Anda di halaman 1dari 71

FARMAKOLOGI NEUROPSIKIATRI

PSIKOTROPIK, OBAT PENYAKIT PARKINSON,


OBAT PERANGSANG SSP DAN TERAPI DEGENERATIF SSP

Nama : Gloria Josephin Tarigan


NIM : 1408010006

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA, KUPANG
2015/2016
A. PSIKOTROPIK
Psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi perilaku, emosi, dan pikiran yang biasanya
digunakan dalam bidang psikiatri. Berbeda dengan antibiotic, pengobatan dengan psikotropik
bersifat simtomatik dan lebih didasarkan pada pengetahun empiric. Psikotropik hanya mengubah
keadaan jiwa pasien sehingga lebih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik.
Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropik dibagi menjadi 4 golongan (lihat Tabel ), yaitu :
antipsikosis (major tranquilizer, neuroleptik), antiansietas (antineurosis, minor tranquilizer),
antidepresin, dan psikotogenik (psikotomimetik, psikodisleptik, halusinogenik).

ANTIPSIKOSIS ANTIANSIETAS ANTIDEPRESI ANTIMANIA


a. Antipsikosis tipikal gol. a. Golongan a. Golongan triksiklik​: a. Litium
fenotiazin: benzodizepin: imipramine dan b. Antimania lain​ :
klorpromazin, diazepam, amitriptilin. karbamazepin
flufenazin, perfenazin, alprazolam, b. Golongan heterosiklik dan asam
tiorindazin, klrodiazepoksid, (generasi 2 & 3): v​alproate.
trifluperazin. klonazepam, amoksapin, maprotilin,
b. Antipsikosis tipikal gol. klorazepat, dan trazodon, bupropion,
lain: kloprotiksen, lorazepam venlafaksin, mirtazapin,
droperidol, haloperidol, b. Golongan lain: dan nefasodon.
loksapin, molindon, buspiron , c. Golongan SSRI​S​:
dan tioktiksen. zolpidem​. fluoksetin, paroksetin,
c. Antipsikosis atipikal: setralin, fluvoksamin dan
klozapin, sitalopram.
olanzapine,risperidon,q d. Pengahambat MOA:
uetiapi, sulprid, isokarboksazid dan
ziprasidon, fenelzin.
aripripazol, zotepin, e. Golongan SNRI​ :
dan amilsulprid. Venlafaksin

1. ANTIPSIKOSIS : bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik, termasuk skizofernia,
gangguan skizo-afektif, demensia dengan gejala psikosis, psikosis akibat obat, maupun gangguan
bipolar. Ciri terpenting obat antipsikosis ialah : (1) berefek antipsikosis, terhadap gejala positif
(halusinasi, delusi, bicara kacau dan agitasi), dan secara terbatas juga memperbaiki gejala negatif
(apatis, avoliation, dan alogia) serta gangguan kognitif. (2) dosis besar tidak menyebabkan koma
yang dalam ataupun anestesia; (3) dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau
ireversibel; dan (4) tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikis dan fisik.
1.1. ANTIPSIKOSIS TIPIKAL KLORPROMAZIN DAN DEVIRAT FENOTIAZIN
Prototip kelompok ini adalah klorpromazin (CPZ). Pembahasan terutama mengenai CPZ karena
obat ini sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediaanya
dan harganya.
● FARMAKODINAMIK
Efek farmakologis klorpromazin dan antipsikosis lainya meliputi efek pada suasana saraf
pusat, system otonom, dan endokrin. Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat
berbagai receptor diantarnya dopamine receptor α-adenergik, muskarinik, histamine H1,
dan receptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda. Klorpromazin misalnya selain
memiliki afinitas terhadap receptor dopamine, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap
α-adenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas yang tinggi terhadap receptor
serotonin 5HT2.
Susunan Saraf pusat​. CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh
terhadap rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap
efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional penderita sebelum
minum obat.
Berbeda dengan barbiturat, CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat
rangsang listrik maupun rangsang oleh obat. Semua derivat fenotiazin mempengaruhi
ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek ekstrapiramidal).
CPZ dapat mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan oleh rangsangan pada
chemo receptor trigger zone. Muntah yang disebabkan oleh kelainan saluran cerna atau
vestibuler, kurang dipengaruhi, tetapi lenotiazin potensi tinggi, dapat berguna untuk
keadaan tersebut. Fenotiazin terutama yang potensinya rendah menurunkan ambang
bangkitan sehinggai penggunaannya pada pasien epilepsi harus sangat berhati-hati. Derivat
piperazin dapat digunakan secara aman pada penderita epilepsi bila dosis diberikan
bertahap dan bersama anti konvulsan.
Neurologik​. Pada dosis berlebihan, semua derivat lenotiazin dapat menyebabkan gejala
ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada parkinsonisme.
Kardiovaskular. ​Hipotesis ortostatik, dan peningkatan denyut nadi saat istirahat biasanya
sering terjadi dengan derivate fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, curah
jantung menurun dan frekuensi denyut jantung meningkat. Efek ini diperkirakan karena
efek otonom dari obat antipsikosis. Abnormalitas EKG dilaporkan terjadi pada pemakaian
teori dasin berupa perpanjangan QT, abnormalitas segmen ST dan gelombang T.
perubahan ini biasanya bersifay reversible.
Otot Rangka. ​CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot skelet yang berada dalam keadaan
spastik. Cara kerja relaksasi ini diduga bersifat sentral, sebab sambungan saraf-otot dan
medula spinalis tidak dipengaruhi CPZ.
Endokrin. ​CPZ dan berbagai antipsikosis lainya mempunya efek samping terhadap system
reproduksi. Pada wanita dapat terjadi amenorea, glaktorea, dan peningkatan libido,
sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan ginekomastia.
● FARMAKOKINETIK
Pada umumnya semua fenotiazin diabsorpsi dengan baik bila diberikan peroral maupun
parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar tertinggi di paru-paru, hati,
kelenjar suprarenal dan limpa. Sebagian fenotiazin mengalami hidroksilasi dan konyugasi,
Sebagian lain diubah menjadi sulloksid yang kemudian diekskresi bersama feses dan urin.
Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih ditemukan ekskresi CPZ alau metabolitnya
selama 6-12 bulan.
● EFEK SAMPING
Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek samping
umumnya merupakan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi mungkin
timbul, berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai eosinolilia dalam
darah perifer.
● EFEK SAMPING FARMAKOLOGI ANTIPSIKOSIS
Organ yang Maninfestasi Mekanisme
dipengaruhi

Sistem saraf ● Gangguan pengelihatan, mulut kering ● Hambatan receptor Muskarinik


otonom sulit miksi, konstipasi.
● hipotensi orostatik, impotensi ● Hambatan receptor adnergik
gangguan ejakulasi.

Susunan saraf ● Sindrom Parkinson, akatisiadystonia ● Hambatan receptor dopamine


pusat ● Dyskinesia tardif ● Supersensitivitas receptor dopamine
● Kejang toksik
● Hambatan receptor muskarinik

System ● Amenorea, galaktorea, infertilitas ● Hambatan receptor dopamine yang


endokrin imopotensi menyebabkan hiperprolaktinemia

System lain ● Peningkatan berat badan ● Kemungkinan hambatan receptor


H1 dan 5-HT2

● INTERAKSI DENGAN OBAT LAIN


Fenotiazin dan tioksanten; terutama yang berpotensi rendah, memengaruhi kerja
sejumlah obat lain. Obat antipsikotik secara kuat mempotensiasi efek sedatif dan analgesik
obat yang diresepkan, alkohol, sedatif dan hipnotik nonresep, antihistamin, dan obat flu.
Klorpromazin meningkatkan efek miotik dan efek sedatif morfin dan sangat meningkatkan
kerja analgesiknya. Obat ini juga meningkatkan depresi pernapasan yang dihasilkan oleh
meperidin dan dapat diduga memiliki efek yang sama ketika diberikan bersamaan dengan
opioid lain. Sesungguhnya; obat neuroleptik menghambat kerja agonis dopaminergik dan
levodopa serta memperparah gejala neurologis penyakit Parkinson.
Kerja antimuskarinik klozapin dan tioridazin dapat menyebabkan takikardia dan
meningkatkan efek perifer maupun pusat (kebingungan, delirium) pada senyawa
anti-kolinergik lain, seperti antidepresan trisiklik dan senyawa antiparkinson. Sedafif atau
anti-konvulsan (contohnya, karbamazepin, okskarbazepin, fenobarbital, dan fenitoin,
tetapi tidak valproal) yang menginduksl CYP dapat meningkatkan metabolisme antipsikotik
dan banyak senyawa lain (termasuk antikoagulan dan kontrasepsi oral), terkadang dengan
konsekuensi klinis yang signifikan. Sebaliknya, inhibitor ambilan kembali serotonin selektif
(S-HT) termasuk fluvoksamin, fluoksetin, paroksetin, venlafaksin, sertralin, dan
nefazodon berkompetisi dengan enzim ini dan dapat meningkatkan kadar neuroleptik
dalam sirkulasi darah.

● Dosis Obat Antipsikosis Golongan Fenotiazin


1.2. ANTIPSIKOSIS TIPIKAL GOLONGAN LAIN
❖ HALOPERIDOL
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania penderita psikosis yang karena
hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Beaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% penderita
yang diobati haloperidol. Oksipertin merupakan derivat butirofenon yang banyak
persamaannya dengan CPZ. Oksipertin berefek blokade adrenergik dan antiemetik serta dapat
menimbulkan parkinsonisme pada manusia dan katalepsi pada hewan.
● FARMAKOLOGI.
Struktur haloperidol berbeda dengan lenotiazin, tetapi butirofenon memperlihatkan
banyak sifat farmakologi fenotiazin. Pada orang normal, efek haloperidol mirip lenotiazin
piperazin. Haloperidol memperlihatkan antipsikotik yang kuat dan efektif untuk fase mania
penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek fenotiazin piperazin dan butirolenon berbeda
secara kuantitatif karena butirofenon selain menghambat efek dopamin, juga meningkatkan
turnover ratenya.
SUSUNAN SARAF PUSAT. ​Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang
mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding dengan CPZ, sedangkan
efek haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat dan menghambat jumlah
gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsif.
Haloperidol menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, iuga menghambat muntah yang
ditimbulkan oleh apomorlin.
SISTEM SARAF OTONOM. Efek haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada
efek antipsikotik lain, walaupun demikian haloperidol dapat menyebabkan pandangan kabur
(blurring of vision). Obat ini menghambat aktivasi receptor α-adergenik yang disebabkan oleh
amin simpatomimetik, tetapi hambatannya tidak sekuat hambatan CPZ.
Sistem kardiovaskular dan respirasi. ​Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering
dan sehebat akibat CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardia aritmia ventrikel maupun
perpanjangan interval QT. Klorpromazin atau haloperidol dapat menimbulkan potensiasi
dengan obat yang menyebabkan depresi.
Efek Endokrin. ​Seperti CPZ, haloperidol menyebabkan galaktore dan respons endokrin lain.
● FARMAKOKINETIK
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai
dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 iam dan masih dapat ditemukan
dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan kira-kira 1% dari
dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal,
kira-kira 40% obat dikeiuarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal.
● EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang tinggi, terutama
pada penderita usia muda. Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai dengan hati-hati.
Dapat teriadi depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping yang sebenarnya.
Perubahan hematologik ringan selintas dapat teriadi, tetapi hanya leukopenia dan
agranulositosis sering dilaporkan. Frekuensi kejadian ikterus akibat haloperidol rendah.
Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini
tidak menimbulkan efek teratogenik.
● INDlKASI
lndikasi utama haloperidol ialah untuk psikosis. Butirofenon merupakan obat pilihan untuk
mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu kelainan neurologik yang aneh yang ditandai
dengan kejang otot hebat, menyeringai (grimacing) dan explosive utterances of foul expletives
(coprolalia, mengeluarkan kata-kata jorok). Selain itu dapat digunakan mengatasi gejala mania
pada gangguan bipolar.

❖ DIBENZOXAZEPIN
Termasuk derivat senyawa ini adalah loksapin.
● FARMAKOLOGI
Obat ini mewakili golongan antipsikosis yang baru dengan rumus kimia yang berbeda
dari fenotiazin, butirofenon, tioksanten dan dihidroiodolon. Namun sebagian besar efek
farmakologiknya sama.
Loksapin ​memiliki efek antiemetik, sedatif antikolinergik dan anti-adrenergic. Obat ini
berguna untuk mengobati skizofrenia dan psikosis lainnya.
● EFEK SAMPING
Insiden reaksi ekstrapiramidal (selain diskinesia tardif) terletak antara fenotiazin alifatik dan
fenotiazin piperazin. Seperti antipsikotik lainnya dapat menurunkan ambang bangkitan pasien,
seningga harus hati-hati digunakan pada pasien dengan riwayat kejang.
● FARMAKOKINETIK
Diabsorpsi baik per oral, kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1 jam (lM) dan 2 jam (oral).
Waktu paruh loksapin ialah 3, 4 jam. Metabolit utamanya (8-hidroksi loksapin) memiliki waktu
paruh yang lebih lama (9 jam).
● SEDIAAN DAN POSOLOGI
Loksapin tersedia dalam bentuk tablet dan suntikan. Dosis awal 10-50mg/hari dalam 2 dosis.
Dosis pemeliharaan 20-100 mg dalam 2 dosis.
❖ DIHIDROINDOLON
MOLINDON. Obat ini memiliki struktur kimia yang berbeda dari antpsikosis yang lain. Efektif
terhadap skizofrenia dan psikosis lainnya. Kadar puncak plasma dicapai kira-kira 1, 5 jam.
Molindon dimetabolisme secara cepat dan ekstensif, tapi efek kliniknya bertahan 24-36 jam.
● EFEK SAMPING
Gejala ekstrapiramidal dan anti adrenergik molindon secara umum lebih sedikit
dibandingkan antipsikosis yang lain. Efek sedatif terletak antara lenotiazin alifatik dan lenotiazin
piperazin.

