RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
DIARE AKUT
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
A09
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Dr. Hasri Salwan, Sp.A(K)
Definisi:
Epidemiologis : merupakan kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi
dengan feses cair atau lembek dengan/tanpa lendir atau darah,
dengan frekuensi 3 kali atau lebih sehari, berlangsung belum lebih
dari 14 hari, kurang dari 4 episode/bulan.
Klinis
: merupakan diare yaitu berak dengan kandungan air lebih dari
normal atau disertai darah/lendir atau bila orang tua menganggap
anaknya menderita berak-berak.
Indikasi rawat penderita diare akut :
Diare akut dehidrasi ringan sedang dengan berak-berak dan muntah profuse dan
upaya rehidrasi oral di RPO gagal, atau disertai penyakit penyerta yang
memerlukan perawatan di rumah sakit.
Diare akut dehidrasi berat.
Tujuan perawatan dan pengobatan penderita diare akut :
Melakukan koreksi terhadap kehilangan cairan dan elektrolit.
Melakukan feeding adjustment.
Memberikan pengobatan medikamentosa :
Pengobatan terhadap kausa.
Pengobatan terhadap penyakit penyerta/penyulit.
Pengobatan penunjang/simptomatik yang diperlukan.
Memberikan health education.
Terapi cairan dan elektrolit :
Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:
Pada diare akut murni.
Pada diare akut dengan penyulit/komplikasi.
Ad 1. Pada diare akut murni
Ditujukan untuk :
Rehidrasi
: mengganti previous water losses dengan IVFD atau per
oral..
Maintenance : mencegah dehidrasi dengan mengganti on going water
losses dengan oralit peroral/CRO.
Requirement : dengan makan dan minum seperti biasa.
Menggunakan cairan ringer laktat pada dehidrasi berat, dan pada rehidrasi
ringan sedang menggunakan oralit
Tanpa
dehidrasi
Cairan
-
Pencegahan
Dehidrasi
10-20
cc/kgBB/
BAB oralit
atau
Makan Minum
ASI diteruskan.
Susu formula
diteruskan.
Makanan padat
diteruskan
dengan
mengurangi
makanan
berserat, ekstra 1
porsi
Ringansedang
4 jam
75 cc ( gelas)
oralit/ kg BB atau
ad libitum
sampairasa haus
hilang
Idem
Dapat
ditangguhkan
sampai anak
menjadi segar
Berat
4 Jam
IVFD RL 30 cc/kg
BB 7
tetes/kgBB/menit.
Oralit ad libitum
segera setelah
anak bias minum
Idem
Idem
Jenis/Cara
Pemberian
Cairan
Jumlah Cairan
Terapi
Medikametosea
KKP I-II
Modifikasi
Sutejo
KKP III
Modifikasi
Sutejo
Maras : 250
cc/kgBB
Kwash : 200 cc/kg
BB
Bronco
Pneumonia
Modifikasi
Sutejo
Kebutuhan
Sesuai BP
Ensefalitis
Modifikasi
Sutejo
Kebutuhan
Sesuai
Ensefalitis
Meteorismus
Modifikasi
Sutejo
Kebutuhan
Antibiotic
profilaksis
Miningitis
Purulenta
Modifikasi
Sutejo
Kebutuhan
Sesuai menpur
Dehidrasi
hipotonis
Sesuai skema 3
Sesuai skema 3
Sesuai etiologi
Gagal
Ginjal Akut
Sesuai GGA
30 cc kg/BB +
volume urin 1 hari
sebelumnya + 12%
setiap kenaikan
suhu 10 C
Sesuai GGA
Impending
Decomp
Cordis
Cairan rendah
natrium
Kebutuhan
Digitalisasi
Ket
Sesuai kausa/
penyakit
penyerta
**
***
**
Akibat lanjut dari meteorismus adalah terjadinya ballooning effect, langkahlangkah; untuk mengatasi ini adalah dengan melakukan dekompresi :
Dari atas dengan sonde lambung yang dihisap secara berkala.
Dari bawah dengan mernasang schorstein.
Menghentikan makanan peroral (sesuai dengan beratnya meteorismus) dan
memberi makanan parenteral sedini mungkin.
Dasar klinis diagnosis dehidrasi hipertonis :
1. Klinis : turgor yang relatif baik, hiperiritabel, rasa haus yang sangat nyata,
kejang yang biasanya timbul setelah terapi cairan.
2. Labor : kadar Na* serum 1ebih dari 150 meq/l.
***
Kecepatan
120
3 tts/kgBB/
menit
Idem
Idem
Idem
3
5 s/d 24
2 /8 tts/ kgBB/
menit
Jenis Cairan
Nadi
120- 140Fili> 160
140
160
formis
DG
RL
RL
Rl
RL
DG
DG
DG
DG
DG
DG
RL
DG
DG
RL
RL
DG
RL
RL
RL
Ca Glukonas
5 10 cc
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
DIARE KRONIK
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K52.9
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Definisi :
Diare kronik ada1ah diare berlangsung 14 hari atau lebih, dapat berupa diare cair atau
disentri.
2.
Insiden :
Pada Indonesian Demographic dan Hea1th Survey, 2001, di1aporkan bahwa prevalensi
diare persisten adalah 3,3% dan diare berdarah adalah 1,2%.
3.
Klasifikasi :
Pembagian diare kronik yang didasarkan atas sifat tinja-berair, berlemak atau berdarah,
menurut Arasu dkk. (1979) akan lebih dapat membantu menghadapi masalah diare
kronik. Klasifikasi diare kronik pada bayi dan anak adalah sebagai berikut :
a. Watery stools atau tinja cair :
1. Gastroenteropati alergi :
Alergi protein susu sapi.
