Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai
pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam
tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir
semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19
tahun.2

BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Berat Badan
Agama
Alamat
Kebangsaan
MRS

: An. AA
: 8 tahun
: Laki-laki
:16 kg
: Islam
: Desa Tanjung Raja, Muara Enim
: Indonesia
: 19 November 2014, pukul 08.37 WIB

B. ANAMNESA
(Autoanemnesia dan alloanemnesa dengan ibu penderita)
Keluhan Utama
: Demam
Keluhan Tambahan
: Keringatdigin dan muntah
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit, anak mulai panas, tidak
mendadak, muncul perlahan dan tidak terlalu tinggi, dan berangsurangsur meningkat setiap harinya. Oleh ibunya, anak diberi obat penurun
panas, panas turun beberapa saat setelah minum obat, kemudian naik
lagi. Panas terus-menerus sepanjang hari, meningkat terutama pada
malam hari dan tidak begitu panas pada pagi dan siang hari. Pada waktu
malam hari penderita tekadang mengigau, tidak berkeringat dan tidak
ada kejang.
Kurang lebih 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit, anak mengeluh
nyeri di daerah ulu hati, anak juga mengalami mual dan muntah, serta
tidak BAB hingga masuk Rumah Sakit. Muntah sering, dengan
frekuensi 2-4 kali dalam sehari. Isi muntahan berupa air yang diminum,
dan terkadang berisi apa yang dimakan. Nafsu makan anak menurun
sejak terjadinya demam, namun minum masih kuat. Buang air kecil
normal seperti biasa, berwarna kuning muda, dan tidak ada sakit waktu

buang air kecil. Anak tidak ada mengeluh nyeri otot atau nyeri
pinggang, serta tidak ada riwayat bepergian ke luar kota.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu dengan keluhan yang sama disangkal
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
GPA

: G2P2A0

Masa kehamilan

: Aterm

Partus

: Spontan

Penolong

: Bidan

Berat badan lahir

: 2600 gr

Panjang badan lahir

:-

Keadaan lahir

: Langsung menangis

Riwayat Makanan
ASI

: 0 bulan - 6 bulan

Bubur tim : 6 bulan 1 tahun


Kesan

: Kualitas dan kuantitas makanan baik

Riwayat Perkembangan Fisik


Tengkurap : 4 bulan
Duduk

: 7 bulan

Merangkak : Berjalan

: 1 tahun

Riwayat Imunisasi
BCG

: (+)

Hepatitis B : (+) Empat kali


DPT

: (+) Tiga kali

Polio

: (+) Empat kali

Campak

: (+)

Kesan

: Imunisasi dasar lengkap

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran
Nadi
Pernapasan
Suhu
Berat Badan
Tinggi Badan

: Kompos mentis
: 140 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
: 24 x/menit
: 39,4 oC
: 37 kg
: 130 cm

Status Gizi
- BB/U
- TB/U
- BB/TB
Keadaan Spesifik

Kepala
Bentuk
UUB
Rambut
Mata

: 37/40x100% = 92.5%
: 146/149x100% = 97,9%
: 37/37x100% = 100%

:
:
:
:

Normocephali
Tidak menonjol, sutura tidak melebar.
Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Pupil bulat isokor 2mm, reflek cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Hidung
: simetris, sekret (-), napas cuping hidung (-/-).
Telinga: Sekret (-).
Mulut
: Mukosa mulut dan bibir kering (-), lidah kotor (-)
Leher
: Pembesaran KGB (-)
Thorak
Paru-paru
- Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi -/- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-)
Jantung
-

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


Palpasi
: Thrill tidak teraba
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, irama reguler, murmur
(-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : Datar dan simetris.
- Palpasi
: Lemas, shifting dullness (-), hepar/liet ttb
- Perkusi : Timpani.
- Auskultasi : Bising usus normal
Lipat paha dan genetalia : Pembesaran KGB (-)
Ekstremitas
: Akral dingin (-), sianosis (-).

