Anda di halaman 1dari 27

BAB I

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. M

Usia : 10 Tahun

Jenis Kelamin : Laki- laki

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan Terakh ir : SD

Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Banyuwangi

Tgl Dirawat : 17 Oktober 2019

A. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri Perut Kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Graha Medika dengan keluhan nyeri perut
sebelah kanan bawah. Nyeri dirasa sudah sejak lama, kurang lebih selama 1
tahun terakhir. Nyeri dirasa hilang timbul dan kambuh- kambuhan. Pasien
mengeluhkan nyeri pada orang tuanya awalnya di daerah ulu hati, orang
tuanya menganggap itu adalah sakit maag biasa. Nyeri reda setelah ortunya
memberikan obat maag dan obat pereda nyeri. Setiap kali nyerinya muncul
ortunya memberikan obat pereda nyeri dan obat maag ke pada pasien.
Namun 3 hari SMRS pasien mengeluhkan nyeri lagi di daerah kanan bawah
dan tidak membaik dengan obat maag dan obat pereda nyeri yang ortunya
biasa berikan bila nyerinya kambuh. Pasien juga mengeluhkan demam
selama 3 hari terakhir SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu :

1. Typhoid fever (-)


2. Riwayat Asma (-)
3. Riwayat Alergi (-)
4. Riwayat kejang (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


1. Ayah tidak ada keluhan
2. Ibu tidak ada keluhan

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. PENAMPILAN
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

2. TANDA VITAL
 Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 80x/menit
 Pernafasan : 20x/menit
 Suhu : 38.6 selsius

3. STATUS GENERALIS
 Kepala : Normocephal, rambut hitam
 Mata : a/i/c/d: -/-/-/-
 Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), Deviasi septum (-)
 Telinga : dalam batas normal
 Mulut : Bibir lembab, tidak ada perdarahan gusi.

4. THORAKS
 Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV Midclavicula line

sinistra. Thrill (-)

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : S1/S2 tunggal, regular. Murmur (-), gallop (-)

 Paru Paru :

Inspeksi : Pergerakan dada kanan dan kiri simetris. Retraksi

otot bantu nafas (-)

Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri simetris

Perkusi : Suara timpani di kedua lapang paru

Auskultasi : Suara vesikuler di kedua lapang paru


5. ABDOMEN
 Inspeksi : Tampak Cembung
 Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan +
regio iliaca
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

6. EKSTREMITAS
 Akral : Hangat
 Oedem : tidak ada pada seluruh ekstremitas
 CRT < 2 detik

C. RESUME
Pasien laki- laki usia 20 tahun di bawa keluarganya ke IGD RS Graha
Medika karena berbicara melantur dan bertingkah laku aneh. Sebelum
berbicara melantur dan bertingkah laku aneh, pasien sempat kejang
beberapa saat di rumahnya. Saat ini pasien berteriak- teriak, loncat- loncat,
dan bergu;ing- guling di IGD. Riwayat seperti ini sebelumnya disangkal,
riwayat alergi (-), riwayat kejang (-)

Tanda Vital dalam batas normal.


Pemeriksaan fisik : dalam batas normal

Pemeriksaan Laboratorium
Tgl. 17-10-19
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 13.9 gr/dL 12.7-18.7 gr/dL
Leukosit 18.000 /mm3 5.000 – 10.000 /mm3
Eritrosit 4.800.000 3.600.000 – 6.500.000 /mm3
/mm3
Hematokrit 39.9% 35% - 52%
Trombosit 152.000/mm3 150.000 – 450.000 /mm3
Fungsi Liver
SGOT 20 U/L L<35 ; P < 31 U/L
SGPT 29 U/L L<45; P < 34 U/L
Gula Darah
Gula Darah Sewaktu 89 g/dL 110 – 150 g/dL

Golongan Darah A+
Bleeding Time
Clothing Time
Fungsi Ginjal
Ureum 26.7 mg/dL 17 – 43 mg/dL
Kreatinin 0.8 mg/dL 0.6 – 1.3 mg/dL

D. DAFTAR MASALAH
Abdominal Pain ec Susp. Appendicitis

E. ASSESMENT
S : Nyeri perut kanan bawah
O : KU Cukup
A : Abdominal Pain ec Susp. Appendicitis
P:
IVRD RL 20 tetes per menit
- Inj. Ranitidn 1 ampul
- Inj. Omeprazole 40mg
- Pro operasi appendectomy

Hasil Follow Up 1
Tgl 16-11-2019
S : Pasien sudah mulai tenang tapi masih berbicara melantur. Pasien tidak
mual maupun muntah. Pasien sudah tidak bertingkah laku aneh