● Dosis Obat Golongan Antipsikosis Tipikal Golongan Lain


1.3. ANTIPSIKOSIS ATIPIKAL
❖ KLOZAPIN
Merupakan antipsikotik golongan atipikal pertama yang dipasarkan. Disebut atipikal karena
obat ini hampir tidak menimbulkan efek ekstrpiramidal. Dibandingkan psikotropik yang lain,
klozapin menunjukan efek dopaminergic lemah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf
dopamine pada system mesolimbic-mesokortikal otak; yang berhubungan dengan fungsi
emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda dari dopamine neuro di daerah
nigrostriatal (daerah gerak) dan tuberoinfundibular.
Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif
maupun yang negatif. Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan
secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pengobatan pasien
yang refraker dan terganggu berat selama pengobatan. Selain itu, karena risiko efek samping
ekstrapiramidal yang sangat rendah, obat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala
ekstrapiramidal yang berat bila diberikan antipsikosis yang lain. Namun karena klozapin
memiliki risiko timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yang lain,
maka penggunaannya dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi
antipsikosis yang lain. Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau jumlah sel darah putihnya
setiap minggu.
● EFEK SAMPTNG DAN INTOKSIKAS
Agranutosilosis merupakan efek samping utama yang ditimbulkan pada pengobatan
dengan klozapin. Pada pasien yang mendapat klozapin selama 4 minggu atau lebih, risiko
terjadinya kira-kira 1,2%. Gejala ini timbul paling sering 6-18 minggu setelah pemberian obat.
Pengobatan dengan obat ini tidak boleh lebih dari 6 minggu kecuali bila terlihat adanya
perbaikan.
Efek samping lain yang dapat terjadi antara lain hipertermia, takikardia, sedasi, pusing
kepala, hipersalivasi. Gejala takar lajak meliputi antara lain: kantuk, letargi, koma, disorientasi,
delirium, takikardia, depresi napas, aritmia, kejang dan hipertemia.
● FARMAKOKINETIK
Klozapin diabsorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian peroral; kadar puncak
plasma tercapai pada kira-kira 1, 6 jam setelah pemberian obat. Klozapin secara ekstensif diikat
protein plasma (> 95%), obat ini dimetabolisme hampir sempurna sebelum diekskresi lewat
urin dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 11, 8 jam.
● SEDIAAN
Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25mg dan 100mg.
❖ RISPERIDON
● FARMAKODINAMIK
Resperidon yang merupakan derivate dari benzisoksazol mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap receptor 5-HT​2​, dan aktivitas menegah terhadap receptor D​2​, α​1 dan
​ α​2 adenergik

dan receptor histamine. Aktivitas antipsikosis dihubungkan dengan hambatan receptor


serotonin dan dopamine.
● FARMAKOKINETIK
Bioavailabilitas oral sekitar 70% volume distribusi 1-2 L/kg. Diplasma risperidon terikat
dengan albumin dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma sekitar 90%. Risperidon secara
ekstensif di metabolism dihati oleh enzim CYP2D6 menjadi metabolitnya 9-hidroksirisperidon.
Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat urin dan sebagian kecil lewat feses.
● INDIKASI
Untuk terapi skizofernia baik untuk gejala negatif maupun positif. Diindikasikan pula
untuk gangguan bipolar, dan iritabilitas pada gangguan autistic.
● EFEK SAMPING
Secara umum risperidon dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping dilaporkan adalah
insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah, peningkatan berat badan,
hiperprolaktenemia, dan reaksi ekstrapiramidal terutama tardive dyskinesia. Efek samping
ekstrapiramidal umunya lebih ringan dengan antipsikosis tipikal.
● SEDIAAN
Risperidon tersedia dalam bentuk tablet 1 mg, 2 mg, dan 3 mg, sirup dan injeksi
(long-lasting injection) 25 mg/ml, 50 mg/mL.
❖ OLAZAPIN
● FARMAKODINAMIK
Olazapin merupakan derivate tienobenzodiazepin, struktur kimianya mirip dengan kloszapin.
Olazapin memiliki afinitas terhadap receptor dopamine (D2, D3, D4, dan D5), receptor
serotonin (5HT2), muskarinik, histamine (H1) dan receptor alfa 1.
● FARMAKOKINETIK
Olazapin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral, dengan kadar plasma tercapai
setelah 4-6 jam pemberian, metabolisme di hepar oleh enzim CYP 2D6, dan diekskresi lewat
urine.
● INDIKASI
Mengatasi gejala negatif maupun positif skizofernia dan sebagai antimania pada gangguan
bipolar. Obat ini juga mennunjukan efektivitas pada pasien depresi dengan gejala psikotik.
● EFEK SAMPING
Meskipun strukturnya mirip dengan klozapin, olazapin tidak menyebabkan
agrunulositosis seperti klozapin. Olazapin dapat ditoleransi dengan efek samping
ekstrapiramidal terutama tardiv diskenesis yang minimal. Efek samping yang dilaporkan adalah
peningkatan dan gangguan metabolic yaitu intoleransi glukosa, hiperglikemia, dan
hyperlipidemia.
● SEDIAAN
Olazapin teredia dalam bentuk tablet 5 mg, 10 mg, dan vial 10 mg.

❖ QUETIAPIN
● FARMAKODINAMIK
Obat ini bersifat antagonis terhadap receptor D​2​, serotonin 5HT​2​, serotonin 5HT​1, H​
​ 1, dan

receptor α​1 dan


​ α​2 adenergik.

