Anda di halaman 1dari 42

Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

DIARE AKUT

Batasan :
Epidemiologis : merupakan kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu
defekasi dengan feses cair atau lembek dengan/tanpa lendir
atau darah, dengan frekuensi 3 kali atau lebih sehari,
berlangsung belum lebih dari 14 hari, kurang dari 4
episode/bulan.
Klinis : merupakan diare yaitu berak dengan kandungan air lebih dari
normal atau disertai darah/lendir atau bila orang tua
menganggap anaknya menderita berak-berak.

Indikasi rawat penderita diare akut :


 Diare akut dehidrasi ringan sedang dengan berak-berak dan muntah
profuse dan upaya rehidrasi oral di RPO gagal, atau disertai penyakit
penyerta yang memerlukan perawatan di rumah sakit.
 Diare akut dehidrasi berat.
Tujuan perawatan dan pengobatan penderita diare akut :
Melakukan koreksi terhadap kehilangan cairan dan elektrolit.
Melakukan feeding adjustment.
Memberikan pengobatan medikamentosa :
 Pengobatan terhadap kausa.
 Pengobatan terhadap penyakit penyerta/penyulit.
 Pengobatan penunjang/simptomatik yang diperlukan.
Memberikan health education.
Terapi cairan dan elektrolit :
Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:
Pada diare akut murni.
Pada diare akut dengan penyulit/komplikasi.
Ad 1. Pada diare akut murni
Ditujukan untuk :
Rehidrasi : mengganti previous water losses dengan IVFD atau per
oral..
Maintenance : mencegah dehidrasi dengan mengganti on going water
losses dengan oralit peroral/CRO.
Requirement : dengan makan dan minum seperti biasa.
Menggunakan cairan ringer laktat pada dehidrasi berat, dan pada
rehidrasi ringan sedang menggunakan oralit

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 1


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Ad 2. Pada diare akut dengan penyulit :


Menggunakan modifikasi Sutejo dengan cairan yang mengandung:
Na : 63,3 mEq/L.
K : 10,4mEq/L.
CI : 61,4 mEq/L.
HCO3 : 12,6 mEq/L.
Kalori : 200 kalori
Yang terdiri dari NaCl 15% 10 cc, KC1 10% 4 cc, NaHCO 3 2,5% 7 cc dalam 500
cc D5%.
Koreksi diberikan secara IV dengan kecepatan :
Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang :
4 jam I : 50 cc/kg BB.
20 jam II : 150 cc/kgBB.
Diare akut dengan penyulit dehidrasi berat :
4 jam I : 60 cc/kg BB.
20 jam II : 190 cc/kgBB.
Bentuk penyulit, jenis dan jumlah cairan dilihat pada skema 2. Terapi diet lihat
skema 1
Terapi medikamentosa :
Diberikan preparat zink elemen, untuk usia < 6 bln sebanyak 1 x 10 mg dan
usia > 6 bln sebanyak 1 x 20 mg selama 14 hari. Obat-obatan antimikroba
termasuk antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit diare akut.
Patokan pemberian antimikroba/antibiotika adalah sebagai berikut :
1. Kolera.
2. Diare bakterial invasif.
3. Diare dengan penyakit penyerta.
4. Diare karena parasit/jamur.

Ad. 1. Kolera :
Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi Tetrasiklin 50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.
Ad. 2. Diare bakterial invasif :
Secara klinis didiagnosis jika :
Panas lebih dari 38,5oC dan ada meteorismus.
Ada lendir dan darah dalam tinja secara makroskopis maupun
mikroskopis.
Lekosit dalam tinja secara mikroskopis lebih dari 10/lpb atau ++.
Antibiotika yang dipakai sementara menunggu hasil kultur :
 K1inis diduga ke arah Shigella diberi Nalidixid acid 55mg/kgBB/hari
diberi 4 dosis selama 10 hari atau Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis selama 5 hari.
 K1inis diduga ke arah Salmonella diberikan Kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Ad. 3. Penyakit penyerta diobati sebagaimana mestinya.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 2


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Ad. 4 Untuk penyakit parasit diberikan :


 Amubiasis diberikan Metronidazole 50 mg/kbBB/hari dibagi dalam 3
dosis selama 5-7 hari.
 Helminthiasis : untuk Ascaris / Ankylostoma / Oxyuris : Pyrantel
Pantoate 10 mg/kgBB/hari dosis tungga1.
Untuk Trichuris : Mebendazole 2 X l00 mg selama 3 hari.
 Giardiasis : Metronidazole 15 mg/kgBB/hari selama 5 hari.
Untuk penyebab jamur diberikan :
Candidiasis diberikan Nistatin :
- Kurang dari 1 tahun : 4 X 100.000 Iμ se1ama 5 hari.
- Lebih dari 1 tahun : 4 X 300.000 Iμ se1ama 5 hari.

Pemberian Health Education :


Pendidikan kesehatan dilakukan pada saat visite dan di ruangan khusus
dimana orangtua penderita dikumpulkan.
Pokok ceramah meliputi :
 Usaha pencegahan diare dan KKP.
 Usaha pertolongan untuk mencegah dehidrasi pada diare dengan
menggunakan oralit dan cairan.
 Imunisasi.
 Keluarga berencana.
Penderita dipulangkan :
 Bi1a kita yakin ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit
kepada anak dengan cukup wa1aupun diare masih berlangsung.
 Kausa diare/penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati.

Skema 1. Terapi Cairan dan Pemberian Makanan Ada GE Akut Tanpa


Penyulit.

Pencegaha
Rehidrasi
Dehidrasi Cairan n Makan Minum
Waktu
Dehidrasi
Tanpa - - 10-20 ASI diteruskan. Susu
dehidrasi cc/kgBB/ formula diteruskan.
BAB Makanan padat
oralit diteruskan dengan
atau mengurangi
makanan berserat,
ekstra 1 porsi

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 3


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Ringan- 4 jam 75 cc (½ gelas) Idem Dapat ditangguhkan


se oralit/ kg BB atau sampai anak
da ad libitum menjadi segar
ng sampairasa haus
hilang
Berat 4 Jam IVFD RL 30 cc/kg Idem Idem
BB 7½
tetes/kgBB/menit.
Oralit ad libitum
segera setelah
anak bias minum
Penilaian dilakukan tiap 1 jam
Setelah
Idem penderita tanpa dehidrasi
rehidrasi

Patokan koreksi cairan melalui NGD (Nasogastrik Drip) adalah :


 Nadi masih dapat diraba dan masih dapat dihitung.
 Tidak ada meteorismus.
 Tidak ada penyulit yang mengharuskan kita memakai cairan IV
 Dikatakan gaga1 jika dalam 1 jam pertama muntah dan diare terlalu banyak
atau syok bertambah berat.

Skema 2. Beberapa Penyulit Gastroenteristis Akut dan


Penanggulangannya.

Jenis/Cara Terapi
Jenis
Pemberian Jumlah Cairan Medikametos Ket
Penyulit
Cairan ea
KKP I-II Modifikasi Sesuai GEA nurni Sesuai kausa/
Sutejo penyakit
penyerta
KKP III Modifikasi Maras : 250
Sutejo cc/kgBB
Kwash : 200 cc/kg
BB
Bronco Modifikasi ¾ Kebutuhan Sesuai BP *
Pneumonia Sutejo
Ensefalitis Modifikasi ¾ Kebutuhan Sesuai
Sutejo Ensefalitis
Meteorismus Modifikasi ¾ Kebutuhan Antibiotic **
Sutejo profilaksis
Miningitis Modifikasi ¾ Kebutuhan Sesuai menpur

