam-asam lemak
rantai pendek, gas hidrogen, dan lain-lain) sehingga beban osmotik akan
meningkat lagi menimbulkan diare. Contoh defisiensi enzim laktase.
Diare campuran/sitolitik : Inflamasi/virus merusak villi sehingga terjadi
gangguan absorpsi makanan (mekanisme diare osmotik). Rusaknya villi
menyebabkan hiperplasi dan hipertropi kripta menimbulkan diare sekretorik.
Contoh: infeksi rotavirus.
4. Anamnesis Frekuensi BAB: 3 kali atau lebih, konsistensi feses cair atau lembek
(konsistensi feses cair tanpa ampas walaupun hanya sakali dapat disebut
diare), jumlah feses, ada tidaknya muntah, gejala-gejala klinik lain (batuk-
pilek, panas, kejang, dan lain-lain), riwayat masukan cairan sebelumnya,
minum lahap atau malas minum.
5. Pemeriksaan Tanda-tanda dehidrasi, komplikasi, penyakit penyulit (bronkopneumoni,
fisik bronkiolitis, malnutrisi, penyakit jantung dan dekompensasi kordis, dan :
keadaan umum (gelisah, cengeng, rewel, letargi, tampak sakit berat),
frekuensi nadi, suhu, frekuensi nafas (tanda asidosis atau adanya penyakit
penyulit). Pemeriksaan yang meliputi keadaan umum pasien, status dehidrasi,
pemeriksaan abdomen, ekskoriasi pada bokong, dan manifestasi kulit.
Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar kepala,
perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat
badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya
6. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Diare akut murni : darah rutin, feses rutin dan kultur feses
Penunujang Bukan diare akut murni atau diare akut dengan komplikasi : Darah lengkap,
elektrolit, BSS, kultur darah, urin lengkap, kultur urin.
8. Tatalaksana Terapi cairan dan elektrolit :
Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:
Diare akut murni.
Diare akut dengan penyulit/komplikasi.
Bentuk penyulit, jenis dan jumlah cairan dilihat pada skema 2. Terapi diet lihat
skema 1
Terapi medikamentosa :
Diberikan preparat zink elemenal, untuk usia < 6 bulan sebanyak 1 x 10 mg
dan usia ≥ 6 bulan sebanyak 1 x 20 mg selama 10-14 hari. Obat-obatan
antimikroba termasuk antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit
diare akut. Patokan pemberian antimikroba/antibiotika adalah sebagai
berikut:
1. Kolera.
2. Diare bakterial invasif.
3. Diare dengan penyakit penyerta.
4. Diare karena parasit/jamur.
Ad. 1. Kolera :
Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi
Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.
Ad. 2. Diare bakterial invasif :
Secara klinis didiagnosis jika :
Panas lebih dari 38,5oC dan meteorismus.
Ada lendir dan darah dalam tinja secara makroskopis maupun
mikroskopis.
Leukosit dalam tinja secara mikroskopis lebih dari 10/lpb atau +
+
Antibiotika yang dipakai sementara menunggu hasil kultur :
K1inis diduga ke arah Shigella (setiap diare yang disertai
darah dapat dianggap shigelosis, jika tidak ada tanda klinis
yang khas untuk penyakit lainya atau belum dapat dibutikan
infeksi lainnya, melalui kultur) diberi Nalidixid acid
55mg/kgBB/hari diberi 4 dosis selama 10 hari atau
Ciprofloxacin 30 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 5 hari.
K1inis diduga ke arah Salmonella diberikan Kloramfenikol
100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Ad. 3. Penyakit penyerta diobati sebagaimana mestinya.
Ad. 4 Untuk penyakit parasit diberikan :
Amubiasis diberikan Metronidazole 50 mg/kbBB/hari dibagi
dalam 3 dosis selama 5-7 hari.
Helminthiasis: untuk Ascaris/Ankylostoma/Oxyuris: Pyrantel
Pamoate 10 mg/kgBB/hari dosis tungga1 atau albendazole
400 mg dosis tunggal untuk anak lebih dari 2 tahun.
Untuk Trichuris : Mebendazole 2 X l00 mg selama 3 hari.
Giardiasis : Metronidazole 15 mg/kgBB/hari selama 5 hari.
Untuk penyebab jamur diberikan :
Candidiasis diberikan Nistatin :
- Kurang dari 1 tahun : 4 X 100.000 IU se1ama 5 hari.
- Lebih dari 1 tahun : 4 X 300.000 IU se1ama 5 hari.
9. Edukasi Pendidikan kesehatan dilakukan pada saat visite dan di ruangan khusus
dimana orangtua penderita dikumpulkan.
Pokok ceramah meliputi :
Usaha pencegahan diare dan KKP.
Usaha pertolongan untuk mencegah dehidrasi pada diare dengan
menggunakan oralit dan cairan.
Imunisasi.
Keluarga berencana.
Penderita dipulangkan :
Bi1a yakin ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit
kepada anak dengan cukup wa1aupun diare masih berlangsung.
Kausa diare/penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati (tidak
mutlak).
Cairan DG = KAEN 3A
DIARE KRONIK
Kode ICD : A06
12. Pemeriksaan Riwayat penyakit: saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi
fisik tinja meliputi penampakan, konsistensi, adanya darah atau
lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala infeksi saluran
pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic
fibrosis), terjadinya diare sesudah diberikan susu. Buah-
buahan (defisiensi sukrase-isomerase), hubungan dengan
serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah
gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome),
nyeri abdomen berulang yang berat (insufisiensi pankreas yang
berat), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya
(enterokolitis pseudomembranosa). Kelompok umur dapat
memprediksi penyakit. Bayi muda: diare intraktabel pada bayi,
alegi protein susu sapi atau kedelai, enteritis karena infeksi
yang berkepanjangan, atrofi vilus idiopatik, penyakit
Hirschrprung, defek transpor kongenital. Anak 2 tahun keatas,
kolon irritabel (irritable colon of infancy, chronic nonspesific
diarrhea), enteritis karena virus yang berkepanjangan,
giardiasis, difisiensi sukrase-isomaltase, tumor sekretori,
inflamatory bowel disease, dan penyakit siliak.
13. Kriteria Pemeriksaan meliputi keadaan umum, status dehidrasi,
diagnosis pemeriksaan abdomen, ekskoriasi bokong, manifestasi kulit.
Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan,
gejala kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan,
dan sebagainya. Tanda;tanda khas: anemia (inflamatory bowel
disease, penyakit siliak, fibrosis kistik), artritis (inflamatory
bowel disease), pubertas terlambat (penyakit Crohn), gagal
tumbuh (penyakit Crohn, malabsorpsi lemak), panas
(inflamatory bowel disease, gastroentritis karena infeksi).
c. Karbohidrat :
Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non
protein yang memberikan 3,4 kka1/gram dalam
bentuk monohidrat.
Keterbatasannya: phlebitis terjadi pada kadar >
10-12,5%.
Pemberian dilakukan secara bertahap untuk
memberikan kesempatan respon tubuh dalam
memproduksi insulin endogen dan mencegah
terjadinya glikosuria.
d. Asam amino
Kebutuhan asam amino menurut usia (Ament ME,
1993) :
Kebutuhan
(gr
Umur Mulai pemberian
prot/kg/hari
)
Bayi prematur 2,5 – 3 0,5 gr prot/kg/hari dinaikan 0,5 gr
prot/kg/hari.
Bayi 0– 2,5 – 3 1 gr prot/kg/hari dinaikan 0,5 gr
1tahun prot/kg/hari
Anak 2–13 1,5 – 2
tahun
Remaja- 1 – 1,5
Dewasa
e. Lemak :
Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak
menyediakan asam lemak essensial untuk
pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang
perkembangan yang normal.
Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan
10% (1 kkal/ml) dan 20% (2 kka1/ml).
Minimal 20-40% dari kebutuhan kalori total
diberikan berupa lemak intravena untuk
menghindari terjadinya defisiensi asam lemak,
yang dapat dicapai dengan penggunaan 0,5-1
gram emulsi lemak/kg/hari.
Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada
neonatus dalam 2 hari dengan tanda kecepatan
pertumbuhan yang lambat, kulit kering bersisik,
pertumbuhan rambut berkurang.
trombositopeni, peka terhadap infeksi dan
gangguan penyembuhan luka.
f. Elektrolit :
Kebutuhan elektrolit intravena (Ament ME, 1993) :
Dosis Anak
Dosis Bayi
Elektrolit (mEq/kg/24
(mEq/kg/24 jam)
jam)
Na 3–4 2–8
K 2–3 2–6
Cl 2–4 0–6
Ca 0,5 – 1 0,9 – 2,3
Fosfat 2 1 – 1,5
Mg 0,25 – 0,5 0,25 – 0,5
Medikamentosa :
a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu
diberikan karena tidak satupun yang memberikan efek
positif.
b. Obat anti mikroba :
Pemberian anti mikroba umumnya tidak dianjurkan,
bahkan dapat mengubah flora usus dan memperburuk
diare, kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat
(sepsis), anak dengan defisiensi imunologi dan anak
dengan diare kronis yang sangat berat. Metronidazole
efektif untuk Giardia lamblia.
c. Kortikosteroid :
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema
steroid pada tahap awal memberikan respon yang baik,
dan pada beberapa anak mendapat kombinasi dengan
steroid sistemik.
d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada
penyakit Chron apabila pengobatan konvensional tidak
mungkin.
e. Kolestiramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare
kronik, terutama malabsorbsi asam empedu serta pada
infeksi usus karena bakteri (mengikat toksin).
f. Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-
kasus bedah seperti penyakit Hirschprung, enterokolitis
nekrotikans. Operasi hanya dilakukan setelah keadaan
umum membaik.
11. Kepustakaan 1. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG.
Gangguan Absorpsi-Sekresi; Sindroma Diare. Seri Gramik:
Gastroenterologi Anak. Edisi ke-2. Surabaya : GRAMIK FK
UNAIR; 1999.
2. Ghishan RE. Chronic Diarrhea. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
WB Saunders Company; 2003. h. 1276-83.
3. Walker-Smith J, Barnard J, Bhutta Z, dkk. Chronic
diarrhea and malabsorption (including short gut
syndrome): Working Group Report of the First World
Congress of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. 2002; 33(Suppl).
4. World Health Organization. Persistent diarrhoea in
children in developing countries: memorandum from a
WHO meeting. Bull World Health Organ 1988;66: 709-17.
5. Thomas ED, Fortes A, Green C, Howdel P, Long R, Playford
R, dkk. Guidelines For The Investigation Of Chronic
Diarrhoea. GAD. 2003; 52 [Suppl]: V1-15.
6. Bhutta ZA, Hendricks KM. Nutritional Management of
Persistent Diarrhea in Childhood: A Perspective from the
Developing World. Journal of Pediatric Gastroenterology &
Nutrition. 1996; 22:17-37
7. Sudigbia I. Pencegahan dan Pengelolaan Diare Kronik.
Dalam: Sudigbia I, Harijono R, dan Sumantri A: Naskah
Lengkap PB IKA Penyakit Gastroenterologi. 1987.
8. Soenarto, SY. Diare Kronik dan Diare Persisten. Dalam:
Buku Ajar Diare. UKK Gastrohepatologi IDAI. 2008.
1. Definisi Suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada
dinding kolon
2. Etiologi Kegagalan migrasi kranio kaudal sel ganglion sepanjang usus pada minggu
ke 5 sampai dengan minggu ke 12
3. Patogenesis Segmen aganglion menyebabkan peristaltik propulsif hilang, sfingter anal
internal gagal mengendor pada saat distensi rektum sehingga menyebabkan
obstruksi parsial saluran cerna bagian distal, distensi usus, dan konstipasi
4. Bentuk Klinis Berdasarkan panjang segmen yang terkena dapat dibedakan menjadi 3 tipe,
yaitu :
Penyakit Hirschsprung segmen pendek.
Merupakan 70% dari kasus. Segmen aganglionosis mulai dari anus
sampai sigmoid. Lebih sering pada anak laki-Iaki daripada anak
perempuan. Anamnesis yang mengarah adalah mekoneum terlambat dan
riwayat konstipasi pada masa neonatus.
Penyakit Hirschsprung segmen panjang
- Daerah aganglionosis melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai
seluruh kolon atau sampai ke usus halus. Kejadiannya sama banyak
pada anak perempuan dan anak laki-laki.
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala k1inik, pemeriksaan colok
dubur dan pemeriksaan penunjang yaitu foto x-ray dengan enema
barium dengan tehnik Hirschprung.
Penyakit Hirschsprung segmen ultra short
- Daerah aganglionosis hanya beberapa mm diatas anus. Gejala mirip
konstipasi fungsional.
5. Anamnesis Riwayat mekonium terlambat dan atau defekasi yang jarang pada masa
neonatus memperkuat diagnosis penyakit Hirschsprung. Riwayat kelahiran
dengan mekonium terlambat keluar, atau keluar pada minggu pertama
sehingga terjadi obstruksi parsial dan total (dengan gejala feses tidak dapat
dikeluarkan, distensi abdomen, dan muntah). Gambaran klinis obstruksi total
pada masa neonatus menunjukkan segmen yang terlibat lebih panjang.
Gambaran klinis konstipasi setelah masa neonatus, penyakit hirschsprung
sebagai penyebab dipikirkan setelah penyebab yang lebih sering (misalnya
hipotiroid) disingkirkan.
6. Pemeriksaan fisik Gambaran klinis obstruksi parsial saluran cerna bagian bawah: frekuensi
defekasi jarang, kembung, dan kadang-kadang muntah. Nyeri perut jarang
ditemukan pada penyakit ini. Colok dubur didapatkan hasil: jari akan
merasakan jepitan (karena kontriksi usus aganglionik) dan saat jari
dikeluarkan akan diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium feses yang
menyemprot (feses yang menyemprot terutama didapatkan pada pemeriksaan
colok dubur pertama kali, feses berbentuk pasta lebih mudah dikenali).
Gambaran klinis pada anak yang lebih besar adalah gejala konstipasi kronis
(pada yang ultrashort dapat menyerupai konstipasi fungsional), kadang-
kadang diare dan biasanya disertai gagal tumbuh.
7. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
9. Tatalaksana Foto polos abdomen ter1ihat gambaran usus-usus melebar atau gambaran
obstruksi usus letak rendah. Foto barium enema teknik hirschprung
ditemukan daerah transisi antara usus yang melebar dan yang menyempit
(gambaraan ini khas untuk penyakit hirschsprung, tetapi tidak jelas jika
terjadi enterokolitis), gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di segmen
yang menyempit. Foto barium enema pada enterokolitis yang berhubungan
dengan Hirschsprung: cupping tidak jelas, mukosa usus irreguler (seperti
mata gergaji). Gambaran foto polos terutama posisi tegak, adanya “cut off
sign” air dan udara di kiri bawah abdomen mengarah ke diagnosis
entrokoloitis. Diagnosis pasti dengan biopsi rektal, dengan gambaran PA
tidak ditemukan sel ganglion di submukosa
10. Edukasi Washing atau irigasi dengan NaCl fisiologis dilakukan jika terdapat distensi
abdomen. Kolostomi dilakukan jika abdomen tetap kembung dan keluarga
tidak dapat melakukan irigasi, diikuti (dalam 3 sampai 6 bulan) operasi
difinitif Pullthrough, pada usia 6-12 tahun dengan metode Swenson
Duhamel.
1. Definisi Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan mukosa
gaster yang dibuktikan dengan endoskopi. Jika belum dibuktikan dengan
endoskopi didiagnosis sebagai dispepsia. Dispepsia dapat diakibatkan oleh
esofagitis, gastritis dan duodenitis.
2. Etiologi Obat obatan
Gangguan mikrosirkulasi
Makanan
Stress
Infeksi Helicobacter pylory
3. Patogenesis Obatan-obatan, makanan yang bersifat asam, dan infeksi Helicobacter pylory
mengiritasi mukosa lambung, menyebabkan produksi HCl meningkat. Stres
merangsang nervus vagus yang akan meningkatkan produksi asamklorida
(HCl) di dalam lambung. Peningkatan produksi HCl lambung mengiritasi
mukosa lambung menimbulkan gaastritis, esofagitis, dan atau duodenitis
dengan gejala mual, muntah, nyeri ulu hati, dan anoreksia.
4. Anamnesis Nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah, riwayat penggunaan obat
obatan dan makanan
5. Pemeriksaan fisik Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan
6. Kriteria Diagnosis gastritis dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dispepsia, mua1,
diagnosis muntah, dan nyeri epigastrik dan dibuktikan dengan endoskopi (EGD)
7. Pemeriksaan Gastritis
Penunujang Esofagitis
Duodenitis
8. Tatalaksana Dispepsia dengan keluhan yang berat, tidak sembuh dengan obat-obat
penekan asam lambung, kronik, atau berulang dilakukan pemeriksaan
endoskopis.
11. Kepustakaan 1. Soeparto P, Djupri LS, Subijanto MS, Ranuh R. Sindroma Gangguan
Motilitas Saluran Cerna. Seri Gramik: Gastroenterologi Anak. Edisi ke-2.
Surabaya : GRAMIK FK UNAIR; 1999. h. 32-118.
2. Murray KF, Christie DL. Vomiting. Pediatr Rev. 1998;19(10):337-
41.
3. Allen JK, Hill DJ, Heine RG, 2006; Food allergy in childhood. MJA,
185:394-400.
4. Berman. Vomiting during infancy. Dalam: Pediatric decision making.
Edisi ke-2. Philadelphia: BC Decker;1991. h. 332-5.
5. Hasal E, Decision in diagnosing and managing chronic
gastroesophageal reflux disease in children. J Pediatr. 2005; 146
Suppl:S3-12
6. Hiscock H, Jordan B. Problem crying in infancy. MJA. 2004;
181:507-12
7. Lindley KJ, Andrew PL. Pathogenesis and treatment of cyclical
vomiting. J Pediatr Gastroenterol and Nutr. 2005; 41 Suppl:S38-40
8. Ravelli AM, Tobanelli P, Volpi S, Ugazio AG. Vomiting and gastric
motility in infants with cow’s milk allergy. J Pediatr Gastroenterol and
Nutr. 2001; 32:59-64.
1. Definisi Helicobater pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat berkoloni pada
saluran cerna dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodemum dan
gaster. Menular secara oral-oral, gastric oral, dan fekal-oral,
2. Etiologi Helicobacter pylori
3. Patogenesis Infeksi H. pylori pada antrum gaster, menimbulkan inflamasi mukosa gaster
dan duodeneum, yang dapat menimbulkan ulkus gaster dan duodenum.
Pemakaian obat-obat penekan asam lambung dapat mengakibatkan
peradangan terjadi pada korpus gaster.
4. Anamnesis Adanya gangguan saluran cerna seperti muntah, mual, diare, nyeri perut, dan
gejala dispepsia lainnya.
5. Pemeriksaan fisik Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan
6. Kriteria Penegakan diagnosis adalah dengan metode invasif dan non invasif.
diagnosis Diagnosa pasti dari penyakit ini berdasarkan biopsi.
Management of Helicobacter pylori infectiond the Maastricht IV/ Florence Consensus Report
1. Definisi Adalah suatu keadaan terdapatnya gaster pankreas ektopik. Biasanya terletak
50-75 cm dari proksimal ileocaecal junction pada bagian antimesenterik
intestinal. Perdarahan umumnya tanpa disertai rasa sakit, timbu1 secara
periodik dan tidak dipengaruhi konsistensi feses.
2. Etiologi Asam atau sekresi pepsin dari mukosa yang ektopik dapat menyebabkan
ulkus sehingga terjadi perdarahan yang dapat menjadi masif.
3. Patogenesis Anomali disebabkan oleh karena persistensi dari bagian proksimal duktus
omfalomesenteric (duktus vitelin) dengan atau tanpa jaringan ikat.
10. Komplikasi Ulserasi, perdarahan, obstruksi usus halus, diverticulitis, dan perforasi
dan Prognosis
1. Definisi Adalah kelainan esofagus primer yaag ditandai dengan adanya obstruksi
esofagogastric junction dengan karakteristik bertambahnya tekanan sfingter
esophagus bagian bawah dan tidak adanya peristaltik esofagus.
2. Etiologi Gangguan motilitas esofagus
3. Patogenesis Gangguan motilitas esofagus akibat peristaltik yang melemah dan adanya
kontraksi yang menetap pada sfingter esophagus bagian bawah menyebabkan
obstruksi relatif di mana bagian proksimal esophagus melebar
(megaesofagus).
4. Anamnesis Adanya gejala klinik yang sering berupa :
1. Disfagia :
Perjalanan penyakit biasanya kronis dengan disfagia yang bertambah
berat. Berat ringannya disfagia menurut British Oesophageal Surgery
dibagi menjadi 5 tingkat, yaitu :
Tingkat 0 : normal.
Tingkat 1 : tidak dapat menelan makanan padat.
Tingkat 2 : tidak dapat menelan makanan daging halus.
Tingkat 3 : tidak dapat menelan sup atau makanan cair.
Tingkat 4 : tidak dapat menelan ludah.
2. Nyeri dada: Gejala kurang menonjol pada permulaan penyakit. Rasa
nyeri biasanya di substernal dan dapat menjalar ke belakang bahu,
rahang dan lengan, timbul bila makan/minum dingin.
3. Regurgitasi: Timbul tidak hanya berhubungan dengan bentuk/jenis
makanan tetapi juga berhubungan dengan posisi. Bila penyakit makin
kronis, maka pada saat penderita berbaring sisa makanan dan saliva yang
terdapat pada kantong esofagus dapat mengalir ke faring dan mulut
sehingga akhirnya dapat menimbulkan aspirasi pneumonia.
4. Kehilangan berat badan.
9. Edukasi 1. Konservatif
a. Diet cair /lunak dan hangat
b. Medikamentosa
Sedatif ringan untuk penenang.
Preparat kalsium antagonis seperti verapamil atau nifedipin dapat
digunakan karena dapat menurunkan tekanan sfingter esofagus
bagian bawah. Nifedipin diberikan 10-20 mg sublingual dapat
menurunkan tekanan esofagus bagian bawah kurang lebih 1 jam
akan tampak perbaikan gejala bila diberikan sebelum makan
2. Tindakan aktif
a. Forced dilatation: dilakukan pada akalasia ringan sedang. Ada 3
macam dilatator :
- Mekanik.
- Pneumatik.
- Hidrostatik.
b. Tindakan bedah yaitu operasi Heler dengan melakukan
esofagomiotomi.
Komplikasi yang timbul adalah : - Perforasi.
- Paralisis nervus phrenicus.
- Refluks gastroesofagal.
- Perdarahan masif.
- Disfagia.
OBSTRUKSI USUS
Kode ICD : K 56.60
1. Definisi Adalah gangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus.
8. Tatalaksana Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder.
9. Edukasi Perbaiki dehidrasi, sesuai derajat dehidrasi. Cairan yang dapat digunakan
adalah NaCL fisiologis jika muntah tidak hijau dan Ringer laktat jika muntah
hijau. Patokan dehidrasi dan jumlah cairan yang digunakan dapat
berpedoman berdasarkan kriteria WHO untuk diare. Jika nadi tak teraba dan
tekanan darah tak terukur diberikan cairan resusitasi 20 ml/kgBB/ secepatnya.
Tindakan operatif dilakukan setelah resusitasi cairan telah diberikan pada
obstruksi total. Tindakan operatif terencana jika obstruksi terjadi parsial
dengan derajat yang ringan
10. Komplikasi Perforasi daan peritonitis
dan Prognosis Komplikasi kehilangan cairan, elektrolit, dan gangguaan keseimbangan asam
basa
2. Etiologi Kebanyakan kasus tidak diketahui, diduga karena hiperplasi dan hipertrofi
kelenjar limfe submukosa yang disebabkan oleh infeksi (umumnya virus).
Etiologi lainnya adalah kelainan saluran cerna misalnya polip dan divertikel.
7. Pemeriksaan a. Foto polos 3 posisi memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium
Penunujang lanjut penyakit.
b. Barium Enema :
1. Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi
dan gambaran pegas (coiled spring).
2. Berguna untuk mereduksi usus yang terkena, merupakan
pilihan pada semua bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24
jam. Berbahaya bila keadaan umum jelek dan peritonitis karena
tekanan enema dapat mengakibatkan perforasi usus.
c. USG
Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal
Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal
3. Patogenesis Perdarahan kronis: anemia defisiensi besi dengan retikulosit yang normal
atau cendrung menurun, perdarahan kronis juga dapat meyebabkan
retikulosit meningkat.
Perdarahan akut/banyak: syok dengan segala akibatnya
4. Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan melihat faktor usia Usia penderita merupakan
faktor yang penting untuk menentukan etiologi. .
Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.
Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : sindrom Mallory Weiss.
Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.
Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.
Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus.
6. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
7. Pemeriksaan Laboratorium : darah lengkap, kimia darah, CT, BT, PT, APTT, feses
Penunujang rutin
Endoskopi
Radiologi
Arteriografi
8. Tatalaksana Cari gangguan hemodinamik.
Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10
menit sampai tanda vital membaik.
Transfusi darah (PRC atau FFP) bila diperlukan.
Observasi perdarahan
9. Edukasi Menerangkan penyebab perdarahan saluran cerna sehingga dapat dilakukan
pencegahan
10. Kepustakaan 1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini,
Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book
KOLESTASIS
Kode ICD : K.71.0
1. Definisi Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya
terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya
ikterus, akibat peninggian kadar bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin
total jika bilirubin total > 5 mg/dl atau bilirubin direk ≥ 1 mg/dl jika kadar
bilirubin total ≤ 5 mg/dl.
2. Etiologi Berdasarkan etiologinya, kolestasis diklasifikasikan menjadi :
I. Kelainan Ekstrahepatik
a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c. Perforasi spontan duktus bilier
d. Massa (neoplasma, batu)
e. Inspissated bile syndrome
II. Kelainan Intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain:
a. Displasia arteriohepatik (sindroma alagille)
b. Sindroma Zellweger (sindroma serebrohepatorenal)
c. Intrahepatic bile duct poucity
B. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil
2. Penyakit coroli (pelebaran kista pada duktus intrahepatik)
C. Kelainan Metabolisme
1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat dan asam
empedu
2. Kelainan metabolik tidak khas : defisiensi α 1 antitripsin, dll
D. Hepatitis
1. Infeksi, antara lain TORCH, virus Hepatitis B, Reovirus tipe e,
dll
2. Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan
kemungkinan endotoksemia
E. Genetik atau kromosomal trisomi E, sindrom down, sindrom
donahue
F. Lain-lain : obstruksi intestinal, histiosis X, sindroma polispenia
3. Patogenesis Kelainan yang dapat menyebabkan terjadinya kolestasis
• Pada hepatosit, misalnya akibat kerja estradiol yang menurunkan aliran
garam empedu
• Pada membran hepatosit, misalnya pada defisiensi Na-K-ATPase yang
berfungsi sebagai pompa natrium
• Pada permukaan membran yang mengarah ke dalam saluran empedu,
misalnya pemberian obat seperti klorpromazin, karena mengganggu
fungsi mikrofilamen hingga penetrasi garam empedu ke membran
terganggu
• Gangguan pada saluran empedu yang terjadi didalam hari (intrahepatik)
atau di luar hati (ekstrahepatik
4. Anamnesis Saat timbulnya ikterus (kurang dari usia 3 bulan), lama ikterus, warna tinja,
perdarahan, riwayat keluarga,riwayat kehamilan dan kelahiran.
5. Pemeriksaan fisik Ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali, dan tanda
perdarahan.
6. Kriteria Untuk kolestasis evaluasi dilakukan pada usia minimal 2 minggu dan pada
diagnosis bayi preterm dapat ditunda sampai 3 minggu
Langkah diagnosis :
Bedakan hiperbilirubinemia indirek dengan hiperbilirubinemia direk
(kolestasis). Gambaran klinik hiperbilirubinemia indirek adalah warna
kulit kuning terang, kuning dimulai dari muka kemudian ke bagian distal
badan (sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin indirek, mengikuti
skala Krammer), dan urin berwarna jernih. Hiperbilirubinemia indirek
dapat disebabkan jaundice fisiologik (sampai umur 14 hari), “breast milk
jaundice”, penyakit sistemik (hemolisis, stadium awal hipotiroidsm,
obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia, hipoglikemia,
galaktocemia, dan intoleransi fruktosa), kelainan keturunan : Crigler-
Najjar syndromes (UDPGT deficiency tipe I bersifat total, tipe II bersifat
partial) dan Gilbert syndrome.
