PEMBIMBING
Dr. Halima Hafid
DISUSUN OLEH
Fadhillah Islamyah Putri Rusli
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Umur : 17 tahun
Alamat : Bungoro I
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
KEPALA
Bentuk dan ukuran : normocephal
Rambut dan kulit kepala : hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : palpebra superior tidak edema, mata tidak cekung,
konjungtiva tidak anemis, sclera tidak anemis, pupil
bulat isokor, diameter 3mm, refleks cahaya +/+
Telinga : bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada sekret
Hidung : bentuk normal, tidak ada septum deviasi, tidak ada
sekret, tidak ada pernapasan cuping hidung
Mulut : bentuk normal, bibir tidak kering, tidak ada sianosis,
tidak keluar darah dari mulut, ditemukan adanya
stomatitis, lidah kotor di bagian tengah, tepi lidah
hiperemis, tidak ada tremor lidah
Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1 tenang
Leher : trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba, kelenjar
submandibula, supra-infra clavicula dan cervical tidak
teraba
THORAX
Paru
- Inspeksi : pergerakan dada simetris, tidak terdapat retraksi intercostae dan
suprasternal
- Palpasi : vocal fremitus kanan-kiri dan depan-belakang sama kuat
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
- Auskultasi : suara pernapasan vesikuler, ronkhi -/- , wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi: ictus cordis tak nampak
- Perkusi : batas jantung kanan ICS IV line parasternalis dekstra, batas kiri jantung
ICS V linea midclavicularis sinistra
- Auskultasi: S1/S2 murni reguler
ABDOMEN
- Inspeksi : tampak datar, ikut gerak napas
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : nyeri tekan(+) regio epigastrium.
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-), meteorismus (-)
Extremitas
Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, peteki (-)
Serologi Widal
Salmonella Typhi O (+) 1/320
Salmonella Typhi H (+) 1/320
Salmonella Paratyphi A O (+) 1/160
Salmonella Paratyphi A H (+) 1/80
V. DIAGNOSA
Susp. Demam tifoid
VI. PENATALAKSANAAN
Tirah baring selama ±2 minggu
Diet makanan biasa
Menjaga higenitas makanan
Kloramphenicol 4x500 mg selama 7 hari
Paracetamol tablet 3x500 mg
GG 3x100 mg
Vitamin bcomplex 1x1
Antasida tablet 3x1
PROGNOSA
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
Ad sanationam : bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit
infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7
hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa
keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke
dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.1
ETIOLOGI
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka
terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini juga dapat
bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu
bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak
dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia
merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui kontak langsung
maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.3
Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier
Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini.
Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri
yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang
positif dan bermakna.10
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen
tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.1
Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000 hingga 1
juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe typhi ini kurang infeksius
dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk dapat mencapai usus halus biasanya
Salmonella typhi ini harus dapat bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian
melekat pada sel mukosa serta melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang
melapisi sepanjang lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk
invasi dan sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke
dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk dalam sel
retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat perubahan degeneratif,
proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan
kelenjar limfe mesenterica.6
Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam fagosit
mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini mencakup jumlah
bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini kemudian dilepaskan dari
habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase
bakteriemi, bakteri akan menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung
empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1
bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang.
Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun angka mortalitas stadium ini <
1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam
sirkulasi pasien tifoid.1
PATOLOGI
Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat fase ini
akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan antibiotik yaitu :
Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan
submukosa
Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan
pendarahan
Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada bagian
traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan kolon ascending.
Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas dibandingkan yeyunum.
Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan pertambahan usia.11
PATOFISIOLOGI
Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam tifoid
berdasarkan penelitian terbaru ialah :
b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode
Sips (Salmonella Invasion Proteins).
e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah
menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.12
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan
dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka
mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya
suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang
menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman
yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.9
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha
menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh
kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi
pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan
menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di
lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus,
kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi dapat bertahan
hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.
Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan
mencapai aliran darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg
asimptomatis.9
KUMAN S. TYPHI
Makanan + Minuman
Lambung mati
Usus halus
RES
Hati dan Limpa
GEJALA KLINIS
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran.5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam
pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam
timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid
dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau
penurunan kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan
gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non
produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam
dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan
abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien
lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak
dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang
terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi
berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak
makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen,
ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua,
ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada
komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.2
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung
lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal
kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak
pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps
terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh
obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi
invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. 5 Sepuluh persen dari
demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.6
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta, diare
lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% dan 15,79% pada anak.
Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%, muntah 26,32%, mual
42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan
delirium pada 2,63% anak. Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1
Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam
enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus biasanya mulai
dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat
setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan
kehilangan berat badan mungkin nyata.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau
(delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi,
muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,
kejang, dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor
dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
# Darah tepi perifer
- Anemia
Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau
perdarahan usus.
- Leukopenia
Namun jarang kurang dari 3000/ul
- Limfositosis relatif
- Trombositopenia
Terutama pada demam tifoid berat.
# Pemeriksaan serologi
- Serologi Widal
Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut
ke fase konvalesens.
- Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
# Pemeriksaan biakan Salmonella
- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
- Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
# Pemeriksaan radiologik
- Foto toraks
Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
- Foto abdomen
Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau
perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata,
tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada
abdomen.1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila
hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
bakteriologis dan serologis.
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada
hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir minggu
pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai
puncak antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang
dalam waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan
menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi bersilangan dengan kultur
darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih
banyak dijumpai sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah
minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi,
anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain dapat
menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan
titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan
titer anti H. Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer
antibodi akibat terpapar bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi
perlu diketahui titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu
dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau
antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita gizi
buruk, agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti
kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer
antibodi tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji
Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila
titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi ( karier).
Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab
tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
-
semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O
yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12
dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A
dan paratyphi B).
-
semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan
-
titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien
tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai
antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga
keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain
uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi
dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar
(15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh
terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype
Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang
dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu.17
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen,
untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10
hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam
tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen
diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon
antibodi tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini
tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen
sangat sulit.15
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat
penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun
manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit
dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut
off point) 16
Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus
abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan
penderita.
KOMPLIKASI
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus halus) :
Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan (haemorrhage) usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih
jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau
awal minggu ke-3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
Penurunan tekanan darah
Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
Kulit pucat
Penurunan suhu tubuh
Mengeluh nyeri perut
Sangat iritabel
Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat
b. Perforasi usus
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada
ileum terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa.
Angka kejadian antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas
(free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgen
abdomen yang dibuat dalam posisi tegak.
c. Peritonitis
Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan,
penderita nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut
kembung, dinding abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan,
tekanan darah menurun, suara bising usus melemah, pekak hati
berkurang. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan
lekosit dalam waktu singkat.
2. Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia):
a. Liver, gallbladder, dan pancreas
Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi
hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga
terjadi pankreatitis.
b. Kardiorespiratory
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada
daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah
sekali dan ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah,
hypotensi, dan EKG yang abnomal.
Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia .
c. Nervous system
Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang),
encephalomyelitis.
d. Hematologi dan renal
Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana
merupakan manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis.
Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.5,13
TATALAKSANA
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan
dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu:
perawatan
diet
obat
Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring
sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan
sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran
yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi
demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat
perhatian.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan
tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi
selama penyakitnya berjalan.
Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian
bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak
penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini
mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan
ini menjadi makin lama.
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan
keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat
diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein,
elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose,
menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran maka
pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.
Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti
dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit
diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi
kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.
Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian menurun secara
drastis(1-4%).
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin
- Seftriakson
- Sefiksim
PROGNOSIS
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan kemungkinan
komplikasi dan waktu pemulihan.19
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-
anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier
kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak
akan menjadi karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis.7
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis
yang berat seperti:
-
Hiperpireksia atau febris kontinua
-
Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
-
Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.
-
Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5
SARAN
1. Edukasi kepada masyarakat tentang demam tifoid bahwa penyakit ini dapat
disembuhkan dengan kepatuhan terhadap perawatan non-farmakologi dan
farmakologi.
2. Edukasi mengenai pembelian antibiotik yang tidak dibeli sembarangan atas inisiatif
sendiri. Pemberian antibiotic harus sesuai dengan resep dokter untuk mencegah
resistensi antibiotic.
3. Memastikan pasien patuh terharap pengobatan, memberikan pasien terapi sesuai
dengan protab dan memastikan pasien control kembali untuk di evaluasi perihal
perkembangan kesehatannya..
24
4. Memberikan informasi yang tepat mengenai perawatan pasien dengan tifoid
Melengkapi pesediaan obat alternative untuk tifoid.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi
dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.
2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan
Infomedika, 2005: h.592-600.
8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
26
9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.
13. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics diagnosis
& treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5.
14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam
Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.
15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman imunisasi
di Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2005: h.173-4.
16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen
salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:
http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2003, cited : 2009 August 5th).
27
18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan
bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000:
h.3-5.
28