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 4


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Purulenta Sutejo
Dehidrasi Sesuai skema 3 Sesuai skema 3 Sesuai etiologi ***
hipotonis
Gagal Sesuai GGA 30 cc kg/BB + Sesuai GGA
Ginjal Akut volume urin 1 hari
sebelumnya + 12%
setiap kenaikan
suhu 10 C
Impending Cairan rendah ¾ Kebutuhan Digitalisasi
Decomp natrium
Cordis
* Diberikan pada bronkopneumonia dimana anak sangat sesak dan sistim
kardiovaskuler tidak mungkin menerima terapi rehidrasi cepat.
** Akibat lanjut dari meteorismus adalah terjadinya ballooning effect,
langkah-langkah; untuk mengatasi ini adalah dengan melakukan
dekompresi :
Dari atas dengan sonde lambung yang dihisap secara berkala.
Dari bawah dengan mernasang schorstein.
Menghentikan makanan peroral (sesuai dengan beratnya meteorismus)
dan memberi makanan parenteral sedini mungkin.
*** Dasar klinis diagnosis dehidrasi hipertonis :
1. Klinis : turgor yang relatif baik, hiperiritabel, rasa haus yang sangat
nyata, kejang yang biasanya timbul setelah terapi cairan.
2. Labor : kadar Na* serum 1ebih dari 150 meq/l.
Skema 3. Terapi Cairan Dehidrasi Hipertonik.
Jenis Cairan
Waktu Nadi
Kecepatan Ca Glukonas
(Jam) 120- 140- Fili-
120 > 160
140 160 formis
1 3¾ tts/kgBB/
DG RL RL Rl RL 5 –10 cc
menit
2 Idem DG DG RL RL RL
3 Idem DG DG DG RL RL
4 Idem DG DG DG DG RL
Jam ke-9 : 5-10
5 s/d 23/8 tts/ cc
24 kgBB/ menit Jam ke-17 : 3-
10 cc

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 5


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

DIARE KRONIK
1. Definisi :
Diare kronik ada1ah diare berlangsung 14 hari atau lebih, dapat berupa diare
cair atau disentri.
2. Insiden :
Pada Indonesian Demographic dan Hea1th Survey, 2001, di1aporkan bahwa
prevalensi diare persisten adalah 3,3% dan diare berdarah adalah 1,2%.
3. Klasifikasi :
Pembagian diare kronik yang didasarkan atas sifat tinja-berair, berlemak atau
berdarah, menurut Arasu dkk. (1979) akan lebih dapat membantu menghadapi
masalah diare kronik. Klasifikasi diare kronik pada bayi dan anak adalah
sebagai berikut :
a. Watery stools atau tinja cair :
1. Gastroenteropati alergi :
 Alergi protein susu sapi.
 Alergi protein kedele.
2.a. Defisiensi disakaridase :
 Defisiensi lactase – sering sekunder.
 Defisiensi sucrose – isomaltase.
b. Malabsorbsi glukosa – galaktosa
3. Defek imun primer.
4. Infeksi usus oleh virus, bakteri dan parasit (giardisis).
5. CSBS (Contaminated Small Bowel Syndrome).
 Obstruksi usus, ma1rotasi, short bowel syndrome, dll.
 Penyakit Hirschsprung, enterokolitis.
6. Persistent postenteriting diarrhoea dengan atau tanpa intoleransi
karbohidrat.
7. Diare sehubungan dengan penyakit endokrin.
 Hiperparatiroidism.
 Insufisiensi adrenal.
 Diabetes melitus.
8. Diare sehubungan dengan tumor.
 Karsinoma medula tiroid.
 Ganglionewoma.
 Zolinger-Ellison syndrome.
9. Ma1absorbsi asam empedu.
 Cholerrhoeic diarrhoea.

b. Fatty stools atau tinja berlemak :


1. Insufisiensi pancreas, PEM, BBLR.
 Hipoplasia (Swachman Syndrome).
 Cystic fibrosis. celiac disease.
2. Limfangiektasi usus.
3. Kolestasis.
Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 6
Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

 Atresia biliaris ekstra atau intrahepatik.


 Hepatitis neonatal.
 Sirosis hepatis.
4. Steatorhoe akibat obat (misa1: neomisin, kolestiramin).
5. CSBS: -Short bowel syndrome.
6. Gastroenteropati alergi, defek imun primer, enteropati akrodennatitis,
anemia defisiensi besi.
c. Bloody stools atau tinja berdarah :
1. V. campylobacter, Salmonella, Shigella.
2. Disentri amuba.
3. Inflammatory bowel disease.
 Kolitis ulseratif.
 Penyakit Chron .
4. Enterokolitis pseudomembranosa.
5. Diare sehubungan dengan lesi anal.

4. Patofisiologi :
Mekanisme patofisiologi diare kronik bergantung penyakit dasarnya dan sering
terdapat lebih dari satu mekanisme (Arasu dkk. 1979), yaitu :
.a Diare osmotik.
.b Diare sekretorik.
.c Bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak.
.d Defek sistem pertukaran anion.
.e Kerusakan mukosa.
.f Motilitas dan transit abnormal.
.g Sindrom diare intraktabel.
.h Mekanisme-mekanisme lain.
Berdasarkan patogenesis dan patofisiologinya, diare kronik diklasifikasikan
menjadi :
.1 Diare persisten, yaitu diare yang melanjut/menetap sampai 2 minggu atau
lebih dan disebabkan oleh infeksi serta sering disertai gangguan
pertumbuhan.
.2 Sindroma rawan usus SUS (SRU)/Irritable bowel syndrome (IRS), yaitu
suatu sindrom klinis yang menyebabkan diare kronik non spesifik pada anak
yang tampaknya sehat, tidak ditemukan adanya kelainan organik.
.3 Diare intraktibel bayi (Intractable diarrhea of infancy), yaitu bayi dengan
diare yang berhubungan dengan kerusakan mukosa yang difus yang timbul
sebelum bayi berusia 6 bulan, berlangsung lebih dari 2 minggu. disertai
malabsorbsi dan malnutrisi. Berbagai penyakit dapat menyebabkan diare
yang sulit diatasi, melanjutkan kerusakan mukosa usus halus, yang
merupakan penyebab utama dari diare intraktabel ini.

5. Diagnosa dan Evaluasi :

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 7


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

 Riwayat penyakit: saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi
penampakan, konsistensi, adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal
seperti gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak
lahir (cystic fibrosis), terjadinya diare sesudah diberikan susu. Buah-buahan
(defisiensi sukrase-isomerase), hubungan dengan serangan sakit perut dan
muntah (malrotasi), diare sesudah gangguan emosi atau kecemasan
(irritable colon syndrome), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya
(euterokolitis pseudomembranosa).
 Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan yang cermat keadaan umum pasien, status dehidrasi,
pemeriksaan abdomen, ekskoriasi pada bokong, manifestasi kulit. juga
penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar kepala,
perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat
badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya.
Pemeriksaan laboratoris :
a. Pemeriksaan tinja :
 Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.
 Mikroskopis :
 Darah samar dan leukosit yang positif (> 10/lpb) menunjukkan
kemungkinan adanya peradangan pada kolon bagian bawah.
 pH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan
malabsorbsi karbohidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi
oleh bakteri yang ada di dalam kolon.
 Clinitest, untuk memeriksa adanya substansi reduksi dalam sample
tinja yang masih baru, yang menunjukkan adanya malabsorbsi
karbohidrat.
 Breath hydrogen test, digunakan untuk evaluasi malabsorbsi
karbohidrat
 Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir
lemak, merupakan skrining yang cepat dan sederhana untuk
menentukan adanya malabsorbsi lemak.
 Biakan kuman dalam tinja, untuk mendapat informasi tentang flora
usus dan kontaminasi
 Pemeriksaan parasit (Giardia lamblia, cacing).
b. Pemeriksaan darah: darah rutin, elektrolit (Na, K; Cl) dan bicarbonate,
albumin, kadang diperlukan pemeriksaan kadar serum, dll.
c. Pemeriksaan radiologi :
Pemeriksaan radiologi saluran gastrointestinal membantu mengidentifikasi
cacat bawaan (malrotasi, stenosis) dan kelainan-kelainan seperti
limfangiektasis, inflammatory bowel disease, penyakit Hirschsprung,
enterokolitis nekrotikans.