Evaluasi klinik (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan warna feses)
Pemeriksaan fraksi bilirubin: direk, indirek, dan total.
Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (SGPT/ALT, SGOT/AST,
Alkali fosfatase, GGT)
Pemeriksaan fungsi liver (albumin, PT/ aPTT, kadar glukosa serum,
ammonia)
Rule out penyebab-penyebab yang dapat diobati
Kultur bakteri (urin dan darah)
Serologi dan biakan virus (infeksi hepatitis kongenital)
Deteksi kelainan metabolik (galaktosemia, tyrosinemia heriditer,
intoleransi fruktosa heriditer, dan hipopitutarime/hipotiroid)
Deteksi defek sintesis asam empedu, neonatal iron storage disease,
hepatotoksis karena obat
Kelainan anatomik : atresia bilier, kista koledokus, inspissated bile/calculi
in common bile duct
Rule out obstruksi ekstrahepatikdan intrahepatik dengan ultrasonografi
dan biopsi hati.
7. Pemeriksaan Laboratorium :
Penunujang a. Rutin
Darah lengkap (terutama pada kasus yang dicurigai hiperbilirubinemia
indirek), uji fungsi hati: SGOT (AST), SGPT (ALT), gamma GT
(normal: meningkat pada bayi umur-umur muda), alkali fosfatase
(normal: meningkat pada waktu memasuki usia pubertas), waktu
protrombin dan tromboplastin (PT, aPTT), kadar albumin plasma,
kolesterol, kadar glukosa, ureum, kreatinin, urine reduction substance,
kadar amonia serum, kultur urine (jika dicurigai kolestasis
intrahepatik), kultur darah (jika dicurigai sepsis), parasintesis (jika
terbukti ada asites pada USG abdomen)
Bilirubin urine positif
Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk.
22.00-06.00) dan adanya empedu dalam tinja.
b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi
dengan menggunakan sonde (Levine tube), serologi untuk penyakit
infeksi (TORCH, HbsAg, HIV, dan lain-lain), skrining metabolik (asam
amino serum dan urin, asam organik urin), kelainan hormon (kadar
hormon tiroid, TSH), kultur virus, kadar α1 antitripsin, dan lain-lain.
Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
Dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier, kista
koledokus, masa intra abdomen, dan patensi duktus bilier. Pada atresia
bilier: akurasi diagnostik USG 77%, dilakukan pada tiga fase yaitu pada
keadaan puasa (4-6 jam dengan alat USG berosolusi tinggi dan 10-12 jam
dengan alat USG berosulusi rendah), saat minum, dan sesudah minum (1
sampai 2 jam setelah makan) ataupun dua fase yakni puasa dan sesudah
minum. Apabila pada saat atau sesudah minum kandung empedu tidak
tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%) diagnosis atresia
bilier dapat ditegakkan.
b. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi
operatif, bila terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh
dengan anestesi umum
Biopsi hepar:
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi
eksplorasi
• Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi
duktus
dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler
masih normal
• Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus
yang disertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat
gambaran lobul yang kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis
porta dan proliferasi duktus ringan.
Paucity sistem bilier.
8. Tatalaksana Uji fungsi hati dilakukan untuk menentukan jenis hiperbilirubinemia dan
tatalaksana selanjutnya. Tatalaksana kolestasis intrahepatik :
Memperbaiki aliran empedu: Obat stimulasi aliran empedu adalah :
1. Asam ursodeoksikolat, dosis: 10 - 30 mg/kgBB/hari, bekerja
sebagai competitive binding empedu toksik, bile fow inducer,
suplemen empedu, dan hepatoprotektor.
2. Kolestiramin, dosis: 0,25 - 0,5 g/kgBB/hari, berfungsi menyerap
empedu toksik dan menghilangkan gatal.
3. Rifampicin, dosis: 10 mg/kgBB/hari, berfungsi meningkatkan
aktivitas enzim mikrosom dan menurunkan ambilan asam
empedu oleh sel hati
4. Fenobarbital: induksi enzim glukuronil transferase, digunakan
hanya pada hiperbilirubinemia indirek pada Crigler-Najjar
syndromes (UDPGT deficiency tipe II) dengan dosis: 3-10
mg/kgBB/hari
Multivitamin vitamin A : 5.000 - 25.000 U/ hari, D: D3 calcitriol:
0,05 - 0,2ug/kgBB/hari, E: 25 - 50 IU/kgBB/hari,K: K1 2,5 - 5 mg/ 2-
7x/ minggu
Nutrisi : diet lemak MCT.
Trace elemen: trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
Terapi komplikasi yang terjadi: misalnya hiperlipidemia/xantelasma
diberikan kolestipol dengan dosis 250-500 mg/kgBB/hari (gabungan
kolestramin dengan kolestipol), hipertensi portal (dibuktikan dengan
USG dopler) diberikan propanolol dengan dosis 1 – 6 mg/kgBB,
gagal hati dengan transplant
Dukungan psikologis
Mengobati penyebab kolestasis yang bisa diobati
Kolestasis ektrahepatik : operasi
Kolestasis intrahepatik, tergantung etiologi.
10. Komplikasi Sindrom klinik yang timbul tergantung pola makan/minum, lamanya
dan Prognosis kolestasis, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi.
11. Kepustakaan 1. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infections. Dalam: Suchy
FJ, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-1. St. Louis: Mosby
year book; 1994. h. 414-24.
2. Balisteri WF. Cholestasis. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
WB Saunders; 2004. h. 1203-7.
3. Haefelin DN, Griffiths P, Rizetto M. Systemic virosis producing
hepatitis. Dalam: Bircher J, dkk, penyunting. Oxford textbook of clinical
hepatology. Edisi ke-2. Oxford: Oxford University Press; 1999. h. 955-
63.
Emerick KM, Whitington PF. Molecular basis of neonatal cholestasis. Ped
Clin N Am. 2002;49(1):1-3.
12. Lain-lain
(Algoritme,
Protokol,
Prosedur,
Standing Order)
2. Etiologi Belum diketahui secara pasti karena banyak faktor yang berperan.
Penyakit ini jarang ditemukan, lebih sering di Asia terutama Jepang.
3. Patogenesis Kista menyebabkan sumbatan saluran empedu, menimbulkan gejala
kolestasis
4. Anamnesis Nyeri perut, kuning, kadang kadang disertai demam akibat infeksi.
5. Pemeriksaan fisik Ikterus, dan dapat teraba massa tumor pada perut kanan atas.
Klasik berupa trias: ikterus, nyeri perut yang hilang timbul, dan massa tumor
pada perut kanan atas.
6. Kriteria Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.
diagnosis
KOLITIS ULSERATIF
Kode ICD : K.52.9
KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN
Kode ICD : T. 78.00-06
KOLESISTITIS
Kode ICD : K 8
6. Pemeriksaan a. Laboratorium :
Penunujang Rutin : Hb, Lekosit, Hitung jenis.
Test faal hati : bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali fosfatase.
b. Radiologis : Perlu di buat foto polos abdomen, untuk
mendeteksi ada atau tidaknya batu empedu radio opak.
c. USG :
Pemeriksaan USG lebih banyak membantu menentukan
diagnosis.
Gambaran USG dari kolesistitis akut :
- Penebalan dinding kandung empedu lebih dari 3 cm.
- Pada dinding yang menebal terlihat suatu daerah
bebas gema diantara lapis luar dengan lapisan
dalam, sehingga terlihat tanda dinding yang rangkap
atau disebut Double Rim Sign. Hal ini disebabkan
karna adanya edema di dinding kandung empedu.
- Terdapat tanda Murphy Ultrasonik yaitu terasa nyeri
pada saat transduser sedikit di tekan diatas daerah
kandung empedu.
- Terdapat pembesaran kandung empedu.
- Selain tanda-tanda tersebut di atas perlu dicari
penyebabnya.
Sebagai penyebab terbanyak yaitu batu empedu, yang
akan terlihat sebagai suatu massa padat berdensitas gema
meninggi, disertai bayangan akustik. Pada perubahan
posisi massa tersebut akan ikut bergerak
7. Tatalaksana a. Pengobatan kolesistitis termasuk hospitalisasi, hidrasi
dengan cairan IV, koreksi abnormalitas elektrolit dan
penghentian makanan oral.
b. Medikasi (misalnya Meperidine hidroklorida) harus
diberikan untuk mengurangi nyeri.
c. Antibiotika, termasuk ampisilin dan gentamisin digunakan
untuk mengobati kolesistitis akut karena mereka
diekskresikan dalam empedu atau melindungi organ
enteric secara adekuat. Sefalosporin generasi kedua atau
ketiga dapat digunakan sebagai alternatif.
d. Kolesistektomi laparoskopik adalah pengobatan pilihan
untuk manajemen kolesistitis akut tanpa komplikasi.
Indikasi utama untuk pembedahan :
1. Ketidakpastian mengenai diagnosis ditambah dengan
iritasi peritoneal perut bagian atas yang jelas
2. Kegagalan terhadap pengobatan non operatif :
Demam terus menerus lewat 24 jam.
Tanda-tanda iritasi peritoneal yang tak berubah atau
semakin lanjut.
Perkembangan atau pembesaran massa yang progesif.
Perkembangan peritonitis umum.
8. Komplikasi Perforasi.
dan Prognosis Peritonitis empedu.
Obstruksi bilier.
Sirosis bilier.
Kanker kandung empedu
Angka mortalitas keseluruhan untuk kolesistitis akut dan
kronik < 2 %
9. Kepustakaan Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker
Inc
Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi Pediatric
Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition,
Guandalini, Taylor & Francis, 2004
Nelson Pediatric Text Book
PERITONITIS TUBERKULOSA
Kode ICD : A 18.31
6. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Foto polos abdomen : gambaran peritonitis, massa
Penunujang omentum dan asites.
Biopsi peritonium untuk mencari gambaran patologis.
Kultur M. tuberkulosis dari bahan cairan asites atau biopsi
peritonium.
8. Tatalaksana Tatalaksana TB ekstrapulmonal yaitu Rifampisin dan INH
diberikanselama 12 bulan, Pirazinamid selama 2 bulan
pertama. Kortikosteroid diberikan 1-2 mg/kg BB selama 1-2
minggu pertama.
KONSTIPASI
Kode ICD : K.59.0
1. Definisi
Batasan konstipasi : jika terdapat 2 atau lebih kriteria
1. Frekuensi < 3x/minggu
2. Konsistensi keras
3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah
feses besar ≥ 1 x / 7 - 30 hari, perut kembung, sensasi
penuh, teraba massa di abdomen atau rektum
Berdasarkan waktu :
1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu
2. Konstipasi kronik : > 1 bulan
2. Etiologi
Hampir 90-95% penyebab konstipasi tidak diketahui (idiopatik)
dan bersifat fungsional. Hanya 5-10% yang mempunyai
penyebab organik, diantaranya Hirschprung’s disease, cyctic
fibrosis, fisiologi anorektal yang abnormal, dan fisura ani.
Penyebab non organik diantaranya adalah obat-obatan,
kondisi metabolik karena dehidrasi, diet kurang serat, dan
penyakit malabsorpsi
6. Kriteria Anamnesis
diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
7. Pemeriksaan Jarang di lakukan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
Penunujang mengidentifikasi adanya anemia, lekositosis, dan gangguan
metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid) atau uncover
excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa
urin rutin dan kultur urine juga dilakukan terutama bila
diduga terjadi infeksi saluran kemih akibat konstipasi kronis.
10. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi antara lain nyeri anus, nyeri
dan Prognosis abdomen, fisura ani, enkopresis, enuresis, infeksi saluran
kemih, obstruksi ureter, prolaps rectum, ulkus soliter, sindrom
stasis (bakteri overgrowth, fermentasi karbohidrat, maldigesti,
dekonyugasi asam empedu, steatorea).
MARASMUS
ICD 10 : E 41
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah rutin
Penunjang 2. Urine rutin
3. Feses rutin
4. Gula darah sewaktu
5. Elektrolit: natrium, kalium
6. Analisis diet (kuantitas makanan/food recall, kualitas
makanan/food frequency)
7. Kimia darah: albumin, globulin, total protein
8. Foto thoraks
9. Mantoux test
8. Tatalaksana
Tatalaksana
1. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase
Siapkan tindak
10
lanjut
B. Urutan Pelaksanaan
F-75/4 jam
B.1.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali, Catat
nadi, napas tiap 30’
10 Jam II :
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (tatalaksana kondisi I)
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD ( tatalaksana kondisi I)
B.1.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% (Oral/NGT)
2 Jam I:
F-75 tiap 30 menit, ¼ jumlah yang harus diberikan tiap 2 jam (NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)
Lethargis (-)**
Stabilisasi lanjutan: F-
75/2 jam
***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75
F-75/4 jam
B.1.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30
10 Jam II:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75
C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5 mg
Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari
hipoglikemia, hipotermia, sekali selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau infeksi
saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam waktu Ampisilin IV atau IM (50 I diikuti dengan:
48 jam tambahkan mg/kg) setiap 6 jam Amoksisilin oral (15
selama 2 hari mg/kg), setiap 8 jam
selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang
membutuhkan tambahan Antibiotik khusus
antibiotik
D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5 Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60 mg Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
Besi elemental dan 0,25 mg
Asam Folat) Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Sirup Besi
Setiap 5 ml mengandung Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15 mg)
30 mg Besi elemental Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30 mg)
Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia
berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari ke-
14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih sampai
kadar Hb normal selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.
E. Transfusi
Jika Hasil Pemeriksaan Hb atau Ht Tatalaksananya
- Hb < 4,0 g/dl Berikan transfusi darah segar sebanyak 10
ml/kgBB dalam waktu 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung gunakan Packet Red Cell untuk
transfusi dalam jumlah yang sama
Atau Berikan Furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada
saat transfusi dimulai.
- Hb 4,0-6,0 g/dl disertai distres Hentikan semua pemberian cairan lewat
pernafasan atau tanda gagal jantung oral/NGT selama anak ditransfusi.
