IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M
Usia : 10 Tahun
Pendidikan Terakh ir : SD
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Banyuwangi
A. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri Perut Kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Graha Medika dengan keluhan nyeri perut
sebelah kanan bawah. Nyeri dirasa sudah sejak lama, kurang lebih selama 1
tahun terakhir. Nyeri dirasa hilang timbul dan kambuh- kambuhan. Pasien
mengeluhkan nyeri pada orang tuanya awalnya di daerah ulu hati, orang
tuanya menganggap itu adalah sakit maag biasa. Nyeri reda setelah ortunya
memberikan obat maag dan obat pereda nyeri. Setiap kali nyerinya muncul
ortunya memberikan obat pereda nyeri dan obat maag ke pada pasien.
Namun 3 hari SMRS pasien mengeluhkan nyeri lagi di daerah kanan bawah
dan tidak membaik dengan obat maag dan obat pereda nyeri yang ortunya
biasa berikan bila nyerinya kambuh. Pasien juga mengeluhkan demam
selama 3 hari terakhir SMRS.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. PENAMPILAN
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. TANDA VITAL
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 38.6 selsius
3. STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal, rambut hitam
Mata : a/i/c/d: -/-/-/-
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), Deviasi septum (-)
Telinga : dalam batas normal
Mulut : Bibir lembab, tidak ada perdarahan gusi.
4. THORAKS
Jantung :
Paru Paru :
6. EKSTREMITAS
Akral : Hangat
Oedem : tidak ada pada seluruh ekstremitas
CRT < 2 detik
C. RESUME
Pasien laki- laki usia 20 tahun di bawa keluarganya ke IGD RS Graha
Medika karena berbicara melantur dan bertingkah laku aneh. Sebelum
berbicara melantur dan bertingkah laku aneh, pasien sempat kejang
beberapa saat di rumahnya. Saat ini pasien berteriak- teriak, loncat- loncat,
dan bergu;ing- guling di IGD. Riwayat seperti ini sebelumnya disangkal,
riwayat alergi (-), riwayat kejang (-)
Pemeriksaan Laboratorium
Tgl. 17-10-19
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 13.9 gr/dL 12.7-18.7 gr/dL
Leukosit 18.000 /mm3 5.000 – 10.000 /mm3
Eritrosit 4.800.000 3.600.000 – 6.500.000 /mm3
/mm3
Hematokrit 39.9% 35% - 52%
Trombosit 152.000/mm3 150.000 – 450.000 /mm3
Fungsi Liver
SGOT 20 U/L L<35 ; P < 31 U/L
SGPT 29 U/L L<45; P < 34 U/L
Gula Darah
Gula Darah Sewaktu 89 g/dL 110 – 150 g/dL
Golongan Darah A+
Bleeding Time
Clothing Time
Fungsi Ginjal
Ureum 26.7 mg/dL 17 – 43 mg/dL
Kreatinin 0.8 mg/dL 0.6 – 1.3 mg/dL
D. DAFTAR MASALAH
Abdominal Pain ec Susp. Appendicitis
E. ASSESMENT
S : Nyeri perut kanan bawah
O : KU Cukup
A : Abdominal Pain ec Susp. Appendicitis
P:
IVRD RL 20 tetes per menit
- Inj. Ranitidn 1 ampul
- Inj. Omeprazole 40mg
- Pro operasi appendectomy
Hasil Follow Up 1
Tgl 16-11-2019
S : Pasien sudah mulai tenang tapi masih berbicara melantur. Pasien tidak
mual maupun muntah. Pasien sudah tidak bertingkah laku aneh
Dada:
Ekstremitas:
P:
Medikamentosa :
PO : chlorpromazine 2x1 tablet
Haloperidol 2x1 tablet
Alganax 2x1 tablet
Cefadroxik 3x1 tablet
Nonmedikamentosa :
Pembatasan gerak pasien
Lepas NGT
Hasil Follow Up 2
Tgl. 17-11-2019
S : Pasien sudah tenang dan sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Pasien
sudah tidak berbicara melantur maupun bertingkah laku aneh. Pasien
mengeluhkan perutnya sakit