Alergi protein kedele.
2.a. Defisiensi disakaridase :
Defisiensi lactase sering sekunder.
Defisiensi sucrose isomaltase.
b. Malabsorbsi glukosa galaktosa
3. Defek imun primer.
4. Infeksi usus oleh virus, bakteri dan parasit (giardisis).
5. CSBS (Contaminated Small Bowel Syndrome).
Obstruksi usus, ma1rotasi, short bowel syndrome, dll.
Penyakit Hirschsprung, enterokolitis.
6. Persistent postenteriting diarrhoea dengan atau tanpa intoleransi karbohidrat.
7. Diare sehubungan dengan penyakit endokrin.
Hiperparatiroidism.
Insufisiensi adrenal.
Diabetes melitus.
8. Diare sehubungan dengan tumor.
Karsinoma medula tiroid.
Ganglionewoma.
Zolinger-Ellison syndrome.
9. Ma1absorbsi asam empedu.
Cholerrhoeic diarrhoea.
b. Fatty stools atau tinja berlemak :
1. Insufisiensi pancreas, PEM, BBLR.
Hipoplasia (Swachman Syndrome).
Cystic fibrosis. celiac disease.
2.
3.
4.
5.
6.
Limfangiektasi usus.
Kolestasis.
Atresia biliaris ekstra atau intrahepatik.
Hepatitis neonatal.
Sirosis hepatis.
Steatorhoe akibat obat (misa1: neomisin, kolestiramin).
CSBS: -Short bowel syndrome.
Gastroenteropati alergi, defek imun primer, enteropati akrodennatitis, anemia
defisiensi besi.
Patofisiologi :
Mekanisme patofisiologi diare kronik bergantung penyakit dasarnya dan sering terdapat
lebih dari satu mekanisme (Arasu dkk. 1979), yaitu :
a. Diare osmotik.
b. Diare sekretorik.
c. Bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak.
d. Defek sistem pertukaran anion.
e. Kerusakan mukosa.
f. Motilitas dan transit abnormal.
g. Sindrom diare intraktabel.
h. Mekanisme-mekanisme lain.
Berdasarkan patogenesis dan patofisiologinya, diare kronik diklasifikasikan menjadi :
1. Diare persisten, yaitu diare yang melanjut/menetap sampai 2 minggu atau lebih dan
disebabkan oleh infeksi serta sering disertai gangguan pertumbuhan.
2. Sindroma rawan usus SUS (SRU)/Irritable bowel syndrome (IRS), yaitu suatu
sindrom klinis yang menyebabkan diare kronik non spesifik pada anak yang
tampaknya sehat, tidak ditemukan adanya kelainan organik.
3. Diare intraktibel bayi (Intractable diarrhea of infancy), yaitu bayi dengan diare yang
berhubungan dengan kerusakan mukosa yang difus yang timbul sebelum bayi
berusia 6 bulan, berlangsung lebih dari 2 minggu. disertai malabsorbsi dan
malnutrisi.
Berbagai penyakit dapat menyebabkan diare yang sulit diatasi,
melanjutkan kerusakan mukosa usus halus, yang merupakan penyebab utama dari
diare intraktabel ini.
5.
berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi
badan, gejala kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya.
Pemeriksaan laboratoris :
a. Pemeriksaan tinja :
Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.
Mikroskopis :
Darah samar dan leukosit yang positif (> 10/lpb) menunjukkan kemungkinan
adanya peradangan pada kolon bagian bawah.
pH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi
karbohidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada
di dalam kolon.
Clinitest, untuk memeriksa adanya substansi reduksi dalam sample tinja yang
masih baru, yang menunjukkan adanya malabsorbsi karbohidrat.
Breath hydrogen test, digunakan untuk evaluasi malabsorbsi karbohidrat
Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak,
merupakan skrining yang cepat dan sederhana untuk menentukan adanya
malabsorbsi lemak.
Biakan kuman dalam tinja, untuk mendapat informasi tentang flora usus dan
kontaminasi
Pemeriksaan parasit (Giardia lamblia, cacing).
b. Pemeriksaan darah: darah rutin, elektrolit (Na, K; Cl) dan bicarbonate, albumin,
kadang diperlukan pemeriksaan kadar serum, dll.
c. Pemeriksaan radiologi :
Pemeriksaan radiologi saluran gastrointestinal membantu mengidentifikasi cacat
bawaan (malrotasi, stenosis) dan kelainan-kelainan seperti limfangiektasis,
inflammatory bowel disease, penyakit Hirschsprung, enterokolitis nekrotikans.
6.
Penatalaksanaan :
Umum dan Dietetik.
a. Nutrisi enteral :
Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat diterima untuk
mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi penderita anak dengan
saluran pencernaan yang masih berfungsi jalur enteral dapat ditempuh melalui
oral atau nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau jejunostomi dengan feeding
tube
Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat dikategorisasikan
dalam 3 macam diet:
i. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan dipakai
untuk pasien dengan fungsi usus yang normal.
ii. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul rendah dan
dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal.
iii. Diet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai
bercabang untuk pemakaian pada ensefalopati hepatik dan pasien dengan
perubahan kadar asam amino lain atau kesalahan metabolisme bawaan
(inborn errors of metabolism)
Kandungan formula yang ditetapkan meliputi:
i. Karbohidrat
Karbohidrat akan dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam mikrovili menjadi
monosakarida yang akan diabsorbsi ke dalam enterosit. Terdapat 4 enzim
oligosakaridase yang berbeda dalam mikrovili yaitu maltase (glukosa amilase
(glukosa a-dekstrinase), lactase dan trehalase. Semua enzim ini berkurang
pada penyakit yang mengenai mukosa usus halus. Lactase merupakan enzim
yang paling peka dan paling akhir pulih apabila terjadi kerusakan mukosa.
ii.