16. Kepustakaan Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I dan II
Kemenkes RI 2013
KWASHIORKOR
ICD 10 : E 40
1. Definisi Terlihat sangat kurus dan atau edema dan atau BB/TB atau
BB/PB
Anak 0-5 tahun < - 3SD berdasarkan grafik BB/TB WHO tahun
2006 untuk dan grafik BB/TB CDC 2000 untuk anak > 5 tahun
2. Anamnesis Awal:
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi muntah atau diare, serta tampilan dari
bahan muntah atau diare
Saat terakhir kencing
Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Lanjutan:
Kebiasaan makan sebelum sakit
Makan/minum/menyusui pada saat sakit
Jumlah makanan dan cairan yang didapat dalam beberapa
hari terakhir
Kontak dengan penderita campak atau tuberkulosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Kejadian dan penyebab kematian dari kakak atau adik
Berat badan lahir
Tumbuh kembang, misalnya: duduk, berdiri, dan lain-lain
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan di Posyandu
Apakah sudah mendapatkan imunisasi lengkap
3. Pemeriksaan Gizi buruk dengan edema:
Fisik Perubahan status mental: apatis & rewel
Rambut tipis, kemerahan spt warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa sakit, mudah rontok
Wajah membulat dan sembab
Pandangan mata sayu
Pembesaran hati
Minimal pada kedua punggung kaki, bersifat pitting edema
Derajat edema:
+ Kedua punggung kaki
++ Tungkai & lengan bawah
+++ Seluruh tubuh (wajah & perut)
Derajat edema untuk menentukan jumlah cairan yang
diberikan
Otot mengecil (hipotrofi)
Kelainan kulit berupa bercak merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
(crazy pavement dermatosis)
Sering disertai penyakit infeksi (umumnya akut) anemia
dan diare
Gizi buruk tanpa edema:
Tampak sangat kurus, hingga seperti tulang terbungkus
kulit
Wajah seperti orang tua
Cengeng, rewel
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai
tidak ada (celana longgar/baggy pants)
Perut umumnya cekung
Tulang rusuk menonjol (Iga gambang/piano sign)
Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang)
diare persisten
4. Kriteria Dasar Diagnosis:
Diagnosis Usia ≤ 5 tahun dengan growth chart WHO 2006, Z score <
-3SD
Usia > 5 tahun memakai CDC 2000, BB/TB < 70%
Klasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis
Langkah Diagnosis:
Tetapkan gizi buruk
Tetapkan klasifikasi / bentuk klinik gizi buruk
Tetapkan kondisi
Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan
penyerta), secara rutin:
TBC standard profesi TBC
ISK standard profesi ISK
Infeksi telinga kronis/mastoiditis standar profesi
THT
Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)
10. Tatalaksan
Tatalaksana
1. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase
Stabilisasi Tindak
Transisi Rehabilitasi
No. Tindakan Lanjut
H 8-14 Mg 3-6
H 1-2 H 3-7 Mg 7-26
Atasi/cegah
1
hipoglikemia
Atasi/cegah
2
hipotermia
Atasi/cegah
3
dehidrasi
Perbaiki ggn
4
elektrolit
5 Obati infeksi
Perbaiki def. +Fe
6 Tanpa Fe
nutrien mikro
Makanan stab.
7
Trans
Makanan tumbuh
8
kejar
9 Stimulasi
Siapkan tindak
10
lanjut
B. Urutan Pelaksanaan
F-75/4 jam
B.1.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali,
Catat
nadi, napas tiap 30’
10 Jam II :
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (tatalaksana kondisi I)
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD ( tatalaksana kondisi I)
B.1.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
(Oral/NGT)
2 Jam I:
F-75 tiap 30 menit, ¼ jumlah yang harus diberikan tiap 2 jam
(NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)
Lethargis (-)**
Stabilisasi lanjutan: F-
75/2 jam
***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75
F-75/4 jam
B.1.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30’
10 Jam II:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75
C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5 mg
Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari sekali
hipoglikemia, hipotermia, selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau
infeksi saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam Ampisilin IV atau IM I diikuti dengan: Amoksisilin
waktu 48 jam tambahkan (50 mg/kg) setiap 6 jam oral (15 mg/kg), setiap 8 jam
selama 2 hari selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang Antibiotik khusus
membutuhkan tambahan
antibiotik
D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5
Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60 mg Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
Besi elemental dan 0,25 mg
Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Asam Folat)
Sirup Besi
Setiap 5 ml mengandung Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15 mg)
30 mg Besi elemental Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30 mg)
Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia
berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari
ke-14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih
sampai kadar Hb normal selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.
D.3. Asam Folat
5 mg/hari pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari
D.4. Elekmin dan ReSoMal (lihat lampiran)
Tambahkan elekmin 1 ml untuk setiap 50 ml F75/F100
E. Transfusi
Jika Hasil Pemeriksaan Hb atau Ht Tatalaksananya
- Hb < 4,0 g/dl Berikan transfusi darah segar sebanyak 10
ml/kgBB dalam waktu 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung gunakan Packet Red Cell untuk
transfusi dalam jumlah yang sama
Atau Berikan Furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada
saat transfusi dimulai.
- Hb 4,0-6,0 g/dl disertai distres Hentikan semua pemberian cairan lewat
pernafasan atau tanda gagal jantung oral/NGT selama anak ditransfusi.
9. Edukasi 1. Pola makan yang baik
2. Anjuran mengunjungi/kontrol fasilitas kesehatan (posyandu,
puskesmas, rumah sakit) secara berkala
1. Definisi Terlihat sangat kurus dan atau edema dan atau BB/TB atau BB/PB
Anak 0-5 tahun < - 3SD berdasarkan grafik BB/TB WHO tahun
2006 untuk dan grafik BB/TB CDC 2000 untuk anak > 5 tahun
2. Anamnesis Awal:
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi muntah atau diare, serta tampilan dari
bahan muntah atau diare
Saat terakhir kencing
Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Lanjutan:
Kebiasaan makan sebelum sakit
Makan/minum/menyusui pada saat sakit
Jumlah makanan dan cairan yang didapat dalam beberapa hari
terakhir
Kontak dengan penderita campak atau tuberkulosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Kejadian dan penyebab kematian dari kakak atau adik
Berat badan lahir
Tumbuh kembang, misalnya: duduk, berdiri, dan lain-lain
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan di Posyandu
Apakah sudah mendapatkan imunisasi lengkap
Langkah Diagnosis:
Tetapkan gizi buruk
Tetapkan klasifikasi / bentuk klinik gizi buruk
Tetapkan kondisi
Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan
penyerta), secara rutin:
TBC standard profesi TBC
ISK standard profesi ISK
Infeksi telinga kronis/mastoiditis standar profesi THT
Cari penyebab lain (metabolik/endokrin, penyakit jantung
bawaan)
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah rutin
Penunjang 2. Urine rutin
3. Feses rutin
4. Gula darah sewaktu
5. Elektrolit: natrium, kalium
6. Analisis diet (kuantitas makanan/food recall, kualitas
makanan/food frequency)
7. Kimia darah: albumin, globulin, total protein
8. Foto thoraks
9. Mantoux test
10. Tatalaksana
Tatalaksana
1. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase
B. Urutan Pelaksanaan
B.1. Tatalaksana Fase Stabilisasi Awal dan Lanjutan Setiap Kondisi
B.1.1. Kondisi I
Stabilisasi awal
2 jam I :
- O2 1-2 l/menit, pasang NGT
- Pasang IVFD RLG 5% (RL + D10% 1:1)
- D10% IV bolus dosis 5 ml/kgBB
- ReSoMal 5 ml/kgBB/NGT
Jam I: IVFD RLG 5% 15 ml/kgBB selama 1 jam (5
tts/menit/kgBB makro)
Jam II:
- Nadi kuat, frek nafas ↓ IVFD sampai 1 jam berikutnya,
ReSoMal (sesuai kemampuan)
- Nadi dan frekuensi napas tetap tinggi IVFD RLG 5% 4 ml/
kgBB/jam (1 tts/kgBB/menit)
10 Jam II
- IVFD diteruskan (sementara)
- ReSoMal selang-seling tiap jam dengan F-75
- ASI (+) diteruskan setelah F-75
- Catat nadi, frekuensi napas tiap 1 jam
Stabilisasi lanjutan bila telah:
- Rehidrasi F-75 / 2 jam
- Diare (-) resomal stop
- Diare (+) resomal tetap diberikan setiap diare
Anak < 2 tahun : 50-100 cc/diare
Anak ≥ 2 tahun : 100-200 cc/ diare
B.1.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali, Catat
nadi, napas tiap 30’
10 Jam II :
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (tatalaksana kondisi I)
Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD ( tatalaksana kondisi I)
B.1.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% (Oral/NGT)
2 Jam I:
F-75 tiap 30 menit, ¼ jumlah yang harus diberikan tiap 2 jam (NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)
Lethargis (-)**
Stabilisasi lanjutan: F-
75/2 jam
***Bila dapat menghabiskan sebagian besar F-75
F-75/4 jam
B.1.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30’
10 Jam II:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75
C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5 mg
Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari
hipoglikemia, hipotermia, sekali selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau infeksi
saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam waktu Ampisilin IV atau IM I diikuti dengan:
48 jam tambahkan (50 mg/kg) setiap 6 jam Amoksisilin oral (15
selama 2 hari mg/kg), setiap 8 jam
selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang Antibiotik khusus
membutuhkan tambahan antibiotik
D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5 Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60
Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
mg Besi elemental dan
0,25 mg Asam Folat) Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Sirup Besi
Setiap 5 ml Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15 mg)
mengandung 30 mg
Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30 mg)
Besi elemental
Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia
berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari ke-
14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih sampai
kadar Hb normal selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.
D.3. Asam Folat
5 mg/hari pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari
16. Kepustakaan Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I dan II
Kemenkes RI 2013
ANEMIA DEFISIENSI Fe
ICD 10 : D.50.9
1. Definisi Adalah anemia yang disebabkan defisiensi zat Besi untuk
sintesis hemoglobin.
2. Anamnesis Anamnesis:
Anak tampak pucat, lemah, mudah lelah, sering berdebar-
debar dan sakit tulang.
Faktor predisposisi:
- Defisiensi ibu waktu hamil
- Bayi berat badan lahir rendah
- kelahiran kembar atau
perdarahan
- Pengikatan tali pusat terlalu
cepat
- Pola dan jumlah makanan tak
adekuat
- Infeksi, infestasi parasit.
3. Pemeriksaan 1. Anemis, tidak ikterus, mungkin ditemukan atrofi papil lidah,
fisik pada anemia kronis dapat terjadi pembesaran jantung dan
bising sistolik fungsional yang dinamakan dinamakan “Pan
Systolik Murmur”.
2. Hepar dan lien tidak membesar. Biasanya tidak tampak sakit
berat karena perjalanan penyakit menahun kecuali bila Hb
rendah sekali.
5. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunujang Kadar Hb Rendah
Retikulosit tinggi
“Blood film“: anisositosis, poikilositosis, hipokrom, sel
target (+), fragmentosit, sel eritrosit muda (normoblast).
Kadar Hb F lebih dari 30% dan atau ditemukan Hb
Patologis pada Hb analisa
Radiologi:
Pada tulang-tulang panjang akan tampak gambaran
osteoporosis serta kortek tulang menipis akibat medulla
yang melebar.
Pada tulang tengkorak tampak atap tulang tengkorak yang
menebal, kadang-kadang tampak “Hair Brush Appearrance”.
6. Tatalaksana Pengobatan
1. Transfusi darah. Diberikan “Packed red cell leucodepleted”dan
untuk pertama kali diberikan bila Hb< 7 g/dl yang diperiksa
berturut-turut dengan jarak 2 minggu, atau Hb ≥7 g/dl
disertai gejala: perubahan muka, gangguan tumbuh kembang,
frkatur tulang dan terdapat hematopoeitik ekstra meduler.
Pada penanganan selanjutnya, trnasfusi diberikan bila Hb < 9
g/dl dan dipertahankan Hb 12 g/dl.
2. Pemberian “Iron Chelating Agent” atau kelasi besi jika
didapatkan kadar ferritin ≥ 1000. Preparat kelasi besi yang
digunakan ini adalah Deferiprone (ferriprox) dengan dosis 50-
100mg/hari (3x per hari), Deferasirox (exjade) dengan dosis
20-50 mg/hari (1x perhari).dan Deferoxamine (desferal)
dengan dosis 30-50 mg/kg selama 5 hari dalam seminggu
3. Diet yang adekuat, roboransia. Pemberian asam folat 2 x 5
mg/hari, vitamin E 2x 200 IU/hari, aspilet 80 mg jika
trombosit > 600.000/µl
9. Edukasi Pencegahan
Seluruh keluarga diperiksa. Bila ada pembawa sifat diberikan
marriage counselling sebelum menikah.
Saran Keluarga Berencana.
- Bila mendapatkan anak dengan fenotif normal, dianjurkan
untuk KB
- Bila tidak mendapatkan anak dengan fenotif normal, boleh
punya anak lagi dengan kemungkinan thalassemia atau
membawa sifat thalassemia.
Pencegahan terhadap infeksi, misalnya infeksi saluran
pernapasan.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kadar Hb, Ferritin serum
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
HEMOFILIA
ICD 10 : D.68.311
4. Kriteria Anamnesis
Diagnosis -Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi
virus, atau bakteri --(infeksi saluran napas atas, saluran
cerna), bisa juga terjadi setelah vaksinasi rubella, rubeola,
varisela, atau setelah vaksinasi dengan virus hidup.
-Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit didalam
darah. Diawali dengan perdarahan kulit berupa petekie hingga
lebam. Perdarahan ini biasanya dilaporkan terjadi mendadak.
-Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin,
aspirin dapat memicu --terjadinya kekambuhan. Obat yang
mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko timbulnya
perdarahan.
Pemeriksaan fisis
-Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada
kulit dan mukosa (hidung, gusi, saluran cerna dan traktus
urogenital)
-pembesaran limfa terjadi pada 10-20% kasus
8. Tatalaksana Pengobatan
1 a. Pada penyakit pertama kali atau ITP akut
Trombosit > 60 X 10 9/µl
Observasi sambil mencari kausa selama 2 minggu
Bila lebih dari 2 minggu tidak ada perbaikan atau
trombosit menurun dengan perdarahan yang masif,
pengobatan dengan prednison dengan dosis 2
mg/kgBB/hari.
