Demam Tifoid
Pembimbing :
dr. Leni SH
Disusun oleh :
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
ANAMNESIS/AUTONAMNESIS
Keluhan Utama
Sejak 7 hari SMRS, pasien mengeluh demam yang perlahan-lahan naik dan terkadang
hilang timbul, demam lebih tinggi saat sore menjelang malam hari, pasien juga mengeluhkan
adanya mual dan nyeri ulu hati yang hilang timbul dan terasa seperti ditusuk-tusuk. Muntah
2x berisi makanan, berwarna kekuningan, tidak ada darah. Sakit kepala terasa nyut-nyutan
yang dirasakan di seluruh kepala.
Enamhari yang lalu,pasien tidak nafsu makan dikarenakan lidah terasa pahit serta badan
terasa lemasdanpegal-pegal.Pasien jugamengaku belum BAB sejak 4 hari SMRS.
Pasien menyangkal adanya keluhan gusi berdarah saat sikat gigi,mimisan, dan nyeri
menelan. Pasien juga menyangkal adanya keluhan batuk, pilek, sesak napas dan nyeri dada.
Buang air kecil tidak ada gangguan.
Riwayat Alergi
Riwayat Pengobatan
Pasien pergi berobat ke Klinik Mitra 24 jam, lalu diberi obat penurun panas dan antibiotik,
serta obat mual (pasien lupa nama obat-obatannya), tetapi gejala belum membaik.
Riwayat Psikososial
Jantung
- Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat di ICS V 2 jari media lin midclavicula sin
- Palpasi: Ictus cordisteraba di ICS V 2 jari media linea midclavicula sinistra
- Perkusi: Batas atas = ICS II linea parasternal dextra
Batas kanan = ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri = ICS V 2 jari media linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : BJ I dan BJ II Murni Reguler, galllop (-), murmur (-)
Abdomen
- Inspeksi : Datar, distensi abdomen (-), scar (-)
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+)
Hepar :terabapembesaranheparsebesar 2 jaridibawaharcus
costae, permukaan rata, pinggirtajam, nyeripadapenekanan
(+).
Limpa :terabapembesaranlimpa (Schuffner 1)
- Perkusi : Timpani di keempatkuadran abdomen
Extremitas
- Atas
Kanan : Hangat, edema (-), CRT <2 detik (+)
Kiri :Hangat, edema (-), CRT <2 detik (+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pasien perempuan usia 25 tahun datang dengan febris yang perlahan-lahan naik dan
terkadang hilang timbul serta lebih tinggi pada malam hari sejak 7 hari SMRS disertai
nausea, vomitus, epigastric pain, cephalgia, myalgia, malaisedan obstipasi. Pasien mengaku
seringjajanataumakanmakanan yang dijualdi pinggirjalan.
Pada pemeriksaan umum ditemukan keadaan umum sakit sedang, kesadaran CM, TD,
nadi dan penafasan dalam batas normal, suhu 38,9oC, coated tounge (+), nyeritekan
epigastrium (+), hepatomegali(+), splenomegali (+).
DAFTAR MASALAH
Demam Tifoid
PEMBAHASAN
DemamTifoid
Anamnesis :
Pemeriksaan Fisik :
Suhu 38,9oC
Coated tongue
Nyeri tekan epigastrium
Hepatomegali
Splenomegali
PemeriksaanLaboratorium :
PLANNING DIAGNOSTIK
PLANNING TERAPI
Tempatperawatan : Ruangperawatanbiasa
Hidrasi :
Obatsimptomatik :
Bed rest
Ranitidin 2 x 2 mg IV
Ondancentron 3 x 4 mg IV
Ceftriaxone 1 x 2 gr IV
Tanggal S O A P
NTE (+) IV
Ceftriaxone 1 x 2 gr
IV
19/08/2017 Demam (-), TD : 110/70 Demam Tifoid dengan Diet makanan
Mual (-), sakit mmHg perbaikan lunak, hindari
kepala (+),
HR : 78 x/mnt sayuran berserat
muntah (-)
RR : 17 x/mnt Ceftriaxone 1 x 2 gr
IV
S : 36,2ºC
NTE (-)
S : 36,5ºC
NTE (-)
KESIMPULAN
DiagnosaAkhir :
DemamTifoid
Edukasi :
Menyarankanuntukmengkonsumsimakanansehat, tidakjajansembarangan,
membiasakanperilakuhidupbersihdansehatdenganbudayacucitangan yang
benardanmemakaisabun, meningkatkankebersihanmakanandanminuman,
danperbaikansanitasilingkungansekitar.
Prognosis :
• Advitam : ad bonam
• Adfunctionam : ad bonam
• Adsanationam : dubia ad bonam
DEMAM TIFOID
A. DEFINISI
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang ditandai oleh demam dan nyeri
abdomen serta disebabkan oleh bakteri S. typhi atau S. paratyphi.
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Astuti, 2013).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) (Widodo, 2006).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis,
sedangkan demam enterik dipakai pada demam tifoid maupun demam paratifoid
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
B. EPIDEMILOGI
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara luas
di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak
memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai
dalam keadaan endemik.
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003, terdapat 17 juta
kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian
dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Angka kejadian penyakit demam tifoid di daerah
endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000
penduduk per tahun.
Demam tifoid merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000,
angka kejadian demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia
Tenggara 110 per 100.000 penduduk (Harahap, 2011). Data WHO tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun (Pramitasari, 2013).
Angka kejadian demam tifoid di Eropa yaitu 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu
50 per 100.000 penduduk dan di Asia yaitu 274 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2005,
angka kejadian demam tifoid di Dhaka berjumlah 390 per 100.000 penduduk (Harahap,
2011).
Di Indonesia, demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada
tahun 2001, angka kejadian demam tifoid berjumlah 680 per 100.000 penduduk, dan pada
tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan Data Surveilans tahun 2007, angka kejadian demam tifoid tahun 2007
berjumlah sangat tinggi yaitu sebesar 110,7 per 100.000 penduduk. Propinsi Lampung
merupakan propinsi di seluruh Indonesia yang merupakan insiden demam tifoid yang
tertinggi sebesar 344,7 per 100.000 penduduk.
Demam tifoid erat hubungannya dengan lingkungan, terutama lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan seperti penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Insiden demam tifoid yang tinggi berkaitan
dengan sanitasi yang kurang dan tidak adanya akses ke air minum bersih. Di daerah endemik,
demam enterik lebih sering dijumpai di daerah perkotaan daripada dipedesaan dan pada anak
serta remaja. Faktor risiko mencakup air atau es yang tercemar, banjir, makanan atau
minuman yang dibeli dari pedagang pinggir jalan, buah dan sayuran mentah yang ditanam
dikebun yang disiram dengan air seloka, orang serumah yang sakit, tidak mencuci tangan dan
tidak ada akses ke toilet serta bukti-bukti riwayat infeksi Helicobacter pylori.
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhosa/ Eberthella typhosa/
Salmonella typhi yang merupakan bakteri gram negatif, bergerak dengan rambut getar dan
tidak menghasilkan spora. Bakteri ini dapat tumbuh pada semua media dan pada media yang
selektif, bakteri ini memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi
laktosa. Waktu inkubasi berkisar tiga hari sampai satu bulan.
Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri dan karier yang
dapat mengeluarkan berjuta-juta bakteri S. typhi dalam tinja, dan tinja inilah yang menjadi
sumber penularan. Bakteri ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun yang
sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70o C ataupun oleh antiseptik.
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah, dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15 – 20
menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi.
1. Antigen O (Antigen Somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella) yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
bakteri. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari bakteri yang dapat melindungi
bakteri terhadap fagositosis (Harahap, 2011). Selain itu, S. typhi juga dapat
menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum. Antigen Vi berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin (Putra, 2012). Ketiga macam
antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Harahap, 2011).
D. CARA PENULARAN
Infeksi dapat ditularkan dengan cara menelan makanan atau minuman yang
terkontaminasi dengan tinja (WHO, 2003). Selain itu, penularan dapat terjadi juga dengan
kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, sekret saluran nafas, atau dengan
pus penderita yang terinfeksi.
Penularan S. typhi juga dapat terjadi melalui transmisi transplasental dari seorang ibu
hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Sebagian besar penularan terjadi
melalui makanan/minuman yang tercemar oleh bakteri di tinja atau urin penderita atau karier.
Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan dalam penularan adalah:
Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa.
Higiene makanan dan minuman yang rendah, seperti mencuci makanan dengan air
yang terkontaminasi, makanan yang dihinggapi lalat.
Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran, dan
sampah tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
E. PATOGENESIS
Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi bakteri. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus, dan selanjuntnya berkembang biak. Di usus
terjadi produksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk
mencegah melekatnya bakteri pada mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas humoral
sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis bakteri oleh makrofag.
Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk membunuh bakteri intraseluler.
Bila respons imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, maka bakteri akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika.
Melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini bakteri
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dan disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati,
bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu
diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis
bakteri Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam,
Kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque peyer yang hiperplasia (minggu
pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa
adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan
sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.
F. GAMBARAN KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala- gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis. Pada orang dewasa, umumnya konstipasi dijumpai pada awal penyakit. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam pada demam tifoid
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif (bradikardi relatif adalah peningkatan suhu 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan gangguan kesadaran (somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis).
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu pertama
(suhu berkisar 39-40o C), terutama pada sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu
kedua dan ketiga, demam terus-menerus tinggi dan (febris kontinyu) kemudian turun secara
lisis. Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang
disertai epistaksis.
Tanda dan gejala yang tidak spesifik membuat diagnosis klinis demam tifoid menjadi
sulit. Kultur darah adalah metode diagnosis standar yang hasilnya positif 60-80 % pada
G. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin akan sangat bermanfaat untuk menentukan terapi
yang tepat dan mencegah komplikasi. Penegetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
penting untuk mendeteksi secara dini. Walaupun pada waktu tertentu diperlukan pemeriksaan
tambahan untuk membantu penegakan diagnosis, seperti yang dijelaskan di atas.Sindroma
klinis adalah kumpulan gejala-gejala demam tifoid. Diantara gejala klinis yang sering
ditemukan pada tifoid yaitu: demam, sakit kepala, kelemahan, nausea, nyeri abdomen,
anoreksia, muntah, gangguan gastrointestinal, insomnia, hepatomegali, splenomegali,
penurunan kesadaran, bradikardi relative, kesadaran berkabut, dan feses berdarah.
b. Serologis Widal
Tes serologis widal adalah reaksi antara antigen dengan aglutinin yang merupakan
antibody spesifik terhadap komponen basil salmonella di dalam darah manusia.
Prinsip tesnya adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang
dideteksi yakni aglutinin O dan H.
Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya
pada minggu ke 3-5. Aglutinin ini dapat bertahan sampa lama 6-12 bulan. Aglutinin H
mencapai puncak lebih lambat, pada minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu yang
lebih lama, sampai 2 tahun kemudian.
Interpretasi Reaksi Widal :
Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau
perjanjian pada suatu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan
pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid.
Reaksi widal negative tidak menyingkirkan diagnosis tifoid.
Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan
kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari.
Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi widal sehingga
mendatangkan hasil yang keliru baik negative palsu atau positif palsu. Hasil
tes negative palsu seperti pada keadaan pembentukan anti bodi yang rendah
yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat
c. Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetik latex. Hasil postif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonella serogroup D walaupun tidak secara spesifik merujuk pada S.typhi. infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif. Sensitivitas uji ini sebesar 75-80%,
dan spesifisitas sebesar 75-90%.
Interpretasi hasil uji Tubex :
Skor Interpretasi Keterangan
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid akut
Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
3 Borderline pengujian, apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil postif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD. Sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas
sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%.
e. Enzim Transaminase
Peradangan pada sel-sel hati menyebabkan enzim-enzim transaminase (SGOT, SGPT)
sering ditemukan meningkat. Banyak pendapat bahwa hal ini disebabkan karena
H. TATALAKSANA
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Eradikasi total bakteri untuk mencegah
kekambuhan dan keadaan karier merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Trilogi
penatalaksanaan demam tifoid yang dimaksud, yaitu :
3. Pemberian Antimikroba
Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan dibagi menjadi lini pertama
dan lini kedua. Kloramfenikol, kotrimosazol, dan amoksisilin/ampisilin adalah obat
demam tifoid lini pertama. Lini kedua adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak
dibawah 18 tahun), sefiksim, dan ceftriaxone.
Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral
maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Kloramfenikol
I. KOMPLIKASI
1. Intestinal
a. Perdarahan intestinal
Pada plague peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/ luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus
dan mengenai pembuluh darah, maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan
kedua faktor.
b. Perforasi usus
Hal ini biasanya timbul pada minggu ketiga, namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama dengan keluhan nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah dan terkadang pekak hati tidak ditemukan karena ada
udara bebas di abdomen. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah
turun, dan bahkan dapat terjadinya syok.
2. Ekstra-intestinal
Hal ini dapat terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu
meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul
akibat masukan makanan yang kurang (Hasibuan, 2009). Komplikasi hematologi
berupa trombositopenia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial
thromboplastine time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi
intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam
tifoid (Widodo, 2006).
J. PENCEGAHAN
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. S. typhi akan
mati dalam air yang dipanaskan setinggi 57oC dalam beberapa menit atau dengan prose
iodinasi/ klorinasi. Vaksinasi atau imunisasi memberikan pendidikan kesehatan dan
pemeriksaan kesehatan secara berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan
maupun restoran dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid
(Soedarno, Garna, Hadinegoro, 2012).
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan, mengkonsumsi makanan sehat, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan budaya cuci
tangan yang benar dan memakai sabun, meningkatkan higiene makanan dan minuman, dan
perbaikan sanitasi lingkungan. Di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin tifoid, yaitu:
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah sembuh sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat dan pada
penderita carier perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pasca penyembuhan (Harahap,
2011).
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid.
Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup
banyak aspek, mulai dari segi bakteri S. typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host)
serta faktor lingkungan (Widodo, 2006).
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu (Widodo. 2006).:
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier
tifoid. Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan mendatangi sasaran dan
pasif dengan menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi. Sasaran aktif
lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan/ minuman.
Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan, petugas kebersihan, dan lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhi akut maupun
karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap bakteri S. typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi dapat dilakukan dengan cara vaksinasi
tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik
1. Fauci, A.S., et al. 2013. Demam Enterik (Tifoid) Dalam Harrison Gastroentero &
Hepatologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
2. Widodo, D. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta: Interna
Publishing
3. Astuti, O.R. 2013. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Millenium Development Goals
2015. Jakarta.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2011.
6. Koasih, E.N. 1984. Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Penerbit Alumni, Bandung.
Hal 66
7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid.
8. Pawitro, E. 2000. Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Penatalaksanaan Buku Penerbit
EGC. Jakarta
9. Rampengan. 2005. Demam tifoid Dalam: Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Ed 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
10. Soewando, E.S. 2002. Seri Penyakit Tropik Infeksi; Perkembangan Terkini Dalam
Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropik Infeksi. Penerbit Airlangga University Press.