Lemak
Lemak merupakan nutrien yang paling padat kandungan kalorinya.
Pemberian lemak pada penderita diare kronik sangat penting karena sering
disertai keterbatasan pemasukan kalori.
iii. Protein
Kebutuhan anak akan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan protein
utuh. protein hidrolisat, asam amino atau gabungan.
iv. Vitamin dan mineral
Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi pada anak kendatipun dan
pemasukan kalori yang cukup apabila terdapat malabsorbsi lemak. atau
terjadi interaksi obat/nutrien dengan diet yang sangat khusus.
Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang mengandung
glukosa primer, bebas laktosa mengandung protein hidrolisat, medium chain
triglyceride, osmolaritas kurang sedikit dari 600 mOsm/l. dan bersifat hipoalergik.
(Pregestimil). atau yang mengandung short chain peptide (Pepti Yunior).
Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan. mula-mula dianjurkan
konsentrasi 1/3 IV, selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral: 1/3 IV. dan bila
keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB minimal 1 kg) diberikan pregestimil
dalam konsentrasi penuh.
Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak mampu
atau tidak mau menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran
gastrointestinalnya masih berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan dengan
meningkatkan kecepatan dan kadar formula secara bertahap sampai mencapai
kebutuhan nutrisi anak.
Komplikasi nutrisi enteral :
- Hidrasi berlebih.
- Hiperglikemia.
- Azotemia (konsumsi protein berlebih).
- Hipervitaminosis K.
- Dehidrasi sekunder karena diare.
- Gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat muntah dan diare).
- Gagal tumbuh sekunder akibat pemasukan energi tidak cukup.
- Aspirasi.
- Defisiensi nutrisi sekunder karena kesalahan formula.
b. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh
melalui Jalan intraven. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa, asam amino,
emulsi lemak, mineral, vitamin, trace elemen. Jalur ini jangan digunakan apabila
penderita masih mempunyai saluran gastrointestinal yang masih berfungsi serta
masih dimungkinkan pemberian secara peroral, enteral atau gastrostomi. Pada
umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari.
Indikasi nutrisi Ament ME, 1993 :
Disfungsi Usus
Intractable vomiting
Pankreatitits berat
Diare
Ileus
Makanan enteral
Obstruksi usus
halus
Malabsorbsi
Penghentian
makanan
Neonatus
Berat Badan
Lahir Rendah
Berat Badan
Lahir Normal
Anak 0 10 kg
11 20 kg
150
> 20 kg
100 200
100
1.000 kkal/kg + 50 kkal/kg untuk setiap kg > 10 kg
c. Karbohidrat :
Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non protein yang memberikan
3,4 kka1/gram dalam bentuk monohidrat.
Keterbatasannya adalah terjadinya phlebitis apabila kadar > 10-12,5%.
Pemberian dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan
respon tubuh dalam memproduksi insulin endogen dan mencegah
terjadinya glikosuria.
d. Asam amino
Kebutuhan asam amino menurut usia (Ament ME, 1993) :
Umur
Bayi prematur
Kebutuhan
(gr protein/kg/hari)
2,5 3
Bayi 0 1 tahun
2,5 3
Anak 2 13
tahun
Remaja
Dewasa
1,5 2
1 1,5
Mulai pemberian
0,5 gram protein/kg/hari
dinaikan 0,5 gram
protein/kg/hari.
1 gram protein/gram/hari
dinaikan 0,5 gram.
protein/kg/hari per hari.
e. Lemak :
Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak menyediakan asam lemak
essensial untuk pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang
perkembangan yang normal.
Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan 10% (1 kkal/ml) dan 20% (2
kka1/ml).
Minimal 2-4% dari kebutuhan kalori total diberikan berupa lemak intravena
untuk menghindari terjadinya defisiensi asam lemak. yang dapat dicapai
dengan penggunaan 0,5-1 gram emulsi lemak/kg/hari.
Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada neonatus dalam 2 hari
dengan tanda kecepatan pertumbuhan yang lambat, kulit kering bersisik,
pertumbuhan rambut berkurang. trombositopeni, peka terhadap infeksi dan
gangguan penyembuhan luka.
f. Elektrolit :
Kebutuhan elektrolit intravena (Ament ME, 1993) :
Elektrolit
Na
K
Cl
Ca
Fosfat
Mg
Dosis Anak
(mEq/kg/24 jam)
Dosis Bayi
(mEq/kg/24 jam)
34
23
24
0,5 1
2
0,25 0,5
28
26
06
0,9 2,3
1 1,5
0,25 0,5
g. Trace Element :
Kebutuhan trace element :
Elemen
Kebutuhan Bayi
(mg/kg/hari)
Prematur
Na
K
Cl
Ca
Fosfat
Mg
34
23
24
0,5 1
2
0,25 0,5
Matur
Kebutuhan Anak
(mg/kg/hari) dan Kebutuhan
Maksimum/hari
28
26
06
0,9 2,3
1 1,5
0,25 0,5
Medikamentosa :
a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu diberikan karena tidak satupun
yang memberikan efek positif.
b. Obat anti mikroba :
Pada umumnya tidak dianjurkan, bahkan dapat mengubah flora usus dan
memperburuk diare. Kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat (sepsis), anak
dengan defisiensi imunologi dan anak dengan diare kronis yang sangat berat,
dianjurkan pemberian antimikroba. Sedangkan metronidazole efektif untuk Giardia
lamblia.