Bila trombosit < 60 X 10 9/µl langsung diberikan
terapi prednison.
b. Pada ITP yang berulang
Bila ada perdarahan, trombosit turun, langsung diterapi
prednison.
Keterangan:
- ITP akut, apabila terdapat episode perdarahan yang dapat
mencapai remisi dalam beberapa hari sampai minggu
atau sampai waktu 6 bulan, biasanya terjadi pada anak
usia 2-5 tahun
- ITP kronis / rekuren, apabila episode trombositopenia
terjadi dalam interval lebih dari 6 bulan, biasanya terjadi
pada anak usia > 7 tahun
2. Lama pengobatan:
Bila remisi, prednison tappering
Bila eksarsebasi, terapi selama 6 bulan, kemudian stop
Tak remisi, terapi 2 bulan, kemudian stop, diberi
sitostatika (seperti: siklofosfamid, vincristin, atau
vinblastin)
3. Alternatif lain dengan Imunoglobulin
9. Edukasi Perawatan / Pencegahan Perdarahan
Prinsip perawatan adalah mencegah perdarahan terutama
perdarahan intrakranial:
- Penderita istirahat, menghindari aktivitas yang dapat
menyebabkan trauma kepala dan peningkatan tekanan
intrakranial seperti lari, bersepeda, memanjat atau beladiri.
- Apabila penderita batuk, segera diobati sesuai penyebab dan
diberikan antitusif
- Mengusahakan defekasi yang baik dengan memberikan
makanan yang mudah dicerna, atau apabila kesulitan
defekasi dilakukan klisma atau diberikan laksansia.
- Bila anak rewel, dicari dan diatasi faktor pencetusnya, kalau
perlu diberikan sedatif.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Perdarahan, jumlah trombosit
medis
15. Kepustakaan Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Chapter 7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
Pangkalan Balai, Januari 2018
LIMFOMA HODGKIN
ICD 10 : C.81.7
1. Definisi Limfoma Hodgkin merupakan bagian dari limfoma maligna
(keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat). Sel
ganas pada penyakit Hodgkin berasal dari sistem limforetikular
ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg pada organ yang
terkena. Limfosit yang merupakan bagian integral proliferasi sel
pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi
kekebalan selular terhadap sel ganas tersebut.
8. Tatalaksana Pengobatan
1. Stadium I dan II : radioterapi.
2. Stadium III dan IV : kemoterapi menurut protokol MOPP
yang terdiri dari:
Nitrogen mustard 6 mg/m 2 pada hari pertama dan
kedelapan.
Vincristin 1,4 mg/m2 pada hari pertama dan kedelapan.
Prednison 60 mg/m2 mulai hari ke 1-14 kemudian
tapering off.
Procarbazine 100 mg/m2 mulai hari pertama sampai hari
ke-14.
Pemberian obat diulangi setelah masa istirahat selama 2
minggu, pengobatan diberikan selama 18-24 bulan terus
menerus.
7. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunujang Darah/urin rutin biasanya normal. Kimia darah dalam
batas normal. Pada keadaan keganasan dapat dijumpai
peningkatan kadar alfa feto protein (AFP), β-hCG, dan
LDH.
Radiologi:
- Pada BNO dapat dijumpai bayangan massa yang
umumnya pada satu sisi abdomen dengan udara
terdorong kedalam usus diluar massa tersebut. Dapat
dijumpai bayangan kalsifikasi yang irreguler berupa
bercak-bercak kornifikasi yang merupakan
pembentukan tulang dan gigi.
- Pada IVP : tampak pendorongan dari ginjal pada sisi
yang sama dan mungkin akan mengalami penekanan
dengan tanda-tanda hidronefrosis karena penekanan
ureter
Patologi anatomi
8. Tatalaksana Terapi yang utama adalah pembedahan/pengangkatan
massa tumor.
Bila dijumpai komponen ganas maka diberikan terapi
radiasi atau pemberian kemoterapi berupa Actinomycin D,
Siklofosfamid dan Vincristin.
TUMOR WILM
ICD 10 : C.64.9
RETINOBLASTOMA
ICD 10 : C.69.20
Radiologi:
Untuk mencari komplikasi dilakukan foto thorak, dinilai
ada/tidaknya destruksi atau klasifikasi. “ bone survey “
apakah terjadi osteolisis tulang, CT scan orbit
PA (biopsy)
5. Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksan Penunjang
6. Diffrential Retinoblastoma intraokuler:
diagnosis
- Coat disease
- Persistent hyperplastic primary vitreus
- Retrolental fibroplasia
- Hamartoma retina
- Endoftalmitis
- Infeksi toksokara
- Hamartoma astrositik
- Meduloepitelioma
- Katarak
- Uveitis
Retinoblastoma Ekstraokular
- Selulitis orbital
- Neuroblastoma metastatik
- Rabdomiosarkoma orbital
- Leukemia
- limfoma
7. Pemeriksaan Tujuan: untuk menegakkan diagnosis dan staging
Penunujang -USG orbita
-Ct scan dan MRI orbita dan kepala sangat berguna untuk
mengevaluasi nervus optikus, orbital, keterlibatan sistem
saraf pusat dan adanya kalsifikasi intraokular
-Aspirasi biopsi jarum halus hanya direkomendasikan
pada kasus yang diagnosisnya --masih meragukan dan
merupakan langkah yang dilakukan untuk mencegah
penyebaran ekstraokular dari sel tumor
-Untuk melihat penyebaran ekstraokular: aspirasi dan
biopsi sumsum tulang, sitologi --cairan serebrospinal,
bone scan
8. Tatalaksana Pengobatan
Penatalaksanaan Retinoblastoma meliputi operasi
(enukleasi), radioterapi, dan kemoterapi.
1. Radioterapi :
Retinoblastoma termasuk jenis tumor yang respon
terhadap radioterapi
Stadium dini : dosis tiap hari : 150 - 200 rad (total
dosis < 2 tahun : 3.500 rad; total dosis > 2 tahun :
4.000 rad)
Paska operatif : pelaksanaan segera bila keadaan
umum baik
Syarat radioterapi : Hb > 8 g%, leukosit > 3.000/ µl,
trombosit > 80.000/µl
3. Sitostatika :
Siklofosfamid 300 mg/m2 LPT/minggu I.V. selama 3
minggu, dilanjutkan oral 250 mg/m2 LPT selama 5
hari berturut-turut dimulai hari 1-5.
Methotrexate 20-25 mg/m2 LPT/minggu dimulai hari
kedua.
Vincristin 2-2,5 mg/m2 LPT/minggu, dimulai hari
pertama, minimal 6 minggu.
Prednison dapat dipertimbangkan pemberiannya
dengan dosis 40-50 mg/m2 LPT/hari peroral hari 1-
4.
9. Edukasi Mejaga personal hygiene dan mencegah infeksi selama
kemoterapi
Ig M Ig G Interpretasi Keterangan
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi sekunder -
- - Tidak terbukti diulang pada fase
adanya konvalesens
Infeksi
- + Infeksi pada 2-3 diulang pada fase
bulan sebelumnya konvalesens
DEMAM DENGUE
Kode ICD : A.91
DEMAM TIFOID
Kode ICD : A01.0
Klasifikasi diagnosis:
Demam Tifoid klinis
Panas lebih dari 7 hari, di dukung gejala klinik lain:
Gangguan GIT : typhoid tongue, rhagaden,
anoreksia, konstipasi/ diare
Hepatomegali
Tidak ditemukan penyebab lain dari panas.
Demam Tifoid
Demam Tifoid klinis + Salmonella typhi (+) pada
biakan darah, urine atau fees dan/atau pemeriksaan
serologis yang mendukung
Demam Tifoid berat
Demam Tifoid + keadaan : lebih dari minggu kedua
sakit, toksik, dehidrasi, delirium jelas, hepatomegali
dan/atau splenomegali, leukopenia <2000/ul,
aneosinofilia, SGOT/ SGPT meningkat
Ensefalopati Tifoid/Tifoid toksik
Demam Tifoid atau Demam Tifoid klinis disertai satu
atau lebih gejala:
kejang
kesadaran menurun: soporous sampai koma
kesadaran berubah/ kontak psikik tidak ada
5. Diagnosis Demam Tifoid
6. Diffrential 1. Stadium dini: Influenza, Gastroenteritis, Bronkitis,
diagnosis infeksi Dengue, Bronkopneumonia
2. Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, Malaria
3. Demam Tifoid berat: Sepsis, Leukemia, Limfoma
7. Pemeriksaan 1. Darah tepi perifer:
Penunujang a. anemia (dapat terjadi akibat supresi sumusm
tulang, defisiensi besi, atau perdarahan usus)
b. leukopenia (jarang kurang dari 3000/µL)
c. limfositosis relatif
d. aneosinofilia
e. trombositopenia (terutama pada demam tifoid
berat)
2. Pemeriksaan serologi:
a. antibodi anti-Salmonela O9, atau
b. kadar IgM dan IgG anti Salmonella
3. Pemeriksaan biakan empedu dari spesimen:
a. darah (minggu 1-2 perjalanan penyakit)
b. urine (minggu ke-2 dan selanjutnya)
c. sumsum tulang (sampai minggu ke 4)
4. Pemeriksaan radiologi:
a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi
pneumonia
b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi
intraintestinal seperti perforasi usus atau
perdarahan saluran cerna
5. EKG bila mencurigai miokarditis
6. Biakan feses saat pulang untuk deteksi karier,
kemudian diulangi lagi 1 minggu kemudian. Apabila
2 kali berturut-turut dalam interval 1 minggu
Salmonella (-), berarti penderita sembuh dan tidak
merupakan carrier.
8. Tatalaksana 1. Antipiretik bila suhu tubuh >38,5°C
2. Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan)
Lini pertama:
Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari,
oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10 – 14
hari, kontraindikasi pada leukosit <2000/µl, dosis
maksimal 2g/hari atau
Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV
selama 14 hari atau
Kotrimoksazol TMP 4 mg/kg/kali, selama 10 hari
Linikedua/ multidrug resisten S. typhi
Seftriakson 80 mg/kg/hari IV selama 5-7 hari
Cefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali
sehari per oral selama 10 hari
Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama,
dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan anti
mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini
kedua
Karier S. typhi (S. typhi tetap ada dalam urin atau
feses selama lebih dari 6 -12 bulan) :
Ampisillin 100 mg/kg/hari, 4x hari atau
Trimetoprim-sulfametoksazol 4-20 mg/kg/hari
selama 6-12 minggu
Lakukan pemeriksaan USG kandung empedu
untuk menentukan ada atau tidaknya kolelitiasis
atau disfungsi kandung empedu
3. Kortikosteroid diberikan pada demam tifoid berat
dengan perubahan status mental (Ensefalopati Tifoid)
atau syok yaitu dexametason 3mg/kg/kali (1x) IV,
dilanjutkan 1mg/kg/kali, setiap 6 jam sampai
dengan 48 jam (penggunaan lebih dari 48 jam akan
meningkatkan angka relaps)
4. Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi
usus
9. Edukasi 1. Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
2. Indikasi rawat:
Demam Tifoid klinis bila ada hiperpireksia,
dehidrasi atau KU lemah.
Semua Ensepalopati Tifoid
Semua demam Tifoid dengan komplikasi
3. Imunisasi
Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide)
usia 2 tahun atau lebih (IM), diulang tiap 3 tahun
Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia 6
tahun dengan interval selang sehari (1,3,5),
ulangan setiap 3-5 tahun. Belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk
turis yang bepergian kedaerah endemik
4. Tirah baring
5. Isolasi memadai
6. Kebutuhan cairan dan kalori dipenuhi. Diet lunak,
mudah dicerna.
7. Higiene perorangan dan lingkungan karena
penularan melalui fekal oral
10. Prognosis Dengan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat:
Ad vitam: bonam
Ad sanationam: ad bonam
Ad functional: ad bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat D
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 7-10 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
16. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella
infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of
the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk
Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics;
2006, h.579-84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long
SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles
and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke-
2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the
gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter JH,
Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious
diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004,
h. 212-3
5. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL.
Textbook of pediatric infectious disease, 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders: 2004.
6. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS.
Buku ajar infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua.
Jakarta: IDAI; 2008.
MALARIA
Kode ICD : B50-54
Lini Kedua
Bila obat tidak tersedia, maka digunakan :
1. Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kg terbagi dalam 3
hari dengan perincian
Hari I: 10 mg/kg peroral + Primakuin 0,75
mg/kg peroral
Hari II: 10 mg/kg peroral
Hari III: 5 mg/kg peroral
2. Kombinasi kina + doksisiklin/klindamisin
Kina dosis 30 mg/kg/hari peroral dibagi 3
dosis diberikan selama 7 hari. Kemasan tablet
kina yang beredar di Indonesia: 200mg kina
fosfat atau kina sulfat.
Doksisiklin diberikan untuk anak 8-14 tahun
dengan dosis 2 mg/kg/hari selama 7 hari.
Sediaan doksisiklin yang tersedia tablet 50 mg
dan 100 mg.
Untuk anak di bawah 8 tahun doksisiklin
diganti clindamycin dengan dosis 10
mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
3. Kombinasi tetrasiklin/klindamisin + primakuin
Tetrasiklin diberikan dengan dosis 4-5
mg/kg/6 jam selama 7 hari.
Untuk anak di bawah 8 tahun tetrasiklin
diganti clindamycin dengan dosis 10
mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
Primakuin diberikan dengan dosis 0,75
mg/kg/dosis tunggal hanya pada hari pertama.
Plasmodium vivax & P. ovale:
Lini Pertama
Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Dosis dan lama pemberian Artesunat + Amodioakuin
sama dengan pada malaria falciparum + Primakuin
0,25 mg/kg/hari selama 14 hari
Lini Kedua
Kina + Primakuin
Kina 30mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari +
primakuin 0,25 mg/kg/hari selama 14 hari
Spesifik
1. Segera diberikan Anti Difteria Serum (ADS) secara
intravena (jika difteri dicurigai (tersangka difteri),
ADS harus segera diberikan tanpa menunggu hasil
laboratorium), didahului dengan uji kulit dengan cara
menyuntikan 0,1 ml ADS yang telah diencerkan
dengan NaCl 0,9% 1:100. Uji kulit dibaca dalam 20
menit dan dinyatakan positif bila timbul bentol
berukuran 10 mm atau lebih.