O : KU Cukup Tekanan darah : 110/80mmHg; Nadi : 86x/mnt; RR : 22x/mnt;


Suhu : 36,5OC;

Kepala/ leher: a/i/c/d: -/-/-/-, pembesaran KGB –

Dada:

Pulmo: vesikuler/ vesikuler, wheezing -/-, ronchi -/-

Cor: s1/s2 tunggal, regular

Abdomen: soepel, bising usus + normal, nyeri tekan –

Ekstremitas:

Akral hangat di keempat ekstremitas

Edem – di keempat ekstremitas

A : typhoid dengan gejala psikosa akut

P:
Medikamentosa :
PO : chlorpromazine 2x1 tablet
Haloperidol 2x1 tablet
Alganax 2x1 tablet
Cefadroxik 3x1 tablet
Nonmedikamentosa :
Pembatasan gerak pasien
Lepas NGT

Hasil Follow Up 2
Tgl. 17-11-2019

S : Pasien sudah tenang dan sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Pasien
sudah tidak berbicara melantur maupun bertingkah laku aneh. Pasien
mengeluhkan perutnya sakit
O : KU Cukup ; Tekanan darah : 110/70mmHg; Nadi : 92x/mnt; RR : 20x/mnt;
Suhu : 36,6OC;

Kepala/ leher: a/i/c/d: -/-/-/-, pembesaran KGB –

Dada:

Pulmo: vesikuler/ vesikuler, wheezing -/-, ronchi -/-

Cor: s1/s2 tunggal, regular

Abdomen: soepel, bising usus + normal, nyeri tekan + di epigastrium

Ekstremitas:

Akral hangat di keempat ekstremitas

Edem – di keempat ekstremitas

A : Typhoid dengan gejala psikosa akut dengan dispepsia


P:
Medikamentosa :
PO : chlorpromazine 2x1 tablet
Haloperidol 2x1 tablet
Alganax 2x1 tablet
Cefadroxil 3x1 tablet

Nonmedikamentosa:

Lepas pembatas gerak pasien

Pro KRS
Hasil Follow Up 3
Tgl. 17/11/2019

S : Pasien sudah tenang dan sudah tidak berbicara melantur. Pasien sudah
bisa diajak berkomunikasi seperti biasanya. Pasien mengeluhkan nyeri di
daerah ulu hati

O : KU Cukup ; Tekanan darah : 110/80mmHg; Nadi : 86x/mnt; RR : 22x/mnt;


Suhu : 36,5OC;
Kepala/ leher: a/i/c/d: -/-/-/-, pembesaran KGB –

Dada:

Pulmo: vesikuler/ vesikuler, wheezing -/-, ronchi -/-

Cor: s1/s2 tunggal, regular

Abdomen: soepel, bising usus + normal, nyeri tekan epigastrium +

Ekstremitas:

Akral hangat di keempat ekstremitas

Edem – di keempat ekstremitas

A : typhoid dengan gejala psikosa akut dengan dyspepsia


P:
Medikamentosa :
PO : Santagesik 3x1 tablet
Omeprazole 3x1 tablet
Ulsidek 3x1 tablet
Cefadroxil 3x1 tablet
Acc KRS
Kontrol poli

BAB II

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan dengan
bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear
dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Disebut Tifoid karena pada
awalnya penyakit ini memiliki manifestasi yang hampir sama dengan Demam Tifus yang
disebabkan oleh bakteri Rickettsia oleh karena itu penyakit ini diberi akhiran “oid” yang
berarti mirip. 1,2

Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di
Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid merupakan
penyakit endemik. Penderita dapat mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan
perforasi usus, ileus, KID, pneumonia, miokarditis, hepatitis tifosa, kolesistitis,
pankreatitis tifosa, glomerulonephritis, osteomyelitis dan manifetasi neuropsikiatrik

yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 1,3

Demam tifoid ensefalopati, merupakan salah satu komplikasi ekstraintestinal dari


demam tifoid. Diduga, faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang
rendah ras, iklim nutrisi kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang
ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka
kematian.3

Terkadang, gejala demam tifoid diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium,
somnolen, stupor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya
dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti
ini oleh beberapa peneliti disebut tifoid toksik, ada juga yang menyebutnya sebagai
demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam tifoid dengan toksemia. 1