c. Kortikosteroid :
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema steroid pada tahap awal
memberikan respon yang baik, dan pada beberapa anak mendapat kombinasi
dengan steroid sistemik.
d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada penyakit Chron apabila
pengobatan konvensional tidak mungkin.
e. Kolestiramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama
malabsorbsi asam empedu serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat toksin).
f. Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-kasus bedah seperti penyakit
Hirschprung, enterokolitis nekrotikans. Namun hanya dilakukan setelah keadaan
umum membaik.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
GASTRITIS
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K29.7
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Diagnosis :
Diagnosis gastritis dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dyspepsia, mua1,
muntah, dan nyeri epigastrik. Gastritis dengan keluhan yang berat, kronik dan
beru1ang dilakukan pemeriksaan endoskopis.
2.
Penatalaksanaan :
1) Terapi diet disesuaikan dengan toleransi penderita, sebaiknya lunak, mudah
dicema dan tidak merangsang.
2) Terapi obat, diberikan berdasarkan gejala yang predominan. Obat-obatan yang
dapat di berikan :
Untuk mengurangi faktor agresi asarn larnbung diberikan antasida 3 ka1i
sehari atau cimetidine 5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari
Untuk menekan muntah yang berlebihan diberikan metoklopramide 0,15-0,3
mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari.
Antibakterial diberikan untuk eradikasi Campylobacter pylori, diberikan
Amoksigilin 50 mg/kgBB/hari 4 kali sehari, Clarithromycin 7,5-15 mg/kg/hari
dalam dosis terbagi 2 ka1i sehari, ditambah PPI (Omeprazole) dengan dosis
0,4-0,8 mg/kg/dosis 1 kali sehari.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
(CONGENITAL AGANGLIONIK
MEGACOLON)
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
Q43.1
Halaman:
Ditetapkan Oleh
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Dr. Hasri Salwan, Sp.A(K)
Definisi:
Adalah suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada
dinding usus. Berdasarkan panjang segmen yang terkena dapat dibedakan menjadi 2
tipe, yaitu :
Penyakit Hirschsprung segmen pendek.
Merupakan 70% dari kasus. Segmen aganglionosis mu1ai dari anus sampai
sigmoid. Lebih sering pada anak laki-Iaki daripada anak perempuan.
Penyakit Hirschsprung segmen panjang
- Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh
kolon atau sampai ke usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak
perempuan dan anak laki-laki.
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala k1inik, pemeriksaan colok dubur dan
pemeriksaan penunjang yaitu foto x-ray dengan enema barium, dengan tehnik
Hirschprung.
Gejala Klinik :
Pada bayi baru lahir, mekonium terlambat keluar, atau keluar pada minggu pertama
sehingga terjadi obstruksi parsial dan total disertai muntah, distensi abdomen, dari feses
tidak dapat dikeluarkan. Pada colok dubur, jari akan merasakan jepitan dan pada waktu
keluar akan diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium feses yang menyemprot. Pada
anak yang lebih besar, gejala konstipasi kronis, kadang-kadang diare dan biasanya
disertai gagal tumbuh. Pada foto polos abdomen ter1ihat usus-usus melebar atau
terdapat gambaran obstruksi usus rendah. Pada foto barium enema ditemukan daerah
transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di segmen yang menyempit.
Diagnosis pasti dengan biopsy rectal, dengan gambaran PA tidak ditemukan sel
ganglion di submukosa.
Penatalaksanaan :
Kolostomi diikuti operasi Pullthrough, pada usia 6-12 tahun dengan metode Swenson
Duhamel.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
DIVERTICULUM MECKEL
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
Q43.0
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
AKALASIA ESOPHAGUS
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K22.0
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Stadium lanjut adanya penyempitan pada bagian distal esofagus pada batas
esofagogastric junction dengan pelebaran pada bagian proksimalnya. Terdapat
gambaran menyerupai paruh burung, beak like appearance atau mouse tail appearance.
Pemeriksaan ini penting untuk menyingkirkan kelainan seperti striktura esofagus dan
keganasan. Pada akalasia, esofagoskopi masih bisa dimasukkan ke dalam lambung
dengan hambatan ringan dan dapat terlihat dilatasi esofagus, mukosa lembek agak
edema, tanda-tanda esofagitis dan penutupan sfingter esofagus distal.
3. Pemeriksaan Manometer :
Setelah menelan, tekanan daerah sfingter esofagus menguat 2 kali normal akibat dilatasi
dan retensi makanan.
Diagnosis Banding :
Ca cardia.
Spasme cardia.
Striktura esofagus dekat diafragma.
Hipermotilitas.
Penyakit cagas.
Komplikasi :
Aspirasi pneumonia.
Perdarahan ulkus dalam mukosa.
Perforasi akut.
Ca esofagus.
Ca lambung.
Penatalaksanaan :
1. Konservatif
a. Diet cair /lunak dan hangat
b. Medikamentosa
Sedatif ringan untuk penenang.
Preparat kalsium antagonis seperti verapamil atau nifedipin oleh karena dapat
menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Nifedipin diberikan 10-20
mg sublingual dapat menurunkan tekanan esofagus bagian bawah kurang lebih 1
jam akan tampak perbaikan gejala bila diberikan sebelum makan.
2. Tindakan aktif
a. Forced dilatation : dilakukan pada akalasia ringan sedang. Ada 3 macam dilatator :
- Mekanik.
- Pneumatik.