Dosis ADS yang diberikan tergantung lokasi dan
waktu ADS diberikan:
2. Antibiotik:
Penisilin prokain 50.000-100.000 U/kg/hari selama
14 hari
Apabila hipersensitif terhadap penisilin diberikan
eritromisin 40-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (4x
sehari) selama 14 hari
3. Eliminasi difteri harus dibuktikan dengan dua kali
beruturut-turut hasil biakan negatif setelah 24 jam
antibiotik dihentikan.
4. Kortikosteroid diberikan bila terdapat gejala
obstruksi saluran napas bagian atas (dengan atau
tanpa bullneck) atau bila terdapat miokarditis.
5. Setiap penemuan kasus difteri (tersangka/terbukti)
harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan dalam waktu 1
x 24 jam
6. Vaksinasi difteri diberikan saat masa penyembuhan
penyakit
7. Pengobatan kontak (bekerja sama dengan petugas
surveilans Dinas Kesehatan)
Kontak erat, atau kontak serumah:
a. Surveilans
b. Vaksinasi difteri (sesuai usia)
c. Biakan apusan hidung dan tenggorok untuk C.
diphtheriae
d. Pemberian antibiotik:
Benzathine Penicillin G Intramuskular (dosis
tunggal) dengan dosis
600.000 IU untuk usia <6 tahun dan
1.200.000 IU untuk usia 6 tahun atau lebih;
atau
Eritromisin oral selama 7 hari dengan dosis
40 mg/kg BB/hari untuk anak
1 g/hari untuk dewasa
Algoritma tatalaksana:
6. Diffrential 1. Intoksikasi
diagnosis 2. Sindrom Kawasaki
3. Leptospirosis
4. Tuberkulosis
5. Malaria
6. Kriptokokosis
7. Penyakit Lyme
8. Rocky Mountain Spotted Fever
9. Keganasan
7. Pemeriksaan 1. Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, hitung
Penunujang jenis leukosit, dengan apus darah tepi, LED
2. SGOT, SGPT, Bilirubin Total, Direk dan Indirek
3. Gula Darah Sewaktu
4. Ureum dan Creatinin
5. CRP
6. Procalcitonin
7. Elektrolit: Na, K, Ca, Cl
8. PT, aPTT, d-dimer, fibrinogen
9. Analisa gas darah
10. Urinalisis
11. Biakan darah berulang
12. Biakan urin
13. Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses
14. Biakan jamur pada darah dan urin
15. Pemeriksaan radiologis
16. Laktat
8. Tatalaksana 1. Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat
diberikan:
a. Sefotaksim 100-150mg/kgBB/hari iv dalam 3
dosis atau Ampicillin (150-200 mg/kg/hari iv
dalam 3 dosis) + Gentamisin (5-7 mg/kg/hari
dalam 2 dosis atau dosis tunggal)
b. Antibiotik spektrum luas sesuai pola kuman
rumah sakit jika kuman berasal dari health care
associated infections (HAISs)
c. Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan
bersama obat di atas bila didapatkan kecurigaan
bakteri anaerob.
d. Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi,
antibiotik diberikan secara definitif.
2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi
cairan, koreksi asam-basa.
3. Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien,
antara lain dengan pemberian oksigen dan
mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka
4. Terapi Oksigen
5. Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
6. Terapi cairan intravena termasuk TPN
7. Glucose control: pertahankan kadar gula darah >70
mg/dl
8. Anti jamur sistemik atas indikasi
9. Antipiretik: parasetamol
10. Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
11. Terapi inhalasi
12. Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin
13. Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
14. Source control: drain dan debridement sumber
infeks bila memungkinkan
9. Edukasi 1. Tirah baring
2. Imunisasi
3. Perbaiki nutrisi
4. Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
5. Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam: dubia
11. Tingkat III
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Taksiran 10-15 hari
Lama Rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi
16. Kepustakaan 1. Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP,
Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
2. Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam:
Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE.
Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke
13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
3. Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric
infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB
Lippincott, 1989. H 292-9
4. Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic
shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis Journ,
1992; 11: 739-49
5. Goldstein B, Giroir B, Rnadoplph A; International
Consensus Conference on Pediatric Sepsis.
International pediatric sepsis consensus conference :
definition for sepsis and organ dysfunction in
pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005. Jan;6(1):2-8
6. Dellinger RP, et al. Surviving Sepsis Campaign :
International Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care
Medicine, 2013. Feb;41(2):580-637
3. Korea Sydenham
Gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan
sukar dikendalikan. Seringkali disertai dengan
kelemahan otot dan gangguan emosional. Semua otot
terkena, tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan
ekstremitas.
4. Eritema marginatum
Kelainan kulit berupa bercak merah muda, berbentuk
bulat, lesi berdiameter sekitar 2,5 cm, bagian
tengahnya pucat, sedang bagian tepinya berbatas
tegas, tanpa indurasi, tidak gatal, paling sering
ditemukan pada batang tubuh dan tungkai proksimal.
5. Nodul subkutan
Terletak di bawah kulit, keras, tidak sakit, mudah
digerakkan dan berukuran 3-10 mm. Lokasinya sekitar
ekstensor sendi siku, lutut, pergelangan kaki dan
tangan, daerah oksipital, serta di atas prosesus
vertebra torakalis dan lumbalis.
5. Diagnosis
Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (ICD-10 :
I09.8)
6. Diffrential 1. Juvenile rheumatoid arthritis
diagnosis
2. SLE, artritis reaktif, artritis infeksius
3. Artritis akut karena virus (rubella, parvovirus, hepatitis
B, herpes, enterovirus)
7. Pemeriksaan 1. Laboratorium: ASTO dan kultur apus tenggorokan
Penunujang
2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Tatalaksana 1. Antibiotika
a. Untuk Eradikasi:
Benzatin penisilin.G:
BB ≤27 kg = 600.000-900.000 unit
BB ≥27 kg = 1,2 juta unit
Bila tidak ada, dapat diberikan Prokain Penisilin
50.000 Iµ/kgBB selama 10 hari.
Alternatif lain:
Penisilin V (oral): BB ≤27 kg 2-3 x 250 mg
- Eritromisin
- Klaritromisin
- Azitromisin
b.Kemudian
dosis
dikurangi
menjadi
60
mg/kg/
hari (4-6
mgg)
Kardit Kardit
Hanya
is is Karditis
Artriti
Ringa Sedan Berat
s
n g
DEKOMPENSASI KORDIS
ICD-10 : I51.9
4. Medikamentosa:
1. Definisi
Kelainan jantung bawaan yang ditandai dengan tetap
terbukanya duktus arteriosus.
2. Anamnesis 1. Adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
2. Takipneu.
3. Gangguan kesulitan minum.
4. Gangguan toleransi latihan,
5. Riwayat infeksi saluran nafas berulang.
3. Pemeriksaan 1. DAP kecil/sedang: BJ I dan BJ II normal, bising kontinu
fisik derajat III-V pada ICS II kiri linea sternalis.
2. DAP besar: hiperaktivitas ventrikel kiri dan kanan, murmur
kontinu kasar derajat III-IV pada ICS II kiri linea sternalis,
murmur diastolik di apeks.
3. DAP dengan hipertensi pulmonal: P2 mengeras dan bising
sistolik.
4. Kriteria 1. Anamnesis.
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik jantung: tetapkan
perkiraan besar DAP. tetapkan apakah terjadi gagal
jantung, tanda-tanda hipertensi pulmonal serta
adanya sindroma Eisenmenger
3. EKG untuk menentukan adanya
beban volume
4. Foto thorak untuk menilai corakan
vaskuler paru
5. Ekokardiografi untuk menentukan
besarnya DAP
6. Kateterisasi hanya dilakukan bila
dicurigai ada hipertensi pulmonal.
5. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten (ICD-10 : Q25.0)
6. Pemeriksaan 1. EKG
Penunujang
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
4. Kateterisasi
7. Tatalaksana Tutup DAP
1. Medikamentosa: Ibuprofen
Hari Dosis
I 10 mg/kgBB
II 5 mg/kgBB
III 5 mg/kgBB
Kontraindikasi:
a. Sepsis,
b. Perdarahan aktif saluran pencernaan,
c. Perdarahan periintraventrikular berat (PPIV derajat
III dan IV),
d. Trombositopenia (<50.000/mm3),
e. Penurunan fungsi ginjal (diuresis <1 cc/kgBB/jam;
serum kreatinin ≥1,3 mg/dL),
f. Penyakit jantung kongenital ductal dependent
g. Enterokolitis nekrotikans.
Indikasi pada:
DAP besar
DAP besar dengan gejala dekompensasi kordis
yang terjadi pada bayi baru lahir atau anak dengan
BB <6 kg
8. Edukasi 1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala
yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke
dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene,
terutama kebersihan gigi dan mulut untuk mencegah
terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk
penutupan DSV
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan
efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis.
11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Perbaikan klinis dan keadaan
medis umum membaik
2. Operasi
1) Prosedur:
- PA banding: merupakan prosedur yang bersifat
paliatif (untuk mengurangi aliran darah ke paru
dan menurunkan tekanan arteri pulmonalis).
Prosedur ini jarang dilakukan kecuali bila
terdapat lesi tambahan lain sehingga prosedur
untuk menutup DSV sulit dilakukan.
4. Kriteria 1. Anamnesis
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG: RAD, RVH, RBBB.
4. Foto thorak: kardiomegali dan corakan vaskular paru
meningkat.
5. Ekokardiografi: untuk memastikan defek dan
mengukur besar defek.
a. Berdasarkan lokasi:
DSA primum
DSA sekundum
DSA kecil
DSA besar
c. Berdasarkan tekanan pulmonal:
11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator 1. Perbaikan klini dan keadaan umum membaik
medis
2. Gagal jantung teratasi.
2. Mencegah/mengatasi komplikasi
TETRALOGI OF FALLOT
ICD-10 : Q21.3
1. Definisi
Merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terdiri
dari DSV, stenosis pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan,
dan overriding aorta
2. Anamnesis 1. Sianosis saat lahir atau segera setelah lahir
3. Squatting
4. Hipoxic spell
4. Kriteria 1. Anamnesis.
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG.
4. Foto thorak.
5. Ekokardiografi.
Langkah diagnosis
Pikirkan kemungkinan TOF jika menemukan PJB
sianotik atau pada yang relatif ringan pada PJB dengan
gagal tumbuh + gejala squatting + sianosis/sesak pada
peningkatan aktivitas fisik (pada bayi sianosis ketika
menyusu atau menangis).
- RVH
3. Foto thorak:
- Overriding aorta
- RVH
5. Diagnosis Tetralogi of Fallot (ICD-10 : Q21.3)
6. Pemeriksaan 1. EKG
Penunujang
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
7. Tatalaksana 1. Medikamentosa
a. Propranolol 1-2 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis
untuk mencegah serangan sianotik (“hypoxic spells”)
b. Deteksi dan terapi anemia defisiensi besi
c. Profilaksis terhadap infective endocarditis untuk
setiap tindakan invasif (Amoksisilin 50 mg/kgBB
selama 5 hari)
d. Pada serangan sianotik (hypoxic spells):
- Pasien diletakkan dalam posisi “knee-chest”:
untuk meningkatkan resistensi sistemik
- Oksigen 2-4 L/menit
- Morfin sulfate 0,1-0,2 mg/kg/subkutan
- Atasi asidosis dengan pemberian Sodium
bikarbonat 1 mEq/kg IV
- Bila dengan terapi di atas belum ada
perbaikan dapat diberikan Propranolol 0,01-0,25
mg/kg/dosis (rata-rata 0,05 mg/kg) IV pelan-
pelan
- Untuk mencegah berulangnya serangan sianotik
diberikan Propranolol oral 1-2 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis
11. Tingkat I / II
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Hypoxic spell teratasi
medis
15. Target Tindakan operatif koreksi total TOF sudah dilakukan
pada usia 1-5 tahun.
2. Konjungtivitis
- Strawberry tongue
b. Gejala-gejala kardiovaskuler:
2. Kardiomegali
3. Efusi perikardial
Fase Subakut
Fase Konvalesens
2. Scarlet fever
7. Stevens-Johnson syndrome
10. Leptospirosis
3. Laboratorium
- Piuria
8. Tatalaksana
- Peningkatan enzim hati, hipoalbumin dengan
hiperbilirubinemia ringan (terjadi pada 10% kasus)
- Peningkatan enzim jantung troponin-1
(menggambarkan adanya kerusakan miokardia)
- Kadar lipid abnormal: penurunan HDL terjadi pada
saat sakit, total kolesterol normal, kadar trigliserid
meningkat.
4. Ekokardiografi
Tujuan untuk mendeteksi adanya aneurisma arteri
koronaria dan berbagai disfungsi kardiak lainnya.
a. Aneurisma arteri koronaria terjadi sebelum hari ke
10, selama periode itu terjadi beberapa
peningkatan:
- Arteritis koronaria
- Penurunan fungsi sistolik LV
- Terjadi regurgitasi katup mitral ringan
- Efusi perikardial
b. Konfigurasi, ukuran, nomor, ada atau tidaknya
intraluminal atau mural trombus sebaiknya
ditelaah lebih lanjut.
Skor Ballard)
masa gestasi
Perawatan:
Dirawat dalam inkubator, jaga jangan sampai
hipotermi, suhu bayi 36,5-37,5oC
Bayi dengan distres pernapasan pengobatan lihat bab
distres pernapasan.
Tentukan usia gestasi
Bayi BB >1.500 gram tanpa asfiksia dan tak ada
tanda-tanda distres pernapasan dirawat gabung
Bila bayi <1.500 gram, pindah rawat bagian IKA dan
beri ASI/LLM
Bayi-bayi KMK (Kecil Masa Kehamilan) diberi minum
lebih dini (2 jam setelah lahir)
Periksa gula darah dengan dekstrostik bila ada tanda-
tanda hipoglikemia
Kebutuhan cairan setiap kgBB/24 jam
• Hari ke 1 : 80 cc
• Hari ke 2 : 100 cc
• Hari ke 3 : 120 cc
• Hari ke 4 : 130 cc
• Hari ke 5 : 135 cc
• Hari ke 6 : 140 cc
• Hari ke 7 : 150 cc
• Hari ke 8 : 160 cc
• Hari ke 9 : 165 cc
• Hari ke 10 : 170 cc
• Hari ke 11 : 175 cc
• Hari ke 12 : 180 cc
• Hari ke 13 : 190 cc
• Hari ke 14 : 200 cc
Jenis Cairan IVFD :
• BB >2.000 gram : dekstrose 10% 500 cc + Ca
glukonas 10%
• BB <2.000 gram : dekstrose 7½% 500 cc + Ca
glukonas 10%
Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 cc / kg BB
15. Target Bayi sudah dapat minum secara adekuat sesuai dengan
kebutuhan dan tidak ada komplikasi.
iskemik )
Transiluminasi
15. Target Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali
16. Kepustakaan 1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E.,
Pryhuber G.S. Acute Respiratory Disorders. Dalam:
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof
the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William
& Walkins, 2005;553-77.