Istilah tifoid berasal dari typhos kata Yunani yang berarti asap, yang mengacu
pada sikap apatis dan kebingungan yang terkait dengan penyakit. Karya oleh Osler
menggambarkan "negara tifus" sebagai negara setengah sadar ditandai dengan
tatapan kosong, "bergumam" bicara ngawur, dan pasien interaktif arousable tapi tidak.
serangkaian kasus dari Amerika Serikat, Nigeria, India, dan Bangladesh menunjukkan
bahwa sampai 75% dari pasien rawat inap dengan demam tifoid mungkin memiliki
manifestasi neuropsikiatri, sebagian besar ditandai sebagai "stu-por," "delirium," atau
"keadaan bingung," meskipun mielitis, cerebellitis, parkinsonisme, insomnia, dan
psikosis akut juga telah dijelaskan. Secara historis, tipus ensefalopati telah dikaitkan
dengan tingkat kematian hingga 50% bahkan dengan antibiotik, meskipun survei
barubaru ini masih kurang. Patofisiologi dari berbagai manifestasi neuropsychiatric
demam tifoid, termasuk ensefalopati, masih harus dijelaskan. 4

Insidens demam tifoid termasuk tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per
tahun) di Asia Selatan , Asia Tenggara dan Afrika Selatan. Di dunia diperkirakan
demam tifoid menyerang 21,6 juta manusia dan menyebabkan 216 ribu kematian pada
tahun 2000. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit.
Sebagian besar demam tifoid terjadi pada individu berusia 3 sampai 19 tahun dengan
91% kasus.1,6

Di Indonesia insidens demam tifoid pada usia 3-6 tahun adalah 1307 per
100.000 populasi per tahun, sedangkan pada usia 7-19 tahun adalah 1172. Di
Indonesia dijumpai 900 ribu pasien demam tifoid per tahun dengan angka kematian
lebih dari 20 ribu.5

Insidensi ensefalopati tifoid yang dilaporkan bervariasi antara 10-30%. Dalam


ketiadaan terapi yang tepat, case fatality ensefalopati tifoid tinggi, dimana dilaporkan
sebanyak 56%.7,8

Korelasi univariat ensefalopati pada pasien dengan Salmonella Typhi


ensefalopati menurut suatu penelitian, menyatakan bahwa 86% tifoid encephalopathy
ditemukan pada usia 10 – 24 tahun dengan demam rata-rata selama 5 hari. 30% kasus
mengalami multidrug-resistant. Resisten Salmonella Typhi didefinisikan sebagai
resisten terhadap kloramfenikol, amoksisilin, dan kotrimoksazol (trimetoprim /
sulfametoksazol).4 Penularan sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar
oleh kuman yang berasal dari penderita. Transmisi seksual pada pasangan pria
sesame jenis telah ditemukan. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang
ibu hamil dalam keadaan bacteremia pada bayinya. 1,5,9,10

Berikut adalah sumber-sumber infeksi yang penting: 11

• Air, kontaminasi dengan feses sering menimbulkan epidemik yang luas

• Susu dan produk susu lainnya (es krim, keju, puding), kontaminasi dengan

feses dan pasteurisasi yang tidak adekuat atau penanganan yang salah.

Beberapa wabah dapat ditelusuri sampai sumber kumannya

• Kerang, dari air yang terkontaminasi

• Telur beku atau dikeringkan, dari unggas yang terinfeksi atau kontaminasi saat

pemrosesan

• Daging dan produk daging, dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak) atau

kontaminasi oleh feses melalui hewan pengerat atau manusia

• Obat “rekreasi”, mariyuana dan obat lainnya

• Pewarnaan hewan, pewarnaan (misal, carmine) digunakan untuk obat,

makanan, dan kosmetik

• Hewan peliharaan, kura-kura, anjing, kucing, dll



BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Etiopatogenesis
S. typhi merupakan basil gram negatif yang tergolong dalam family
Enterobacteriaceae. Bakteri ini tidak membentuk spora, bersifat fakultatif
anaerob, dan mempunyai flagella. S. thypi mempunyai antigen O (somatik),
antigen H (flagelar antigen) dan antigen K (envelope antigen). Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dinding
sel dan dinamakan endotoksin.1,12

Gambar 1. Salmonella sp.13

Kuman mati pada suhu 56°C juga pada keadaan kering. Dalam air bisa tahan
selama 4 minggu. Hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. 12
S. typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada di dalam air, es, debu dan kotoran kering maupun pada pakaian.

