Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MINI PROJECT

PROGRAM INTERNSHIP KABUPATEN PANGKAJENE DAN


KEPULAUAN
STASE PUSKESMAS BUNGORO

PEMBIMBING
Dr. Halima Hafid

DISUSUN OLEH
Fadhillah Islamyah Putri Rusli
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Umur : 17 tahun
Alamat : Bungoro I
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam

II. RIWAYAT PENYAKIT


Keluhan Utama : demam sejak 5 hari sebelum ke Puskesmas

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang dengan keluhan utama demam tinggi sejak 4 hari sebelum ke puskesmas.
Demam timbul mendadak tinggi hingga 39º C, bersifat naik turun dan mulai meninggi ketika
sore menjelang malam hari, panas tidak disertai kejang. Pasien tidak mengeluh nyeri sendi,
tidak ada mimisan ataupun gusi berdarah dan tidak timbul bintik merah pada kulit. Pasien
juga kadang-kadang batuk berdahak sejak sakit tetapi tidak ada darah namun disertai sedikit
sesak napas. Nyeri ulu hati (+), mual(+), muntah(-). Pasien juga mengeluh belum BAB ± 3
hari.BAK normal.
Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Di keluarga dan
lingkungan keluarga pasien tidak ada yang menderita demam berdarah ataupun mengalami
sakit serupa.

RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA


 Pasien tidak memiliki riwayat asma
 Pasien diketahui tidak memiliki riwayat alergi obat

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis
 Tanda vital :
 Frekuensi nadi : 87x / menit
 Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
 Frekuensi napas : 18x / menit
 Suhu tubuh : 37,1 C
DATA ANTROPOMETRI
 Berat badan : 45 kg
 Tinggi badan : 153 cm
 IMT :19,2 kg/m2

KEPALA
 Bentuk dan ukuran : normocephal
 Rambut dan kulit kepala : hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
 Mata : palpebra superior tidak edema, mata tidak cekung,
konjungtiva tidak anemis, sclera tidak anemis, pupil
bulat isokor, diameter 3mm, refleks cahaya +/+
 Telinga : bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada sekret
 Hidung : bentuk normal, tidak ada septum deviasi, tidak ada
sekret, tidak ada pernapasan cuping hidung
 Mulut : bentuk normal, bibir tidak kering, tidak ada sianosis,
tidak keluar darah dari mulut, ditemukan adanya
stomatitis, lidah kotor di bagian tengah, tepi lidah
hiperemis, tidak ada tremor lidah
 Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1 tenang
 Leher : trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba, kelenjar
submandibula, supra-infra clavicula dan cervical tidak
teraba
THORAX
 Paru
- Inspeksi : pergerakan dada simetris, tidak terdapat retraksi intercostae dan
suprasternal
- Palpasi : vocal fremitus kanan-kiri dan depan-belakang sama kuat
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
- Auskultasi : suara pernapasan vesikuler, ronkhi -/- , wheezing -/-

 Jantung
- Inspeksi: ictus cordis tak nampak
- Perkusi : batas jantung kanan ICS IV line parasternalis dekstra, batas kiri jantung
ICS V linea midclavicularis sinistra
- Auskultasi: S1/S2 murni reguler
ABDOMEN
- Inspeksi : tampak datar, ikut gerak napas
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : nyeri tekan(+) regio epigastrium.
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-), meteorismus (-)
Extremitas
Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, peteki (-)  

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Serologi Widal
Salmonella Typhi O (+) 1/320
Salmonella Typhi H (+) 1/320
Salmonella Paratyphi A O (+) 1/160
Salmonella Paratyphi A H (+) 1/80

V. DIAGNOSA
Susp. Demam tifoid
VI. PENATALAKSANAAN
 Tirah baring selama ±2 minggu
 Diet makanan biasa
 Menjaga higenitas makanan
 Kloramphenicol 4x500 mg selama 7 hari
 Paracetamol tablet 3x500 mg
 GG 3x100 mg
 Vitamin bcomplex 1x1
 Antasida tablet 3x1

PROGNOSA
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
Ad sanationam : bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit
infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7
hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa
keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke
dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.1

ETIOLOGI

Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi,


Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika
penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.8

Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella.


Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela,
berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 0C (150C-410C), bersifat fakultatif
anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada
pemanasan suhu 54,40C selama satu jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada
pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap
glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.9

Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka
terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini juga dapat
bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu
bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak
dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia
merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui kontak langsung
maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.3
Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier
Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini.
Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri
yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang
positif dan bermakna.10

Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:

- Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)

- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat


termolabil.

- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman


dan melindungi O antigen terhadap fagositosis

Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan


pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

Ada 3 spesies utama yaitu :

- Salmonella typhosa (satu serotype)

- Salmonella choleraesius (satu serotype)

- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2

Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen
tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.1

Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000 hingga 1
juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe typhi ini kurang infeksius
dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk dapat mencapai usus halus biasanya
Salmonella typhi ini harus dapat bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian
melekat pada sel mukosa serta melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang
melapisi sepanjang lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk
invasi dan sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke
dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk dalam sel
retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat perubahan degeneratif,
proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan
kelenjar limfe mesenterica.6

Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam fagosit
mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini mencakup jumlah
bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini kemudian dilepaskan dari
habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase
bakteriemi, bakteri akan menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung
empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1
bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang.
Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun angka mortalitas stadium ini <
1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam
sirkulasi pasien tifoid.1

PATOLOGI

Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat fase ini
akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan antibiotik yaitu :

Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid

Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan
submukosa

Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan
pendarahan

Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan


terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.11

Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada bagian
traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan kolon ascending.
Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas dibandingkan yeyunum.
Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan pertambahan usia.11
PATOFISIOLOGI

Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam tifoid
berdasarkan penelitian terbaru ialah :

a. bacterial type III protein secretion system (TTSS)

b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode
Sips (Salmonella Invasion Proteins).

c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang


berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag

d. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ dalam

e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah
menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.12

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan
dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka
mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya
suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang
menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman
yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.9

Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109 yang


tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat
multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat.
Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan
mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah
melewati pertahanan tubuh.8

Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha
menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh
kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi
pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan
menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di
lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus,
kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi dapat bertahan
hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.
Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan
mencapai aliran darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg
asimptomatis.9

Kemudian kuman akan masuk kedalam organ–organ system retikuloendotelial (RES)


terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada
perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi
bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang
ada didalam hepar akan masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu
kuman tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus halus.
Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang
berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis.1

Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya


sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat berperan membantu
proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu merangsang sintesa dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen
yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hypothalamus yang
mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan
oleh kelainan pada usus.5

Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi


klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang
disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan
merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, dan panas.

Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag


yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai
sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam
usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang
terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu
pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa
adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan
sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.
Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun
tifoid kongenital.2

Bagan Patofisiologi Demam Typhoid

KUMAN S. TYPHI

Makanan + Minuman

Lambung mati

Usus halus

Folikel getah bening


intestinum

Multiplikasi Sel PMN

Aliran getah bening Hidup dan Multiplikasi


Mesenterika Usus
Berkembang Biak Lokal

Airan Darah Aliran Darah


(Bakteremia Primer) ( Bakteremia Sekunder)

RES
Hati dan Limpa

GEJALA KLINIS
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran.5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam
pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam
timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid
dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau
penurunan kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan
gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non
produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam
dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan
abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien
lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak
dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang
terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi
berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak
makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen,
ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua,
ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada
komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.2
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung
lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal
kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak
pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps
terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh
obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi
invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. 5 Sepuluh persen dari
demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.6
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta, diare
lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% dan 15,79% pada anak.
Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%, muntah 26,32%, mual
42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan
delirium pada 2,63% anak. Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1

Anak usia sekolah dan remaja


Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri perut
berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada selama awal
perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok, mual muntah
adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke-
3. Batuk dan epistaksis mungkin ada. Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak.
Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu,
sering mencapai 40 0C.8
Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan tingginya
demam. Hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri difus, terjadi pada
minggu ke-2 penyakit.8

Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)


Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan malaise,
salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan demam tifoid terbukti
secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam tifoid daripada orang
dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis akut. Yang lain dapat datang dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bawah.

Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam
enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus biasanya mulai
dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat
setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan
kehilangan berat badan mungkin nyata.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau
(delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi,
muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,
kejang, dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor
dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
# Darah tepi perifer
- Anemia
Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau
perdarahan usus.
- Leukopenia
Namun jarang kurang dari 3000/ul
- Limfositosis relatif
- Trombositopenia
Terutama pada demam tifoid berat.
# Pemeriksaan serologi
- Serologi Widal
Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut
ke fase konvalesens.
- Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
# Pemeriksaan biakan Salmonella
- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
- Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
# Pemeriksaan radiologik
- Foto toraks
Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
- Foto abdomen
Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau
perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata,
tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada
abdomen.1

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila
hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
bakteriologis dan serologis.