● FARMAKOKINETIK
Absorpsinya cepat setelah pemberian oral, kadar plasma tercapai setelah 1-2 jam
pemberian. Ikatan sekitar 83%. Metabolisnya lewat hati oleh enzim CYP 3A4. Ekskresi sebagian
sebesar lewat urin dan sebagian kecil lewat feses.
● INDIKASI
Quetiapin diindikasikan untuk skizofernia dengan gejala positif maunpun negatif. Obat
ini dilaporkan juga meningkatkan kemampuan kognitif berpikir, berbicara dan kemampuan
mengingat membaik. Masih diperlukan penelitian lanjut untuk membuktikan apakah manfaat
klinisnya berarti. Disamping itu obat ini diindikasikan pula untuk gangguan depresi dan mania.
● EFEK SAMPING
Efek samping yang umum adalah sakit kepala, somnelon, hipotensi, dan dizziness. Seperti
antipsikosis atipikal umumnya, quetiapin juga memiliki efek samping peningkatan berat badan,
gangguan metabolic dan hiperprolaktenemia, sedangkan efek samping ekstrapiramidalnya
minimal.
❖ ZIPRAZIDON
● FARMAKODINAMIK
Obat ini dikembangkan dengan harapan memiliki sperektum skizofernia yang luas, baik
gejala positif, negatif maupun gejala efektif dengan efek samping yang minimal terhadap
prolactin, metabolic, gangguan seksual, dan efek antikolinergik. Obat ini meperhatikan
afinitas terhadap receptor serotonin (5HT2A) dan dopamine (D2).
● FARMAKOKINETIK
Absorpsinya cepat setelah pemberian oral. Metabolismenya di hati dan ekskresi
sebagian kecil lewat urin dan sebagian besar lewat feses. Ikatan proteinnya kuat berkisar lebih
dari 99%. Obat ini juga tersedia dalam injeksi IM yang digunakan untuk mendapatkan efek yang
cepat dalam keaadan akut (agitasi).
● INDIKASI
Untuk mengatasi keaadan akut (agitasi) dari skizofernia dan gangguan skizoafektif,
terapi pemeliharaan pada skizofernian skizoafektif kronik, serta gangguan bipolar.
● EFEK SAMPING
Efek sampingnya mirip dengan antipsikosis antipikal lainnya. Yang perlu menjadi
perhatian adalah studi yang menunjukan ziprazidon memiliki gangguan kardiovaskular yakni
perpanjangan interval QT yang lebih besar dibandingkan antipsikosis lainnya. Pasien dengan
gangguan elektrolit, sedang minum obat yang memiliki efek perpanjangan interval QT, atau
gangguan kardiovaskular perlu berhati-hati dalam penggunaan obat ini.
● SEDIAAN
Tablet 20 mg, ampul 10 mg.
❖ ARIPRIPRAZOL
● FARMAKODINAMIK
Obat ini bersifat agonis parsial terhadap receptor D​2 dan 5-HT​1A serta bersifat antagonis
terhadap receptor 5-HT​2A​. Sifat
​ parsial agonis terhadap receptor 5-HT​1A dihubungkan
​ dengan
efektivitas obat dalam menurunkan gejala positif maupun negatif skizofernia serta
meningkatkan kognitif penderita. Sedangkan sifat antagonis terhadap receptor serotonin
(5HT2A) diperkirakan dihubungkan dengan insiden efek samping ekstrapiramidal yang rendah.
● FARMAKOKINETIK
Obat ini diabsorpsi dengan baik di salur cerna, dengan bioavibilitas oral berkisar 87%.
Ikatan protein sekitar 83%. Metabolismenya lewat hati oleh enzim CYP 3A4 dan CYP2D6.
Ekskresi sebagian besar lewat feses dan sebagian kecil lewat urin.
● INDIKASI
Obat ini diindikasikan untuk skizofernia, dan gangguan bipolar serta mengatasi
irita-bilitas pada anak dengan gangguan austistik. Sediaan injeksinya digunakan untuk
mengatasi agitas pada skizofernia maupun episode manik pada gangguan bipolar.
● EFEK SAMPING
Konstipasi, akitisia, tremor, sedasi, dan restlessness. Efek samping ektrapiramidal minimal.
● SEDIAAN
Sediaan tablet 25 mg, 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 30 mg. sediaan injeksi 7, 5 mg/ml
❖ PALIPERIDON
● FARMAKODINAMIK
Obat ini merupakan antipsikotik antipikal yang dikembangkan dari obat sebelumnya
yakni risperidon. Secara kimiawi, paliperidon (9-hidroksin risperidon) adalah salah 1 metebolik
aktif dari risperidon. Paliperidon bersifat antagonis terhadap receptor dopamine (D2) dan
serotonin (5HT2A).
● FARMAKOKINETIK
Abossorbsinya cepat setelah pemberian oral. Metabolismenya di hati terutama oleh
enzim CYP2D6 dan diekskresi sebagian besar lewat urin. Ikatan protein plasmanya kuat berkisar
97%. Obat ini juga tersedia dalam sediaan injeksi IM dan oral lepas lambat yang digunakan
untuk terapi pemeliharaan jangka panjang.
● INDIKASI
Paliperidol diindikasikan untuk skizofernia dengan gejala positif maupun negatif baik
untuk tujuan terapi maupun pemeliharaan. Kelebihan obat inni dibandingkan risperidon adalah
sediaan IM dapat diberikan 1 bulan sekali (risperidon 2 kali sebulan) sehingga membuat
kenyamaan bagi penderita.
● EFEK SAMPING
Efek sampingnya mirip dengan risperido berupa drowsiness, takikardia, sakit kepala,
konstipasi, dan peningkatan berat badan.
● DOSIS
Sediaan oral lepas lambat 3 mg, 6 mg, 9 mg, dan 12 mg. Sediaan IM long acting 25 mg, 50
mg, 75 mg, 100 mg, dan 150 mg.
● Dosis Obat Antipsikosis Atipikal
2. ANTIANSIETAS
Obat yang digunakan untuk pengobatan ansietas ialah sedatif, atau obat-obat yang secara
umum memiliki sifat yang sama dengan sedative. Antiansietas yang terutama ialah golongan
benzodiazepin. Banyak golongan depresan SSP yang lain telah digunakan untuk sedasi siang hari
pada pengobatan ansietas, namun penggunaannya saat ini telah ditinggalkan. Alasannya ialah
obat-obat tersebut antara lain golongan barbiturat dan meprobamat lebih toksik pada takaran tajak.
2.1. GOLONGAN BENZODIAZEPIN
Benzodiazepin yang dianjurkan sebagai antiansietas ialah : klordiazepoksid, diazepam,
oksazepam, klorazepat, lorazepam, prazepam, alprazolam dan halozepam. Sedangkan
klorazepam dianiurkan untuk pengobalan panic disorder.
● FARMAKODINAMIK.
Klordiazepoksid dan diazepam merupakan prototip derivat benzodiazepin yang
digunakan secara meluas sebagai antiansietas.
● MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi neuron dengan GABA
sebagai mediatornya. Efek farmakodinamik derivat benzodiazepin lebih luas daripada efek
meprobamat dan barbiturat. Klordiazepoksid tidak saja bekerja sentral, tetapi tapi juga perifer
pada susunan saraf kolinergik, adrenergik dan triptaminergik.
Setelah pemberian peroral, klordiazepoksid mencapai kadar tertinggi dalam 8 jam dan
tetap tinggi sampai 24 iam. Ekskresi benzodiazepin melalui ginjal lambat; setelah pemberian
satu dosis, obat ini masih ditemukan dalam urin selama beberapa hari.
● EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI​.
Pada penggunaan dosis terapi jarang timbul kantuk; tetapi pada takar lajak
benzodiazepin menimbulkan depresi SSP. Efek samping akibat depresi susunan saraf pusat
berupa kantuk dan ataksia merupakan kelanjutan efek farmakodinamik obat-obat ini. Efek
antiansietas diazepam dapat diharapkan terjadi bila kadar dalam darah mencapai 300-400
ng/ml; pada kadar yang sama teriadi pula efek sedasi dan gangguan psikomotor. lntoksikasi SSP
yang menyeluruh dapat diharapkan terjadi pada kadar diatas 900-1. 000 ng/ml. Kadar terapi
klordiazepoksid mehdekati 750-1. 000 ng/ml.
Peningkatan hostilitas dan iritabilitas dan mimpi-mimpi hidup (vivid dreams) dan
mengganggu kadang-kadang dikaitkan dengan pemberian benzodiazepin, mungkin dengan
kekecualian oksazepam. Hal yang ganjil adalah terjadinya peningkatan ansietas. Respons
semacam ini rupa-rupanya terjadi khusus pada penderitayang merasa ketakutan, terjadi
penumpulan daya pikir sebagai akibat efek samping sedasi obat antiansietas. Dapat
ditambahkan bahwa salah satu penyebab yang paling sering dari keadaan bingung yang
reversibel pada orangorang tua adalah pemakaian yang berlebihan berbagai jenis sedatif,
termasuk apa yang biasanya disebut sebagai benzodiazepin 'dosis kecil’. Efek yang unik adalah
perangsangan nafsu makan, yang mungkin ditimbulkan oleh derivat benzodiazepin secara
mental.
Umumnya, toksisitas klinik benzodiazepin rendah. Bertambahnya berat badan, yang
mungkin disebabkan karena perbaikan nafsu makan, terjadi pada beberapa penderita. Banyak
efek samping yang dilaporkan untuk obat ini tumpang tindih dengan gejala ansietas, oleh karena
itu perlu anamnesis yang cermat untuk mengetahui apakah yang dilaporkan adalah benar suatu
efek samping atau gejala ansietas. Diantara reaksi toksik klordiazepoksid yang dijumpai adalah
rash, mual, nyeri kepala, gangguan fungsi seksual, vertigo dan kepala rasa ringan.
Agranulositosis dan reaksi hepatik telah dilaporkan, namun jarang. Telah dijumpai
ketidakteraturan menstruasi dan wanita yang sedang menggunakan benzodiazepin dapat
mengalami kegagalan ovulasi.
Obat ini sering digunakan untuk percobaan bunuh diri oleh penderita dengan mental
yang labil, tetapi intoksikasi benzodiazepin biasanya tidak berat dan tidak memerlukan terapi
khusus. Beberapa kematian pernah dilaporkan dengan dosis di atas 700 mg klordiazepoksid atau
diazepam. Tidak jelas apakah hanya karena obat ini, kombinasi dengan depresan lain atau
kondisi tertentu penderita.
Derivat benzodiazepin sebaiknya jangan diberikan bersama alkohol, barbiturat atau
fenotiazin. Kombinasi ini mungkin menimbulkan efek depresi yang berlebihan. Pada pasien
gangguan pernapasan benzodiazapin dapat memperberat gejala sesak napas.
● INDIKASI DAN SEDIAAN.
Derivat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi, menghilangkan rasa
cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas. Selain sebagai
ansietas, derivat benzodiazepin digunakan juga sebagai hipnotik, antikonvulsi, pelemas otot
dan induksi anestesi umum; pembahasan tentang indikasi-indikasi tersebut dapat dilihat pada
bab-bab yang bersangkutan. Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral
atau suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25-100 mg sehari dalam 2 alau 4 pemberian.
Dosis diazepam adalah 2-20 mg sehari; pemberian suntikan dapat diulang tiap 3-4 jam.
Klorazepat diberikan secara oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi.
Klordiazepoksid tersedia sebagai lablet 5 dan 10 mg. Diazepam berbentuk tablet 2 dan 5
mg.
Diazepam berbentuk tablet 2 dan 5 mg. Diazepam tersedia sebagai larutan untuk
pemberian rektal pada anak dengan kejang demam.
● TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN FISIK​.
Keadaan ini dapat terjadi bila benzodiazepin diberikan dalam dosis tinggi dan dalam
jangka waktu lama. Jadi pemberian golongan obat ini lebih dari 3 minggu sebaiknya dihindari.
Habituasi dapat terjadi akibat benzodiazepine. Namun, karena waktu paruhnya panjang dan
terjadi perubahan menjadi metabolit aktif, gejala putus obat mungkin tidak akan nampak
selama 1 minggu sesudah penghentian obat pada pemakaian kronik. Umumnya dengan
pemberian dosis biasa tidak terjadi gejala putus obat pada penggunaan benzodiazepine kerja
cepat (misalnya alprazolam), penghentian obat sebaiknya dihentikan secara bertahap.
❖ BUSPIRON
Buspiron merupakan contoh dari golongan azaspirodekandion yang potensial berguna
dalam pengobatan ansietas. Semula golongan obat ini dikembangkan sebagai antipsikosis.
Buspiron memperlihatkan larmakodinamik yang berbeda dengan benzodiazepin, yaitu tidak
memperlihatkan aktivitas GABA-ergik dan antikonvulsi, interaksi dengan obat depresan susunan
saral pusat minimal, Buspiron bersifat agonis parsial receptor 5HT​IA​; potensi antagonis
dopaminergiknya rendah, sehingga risiko menimbulkan efek samping ekstrapiramidal pada
dosis pengobatan ansietas kecil.
Studi klinik menunjukkan, buspiron merupakan antiansietas efektil yang efek sedatifnya
relatif ringan. Diduga risiko timbulnya toleransi dan ketergantungan juga kecil. Obat ini tidak
efektil pada panic disorder. Efek antiansietas baru timbul setelah 10-1 5 hari dan bukan
antiansietas untuk penggunaan akut. Tidak ada toleransi silang antara buspiron dengan
benzodiazepin sehingga kedua obat tidak dapat saling menggantikan.
3. ANTIDEPRESI
Depresi major dan distimia (minor) merupakan sindrom depresi murni, sedangkan gangguan
bipolar dan gangguan siklotimik memperlihatkan depresi yang diselingi dengan mania. Klasifikasi
sederhana depresi adalah sebagai berikut :
a. Depresi reaktif/sekunder Paling umum diiumpai sebagai respons terhadap penyebab nyata,
misalnya : penyakit dan kesedihan, Dulu dikenal sebagai depresi eksogen.
b. Depresi endogen Merupakan gangguan biokimia yang ditentukan secara genetik,
bermanifes-tasi sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi stres yang biasa.
c. Depresi yang berhubungan dengan gangguan afektif bipolar, yaitu depresi dan mania yang
terjadi bergantian.
3.1. Antidepresan Trisiklik
Mekanisme kerja : Obat–obat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan noradrenalin dari sela
sinaps di ujung-ujung saraf.
Obat-obat yang termasuk antidepresan klasik :
❖ Imipramin
● Dosis lazim : 25-50 mg 3x sehari bila perlu dinaikkan sampai maksimum 250-300 mg sehari.
● Kontra Indikasi : Infark miokard akut Interaksi Obat : anti hipertensi, obat simpatomimetik,
alkohol, obat penekan SSP
● Perhatian : kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular, hipotensi, gangguan untuk
mengemudi, ibu hamil dan menyusui.
❖ Klomipramin
● Dosis lazim : 10 mg dapat ditingkatkan sampai dengan maksimum dosis 250 mg sehari.
● Kontra Indikasi : Infark miokard, pemberian bersamaan dengan MAO, gagal jantung,
kerusakan hati yang berat, glaukoma sudut sempit.
● Interaksi Obat : dapat menurunkan efek antihipertensi penghambat neuro adrenergik,
dapat meningkatkan efek kardiovaskular dari noradrenalin atau adrenalin, meningkatkan
aktivitas dari obat penekan SSP, alkohol.
● Perhatian : terapi bersama dengan preparat tiroid, konstipasi kronik, kombinasi dengan
beberapa obat antihipertensi, simpatomimetik, penekan SSP, anti kolinergik,
penghambat reseptor serotonin selektif, antikoagulan, simetidin. Monitoring hitung darah
dan fungsi hati, gangguan untuk mengemudi.
❖ Amitriptilin
● Dosis lazim : 25 mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimum 150-300 mg
sehari.
● Kontra Indikasi : penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif sumsum tulang,
kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.
● Interaksi Obat : bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi, bersama depresan
SSP seperti alkohol, barbiturate, hipnotik atau analgetik opiate mempotensiasi efek
gangguan depresif SSP termasuk gangguan depresif saluran napas, bersama reserpin
meniadakan efek antihipertensi.
● Perhatian : ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal menurun, glakuoma,
kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan, menyusui, epilepsi.
3.2. GOLONGAN HETEROSIKLIK (Generasi keduan dan ketiga)
Obat-obat di bawah ini merupakan antidepresi yang relatif baru. Obat-obat ini merupakan hasil
dari usaha mendapatkan obat yang efek sampingnya lebih ringan dari AD terdahulu.
❖ AMOKSAPlN
● FARMAKODINAMIK
Obat antidepresi ini merupakan metabolit antipsikosis loksapin dan memiliki efek
antipsikosis. Gabungan efek antidepresi dan antipsikosis membuat obat ini cocok bagi pasien
psikosis dengan depresi. Namun sama seperti obat antipsikosis lain obat ini dapat menimbulkan
gejala akatisia, parkinsonisme, amenore-galaktore dan diskinesia Tardif. Obat ini juga
menunjuk-kan efek sedasi dan antimuskarinik seperti antidepresi trisiklik. Dibandingkan
terhadap amitriptilin dan imipramin, obat ini jarang menimbulkan gejala takikardia dan aritmia,
tetapi tetap perlu hati-hati digunakan pada pasien dengan kelainan jantung, dan tidak
dianjurkan pemakaiannya pada pasien infark jantung. Obat ini dilaporkan menimbulkan
bangkitan dengan lnsiden yang tinggi, terutama setelah penggunaan dosis terapi tinggi atau
pada takar lajak.
● FARMAKOKINETIK
Amoksapin diabsorpsi secara cepat dan baik setelah pemberian oral. Kira-kira 90% terikat
protein plasma, dan mengalami hidroksilasi menjadi 7-hidroksiamoksapin dan
8-hidroksiamoksapin. Metabolit yang kedua memiliki efek antidepresi dan waktu paruh yang
lebih panjang (30 jam) daripada obat asalnya (8 jam). Setelah mengalami konjugasi dengan
asam glukuronat, obat ini diekskresi lewat urin.
● SEDIAAN
Dosis dewasa 75 mg, dapat dinaikkan hingga 200 mg per hari diberikan dalam dosis terbagi.
Untuk dosis pemeliharaan(maintenance), dianjurkan dosis terendah yang dapat
mempertahankan efek terapi. Pada pasien usia lanjut dan anak-anak, dosis awal 25-50 mg/hari,
ditingkatkan hingga 100 mg per hari dalam dosis terbagi.
❖ MAPROTILIN
● FARMAKODINAMIK
Obat ini merupakan antidepresi tetrasiklik; namun memiliki profil farmakologik dan klinik
serta efektivitas yang mirip imipramin. Efek samping yang paling umum ialah kantuk dan efek
antikolinergik, tetapi tidak seberat yang disebabkan amitriptilin. Fash terjadi pada 3% pasien
setelah 2 minggu pengobatan, Hipotensi dan takikardia lidak seberat pada amitriptilin dan
imipramin, namun insidensnya sama bagi ketiga obat tersebut karena itu maprotilin juga harus
digunakan hati- hati pada pasien dengan riwayat infark jantung atau kelainan-kelainan jantung,
Bangkitan yang ditimbulkan obat ini lebih sering terjadi dibandingkan senyawa trisiklik.
Bangkitan ini terjadi pada kisaran dosis yang lebar, dapat terjadi sewaktu penambahan pada
dosis untuk mencapai efek terapi. lnsidens pada pasien dengan takar lajak ialah 25%. Oleh
karena itu obat ini tidak dapat digunakan pada pasien dengan kelainan bangkitan.
● FARMAKOKINETIK
Maprotilin diabsorpsi secara sempurna secara oral, lkatan dengan protein, kira-kira 80%,
volume distribusi 23 Ukg, Waktu paruh eliminasi obat asal berkisar antara 43-51 jam. Obat ini
dimetabolisme secara ekstensit menurut kinetik first-order. Kirakira70% metabolitnya diekskresi
lewat urin.
● SEDIAAN
Dosis oral awal pada pasien dewasa yang dirawat 100150 mg/hari, diberikan dalam dosis
terbagi secara bertahap ditingkatkan. Untuk pasien yang berobat jalan; dosis oral awal dewasa
75 mg/hari diberikan dalam dosis tunggal atau terbagi selama 2 minggu, bila perlu dapat
ditingkatkan secara bertahap. Dosis tertinggiyang dianjurkan adalah 225 mg/hari.
❖ TRAZODON
Obat ini merupakan derivat triazolopiridin dengan struktur kimia yang berbeda dari antidepresi
trisiklik maupun tetrasiklik. Obat ini tidak memiliki silat penghambatan MAO atau efek seperti
amfetamin. Trazodon menghambat ambilan serotonin di saraf, ambilan norepinefrin dan
dopamin tidak dipengaruhi. Efektivitas antidepresi kira-kira sama dengan amitriptilin dan
imipramin, karena efek sedasinya, trazodon berguna bagi pasien depresi disertai ansietas. Efek
samping kantuk merupakan efek samping yang paling umum, terjadi pada kirakira 15-20%, efek
samping lainnya yang jarang terjadi antara lain mual dan muntah, mulut kering, konstipasi,
retensi urin. Trazodon juga menimbulkan hipotensi orlostatik, namun insidens biasanya hilang
dalam 4-6 jam. Agitasi terjadi pada 1% pasien. Priapisme kira-kira 1 : 6. 000, dan bila
memerlukan pembedahan dapat menyebabkan impotensi permanen.
● INTERAKSI OBAT
Trazodon mengantagonis efek hipotensif klonidin dan metildopa, dan menaikkan kadar
plasmalenitoin dan digoksin. Berhubung efek sedatifnya harus digunakan hati-hati bersama
dengan depresi SSP yang lain, termasuk alkohol.
Pada pemberian oral, diabsorpsinya secara cepat, bioavailabilitasnya sempurna, waktu
pencapaian kadar puncak plasma pada keadaan puasa, kira-kira 1, 5 jam (0, 5-2, 0 jam). Pada
yang tidak puasa kira-kira2, 5 jam, Dianjurkan pemberian setelah makan untuk mengurangi efek
kantuk. lkatan dengan protein ialah 90%. Dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim mikrosom
hati. Waktu paruh eliminasi berkisar 3-6 jam.
● DOSIS
Dosis oral bagi pasien dewasa di RS 150 mg/ haridalam dosis terbagi, dinaikkan 50 mg/hari
tiap 3-4 hari. Bagi penderita depresi berat membutuhkan 400-600 mg/hari.
Dosis awal oral bagi pasien dewasa yang di luar RS, 150 mg/hari dalam dosis terbagi.
Diberikan malam hari, dapat dinaikkan 50 mg/hari setiap minggu hingga terlihat perbaikan
secara klinik.
Pasien tua dan anak-anak, dosis awal 25-50 mg/hari, dinaikkan hingga 100-150 mg/hari
dalam dosis terbagi bergantung kepada responsnya.
❖ FLUOKSETIN
Obat ini merupakan golongan obat yang secara spesifik menghambat ambilan serotonin.
Efek samping yang paling sering ialah nausea, agitasi dan insomnia (insidens 20-90%. Namun
efek samping tersebut umumnya ringan tanpa harus menghentikan pengobatan. Tidak
dianjurkan pemakaian obat ini bersama MAO inhibitor dan antidepresan trisiklik. Fluolisetin
dapat menaikkan kadar plasma antidepresi trisiklik hingga 2 kalinya; pemakaian bersamanya
dapat meningkatkan intensitas efek samping.
● DOSIS
Dosis awal dewasa 20 mg/hari diberikan setiap pagi, bila tidak diperoleh efek terapi setelah
beberapa minggu, dosis dapat ditingkatkan 20 mg/hari hingga 80 mg/hari.
❖ BUPROPION
Obat ini memiliki struktur kimia mirip amfetamin. Seperti amfetamin, brupropion di duga
berkerja lewat efek dopaminergik. Walaupan obat ini dapat menimbulkan bangkitan pada dosis
tinggi, efek ini dianjurkan pada dosis yang dianjurkan. Efek samping utama berupa perangsangan
sentral agitas, ketidaktenangan, ansietas, dan insomnia terjadi kira-kira 2% pasien. Efek
samping lain yang dapat terjadi ialah : mulut kering, migren, mual, muntah, konstipasi, dan
tremor. Bupropion tidak memperlihatkan efek antikolinergik dan tidak menghambat MOA.
Dosis awal dewasa 100 mg 2 kali sehari, tergantung respon kliniknya, dapat
ditingkatkan hingga 300mg/hari, diberikan dalam dosis 100 mg per kali. Dosis dapat dinaikkan
hingga 450 mg/hari diberikan dalam dosis terbagi.
❖ MITRAZIPIN
● Dosis lazim : 15-45 mg / hari menjelang tidur.
● Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap mitrazapin. Interaksi Obat : dapat memperkuat aksi
pengurangan SSP dari alkohol, memperkuat efek sedatif dari benzodiazepine, MAO.
● Perhatian : pada epilepsi sindroma otak organic, insufiensi hati, ginjal, jantung, tekanan
darah rendah, penderita skizofrenia atau gangguan psikotik lain, penghentian terapi secara
mendadak, lansia, hamil, laktasi, mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan
mesin.
❖ VENLAFAXINE
● Dosis lazim : 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 150-250 mg 1x/hari.
● Kontra Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18 tahun. Interaksi
Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain.
● Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal atau sirosis hati,
penyakit jantung tidak stabil, monitor tekanan darah jika penderita mendapat dosis harian >
200 mg.
3.3. GOLONGAN SSRI​S
➢ Mekanisme kerja : SSRI ( Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor ) : Obat-obat ini menghambat
resorpsi dari serotonin
➢ Efek samping :
▪ Efek seretogenik; berupa mual , muntah, malaise umum, nyeri kepala, gangguan tidur dan
nervositas, agitasi atau kegelisahan yang sementara, disfungsi seksual dengan ejakulasi
dan orgasme terlambat.
▪ Sindroma serotonin; berupa antara lain kegelisahan, demam, dan menggigil, konvulsi,
dan kekakuan hebat, tremor, diare, gangguan koordinasi. Kebanyakan terjadi pada
penggunaan kombinasi obat-obat generasi ke-2 bersama obat-obat klasik, MAO, litium
atau triptofan, lazimnya dalam waktu beberapa jam sampai 23 minggu. Gejala ini dilawan
dengan antagonis serotonin (metisergida, propanolol).
▪ Efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek jantung sangat kurang atau sama sekali tidak
ada
❖ FLUOXETIN
● Dosis lazim : 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80 mg/hari dalam dosis tunggal atau
terbagi.
● Kontra Indikasi : hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal ginjal yang berat, penggunaan
bersama MAO. Interaksi Obat : MAO, Lithium, obat yang merangsang aktivitas SSP, anti
depresan, triptofan, karbamazepin, obat yang terkait dengan protein plasma.
● Perhatian : penderita epilepsi yang terkendali, penderita kerusakan hati dan ginjal, gagal
jantung, jangan mengemudi / menjalankan mesin.

❖ SERTRALIN
● Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr. Kontra Indikasi :
Hipersensitif terhadap sertralin.
● Interaksi Obat : MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik.
● Perhatian : pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil, menyusui, mengurangi
kemampuan mengemudi dan mengoperasikan mesin.
❖ SITALOPRAM
● Dosis lazim : 20 mg/hari, maksimum 60 mg /hari.
● Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini. Interaksi Obat : MAO, sumatripan,
simetidin.
● Perhatian : kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan bunuh diri
❖ FLUVOXAMINE.
● Dosis lazim : 50mg dapat diberikan 1x/hari sebaiknya pada malam hari, maksimum dosis 300
mg.
● Interaksi Obat : warfarin, fenitoin, teofilin, propanolol, litium.
● Perhatian : Tidak untuk digunakan dalam 2 minggu penghentian terapi MAO, insufiensi hati,
tidak direkomendasikan untuk anak dan epilepsi, hamil dan laktas.
3.4. PENGHAMBAT MAO
● FARMAKODINAMIK
Monoamin oksidase merupakan suatu sistem enzim kompleks yang terdistribusi luas dalam
tubuh, berperan dalam dekomposisi amin biogenik, seperti norepinefrin, epinefrin, dopamine,
serotonin. MAOI menghambat sistem enzim ini, sehingga menyebabkan peningkatan
konsentrasi amin endogen.
Ada dua tipe MAO yang telah teridentifikasi, yaitu MAO-A dan MAO-B. Kedua enzim ini
memiliki substrat yang berbeda serta perbedaan dalam sensitivitas terhadap inhibitor. MAO-A
cenderungan memiliki aktivitas deaminasi epinefrin, norepinefrin, dan serotonin, sedangkan
MAO-B memetabolisme benzilamin dan fenetilamin. Dopamin dan tiramin dimetabolisme oleh
kedua isoenzim. Pada jaringan syaraf, sistem enzim ini mengatur dekomposisi metabolik
katekolamin dan serotonin. MAOI hepatic menginaktivasi monoamin yang bersirkulasi atau yang
masuk melalui saluran cerna ke dalam sirkulasi portal (misalnya tiramin).
Semua MAOI nonselektif yang digunakan sebagai antidepresan merupakan inhibitor
ireversibel, sehingga dibutuhkan sampai 2 minggu untuk mengembalikan metabolisme amin
normal setelah penghentian obat. Hasil studi juga mengindikasikan bahwa terapi MAOI kronik
menyebabkan penurunan jumlah reseptor (down regulation) adrenergik dan serotoninergik.
● FARMAKOKINETIK
Absorpsi/distribusi – Informasi mengenai farmakokinetik MAOI terbatas. MAOI tampaknya
terabsorpsi baik setelah pemberian oral. Kadar puncak tranilsipromin dan fenelzin mencapai
kadar puncaknya masing-masing dalam 2 dan 3 jam. Tetapi, inhibisi MAO maksimal terjadi
dalam 5 sampai 10 hari.
Metabolisme/ekskresi – metabolisme MAOI dari kelompok hidrazin (fenelzin,
isokarboksazid) diperkirakan menghasilkan metabolit aktif. Inaktivasi terjadi terutama melalui
asetilasi. Efek klinik fenelzin dapat berlanjut sampai 2 minggu setelah penghentian terapi.
Setelah penghentian tranilsipromin, aktivitas MAO kembali dalam 3 sampai 5 hari (dapat sampai
10 Hari). Fenelzin dan isokarboksazid dieksresi melalui urin sebagian besar dalam bentuk
metabolitnya.
Populasi khusus – “asetilator lambat”: Asetilasi lambat dari MAOI hidrazin dapat
memperhebat efek setelah pemberian dosis standar.
● INDIKASI
Depresi: Secara umum, MAOI diindikasikan pada penderita dengan depresi atipikal
(eksogen) dan pada beberapa penderita yang tidak berespon terhadap terapi antidpresif
lainnya. MAOI jarang dipakai sebagai obat pilihan.
● KONTRAINDIKASI
Hipersensitif terhadap senyawa ini; feokromositoma; gagal jantung kongestif; riwayat
penyakit liver atau fungsi liver abnormal; gangguan ginjal parah; gangguan serebrovaskular;
penyakit kardiovaskular; hipertensi; riwayat sakit kepala; pemberian bersama dengan MAOI
lainnya; senyawa yang terkait dibenzazepin termasuk antidepresan trisiklik, karbamazepin, dan
siklobenzaprin; bupropion; SRRI; buspiron; simpatomimetik; meperidin; dekstrometorfan;
senyawa anestetik; depresan SSP; antihipertensif; kafein; keju atau makanan lain dengan
kandungan tiramin tinggi.
3.5. GOLONGAN SNRI
● MEKANISME KERJA
Obat-obat ini tidak berkhasiat selektif, menghambat re-uptake dari serotonin dan
noradrenalin. Terdapat beberapa indikasi bahwa obat-obat ini lebih efektif daripada SSRI.

