Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik)
di Indonesia, mulai usia balita sampai orang dewasa. Prevalensi demam typhoid paling tinggi
pada usia 5 - 9 tahun karena pada usia tersebut orang-orang cenderung memiliki aktivitas
fisik yang banyak, atau dapat dikatakan sibuk dengan pekerjaan dan kemudian kurang
memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka cenderung lebih memilih makan di luar
rumah, atau jajan di tempat lain, khususnya pada anak usia sekolah, yang mungkin tingkat
kebersihannya masih kurang dimana bakteri Salmonella thypii banyak berkembang biak
khususnya dalam makanan sehingga mereka tertular demam typhoid.
Pada usia anak sekolah, mereka cenderung kurang memperhatikan kebersihan/hygiene
perseorangannya yang mungkin diakibatkan karena ketidaktahuannya bahwa dengan jajan
makanan sembarang dapat menyebabkan tertular penyakit demam typhoid (Robert, 2007).
Demam Typhoid masih merupakan masalah kesehatan yg penting di berbagai negara
sedang berkembang. Besarnya angka pasti demam typhoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spectrum klinisnya sangat
luas.
Di perkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di 2 Amerika Selatan dan
900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yg terkena di Indonesia (daerah endemis)
dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga di
laporkan dari Amerika Selatan (Betz, 2002).
Kejadian demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan; di daeral semarang (Jawa Tengah) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan
di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan
(Widodo, 2006).
Angka kematian dari penyakit ini mencapai 20%. Kematian umumnya disebabkan
oleh komplikasi typhoid antara lain radang paru- paru, perdarahan usus, dan kebocoran usus.
Dengan antibiotika yang tepat, angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 1 sampai 2%.
Dengan pengobatan yang pas, lamanya penyakit pun dapat ditekan menjadi sekitar seminggu
(Supari, 2006).

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : Nn. S (RM. 14 38 32)
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 18 tahun
Alamat : Jl. Poros Bontoa Raya
Masuk RS : 02 Maret 2019

Keluhan Utama : Demam


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam sejak 10 hari yang lalu. Demam
dirasakan terutama sore hari, naik perlahan, kadang disertai menggigil (hari pertama dan
kedua) Demam disertai mual, muntah sebanyak 2 kali, pusing dan nafsu makan
berkurang. Demam tidak disertai pilek dan batuk. Pasien juga tidak mengeluh BAB
cair. BAB berwarna merah atau kehitaman disangkal. BAK tidak ada kelainan.
Riwayat pengobatan dengan obat penurun panas, namun tetap demam apabila pasien
berhenti minum obat.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan


Tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 100 x/menit, regular, isi cukup
2
RR : 20 x / menit
Suhu : 38,7 °C
Pemeriksaan status generalis :
Kepala : Tidak tampak kelainan
Mata : Konjungtiva anemis (-),sklera ikterik (-)
THT : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak kotor,
tremor (+)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Bentuk normal.
Paru :
Inspeksi : Dalam keadaan statis simetris, dalam keadaan dinamis tidak
ada ketinggalan gerak.
Palpasi : Vocal fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, batas paru normal
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1,S2 tunggal, regular, gallop(-), murmur (-)
Abdomen : Bentuk datar, nyeri tekan epigastrium (+), turgor baik (<3
detik), bising usus normal tidak meningkat
Inspeksi : Datar
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba,
turgor baik
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus normal (3x/menit)
Ekstremitas : Akral hangat, petekie (-), CRT <2 detik

C. Daftar masalah
- Demam 10 hari,terutama sore hari kadang disertai menggigil
- Mual, pusing
- Nafsu makan berkurang
- Lidah tampak kotor
3
- Nyeri tekan epigastrium

D. Diagnosis
Diagnosis : Demam Tifoid

E. Usulan pemeriksaan penunjang


- DR, GDS, SGPT, CR
- Pemeriksaan Widal
- Tubex TF ( Tidak Tersedia )

Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 02 Maret 2019


- Hemoglobin: 12,4 g/dl
- Eritrosit: 4,21 juta/mm3
- Leukosit: 12,6 ribu/mm3
- Trombosit: 210.000 ribu/mm3
- Hematokrit: 38,8%
- Diff count: 0/0/3/68/26/3
- GDS: 102 mg/dl
- SGPT: 27 U/L
- SGOT: 24 U/L
- Ureum: 29,6 mg%
- Creatinin: 0,6 mg/dl
- Rapid test COVID-19: IgM & IgG Non reaktif
- WIDAL:
S. thypi O: 1/320
S. thypi H: 1/160
S. Parathypi AH: 1/80
S. Parathypi BH: 1/80

F. RESUME
Demam sejak 10 hari. Demam dirasakan terutama sore hari, naik perlahan. Demam
disertai mual, muntah sebanyak 2 kali, pusing dan nafsu makan berkurang. Riwayat
pengobatan dengan penurun panas, namun tidak kembali ke suhu normal.