1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.


a. Pemeriksaan darah tepi.
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada
permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan
darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan tetapi
berguna untuk membuat diagnosis yang cepat.5
Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia dan
limfositosis relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di bawah 3000/ul.
Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat berlangsung beberapa minggu. Adanya
leukositosis menunjukkan kemungkinan perforasi usus atau supurasi. Pada penderita
demam tifoid sering dijumpai anemia normositik normokrom. Anemia normositik
normokrom terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang. Pada 20%
penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14

b. Pemeriksaan sumsum tulang


Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak termasuk
pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif
RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis, dan
trombopoesis berkurang.5

2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa


a. Pemeriksaan kultur
Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah, sumsum
tulang, tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam media ( kultur).
Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting untuk menentukan waktu
pengambilan spesimen yang optimal.
Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2 minggu
pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah positif pada minggu
pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah minggu pertama, frekuensi
Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya
dapat ditemukan pada 50% penderita, setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30%
penderita. Sensitifitas kultur darah menurun pada penderita yang mendapat pengobatan
antibiotik. Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah dan
tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi waktu
pengambilan.2
Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara minggu ke-3 sampai
minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi dapat diisolasi dari
tinja. Frekuensi kultur tinja positif meningkat sampai minggu ke-4 atau minggu ke-5.
Kultur tinja positif setelah bulan ke-4 menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada
penderita karier Salmonella typhi dapat dijumpai 1011 organisme per gram tinja.
Salmonella typhi dapat diisolasi dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25%
penderita, kultur urin positif pada minggu ke 2-3.
Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi sensitifitasnya rendah, yaitu
berkisar antara 40-60%. Hasil positif memastikan diagnosis demam tifoid sedangkan hasil
negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah
kuman atau spesimen sedikit, waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau telah
mendapat pengobatan dengan antibiotik.15
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah
pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti.
Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya.
Pada biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah
penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk
waktu yang lama.5
b. Tes Widal
Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam
tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji serologi Widal
memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela ( H) banyak dipakai
untuk membuat diagnosis demam tifoid.14
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita
dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer
zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat)
mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan
penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena
dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer
thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman.5

Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada
hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir minggu
pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai
puncak antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang
dalam waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan
menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi bersilangan dengan kultur
darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih
banyak dijumpai sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah
minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi,
anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain dapat
menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan
titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan
titer anti H. Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer
antibodi akibat terpapar bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi
perlu diketahui titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu
dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau
antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita gizi
buruk, agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti
kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer
antibodi tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji
Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila
titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi ( karier).
Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab
tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
-
semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O
yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12
dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A
dan paratyphi B).
-
semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan
-
titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien
tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai
antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga
keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain
uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi
dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar
(15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh
terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype
Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang
dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu.17
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen,
untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10
hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam
tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen
diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon
antibodi tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini
tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen
sangat sulit.15
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat
penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun
manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit
dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut
off point) 16
Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus
abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan
penderita.

Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:


-
Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil coli
patogen dlm usus.
-
Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.
-
Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).
-
Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada keadaan
infeksi.5

Pemeriksaan Penunjang Lain


Pemeriksaan antibodi
Antibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi, muncul pada
awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik IgM maupun IgG muncul
lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya antibodi O muncul pada hari ke 6-8
sedangkan antibodi H pada hari 10-12 dari onset penyakit.10
Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka
pemeriksaan serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes Widal menuju
pelacakan antibodi terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih spesifik seperti:
# Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay ), pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi
protein spesifik pada membran luar atau outer membrane protein (OMP) dimana OMP
dengan berat 50 kDa ternyata sangat spesifik pada serum pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA
mencapai 95-100% jauh lebih baik daripada sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan
Dot EIA tidak ada reaksi silang dengan salmonelosis non tifoid dibandingkan dengan Widal.
Produk komersial pemeriksaan ini dikenal sebagai Typhidot.13 Salah satu modifikasi
Typhidot dengan inaktivasi IgG dalam sampel serum untuk menyingkirkan kemungkinan
ikatan kompetitif dan memungkinkan akses antigen terhadap IgM spesifik, dikenal sebagai
Typhidot M.6 Dengan kata lain, Typhidot M hanya mendeteksi antibodi IgM spesifik
sedangkan Typhidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap antigen 50 kD Salmonella
typhi. Pemeriksaan Typhidot membutuhkan waktu 3 jam.18
# Polymerase Chain Reaction (PCR)
Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem hibridisasi ini,
sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya (DNA probe) digunakan
untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA
(kuman). Meskipun DNA probe memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup
sensitif untuk mendeteksi jumlah kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15
Salmonella typhi/ml darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA telah dapat
diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target DNA
dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara ini dapat melacak
DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan.16
# IgM Dipstick test
Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik Salmonella typhi pada LPS
antigen Salmonella typhi.
Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana dan cepat. Hasil
positif tes Tubex menunjukkan adanya infeksi Salmonella walaupun tidak dapat
menunjukkan Salmonella grup D mana yang menjadi faktor kausatifnya. Infeksi Salmonella
serotipe lainnya seperti Salmonella paratyphi A memberikan hasil yang negatif. Oleh sebab
itu, tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya
antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu singkat.10,18