Akan tetapi bakteri ini akan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi
(suhu 63°C).1
Gambar 2. Pathogenesis tifoid 3

Pathogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti


organisme yaitu:
(1) penempelan dan invasi sel-sel M (microfold cell) Peyer’s patch,
(2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus
limfatikus mesenterikus dan organ-organ ekstraintestinal system retikuloendotelial
(RES).
(3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan
(4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. 1
Dosis infeksius bakteri S. thypi adalah 103 – 106 colony forming unit (CFU). Kondisi
yang menurunkan keasaman lambung (usia < 1 tahun, ingesti antasida, atau
penyakit gastrointestinal sebelumnya atau perubahan flora usus karena pemberian
antibiotik) meningkatkan suseptibilitas terhadap infeksi Salmonella.9

Bakteri ini masuk melalui mulut, kemudian sebagian akan mati di lambung. Bakteri
yang hidup akan mencapai lumen usus halus dan melekat pada sel-sel mukosa.
Bila respos imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka bakteri akan
menginvasi dan menembus sel-sel M (sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s
patch) dan selanjutnya di lamina propria. Lamina propria usus halus mengandung
sel-sel limfosit, makrofag, sel plasma dan eosinophil. Di lamina propria, bakteri
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. 1,3
Bakteri dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag, selanjutnya bakteri
dibawa ke Peyer’s patch ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening (KGB)
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus bakteri yang ada dalam
makrofag masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bacteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ RES terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini bakteri meninggalkan fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bacteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda atau
gejala penyakit infeksi sistemik.1,3

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setalah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialga, sakit kepala, sakit perut,

instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi. 3

Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan


(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. 3
Patogenesis yang jelas mengenai komplikasi ini belum diketahui. Berbagai teori
telah diajukan, termasuk kemungkinan peran endotoksin diungkapkan oleh bakteri,
infeksi langsung dari sistem dan kemungkinan fenomena autoimun saraf pusat.
Gangguan metabolik, toksemia, hiperpireksia dan perubahan otak non spesifik
seperti edema, trombotik, embolik dan perdarahan telah menjadi hipotesis sebagai
mekanisme yang kemungkinan terjadi. Pada studi kasus di dapatkan gambaran
hipoelectrolitemia berat. Proses patologis di otak yang menyebabkan ensefalopati
tifoid mungkin berhubungan dengan ensefalomyelitis diseminata akut. Injeksi toxin
pada kelinci menyebabkan congesti, perdarahan perivaskuler, dan necrosis pada
otak, khususnya batang otak serta di berbagai organ lainnya. 7,14,15,16,17 Walaupun
peran endotoksin dalam patogenensis demam tifoid tidak jelas, namun diduga
endotoksin S. thypi dapat menempel pada reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan dan gangguan organ lainnya. 1,3
B. MANIFESTASI KLINIS
Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala
penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti
demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit
kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara
80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan
gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan
diare dan sembelit silih berganti. Khas lidah pada penderita adalah kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat
dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang.
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercakbercak ros (roseola)
berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Jika pada minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya
menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam.

Mikroorganisme dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1 minggu


demam (hari ke-8 demam). Jika penderita diobati dengan benar, maka kuman
tidak akan ditemukan pada tinja dan urin pada minggu ke-4. Akan tetapi, jika
masih terdapat kuman pada minggu ke-4 melalui pemeriksaan kultur tinja, maka
penderita dinyatakan sebagai carrier. Seorang carrier biasanya berusia dewasa,
sangat jarang terjadi pada anak. Kuman Salmonella bersembunyi dalam
kandung empedu orang dewasa. Jika carrier tersebut mengonsumsi makanan
berlemak, maka cairan empedu akan dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan
untuk mencerna lemak, bersamaan dengan mikroorganisme (kuman
Salmonella). Setelah itu, cairan empedu dan mikroorganisme dibuang melalui
tinja yang berpotensi menjadi sumber penularan penyakit. 3,9,11,18,19

Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi
hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya
nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih
lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi gangguan
pendengaran, lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan
darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan
limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk
terus menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain. 18

Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali
di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila
keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun.
Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika
keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat
diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut
nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah,
sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran
adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum
dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga. 18