❖ VENLAFAKSIN
● Dosis lazim : 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 150-250 mg 1x/hari.
● Kontra Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18 tahun.
Interaksi Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain.
● Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal atau sirosis hati,
penyakit jantung tidak stabil, monitor tekanan darah jika penderita mendapat dosis
harian > 200 mg.
4. ANTIMANIA (​mood stabilizer​)
4.1. LITIUM
● FARMAKODINAMIK
Mekanisme kerja dari litium yang pasti sampai saat ini masih dalam penelitian tetapi
diperkirakan berkerja atas dasar:
1. Efek pada elektrolit dan transport ion yaitu litium dapat menggantikan natrium dalam
membantu suatu potensial aksi sel neuron, tetapi litium bukan suatu substrat yang adekuat
untuk pompa Na
2. Efek pada neurontransmitter, diperkirakan litium menurunkan pengeluaran norepinerfin
dan dopamine, menghamabt supersensitivitas dopamine, juga meningkatkan sintesis
asetilkolin
3. Efek pada second messegers, yakni litium menghambat konversi IP2 menjadi IP1 (inositol
monofosfat) dan konversi IP menjadi inositol.
● FARMAKOKINETIK
Absorpsi lengkap dalam 6-8 jam, kadar plasma dicapai dalam 30 menit-2 jam volume
distribusi 0, 5 L/kg, ekskresi utama lewat urine dengan waktu paruh eliminasi 20 jam.
● EFEK SAMPING
Terjadi terutama pada saraf yaitu tremor, koreatetosis, hiperaktivitas motoric. ataksia,
disartia dan afasia. Litium juga menurunkan fungsi tiroid, tetapi efek ini bersifat reversible.
dianjurkan pemeriksaan TSH 6-12 bulan selama penggunaan. Pada ginjal dapat mengakibatkan
nefrogenik diabetes insipidus yang menyebabkan polidipsi, polyuria selain itu juga menyebabkan
nefritis interstisial kronik dan glomerulopati minimal.
● DOSIS
Litium diberikan dalam dosis terbagi untuk mencapai kadar yang dianggap aman, yaitu berkisar
anatara 0. 8 dan 1. 25 mEq/L. ini dicapai dalam pemberian 900-1500 mg litium karbonat sehari
pada pasien berobat jalan dan 1200-2400 mg sehari pada pasien yang dirawat.

B. OBAT PENYAKIT PARKINSON


1) Pendahuluan
Penyakit parkinson (paralisis agitans) merupakan suatu sindrom dengan gejala utama
berupa trias gangguan neuromuskular : tremor, rigiditas, akinesia (hipokinesia) disertai kelainan
postur tubuh dan gaya berjalan. Gerakan halus yang memerlukan koordinasi kerja otot skelet sukar
dilakukan pasien, misalnya menyuap makanan, mengancingkan baju dan menulis. Akibat gejala ini
pasien sangat bergantung dengan bantuan orang lain dalam kegiatan hidupnya sehari-hari.
Disamping gejala utama tersebut, sering ditemukan gangguan sistem otonom berupa sialorea,
seborea, hiperhidrosis. 30% kasus juga menderita demensia.
Berdasarkan etiologinya dikenal 3 jenis penyakit parkinson yaitu
1. Parkinsonisme pasca ensephalitis
2. Parkinsonisme akibat obat
3. Parkinsonisme idiopatik
Berdasarkan gejala klinik Lonis Herzberg mengemukakan 5 tahap penyakit:
Tahap 1: gejala begitu ringan sehingga pasien tidak merasa terganggu.
Tahap 2: gejala ringan dan mulai sedikit mengganggu
Tahap 3: gejala bertambah berat
Tahap 4: tidak mampu berdiri tegak, kepala, leher dan bahu jatuh kedepan.
Tahap 5: memburuknya gejala terjadi terutama sewaktu kadar levodopa menurun tetapi efek
samping tidak memungkinkan penambahan obat.
Secara patofisiologik diketahui bahwa pada penyakit parkinson terjadi gangguan keseimbangan
neuro-humoral di ganglia basal, khususnya traktus nigrostriatum yang bersifat dopaminergik dalam
sistem ekstrapiramidal. Traktus tersebut yang mengatur fungsi gerakan halus yang dimana harus
adanya keseimbangan antara komponen kolinergik dan dopaminergik. Gangguan keseimbangan
tersebut ke arah kolinergik akan menimbulkan sindrom parkinsonisme. Disproporsi fungsional
antara kedua komponen tersebut dapat meningkatkan fungsi komponen kolinergik, yang tidak dapat
diimbangi oleh komponen dopaminergik yang rendah.

Tabel 2.1 klasifikasi obat penyakit parkinson


Obat dopaminergik Obat antikolinergik sentral Obat Penghamb
sentral Dopamino-antikolin at MAO-B
ergik
a. Prekursor DA: a. Senyawa antikolinergik sentral: a. Amantadin
levodopa triheksifenidil, biperiden, sikrimin, b. Antidepresan trisiklik
b. Agonis DA: prosiklidin, benztropin mesilat dan : imipramin dan
bromokriptin, karamifen amitriptilin
apomorfin, ropinirol, b. Senyawa antihistamin:
pramipraksol difenhidramin, klorfenoksamin,
orfena-drin dan fenindamin
c. Derivat fenotiazin: etopropazin,
prometasin, dan dietazin

2) Obat dopaminergik sentral


1. Levodopa
● Farmakokinetik
Levodopa cepat diabsorbsi secara aktif terutama dari usus halus. Kecepatan absorpsi sangat
tergantung dari kecepatan pengosongan lambung. Yang mencapai sirkulasi darah relatif sedikit
karena (1) levodopa cepat mengalami pemecahan dalam lambung; (2) dirusak oleh flora usus
dalam dinding usus bagian distal; (3) lambatnya absorpsi dibagian distal duodenum. Absorpsi
juga dihambat oleh makanan tinggi protein akibat kompetisi asam amino dengan levodopa
dalam absorpsi maupun transpor ke otak. Levodopa dapat mencapai sirkulasi kira-kira 22-30%
dosis oral; sedangkan 60% atau lebih mengalami biotransformasi didalam saluran cerna dan
hati.
Biotransformasi levodopa menghasilkan berbagai metabolit(gbr 2.1) yang akan dengan
cepat diekskresi melalui urin.
Gambar 2.1 Biotransformasi levodopa

DC = dekarboksilase
AD = aldehid dehidrogenase

● Mekanisme kerja
Mekanismenya berdasarkan replesi kekurangan DA korpus striatum. Telah di buktikan
bahwa defisiensi DA sejalan dengan3 gejala utama parkonsinisme dan konversi levodopa
menjadi dopamin, terjadi pada manusia. Pengubahan levodopa menjadi DA membutuhkan
adanya dekarboksilase asam L-amino aromatik. Pada sebagian besar pasien parkinson, aktivitas
enzim ini menurun, tetapi agaknya mencukupi untuk mengubah levodopa menjadi dopamin.
● Efek terapi
Kira-kira 75% pasien parkinsonisme berkurang gejalanya sebanyak 50%. Hasil pengobatan
orang-orang tertentu menakjubkan terutama pada awal terapi. Bolrh dikatakan semua gejala
dan tanda membaik, kecuali demensia dan instabilitas postural.
Perbaikan terjadi pada gejala bradikinesia dan rigiditas, tremor sedikit diperbaiki atau malah
memburuk karena berkurangnya rigiditas dan bradikinesia. Kebanyakan pasien membaik alam
perasaannya
● Efek samping
Efek samping levodopa terutama disebabkan terbentuknya dopamin diberbagai organ
perifer. Sebagian besar efek sampingnya adalah: intensitas dan tipe efek samping berbeda
tergantung tahap pengobatan, besarnya dosis dan bersifat reversibel.
o Sistem cerna: Sampai 80% pasien mengalami mual, muntah, dan tidak nafsu makan
terutama bila dosis awal terlalu tinggi. Gangguan ini agaknya berdasarkan efek sentral
akibat perangsangan CTZ (​chemoreceptor tringger zone​) oleh DA. Gangguan ini dapat
dihindari bila dosis awal rendah dandinaikkan berangsung-angsur.
o Diskinesia dan gerakan spontan abnormal: Gerakan spontan abnormal terjadi pada 50%
pasien dalam 2-4 bulan pengobatan. Gerakan ini diduga berdasarkan supersensitivitas
reseptor dopaminergik pascasinaps dan bentuknya bervariasi.
o Perpendekan masa kerja levodopa: Yaitu gejala parkinson yang timgul sebelum pasien
menelan dosis berikutnya.
o Fenomena pasang surut: Ialah fluktuasi efek obat dalam waktu singkat, beberapa jam
membaik lalu memburuk mendadak atau sebagian otot tubuh memperlihatkan perbaikan,
lainnya tidak; terjadinya tidak berhubungan dengan waktu minum obat.
o Pembekuan gerakan: Secara mendadak pasien yang sedang berjalan tidak bisa melangkah
atau langkahnya pendek-pendek sekali.
o Psikis: Gejala ini timbul pada 5-10%, yaitu adanya depresi bahkan sampai percobaan bunuh
diri.
o Sistem kardiovaskular: Adanya takikardia dan aritmia. Dan juga karena efek dopamin perifer
akan menyebabkan hipotensi ortostatik.
o Efek metabolik dan endokrin: Neuron tuberoinfundibular hipotalamus terutama terdiri dari
neuron dopaminergik. Dopamin akan menhambat sekresi prolaktin.
o Efek terhadap sistem lain: Pada ginjal, levodopa jelas meningkatkan alirah plasma ginjal, laju
filtrasi glomerulus dan ekskresi Na​+​, dan K​+
● Interaksi obat (penghambat dekarboksilase)
Pemberian Penghambat dekarboksilase perifer (yang tidak melintasi sawar darah-otak)
bersama levodopa menghambat biotranformasi levodopa menjadi DA di perifer. Terapi
kombinasi ini terutama bermanfaat terhadap hipokinesia, tetapi kurang terhadap rigiditas.
Terhadap gejala tremor sedikit sekali pengaruhnya dan baru terlihat setelah terapi berjalan
cukup lama.
● Penggunaan klinik
Sebaiknya levodopa diberikan per oral dengan makanan untuk mengurangi iritasi. Terapi
dimulai dengan dosis kecil, dinaikan secara bertahap, tetapi sebaiknya tidak melebihi 8 g/hari.
Tabel 2-2. Pedoman dosis levodopa untuk pasien berobat jalan
Masa pengobatan Dosis Frekuensi pemberian
Minggu ke-1 125 mg 2 × sehari
Minggu ke-2 125 mg 4 × sehari
Minggu ke-3 250 mg 4 × sehari
Minggu ke-4 3 × sehari
Minggu ke-5 500 mg 4 × sehari
Minggu ke-6 500 mg 5 × sehari
Minggu ke-7 1g 3 × sehari
Minggu ke-8 1g 3 × sehari + 500 mg dimalam hari
Selanjutnya bila diperlukan dosis harian dapat
ditambah 500 mg setiap minggu