- Hidrostatik.
b. Tindakan bedah yaitu: operasi Heler, melakukan esofagomiotomi.
Komplikasi yang timbul adalah : - Perforasi.
- Paralisis N. Phrenicus.
- Refluks gastroesofagal.
- Perdarahan masif.
- Disfagia.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
ILEUS OBSTRUKSI
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K56.6
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Definisi: gangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus.
b.
Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
Muntah.
Sakit perut, kolik.
Tidak ada BAB dan flatus.
Kembung.
Riwayat operasi usus.
Pemeriksaan fisik :
Distensi usus.
Metallik sound.
Darm contour.
Bising usus meningkat.
Tanda-tanda dehidrasi.
Radiologis :
Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder.
Diagnosis Banding :
1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :
Stenosis pilorus.
Atresia atau stenosis duodenum.
Atresia atau stenosis jejunum.
Ileus mekonium.
Volvulus.
Hirschsprung.
2. Didapat :
Intususepsi.
Bolus askaris.
Terapi : Operatif.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
No. Revisi
Kode ICD:
K80.1
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Definisi :
Pelebaran saluran empedu baik ekstra maupun intrahepatik.
Penyakit ini jarang ditemukan, meskipun begitu di Asia terutama Jepang, cukup
sering ditemukan.
2.
Etiologi : belum diketahui secara pasti karena banyak faktor yang berperan.
3.
Manifestasi Klinis:
Klasik berupa trias : - Ikterus.
- Nyeri perut yang hilang timbul.
- Massa tumor pada perut kanan atas.
4.
Diagnosis :
Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, ditemukan
peningkatan kadar bilirubin, transaminase, alkalin fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase dan kadar amylase. USG mempunyai ketepatan diagnosis yang
tinggi untuk diagnosa dini, dimana terlihat gambaran massa tumor yang berbatas
tegas ekolusen di daerah kanan atas. Diagnosis pasti untuk untuk menentukan tipe
kista dengan kolangiografi.
Klasifikasi :
Klasifikasi kista koledokus berdasarkan kelainan anatomi :
Tipe I
: Tipe kistik dan fusiform/dilatasi segmental dari duktus biliaris
ekstra hepatik. Jenis ini paling sering ditemukan.
Tipe II
: Dilatasi sakulat tunggal/divertikulum dari duktus biliaris ekstra
hepatik
Tipe III
: Dilatasi intraduodenal/koledokel dari duktus biliaris.
Tipe IV A
: Kombinasi dilatasi intra dan ekstra hepatik.
Tipe IV B
: Dilatasi multipel dari duktus biliaris ekstra hepatik.
Tipe V
: Dilatasi difus duktus biliaris intra hepatik (penyakit caroli).
5.
6.
Prognosis :
Prognosis tergantung dari :
Kerusakan hepar.
Baik tidaknya drainase.
Berkembang tidaknya menjadi kolestasis.
Berulang tidaknya kista.
Berkembang atau tidaknya menjadi ganas.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
INVAGINASI
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K56.1
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
Nyeri perut.
Berak berdarah dan berlendir.
Muntah.
Pemeriksaan Fisik : ditemukan massa berbentuk pisang pada kuadran kanan atas.
Pemeriksaan Penunjang :
a. Foto polos 3 posisi. Dapat memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium
lanjut penyakit.
A. Barium Enema :
Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi dan gambaran
pegas (coiled spring).
Berguna untuk mereduksi usus yang tekena, merupakan pilihan pada semua
bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24 jam. Berbahaya bila keadaan
umum jelek dan peritonitis karena tekanan enema dapat mengakibatkan
perforasi usus.
c. USG
Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal
Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal
2.
Penatalaksanaan :
Kasus gawat darurat bedah :
1. Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi).
2. Pembedahan (laparatomi eksplorasi).
Tindakan yang harus dilakukan sebelumnya adalah memperbaiki keadaan
umum penderita yaitu memperbaiki cairan dan elektrolit, dekompresi dengan
NGT.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
Kode ICD:
K92.2
No. Dokumen
Halaman:
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
2.
Etiologi :
Kelainan mukosa (erosi, ulkus dan peradangan).
Kelainan vaskuler (varises, hemangioma, vaskulitis).
Koagulopati.
Kelainan anatomi: duplikasi esofagus/gaster.
3.
Patofisiologi :
Perdarahan kronis: anemia defisiensi
Perdarahan akut/banyak: syok dengan segala akibatnya
4.
Bentuk Klinis :
Perdarahan nyata: hematemesis/melena.
Perdarahan tersamar.
5.
Langkah Diagnosis :
a. Keadaan umum :
Cari gangguan hemodinamik.
Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10 menit
sampai tanda vital membaik.
Transfusi darah bila diperlukan.
Observasi perdarahan.
b. Anamnesis :
Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.
Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : Sindrom Mallory Weiss.
Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.
Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.
Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus.
c. Pemeriksaan fisik yang dapat membantu.
Tanda-tanda sianosis, peningkatan tekanan v. porta : varises.
Luka bakar luas, penyakit infeksi, SSP: ulkus stress.
Hemangioma/telangiektasis: kelainan vaskuler.
Eritema pada kulit, kelainan ginjal: sindrom Henoch Schonlein.
6.