6. Penatalaksanaan :
Umum dan Dietetik.
Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 8
Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

a. Nutrisi enteral :
 Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat diterima
untuk mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi penderita
anak dengan saluran pencernaan yang masih berfungsi jalur enteral dapat
ditempuh melalui oral atau nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau
jejunostomi dengan feeding tube
 Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat
dikategorisasikan dalam 3 macam diet:
i. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan
dipakai untuk pasien dengan fungsi usus yang normal.
ii. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul
rendah dan dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi
gastrointestinal.
iii.Diet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai
bercabang untuk pemakaian pada ensefalopati hepatik dan pasien
dengan perubahan kadar asam amino lain atau kesalahan
metabolisme bawaan (inborn errors of metabolism)
 Kandungan formula yang ditetapkan meliputi:
i. Karbohidrat
Karbohidrat akan dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam
mikrovili menjadi monosakarida yang akan diabsorbsi ke dalam
enterosit. Terdapat 4 enzim oligosakaridase yang berbeda dalam
mikrovili yaitu maltase (glukosa amilase (glukosa a-dekstrinase),
lactase dan trehalase. Semua enzim ini berkurang pada penyakit yang
mengenai mukosa usus halus. Lactase merupakan enzim yang paling
peka dan paling akhir pulih apabila terjadi kerusakan mukosa.
ii. Lemak
Lemak merupakan nutrien yang paling padat kandungan kalorinya.
Pemberian lemak pada penderita diare kronik sangat penting karena
sering disertai keterbatasan pemasukan kalori.
iii.Protein
Kebutuhan anak akan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan
protein utuh. protein hidrolisat, asam amino atau gabungan.
iv. Vitamin dan mineral
Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi pada anak kendatipun
dan pemasukan kalori yang cukup apabila terdapat malabsorbsi
lemak. atau terjadi interaksi obat/nutrien dengan diet yang sangat
khusus.
 Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang
mengandung glukosa primer, bebas laktosa mengandung protein
hidrolisat, medium chain triglyceride, osmolaritas kurang sedikit dari 600
mOsm/l. dan bersifat hipoalergik. (Pregestimil). atau yang mengandung
short chain peptide (Pepti Yunior).
 Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan. mula-mula
dianjurkan konsentrasi 1/3 IV, selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral:
Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 9
Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

1/3 IV. dan bila keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB minimal 1 kg)
diberikan pregestimil dalam konsentrasi penuh.
 Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak
mampu atau tidak mau menerima makanan secara oral, namun keadaan
saluran gastrointestinalnya masih berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan
dengan meningkatkan kecepatan dan kadar formula secara bertahap
sampai mencapai kebutuhan nutrisi anak.
 Komplikasi nutrisi enteral :
- Hidrasi berlebih.
- Hiperglikemia.
- Azotemia (konsumsi protein berlebih).
- Hipervitaminosis K.
- Dehidrasi sekunder karena diare.
- Gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat muntah dan diare).
- Gagal tumbuh sekunder akibat pemasukan energi tidak cukup.
- Aspirasi.
- Defisiensi nutrisi sekunder karena kesalahan formula.
b. Nutrisi Parenteral
 Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
tubuh melalui Jalan intraven. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa,
asam amino, emulsi lemak, mineral, vitamin, trace elemen. Jalur ini jangan
digunakan apabila penderita masih mempunyai saluran gastrointestinal
yang masih berfungsi serta masih dimungkinkan pemberian secara
peroral, enteral atau gastrostomi. Pada umumnya tidak digunakan untuk
waktu kurang dari 5 hari.
 Indikasi nutrisi Ament ME, 1993 :

Penyakit yang Diperkirakan Berlangsung 7


Disfungsi Usus
Hari
Intractable Pankreatitits berat
vomiting
Diare Penyakit usus beradang berat. intoleransi
Ileus Makanan enteral
Obstruksi usus Karena trauma/pembedaan berat atau sepsis
halus
Malabsorbsi Kanker pseudo-obstruksi intestinal
Penghentian Kerusakan mukosa parah. sindroma usus pendek
makanan enteritis
Peroral > 7 hari Fistula enterokutan. ileus transplantasi
radiasi
 Kebutuhan pada nutrisi parenteral :
.a Kalori :

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 10


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Kebutuhan kalori per berat badan (Ament, 1993) :

Perkiraan Kebutuhan Kalori Per Hari


Umur
(Kkal/Kg)
Neonatus
Berat Badan 150
Lahir Rendah
Berat Badan 100 – 200
Lahir Normal
Anak 0 – 10 kg 100
11 – 20 kg 1.000 kkal/kg + 50 kkal/kg untuk setiap kg > 10 kg
> 20 kg 1.500 kkal/kg + 20 kkal/kg untuk setiap kg > 20 kg

Pada beberapa keadaan diperlukan penambahan kebutuhan kalori:


panas (12% per setiap setiap kenaikan 1°C di atas 37°C) gagal jantung
(15-20%), pembedahan besar (20-30%), kombusio (sampai 100%),
dan sepsis berat (25%).
b. Cairan :
Kebutuhan cairan sesuai umur (Ament ME, 1993)

Berat Badan Kebutuhan Cairan (ml/kg)


< 10 kg 100 ml
10 – 20 kg 1.000 ml + 50 ml/kg untuk setiap kg > 10 kg
< 20 kg 1.500 ml + 20 ml/kg untuk setiap kg > 20 kg

c. Karbohidrat :
 Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non protein yang
memberikan 3,4 kka1/gram dalam bentuk monohidrat.
 Keterbatasannya adalah terjadinya phlebitis apabila kadar > 10-
12,5%.
 Pemberian dilakukan secara bertahap untuk memberikan
kesempatan respon tubuh dalam memproduksi insulin endogen dan
mencegah terjadinya glikosuria.

d. Asam amino
Kebutuhan asam amino menurut usia (Ament ME, 1993) :
Umur Kebutuhan Mulai pemberian
Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 11
Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

(gr protein/kg/hari)
Bayi prematur 2,5 – 3 0,5 gram protein/kg/hari
dinaikan 0,5 gram
protein/kg/hari.
Bayi 0 – 1 2,5 – 3 1 gram protein/gram/hari
tahun dinaikan 0,5 gram.
Anak 2 – 13 1,5 – 2 protein/kg/hari per hari.
tahun
Remaja – 1 – 1,5
Dewasa
e. Lemak :
 Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak menyediakan asam
lemak essensial untuk pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang
perkembangan yang normal.
 Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan 10% (1 kkal/ml)
dan 20% (2 kka1/ml).
 Minimal 2-4% dari kebutuhan kalori total diberikan berupa lemak
intravena untuk menghindari terjadinya defisiensi asam lemak. yang
dapat dicapai dengan penggunaan 0,5-1 gram emulsi
lemak/kg/hari.
 Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada neonatus dalam 2 hari
dengan tanda kecepatan pertumbuhan yang lambat, kulit kering
bersisik, pertumbuhan rambut berkurang. trombositopeni, peka
terhadap infeksi dan gangguan penyembuhan luka.
f. Elektrolit :
Kebutuhan elektrolit intravena (Ament ME, 1993) :

Dosis Anak
Dosis Bayi
Elektrolit (mEq/kg/24
(mEq/kg/24 jam)
jam)
Na 3–4 2–8
K 2–3 2–6
Cl 2–4 0–6
Ca 0,5 – 1 0,9 – 2,3
Fosfat 2 1 – 1,5
Mg 0,25 – 0,5 0,25 – 0,5

g. Trace Element :
Kebutuhan trace element :

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 12


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Kebutuhan Bayi Kebutuhan Anak


Elemen (mg/kg/hari) (mg/kg/hari) dan
Kebutuhan
Prematur Matur Maksimum/hari
Na 3–4 2–8
K 2–3 2–6
Cl 2–4 0–6
Ca 0,5 – 1 0,9 – 2,3
Fosfat 2 1 – 1,5
Mg 0,25 – 0,5 0,25 – 0,5

Medikamentosa :
a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu diberikan karena
tidak satupun yang memberikan efek positif.
b. Obat anti mikroba :
Pada umumnya tidak dianjurkan, bahkan dapat mengubah flora usus dan
memperburuk diare. Kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat
(sepsis), anak dengan defisiensi imunologi dan anak dengan diare kronis
yang sangat berat, dianjurkan pemberian antimikroba. Sedangkan
metronidazole efektif untuk Giardia lamblia.
c. Kortikosteroid :
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema steroid pada tahap
awal memberikan respon yang baik, dan pada beberapa anak mendapat
kombinasi dengan steroid sistemik.
d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada penyakit Chron
apabila pengobatan konvensional tidak mungkin.
e. Kolestiramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama
malabsorbsi asam empedu serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat
toksin).
f. Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-kasus bedah seperti
penyakit Hirschprung, enterokolitis nekrotikans. Namun hanya dilakukan
setelah keadaan umum membaik.