2. Agonis dopamin
2.1. Bromokriptin
Merupakan prototip kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot yang bersifat dopaminergik
yang dikelompokkan sebagai ergolin. Dalam kelompok ini termasuk lesurit dan pergolid.
● Mekanisme kerja
Merangsang reseptor dopaminergik. Obat ini lebih besar afinitasnya terhadap
reseptor D2 dan merupakan antagonis reseptor D1. Organ yang dipengaruhi ialah yang
memiliki reseptor dopamin. Yaitu SSP, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofise, dan
saluran cerna. Bromokriptin menyebabkan kadar HVA dalam CSS menurun, yang
memberikan kesan bahwa obat ini menghambat pembebasan DA dari ujung saraf di
otak. Terapi kombinasi levodopa bromokriptin pada penyakit parkinson dapat
mengurangi dosis levodopa sambil tetap mempertahankan atau bahkan dapat
meningkatkan efek terapinya.
● Farmakokinetik
Hanya 30% bromokriptin yang di berikan per oral diabsorpsi . obat ini
mengalami metabolisme lintas awal secara extensif sehingga sedikit sekali fraksi dosis
yang sampai di tempat kerja .
● Indikasi dan dosis
Indikasi utama bromokriptin ialah sebagai tambahan levodopa pada pasien yang
tidak memberikan respons memuaskan terhadap levodopa ; dan untuk mengatasi
fluktuasi respons levodopa dikontraindikasikan .
Bromokriptin juga diindikasikan untuk terapi hiperprolaktinemia pada berbagai situasi
klinis yaitu laktasi , infertilitas dan galaktore-amenore . juga diberikan pada tumor
hipofisis . untuk mengatasi hiperprolaktinemia dosisnya 1,25-2,5 mg; umumnya pasien
berespons baik dengan dosis total 5-7,5 mg/hari .
● Efek samping
Efek samping bromokriptin memperlihatkan variasi individu yang nyata. efek
samping yang jarang-jarang terjadi ialah : eritromelalgia, kemerahan, nyeri, panas dan
edema di tungkai bawah. Umunya terjadi bila dosis per hari lebih dari 50 mg. Hipotensi
simtomatik dan levido retikularis kulit juga lebih sering terjadi dibanding dengan
levodopa; Diskinesia lebih jarang terjadi. Semua efek samping ini berkurang dan bersifat
reversibel dengan pengurangan atau penurunan dosis .
2.2. Agonis dopaminergik lainnya
● Pergolid mesilat
Sama efektif dengan bromokriptin untuk mengatasi parkinsonisme dan
hiperprolaktinemia. Obat yang merupakan turunan ergolin yang poten ini merangsang
reseptor D​2​ dan D​1​ .
● Lisurid
Sama dengan bromokriptin merupakan agonis D​2 dan antagonis D​1​. Lisurid juga
merangsang 5 HT yang diduga mendasari halusinasi dan efek samping lainnya . Sifatnya
yang larut air cocok untuk pemberian sebagai infus .
● Apomorfin
Merupakan agonis dopamin. Afinitasnya tinggi terhadap reseptor D​4​; sedang
untuk reseptor D​2​,D​3​,D​5 dan a​1D, a​​ 2B dan
​ a​2C ; rendah untuk reseptor D​1​. Apomorfin
diindikasikan untuk terapi fenomena “off” pada terapi levodopa /karbidopa. Jangan
memberikan antiemetik antagonis dopamin, misalnya ondansetron karena dolaporkan
terjadinya hilang kesadaran dan hipotensi. Dosis apomorfin diawali dengan 2 mg dititrasi
sampai 6 mg; pasien dapat membutuhkan lebih dari 3 kali sehari.
● Ropinirol
Merupakan agonis murni D​2​, dopamin non-ergot. Ropinirol diindikasikan pada
penyakit Parkinson awal atau lanjut . Dengan penundaan pemberian levodopa ,
diharapkan efek samping diskinesia berkurang. Suatu studi selama 5 tahun
mendapatkan bahwa insidens diskinesia 20% pada kelompok ropinirol dan 45% pada
kelompok levodopa. Efek samping yang dilaporkan, yang merupakan penyebab
penghentian terapi, ialah mual (3%) dan halusinasi (4%). Dosis awal 3 kali 0,25 mg/ hari,
ditingkatkan perlahan-lahan sesuai kebutuhan sampai maksimal 24 mg/hari.
● Pramipreksol
Agonis dopamin non-ergot . Obat ini memperlihatkan afinitas khusus pada
reseptor D​3​. Pramipreksol efektif sebagai monoterapi pada penyakit Parkinson ringan.
Obat ini diduga bersifat neuroprotektif berdasarkan daya menyingkirkan hidrogen
peroksida dan meningkatkan aktifitas neurotropik pada sel dopaminergik ​in vitro​. Obat
ini cepat diabsorpsi, puncak plasma tercapai dalam 2 jam. Ekskresi terutama dalam
bentuk utuh. Dosis antara 0,5-1,5 mg , tiga kali sehari .
2.3. Perangsang SSP
Pada terapi penyakit Parkinson, perangsang SSP bekerja memperlancar transmisi DA.
Defisiensi DA tidak diperbaiki. Efek anti Parkinson hanya lemah dan umunya perlu
dikombinasikan dengan antikolinergik . Untuk tujuan ini dekstroamfetamin diberikan 2 kali 5 mg
sehari ; metamfetamin 2,5 mg sehari ; atau metilfenidat , 2 kali 5 mg sehari .
3. Antikolinergik
Antikolinergik merupakan obat alternatif levodopa dalam pengobatan parkinsonisme .
Prototip kelompok ini ialah triheksifenidil . Termasuk dalam kelompok ini adalah : biperiden ,
proksilidin, benztropin, dan antihistamin dengan efek antikolinergik difenhidramin dan
etopropazin .
▪ Mekanisme kerja
Dasar kerja obat ini adalah mengurangi aktivitas kolinergik yang berlebihan di ganglia
basal . Efek antikolinergik perifernya relatif lemah dibandingkan dengan atropin. Atropin dan
alkaloid beladon lainnya merupakan obat pertama yang dimanfaatkan pada penyakit
Parkinson ,tetapi bukan pilihan karena efek perifernya terlalu mengganggu .
3.1. Triheksifenidil, senyawa kongenergiknya dan benztropin
▪ Farmakodinamik
Obat-obat ini terutama berefek sentral . Dibandingkan dengan potensi atropin,
triheksifenidil memperlihatkan potensi antispasmodik setengahnya, efek midriatik
sepertiganya, efek terhadap kelenjar ludah vagus sepersepuluhya. Seperti atropin,
triheksifenidil dosis besar menyebabkan perangsangan otak .
Benztropin tersedia sebagai benztropin mesilat, yaitu suatu metansulfonat dari
eter tropinbenzohidril. Eter ini terdiri atas gugus basa tropin dan gugus anti-histamin
(difenhidramin). efek sedasi gugus difenhidramin bermanfaat bagi mereka yang justru
mengalami dan perangsangan akibat penggunaan obat lain; khususnya pada pasien yang
berusia lanjut. Sebaliknya bagian basa tropinnya menimbulkan perangsangan .
▪ Farmakokinetik
Tidak banyak data farmakokinetik yang diketahui mengenai obat-obat ini . hal ini
dapat dimengerti sebab saat obat ditemukan, farmakokinetika belum berkembang.
sekarang obat ini kurang diperhatikan setelah ada levodopa dan bromokriptin.
Kadar puncak triheksifenidil ,proksilidin dan biperiden tercapai setelah 1-2 jam.
Masa paruh eliminasi terminal antara 10 dan 12 jam. Jadi sebenarnya pemberian 2 kali
sehari mencukupi , tidak tiga kali sehari sebagaimana dilakukan saat ini .
▪ Efek samping
Antiparkinson kelompok antikolinergik menimbulkan efek samping sentral dan
perifer. Efek samping sentral dapat berupa gangguan neurologik yaitu: ataksia, disartria ,
hipertermia ,gangguan mental : pikiran kacau , amnesia , delusi , halusinasi, somnolen
dan koma . Efek samping perifer berupa atropin .
Gejala insomnia dan gelisah oleh antikolinergik sentral dapat diatasi dengan dosis
kecil hipnotik, sedatif , atau dengan difenhidramin . Gangguan daya ingat sering terjadi
akibat pemberian antikolinergik pada pasien yang berumur lebih dari 70 tahun dan pada
pasien dengan demensia . efek samping ini sangat membatas penggunaan antikolinergik
sentral . Pada kelompok pasien ini lebih aman diberikan anthistamin .
Efek samping benztropin umumnya ringan , jarang memerlukan penghentian
terapi: sesekali dosis perlu diturunkan umpamanya, bila timbul kelemahan otot tertentu .
▪ Efek terapi
Obat antikolinergik khususnya bermanfaat terhadap parkinsonisme akibat obat .
Misalnya oleh neuroleptik , termasuk juga antiemetik turunan fenotiazin , yang
menimbulkan gangguan ekstrapiramidal akibat blokadereseptor DA di otak .
Triheksifenidil juga memperbaiki gejala beser ludah (​sialorrhoea) dan suasana
perasaan ​(mood).​ Selain pada penyakit parkinson, triheksifenidil dapat pula diguna-kan
pada sindrom atetokoriatik , tortikolis spastik dan spasme fasialis ; demikian juga
turunannya. Obat-obat ini digunakan sebagai pengganti triheksifenidil bila terjadi
toleransi. Triheksifenidil terutama berpengaruh baik terhadap tremor , tetapi
bradikinesia/akinesia dan rigiditas juga membaik. Efektivitas benztropin bertahan lebih
lama dari antikolinergik lain .
3.2. Senyawa antihistamin
Beberapa antihistamin dapat dimanfaatkan efek antikolinergiknya untuk terapi
penyakit Parkinson , yaitu difenhidramin , fenindamin , orfenadrin , klorfenoksamin .
keempat senyawa ini memiliki sifat farmakologik yang mirip satu dengan yang lainnya .
Difenhidramin 50 mg ,3-4 kali sehari diberikan bersama levodopa , untuk mengatasi efek
ansietas dan insomnia akibat levodopa . Walaupun menimbulkan perasaan kantuk , obat
kelompok ini dapat memperbaiki suasana perasaan karena efek psikotropiknya
menghasilkan euforia . Efek antikolinergik perifer lemah , sehingga beser ludah janya sedikit
dipengaruhi.

Tabel 12-3. Obat antikolinergik sentral


Triheksifenidil 2 mg, 2-3 × sehari. Rentang dosis 10-20 mg/hari Triheksifenidil tablet 2
tergantung respons dan keterterimaan. mg, 5 mg.

Biperiden HCl atau laktat 0,5-2 mg, 2-4 kali sehari Biperiden tablet 2 mg.

Prosiklidin 5 mg, 2-3 kali sehari. Tablet 5 mg


Rentang dosis 20-30 mg/hari
Benztropin mesilat - 0,5-1 mg/hari diberikan malam hari. Rentang - Tablet 0,5; 1 dan 2
dosis 4-6 mg/hari. mg
- Oral: dewasa 25 mg 3 kali sehari; anak 5 - Kapsul 25 mg
mg/kg/hari dalam 4 dosis - Injeksi 10 mg/mL
- IM: dewasa 10-50 mg; anak= dosis oral
maksimum 400 mg/hari
3.3. Turunan Fenotiazin
Merupakan kelompok obat yang peling sering menyebabkan gangguan ekstrapiramidal.
Tetapi beberapa diantarnya justru berefek antiparkinson yaitu etopropazin, prometazon dan
dietazin.
Rigiditas dan tremor dikurangi oleh obat ini, sedangkan terhadap gejala lain
efektivirasnya lebih kecil. Efek samping kantuk, pusing dan gejala kolonergik dapat terjadi.
Dietazin dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dengan manifestasi granulositopenia
atau agranulositosis yang mungkin berbahaya.
Untuk obat antiparkinson pemberian etopropazin dimulai dengan 10 mg, 4 kali sehati.
Dosis ditambah berangsur-angsur, biasanya tidak melebihi 200 mg sehari.
4. Obat dopamino-antikolinergik
4.1. Amantadin
Merupakan antivirus yang digunakan terhadap influenza Asia. Secara kebetulan
penggunaan amantadin pada seorang penyakit influenza yang juga menderita parkinson
memperlihatkan perbaikan gejala neurologik.
Amantadin diduga meningkatkan aktivitas dopaminergik serta menghambat aktivitas
kolinergik di korpus striatum. Efektivitasnya sebagai antiparkinson lebih rendah daripada
levodopa tetapi respons lebih cepat (2-5 hari) dan efek samping lebih rendah. Efektivitasnya
tidak dipengaruhi umur, jenis kelamin, dan pengobatan terdahulu. Efektivitasnya paling nyata
pada pasien yang kurang baik responsnya terhadap levodopa. Pemberian amantadin dan
levodopa bersama-sama bersifat sinergis.
Pada terapi dengan amantadin tunggal, efektivitasnya tidak bertahan dan hasil
pengobatab menurun setelah 3-6 bulan.
Pemberian amantadin dimulai dengan 100 mg sehari. Jika pasien cukup toleran setelah
1 minggu dosis dapat ditambah 2 kali 100 mg sehari dan kemudian menjadi 3 kali 100 mg sehari.
Tetapi menurut Schwab dkk dosis lebih dari 200 mg sehari tidak memperlihatkan kenaikan
manfaat terapi yang berarti.
▪ Efek samping
Amantadin menyerupai gejala intoksikasi atropin. Gejala yang dapat timbul adalah:
disorientasi, depresi, gelisah, insomnia, pusing, gangguan saluran pencernaan, mulut kering
dan dermatitis. 5% pasien menderita gangguan proses berpikir, bingung, ​lightheadedness,​
halusinasi dan ansietas. Gejala ini terjadi pada awal terapi. Bersifat ringan dan bersifat
reversibel dan kadang-kadang menghilang walaupun pengobatan diteruskan. Aktivitas yang
membutuhkan kewaspadaan mental sebaiknya dihindarkan sampai kelompok gejala jelas
tidak ada. Livedo retikularis umum terjadi 1 bulan setelah pengobatan dengan amantadin,
tetapi tidak memerlukan penghentiap terapi. Terjadinya livedo retikularis diduga merupakan
respons fisiologik, akibat deplesi katekolamin dari depot ujung saraf perifer. Pada beberapa
pasien, livedo retikularis disertai dengan edema pergelangan kaki.
Amantadin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien epilepsi, ulkus peptik,
atau pengobatan dengan perangsang SSP, misalnya amfetamin.
Kombinasi amantadin dengan levodopa hanya dianjurkan bagi mereka yang tidak
dapat mentoleransi levodopa dalam dosis optimal.
4.2. Antidepresi Trisiklik
Imipramin atau amitriptilin yang digunakan tersendiri efek antiparkinsonnya kecil sekali,
tetapi bila dikombinasi dengan antikolinergik dapat sangat bermanfaat. Dengan kombinasi
ini, selain meningkatkan perbaikan rigiditas dan akinesia, gejala depresi juga diperbaiki. Untuk
terapi penyakit Parkinson, imipramin atau amitriptilin dapat diberikan 10-25 mg, 4 × sehari;
pemberian ini dapat diteruskan dengan aman untuk waktu yang lama.
5. Penghambat enzim pemecah dopamin
5.1. Penghambat Monoamin Oksidase-B (MAO-B)
Selegilin
Selegilin merupakan penghambat MAO-B yang relatif spesifik. Saat ini dikenal dua
bentuk oenghambat MAO-B, tipe A yang terutama berhubungan dengan deaminasi oksidatif
norepinefrin dan serotonin; tipe B yang memperlihatkan aktivitas tertutama pada dopamin.
Penghambat MAO-A menyebabkan hipertensi bila terdapat tiramin yang masuk dari
makanan, demikian juga bila dikombinasikan dengan levodopa. Selegilin dapat diberikan secara
aman dalam kombinasi dengan levodopa. Selektivitas ini hanya berlaku untuk dosis 10 mg/hari.
▪ Mekanisme kerja
Selegilin menghambat deaminasi dopamin sehingga kadar dopamin diujung saraf
dopaminergiknya lebih tinggi. Selain itu ada hipotesis yang mengatakan bahwa selegilin
mungkin mencegah pembentukan neurotoksin endogen yang membutuhkan aktivasi oleh
MAO-B. Secara eksperimental pada hewan, selegilin mencegah parkinsonisme akibat MPTP.
Mekanisme ini diduga berdasarkan pengaruh metabolitnya yaitu N-des-metil selegilin,
L-metamfetamin dan L-amfetamin. Isomer ini 3-10 kali kurang poten dari bentuk D.
Metamfetamin dan amfetamin menghambat ambilan dopamin dan meningkatkan
pelepasan dopamin.
▪ Efek terapi
Pada pasien parkinson lanjut penambahan selegilin pada levodopa meringankan
fenomena ​wearing off​. Fenomena pasang-surut dan pembekuan gerakan tidak jelas
dipengaruhi. Penambahan selegilin memungkinkannpengurangan dosis levodopa 10-30%.
Dengan demikian efek samping levodopa berkurang. Pemberian selegilin tunggal pada awal
penyakit agaknya menghambat progresivitas penyakit Parkinson sehingga menunda
keperluan pengobatan dengan levodopa.
▪ Efek samping
Penggunaan selegilin belum tentu luas, tetapi data sampai saat ini menyimpulkan
bahwa selegilin dengan dosis 10 mg/hari terterima dengan baik. Efek samping berat tidak
dilaporkan terjadi, efek samping kardiovaskular jelas kurang dari penghambat MAO-A.
Hipotensi, mual, kebingungan dan psikosis pernah dilaporkan.
5.2. Penghambat katekoloksimetil transferase
Entakapon dan tolkapon merupakan inhibitor COMT yang bersifat reversibel.
Penambahan obat-obat ini pada karbidopa memperpanjang masa kerja karbidopa. Obat ini
terutama berguna bila masa kerja karbidopa semakin memendek setelah pengobatan jangka
panjang. Karena obat ini meningkatkan kadar levodopa di otak pada awal pengobatan, dosis
karbidopa sebaiknya diturunkan kira-kira sepertiganya. Efek samping levodopa dapat meningkat
setelah pemberian obat golongan ini. Tolkapon dilaporkan lebih sering menimbulkan diare
daripada entakapon. Tes fungsi hati perlu dilaporkan setiap 2 minggu dalam 1 tahun setelah
pemberian tolkapon; tidak ada pemberian entakapon.
Dosis tolkapon, 100 mg 3 kali sehari. Dosis entakapon 200 mg diberikan bersama
levodopa/karbidopa sampai maksimum 5 kali sehari.
6. Pemilihan obat parkinson
Ditinjau dari segi manfaat para ahli sepakat bahwa kombinasi levodopa dengan
karbidopa merupakan obat penyakit parkinson yang paling efektif. Pemberian
levodopa/karbidopa perlu dititrasi sedemikian rupa utuk menghindari efek samping insomnia,
mual dan anoreksia. Biasanya efek terapi dicapai dengan pemberian 3-4 kali sehari. Masalah
dapat timbul 2-5 tahun setelah pengobatan dimulai.
Selain selegilin, masih ada 3 jenis obat yang dapat diberikan sebelum atau bersama
levodopa/karbidopa yaitu: dopamin antagonis, amantadin dan antikolinergik. Tidak ada
pegangan kuat mana diantaranya yang terpilih untuk digunakan terlebih dahulu.
Efek samping obat antikolinergik yang sangat membatasi penggunaannya sebagai obat
penyakit Parkinson yaitu, prostatisme, glaukoma dan memburuknya pasien dengan demensia.
Efek samping tersebut juga dapat terjadi dengan amantadin. Berdasarkan kenyataan diatas
maka pilihan jatuh pada bromokriptin atau lisurid. Kebanyakan pasien mengalami perbaikan
gejala walaupun tidak sebaik yang dicapai dengan levodopa/karbidopa. Diskinesia jarang
terjadi, demikian juga fenomena pasang-surut dan fenomena perpendekan masa kerja. Bila
agonis dopamin tidak memuaskan, amantadin atau antikolinergik dosis rendah dapat dicoba.
Setelah pengobatan jangka panjang dengan levodopa/karbidopa, timbul efek samping
yang sebagian berkaitan erat dengan kadar levodopa dalam darah. Diskinesia terjadi bila kadar
dopamin di otak meningkat, sedang akinesia dan rigiditas terjadi bila kadar rendah.
Pemberian sediaan lepas lambat dapat mengurangi/mengatasi fluktuasi dopamin di
tempat kerja. Ada 2 peringatan yang perlu diketahui bila menggunakan sediaan lepas lambat.
Pertama karena absorpsi lambat, pasien kadang-kadang memerlukan tambahan sediaan biasa
pada dosis pagi haari. Kedua karena terjadinya akumulasi obat, maka dosis terakhir mungkin
perlu dikurangi untuk mencegah diskinesia akibat kelebihan dopamin di otak.