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal


minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena
femoralis. Selain pada usus, juga terjadi kelainan pada organ tubuh lainnya,
kantong empedu dapat meradang, dan membesar, limpa membesar
(splenomegali), hati membesar (hepatomegali) dan mengandung abses kecil-
kecil (sarang nekrosisi). Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan
demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih
ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat
daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak
diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. 18,20 Manifestasi klinik yang terjadi
pada tifoid ensefalopati antara lain dapat berupa nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, vomiting, diare, konstipasi, myalgia, kaku kuduk, kernig sign
positif, depresi mental, gelisah, ataxia, myopati, polineuropati, kejang dan
sebagainya yang mirip dengan meningitis dan ensefalitis. 3,9,21,23,24 Terkadang
gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan
kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor, atau
koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini
oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya
menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam
tifoid dengan toksemia.3
Tanda toksemia tifus bermula pada awal demam, yakni dalam bentuk
delirium atau koma vigil dengan memilih pada lembaran atau membayangkan
suatu benda dan biasanya mereda dalam 2-3 hari pada penurunan suhu tubuh
sampai normal. Pada studi kasus dinyatakan anak telah mengalami demam
mencapai 38°C-39°C selama 2 minggu sebelum penanganan di rumah sakit.
Telah diobservasi bahwa ensefalopati tifoid jarang terjadi pada orang-orang yang
sudah bertumbuh dan lebih sering terjadi pada kelompok usia lebih muda
terutama usia antara 6-14 tahun. Namun, demam enterik yang bermanifestasi
neuropsikiatri selain tifus toksemia cukup langka. Tinjauan literatur telah gagal
mengungkapkan gejala ensefalopati dengan berbagai tahap koma yang lain.
Pada suatu analisis kasus pasien menunjukkan gangguan perilaku dalam waktu
24 jam dari demam. Dia memiliki lebih dari delirium obtundation, yakni apa yang
telah umum digambarkan oleh sebagian penulis dengan tifoid ensefalopati.
Namun, perilaku abnormal dan gejala ekstrapiramidal bertahan selama lebih dari
seminggu setelah penurunan suhu badan sampai normal yang biasa pada tifoid
ensefalopati. Pingsan, delirium dan koma adalah prognostik penanda utama
terkait dengan kematian > 40%.17,21

C. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang


diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Gejala klinis berupa
demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau
gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seseorang klinisi dapat membuat
diagnosis tersangka demam tifoid. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai
penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan
metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara
menyeluruh. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena
tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada
beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini
menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi
penegakan diagnosis demam tifoid.1,6

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam


tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu: (1) pemeriksaan darah tepi; (2)
pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis;
dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.6

Pada pemeriksaan darah tepi, dapat dijumpai anemia normokromik normositik


yang terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang.
Jumlah leukosit rendah tetapi jarang di bawah 300/µl 3. Trombositopenia sering
dijumpai, kadang berangsung sampai beberapa minggu. Penelitian oleh
beberapa ilmuan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju
endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifitas dan nilai ramal yang
cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid
atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relative menjadi
dugaan kuat diagnosis demam tifoid.6
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. thypi dari darah, urine, feses,
sumsum tulang. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S.
thypi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan
yang dilakukan pada urin dan feses kemungkinan keberhasilannya lebih kecil.
Biakan specimen dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas lebih
tinggi, namun karena prosedur yang sangat invasive maka tidak dipakai dalam
praktik sehari-hari.1 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung
beberapa faktor. Faktor- faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1)
jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dari media empedu,
dan (3) waktu pengambilan darah. 6 Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak
besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 1-4 mL. sedangkan volume
sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0,5-1 mL. bakteri
dalam sumsum tulang ini juga lebh sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum
tulang lebih tinggi hasil positifnya dibandingkan dengan darah walaupun dengan
volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotik
sebelumnya. Media biakan yang direkomendasikan untuk S. thypi dadalah media
empedu (gall) dari sapi dimana media ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. thypi yang dapat tumbuh pada media tersebut. 6

Uji serologi widal merupakan suatu pemeriksaan yang prinsipnya adalah


memeriksa reaksi antara antibody aglutinin dalam serum penderita yang telah
mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan
flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi
aglutinasi.

Pengenceran tertinggi yang masih menumbulkan aglutinasi menunjukkan titer


antibody dalam serum.1,6 Interpretasi dari uji widal ini harus memperhatikan
beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor
penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi
pembentukan antibody; gambaran imunologis dari masyrakat setempat (daerah
endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang
digunakan.6

Kelemahan uji widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaan dalam penetalaksanaan
penderita demam tifoid. Akan tetapi hasil uji widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada penderita curiga demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan
dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan antara nilai standar
aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O
dan H pada anak-anak sehat.6

Namun banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali


periksa > 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Pada suatu penelitian 74% kasus didapatkan
titer H yang tinggi dengan tifoid encephalopathy. 1

Selain uji widal, pemeriksaan serologis lainnya yang dapat dilakukan yaitu:

D. TERAPI
Sebagian besar demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring,
isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian
antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar
pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan
timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan utamanya adalah
antibiotik, dimana kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama. Dosis yang
diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari
atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Untuk mengitis pengobatan
diperpanjang sampai 4 minggu.1
Selain itu, dapat diberikan ampisilin (namun memberikan respons klinis
yang kurang bila dibandingkan dengan kloramfenikol). Dosis yang dianjurkan
adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian intravena. Amoksisilin
juga dapat diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian per oral. Namun, di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam
tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya rentan
terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi ketiga
seperti seftriakson 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4
gr/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4
dosis. Akhir-akhir ini sefiksim oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat
diberikan sebagai alternative, terutama apabila leukosit <2000/µl atau dijumpai
resistensi.1 Pola klinis demam tifoid telah berubah dari waktu ke waktu, dan
timbulnya multi drug resistance (MDR) menjadi penyulit dalam tatalaksana
demam tofoid berat.8

Untuk kasus tifoid toksik, pengobatan antibiotik ini ditambahkan dengan


pemberian deksametason intravena (3 mg/kgBB diberikan dalam 30 menit untuk
dosis awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 6 - 48 jam). 2 Mekanisme aksi
deksametason dalam pengobatan ensefalopati tifoid belum diketahui. Endotoksin
yang dikeluarkan oleh S. typhi menstimulasi makrofag untuk memproduksi
monokin, asam arakidonat dan metabolitnya, dan spesiesoksigen bebas yang
kemungkinan bertanggung jawab pada terjadinya efek toksik, secara khusus
pada pasien dengan ensefalopati tifoid. Deksametason mungkin menurunkan
efek fisiologis yang ditimbulkan dari produk makrofag dan bertindak sebagai
antioksidan sehingga menurunkan fatalitas. Edema serebelar dan kongesti vena
otak sering ditemukan pada ensefalopati tifoid, dan deksametason diperkirakan
berperan dalam menurunkan kondisi ini.7

Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid
berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4×400 mg
ditambah ampisilin 4×1 gram dan deksametason 3×5 mg. 3

E. PROGNOSIS
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dengan munculnya
komplikasi seperti tifoid toksik, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Namun, terapi antibiotik dengan deksametason IV dapat menurunkan
angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.1

BAB IV

GANGGUAN PSIKOTIK AKUT

A. DEFINISI
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu
menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku
kacau/aneh.

B. PEDOMAN DIAGNOSTIK
Menggunakan urutan diagnosis yang mencerminka urutan prioritas yang diberikan
untuk ciri-ciri utama terpilih dari gangguan ini. Urutan prioritas yang dipakai ialah:
a. Onset yang akut (dalam masa 2 minggu atau kurang = jangka waktu gejala-
gejala psikotik menjadinyata dan mengganggu sedikitnya beberapa aspek
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, tidak termasuk periode prodromal yang
gejalanya sering tidak jelas) sebagai cirri khas yang menentukan seluruh
kelompok
b. Adanya sindrom yang khas (berupa “polimormif” = beraneka ragam dan
berubah cepat, atau “schizophrenia-like” = gejala yang khas)
c. Adanya stress akut yang berkaitan (tidak selalu ada, sehingga dispesifikan
dengan karakter ke 5;0 .x0=Tanpa penyerta stress akut; .xi=Dengan penyerta
stress akut). Kesulitan atau problem yang berkepanjangan tidak boleh
dimasukkan sebagai sumber stress dalam konteks ini
d. Tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung;
 Tidak ada gangguan dalam kelompok ini yang memenuhi criteria episode manic
atau episode depresi, walaupun perubahan emosional dan gejala-gejala afektif
individual dapat menonjol dari waktu ke waktu.
 Tidak ada penyebab organik, seperti trauma kapitis, delirium, atau dimensia. Tidak
merupakan intoksikasi akibat penggunaan alcohol atau obat-obatan.