GASTRITIS

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 13


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

1. Diagnosis :
Diagnosis gastritis dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dyspepsia, mua1,
muntah, dan nyeri epigastrik. Gastritis dengan keluhan yang berat, kronik dan
beru1ang dilakukan pemeriksaan endoskopis.
2. Penatalaksanaan :
1) Terapi diet disesuaikan dengan toleransi penderita, sebaiknya lunak, mudah
dicema dan tidak merangsang.
2) Terapi obat, diberikan berdasarkan gejala yang predominan. Obat-obatan
yang dapat di berikan :
 Untuk mengurangi faktor agresi asam lambung diberikan antasida 3 ka1i
sehari atau cimetidine 5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari
 Untuk menekan muntah yang berlebihan diberikan metoklopramide 0,15-
0,3 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari.
 Antibakterial diberikan untuk eradikasi Campylobacter pylori, diberikan
Amoksigilin 50 mg/kgBB/hari 4 kali sehari, Clarithromycin 7,5-15
mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2 ka1i sehari, ditambah PPI
(Omeprazole) dengan dosis 0,4-0,8 mg/kg/dosis 1 kali sehari.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 14


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
(CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON)

Adalah suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada
dinding usus. Berdasarkan panjang segmen yang terkena dapat dibedakan menjadi
2 tipe, yaitu :
 Penyakit Hirschsprung segmen pendek.
Merupakan 70% dari kasus. Segmen aganglionosis mu1ai dari anus sampai
sigmoid. Lebih sering pada anak laki-Iaki daripada anak perempuan.
 Penyakit Hirschsprung segmen panjang
- Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai
seluruh kolon atau sampai ke usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak
perempuan dan anak laki-laki.
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala k1inik, pemeriksaan colok dubur
dan pemeriksaan penunjang yaitu foto x-ray dengan enema barium, dengan
tehnik Hirschprung.
Gejala Klinik :
Pada bayi baru lahir, mekonium terlambat keluar, atau keluar pada minggu pertama
sehingga terjadi obstruksi parsial dan total disertai muntah, distensi abdomen, dari
feses tidak dapat dikeluarkan. Pada colok dubur, jari akan merasakan jepitan dan
pada waktu keluar akan diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium feses yang
menyemprot. Pada anak yang lebih besar, gejala konstipasi kronis, kadang-kadang
diare dan biasanya disertai gagal tumbuh. Pada foto polos abdomen ter1ihat usus-
usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah. Pada foto barium
enema ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di
segmen yang menyempit. Diagnosis pasti dengan biopsy rectal, dengan gambaran
PA tidak ditemukan sel ganglion di submukosa.
Penatalaksanaan :
Kolostomi diikuti operasi Pullthrough, pada usia 6-12 tahun dengan metode
Swenson Duhamel.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 15


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

DIVERTICULUM MECKEL

Adalah suatu keadaan terdapatnya gaster pancreas ektopik. Biasanya terletak 50-75
cm dari proksimal ileocaecal junction pada bagian antimesenterik intestinal. Asam
atau sekresi pepsin dari mukosa yang ektopik dapat menyebabkan ulkus sehingga
terjadi perdarahan yang dapat menjadi masif. Biasanya perdarahan tanpa disertai
rasa sakit, timbu1 secara periodik dan tanpa disertai feses. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan technitium scan (akurasi 90%). Diagnosis pasti
diperoleh saat operasi.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 16


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

AKALASIA ESOPHAGUS

 Adalah kelainan esophagus primer yaag ditandai dengan adanya Obstruksi


esofagogastrik junction dengan karakteristik bertambahnya tekanan sfingter
esophagus bagian bawah dan tidak adanya peristaltik esophagus.
 Gangguan motilitas esophagus akibat peristaltik yang melemah dan adanya
kontraksi yang menetap pada sfingter esophagus bagian bawah menyebabkan
obstruksi relatif di mana bagian proksimal esophagus melebar (megaesofagus).
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan radiologis.

Anamnesis :
Adanya gejala klinik yang sering berupa :
1. Disfagia :
Perjalanan penyakit biasanya kronis dengan disfagia yang bertambah berat.
Berat ringannya disfagia menurut British Oesophageal Surgery dibagi menjadi 5
tingkat, yaitu :
 Tingkat 0 : normal.
 Tingkat 1 : tidak dapat menelan makanan padat.
 Tingkat 2 : tidak dapat menelan makanan daging halus.
 Tingkat 3 : tidak dapat menelan sup atau makanan cair.
 Tingkat 4 : tidak dapat menelan ludah.
2. Nyeri dada : Gejala kurang menonjol pada permulaan penyakit. Rasa nyeri
biasanya di substernal dan dapat menjalar ke belakang bahu, rahang dan
lengan, timbul bila makan/minum dingin.
3. Regurgitasi : Timbul tidak hanya berhubungan dengan bentuk/jenis makanan
tetapi juga berhubungan dengan posisi. Bila penyakit makin kronis, maka pada
saat penderita berbaring sisa makanan dan saliva yang terdapat pada kantong
esofagus dapat mengalir ke faring dan mulut sehingga akhirnya dapat
menimbulkan aspirasi pneumonia.
4. Kehilangan berat badan.
Pemeriksaan Radiologis :
1. Foto thoraks polos :
Bermakna bila esofagus mengalami dilatasi yang hebat. Foto AP akan tampak
bayangan yang menonjol ke arah jantung. Pada foto lateral akan tampak adanya
bayangan di posterior jantung. Terdapat gambaran air fluid level di dalam
esofagus, tak tampak gelembung udara di daerah gaster.
2. Esofagografi :
Stadium permulaan adanya obstruksi kardia dan pelebaran minimal dari
esofagus. Stadium lanjut adanya penyempitan pada bagian distal esofagus pada
Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 17
Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

batas esofagogastric junction dengan pelebaran pada bagian proksimalnya.


Terdapat gambaran menyerupai paruh burung, beak like appearance atau mouse
tail appearance. Pemeriksaan ini penting untuk menyingkirkan kelainan seperti
striktura esofagus dan keganasan. Pada akalasia, esofagoskopi masih bisa
dimasukkan ke dalam lambung dengan hambatan ringan dan dapat terlihat
dilatasi esofagus, mukosa lembek agak edema, tanda-tanda esofagitis dan
penutupan sfingter esofagus distal.
3. Pemeriksaan Manometer :
Setelah menelan, tekanan daerah sfingter esofagus menguat 2 kali normal
akibat dilatasi dan retensi makanan.

Diagnosis Banding :
 Ca cardia.
 Spasme cardia.
 Striktura esofagus dekat diafragma.
 Hipermotilitas.
 Penyakit cagas.

Komplikasi :
 Aspirasi pneumonia.
 Perdarahan ulkus dalam mukosa.
 Perforasi akut.
 Ca esofagus.
 Ca lambung.

Penatalaksanaan :
1. Konservatif
a. Diet cair /lunak dan hangat
b. Medikamentosa
 Sedatif ringan untuk penenang.
 Preparat kalsium antagonis seperti verapamil atau nifedipin oleh karena
dapat menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Nifedipin
diberikan 10-20 mg sublingual dapat menurunkan tekanan esofagus
bagian bawah kurang lebih 1 jam akan tampak perbaikan gejala bila
diberikan sebelum makan.

2. Tindakan aktif
a. Forced dilatation : dilakukan pada akalasia ringan sedang. Ada 3 macam
dilatator :
- Mekanik.
- Pneumatik.
- Hidrostatik.
b. Tindakan bedah yaitu: operasi Heler, melakukan esofagomiotomi.
Komplikasi yang timbul adalah : - Perforasi.
- Paralisis N. Phrenicus.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 18


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

- Refluks gastroesofagal.
- Perdarahan masif. -Disfagia.

ILEUS OBSTRUKSI

a. Definisi: gangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus.

b. Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
 Muntah.
 Sakit perut, kolik.
 Tidak ada BAB dan flatus.
 Kembung.
 Riwayat operasi usus.
Pemeriksaan fisik :
 Distensi usus.
 Metallik sound.
 Darm contour.
 Bising usus meningkat.
 Tanda-tanda dehidrasi.
Radiologis :
Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder.
Diagnosis Banding :
1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :
 Stenosis pilorus.
 Atresia atau stenosis duodenum.
 Atresia atau stenosis jejunum.
 Ileus mekonium.
 Volvulus.
 Hirschsprung.
2. Didapat :
 Intususepsi.
 Bolus askaris.