O : KU Cukup ; Tekanan darah : 110/70mmHg; Nadi : 92x/mnt; RR : 20x/mnt;
Suhu : 36,6OC;
Dada:
Ekstremitas:
Nonmedikamentosa:
Pro KRS
Hasil Follow Up 3
Tgl. 17/11/2019
S : Pasien sudah tenang dan sudah tidak berbicara melantur. Pasien sudah
bisa diajak berkomunikasi seperti biasanya. Pasien mengeluhkan nyeri di
daerah ulu hati
Dada:
Ekstremitas:
BAB II
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan dengan
bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear
dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Disebut Tifoid karena pada
awalnya penyakit ini memiliki manifestasi yang hampir sama dengan Demam Tifus yang
disebabkan oleh bakteri Rickettsia oleh karena itu penyakit ini diberi akhiran “oid” yang
berarti mirip. 1,2
Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di
Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid merupakan
penyakit endemik. Penderita dapat mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan
perforasi usus, ileus, KID, pneumonia, miokarditis, hepatitis tifosa, kolesistitis,
pankreatitis tifosa, glomerulonephritis, osteomyelitis dan manifetasi neuropsikiatrik
Terkadang, gejala demam tifoid diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium,
somnolen, stupor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya
dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti
ini oleh beberapa peneliti disebut tifoid toksik, ada juga yang menyebutnya sebagai
demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam tifoid dengan toksemia. 1
Istilah tifoid berasal dari typhos kata Yunani yang berarti asap, yang mengacu
pada sikap apatis dan kebingungan yang terkait dengan penyakit. Karya oleh Osler
menggambarkan "negara tifus" sebagai negara setengah sadar ditandai dengan
tatapan kosong, "bergumam" bicara ngawur, dan pasien interaktif arousable tapi tidak.
serangkaian kasus dari Amerika Serikat, Nigeria, India, dan Bangladesh menunjukkan
bahwa sampai 75% dari pasien rawat inap dengan demam tifoid mungkin memiliki
manifestasi neuropsikiatri, sebagian besar ditandai sebagai "stu-por," "delirium," atau
"keadaan bingung," meskipun mielitis, cerebellitis, parkinsonisme, insomnia, dan
psikosis akut juga telah dijelaskan. Secara historis, tipus ensefalopati telah dikaitkan
dengan tingkat kematian hingga 50% bahkan dengan antibiotik, meskipun survei
barubaru ini masih kurang. Patofisiologi dari berbagai manifestasi neuropsychiatric
demam tifoid, termasuk ensefalopati, masih harus dijelaskan. 4
Insidens demam tifoid termasuk tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per
tahun) di Asia Selatan , Asia Tenggara dan Afrika Selatan. Di dunia diperkirakan
demam tifoid menyerang 21,6 juta manusia dan menyebabkan 216 ribu kematian pada
tahun 2000. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit.
Sebagian besar demam tifoid terjadi pada individu berusia 3 sampai 19 tahun dengan
91% kasus.1,6
Di Indonesia insidens demam tifoid pada usia 3-6 tahun adalah 1307 per
100.000 populasi per tahun, sedangkan pada usia 7-19 tahun adalah 1172. Di
Indonesia dijumpai 900 ribu pasien demam tifoid per tahun dengan angka kematian
lebih dari 20 ribu.5
• Susu dan produk susu lainnya (es krim, keju, puding), kontaminasi dengan
feses dan pasteurisasi yang tidak adekuat atau penanganan yang salah.