C. MACAM GANGGUAN PSIKOTIK


1. Gangguan Psikotik Polimorfik Akut tanpa Gejala Skizofrenia
a. Onset harus akut (dari suatu keadaan non psikotik sampai keadaan psikotik yang
jelas dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang);
b. Harus ada beberapa jenis halusinasi atau waham yang berubah dalam jenis dan
intensitasnya dari hari ke hari atau dalam hari yang sama ;
c. Harus ada keadaan emosional yang beranekaragamnya ;
d. Walaupun gejala-gejalanya beraneka ragam, tidak satupun dari gejala itu ada
secara cukup konsisten dapat memenuhi kriteria skizofrenia atau episode manik
atau episode depresif.
2. Gangguan Psikotik Polimorfik Akut dengan Gejala Skizofrenia
i. Memenuhi kriteria yang khas untuk gangguan psikotik polimorfik akut.
ii. Disertai gejala-gejala yang memenuhi kriteria untuk diagnosis Skizofrenia yang
harus sudah ada untuk sebagian besar waktu sejak munculnya gambaran klinis
psikotik itu secara jelas.
iii. Apabila gejala-gejala skizofrenia menetap untuk lebih dari 1 bulan maka
diagnosis harus diubah menjadi skizofrenia.
3. Gangguan Psikotik Lir – Skizofrenia Akut
Suatu gangguan psikotik akut dengan gejala yang stabil dan memenuhi kriteria
skizofrenia, tetapi hanya berlangsung kurang dari satu bulan lamanya.

Pedoman Diagnosis ;

1) Onset psikotiknya akut (dua minggu atau kurang)


2) Memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi lamanya kurang 1 bulan.
3) Tidak memenuhi kriteria psikosis pilimorfik akut.

4. Gangguan Psikotik Akut Lainnya dengan Predominan Waham


Gambaran klinis berupa waham dan halusinasi yang cukup stabil, tetapi tidak
memenuhi skizofrenia. Sering berupa waham kejaran dan waham rujukan, dan
halusinasi pendengaran.

D. Penanganan Gangguan Psikotik Akut


Farmakoterapi
 Obat utama Antipsikotik untuk mengurangi gejala psikotik :
 Haloperidol 2-5 mg, 1 sampai 3 kali sehari, atau Chlorpromazine 100-
200 mg, 1 sampai 3 kali sehari
 Dosis harus diberikan serendah mungkin untuk mengurangi efek
samping, walaupun beberapa pasien mungkin memerlukan dosis yang
lebih tinggi
 Obat antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan neuroleptika untuk
mengendalikan agitasi akut (misalnya: lorazepam 1-2 mg, 1 sampai 3 kali
sehari)
 Lanjutkan obat antipsikotik selama sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah
gejala hilang.
 Kekakuan otot (Distonia atau spasme akut), bisa ditanggulangi dengan
suntikan benzodiazepine atau obat antiparkinson
 Kegelisahan motorik berat (Akatisia), bisa ditanggulangi dengan pengurangan
dosis terapi atau pemberian beta-bloker
 Gejala parkinson (tremor/gemetar, akinesia), bisa ditanggulangi dengan obat
antiparkinson oral (misalnya, trihexyphenidil 2 mg 3 kali sehari)
Psikoterapi
 Psikoterapi individual, kelompok, dan keluarga
 Mengatasi stresor dan episode psikotik
 Mengembalikan harga diri dan kepercayaan

BAB V

KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan dengan bakteremia
dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati,
limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Demam tifoid ensefalopati, merupakan
salah satu komplikasi ekstraintestinal dari demam tifoid, terkadang, gejala demam tifoid
diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut.
S. typhi merupakan basil gram negatif yang tergolong dalam family
Enterobacteriaceae. Kuman mati pada suhu 56°C juga pada keadaan kering. Dalam air
bisa tahan selama 4 minggu.

Gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain.
Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar
atau tremor.

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang


diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Diagnosis pasti ditegakkan melalui
isolasi S. thypi dari darah, urine, feses, sumsum tulang. Uji serologi widal merupakan
suatu pemeriksaan yang prinsipnya adalah memeriksa reaksi antara antibody aglutinin
dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran. hasil uji widal yang positif
akan memperkuat dugaan pada penderita curiga demam tifoid.

Sebagian besar demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik.
Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan,
elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit. Pengobatan
utamanya adalah antibiotik, dimana kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama.
Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14
hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Semua kasus tifoid toksik, atas
pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan
kombinasi kloramfenikol 4×400 mg ditambah ampisilin 4×1 gram dan deksametason
3×5 mg.

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan


kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi.

Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu
menilai kenyataan yang terjadi. Menggunakan urutan diagnosis yang mencerminka
urutan prioritas yang diberikan untuk ciri-ciri utama terpilih dari gangguan ini.
Gangguan psikotik ada beberapa macam, antara lain: gangguan psikotik
polimorfik akut tanpa gejala skizofrenia, gangguan psikotik polimorfik dengan gejala
skizofrenia, gangguan psikotik lir skizofrenia akut, gangguan psikotik akut lainnya
dengan predominan waham.