C. PERANGSANG SUSUNAN SARAF PUSAT


1. Pendahuluan
Obat yang efek utamanya menyebabkan perangsangan SSP biasanya disebut sebagai
analeptik atau konvulsan. Perangsangan SSP oleh obat umumnya melalui dua mekanisme, yaitu (1)
mengadakan blokade sistem penghambatan, (2) meninggikan perangsangan sinaps.Dalam SSP
dikenal sistem penghambatan pascasinaps dan penghambatan prasinaaps.Striknin merupakan
prototip obat yang mengadakan blokade selektif terhadap sistem penghambatan pasca sinaps;
sedangkan prikotoksin mengadakan blokade terhadap sistem penghambatan prasinaps, dan kedua
obat ini penting dalam bidang penelitian untuk mempelajari berbagai macam jenis reseptor dan
antagonisnya. Analeptic lain tidak berpengaruh terhadap sistem penghambatan dan mungkin
bekerja dengan meninggikan perangsangan sinaps.
2. Striknin
Striknin merupakan alkaloid utama dalam ​nux vomica​, tanaman yang banyak tumbuh di
India. Striknin merupakan penyebab keracunan tidak sengaja (​accidental poisoning)​ pada anak.
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonist kompetitif terhadap transmiter penghambatan
yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps. Glisin juga bertindak sebagai transmiter
penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat lebih tinggi di SSP.
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan konvulsan
kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan
dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat
yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor
yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaiti pendengaran, penglihatan, dan
perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis.
Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin
dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal.
Medula oblongata hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan hipereksitabilitas
seluruh SSP. Striknin tidak langsung mempengaruhi system kardiovaskuler, tetapi bila terjadi
konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin. Pada hewan coba
dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin digunakan sebagai perangsang
nafsu makan secara irasional berdasarkan rasanya yang pahit.
Striknin mudah diserap dari salurang cerna dan tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi
masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih tinggi daripada di jaringan lain. Striknin segera
dimetabolisme terutama oleh enzim mikrosom sel hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap
dalam waktu 10 jam, sebagian dalam bentuk asal.
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap
rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motoric hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan
ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada
dalam sikap hiperekstensi (​opistotonus)​ , sehingga hanya ​occiput d
​ an tumit saja yang menyentuh alas
tempat tidur.Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Nafas terhenti karena kontraksi otot
diafragma, dada, dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan henbatnya kejang
bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan
pasien takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang
otak kareena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi
otot yang sebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolic hebat; yang
terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.
Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV, sebab diazepam dapat
melawan kejang tanpa menimbulkan potensiasi terhadap depresi ​post ictal​¸seperti yang umum
terjadi pada penggunaan barbiturate atau obat penekan SSP non-selektif lain. Kadang-kadang
diperlukan tindakan anastesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan
yang hebat.
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan membantu pernapasan.
Intubasi endotrakeal berguna untuk memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan
kurariform untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga masih ada
striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung digunakan larutan KMnO​4 0,5%

atau campuran yodium tingtur dan air (1 : 250) atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus
dihindarkan adanya rangsangan sensorik.
3. Toksin Tetanus
Hasil metabolism ​Clostridium tetani i​ alah 3 macam toksin :​tetanospasmin ​yang bersifat
neurotoksik, ​non convulsive neurotoksin, ​dan ​tetanolisin ​yang bersifat kardiotoksik dan
menyebabkan hemolisis. Toksin tetanus umumnya diartikan sama dengan tetanospasmin,
walaupung kedua jenis toksin lain iikut berperan dalam gambaran klinik penyakit tetanus.
4. Pikrotoksin
Pikrotoksin didapatkan di tanaman ​Anamirta cocculus​, suatu tumbuhan menjalar di Malabar
dan India Timur yang dahulu digunakan untuk meracuni ikan.Zat ini merupaka bahan netral yang
tidak mengandung nitrogen, mempunyai rumus empiris C​30​H​34​O​13​.Dapat dipecah menjadi
pikrotoksinin dan pikrotin. Pikrotoksinin merupakan bahan aktif dengan siifak farmakologi mirip
pikrotoksin, sedangkan pikrotin tidak aktif. Pikrotoksin merupakan perangsang SSP yang kuat dan
bekerja pada semua bagian SSP.
5. Pentilentetrazol
Pentilentetrazol (pentametilentetrazol), yang di Amerika Serikat dikenal dengan nama
dagang Metrazol dan di Eropa Kardiazol merupakan senyawa sintetik. Kejang olehpentilentetrazol
mirip hasil perangsangan listrik pada otak dengan intensitas sebesar ambang rangsang, juga mirip
​ ada manusia. Dengan dosis yang lebih tinggi
sekali dengan serangan klinik epilepsi ​petit mal p
umumnya akan terjadi kejang klonik yang asinkron.
● Farmakologi. ​Mekanisme kerja utama pentilentetrazol ialah penghambatan system GABA-ergik,
dengan demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP; adanya efek perangsangan secara
langsung masih belum dapat disingkirkan.
Sebagai analeptik pentilentetrazol tidak sekuatpikrotoksin.Dahulu pentilentetrazol
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis epilepsi yaitu sebagai EEG activator.Dengan
dosis subkonvulsi yang disuntik IV tejadi aktivasi fokus epilepsi.Pentilentetrazol segera
diabsorbsi dari berbagai tempat pemberian.Distribusi merata ke semua jaringan dan cepat
diinaktivasi dalam hati.Sebagian besar (75%) di urin dalam bentuk tidak aktif.
● Sediaan. ​Pentilentetrazol merupakan Kristal putih yang mudah larut dalam air, diperdagangkan
dalam bentuk tablet 100 mg, ampul 3 ml, dan vial berisi larutan 10%.
6. Doksapram dan Niketamid
● Farmakodinamik.​Doksapram dan niketamid merangsang semua tingkat sumbu serebrospinal
sehingga mudah timbul kejang tonik klonik yang mirip kejang akibat pentilentetrazol.Kedua obat
ini bekerja dengan meningkatkan derajat perangsangan, bukan dengan mengadakan blockade
pada penghambatan sentral.
Pernapasan. ​Dosis kecil doksapram yang diberikan IV dapat merangsang napas secara selektif,
sehingga terjadi peningkatan ​tidal volume karena aktivasi kemoreseptor karotis dan neuron
pusat napas. Dosis lebih besar pada kucing merangsang neuron pernapasan maupun neuron lain
yang terletak di medula oblongata. Selektivitas niketamid lebih rendah daripada dokspram, juga
pada manusia.
Lamanya perangsanga napas sesudah pemberian IV tunggal hanya berlangsung 5-10
menit. Efek yang singkat ini rupanya mencerminkan adanya ​bolus effect ​yaitu sebagian besar
obat mula-mula didistribusi ke SSP kemusdian mengalami redistribusi ke organ lain. Hal ini pula
yang menimbulkan serangan kejang sesudah pemberian berulang, karena dosis yang
menimbulkan kejang umumnya tidak berbeda jauh dengan dosis yang diperlukan untuk
merangsang napas.
Batas keamanan doksapram lebih besar dan efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan
niketamid.Pada dosis subkonvulsi, kedua obat ini dapat menimbulkan efek samping berupa
hipertensi, takikardi, aritmia, batuk, bersin, muntah, gatal, tremor, kaku otot, berkeringat,
kemerahan di wajah, dan hiperpireksia.Untuk mengatasi perangsangan SSP yang berlebihan
atau terjadinya kejang, dapat diberikan diazepam IV. Analeptik dengan dosis di bawah dosis
yang menimbulkan kejang, tidak efektif untuk mengatasi komaa yang dalam; bahkan depresi
post ictal ​yang terjadi sesudah kejang akan memperburuk keadaan koma.
● Status dan penggunaan terapi. ​Dengan tindakan suportif tanpa obat perangsang napas,
keracunan akut obat hipnotik sedative dapat diatasi dengan baik. Dengan perbaikan yang lebih
sistematis pada tindakan suportif, angka kematian turun dari 25% pada zaman pengobatan
dengan analeptik menjadi 1% dengan tindakan suportif.
7. Metilfenidat
● Hubungan struktur-aktivitas. ​Bentuk d-dan I-treo enansiomer merupakan suatu campuran
rasemat, tetapi yang dipasarkan adalah bentuk isomer tunggal metilfenidat yaitu
deksmetilfenidat [R,R-(+)].
● Farmakodinamik. ​Metilfenidat merupakan derivate pepiridin.Berbeda dengan analeptik lainnya,
metilfenidat merupakan perangsang SSP ringan yang efeknya lebih menonjol terhadap aktivitas
mental dibandingkan terhadap aktivitas motorik.Namun pada dosis besar, metilfenidat dapat
menimbulkan perangsangan SSP secara umum baik pada manusia maupun pada hewan.Sifat
farmakologinya mirip amfetamin.Metilfenidat dapat disalahgunakan seperti hlnya amfetamin.
● Farmakokinetik. ​Metilfenidat mudah diabsorbsi melalui saluran cerna, kadar puncak dalam
plasma dapat dicapai dalam 2 jam. Waktu paruh plasma antara 1-2 jam tetapi kadar dalam otak
melebihi kadar dalam plasma. Metabolitnya yang 80% berupa asam retelinat hasil deesterifikasi
metilfenidat akan dikeluarkan bersama urin.
● Mekanisme kerja. ​Meskipun metilfenida merupakan inhibitor reuptake norepinefrin dan
dopamin tetapi metilfenidat mempunyai efek primer pada neurobiology dopamin. Metilfenidat
menghambat dopamin transporter dan meningkatkan dopamin ekstraseluler. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa isomer dekstro lebih poten sebagai activator lokomotorik
daripada isomer levo, dan tidak ada perbedaan antara bentuk levo dan plasebo dalam
memperbaiki perhatian seseorang.
● Efek samping. ​Efek samping umum metilfenidatserupa dengan amfetamin, meliputi kegelisahan,
insomnia, dan anoreksia. Selain itu, metilfenidat juga menimbulkan efek samping yang terkait
dosis yaitu peningkatan frekuensi nadi dan tekanan darah. Takar lajak dapat menimbulkan
kejang, aritmia jantung atau hipertermia. Pada penyalahgunaan kronik dapat dijumpai gejala
yang serupa dengan gejala ​withdrawal a​ mfetamin, yaitu letargi, depresi, dan paranoid. Ada
beberapa laporan yang menunjukkan bahwa metilfenidat menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada anak-anak yang mungkin disebabkan akibat efek metilfenidat terhadap
sekresi hormone pertumpuhan, tetapi beberapa penelitian lainnya tidak menemukan adanya
efek tersebut.
● Interaksi obat. ​Secara teoritis, walaupun metilfenidat merupakan substrat dari sitokrom P450
2D6, namun metilfenidat tidak mengalami metabolism yang signifikan melalui enzim ini dalam
tubuh manusia.Hal ini disebkan karena sebagian besar metabolisme metilfenidat mengalami
eliminasi lintas pertama.Metilfenidat berpotensi untuk menghambat metabolism kumadin,
beberapa jenis antiepilepsi dan antidepresi trisiklik.Metilfenidat relative aman dan hanya
mempunyai sedikit interaksi obat, kecuali bila digunakan bersama dengan inhibitor MAO.
● Sediaan dan posologi. ​Metilfenidat HCl tersedia dalam bentuk tablet 5, 10, atau 20 mg. Dosis
dewasa biasanya 2-3 kali 10 mg sehari. Dosis anak dengan hiperkinetik, mula-mula 0,25 mg/kg
BB sehari. Bila belum efektif dosis dinaikkan dua kali lipat tiap minggu hingga tercapai dosis
maksimal 2 mg/kg BB sehari. Obat ini diberikan dalam dua porsi yang sama, sebelum makan pagi
dan makan siang. Metilfenidat juga tersedia dalam bentuk tablet lepas lambat 20 mg dengan
masa kerja kurang lebih 8 jam. Dengan preparat ini frekuensi pemberian obat dapat dikurangi.
● Indikasi. ​Metilfenidat telah dicoba secara ekstensif untuk pengobatan berbagai depresi mental,
pengobatan keracunan depresan SSP, atau untuk menghilangkan rasa apatis akibat berbagai hal;
tetapi efektivitasnya masih diragukan.
Metilfenidat dan dekstroamfetamin merupakan obat tambahan yang penting pada
sindrom hiperkinetik pada anak dan dewasa yang ditandai dengan adanya ​attention deficit
disorder ​(ADD) yang dahulu disebut disfungsi otak minimal.Sayangnya kedua obat ini, terutama
dekstroamfetamin, dapat menekan pertumbuhan badan pada penggunaak kronik. Efek samping
metilfenidat yang lain yaitu insomnia, mual, iritabel, nyeri abdomen, sakit kepala, dan
meningkatnya denyut jantung. Efek samping ini bersifat sementara dan dapat dikendalikan
dengan menurunkan dosis obat, metilfenidat yang diberikan secara oral dapat menimbulkan
gejala idiosinkrasi berupa episode halusinasi akut.
Metilfenidat mungkin efektif untuk pengobatan narkolepsi, baik tunggal maupun dalam
kombinasi dengan antidepresi trisiklik.
8. Modafinil
Modafinil merupakan “obat pembangkit kejagaan” (​wakefulness-promoting agent) ​pertama
yang direkomendasikan oleh FDA. Obat ini merupakan obat yang relative baru untuk mengobati rasa
kantuk berlebihan di siang hari yang berhubungan dengan narkolepsi. Modafinil hanya mempunyai
sedikit efek mencegah atau mengubah pola tidur pada orang yang berusaha untuk tidur; tetapi
modafinil dapat menyebabkan kejagaan yang lebih stabil bila sesorang berusaha untuk tetap bangun
meskipun rasa kantuk datang.
● Hubungan struktur-aktivitas.​Modafinil (2-[(difenilmetil)sulfinil]asetamid) mempunyai bentuk
rasemat. Pada hewan percobaan, aktivitas kedua stereoisomer tampaknya serupa.
● Farmakokinetik. ​Modafinil merupakan metabolit primer dari adrafinil tanpa gugus hidroksil
amid di ujung terminal. Modafinil diabsorbsi dengan cepat tetapi diekskresi dengan lambat.
Ikatan proteinnya cukup tinggi (60%), volume distribusinya adalah 0,8 L/kg dan waktu penuhnya
berkisar antara 11-14 jam.
Metabolisme madafinil cukup kompleks, 10% modafinil diekskresi dalam bentuk utuh.
Isomer dekstri diekskresi tiga kali lebih cepat daripada isomer levo dan wanita dapat
mengekskresi modafinil lebih cepat daripada laki-laki. Modafinil diubah menjadi sam modafinil
dan modafinil sulfon yang merupakan bentuk inaktif. Metabolismenya terutama melalui P450
3A4/5. Selain itu modafinil juga mempunyai kapasitas ​in vitro ​sebagai inductor 3A4, khususnya
3A4 gastrointestinal. Penurunan kadar triazolam yang signifikan juga telah dilaporkan. Modafinil
juga dapat menghambat sitokrom P450 2C19 ​in vitro.
● Mekanisme kerja. ​Mekanisme modafinil yang dapat memberikan efek meningkatkan kejagaan
pada pasien dengan rasa kantuk berlebih akibat narkolepsi belum diketahui. Narkolepsi pada
manusia berhubungan dengan hilangnya sel hipokretin pada hipotalamus lateral. Modafiniil
dapat meningkatkan aktivitas c-fos pada sel hipokretin dan nucleus tuberomamilaris; dan pada
dosis yang lebih tinggi modafinil mempunyai efek pada korteka striatum dan korteks kingulata.
Modafinil berikatan lemah dengan dopamine transporter dan menyebabkan penglepasan
dopamine dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat perangsang SSP lainnya.
Mekanisme dopaminergik tampaknya tidak terjadi pada modafinil. Modafinil meningkatkan
kadar glutamat dan menekan GABA di hipotalamus posterior dan juga meningkatkan glutamat di
hipokampus dan thalamus ventral, yang dapat meningkatkan kejagaan.
● Indikasi. ​Modafinil saat ini hanya diindikasikan untuk mengatasi rasa kantuk yang berlebihan
antara narkolepsi.Indikasi modafinil untuk gangguan neurologic dan perilaku lainnya misalnya
ADHD, meningkatkan kognisi pada pasien pascastroke, pascatrauma dan pascapenyalhgunaan
alcohol masih perlu diteliti lebih lanjut.
● Efek samping. ​Modafinil dapat ditoleransi dengan baik, efek samping yang sering terjadi adalah
sakit kepala dan mual.Efek samping umumnya terjadi pada dosis 100-600 mg, dosis yang lebih
tinggi (800 mg) menimbulkan takikardi dan hipertensi.Oleh karena modafinil adalah obat yang
relatif baru maka profil keamanan dan efektivitasnya belum terlalu banyak diketahui.
● Interaksi obat. ​Modafinil menginduksi sitokrom P450 3A4/5 sehingga obat ini dapat
menurunkan konsentrasi obat lainnya yang juga dimetabolisme oleh 3A4/5. Hingga saat ini,
masih belum jelas apakah induksi ini hanya terjadi pada sitokrom gastrointestinal atau tidak,
sehingga hanya relevan untuk obat-obat yang mengalami metabolism lintas pertama.Modafinil
juga berpotensi berinteraksi dengan substrat sitokrom P450 2C19 seperti diazepam,
propranolol, dan fenitoin.
● Posologi. ​Modafinil tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan 200 mg. Dosis yang
direkomendasikan adalah 200 mg sekali sehari.
9. MDMA (​Ecstasy​)
MDMA (N-metil-3,4-metilendioksi amfetamin atau 3,4-metilendioksimetamfetamin), yang
populerdengan nama ekstasi merupakan senyawa feniletilamin yang memiliki efek stimulant
terhadap SSP.
MDMA bekerja dengan cara meningkatkan penglepasan total neurotransmiter monoamin
(serotonin, noradrenalin dan dalam jumlah kecil, dopamin) dari ujung akson. MDMA tidak bekerja
secara langsung melepaskan serotonin, namun dengan berikatan kemudian menghambat
transporter yang terlibat dalam ambilan kembali (​uptake)​ .
Efek akut yang ditimbulkan oleh MDMA tergantung dari dosis. Efek akut tersebut berupa
perasaan bertenaga, gangguan dalam orientasi waktu, perasaan mendapatkan pengalaman yang
menyenangkan, dengan meningkatkan persepsi.Efek negatif yang ditimbulkan adalah takikardia,
mulut kering, rahang mencengkeram, dan nyeri otot. Pada dosis yang lebih tinggi akan terjadi
halusinasi visual, agitasi, hipertermia, dan serangan panic. Dosis oral yang umum digunakan ialah
satu hingga dua tablet 100 mg dan efeknya dapat bertahan 3-6 jam.
Hingga saat ini, penggunaan MDMA jangka panjang dalam psikoterapi, hanya mnghasilkan efek
yang tidak diinginkan.MDMA menyebabkan terjadinya degenerasi sel saraf serotonergik dan akson
pada tikus. Sedangkan pada manusia, meskipun belum ditemukan adanya degenerasi saraf, pada
penggunaan MDMA kronik, didapatkan kadar metabolit serotonin yang rendah di dalam cairan
serebrospinal. Hal ini disuga berhubungan dengan kemampuan MDMA untuk meningkatkan
konsentrasi serotonin secara besar-besaran di sinaps. Namun, peningkatan serotonin dalam jumlah
besar tidak hanya akan meningkatkan gejala psikotik akut, tetapi juga menyebabkan kerusakan
kimia pada sel yang melepaskannya. Gejala mental dan tingkah laku yang berhubungan dengan
toksisitas serotonin di antaranya adalah gangguan ingatan, baik verbal dan visual, gangguan dalam
mengambil keputusan, sangat impulsive dan kurang control diri, serangan panik paranoia,
halusinasi, dan depresi berat.
MDMA tidak hanya menyebabkan toksisitas neurologik, namun juga meninggalkan masalah fisik
seperti rahang mencengkeram dan nyeri otot serta toksisitas pada system sirkulasi
berkurang/hilangnya kontrol pada tekanan darah serta denyut jantung oleh system saraf otonom.
Selain dari itu, terdapat juga laporan kematian yang disebkan oleh kecelakaan karena keberanian
aneh yang berlebihan selama pemakai dalam pengaruh akut MDMA.
10. Xantin
● Sejarah dan Kimia
Derivat xantin yang terdiri dari kafein, teofilin, dan teobromin ialah alkaloid yang
terdapat dalam tumbuhan. Sejak dahulu ekstrak tumbuh-tumbuhan ini digunakan sebagai
minuman. Kafein terdapat dalam kopi yang didapat dari biji ​Coffea arabica.T​ eh, dari daun ​Thea
​ engandung kafein dan teofilin. Cocoa, yang didapat dari biji ​Theobroma cacao
sinensis m
mengandung kafein dan teobromin. Penelitian membuktikan bahwa kafein berefek stimulasi.
Inilah daya tarik minuman yang mengandung kafein. Ternyata belum ada senyawa sintetik yang
mempunyai keunggulan terapi seperti senyawa alam.
Ketiganya merupakan derivate xantin yang mengandung gugus metil.Xantin sendiri ialah
dioksipurin yang mempunyai struktur mirip dengan asam urat. Kafein ialah 1,3,7-trimetil xantin;
teofilin ialah 1,3-dimetilxantin; dan teobromin ialah 3,7-dimetilxantin.
● Farmakodinamik
Teofili, kafein, dan teobromin mempunyai efek farmakologi yang sama yang
bermanfaat secara klinis. Obat-obat ini menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos
bronkus, merangsang SSP, otot jantung, dan meningkatkan diuresis.Teobromin tidak
bermanfaat secara klinis karena efek farmakologisnya rendah.
Intensitas efek xantin terhadap berbagai jaringan berbeda, dan dapat dipilih senyawa
xantin yang tepat untuk tujuan terapi tertentu dengn sedikit efek samping.
Teofilin dan kefein merupakan perangsang SSP yang kuat, teobromin boleh dikatakan
tidak aktif. Teofilin menyebabkan perangsangan SSP yang lebih dalam dan berbahaya
dibandingkan kafein. Orang yang minum kafein merasakan tidak begitu mengantuk, tidak
begitu lelah, dan daya pikirnya lebih cepat dan lebih jernih; tetapi kemampuannya berkurang
dalam pekerjaan yang memerlukan koordinasi otot halus (kerapihan), ketepatan waktu atau
ketepatan berhitung. Efek di atas timbul pada pemberian kafein 85-250 mg (1-3 cangkir kopi).
Efek samping teofilin 250 mg atau lebih pada pengobatan asma bronkial mirip dengan gejala
perangsangan kafein terhadap SSP. Bila dosis metilxantin ditinggikan, akan menyebabkan
gugup, gelisah, insomnia, tremor, heperestesia, kejang fokal atau kejang umum. Kejang akibat
teofilin ternyata lebih kuat dibandingkan akibat kafein. Kejang sering terjadi bila kadar teofilin
darah 50% lebih tinggi dibandingkan kadar terapi (10-20 µg/mL). Gejala kejang ini
kadang-kadang refrakter terhadap obat antikonvulsi.
Metilxantin dosis rendah dapat merangsang SSP yang sedang mengalami depresi.
Misalnya dosis 0,5 mg/kg BB kafein sudah cukup untuk merangsang napas pada individu yang
mendapat mmorfin 10 mg. Atau pemberian aminofilin dengan dosis 2 mg/kg BB dengan cepat
akan memulihkan keadaan narkosis pada individu yang mendapat 100 mg morfin IV untuk
anestesia. Pemberian aminofilin dengan dosis tersebut di atas dapat mempercepat pemulihan
dalam keadaan sedasi dalam akibat pemberian 0,4 mg/kg BB diazepam IV. Pendapat umum
bahwa kafein bermanfaat untuk memperbaiki fungsi mental pasien keracunan etanol, tidak
mapan.
● Efek metabolik. ​Pemberian kafein sebesar 4-8 mg/kg BB pada orang sehat ataupun orang yang
gemuk akan menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma dan juga
meninggikan metabolisme basal. Masih belum jelas benar apakahperubahan metabolism ini
berkaitan dengan peningkatan penglepasan ataupun efek katekolamin.
● Toleransi. ​Xantin dapat menyebabkan toleransi terutama terhadap efek diuresis dan gangguan
tidur.Terhadap perangsangan SSP hanya sedikit terjadi toleransi.Juga terdapat toleransi silang
antar derivat xantin.
● Mekanisme kerja. ​Teofilin menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehinggamencegah
pemecahan cAMP dan cGMP masing-masing menjadi 5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatann PDE
menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalm sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos,
termasuk otot polos bronkus. Teofilin dan metilxantin lainnya relative nonselektif dalam
menghambat subtipe PDE.
Feofilin merupakan suatu antagonis kompetitif pada reseptor adenosin.Adenosin dapat
menyebabkan bronkokontriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari
sel mast yang diinduksi oleh rangsang imunologis.Oleh karenanyapenghambatan kerja adenosin
juga merupakan mekanisme kerja teofilin untuk mengatasi bronkokontriksi pada pasien asma.
Beberapa studi menunjukkan bahwa teofilin juga memiliki efek antiinflamasi dan
menghambat penglepasan mediator dari sel radang. Efek antiinflamasi ditimbulkan antara lain
karena teofilin mangaktivasi histon deasetilase dalam nukleus. Deasetilasi histon dapat
menurunkan transkripsi beberapa gen proinflamasi dan memperkuat efek kortikosteroid.
● Farmakokinetik
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal atau perenteral. Sediaan
bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorbsi secara cepat dan lengkap. Absorbs juga
berlangsung lengkap untuk beberapa jenis sediaan lepas lambat.Absorbs teofilin dalam bentuk
garam yang mudah larut, misalnya teofilin Na glisinat atau teofilin kolin tidak lebih baik.
Sediaan teofilin parenteral atau rektal ternyata tetap menimbulkan keluhan nyeri
saluran cerna, mual, dan muntah. Rupanya gejala ini berhubungan dengan kadar teofilin dalam
plasma. Keluhan saluran cerna yang disebabkan oleh iritasi setempat dapat dihindarkan dengan
pemberian obat bersama makanan, tetapi akan terjadi penurunan absorbs teofilin.
Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin bentuk cair atau tablet tidak bersalut
dapat menghasilkan kadar puncak plasma dalam waktu 2 jam, sedangkan kafein dalam waktu 1
jam.
Saat ini tersedia teofilin lepas lambat, yang dibuat sedemikian rupa agar dosis teofilin
dapat diberikan dengan interval 8, 12, dan 24 jam.Ternyata sediaan ini bervariasi kecepatan
maupun jumlah absorbsinya antar pasian; khususnya akibat pengaruh adanya makanan atau
waktu pemberian.
Pada umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tetapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorbsi.
Larutan teofilin yang diberikan sebagai enema diabsorbsi lebih cepat dan lengkap,
sedangkan sediaan suposutoria diabsorbsi lambat dan tidak menentu.Pemberian teofilin IM
harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama.
Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu
ibu. Volume distribusi kafein dan teofilin ialah antara 400 dan 600 mL/kg; pada bayi prematur
nilai ini leebih tinggi.Derajat ikatan protein teofilin ternyata lebih besar daripada kafein. Dalam
kadar terapi ikatan teofilin dengan protein kira-kira 60% tetapi pada bayi baru lahir dan pasien
sirosis hati ikatan protein ini lebih rendah (40%).