Penatalaksanaan :
Bayi 6 Bulan
APT Test
Neonatus
Hematemesis
/ Melena
(-)
Singkirkan
Kelainan
Peradarahan
Tentukan
Viabilitas
Hepar
Bendungan
Hepar/Lien (+)
Bendungan
Hepar/Lien (-)
Endoskopi
Endoskopi
Ba Meal
Ba Meal
Hematemesis
/ Melena
Konsul Bedah
Varises Esofagus
Tanda
NEC (+)
Tanda
NEC (-)
BNO 3
Posisi Serial
Entero Test
Duodenal
Kapsul
Tatalaksana NEC/
Peritonitis Primer
Tatalaksana
Hipertensi Portal
Irigasi
Saline
Di atas
Lig. Treitz
THT/GE
Endoskopi
Di bawah
Lig. Treitz
Ulkus peptikum
Gastritis
Sind. Mallory
Angiografi
Hematobilia
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
KOLESTASIS
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K71.0
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Definisi
Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya terjadi
dalam 3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya ikterus, akibat
peninggian kadar bilirubin direk > 2 mg/dL dan komponen bilirubin direk > 20% dari
kadar bilirubin total.
2.
Insiden.
Kolestasis pada bayi terjadi pada 1 : 2500 kelahiran hidup
Berdasarkan etiologinya : - hepatitis neonatal 1 : 5000 kelahiran hidup
- atresia bilier 1 : 10.000 kelahiran hidup
- defisiensi 1 antitripsin 1 : 20.000
Etiologi
Berdasarkan etiologinya, kolestasis diklasifikasikan menjadi :
I. Kelainan Ekstrahepatik
a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c. Perforasi spontan duktus bilier
d. Massa (neoplasma, batu)
e. Inspissated bile syndrome
II. Kelainan Intrahepatik
A. Idiopatik
1.
Hepatitis neonatal idiopatik
2.
Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain:
a. Displasia arteriohepatik (sindroma alagille)
b. Sindroma Zellweger (sindroma serebrohepatorenal)
c. Intrahepatic bile duct poucity
B. Anatomik
1.
Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil
2.
Penyakit coroli (pelebaran kista pada duktus intrahepatik)
C. Kelainan Metabolisme
1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat dan asam empedu
2. Kelainan metabolik tidak khas : defisiensi 1 antitripsin, dll
D. Hepatitis
1. Infeksi, antara lain TORCH, virus Hepatitis B, Reovirus tipe e, dll
2. Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan kemungkinan
endotoksemia
E. Genetik atau kromosomal trisomi E, sindrom down, sindrom donahue
3.
4.
5.
2.
3.
4.
5.
Data Klinis
Warna tinja selama dirawat :
- Pucat
- Kuning
Berat badan lahir (gram)
Usia tinja akolik (hari)
Gambaran klinis hati
- Hati normal
- Hepatomegali
Konsistensi normal
Konsistensi padat
Konsistensi keras
Biopsi hati **
- Fibrosis porta
- Proliferasi duktural
- Thrombus empedu intraportal
Kolestasis
Ekstrahepatik
Kolestasis
Intrahepatik
79%
21%
3,226 + 45
16 + 1,5
26%
75%
2,678 + 55
30 + 2
13%
47%
12%
63%
24%
35%
47%
6%
94%
86%
63%
47%
30%
1%
P
*
*
*
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium :
a. Rutin
Darah lengkap, uji fungsi hati SGOT, SGPT, gamma GT, alkali fosfatase,
waktu protrombin dan tromboplastin, ureum, kreatinine, elektroforesis protein,
asam empedu setam
Bilirubin urine positif
b.
Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk. 22.0006.00) dan adanya empedu dalam tinja.
Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi dengan
menggunakan sonde (Levine tube).
Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
akurasi diagnostik USG 77%, dilakukan pada tiga fase yaitu pada keadaan puasa,
saat minum dan sesudah minm. Apabila pada saat atau sesudah minumkandung
empedu tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%) diagnosis
atresia bilier dapat ditegakkan.
b. Scintigrafi hepar
Pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal, tetapi dalam waktu waktu >
6 jam tidak ditemukan eksresi ke usus. Untuk meningkatkan sensitivitasnya
dilakukan perhitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung) bila
pada menit ke 1o indeks < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.
Teknik scintigrafi dapat digabungkan dengan pemeriksaan DAT dengan akurasi
98,4%
c. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi operatif
dengan anestesi lokal. Bila terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh
dengan anestesi umum.
Biopsi hepar
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi eksplorasi
Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi duktus dan
sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler masih normal
Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus yang disertai
dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobul yang kacau.
Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis porta dan proliferasi duktus ringan.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
KOLITIS ULSERATIF
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K63.3
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Etiologi : idiopatik.
3.
Diagnosis :
Manifestasi klinis :
3.
Mikrobiologi.
Serologi.
Kolonoskopi.
Biopsi.
Penatalaksanaan :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
Kode ICD:
K31.1
No. Dokumen
Halaman:
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Definisi :
Hipertrofi dari otot sirkuler pilorus yang menyebabkan obstruksi pintu keluar
lambung.
2.
Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
Muntah proyektil tidak mengandung empedu (paling sering muncul pada minggu
ke 3-6).
Muntah terjadi segera sesudah anak kenyang.
Konstipasi.
BB tidak naik diikuti BB menurun.
Dehidrasi.
Jaundice.
Pemeriksaan fisik :
a. Tampak gerakan peristaltik lambung.
b. Teraba massa (hipertrofi otot pilorus) di perut kanan atas.
Pemeriksaan penunjang :
a. Foto polos abdomen:
Penyempitan lumen pilorus (string sign).
Tampak bayangan lambung sangat besar dan berisi udara.
b. USG :
Akurasi 95%. Target sign adalah gambaran khas penebalan mukosa pilorus
pada stenosis pilorus lebih dari 14 mm.
c. Laboratorium :
Alkalosis metabolik.
Hipokalemia.