KOMPLIKASI
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus halus) :
Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan (haemorrhage) usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih
jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau
awal minggu ke-3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
 Penurunan tekanan darah
 Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
 Kulit pucat
 Penurunan suhu tubuh
 Mengeluh nyeri perut
 Sangat iritabel
 Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat
b. Perforasi usus
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada
ileum terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa.
Angka kejadian antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas
(free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgen
abdomen yang dibuat dalam posisi tegak.

c. Peritonitis
Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan,
penderita nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut
kembung, dinding abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan,
tekanan darah menurun, suara bising usus melemah, pekak hati
berkurang. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan
lekosit dalam waktu singkat.

2. Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia):
a. Liver, gallbladder, dan pancreas
Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi
hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga
terjadi pankreatitis.
b. Kardiorespiratory
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada
daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah
sekali dan ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah,
hypotensi, dan EKG yang abnomal.
Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia .
c. Nervous system
Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang),
encephalomyelitis.
d. Hematologi dan renal
Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana
merupakan manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis.
Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.5,13

TATALAKSANA
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan
dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu:
 perawatan
 diet
 obat

Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring
sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan
sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran
yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi
demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat
perhatian.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan
tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi
selama penyakitnya berjalan.

Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian
bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak
penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini
mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan
ini menjadi makin lama.
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan
keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat
diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein,
elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose,
menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran maka
pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.
Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti
dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit
diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi
kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.

Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian menurun secara
drastis(1-4%).
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin
- Seftriakson
- Sefiksim
PROGNOSIS
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan kemungkinan
komplikasi dan waktu pemulihan.19
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-
anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier
kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak
akan menjadi karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis.7
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis
yang berat seperti:
-
Hiperpireksia atau febris kontinua
-
Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
-
Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.
-
Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5

SARAN
1. Edukasi kepada masyarakat tentang demam tifoid bahwa penyakit ini dapat
disembuhkan dengan kepatuhan terhadap perawatan non-farmakologi dan
farmakologi.
2. Edukasi mengenai pembelian antibiotik yang tidak dibeli sembarangan atas inisiatif
sendiri. Pemberian antibiotic harus sesuai dengan resep dokter untuk mencegah
resistensi antibiotic.
3. Memastikan pasien patuh terharap pengobatan, memberikan pasien terapi sesuai
dengan protab dan memastikan pasien control kembali untuk di evaluasi perihal
perkembangan kesehatannya..

24
4. Memberikan informasi yang tepat mengenai perawatan pasien dengan tifoid
Melengkapi pesediaan obat alternative untuk tifoid.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi
dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.

2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.

3. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta :


Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.

4. NN. Mengenal demam typhoid. Available from :


http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html (updated
2008 November 1st, cited : 2009 July 28th).

5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan
Infomedika, 2005: h.592-600.

6. NN. Demam typhoid. Available from :


http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demam-typhoid.html (updated 2008
November 13th, cited : 2009 July 28th).

7. NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from :


http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever (updated 2008,
cited : 2009 July 28th).

8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.

26
9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.

10. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap


berbagai antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri.
September 2006;8(2):118-121.

11. Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid


Fever in Children. February 2002: p.157-159.

12. NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com (cited : 2009


August 5th).

13. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics diagnosis
& treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5.

14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam
Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.

15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman imunisasi
di Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2005: h.173-4.

16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen
salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.

17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:
http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2003, cited : 2009 August 5th).

27
18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan
bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000:
h.3-5.

19. Brusch JL, Garvey T. Penyakit tipus fever. Available from :


http://www.medscape.com/files/public/blank.htm (updated 2008 December 3rd,
cited : 2009 July 28th).

28

Anda mungkin juga menyukai