• Telur beku atau dikeringkan, dari unggas yang terinfeksi atau kontaminasi saat
pemrosesan
• Daging dan produk daging, dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak) atau
TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiopatogenesis
S. typhi merupakan basil gram negatif yang tergolong dalam family
Enterobacteriaceae. Bakteri ini tidak membentuk spora, bersifat fakultatif
anaerob, dan mempunyai flagella. S. thypi mempunyai antigen O (somatik),
antigen H (flagelar antigen) dan antigen K (envelope antigen). Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dinding
sel dan dinamakan endotoksin.1,12
Kuman mati pada suhu 56°C juga pada keadaan kering. Dalam air bisa tahan
selama 4 minggu. Hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. 12
S. typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada di dalam air, es, debu dan kotoran kering maupun pada pakaian.
Akan tetapi bakteri ini akan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi
(suhu 63°C).1
Gambar 2. Pathogenesis tifoid 3
Bakteri ini masuk melalui mulut, kemudian sebagian akan mati di lambung. Bakteri
yang hidup akan mencapai lumen usus halus dan melekat pada sel-sel mukosa.
Bila respos imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka bakteri akan
menginvasi dan menembus sel-sel M (sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s
patch) dan selanjutnya di lamina propria. Lamina propria usus halus mengandung
sel-sel limfosit, makrofag, sel plasma dan eosinophil. Di lamina propria, bakteri
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. 1,3
Bakteri dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag, selanjutnya bakteri
dibawa ke Peyer’s patch ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening (KGB)
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus bakteri yang ada dalam
makrofag masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bacteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ RES terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini bakteri meninggalkan fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bacteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda atau
gejala penyakit infeksi sistemik.1,3
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setalah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialga, sakit kepala, sakit perut,
Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi
hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya
nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih
lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi gangguan
pendengaran, lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan
darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan
limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk
terus menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain. 18
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali
di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila
keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun.
Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika
keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat
diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut
nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah,
sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran
adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum
dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga. 18
C. DIAGNOSIS
Kelemahan uji widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaan dalam penetalaksanaan
penderita demam tifoid. Akan tetapi hasil uji widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada penderita curiga demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan
dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan antara nilai standar
aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O
dan H pada anak-anak sehat.6
Selain uji widal, pemeriksaan serologis lainnya yang dapat dilakukan yaitu:
D. TERAPI
Sebagian besar demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring,
isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian
antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar
pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan
timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan utamanya adalah
antibiotik, dimana kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama. Dosis yang
diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari
atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Untuk mengitis pengobatan
diperpanjang sampai 4 minggu.1
Selain itu, dapat diberikan ampisilin (namun memberikan respons klinis
yang kurang bila dibandingkan dengan kloramfenikol). Dosis yang dianjurkan
adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian intravena. Amoksisilin
juga dapat diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian per oral. Namun, di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam
tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya rentan
terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi ketiga
seperti seftriakson 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4
gr/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4
dosis. Akhir-akhir ini sefiksim oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat
diberikan sebagai alternative, terutama apabila leukosit <2000/µl atau dijumpai
resistensi.1 Pola klinis demam tifoid telah berubah dari waktu ke waktu, dan
timbulnya multi drug resistance (MDR) menjadi penyulit dalam tatalaksana
demam tofoid berat.8
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid
berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4×400 mg
ditambah ampisilin 4×1 gram dan deksametason 3×5 mg. 3
E. PROGNOSIS
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dengan munculnya
komplikasi seperti tifoid toksik, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Namun, terapi antibiotik dengan deksametason IV dapat menurunkan
angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.1
BAB IV
A. DEFINISI
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu
menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku
kacau/aneh.
B. PEDOMAN DIAGNOSTIK
Menggunakan urutan diagnosis yang mencerminka urutan prioritas yang diberikan
untuk ciri-ciri utama terpilih dari gangguan ini. Urutan prioritas yang dipakai ialah:
a. Onset yang akut (dalam masa 2 minggu atau kurang = jangka waktu gejala-
gejala psikotik menjadinyata dan mengganggu sedikitnya beberapa aspek
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, tidak termasuk periode prodromal yang
gejalanya sering tidak jelas) sebagai cirri khas yang menentukan seluruh
kelompok
b. Adanya sindrom yang khas (berupa “polimormif” = beraneka ragam dan
berubah cepat, atau “schizophrenia-like” = gejala yang khas)
c. Adanya stress akut yang berkaitan (tidak selalu ada, sehingga dispesifikan
dengan karakter ke 5;0 .x0=Tanpa penyerta stress akut; .xi=Dengan penyerta
stress akut). Kesulitan atau problem yang berkepanjangan tidak boleh
dimasukkan sebagai sumber stress dalam konteks ini
d. Tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung;
Tidak ada gangguan dalam kelompok ini yang memenuhi criteria episode manic
atau episode depresi, walaupun perubahan emosional dan gejala-gejala afektif
individual dapat menonjol dari waktu ke waktu.
Tidak ada penyebab organik, seperti trauma kapitis, delirium, atau dimensia. Tidak
merupakan intoksikasi akibat penggunaan alcohol atau obat-obatan.
Pedoman Diagnosis ;
BAB V
KESIMPULAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan dengan bakteremia
dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati,
limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Demam tifoid ensefalopati, merupakan
salah satu komplikasi ekstraintestinal dari demam tifoid, terkadang, gejala demam tifoid
diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut.
S. typhi merupakan basil gram negatif yang tergolong dalam family
Enterobacteriaceae. Kuman mati pada suhu 56°C juga pada keadaan kering. Dalam air
bisa tahan selama 4 minggu.
Gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain.
Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar
atau tremor.
Sebagian besar demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik.
Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan,
elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit. Pengobatan
utamanya adalah antibiotik, dimana kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama.
Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14
hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Semua kasus tifoid toksik, atas
pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan
kombinasi kloramfenikol 4×400 mg ditambah ampisilin 4×1 gram dan deksametason
3×5 mg.
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu
menilai kenyataan yang terjadi. Menggunakan urutan diagnosis yang mencerminka
urutan prioritas yang diberikan untuk ciri-ciri utama terpilih dari gangguan ini.
Gangguan psikotik ada beberapa macam, antara lain: gangguan psikotik
polimorfik akut tanpa gejala skizofrenia, gangguan psikotik polimorfik dengan gejala
skizofrenia, gangguan psikotik lir skizofrenia akut, gangguan psikotik akut lainnya
dengan predominan waham.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SP, dkk, ed. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua.
dan Tifus. Dalam: Dokter “Internet”. Bogor: Grafika Mardi Yuana; 2004. hal.
xv
3. Widodo J. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo AW, dkk, ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi kelima. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal.
2797-2803
6. Prasetyo RV, dkk. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak; 2006. hal.
2-15
Reading; 2012.
9. Pagues DA, dkk. dalam: Fauci AS, dkk. Harrison’s Infectious Disease. USA:
10. Marshall GS. The Vaccin Handbook: A Practical Guide for Clinicans. Edisi
tiga. USA: A Medical Publishing & Communication Company; 2010. hal. 454
11. Brooks, GF dkk. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Mikrobiologi Kedokteran.
Edisi 23. Saidah R, editor. Jakarta: EGC; 2008. hal. 261, 263
12. Staf Pengajar FK UI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi.
13. Todar K. Structure and Function of Bacterial Cells. dalam: Online Textbook
17. Niar MR dkk. Typhoid Fever Presenting as Acute Psychosis. New Delhi:
18. Rahman A, dkk. Konsep dan Teori Penyebab Terjadinya Penyakit Typus di
15 [skripsi]
42-43
22. Sodikin K. Isolasi dan Identifikasi Strain Bakteri Salmonella Sp. Pada
25. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta: Badan Penerbit FKU
26. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Pres
27. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.
28. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.