Hiponatremia.
3.
Penatalaksanaan :
a. Operatif
Teknik operasi Fredet-Ramstedt (piloromiotomi).
b. Non operatif
Diberikan makanan kental dalam porsi sedikit tetapi sering.
Penderita ditaruh dalam posisi setengah duduk selama 1 jam setelah makan.
Obat Metoklorpramid 0,15-0,3 mg/kgBB/kali 4 kali sehari.
4.
Prognosis :
Prognosis baik bila dilakukan tindakan operatif.
Pada tindakan non operatif angka kematian meningkat dan apabila penderita
dapat hidup akan terjadi kurang gizi.
DEPARTEMEN IKA
KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN
Kode ICD:
RSMH PALEMBANG
A05.9
Panduan Praktek
Klinis
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Dr. Hasri Salwan, Sp.A(K)
b.
Keracunan Jamur
Antidotum yang diberikan adalah antimuskarinik berupa Atropin dengan dosis 1-2 mg
dapat diberikan setiap 30 menit secara subkutan sampai gejala menghilang atau terjadi
gejala atropinisasi.
Keracunan Singkong
Diberikan antidotum Natrium tiosulfat 30% sebanyak 30cc, secara IV perlahan-lahan.
Mula-mula diberikan diberikan 10cc IV, kemudian anak dicubit untuk mengetahui apakah
kesadarannya telah pulih, bila belum sadar dapat diberikan 10 cc lagi sampai dosis
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
No. Revisi
Kode ICD:
R10.4
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Definisi :
Serangan sakit perut yang timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka waktu
tiga bulan dan mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari.
2.
Etiologi :
Sakit perut berulang dapat dibagi menurut penyebab gastrointestinal dan non
gastrointestinal, dan keduanya dibagi lagi menjadi sakit perut bedah dan non bedah.
1). Sakit perut non bedah :
a. Traktus gastrointestinalis dan mesenterium.
1. Kolik.
2. Ulkus peptikum.
3. Zollinger-Ellison Syndrome.
4. Gastritis.
5. Adenitis Mesenterika.
6. Kiste mesenterika.
7. Konstipasi.
b. Traktus Urinarius.
1. Penyakit pada traktus urinarius.
2. Henoch-Scholein Purpura.
c. Hepar dan kandung Empedu.
1. Hepatitis.
2. Perihepatitis.
3. Kolesistitis akut.
4. Kolelitiasis.
d. Lien.
1. Pembesaran lien congestive.
e. Pankreas.
1. Pankreastitis akut.
2). Sakit perut akut bedah :
a. Traktus gastrointestinalis.
1. Appendisitis.
2. Intussusepsi.
3. Intestinal Malrotasi.
4. Volvulus.
5. Divertikulum Meckel.
6. Hernia inkarserata.
7. Obstruksi intestinal.
b. Traktus Urinarius.
1. Calculus Renal.
c. Tumor Hepar.
d. Lien.
1. Trauma yang menyebabkan ruptur lien.
3.
Patogenesis :
Mekanisme timbulnya sakit perut organik :
1. Gangguan vascular.
2. Peradangan.
3. Obstruksi organ berongga di ruang peritoneum atau retroperitoneum.
4. Penarikan dan peregangan peritoneum viseralis.
4.
Gambaran Klinis :
Pada bayi dan anak, manifestasi klinis sakit perut bergantung pada umur penderita.
Umur 0-3 bulan
: umumnya digambarkan dengan adanya muntah.
Umur 3 bulan-2 tahun : muntah tiba-tiba, menjerit, menangis tanpa adanya
trauma yang dapat menerangkan terjadinya gejala.
Umur 2-5 tahun
: sudah dapat menyatakan sakit tetapi lokalisasinya
belum tepat.
Umur > 5 tahun
: dapat menerangkan sifat dan lokasi yang dirasakan
sakit.
5.
c. Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan rutin darah, urin, tinja perlu dilakukan. Jika ada kelainan dilanjutkan
dengan pemeriksaan khusus : WBC dengan hitung jenis, sedimen urine,
urinalisis, kultur urin / tinja.
d. Ada obstruksi intestinal : foto polos abdomen.
e. Sakit perut berulang perlu dilakukan pemeriksaan barium meal, barium enema,
endoskopi, USG.
6.
Penanganan :
Ditentukan apakah penyakitnya membutuhkan tindakan bedah atau tidak. Bila tidak
ditemukan kedaruratan perut, penyebab sakit perut harus dicari dan diberi
pengobatan yang sesuai.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
KOLESISTITIS
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K81.9
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
1.
Definisi :
Kolesistitis adalah peradangan pada kantung empedu yang dapat akut atau kronik.
2.
Etiologi :
a. Kolesistitis akut :
- Stasis garam empedu : Obstruksi (batu empedu, nodus limfatikus, tumor),
kelaparan dan imobilisasi.
- Inflamasi : garam empedu, lysolecitin, bakteri.
- Iskemi : torsi, penyakit vaskuler.
b. Kolesistitis kronik : obstruksi berulang dan inflamasi.
3.
Gejala Klinis :
a. Nyeri abdomen.
b. Kwadran kanan atas.
c. Epigastrium.
d. Menyebar ke belakang, bahu.
e. Mual.
f. Intoleran makanan lemak.
Tanda :
a. Abdomen tegang.
b. Kuning.
c. Demam.
d. Teraba massa.
4.
Diagnosis :
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.
b. Laboratorium :
Rutin : Hb, Lekosit, Hitung jenis.