4
Pasien menyangkal pernah ke daerah endemis malaria. Sekitar lingkungan demam
berdarah tidak ada.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan KU: tampak sakit sedang, kesadaran: CM, Tekanan
darah : 100/60 mmHg, Nadi :100 x/menit, regular, isi cukup, RR: 20 x / menit, Suhu:
38,7 °C. Status generalis didapatkan mata lidah tampak kotor, tremor dan nyeri tekan
epigastrium

Hasil laboratrium darah rutin didapatkan leukositosis dan pemeriksaan widal


didapatkan
S. thypi O: 1/320
S. thypi H: 1/160
S. Parathypi AH: 1/80
S. Parathypi BH: 1/80

G. Penatalaksanaan
Konsul dr.Sp.PD advice:
- Diet lunak
- Bed rest
- Infus RL 16 tetes / menit
- Antibiotik: Inj. Ceftiaxone 1g/12jam/iv
- Inj. Ranitidin 1amp/12jam/iv
- Antiemetik: Inj. Ondansentron 2x1 amp iv (bila muntah)
- Antipiretik: Infus Parasetamol 3x1 amp iv (bila demam)

H. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

5
FOLLOW UP
Tanggal 02 Maret 2019
S : demam naik turun, mual(+), muntah (-), pusing (+), menggigil (+), nafsu makan turun,
O : ku : tampak sakit sedang
TD: 90/60 mmHg, nadi 100 x/ menit, RR 22 x/menit, Suhu : 38,7°C, konjungtiva
anemis (-), lidah kotor (+), nyeri tekan epigastrium (+), akral hangat
A : Susp.Demam tifoid
P : - Diet lunak
- Infus RL 20 tetes / menit
- Antibiotik: Inj. Ceftriaxone 2x1g
- Inj. Ranitidin 2x1amp
- Domperidone 3x1
- Paracetamol 3 x 500mg (jika suhu >38.5)
Tanggal 03 Maret 2019
S : Demam (-), mual berkurang, pusing (-), menggigil (-), nafsu makan berkurang
O : ku : tampak sakit sedang
TD: 90/60 mmHg, nadi 94 x/ menit, RR 20 x/menit, Suhu : 37,0°C, konjungtiva anemis
(-), nyeri tekan epigastrium (+), akral hangat
A : Demam tifoid
P : - Diet lunak
- Infus RL 20 tetes / menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1g
- Inj. Ranitidin 2x1amp
- Domperidone 3x1
Tanggal 04 Maret 2019
S : Demam (-), mual (-), nafsu makan (+)
6
O : ku : baik
TD: 100/70 mmHg, nadi 88 x/ menit, RR 20 x/menit, Suhu : 36.5°C, nyeri tekan
epigastrium (-), akral hangat
A : Demam tifoid
P : - Cefixime 2x100mg
- Vit B complex 3x1 tab
-Pasien boleh pulang, kontrol rawat jalan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi Salmonella sp
(lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, B, C

B. Epidemiologi
Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang
yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat
dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan
sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000

7
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,
berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam
serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen
tersebut.

Gambar 1. Salmonella Typhi

D. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap
sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan
masa inkubasi berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat
masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi
tubuh dengan menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin melalui antigen
sample sel yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus,
berhubungan dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui rute paraselular.
Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan
8
selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat
didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk
kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.

Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.

9
Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

E. Manifestasi klinis

10
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga
bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
 Demam sekitar interminten/remiten

11
 Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
 Gambaran gejala saluran nafas atas
 Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
 Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/
hepatomegali
 Raseola mungkin ditemukan

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa


 Demam kontinyu
 Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali permenit)
 Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung
 Hepatomegali dan splenomegali,
 Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan
kehilangan nafsu makan
 Nyeri, distensi perut, meteorismus

Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:


 Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi
 Jika keadaan memburuk:
- Disorientasi, bingung, insomnia,
- Komplikasi perdarahan dan perforasi.

F. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur
darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit
dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur
feses kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik.
Pada pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat
12
pula terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga
dilakukan dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan
dengan mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun
tes ini kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan false-
positif terjadi.

Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody
yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah
untuk menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid
yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula
timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan
selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum
yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen
Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O (≥ 1 : 160) menunjukkan adanya
infeksi aktif.
2) Titer H yang tinggi (≥ 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah
divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri

13
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :
1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah
dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya
secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah
psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.

G. Penatalaksanaan

14
Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat
merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat
dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti
perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi.
Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan
perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral.
Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid. Istirahat
yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan
cairan-elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO)
harus diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien
distensi abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir
komplikasi. Pengggunaan chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai
angka kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk
demam tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba.
Berikut adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai
tambahan untuk antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan
keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus diperhatikan.
Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis awal,
diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien
dengan syok, penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan
pengawasan .

15
Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid

Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid

H. Komplikasi

16
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan
ekstraintestinal.
- Intestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi
- Ekstraintestinal : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis, hepatitis.

I. Pencegahan
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
penanganan pembuangan limbah feses.

- Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid,
terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih
diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari
(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.

J. Prognosis
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan
penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi
meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan
munculnya komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang
terinfeksi dapat kambuuh setelah respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan
S.typhi ≥3bulan setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko
untuk menjadi karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya
umur, namun secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid


Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase and
Biologicals. WHO.

Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and Treatment
of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82

Braunwald. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition, New York,

Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http:// emedicine.medscape.com/article


231135-overview dikunjungi pada 20 Februari 2011.

Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho Edi,
Maulani RF. Jakarta EGC

Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,


Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272

Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III edisi IV. Jakarta FKUI

18
19

Anda mungkin juga menyukai