Sepsis
9. Edukasi Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali
11. Tingkat II
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis
medis
15. Target Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali
16. Kepustakaan 1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E.,
Pryhuber G.S. Acute Respiratory Disorders. Dalam:
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof
the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William
& Walkins, 2005;553-77.
6. Diffrential Pneumonia
diagnosis
11. Tingkat II
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Klinis : Tanda-tanda gawat nafas
medis
15. Target Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit,
minum baik, tidak ada tanda infeksi dan penyakit
penyebab telah terkendali
16. Kepustakaan 1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E.,
Pryhuber G.S. Acute Respiratory Disorders. Dalam:
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof
the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William
& Walkins, 2005;553-77.
a. Faktor biologi
- Gangguan pendengaran
- Gangguan perkembangan bahasa (Gangguan
bahasa spesifik = Specific Language Impairment)
- Kelainan organ bicara dan bahasa
- Retardasi mental
- Kelainan genetik atau kromosom
- Autisme
- Mutisme selektif
- Afasia reseptif
- Sindroma Landau-Kleffner (sangat jarang)
- Penyakit metabolik dan neurodegeneratif
b. Faktor lingkungan
- Lingkungan yang sepi
- Status sosial ekonomi
- Teknik pengajaran yang salah
- Sikap orangtua
- Lingkungan yang kurang memberikan stimulasi
- Child abuse
- Bahasa bilingual
2. Pemeriksaan fisik
o TB. PB, Lingkar kepala, THT, organ bicara dan
craniofacial
o Evaluasi perilaku
3. Pemeriksaan penunjang.
o Tes pendengaran dan
o Pemeriksaan penujang lain sesuai indikasi dan
faktor risiko
24. Diffrential - Gangguan pendengaran
diagnosis - Retardasi Mental
- Autisme
Ad.A. Konsultasi
Psikiater anak
Bila ada gangguan bahasa dan tingkah laku.
Ahli THT
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran
Ahli syaraf anak
Untuk mengetahui adanya kelainan neurologi
Mencari penyakit metabolik dan gangguan organik
lainnya.
Gangguan Retardasi
Pendengara Motorik : Palsi serebralis Mental
n Personal Sosial : Autisme
ADHD
Tidak bicara
hanya pada Gangguan Perkembangan bicara dan
lingkungan berbahasa :
Terapi
tertentu Tipe ekspresif
wicara
Tipe reseptif – ekspresif
Psikiater /
Gangguan fonologi
Psikolog
Gagap
Mutisme Kelainan Suara
Selektif
Psikiater /
Halusinasi, gangguan pikiran Skizofrenia Psikolog
anak
Anak dengan gejala gangguan bicara dan
berbahasa
Rujuk ke:
Gangguan organik alat Y Bedah
bicara a Mulut /
Neuropedia
Tidak tri
Gangguan Retardasi
Pendengara Motorik : Palsi serebralis Mental
n Personal Sosial : Autisme
ADHD
Tidak bicara
hanya pada Gangguan Perkembangan bicara dan
lingkungan berbahasa :
Terapi
tertentu Tipe ekspresif
wicara
Tipe reseptif – ekspresif
Psikiater /
Gangguan fonologi
Psikolog
Gagap
Mutisme Kelainan Suara
Selektif
Psikiater /
Halusinasi, gangguan pikiran Skizofrenia Psikolog
anak
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator - Kemampuan bahasa dan bicara
medis - Kemampuan sosialisasi dan kognin\si
15. Kepustakaan 1. Glascoe FG. Developmental screening and
surveillance. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook
of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. h. 74-80.
2. Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno
H, Gde Ranuh IGN, penyunting. Buku Ajar I Tumbuh
Kembang dan Remaja. Jakarta: IDAI; 2005. h. 1-126.
3. Blackman JA. Developmental screening: Infants,
toddlers, and preschoolers. Dalam: Levine MD, Carey
WB, Crocker AC, penyunting. Developmental-
Behavioral Pediatrics. Edisi ke-3. Philadelphia:
Saunders; 1999. h 689-95.
4. Glascoe FG. Developmental screening. Dalam
Parker S, Zuckerman B, Augustyn M, penyunting.
Developmental and behavioral pediatrics. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004. h
41-50.
5. Illingworth RS. The normal child. Edisi 10.
India:Elsevier: 2005. h.127-89.
6. Knight JR dkk, penyunting. Bright Futures case
studies for primary care clinicians: child development
and behavior. The Bright Futures Center for pediatric
education in growth and development, behavior and
adolescent health. Children hospital, Boston. 2001.
7. UKK Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial IDAI.
Deteksi dan intervensi kelainan gangguan bicara
dengan ELMS-2. Yogyakarta, 2007.
8. Judith EC, Nancy TM, Roanne K, Karzon dan jay
FP. Unilateral Hearing loss is associate with worse
speech language score in children. Pediatrics 2010;
125;e1348
CEREBRAL PALSI
G80.0-8
3. Pemeriksaan penunjang
Untuk mencari faktor risiko dan untuk menyingkirkan
penyebab yang masih aktif atau progresif
AUTISME
F84.0
8. Tatalaksana Tujuan :
- mengurangi masalah perilaku yang abnormal
- meningkatkan kemampuan belajar dan
perkembangannya, terutama dalam penguasaan
bahasa
1. Terapi medikamentosa:
Pada penderita autisme dengan gejala-gejala seperti
tempertantrum, agresifitas, melukai diri sendiri dan
perilaku stereotifik, pemberian obat akan membantu
memperbaiki perilaku dan respon anak terhadap
lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima terapi
yang lain. Obat-obat yang diberikan adalah obat-obat
yang mempengaruhi kerja sel otak dan memperbaiki
abnormalitas kadar neurotransmitter, seperti:
- Risperidon, dimulai dengan dosis 2 x 0,1 mg,
dapat dinaikkan 0,05 mg setiap 3-5 hari sampai
tercapai dosis 1-2 mg/hari. Dapat memperbaiki
hubungan sosial, atensi, agresifitas, hiperaktifitas
dan perilaku menyakiti diri sendiri.
- Aripiprazole, dimulai dengan dosis 2 mg sekali
sehari, dapat dinaikkan bertahap hingga maksimal
10 mg/hari. Dapat mengurangi gangguan
iritabilitas yang berhubungan dengan autis
(tantrum, agresivitas, perubahan mood tiba-tiba,
perilaku yang merugikan diri sendiri). Digunakan
pada anak usia 6-17 tahun.
- Haloperidol, dosis 0,25-3 mg/ hari, dibagi 2-3
dosis. Dapat memperbaiki agresifitas,
hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotifik.
- Thioridazine, dosis 0,5-3 mg/ kg/ hari dibagi 2-3
dosis. Dapat menurunkan agresifitas dan agitasi.
2. Terapi nonmedikamentosa:
- Terapi perilaku
Keadaan hiperaktifitas, impulsifitas, gerakan
stereotifik, cara bermain yang tidak sama dengan
anak lain, juga adanya agresifitas, temper tantrum,
dan cenderung melukai diri sendiri memerlukan
intervensi perilaku.
Metode yang banyak dipakai adalah ABA (Applied
Behavioral Analysis). Usia terbaik adalah sekitar 2-
3 tahun dan intensitas terapi sekitar 40 jam
perminggu.
- Terapi bicara
Terapi bicara perlu dilakukan sejak dini dengan
intensif bersama dengan terapi lain.
- Terapi okupasi
Terapi okupasi diperlukan untuk melatih motorik
halus dan ketrampilan agar anak dapat melakukan
gerakan memegang, menggunting, menulis dengan
terkontrol dan teratur.
- Sensori integrasi
Sensori integrasi adalah pengorganisasian
informasi melalui semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan,
pendengaran, body awareness dan gravitasi) untuk
menghasilkan respons yang bermakna.
- AIT (Auditory Integration Training)
Diberikan kepada individu yang hipersensitif
terhadap suara dan mengganggu pendengaran
mereka. Mulanya ditentukan suara yang
mengganggu pendengaran dengan perangkat
audiometer. lalu diikuti seri terapi yang
memperdengarkan suara-suara yang direkam,
tetapi tidak disertai dengan suara yang
menyakitkan. Selanjunya dilakukan desnsitisasi
terhadap suara yang menyakitkan tersebut.
- Terapi Edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan ketrampilan
sosial, ketrampilan sehari-hari agar anak dapat
mandiri. Salah satu metode yang banyak dipakai
adalah metode TEACCH (Treatment and Education
of Autistic and Related Communication
Handicapped Children). metode ini sangat
terstruktur, mengintegrasikan metode klasik yang
individual, metode pengajaran yang sistematik,
terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata
khusus.
- Terapi diet
Terapi diet bebas glutein dan casein bersifat
individual. Dapat dipertimbangkan bila dengan diet
tersebut ada penurunan hiperaktifitas.
9. Edukasi 1. Pengobatan bersifat jangka panjang
2. Sangat memerlukan kerja sama dengan keluarga
3. Terapi bicara dirumah
4. Sekolah dan pendidikan khusus
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Dengan penatalaksanaan yang tepat dan terpadu gejala-
gejala autistiknya bisa dikurangi semaksimal mungkin.
Bila anak tersebut mempunyai kecerdasan yang normal
atau tinggi, tidak tertutup kemungkinan ia bisa mencapai
jenjang pendidikan yang tinggi.
Prognosis penyandang autisme sangat tergantung dari
diagnosis dini, berat ringannya gejala, kecerdasan anak,
umur pada saat terapi, kemampuan bicara dan terutama
intensitas terapi. Keterlibatan orang tua sangat
mempengaruhi dan penting dalam membantu kemajuan
anaknya .Penyandang autisme dikatakan “sembuh” bila
ia telah bisa membaur dan mandiri dalam masyarakat.
11. Tingkat IB
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator - Kemampuan berkomunikasi
medis - Kemampuan sosialisasi
- Kemampuan kognisi
15. Kepustakaan 1. Dalton R, Forman MA. Autistic Disorder. Dalam:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 87-8
2. Caronna EB. Autism. Dalam: Parker S, Zuckerman B.
Development and Behavioral Pediatric. Edisi 2.
Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 124-9.
3. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L.
Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh;
Churcill; 2003. h. 469-78.
4. Tanguay PE. Pervasive developmental disorders A. 10
year- review. J. Am. Acad. Child Adolesc Psychiatry.
2000; 39:1079-95
5. Maestro S, Muratori F. Attentional skill during the first
6 month of age in autism spectrum disorder. J Am
Acad Child Adolesc Psychiatry. 2002; 41:10
6. Brereton AV, Tonge BJ. Screening young people for
autism with the developmental behavior check-list. J
Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2002; 41:11
7. Baird G, Charman T. A screening instrument for
autism at 18 months of age: A 6- year follow up study.
J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2000; 39:6
8. Alisjahbana A. Tanda awal dari autisme. Disampaikan
pada konferensi nasional autism-1. Jakarta, 2-4 Juli
2003.
9. Filipek PA, Acardo PJ, Aswahwal S, Baronek GT, Cook
EH, Dawson G, dkk. Practise parameter: screening
and diagnosis of autism. Neurology.2000.; 55: 468-79
10. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Washington: American
Psychiatric Association; 1994. h 66-71.
11. Randall O, Linmarie S, Ronal NM, Patricia CL George
M, Roert DM, William HC , Robert LF. Aripiprazole in
the treatment of irritability in children and
adplesscents with autistic disorder. Pediatric
2009;124;1533-1540
12. Nazni P, Wesely EG, Nishadevi V. Impact of Casein
and Glutein Free Dietary Intervention on selected
Autistic Children. Iran J Pediatr 2008:18:244-250
Impulsifitas
Selalu cepat-cepat menjawab
pertanyaan sebelum pertanyaan selesai
diajukan.
Selalu kesulitan menunggu dalam
barisan atau menunggu giliran dalam
permainan atau dalam situasi kelompok.
Selalu menyelak atau menyerobot
orang lain (mis: ikut dalam percakapan orang
lain atau permainan)
2. Pemeriksaan fisik.
Untuk menyingkirkan diagnosa banding
Berat badan , tinggi badan, Lingkar kepala
Gangguan perilaku misalnya kontak mata tidak
ada, hiperaktivitas, inattensi dan impulsivitas
Tes Denver, score Conners scale
Pemeriksaan neurologis
3. Pemeriksaan penunjang
Tes pendengaran, tes IQ
Berdasarkan tipe :
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder,
Predominantly Inattentive Type F90.0 : jika kriteria
A(1) dipenuhi tapi kriteria A(2) tidak, dalam 6 bulan
terakhir.
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder,
Predominantly Hiperactive Impulsive Type F90.1 :
jika kriteria A(2) dipenuhi tapi kriteria A(1) tidak,
dalam 6 bulan terakhir.
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder, Combined
Impulsive Type F 90.2 : jika kedua kriteria A(!) dan
kriteria A(2) dipenuhi dalam 6 bulan terakhir
B. Terapi Psikologi
- Latihan orangtua. Dalam tahap terapi tingkah laku,
latihan untuk orang tua merupakan prioritas
tertinggi. Tujuannya untuk mengajar orang tua
bagaimana mengatur pembatas sekaligus insentif
untuk tingkah laku yang tepat dan menimbulkan
respon emosi destruktif. Apa yang dibutuhkan
adalah perubahan komplit dalam respon alami
terhadap tindakan negatif. Latihan untuk dewasa
(orang tua dan guru) dalam penatalaksanaan
tingkah laku biasanya membutuhkan rujukan.