Test faal hati : bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali fosfatase.
c. Radiologis : Perlu di buat foto polos abdomen, untuk mendeteksi ada atau
tidaknya batu empedu radio opak.
d. USG :
Pemeriksaan USG lebih banyak membantu menentukan diagnosis.
Gambaran USG dari kolesistitis akut :
- Penebalan dinding kandung empedu lebih dari 3 cm.
- Pada dinding yang menebal terlihat suatu daerah bebas gema diantara
lapis luar dengan lapisan dalam, sehingga terlihat tanda dinding yang
rangkap atau disebut Double Rim Sign. Hal ini disebabkan karna adanya
edema di dinding kandung empedu.
- Terdapat tanda Murphy Ultrasonik yaitu terasa nyeri pada saat transduser
sedikit di tekan diatas daerah kandung empedu.
- Terdapat pembesaran kandung empedu.
- Selain tanda-tanda tersebut di atas perlu dicari penyebabnya.
- Sebagai penyebab terbanyak yaitu batu empedu, yang akan terlihat
sebagai suatu massa padat berdensitas gema meninggi, disertai
bayangan akustik. Pada perubahan posisi massa tersebut akan ikut
bergerak.
5.
Diagnosis Banding :
a. Apendisitis akuta.
b. Pankretitis akuta.
c. Komplikasi dari tukak peptik (perforasi).
d. Obstruksi Intestinal.
6.
Pengobatan :
a.
b.
c.
d.
Komplikasi :
Perforasi.
Peritonitis empedu.
Obstruksi bilier.
Sirosis bilier.
Kanker kandung empedu.
8.
Prognosis :
Angka mortalitas keseluruhan untuk kolesistitis akut dan kronik < 2 %.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
PERITONITIS TUBERKULOSA
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K67.3
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
2.
Patogenesis :
3.
Gejala Klinis :
Gejala umum TB pada anak.
Di temukan massa intraabdomen, adanya asites, kadang-kadang ditemukan
fenomena papan catur yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa
yang diselingi perabaan lunak.
Pemerikasaan Penunjang :
Pemeriksaan TB pada umumnya.
Foto polos abdomen : gambaran peritonitis, massa omentum dan asites.
Biopsi peritonium untuk mencari gambaran patologis.
Kultur M. tuberkulosis dari bahan cairan asites atau biopsi peritonium.
4.
Pentalaksanaan :
Tatalaksana TB ekstrapulmonal yaitu Rifampisin dan INH diberikan selama 12
bulan, Pirazinamid selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1-2 mg/kg BB
selama 1-2 minggu pertama.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
KONSTIPASI
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Kode ICD:
K59.0
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni lamanya gejala (konstipasi akut atau
kronik), frekuensi defekasi, konsitensi feses, ada tidaknya darah pada feses, dan
kebiasaan defekasi (seberapa sering dan dimana pasien biasa defekasi). mengenai
kebiasaan makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik. Penting juga untuk
menanyakan umur saat awitan. Jika gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun)
kemungkinan besar bersifat fungsional.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang belakang dan perineum.
Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus otot-otot sfingter ani dan
mendeteksi obstruksi atau darah. Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan adanya kelainan
anatomi (seperti anal stenosis dan fisura ani) dan trauma.
Pemeriksaan penunjang :
Jarang di lakukan Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
anemia, lekositosis, dan gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid) atau
uncover excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa urin rutin dan
kultur urine juga dilakukan terutama bila diduga terjadi infeksi saluran kemih akibat
konstipasi kronis.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengevaluasi konstipasi
yaitu foto polos abdomen, studi transit kolorektal, tes fungsi anorektal, biopsi hisap
rektum, dan defekografi. Karena peningkatan resiko kanker, dapat dillakukan tes untuk
menyingkirkan kanker, yaitu barium enema, sigmoidoskopi atau kolonoskopi.
Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat dilakukan untuk mencari
penyebab organik lain yang memberikan gejala konstipasi. Foto tulang belakang daerah
lumbosakral dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil
pemeriksaan neurologi ektremitas bawah atau sakrum tampak abnormal.
Penatalaksanaan
Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber masalah, usia anak, dan
kepribadian anak.
Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis, kelainan primer harus
diobati terlebih dahulu.
Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan menggabungkan tehnik
edukasi, evakuasi feses (disimpaction), dan terapi rumatan (modifikasi tingkah laku,
pengaturan diet, dan pemberian laksansia).
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi antara lain nyeri anus, nyeri abdomen, fisura ani,
enkopresis, enuresis, infeksi saluran kemih, obstruksi ureter, prolaps rectum, ulkus
soliter, sindrom stasis (bakteri overgrowth, fermentasi karbohidrat, maldigesti,
dekonyugasi asam empedu, steatorea).9
Prognosis
Pada anak di bawah usia 5 tahun dengan konstipasi kronis, sebanyak 50%
sembuh dalam 1 tahun dan 65-75% sembuh dalam 2 tahun dengan pemakaian
laksansia bertahun-tahun. Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung dari
penyebabnya. Sekitar 80% anak dengan konstipasi fungsional biasanya berhasil diobati
dalam 5 tahun.
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG
Panduan Praktek
Klinis
INFEKSI HELICOBACTER
Kode ICD:
PYLORI
No. Dokumen
Tanggal Revisi
4 Oktober 2011
No. Revisi
Halaman:
Ditetapkan Oleh,
Ketua Divisi
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Penatalaksanaan
Mengeliminasi secara lengkap dari organisme
Regimen terapi yang dikatakan berhasil jika dapat menyembuhkan lebih dari
80% subjek yang diterapi
Efek samping minimal
Tidak menginduksi resistensi bakteri