Terapi : Operatif.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 19


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

KISTA DUKTUS KOLEDOKUS

Definisi :
Pelebaran saluran empedu baik ekstra maupun intrahepatik.
Penyakit ini jarang ditemukan, meskipun begitu di Asia terutama Jepang, cukup
sering ditemukan.
Etiologi : belum diketahui secara pasti karena banyak faktor yang berperan.
Manifestasi Klinis:
Klasik berupa trias : - Ikterus.
- Nyeri perut yang hilang timbul.
- Massa tumor pada perut kanan atas.
Diagnosis :
Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, ditemukan
peningkatan kadar bilirubin, transaminase, alkalin fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase dan kadar amylase. USG mempunyai ketepatan diagnosis yang
tinggi untuk diagnosa dini, dimana terlihat gambaran massa tumor yang
berbatas tegas ekolusen di daerah kanan atas. Diagnosis pasti untuk untuk
menentukan tipe kista dengan kolangiografi.
Klasifikasi :
Klasifikasi kista koledokus berdasarkan kelainan anatomi :
 Tipe I : Tipe kistik dan fusiform/dilatasi segmental dari duktus
biliaris ekstra hepatik. Jenis ini paling sering ditemukan.
 Tipe II : Dilatasi sakulat tunggal/divertikulum dari duktus biliaris
ekstra hepatik
 Tipe III : Dilatasi intraduodenal/koledokel dari duktus biliaris.
 Tipe IV A : Kombinasi dilatasi intra dan ekstra hepatik.
 Tipe IV B : Dilatasi multipel dari duktus biliaris ekstra hepatik.
 Tipe V : Dilatasi difus duktus biliaris intra hepatik (penyakit caroli).
Penatalaksanaan : Penatalaksanaan dengan tindakan bedah yaitu eksisi total.
Prognosis :
Prognosis tergantung dari :
 Kerusakan hepar.
 Baik tidaknya drainase.
 Berkembang tidaknya menjadi kolestasis.
 Berulang tidaknya kista.
 Berkembang atau tidaknya menjadi ganas.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 20


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

INVAGINASI

Terjadi karena bagian usus proksimal berinvaginasi ke dalam bagian usus sebelah
distalnya. Bagian yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang dimasuki
disebut intususipien.
Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
 Nyeri perut.
 Berak berdarah dan berlendir.
 Muntah.

Pemeriksaan Fisik : ditemukan massa berbentuk pisang pada kuadran kanan


atas.
Pemeriksaan Penunjang :
a. Foto polos 3 posisi. Dapat memberikan gambaran obstruksi usus pada
stadium lanjut penyakit.
A. Barium Enema :
 Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi dan
gambaran pegas (coiled spring).
 Berguna untuk mereduksi usus yang tekena, merupakan pilihan pada
semua bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24 jam. Berbahaya
bila keadaan umum jelek dan peritonitis karena tekanan enema dapat
mengakibatkan perforasi usus.
c. USG
 Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal
 Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal
Penatalaksanaan :
 Kasus gawat darurat bedah :
1. Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi).
2. Pembedahan (laparatomi eksplorasi).
 Tindakan yang harus dilakukan sebelumnya adalah memperbaiki keadaan
umum penderita yaitu memperbaiki cairan dan elektrolit, dekompresi
dengan NGT.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 21


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

Batasan :
terjadinya perdarahan pada saluran cerna proksimal dari ligamentum Treitz.

Etiologi :
 Kelainan mukosa (erosi, ulkus dan peradangan).
 Kelainan vaskuler (varises, hemangioma, vaskulitis).
 Koagulopati.
 Kelainan anatomi: duplikasi esofagus/gaster.

Patofisiologi :
 Perdarahan kronis: anemia defisiensi
 Perdarahan akut/banyak: syok dengan segala akibatnya

Bentuk Klinis :
 Perdarahan nyata: hematemesis/melena.
 Perdarahan tersamar.

Langkah Diagnosis :
a. Keadaan umum :
 Cari gangguan hemodinamik.
 Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10 menit
sampai tanda vital membaik.
 Transfusi darah bila diperlukan.
 Observasi perdarahan.
b. Anamnesis :
 Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.
 Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : Sindrom Mallory Weiss.
 Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.
 Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.
 Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus.
c. Pemeriksaan fisik yang dapat membantu.
 Tanda-tanda sianosis, peningkatan tekanan v. porta : varises.
 Luka bakar luas, penyakit infeksi, SSP: ulkus stress.
 Hemangioma/telangiektasis: kelainan vaskuler.
 Eritema pada kulit, kelainan ginjal: sindrom Henoch Schonlein.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 22


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Penatalaksanaan :

Bayi ≤ 6 Bulan Anak / Bayi > 6 Bulan

APT Test Hematemesis


Neonatus / Melena

(-) (+) Darah Ibu Bendungan Bendungan


Hepar/Lien (+) Hepar/Lien (-)

Singkirkan
Endoskopi Endoskopi
Kelainan Tentukan
Peradarahan Viabilitas
Hepar
Ba Meal Ba Meal
Hematemesis
/ Melena Ulkus peptikum
Konsul Bedah Gastritis
Varises Esofagus Sind. Mallory

Tanda Tanda Tatalaksana Angiografi


NEC (+) NEC (-) Hipertensi Portal Hematobilia

BNO 3 Posisi Entero Test


Serial Duodenal
Kapsul

Tatalaksana NEC/
Peritonitis Primer Irigasi
Saline

Di atas Lig. Di bawah


Treitz Lig. Treitz

THT/GE
Endoskopi

Esofagitis, Varises, Ulkus Peptikum

KOLESTASIS
Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 23
Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Definisi
Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya
terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya
ikterus, akibat peninggian kadar bilirubin direk > 2 mg/dL dan komponen
bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin total.

Insiden
Kolestasis pada bayi terjadi pada 1 : 2500 kelahiran hidup
Berdasarkan etiologinya : - hepatitis neonatal 1 : 5000 kelahiran hidup
- atresia bilier 1 : 10.000 kelahiran hidup
- defisiensi α 1 antitripsin 1 : 20.000
Etiologi
Berdasarkan etiologinya, kolestasis diklasifikasikan menjadi :
I. Kelainan Ekstrahepatik
a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c. Perforasi spontan duktus bilier
d. Massa (neoplasma, batu)
e. Inspissated bile syndrome
II. Kelainan Intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain:
a. Displasia arteriohepatik (sindroma alagille)
b. Sindroma Zellweger (sindroma serebrohepatorenal)
c. Intrahepatic bile duct poucity
B. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil
2. Penyakit coroli (pelebaran kista pada duktus intrahepatik)
C. Kelainan Metabolisme
1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat dan asam
empedu
2. Kelainan metabolik tidak khas : defisiensi α 1 antitripsin, dll
D. Hepatitis
1. Infeksi, antara lain TORCH, virus Hepatitis B, Reovirus tipe e, dll
2. Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan
kemungkinan endotoksemia
E. Genetik atau kromosomal trisomi E, sindrom down, sindrom donahue
F. Lain-lain : obstruksi intestinal, histiosis X, sindroma polispenia

Patogenesis
Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 24
Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Kelainan yang dapat menyebabkan terjadinya kolestasis


• pada hepatosit, misalnya akibat kerja estradiol yang menurunkan aliran
garam empedu
• pada membran hepatosit, misalnya pada defisiensi Na-K-ATPase yang
berfungsi sebagai pompa natrium
• pada permukaan membran yang mengarah ke dalam saluran empedu,
misalnya pemberian obat seperti klorpromazin, karena mengganggu fungsi
mikrofilamen hingga penetrasi garam empedu ke membran terganggu
• Gangguan pada saluran empedu yang terjadi didalam hari (intrahepatik) atau
di luar hati (ekstrahepatik)