Untuk orang tua pengobatan dilakukan dalam
kelompok kecil. Klinisi harus tahu bahwa tujuan
terapi tatalaksana tingkah laku adalah perbaikan
lingkungan dimana dilakukan kehidupan sehari-
hari, tidak untuk mengubah dasar alamiah anak.
- Terapi tambahan. Terapi tambahan mungkin
dibutuhkan tergantung pada lingkaran keluarga
dan anak. Terdapat keterbatasan usaha tradisional,
psikoterapi individu untuk anak ADHD. Tujuan
terapi ini adalah untuk memperbaiki harga diri.
Tidak ada bukti bahwa psikoterapi individual
memperbaiki kemampuan anak untuk memberikan
perhatian atau mengurangi impulsif. Bila anak
mulai menjadi lebih tua dan lebih waspada,
psikoterapi dapat memfasilitasi pengertian
bagaimana tingkah laku mempengaruhi yang
lainnya. Psikoterapi dinamis keluarga harus
disiapkan. Latihan kemampuan komunikasi
keluarga juga memiliki keterbatasan fokus,
mungkin ini lebih menolong jika anak ADHD
mendekati remaja. Fokus terapi ini adalah
menciptakan pengaturan dan menguatkan
peraturan di tempat keluarga.
C. Kriteria merujuk.
Kebanyakan klinisi tingkat dasar akan terlibat dalam 2
aspek terapi yaitu : (1) menjelaskan kondisi terhadap
anak dan keluarga (2) memberikan resep dan
mengikuti pengobatan. Terapi psikososial akan
diberikan oleh yang lain walaupun klinisi juga harus
tahu tipe pengobatan dan tujuan tiap strategi
pengobatan. Jika anak gagal merespon obat stimulan
yang diberikan atau memberikan efek samping yang
tidak diharapkan, rujuk ke spesialis seperti dokter
anak tumbuh kembang atau psikiater anak.
11. Tingkat IB
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Perilaku
medis Prestasi Akademik
RETARDASI MENTAL
F06.8
- RM borline IQ 70 – 79
- RM ringan IQ 52 – 69
- RM sedang IQ 36 – 51
- RM berat IQ 20 – 35
- RM sangat berat IQ < 20
7. Pemeriksaa - Test IQ
n - Pemeriksaan penunjang lain tidak rutin sesuai
Penunujang indikasi untuk mencari penyebab dan sesuai faktor
risiko
8. Tatalaksana Umum : masalah pendidikan, edukasi dan latihan
Tim multidisiplin (dokter anak, psikiater, neurolog,
psikolog, guru, terapis okupasi, terapi bicara, perawat)
Sesuai dengan IQ
Pendidikan di SLB
RM ringan
Mampu didik diajar baca tulis
Bisa dilatih keterampilan tertentu sebagai bekal hidup
dan mandiri seperti orang dewasa normal
Memerlukan bimbingan dari keluarga
RM sedang
Mampu latih bisa dilatih keterampilan tertentu
(pertukangan, pertanian)
Dilatih mengurus diri sendiri
Selalu memerlukan bimbingan dan pengawasan
RM berat
Dilatih higiene dasar saja
Dilatih kemampuan bicara yang sederhana
Tidak dapat dilatih keterampilan kerja
Memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur
hidup
RM sangat berat
Kemampuan berbahasa sangat minimal
Seluruh hidup tergantung pada orang disekitarnya
9. Edukasi RM merupakan masalah jangka panjang
Anak memerlukan bimbingan seumur hidup
Sekolah dan pendidikan khusus
Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
11. Tingkat 4
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah SMF Kesehatan Anak
Kritis
14. Indikator Kemampuan bicara, sosialisasi, kemadirian dan kognisi
medis
15. Kepustakaan 1. Shonkoff JP. Mental Retardation. Dalam: Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 125-9
2. Kastner W. Mental Retardation: Behavioral Probelms
Palsy. Dalam: Parker S, Zuckerman B. Development
and Behavioral Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott; 2005. h. 234-7
3. Coulter DL. Mental Retardation: Diagnostic
Evaluations. Dalam: Parker S, Zuckerman B.
Development and Behavioral Pediatric. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 238-41
4. Williams J, Venning H. Physical disability. Dalam:
Polnay L. Community Paediatrics. Edisi ke-3.
Edinburgh: Churcill; 2003. h. 503-6.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L.
Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh:
Churcill; 2003. h. 469-478
SINDROMA DOWN
Q90
5. Diagnosis Anamnesis
Perkembangan terlambat, adanya faktor resiko
Pemeriksaan Fisik
Gambaran Dismorfik yang khas
Pemeriksaan Penunjang
tes kromosom dan fungsi tiroid
5. Jenis-jenis A. Hepatitis B
Vaksin Jenis vaksin :
- Inactivated viral vaccine (IVV = HbSAg
yang telah diinaktifasi)
- Vaksin rekombinan : HB Vax (MSD);
Engerix (smith Kline Becham); Bimugen
(kahatsuka)
- Plasma derived : Hepa B: vaksin hepatitis
B (biofarma) : Hepaccine B (Cheil
Chemical & ford)
Dosis: 0,5 cc/dosis.
Cara pemberian : SC/IM
Jadwal imunisasi :
Disarankan untuk diberikan bersama BCG dan
Polio I pada kesempatan kontak pertama
dengan bayi.
Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg negatif
mendapat ½ dosis anak vaksin rekombinan
atau 1 dosis anak vaksin plasma derived. Dosis
kedua harus diberikan 1 bulan atau lebih
setelah dosis pertama.
Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapat
0,5 cc Hepatitis B immune Globulin (HBIG)
dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 1 dosis
anak vaksin rekombinan atau 1 dosis anak
vaksin plasma derived pada tempat suntikan
yang berlainan. Dosis kedua direkomendasikan
pada umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau
bersama dengan vaksin campak pada umur 9
bulan.
Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui
status HbsAgnya mendapat 1 dosis anak
plasma rekombinan atau 1 dosis anak vaksin
plasma derived dalam waktu 12 jam setelah
lahir. Dosis kedua direkomendasikan pada
umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau
bersama dengan vaksin campak pada umur 9
bulan. Diberikan booster 5 tahun kemudian,
dianjurkan pemeriksaan kadar anti HbsAg
sebelumnya.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak)
Efek samping : reaksi lokal ringan, demam sedang
24-48 jam, lesu, saluran pencernaan rasa tidak
enak
B. BCG
Jenis Vaksin : Calmette & Guerin (Biofarma,
Pasteur, Glaxo) suatu live attenuated vaccine (LAV).
Dosis : 0,05 cc/dosis
Cara pemberian : intrakutan
Jadwal imunisasi: pada kesempatan kontak
pertama dengan bayi, tidak diperlukan booster
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Dermatosis yang progresif (sementara)
Efek samping : reaksi lokal, adenitis
C. DPT
Jenis vaksin : Difteri (toksoid)
Pertusis (Inactivated Bacterial Vaccine-IBV,
Bordetella pertusis tipe I)
Tetanus (toksoid)
Dosis: 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : IM atau SC dalam
Jadwal imunisasi:
1. Imunisasi dasar : tiga dosis dengan
interval 4-6 minggu. Dosis I diberikan pada umur
2 bulan
2. Booster : dosis IV diberikan 1 tahun
setelah dosis III dan dosis V dan VI berupa DT
diberikan pada umur 6 dan 12 tahun
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Difteri : tidak ada
- Pertusis : riwayat kelainan neurologis
- Tetanus : tidak ada
Efek samping: reaksi lokal, demam, reaksi
akinetik, kejang, gejala ensefalopati
akibat komponen vaksin pertusis. Jika muncul
reaksi ini, imunisasi DPT
dilanjutkan hanya dengan DT
D. Polio
Jenis vaksin : vaksin polio oral sabin (LAV)
Dosis : 2 tetes/dosis
Cara pemberian : oral
Jadwal imunisasi :
Dosis I diberikan pada umur sedini mungkin
bila bayi lahir di RS (Bersama dengan BGC)
atau pada kontak pertama bila bayi datang
ke RS atau posyandu (biasanya umur 2
bulan). Selanjutnya dosis II, III dan IV
diberikan dengan interval 4 minggu,
bersamaan dengan DPT I, II dan II. Jika BCG
dan Polio I diberikan bersamaan dengan DPT
I, Polio IV diberikan 4-6 minggu setelah
DPT/Polio III.
Booster : dosis V diberikan I tahun setelah
dosis IV dan dosis VI dan VII diberikan pada
umur 6 dan 12 tahun.
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Diare (sementara)
Efek samping : tidak ada reaksi klinis.
Kemungkinan polio paralitik yang dapat dievaluasi
dari 1 per 8 juta dosis pada anak yang telah
diimunisasi dan 1 per 5 juta dosis pada kontak.
E. Campak
Jenis vaksin : Schwarz (LAV)
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM
Jadwal imunisasi :
Imunisasi dasar : diberikan pada umur 9
bulan
Bisa diulang minimal 6 bulan setelah
pemberian campak yang pertama.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak), alergi
terhadap telur (benar-benar
terbukti), mendapat injeksi gammaglobulin dalam 6
minggu terakhir
Efek samping: demam dengan atau tanpa rash 6-12
hari setelah diimunisasi pada 15-20% anak.
F. MMR (Measle-Mump-Rubela)
Jenis vaksin : Triple vaccine Measles, Mumps
Rubella (LAV), isinya :
Measle : campak
Mump : Urabe (trimovax-pasteur),
Jeryl Lynn (MMR-
MSD)
Rubella : RA 27/73
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM
Jadwal imunisasi :
Imunisasi dasar : diberikan pada umur 12
bulan atau 6 bulan setelah imunisasi
campak.
Booster : diberikan pada umur 12 tahun
Kontra indikasi : sama dengan campak
Efek samping : sama dengan campak + parotitis:
dmam, rash, ensefalitis,
parotitis, meningoensefalitis, tuli neural unilateral
(tetapi dilaporkan sembuh
sempurna tanpa gejala sisa).
G. Tifus Abdominalis
Jenis vaksin : Vi CPS (capsular poly sacharide)
: Typhim Vi (Pasteur
Merieux)
Oral : Vivotif (Ty2/A strain)
Dosis : Polisakarida 0,5 cc/dosis
Oral : 1 kapsul lapis enterik atau 1 sachet.
Cara pemberian :
- Polisakarida : SC atau IM satu kali
- Oral, 3 kali selang sehari.
Jadwal imunisasi :
Imunisasi dasar : Polisakasrida
direkomendasikan diberikan pada umur > 2
tahun.
Oral direkomendasikan diberikan pada umur
> 6 tahun dalam 3 dosis dengan interval dosis
selang sehari.
Booster : polisakarida diberikan setiap 3
tahun
Oral : setelah 3-7 tahun.
Kontra indikasi : < 2 tahun (mutlak), tidak
dianjurkan sebelum umur 6 tahun, proteinuria,
penyakit progresif
Efek samping :
- Reaksi lokal ditempat suntikan : indurasi,
nyeri 1-5 hari
- Reaksi sistemik : demam, malaise, sakit
kepala, nyeri otot, komplikasi neuropatik,
kadang-kadang bisa syok, kolaps.
H. Varisela
Jenis vaksin : Strain OKA dari virus Varicella
zoster.
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC
Jadwal imunisasi :
Imunisasi dasar : Anak berumur 12 bulan
sampai dengan 12 tahun diberikan 1 dosis.
Anak 13 tahun keatas diberikan 2 dosis dengan
interval 4-8 minggu.
Booster : Jika diberikan pada umur 12 bulan
harus diulang umur 12 tahun.
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Penyakit demam akut yang berat (sementara)
- Hipersensitif terhadap neomisin atau
komponen vaksin lainnya
- TBC aktif yang tidak diobati
- Penyakit kelainan darah
Efek samping :
- Ringan: reaksi lokal di tempat suntikan
- Reaksi sistemik : demam ringan, erupsi
papulo vesikular dengan lesi kurang dari 10
Catatan : hindarkan pemberian salisilat selama 6
minggu setelah vaksinasi karena dilaporkan
terjadi Reye’s Syndrome setelah pemberian salisilat
pada anak dengan varicella alamiah.
J. Hepatitis A
Jenis vaksin : partikel virus aktif yang
diinaktivasi 9IVV0
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC/ IM
Jadwal imunisasi :
- Imunisasi dasar : anak berumur > 2
tahun diberikan 3 dosis dengan jadwal 0
bulan, 1 bulan, dan 6 bulan.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak)
Pedoman vaksinasi DPT pada anak/bayi dengan
riwayat kejang
Kejang
SYOK SEPSIS
(ICD 10: R57.2)
Kombinasi dengan:
Titrasi cairan 5-10 mL/kgBB selama 10-15 menit bila
terdapat penurunan nadi setelah passive leg raising (PLR)
Kombinasi dengan
iv. Milrinon: dosis bolus 75 mcg/kgBB selama 15 menit,
dilanjutkan titrasi mulai dosis 0,5 mcg/kgBB/menit,
sampai dosis maksimal 0,75 mcg/kgBB/menit, atau
v. Titrasi sodium nitroprusid mulai 0,5 mcg/kgBB/menit,
dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit
Kombinasi dengan:
Titrasi cairan 5-10 mL/kgBB selama 10-15 menit bila
terdapat penurunan nadi setelah passive leg raising (PLR)
atau diameter vena cava inferior (IVC) kolap >40%.
Kombinasi dengan
Titrasi norepinefrin mulai 0,05 mcg/kgBB/menit, sampai
dosis maksimal 1 mcg/kgBB/menit
Kombinasi dengan:
Titrasi cairan 5-10 mL/kg selama 10-15 menit bila
terdapat penurunan nadi setelah passive leg raising (PLR)
atau diameter vena cava inferior (IVC) kolap >40%.
24 Jam Pertama
Glukosa IV
Dekstrosa
Mulai dengan D5%–D10% dan naikkan sesuai dengan
nasihat ahli nutrisi
Lipid
Mulai pada 0,5–2 g/kgBB/hari, naikkan sesuai nasihat
RD
1. Takikardia
Tabel 3. Batas takikardia anak sesuai usia
2. Dehidrasi
3. Penurunan kesadaran: iritabel, somnolen, dan
obtundasi
4. Sianosis sentral atau perifer
Tabel 4. Penilaian klinis gagal napas akut