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hb
: 11,2 g/dl
Ht
: 32%
Lekuosit
: 10.800/mm3
Trombosit
: 230.000/ mm3
Diff.count
: 0/0/0/39/37/23
DDR
:Tes Widal
- Antigen H :1/80
- Antigen O :1/320
E. DIAGNOSIS BANDING
Demam Berdarah Grade 1
Demam Tifoid
F. DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid
G. PENATALAKSANAAN
IVFD KAEN IB gtt XIV x/m (makro)
Drip ceftriaxon 1 x 1600 mg drip dalam D5% 100 cc
Injeksi ranitidin 2 x amp
Paracetamol syr 3 x 1 cth
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam

: bonam
: bonam

I. FOLLOW UP
Tanggal
20-11-2014

Keterangan
S : Keluhan : Demam (+), muntah (-)
O : Sensorium : CM
Vital sign :
N : 98 x/m, P : 24 x/m, T : 38,20C
Kepala

: NCH (-), CA (-), SI (-)

Leher

: pembesaran KGB (-)

Thorax

: Simetris, Retraksi (-)

Pulmo

: ves (+) N, rh (-), wh (-)

Cor

: bj I & II N reguler, m(-), g(-)

Abd

: datar, lemas, H/L ttb

Eks

: akral hangat CRT < 3

A : Demam Tifoid Hari Ke II


P:

21-11-2014

IVFD KAEN IB gtt XIV x/m (makro)


Drip ceftriaxon 1 x 1600 mg drip dalam D5% 100

cc
Injeksi ranitidin 2 x amp
Paracetamol syr 3 x 1 cth
Diet bubur saring

S : Keluhan : Demam (+), muntah (-)

O : Sensorium : CM
Vital sign :
N : 90 x/m, P : 24 x/m, T : 380C

22-11-2014

Kepala

: NCH (-), CA (-), SI (-)

Leher

: pembesaran KGB (-)

Thorax

: Simetris, Retraksi (-)

Pulmo

: ves (+) N, rh (-), wh (-)

Cor

: bj I & II N reguler, m(-), g(-)

Abd

: datar, lemas, H/L ttb

Eks

: akral hangat CRT < 3

A : Demam Tifoid Hari Ke III


P:

IVFD KAEN IB gtt XIV x/m (makro)


Drip ceftriaxon 1 x 1600 mg drip dalam D5% 100

cc
Injeksi ranitidin 2 x amp
Paracetamol syr 3 x 1 cth
Diet bubur saring

S : Keluhan : Demam (-), muntah (-)


O : Sensorium : CM
Vital sign :
N : 98 x/m, P : 24 x/m, T : 37,20C
Kepala

: NCH (-), CA (-), SI (-)

Leher

: pembesaran KGB (-)

Thorax

: Simetris, Retraksi (-)

Pulmo

: ves (+) N, rh (-), wh (-)

Cor

: bj I & II N reguler, m(-), g(-)

Abd

: datar, lemas, H/L ttb

Eks

: akral hangat CRT < 3

A : Demam Tifoid Hari Ke II


P:

Pulang
Kloramfenicol 3 x 1 cth

Paracetamol syr 3 x 1 cth (kp)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.

Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid
fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran.1

3.2.

Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun
2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. 4 Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi
yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun
dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar
600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia
sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam
jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar
tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam
air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi

S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja
(melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil
yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula
transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses
kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium
penelitian.1
3.3.

Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.
typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C
(S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

3.4.

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi


Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada

Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam


makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial

3) bakteri bertahan hidup di

dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar


cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane
usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana
asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk
ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk
diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi
minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal
pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump
Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di
jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA)
kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan
selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik)

dan menyebar ke seluruh organ

Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES


ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi

sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tandatanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa

pelepasan

mediator

inflamasi

yang

selanjutnya

akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,


mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan
mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi
dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat
akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin
dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan
gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus
dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat
lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan
anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam,

depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.1,4

Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid


3.5.

Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya
berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita
yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa


inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara
garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih.


Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu
badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi
makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan
limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang
ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti
pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 41o C)
serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput
tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi
lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi
epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.
Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung

kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadangkadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir
minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi
lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan
bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak
berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar
ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan
dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada
penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut
(49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan
fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor
(1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%)
dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina
Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%),
nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan
kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan
tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi
relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor
dan kelainan neurologis fokal.6
3.6.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

1. Pemeriksaan darah tepi


Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan
sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum
tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat
pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right
bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid
dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap
komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri.
Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL
yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan
tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas
dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu
pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid
ini meliputi :
a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi


antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara
antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang
berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika
pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran

tertinggi

yang

masih

menimbulkan

aglutinasi

menunjukkan titer antibodi dalam serum.


Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1.

Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2.

Aglutinin H (flagel kuman)

3.

Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang


digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat
dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40
dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif
96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam

tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak


senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa
1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan

dini

dengan

antibiotik,

pemberian

kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa
lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
4.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu

Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian


paling sering di negara kita, demam > kasih antibiotika >
nggak sembuh dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon
antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan
bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal
sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan
tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan
bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. 15
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan

spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang


ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena
cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan
infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang
3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen
yang sangat kuat terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat
dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor
yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang
jarang

ditemukan

baik

di

alam

maupun

diantara

mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas

dan

spesifitas

yang

tinggi

Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit

terhadap

kuman

Hasil dapat diperoleh lebih cepat


c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak
antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S.
typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada
demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada
daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan
tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan
reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi
dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total
sehingga

menghilangkan

pengikatan

kompetitif

dan

memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.


Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06%
dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian
oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot
EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa TyphidotM ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama
dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut
yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan


sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan
untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan
lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa
yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan
bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam
waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.6
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS
O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi
terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,
73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.
Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA
pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali
pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas
100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada
deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen
Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu

diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan


Brucellosis.6
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum
tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan
spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar
94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk
(2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin
meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya
serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah
dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.6
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium


berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang
yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam
sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika
daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan
sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan
yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari
sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas
hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada
media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku
emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini

terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan


terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir
ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu
yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik
akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi
terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan
bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama
dengan kultur sumsum tulang.5,6
Kegagalan dalam isolasi/biakan

dapat

disebabkan

oleh

keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,


jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen
yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak
tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu
yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam
darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA
dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR
sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada
penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL
darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas
sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji
Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR


ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu
yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya
bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR
(hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan
garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen
klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat
ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6
3.7.

Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis
yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi
namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam,
(2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya
gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan
kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status
mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan
kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada
setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang
terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat
dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose
spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit
dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung
singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan
tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2
bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan
gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi

kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala


klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5
3.8.

Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang
secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza,
gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi
jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu
dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan
penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1

3.9.

Penatalaksanaan
I. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah
serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim,
dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak
pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan


suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh
akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang
belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak,
dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi
vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/
kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan
suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga
sebaliknya.7
II. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.
Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal
ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat
mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai
efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih
rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin.
Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat
yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu
antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anakanak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian

intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari


atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri.

Pada kasus malnutrisi atau

didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.


Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps
atau kambuh, dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika
trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari

dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari

dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang


diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali
selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan
ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa
Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive
terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya
dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200

mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral
dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor,
koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3
mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam
sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadangkadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.
4.0.

Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat
disertai nyeri perut dengan tanda tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis
hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum
yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan
diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi

sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu
kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi
kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis
berupa kesadaran menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti
oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata
peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran
klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun
keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran
EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen
ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella
typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis
maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis
yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom
nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella

typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces


selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen.
Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada
kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius

yang

abnormal,

seperti

schistosomiasis,

mungkin

memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.


4.1.

Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2
Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk
mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci
tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun
terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis

alkohol jika tidak tersedia air.


Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada
daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau
kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda
membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya.
Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan
tidak menelan air di pancuran kamar mandi.

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.


Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang
lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk
menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk
menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan
sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah

buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan
sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan.
Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah

buah yang dapat dikupas.


Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan
pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas.
Pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata
dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada
jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari
membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin
terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk
menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan
selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah

menggunakan toilet.
Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air
setidaknya sekali sehari.

Hindari memegang makanan.


Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai
dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda
bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak
boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda

tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.


Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda
sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat
dengan mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum
yang aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin
sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa
vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk
mengendalikan demam tifoid.1,2
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a.
Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari.
Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak
kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2
tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)


Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan
yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya.
Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5
tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara
pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada
tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam,
hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah
tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama
perlindungan yang pendek.

Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak
di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik

0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol


isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan
pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak
kecil 2 tahun.
4.2.

Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di
negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena
keterlambatan

diagnosis,

perawatan,

dan

pengobatan.

Munculnya

komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,


meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan
S.ser. Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis.
Resiko menjadi karier pada anak anak rendah dan meningkat sesuai usia.
Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1
BAB IV
ANALISA KASUS

Anda mungkin juga menyukai