● Indikasi
Asma Bronkial. ​Pada pasien asma diperlukan kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8 µg/mL,
sedangkan efek toksik mulai terlihat pada kadar 15 µg/ml dan lebih sering pada kadar di atas 20
µg/ml. karena itu pada pengobatan asma diusahakan kadar teofilin kira-kira 10 µg/ml. Menurut
Hendeles dan Weinberger dosis awal teofilin oral bagi orang dewasa adalah 400 mg/hari, yang
dapat ditambahkan 25% dengan interval 3 hari sehingga mencapai dosis maksimum kira-kira 13
mg/kg BB/hari pada orang dewasa dan 24mg/kg BB/hari pada anak umur 1-9 tahun. Sebagai
petunjuk penyesuaian dosis harus diperhatikan gejala intoksikasi yaitu mual, muntah, sakit
kepala; resdpons klinik dan kadar teofilin dalam plasma.
Penyakit paru obstruktif kronik (COPD). ​Teogfilin tidak menyebabkan dilatasi langsung arteri
pulmonalis, namun dapat membantu mengurangi hipoksemia yang mungkin merupakan
penyebab utama terjadinya hipertensi pulmonal.
Apnea pada bayi prematur. ​Pemberian teofilin oral atau IV dapat mengurangi lamanya apnea.
Untuk itu teofilin cukup diberikan dalam dosis yang mencapai kadar plasma 3-5 µg/ml yaitu
2,5-5 mg/kg BB dan selanjutnya dipertahankan dengan dosis 2 mg/kg BB/hari.
● Intoksikasi
Pada manusia, kematian akibat keracunan kafein jaraang terjadi.Gejala yang biasanya
paling mencolok pada penggunaan kafein dosis berlebihan ialah muntah dan kejang. Kadar
kafein dalam darah pascamati ditemukan antara 80 µg/ml sampai 1 mg/ml. Gejala permulaan
berupa sukar tidur, gelisah, dan eksitasi yang dapat berkembang menjadi delirium ringan.
Gangguan sensoris berupa tinnitus dan kilatan cahaya yang sering dijumpai.Otot rangka menjadi
tegan dan gemetar, sering pula ditemukaan takikardia dan ekstrasistol, sedangkan pernapasan
menjadi lebih cepat.Intoksikasi yang fatal lebih sering dijumpai pada penggunaan teofilin
dibanding dengan kafein.
● Sediaan
Kafein. ​Disebut juga tein, merupakan Kristal putih yang larut dalam air dengan perbandingan
1:46. Kafein Na-benzoat dan kafein sitrat, berupa senyawa putih, agak pahit, larut dalam air.
Yang pertama tersedia dalam ampul 2 ml mengandung 500 mg untuk suntikan IM, sedangkan
kafein sitrat terdapat dalam bentuk tablet 60 dan 120 mg untuk pemakaian oral
Teofilin. Berbentuk kristal putih, pahit, dan sedikit larut dalam air. Di Indonesia, teofilin tersedia
dalam berbagai sediaan untuk penggunaan oral, yaitu kapsul/kapsul lunak teofilin 130 mg; tablet
teofilin 150 mg; tablet salut selapus lepas lambat berisi teofilin 125 mg, 250 mg, dan 300 mg;
sirup/eliksir yang berisi teofilin sebanyak 50 mg/5 ml, 130 mg/15 ml, 150 mg/15 ml. teofilin juga
tersedia dalam kombinasi tetap dengan efedrin untuk asma bronkial. Aminofilin merupakan
garam teofilin untuk penggunaan IV, tersedia dalam ampul 10 ml mengandung 24 mg aminofilin
setiap mililiternya.
Pentoksifilin ​(1-(5-oksohesil)-3,7 dimetilxantin). Dosis pentoksifilin yaitu 3 kali 480 mg sehari
per oral.
● Minuman Xantin
Minuman xantin yang paling popular ialah kopi, teh, coklat, dan minuman kola. Kopi dan
teh mengandung kafein, sedangkan coklat mengandung teobromin. Kadar kafein dalam daun
teh (lebih kurang 2%) lebih tinggi daripada kadarnya dalam biji kopi (0,7-2%). Satu botol
minuman kola berisi 35-55 mg kafein. Satu cangkir kopi rata-rata berisi 100-150 mg kafein,
mendekati dosis terapi.Anak lebih peka terhadap perangsangan xantin daripada orang dewasa;
maka sebaiknya anak jangan minum kopi atau teh.