Diagnosis :
Manifestasi Klinis :
Anamnesis : saat timbulnya ikterus, lama ikterus, warna tinja,
perdarahan, riwayat keluarga, riwayat kehamilan dan
kelahiran.
Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali
dan tanda perdarahan.
Alagille mengemukakan 4 kriteria klinis yang terpenting untuk membedakan
kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Sedangkan Meyer menambahkan 1
kriteria gambaran histopatologik hati.
Kriteria klinis menurut Alagille meliputi :
Kolestasis Kolestasis
No
Data Klinis Ekstrahepat Intrahepati P
.
ik k
1. Warna tinja selama dirawat :
- Pucat 79% 26% *
- Kuning 21% 75%
2. Berat badan lahir (gram) 3,226 + 45 2,678 + 55 *
3. Usia tinja akolik (hari) 16 + 1,5 30 + 2 *
4. Gambaran klinis hati
- Hati normal 13% 47%
- Hepatomegali
 Konsistensi normal 12% 35% *
 Konsistensi padat 63% 47%
 Konsistensi keras 24% 6%
5. Biopsi hati **
- Fibrosis porta 94% 47%
- Proliferasi duktural 86% 30%
- Thrombus empedu intraportal 63% 1%
* Kemaknaan << 0.001 **Modifikasi Meyer

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 25


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
a. Rutin
 Darah lengkap, uji fungsi hati SGOT, SGPT, gamma GT, alkali fosfatase,
waktu protrombin dan tromboplastin, ureum, kreatinine,
elektroforesis protein, asam empedu setam
 Bilirubin urine positif
 Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk.
22.00-06.00) dan adanya empedu dalam tinja.
b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi
dengan menggunakan sonde (Levine tube).

2. Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
akurasi diagnostik USG 77%, dilakukan pada tiga fase yaitu pada keadaan
puasa, saat minum dan sesudah minm. Apabila pada saat atau sesudah
minumkandung empedu tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan
besar (90%) diagnosis atresia bilier dapat ditegakkan.
b. Scintigrafi hepar
Pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal, tetapi dalam waktu
waktu > 6 jam tidak ditemukan eksresi ke usus. Untuk meningkatkan
sensitivitasnya dilakukan perhitungan indeks hepatik (penyebaran isotop
di hati dan jantung) bila pada menit ke 1o indeks < 4,3 merupakan
petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik scintigrafi dapat digabungkan
dengan pemeriksaan DAT dengan akurasi 98,4%
c. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi
operatif dengan anestesi lokal. Bila terbukti atresia bilier, dilakukan
eksplorasi lebih jauh dengan anestesi umum.

3. Biopsi hepar
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi
eksplorasi
• Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi duktus
dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler
masih normal
• Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus
yang disertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran
lobul yang kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis porta dan
proliferasi duktus ringan.

KOLITIS ULSERATIF
Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 26
Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Reaksi radang difus yang ditandai oleh infiltrat neutrofil dengan abses kripta yang
mengenai usus besar bagian distal yang dapat meluas ke proksimal sepanjang
kolon dengan panjang bervariasi.
Etiologi : idiopatik.
Diagnosis :
 Manifestasi klinis : - Diare kronik dengan darah segar.
- Tidak dapat menahan defekasi.
- Tenesmus dan kejang (kram) pada perut bagian
bawah terutama sesaat sebelum defekasi.
 Mikrobiologi.
 Serologi.
 Kolonoskopi.
 Biopsi.

Penatalaksanaan :
 Hidrokostison enema 100 mg pada waktu tidur selama 6 minggu.
 Prednison oral 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-4 bulan, dosis penuh dibarikan
selama 6 minggu kemudian diturunkan 5 mg/hari setiap minggu.
 Pada kasus gawat darurat dapat dilakukan kolektomi.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 27


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

HIPERTROFI STENOSIS PILORUS

Definisi :
Hipertrofi dari otot sirkuler pilorus yang menyebabkan obstruksi pintu keluar
lambung.

Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
 Muntah proyektil tidak mengandung empedu (paling sering muncul pada
minggu ke 3-6).
 Muntah terjadi segera sesudah anak kenyang.
 Konstipasi.
 BB tidak naik diikuti BB menurun.
 Dehidrasi.
 Jaundice.

Pemeriksaan fisik :
a. Tampak gerakan peristaltik lambung.
b. Teraba massa (hipertrofi otot pilorus) di perut kanan atas.
Pemeriksaan penunjang :
a. Foto polos abdomen:
 Penyempitan lumen pilorus (string sign).
 Tampak bayangan lambung sangat besar dan berisi udara.
b. USG :
Akurasi 95%. Target sign adalah gambaran khas penebalan mukosa pilorus
pada stenosis pilorus lebih dari 14 mm.
c. Laboratorium :
 Alkalosis metabolik.
 Hipokalemia.
 Hiponatremia.
Penatalaksanaan :
a. Operatif
 Teknik operasi Fredet-Ramstedt (piloromiotomi).
b. Non operatif
 Diberikan makanan kental dalam porsi sedikit tetapi sering.
 Penderita ditaruh dalam posisi setengah duduk selama 1 jam setelah
makan.
 Obat Metoklorpramid 0,15-0,3 mg/kgBB/kali 4 kali sehari.
4. Prognosis :

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 28


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

 Prognosis baik bila dilakukan tindakan operatif.


 Pada tindakan non operatif angka kematian meningkat dan apabila
penderita dapat hidup akan terjadi kurang gizi.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 29


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 30


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN

Diagnosis keracunan makanan / minuman biasanya ditentukan berdasarkan


anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan jenis racunnya sendiri.
Dari anamnesis dicurigai kasus keracunan makanan/minuman apabila terdapat 1
orang atau lebih yang menunjukkan gejala keracunan yang sama setelah
mengkonsumsi makanan/minuman yang sama atau bila pihak keluarga penderita
mengkaitkan kasusnya dengan kecurigaan keracunan makanan.
Spesimen yang harus disimpan / diselamatkan dalam kasus keracunan
makanan/minuman adalah :
- Bahan makanan yang dicurigai penyebab racun.
- Muntahan penderita.
- Feses penderita.
Dari lamanya terjadi keracunan setelah penderita mengkonsumsi
makanan/minuman tersebut, secara garis besar dapat dibedakan penyebabnya :
1. Bahan kimia : < 1 jam.
2. Eksotoksin dari kuman : < 8 jam.
3. Endotoksin dari kuman : > 8 jam.
4. Kuman tersebut : > 24 jam.
Prinsip pengobatan keracunan secara umum adalah :
1. Menentukan secepat mungkin penyebab keracunan dengan pemeriksaan klinis,
laboratorium toksikologis, kecepatan mendapatkan contoh darah, urin, feses,
muntahan penderita serta bahan makanan/minuman yang dicurigai menjadi
penyebab keracunan.
2. Mengeluarkan racun dari lambung, dengan cara membuat penderita muntah
atau tindakan bilas lambung.
3. Pemberian antidotum yang sesuai.
4. Pengobatan simptomatik dan suportif.
Yang terpenting di antara keempat prinsip tersebut adalah pemberian antidotum,
tetapi bila antidotum tidak tersedia maka pengobatan simptomatik dan suportif
memegang peranan penting.
a. Keracunan Jamur
Antidotum yang diberikan adalah antimuskarinik berupa Atropin dengan dosis
1-2 mg dapat diberikan setiap 30 menit secara subkutan sampai gejala
menghilang atau terjadi gejala atropinisasi.
b. Keracunan Singkong
Diberikan antidotum Natrium tiosulfat 30% sebanyak 30cc, secara IV perlahan-
lahan. Mula-mula diberikan diberikan 10cc IV, kemudian anak dicubit untuk
mengetahui apakah kesadarannya telah pulih, bila belum sadar dapat diberikan
10 cc lagi sampai dosis maksimal. Bila terjadi sianosis dapat diberikan oksigen.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 31


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

NYERI PERUT BERULANG

Definisi :