Terapi gangguan psikotik akut menggunakan farmakoterapi. Farmakoterapi


utama untuk mengatasi gangguan psikotik akut Haloperidol 2-5 mg, 1 sampai 3 kali
sehari, atau Chlorpromazine 100-200 mg, 1 sampai 3 kali sehari.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SP, dkk, ed. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua.

Jakarta: IDAI; 2012. Hal 338 339


2. Tapan E. Flu, HFMD, Diare pada Pelancong, Malaria, Demam Berdarah,

dan Tifus. Dalam: Dokter “Internet”. Bogor: Grafika Mardi Yuana; 2004. hal.

xv

3. Widodo J. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo AW, dkk, ed. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi kelima. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal.

2797-2803

4. Leung DT, dkk. Factors Associated with Encephalopathy in Patients with

Salmonella enterica Serotype Typhi Bacteremia Presenting to a Diarrheal

Hospital in Dhaka, Bangladesh. Bangladesh: Am. J. Trop. Med. Hyg; 2012.

hal. 698, 699

5. Adisasmito AW. Penggunaan Antibiotik pada Terapi Demam Tifoid Anak.

Vol. 8 no. 3; Desember 2006. hal. 174

6. Prasetyo RV, dkk. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak; 2006. hal.

2-15

7. Chisti MJ, dkk. High Dose IV Dexamethasone in Management Enteric Fever

and Encephalopathy. Shoutest Asia: J trop med public healt; 2009.

hal. 1065, 1071

8. Amri, I. Dexametason Intravena Dosis Tinggi sebagai Tatalaksana Pasien

dengan Ensefalopati Tifoid yang Menderita Diare. Bangladesh: Journal

Reading; 2012.

9. Pagues DA, dkk. dalam: Fauci AS, dkk. Harrison’s Infectious Disease. USA:

McGraw-Hill; 2010. hal. 522-524

10. Marshall GS. The Vaccin Handbook: A Practical Guide for Clinicans. Edisi

tiga. USA: A Medical Publishing & Communication Company; 2010. hal. 454
11. Brooks, GF dkk. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Mikrobiologi Kedokteran.

Edisi 23. Saidah R, editor. Jakarta: EGC; 2008. hal. 261, 263

12. Staf Pengajar FK UI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi.

Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. hal. 168-169, 172

13. Todar K. Structure and Function of Bacterial Cells. dalam: Online Textbook

of Bacteriology. [akses 20 Desember 2016]. Tersedia dari:

http://textbookofbacteriology.net/structure.html ; 2012 hal. 2

14. Zellweger H, and Idriss H. Encephalopathy in Salmonella Infection. Online

on: AMA Journals pediatrics; 2015. hal. 89

15. Pohowalla JN and Ghai OP. Typhoid Encephalopathy in Children. dalam:

Indian Journal of Pediatric. Indore: SpringerLink; 1957. hal. 140

16. Martin K, dkk. Encephalopathy Associated with Salmonella Enteritidis

Infection. London: Scand J Infect; 1994. hal. 487

17. Niar MR dkk. Typhoid Fever Presenting as Acute Psychosis. New Delhi:

Medind Journal; 2003. hal. 252-253

18. Rahman A, dkk. Konsep dan Teori Penyebab Terjadinya Penyakit Typus di

Desa Pesayangan Martapura Kabupaten Banjar. Banjarbaru; 2015. hal. 13-

15 [skripsi]

19. Widoyono. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &

Pemberantasannya. Edisi kedua. Astiwati R, editor. Jakarta: EMS; 2011. hal.

42-43

20. Mayasari D. Hubungan Respon Imun dan Stres dengan Tingkat

Kekambuhan Demam Tifoid pada Masyarakat di Wilayah Puskesmas

Colomadu Karanganyar. Surakarta; 2009. hal. 2. [skripsi]


21. Prasad S. Enteric Encephalopathy. Patna: Indian J. Pediat; 1962. hal. 8

22. Sodikin K. Isolasi dan Identifikasi Strain Bakteri Salmonella Sp. Pada

Sampel Darah, Urin, dan Feses Penderita Demam Tifoid di Puskesmas

Kedungmundu Semarang. Semarang; 2015. hal. 12-13

23. Lakhotia, M dkk. Neurological Manifestations of Enteric Fever. Rajasthan:

JIACM; 2003. hal. 197-198

24. Kiran, K. Acute Cerebellar Ataxia—Uncommon Manifestation of Typhoid

Fever. Ajman: Neuroscience & Medicine Published; 2015. hal. 48

25. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta: Badan Penerbit FKU

26. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Pres

27. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.

28. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai