Anda di halaman 1dari 17

STATUS PASIEN

A. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki Laki
Usia : 59 tahun
Alamat : Semanu
Masuk RS : 24 Juli 2018
Pulang : 29 Juli 2018

Anamnesis dilakukan tanggal 24 Juli 2016, pukul 10.00, secara auto dan
alloanamnesis

Keluhan Utama : Demam


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD wonosari dengan keluhan demam sejak 6
hari. Demam dirasakan terutama sore hari, naik perlahan, kadang disertai
menggigil (hari pertama dan kedua) Demam disertai mual, muntah sebanyak
2 kali, pusing dan nafsu makan berkurang. Demam tidak disertai pilek dan
batuk. Pasien juga mengeluh bab cair sejak 3 hari yang lal. BAB cair sehari
5-7 kali. BAB lendir dan BAB darah tidak ada. Bab berwarna merah atau
kehitaman disangkal. Buang air kecil seperti biasa.
Pasien sebelumnya sudah mengkonsumsi obat warung (namanya tidak
diketahui) Demam dirasakan berkurang, tetapi demam kembali terjadi jika
obat dihentikan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
Tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

1
B. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 98 x/menit, regular, isi cukup
RR : 24 x / menit
Suhu : 38,6 °C
Pemeriksaan status generalis :
Kepala : tidak tampak kelainan
Mata : mata cekung (+), konjungtiva anemis (-),sclera
ikterik (-)
THT : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak
kotor, tremor (+)
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : bentuk normal.
Paru :
Inspeksi : dalam keadaan statis simetris, dalam keadaan
dinamis tidak ada ketinggalan gerak.
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru normal
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-)
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1,S2 tunggal, regular, gallop(-), murmur (-)
Abdomen : bentuk datar, nyeri tekan epigastrium (+), turgor
baik (<3 detik), bising usus normal meningkat
Inspeksi : datar
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba, turgor baik

2
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus meningkat
Ekstremitas : akral hangat, petekie (-), CR <2 detik

C. Pemeriksan Laboratorium (25 Juli 2016)


Darah rutin

Hasil Normal
Hb 10,8 12-17,4 gr/dl
Leukosit 5.500 5.000-10.000/uL
Eritrosit 4,02 4,0-5,50 juta/mm3
Trombosit 200.000 150.000-450.000/uL
LED 0-15mm/jam
Hematokrit 29,2 37-48%

Tes Widal

1/16
Widal 1/40 1/80 1/320
0

S. Typhi-O (+) (+) (+)

S.Typhi-H (+) (+) (+) (+)

S.Paratyphi-AO (-) (-)

S.Paratyphi-BO (-) (-)

D. Daftar masalah
- Demam 6 hari,terutama sore hari kadang disertai menggigil
- Mual, pusing
- Nafsu makan berkurang
- Lidah tampak kotor
- Nyeri tekan epigastrium
- Hasil Widal Positif 3 pada pemeriksaan S.Typhi O

3
E. Diagnosis
Demam Typhoid
GEA tanpa dehidrasi

F. Penatalaksanaan
-Diet lunak
-Infus RL 20 tetes / menit
- Inj. Ceftriaxon 2x1gr i.v
- Inj. Ranitidin 2xIamp i.v
- Paracetamol 3x500 mg p.o
- Sucralfat syrup 3xIC p.o

G. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

4
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi
Salmonella sp (lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik
adalah Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, B, C

B. Epidemiologi
Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan
penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta
standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun
2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi
yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun
dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000
dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia
dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

C. Etiologi

5
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil
gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam
antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen
H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan
terbentuk antibodi terhadap ketiga macam a66ntigen tersebut.

Gambar 1. Salmonella Typhi

D. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang
dilakukan terhadap sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism
adalah 105-109 organisme, dengan masa inkubasi berjarak selama 4-14
hari, bergantung jumlah kuman yang dapat masuk. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi
tubuh dengan menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin
melalui antigen sample sel yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel
M, yang melapisi usus, berhubungan dengan jaringan limfoid, melalui
enterosit atau melalaui rute paraselular. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag

6
dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.

Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu,


berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
intemiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses
dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses
yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.

7
Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

E. Manifestasi klinis

8
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun
ini juga bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid


Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
 Demam sekitar interminten/remiten
 Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
 Gambaran gejala saluran nafas atas
 Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
 Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan
splenomegali/ hepatomegali
 Raseola mungkin ditemukan
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
 Demam kontinyu
 Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali permenit)
 Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung
 Hepatomegali dan splenomegali,
 Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta
tremor) dan kehilangan nafsu makan

9
 Nyeri, distensi perut, meteorismus
Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:
 Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi
 Jika keadaan memburuk:
- Disorientasi, bingung, insomnia,
- Komplikasi perdarahan dan perforasi.

F. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti
dapat ditegakkan dari hasil kultur darah. Hasil kultur darah menunjukkan
40-60% positif pada pasien di awal penyakit dan kultur feses dan urin akan
positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur feses kadang-kadang
juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu
spesifik. Pada pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, namun dapat pula terjadi leukositosis atau kadar leukosit
normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan dalam membantu penegakan
diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan mengukur antibodi
terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun tes ini kurang
spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan false-
positif terjadi.

Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi. pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman
S.typhi dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah untuk menentukan adanya
agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)

10
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai
terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara
cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O,
kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh
agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh
dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer
antibody. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali
lipat) lalu dites terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai
berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O (≥ 1 : 160) menunjukkan
adanya infeksi aktif.
2) Titer H yang tinggi (≥ 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu
pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :


1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi
bukan demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi
silang dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense
antigen.
Kultur darah

11
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri
akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media
biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody
dalam darah psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin
semakin meningkat.

G. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang
tepat merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid
dapat dirawat dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up
utnuk mengikuti perkembangan penyakit dan melihat apakah ada
komplikasi atu kegagalan terapi. Pasien dengan muntah yang persisten,
diare berta dan distensi abdomen memerlukan perawatan di rumah sakit
dan terapi antibiotic parenteral.
Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid.
Istirahat yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi
ketidakseimbangan cairan-elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-

12
750 mg stiap 4-6 jam PO) harus diberikan jika diperlukan. Makanan yang
lunak, harus dilanjutkan pada pasien distensi abdomen atau ileus. Terapi
antibiotic penting untuk meminimalisir komplikasi. Pengggunaan
chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai angka
kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik
untuk demam tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari
resistensi antimikroba. Berikut adalah antibiotik yang biasa digunakan
pada demam tifoid. Sebagai tambahan untuk antibiotik, terapi suportif
juga penting dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit juga
harus diperhatikan.
Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis
awal, diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan
pada pasien dengan syok, penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini
harus dilakukan dengan pengawasan .

13
Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid

14
Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid

H. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi
intestinal dan ekstraintestinal.
- Intestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi
- Ekstraintestinal : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis,
hepatitis.

I. Pencegahan
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan
utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene
perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan,
penyediaan air bersih, dan penanganan pembuangan limbah feses.
- Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien
demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian
ke daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun
atau lebih diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3
tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval
selang sehari (hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini
belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis
yang bepergian ke daerah endemik.

J. Prognosis
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada
kecepatan penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain
yang mempengaruhi meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi,

15
serotype Salmonella dan munculnya komplikasi. Meskipun terapi yang
didapat tepat, 2-4% anak yang terinfeksi dapat kambuuh setelah respon
awal terapi. Individu yang mengekskresikan S.typhi ≥3bulan setelah
infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko untuk
menjadi karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan
bertambahnya umur, namun secara umum < 2% dari semua anak yang
terinfeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of


Thypoid Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response
Vaccinase and Biologicals. WHO.

Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and


Treatment of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82

Braunwald. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition,


New York,

16
Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http://
emedicine.medscape.com/article 231135-overview
dikunjungi pada 20 Februari 2011.

Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa :


Nugroho Edi, Maulani RF. Jakarta EGC

Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases


Epidemiology, Investigation, Diagnosis and Management,
London,;45:270-272

Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta FKUI

17

Anda mungkin juga menyukai