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 32


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Serangan sakit perut yang timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka
waktu tiga bulan dan mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari.
Etiologi :
Sakit perut berulang dapat dibagi menurut penyebab gastrointestinal dan non
gastrointestinal, dan keduanya dibagi lagi menjadi sakit perut bedah dan non
bedah.
1). Sakit perut non bedah :
a. Traktus gastrointestinalis dan mesenterium.
1. Kolik.
2. Ulkus peptikum.
3. Zollinger-Ellison Syndrome.
4. Gastritis.
5. Adenitis Mesenterika.
6. Kiste mesenterika.
7. Konstipasi.
b. Traktus Urinarius.
1. Penyakit pada traktus urinarius.
2. Henoch-Scholein Purpura.
c. Hepar dan kandung Empedu.
1. Hepatitis.
2. Perihepatitis.
3. Kolesistitis akut.
4. Kolelitiasis.
d. Lien.
1. Pembesaran lien congestive.
e. Pankreas.
1. Pankreastitis akut.
2). Sakit perut akut bedah :
a. Traktus gastrointestinalis.
1. Appendisitis.
2. Intussusepsi.
3. Intestinal Malrotasi.
4. Volvulus.
5. Divertikulum Meckel.
6. Hernia inkarserata.
7. Obstruksi intestinal.
b. Traktus Urinarius.
1. Calculus Renal.
c. Tumor Hepar.
d. Lien.
1. Trauma yang menyebabkan ruptur lien.
Patogenesis :

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 33


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Mekanisme timbulnya sakit perut organik :


1. Gangguan vascular.
2. Peradangan.
3. Obstruksi organ berongga di ruang peritoneum atau retroperitoneum.
4. Penarikan dan peregangan peritoneum viseralis.
Gambaran Klinis :
Pada bayi dan anak, manifestasi klinis sakit perut bergantung pada umur
penderita.
 Umur 0-3 bulan : umumnya digambarkan dengan adanya muntah.
 Umur 3 bulan-2 tahun : muntah tiba-tiba, menjerit, menangis tanpa
adanya trauma yang dapat menerangkan terjadinya
gejala.
 Umur 2-5 tahun : sudah dapat menyatakan sakit tetapi lokalisasinya
belum tepat.
 Umur > 5 tahun : dapat menerangkan sifat dan lokasi yang dirasakan
sakit.
Diagnosis dan Penatalaksanan :
a. Anamnesis :
 Timbulnya rasa sakit.
 Onset dan lamanya sakit.
 Kwalitas dan berat ringannya.
 Lokalisasi sakit perut.
 Demam.
 Mual, muntah atau diare yang berhubungan dengan sakit perut.
 Ciri-ciri dari muntah atau diare.
 Perubahan kebiasan defekasi, konsistensi dan warna feses.
 Faktor- factor yang memperingan dan memperberat sakit perut.
 Terapi yang sudah diberikan.
 Riwayat trauma.
 Riwayat pernah dirawat sebelumnya.
b. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan yang terbaik adalah pada waktu serangan, harus lengkap
dengan titik berat pada abdomen.
 Pengamatan.
 Secara umum penderita tampak tidak anemia, turgor normal, sirkulasi
normal.
 Tanda vital : temperature harus diperhatikan.
 Periksa tanda-tanda peradangan dan proses infeksi pada kepala, mata,
telinga, hidung, tenggorokan, seperti faringitis, OMA, dll.
 Dada : perhatikan pergerakan dada, retraksi, frequensi respirasi.
 Abdomen :
- Pengamatan bentuk perut.
- Distensi / ketegangan dinding perut baik sebelum atau

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 34


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

- Sesudah rangsangan tangan (palpasi).


- Adanya cairan bebas, bising usus diseluruh perut meningkat atau
menurun sampai negatif.
- Perlu dicari tanda akut abdomen yaitu dinding abdomen yang kaku,
defence musculare, nyeri tekan, nyeri lepas.
- Pada pemeriksaan di luar abdomen, cari kemungkinan adanya hernia
strangulata, hernia inguinalis yang menyebabkan obstruksi dan
peritonitis.
 Rektum :
Pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan abnormalitas sfingter
internal atau eksternal, adanya massa feces, warna, konsistensi, darah.
 Sistem Genitourinaria :
Perhatikan di daerah genitalia adanya trauma, discharge, peradangan
nyeri pada anak remaja periksa daerah pelvis, evaluasi adanya trauma,
infeksi peradangan, besarnya uterus, dan massa.
c. Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan rutin darah, urin, tinja perlu dilakukan. Jika ada kelainan
dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus : WBC dengan hitung jenis, sedimen
urine, urinalisis, kultur urin / tinja.
d. Ada obstruksi intestinal : foto polos abdomen.
e. Sakit perut berulang perlu dilakukan pemeriksaan barium meal, barium
enema, endoskopi, USG.
Penanganan :
Ditentukan apakah penyakitnya membutuhkan tindakan bedah atau tidak. Bila
tidak ditemukan kedaruratan perut, penyebab sakit perut harus dicari dan
diberi pengobatan yang sesuai.

KOLESISTITIS

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 35


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Definisi :
Kolesistitis adalah peradangan pada kantung empedu yang dapat akut atau
kronik.
Etiologi :
a. Kolesistitis akut :
- Stasis garam empedu : Obstruksi (batu empedu, nodus limfatikus,
tumor), kelaparan dan imobilisasi.
- Inflamasi : garam empedu, lysolecitin, bakteri.
- Iskemi : torsi, penyakit vaskuler.
b. Kolesistitis kronik : obstruksi berulang dan inflamasi.
Gejala Klinis :
a. Nyeri abdomen.
b. Kwadran kanan atas.
c. Epigastrium.
d. Menyebar ke belakang, bahu.
e. Mual.
f. Intoleran makanan lemak.
Tanda :
a. Abdomen tegang.
b. Kuning.
c. Demam.
d. Teraba massa.
Diagnosis :
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.
b. Laboratorium :
 Rutin : Hb, Lekosit, Hitung jenis.
 Test faal hati : bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali fosfatase.
c. Radiologis : Perlu di buat foto polos abdomen, untuk mendeteksi ada atau
tidaknya batu empedu radio opak.
d. USG :
 Pemeriksaan USG lebih banyak membantu menentukan diagnosis.
 Gambaran USG dari kolesistitis akut :
- Penebalan dinding kandung empedu lebih dari 3 cm.
- Pada dinding yang menebal terlihat suatu daerah bebas gema
diantara lapis luar dengan lapisan dalam, sehingga terlihat tanda
dinding yang rangkap atau disebut Double Rim Sign. Hal ini
disebabkan karna adanya edema di dinding kandung empedu.
- Terdapat tanda Murphy Ultrasonik yaitu terasa nyeri pada saat
transduser sedikit di tekan diatas daerah kandung empedu.
- Terdapat pembesaran kandung empedu.
- Selain tanda-tanda tersebut di atas perlu dicari penyebabnya.
- Sebagai penyebab terbanyak yaitu batu empedu, yang akan terlihat
sebagai suatu massa padat berdensitas gema meninggi, disertai
Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 36
Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

bayangan akustik. Pada perubahan posisi massa tersebut akan ikut


bergerak.
Diagnosis Banding :
a. Apendisitis akuta.
b. Pankretitis akuta.
c. Komplikasi dari tukak peptik (perforasi).
d. Obstruksi Intestinal.
Pengobatan :
a. Pengobatan kolesistitis termasuk hospitalisasi, hidrasi dengan cairan IV,
koreksi abnormalitas elektrolit dan penghentian makanan oral.
b. Medikasi (misalnya Meperidine hidroklorida) harus diberikan untuk
mengurangi nyeri.
c. Antibiotika, termasuk ampisilin dan gentamisin digunakan untuk
mengobati kolesistitis akut karena mereka diekskresikan dalam empedu
atau melindungi organ enteric secara adekuat. Sefalosporin generasi kedua
atau ketiga dapat digunakan sebagai alternatif.
d. Kolesistektomi laparoskopik adalah pengobatan pilihan untuk manajemen
kolesistitis akut tanpa komplikasi.
Indikasi utama untuk pembedahan :
1. Ketidakpastian mengenai diagnosis ditambah dengan iritasi peritoneal
perut bagian atas yang jelas
2. Kegagalan terhadap pengobatan non operatif :
 Demam terus menerus lewat 24 jam.
 Tanda-tanda iritasi peritoneal yang tak berubah atau semakin lanjut.
 Perkembangan atau pembesaran massa yang progesif.
 Perkembangan peritonitis umum.

Komplikasi :
 Perforasi.
 Peritonitis empedu.
 Obstruksi bilier.
 Sirosis bilier.
 Kanker kandung empedu.

Prognosis :
Angka mortalitas keseluruhan untuk kolesistitis akut dan kronik < 2 %.

PERITONITIS TUBERKULOSA

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 37


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai yaitu sekitar 1-5%
dari kasus TB anak.
1. Etiologi : Mycobacterium tuberkulosa.
2. Patogenesis :
 Peritonitis TB didahului oleh infeksi M. tuberculosis yang menyebar secara
hematogen ke organ di luar paru termasuk di peritoneum.
 Cara lain adalah dengan penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau
dari tuberkulosis usus.
3. Gejala Klinis :
Gejala umum TB pada anak.
Di temukan massa intraabdomen, adanya asites, kadang-kadang ditemukan
fenomena papan catur yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa
yang diselingi perabaan lunak.
Pemerikasaan Penunjang :
Pemeriksaan TB pada umumnya.
 Foto polos abdomen : gambaran peritonitis, massa omentum dan asites.
 Biopsi peritonium untuk mencari gambaran patologis.
 Kultur M. tuberkulosis dari bahan cairan asites atau biopsi peritonium.

4. Pentalaksanaan :
Tatalaksana TB ekstrapulmonal yaitu Rifampisin dan INH diberikan selama 12
bulan, Pirazinamid selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1-2
mg/kg BB selama 1-2 minggu pertama.

KONSTIPASI

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 38


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Batasan konstipasi :
1. Frekuensi < 3x/minggu
2. Konsistensi keras
3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah feses besar ≥ 1 x / 7 -
30 hari,
perut kembung, sensasi penuh, teraba massa di abdomen atau rektum

Berdasarkan Kriteria ROMA II (1999) :


1. Dyschezia
2. Functional constipation
3. Functional fecal retention

Berdasarkan waktu :
1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu
2. Konstipasi kronik : > 1 bulan

Etiologi:
Hampir 90-95% penyebab konstipasi tidak diketahui (idiopatik) dan bersifat
fungsional. Hanya 5-10% yang mempunyai penyebab organik, diantaranya
Hirschprung’s disease, cyctic fibrosis, fisiologi anorektal yang abnormal, dan
fisura ani. Penyebab non organik diantaranya adalah obat-obatan, kondisi
metabolik karena dehidrasi, diet kurang serat, dan penyakit malabsorpsi

Patofisiologi:
Konstipasi fungsional diduga berhubungan dengan masalah fungsi usus, termasuk
kontrol hormonal, syaraf, masalah otot-otot pada kolon, rektum atau anus.
Konstipasi fungsional sering disebabkan kebiasaan defekasi dan diet yang buruk.
Kebiasaan defekasi yang tidak teratur, akibat penghambatan refleks defekasi
normal. Psikosomatik juga dapat menyebabkan konstipasi. Terjadi pada usia 2
tahun Psikosomatik juga dapat menyebabkan konstipasi.

Diagnosis
Anamnesis
Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni lamanya gejala (konstipasi akut atau
kronik), frekuensi defekasi, konsitensi feses, ada tidaknya darah pada feses, dan
kebiasaan defekasi (seberapa sering dan dimana pasien biasa defekasi). mengenai
kebiasaan makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik. Penting juga untuk
menanyakan umur saat awitan. Jika gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun)
kemungkinan besar bersifat fungsional.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang belakang dan
perineum.

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 39


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus otot-otot sfingter ani
dan mendeteksi obstruksi atau darah. Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan
adanya kelainan anatomi (seperti anal stenosis dan fisura ani) dan trauma.
Pemeriksaan penunjang :
Jarang di lakukan Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi
adanya anemia, lekositosis, dan gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme
(hormon tiroid) atau uncover excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan
urine berupa urin rutin dan kultur urine juga dilakukan terutama bila diduga
terjadi infeksi saluran kemih akibat konstipasi kronis.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengevaluasi
konstipasi yaitu foto polos abdomen, studi transit kolorektal, tes fungsi anorektal,
biopsi hisap rektum, dan defekografi. Karena peningkatan resiko kanker, dapat
dillakukan tes untuk menyingkirkan kanker, yaitu barium enema, sigmoidoskopi
atau kolonoskopi. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat
dilakukan untuk mencari penyebab organik lain yang memberikan gejala
konstipasi. Foto tulang belakang daerah lumbosakral dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil pemeriksaan neurologi ektremitas bawah
atau sakrum tampak abnormal.
Penatalaksanaan
Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber masalah, usia anak,
dan kepribadian anak.
Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis, kelainan primer harus
diobati terlebih dahulu.
Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan
menggabungkan tehnik edukasi, evakuasi feses (disimpaction), dan terapi
rumatan (modifikasi tingkah laku, pengaturan diet, dan pemberian
laksansia).

Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi antara lain nyeri anus, nyeri abdomen, fisura
ani, enkopresis, enuresis, infeksi saluran kemih, obstruksi ureter, prolaps rectum,
ulkus soliter, sindrom stasis (bakteri overgrowth, fermentasi karbohidrat,
maldigesti, dekonyugasi asam empedu, steatorea). 9

Prognosis
Pada anak di bawah usia 5 tahun dengan konstipasi kronis, sebanyak 50%
sembuh dalam 1 tahun dan 65-75% sembuh dalam 2 tahun dengan pemakaian
laksansia bertahun-tahun. Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung
dari penyebabnya. Sekitar 80% anak dengan konstipasi fungsional biasanya
berhasil diobati dalam 5 tahun.

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 40


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Helicobater pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat berkoloni pada
saluran cerna dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodemum dan gaster.
Menular secara oral-oral, gastric oral, dan fekal-oral,

Patogenesis :
Infeksi H. pylori pada antrum gaster  inflamasi mukosa gaster  ulkus gaster dan
duodenum.

Diagnosis :
Gejala Klinis :
 Sangat bervariasi
 Dipengaruhi faktor mikrobanya dan faktor host
 Asimptomatik atau simptomatik
 Gejala : gangguan gastro intestinal,nyeri perut, rasa panas dan terbakar pada
epigastrium, rasa penuh di gaster, kembung, mual, muntah

Pemeriksaan penunjang :
Tes invasif (endoskopi)
 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi
 Test Urea cepat pada jaringan biopsi
 Kultur bakteri
 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode non invasif
 Tes Imunoassay untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori
 Tes Urine dan Saliva untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori
 Tes Feses untuk Antigen Helicobacter pylori
 Tes Napas Urea

Penatalaksanaan
 Mengeliminasi secara lengkap dari organisme
 Regimen terapi yang dikatakan berhasil jika dapat menyembuhkan lebih
dari 80% subjek yang diterapi
 Efek samping minimal
 Tidak menginduksi resistensi bakteri

Terapi eradikasi H. pylori diberikan selama 7-14 hari


- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin (50
mg/kgBB/hari/12) + clarithromycin (15 mg/kgBB/hari/12 jam)
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin (50
mg/kggBB/hari/12 jam) + metronidazole (20 mg/kgBB/hari/12 jam)
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari + clarithromycin
(15mg/kggBB/hari/12 jam) + metronidazole (20 mg/kgBB/hari/12 jam)

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 41


Pedoman Pelayanan Medis Gastroenterohepatologi

Edukasi Pasien
 Konseling menghindari faktor yang meningkatkan resiko dispepsia dan
ulkus peptikum
 Selama terapi eradikasi, maka obat-obatan NSAIDs mesti dihentikan.
 Diberitahu tentang efektifikasi terapi eradikasi
 Pentingnya menyelesaikan regimen obat inisial

Pencegahan
 Antibiotik untuk pencegahan sangat tidak dianjurkan
 Vaksin Helicobacter pylori (Helicobacter pylori urease + enterotoxin E. Coli) à
efektifitas sangat rendah
 Perbaiki hygiene dan gizi dari anak-anak

Prognosis
 Tergantung dari penanganannya
 Dideteksi lebih dini dan diterapi adekuat  komplikasi minimal
 Terambat didiagnosa atau terapi tidak adekuat  komplikasi lanjut

Komplikasi
 Ulkus dengan pendarahan gastrointestinal
 Kanker
 Relaps atau resisten terhadap obat

Departemen Kesehatan Anak-FK UNSRI 42

Anda mungkin juga menyukai