D. TERAPI DEGENERATIF SISTEM SARAF PUSAT


Penyakit Parkirison (Parkinson's disease, PD), penyakit Huntington (Huntington disease, HD),
penyakit Alzheimer (Alzheimer's disease, AD), dan sklerosis lateral amitrofik (amyotrophic lateral
sklerosis, ALS) dikarakterisasi oleh kehilangan neuron secara progresif dan ireversibel pada bagian
spesifik di otak. Farmakoterapi untuk gangguan neurodegeneratif ini terbatas pada pengobatan
simtomatik yang tidak mengubah keadaan penyakit penyebabnya.
KERENTANAN NEURONAL SELEKTIF
Ciri proses-proses penyakit ini yang paling menonjol adalah spesifisitasnya terhadap tipe
neuron tertentu. Pada PD terdapat kerusakan luas pada neuron dopaminergik di substansia nigra;
neuron di korteks dan banyak area lain di otak tidak dipengaruhi. Sebaliknya, cedera saraf pada AD
paling parah pada hipokampus dan neokorteks, bahkan sangat bervariasi pada bagian korteks
fungsional yang berbeda. Pada HD, gen mutan yang bertanggung jawab terhadap gangguan ini
diekspresi di sepanjang otak dan di banyak organ lain, namun perubahan patologis paling menonjol
pada neostriatum. Dalam ALS, terdapat kehilangan neuron motorik spinal dan neuron korteks yang
menyediakan pemasukan menurunnya. Saat ini, proses cedera saraf dipandang sebagai interaksi
antara pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan dengan karakteristik fisiologis intrinsik pada
populasi neuron yang terpengaruhi.
Predisposisi genetik berperan dalam etiologi gangguan neurodegeneratif. HD ditransmisi
oleh pewarisan dominan autosomal, dan dasar molekuler cacat genetik ini telah ditetapkan.
Sebagian besar kasus PD, AD, atau ALS bersifat sporadis, tetapi terdapat hubungan familial dan studi
pada penyakit familial menghasilkan petunjuk untuk patogenesis gangguan ini. Mutasi empat
protein yang berbeda dapat menyebabkan bentuk PD yang dideterminasi secara genetik a-sinuklein,
suatu protein sinaptik yang berlimpah; parkin, suatu ubikuitin hidrolase; UCHL1, yang juga berperan
dalam degradasi protein yang diperantarai oleh ubikuitin di dalam otak; dan DJ-1, suatu protein yang
diduga terlibat dalam respons neuronal terhadap stres. Mutasi gen yang mengode protein prekursor
amiloid (amyloid precurssor protein, APP) dan protein yang dikenal sebagai presenilin, yang terlibat
dalam pemrosesan APP, menyebabkan bentuk AD yang diwariskan. Mutasi pada gen pengode
tembaga-zink superoksida dismutase (SODI) mengakibatkan ~2% kasus ALS onset-dewasa.
Apolipoprotein E (apoE) merupakan faktor risiko genetik untuk AD. Terdapat empat isoform
apoE yang berbeda, yang terlibat dalam transpor kolesterol dan lipid di dalam darah. Meskipun
semua isoform berfungsi sama baiknya, individu yang mempunyai homozigot untuk alel apoB 4
("4/4") memiliki risiko AD seumur hidup yang jauh lebih tinggi daripada individu yang mempunyai
homozigot untuk alel apoE 2 ("2/2"). Mekanisme protein apoE 4 meningkatkan risiko AD tidak
diketahui. Penurunan aktivitas metabolik akibat umur, stres oksidatif dan produksi lokal radikal
oksigen dari metabolisme dopamin melalui reaksi Fenton (Gambar 20-1) dapat berperan dalam
etiologi beberapa penyakit ini.

PENYAKIT PARKINSON
● TINJAUAN KLINIS DAN PATOFISIOLOGI Parkinsonisme memiliki empat ciri pokok: bradikinesia
(gerakan lambat dan buruk), kekakuan otot, tremor saat istirahat (yang umumnya berkurang
saat melakukan gerakan sadar), serta gangguan keseimbangan postur yang menyebabkan
gangguan saat berjalan dan mudah jatuh. Tanda patologis PP adalah hilangnya neuron
dopaminergik berpigmentasi pada substansia nigra pars compacta (SNpc) yang menyediakan
persarafan dopaminergik ke striatum (kaudat dan putamen). Kehilangan neuron dopaminergik
secara progresif adalah ciri penuaan normal; namun, gejala PD bersamaan dengan kehilangan
neuron ini secara berlebihan (70-80%). Tanpa pengobatan, PD berkembang selama 5-10 tahun
menjadi keadaan kaku, tanpa gerakan sehingga pasien tidak mampu untuk merawat diri mereka
sendiri. Kematian lebih sering terjadi akibat komplikasi imobilitas, termasuk pneumonia aspirasi
atau embolisme pulmoner. Ketersediaan pengobatan farmakologis yang efektif telah mengubah
prognosis PD secara keseluruhan pada kebanyakan kasus, mobilitas fungsional yang baik dapat
dipertahankan selama beberapa tahun, dan harapan hidup sangat meningkat. Beberapa
penyakit selain PD juga dapat menyebabkan parkinsonisme, termasuk beberapa gangguan
neurodegeneratif yang relatif jarang terjadi, stroke, serta intoksikasi akibat antagonis reseptor
dopamin.
Obat-obat yang banyak digunakan secara klinis yang dapat menyebabkan parkinsonisme
antara lain antipsikotik seperti haloperidol dan torazin dan antiemetik seperti prokloperazin dan
metoklopramida. Parkinsonisme yang berasal dari penyebab lain umumnya sulit disembuhkan
dengan berbagai macam pengobatan.
● SINTESIS, METABOLISME, DAN KERJA DOPAMIN
Dopamin, suatu katekolamin, disintesis di terminal neuron dopaminergik dari tirosin dan
disimpan, dilepaskan, serta dimetabolisme melalui proses yang dirangkum pada Gambar 20-2
dan 20-3. Kerja dopamin di otak diperantarai oleh reseptor dopamin, yang kesemuanya
merupakan reseptor tergabung-protein G (GPCR) heptaheliks. Lima reseptor dopamin dapat
dibagi ke dalam dua kelompok yang didasarkan pada sifat farmakologis dan strukturalnya
(Gambar 20-4). Protein D​1 dan D​5 mempunyai ujung terminal-karboksi intraseluler yang panjang
dan merupakan anggota kelompok yang ditetapkan secara farmakologis sebagai D​1​; kedua
protein ini menstimulasi pembentukan AMP siklik dan hidrolisis fosfatidil inositot. Reseptor D​2​,
D​3​, D​4 sama-sama memiliki lengkung (loop) intraselular ketiga yang besar dan merupakan
anggota kelompok D​2​. Reseptor-reseptor ini mengurangi pembentukan AMP siklik serta
mengatur arus K​+ dan Ca​2+​. Masing-masing dari kelima protein reseptor dopamin ini mempunyai
distribusi anatomis yang berbeda di otak. Protein D​1 dan D​2 sangat beilmpah di striatum dan
merupakan situs reseptor yang paling penting berkenaan dengan penyebab dan pengobatan PD.
Protein D​4 dan D​5 banyak
​ terdapat di ekstrastiatal, sedangkan ekspresi D​3 rendah
​ di kaudat dan
putamen, tetapi sangat berlimpah di nukleus akumbens dan tuberkulum olfaktori.
● MEKANISME NEURAL PARKINSONISME
Ganglia basal dapat dipandang sebagai lengkung (loop) samping modulatori yang mengatur
aliran informasi dari korteks serebral menuju neuron motorik spinalis kordata (Gambar 20-5).
Efek akhir stimulasi jalur langsung pada tingkat striatum adalah untuk meningkatkan aliran
keluar eksitatori dari talamus ke korteks; efek akhir stimulasi jalur tidak langsung pada tingkat
striatum adalah untuk mengurangi aliran keluar eksitatori dari talamus ke korteks serebral. Ciri
utama model fungsi ganglia basal ini yang terlibat dalam gejala yang teramati di PD sebagai
akibat hilangnya neuron dopaminergik adalah efek dopamin yang berbeda pada jalur langsung
dan tidak langsung (Gambar 20-6). Neuron striatal pada jalur langsung mengekspresikan
terutama protein reseptor dopamin D​1 eksitatori, sedangkan neuron stiatal yang membentuk
jalur tidak langsung mengekspresikan terutama jenis D​2 inhibitori. Oleh karena itu, dopamin
yang dilepaskan di striatum cenderung untuk meningkatkan aktivitas jalur langsung dan
menurunkan aktivitas jalur tidak langsung. Efek akhir pada penurunan masukan dopaminergik di
PD adalah untuk meningkatkan secara nyata aliran keluar inhibitor dari SNpr dan globus pallidus
interna (GPi) menuju talamus dan mengurangi eksitasi korteks motorik. Meskipun ada
keterbatasan, model ini mempunyai kegunaan untuk desain yang rasional dan penggunaan
senyawa farmakologis pada PD. Pertama, model ini menganjurkan bahwa untuk pemulihan
keseimbangan sistem melalui stimulasi reseptor dopamin, efek komplementer kerja pada
reseptor D​1 dan D​2 serta kemungkinan efek merugikan yang diperantarai oleh reseptor D​3​, Dn​4​,
atau D​5​, harus dipertimbangkan. Kedua, model ini menjelaskan bahwa penggantian dopamin
bukan satu-satunya pendekatan untuk pengobatan PD. Obat-obat yang menghambat reseptor
kolinergik juga efektif; meskipun mekanisme kerjanya tidak sepenuhnya dipahami, efeknya
cenderung diperantarai pada tingkat neuron persambungan striatal, yang biasanya menerima
masukan kolinergik dari interneuron kolinergik striatal. Sedikit obat yang tersedia saat ini yang
bermanfaat secara klinis untuk parkinsonisme yang mempunyai dasar kerja terhadap reseptor
asam γ-aminobutirat (GABA) dan reseptor glutamat.
● PENGOBATAN PENYAKIT PARKINSON
Obat yang umum digunakan dan rentang dosisnya untuk pengobatan PD dirangkum dalam Tabel
20-1.
a. LEVODOPA
Levodopa (L-DOPA, LARODOPA, L-3,4-dlhidroksifenilalanin), prekursor metabolik dopamin,
merupakan satu-satunya senyawa yang paling efektif dalam pengobatan PD; efek terapeutik dan
efek merugikan pada levodopa berasal dari dekarboksilasinya menjadi dopamin. Levodopa oral
diabsorpsi secara cepat dari usus halus oleh sistem transpor untuk asam ammino aromatik.
Konsentrasi obat di dalam plasma umumnya memuncak dalam 0,5 hingga 2 jam setelah dosis
oral. Waktu paruhnya dalam plasma pendek (1-3 jam). Kecepatan dan tingkat absorpsi levodopa
tergantung pada kecepatan pengosongan lambung, pH asam lambung, dan lamanya obat
terpajan oleh enzim degradatif dalam mukosa lambung dan intestinal. Kompetisi untuk situs
absorpsi di usus halus dari asam amino makanan juga dapat mengubah absorpsi levodopa;
pemberian levodopa bersama makanan menunda absorpsi dan menurunkan konsentrasi plasma
puncak. Transporter membran untuk asam amino aromatik memfasilitasi masuknya obat ke
dalam SSP, dan kompetisi antara protein makanan dan levodopa dapat terjadi pada tingkat ini.
Di dalam otak, levodopa diubah menjadi dopamin melalui dekarboksilasi, terutama di dalam
terminal prasinaptik pada neuron dopaminergik di striatum. Oleh sebab itu, dopamin yang
dibentuk bertanggung jawab terhadap efektivitas terapeutik levodopa dalam PD; setelah
pelepasan, dopamin akan ditranspor kembali ke dalam terminal dopaminergik atau sel-sel
pascasinaptik, tempat dopamin akan disimpan di dalam granul (neuron) atau dimetabolisme
oleh MAO dan COMT (neuron dan nonneuron) (Gambar 20-3).
Dalam praktiknya, levodopa umumnya diberikan bersama inhibitor asam L-amino
dekarboksilase aromatik (AAD) (contohnya, karbidopa, benserazid) yang bekerja di perifer yang
tidak berpenetrasi dengan baik ke dalam SSP. Dengan tidak adanya penghambatan
dekarboksilase, levodopa didekarboksilasi sebagian besar di mukosa intestinal dan pada
situs-situs perifer lain sehingga hanya sedikit obat induknya yang mencapai sirkulasi serebral dan
mungkin <1% yang berpenetrasi ke dalam SSP. Penghambatan dekarboksilase periferal secara
nyata meningkatkan fraksi levodopa yang diberikan yang tetap tidak dimetabolisme dan dapat
menembus sawar darah otak (lihat Gambar 20-7) dan menurunkan insiden mual dan efek
samping GI lain akibat konversi periferal obat menjadi dopamin. Pada umumnya, karbidopa
dalam dosis 75 mg/hari cukup untuk mencegah terjadinya mual. Untuk alasan ini, bentuk
karbidopa/levodopa (SINAMET, ATAMET) yang paling banyak diresepkan adalah bentuk 25/100,
yang mengandung 25 mg karbidopa dan 100 mg levodopa, 3-4 kali sehari. Pemberian tambahan
karbidopa (LODOSYN) dapat bermanfaat dalam kasus yang sulit disembuhkan. Terapi levodopa
dapat memengaruhi semua tanda dan gejala PD. Pada PD awal, durasi efek levodopa yang
bermanfaat dapat melebihi lamanya obat di dalam plasma, yang menunjukkan bahwa sistem
dopamin nigrostriatal mempertahankan sebagian kapasitas untuk menyimpan dan melepaskan
dopamin. Keterbatasan utama dalam penggunaan jangka panjang terapi levodopa adalah seiring
dengan berjalannya waktu, kapasitas "penyangga" semu ini menghilang, dan keadaan motorik
pasien dapat sangat berfluktuasi dengan tiap dosis levodopa. Masalah yang umum adalah
berkembangnya fenomena "hilangnya efektivitas" (wearing off): tiap dosis levodopa secara
efektif meningkatkan mobilitas untuk beberapa waktu, mungkin 1-2 iam, tetapi kekakuan dan
akinesia kembali secara cepat pada akhir interval dosis. Peningkatan dosis dan frekuensi
pemberian dapat meningkatkan kondisi ini, tetapi ini sering dibatasi oieh terjadinya diskinesia.
Gerakan tidak sadar yang berlebih dan abnormal yang paling sering terjadi ketika konsentrasi
plasma levodopa berada pada tingkat tinggi. Diskinesia atau distonia dapat dipicu ketika kadar
meningkat atau menurun, dan pergerakan ini tidak menyenangkan dan melumpuhkan seperti
kekakuan dan akinesia pada PD. Pada stadium akhir PD, pasien dapat berfluktuasi dengan cepat
dari "tidak ada” (off), tidak mendapat manfaat dari obat-obatnya, dan menjadi "ada” (on), tetapi
dengan diskinesia yang melumpuhkan, suatu situasi yang dikenal sebagai fenomena on/off.

Akibat fenomena on/off ada dan kekhawatiran akan kontribusi peranan dopamin yang
utama terhadap pembentukan radikal bebas dan kerusakan jaringan, sebagian besar praktisi
menggunakan levodopa hanya ketika gejala PD menyebabkan gangguan fungsional. Ketika kadar
levodopa dipertahankan secara konstan melalui infus intravena, diskinesia dan fluktuasi jauh
berkurang, dan perbaikan klinis dipertahankan hingga beberapa hari setelah kembali ke dosis
oral levodopa. Formulasi lepas kontinu dan pembagian dosis harian total menjadi porsi
pemberian yang lebih sering telah digunakan untuk mengatasi fenomena on/off .
Selain fluktuasi motorik dan mual, beberapa efek merugikan lain dapat terjadi pada
pengobatan dengan levodopa. Efek merugikan umum dan membatasi dosis adalah induksi
halusinasi dan kebingungan, terutama pada manula dan pada individu yang menderita disfungsi
kognitif sebelumnya. Senyawa antipsikotik konvensional, seperti fenotiazin, efektif untuk
melawan psikosis terinduksi levodopa, tetapi dapat menyebabkan memburuknya parkinsonisme
secara nyata, kemungkinan melalui kerja pada reseptor dopamin D​2​. Pendekatan saat ini adalah
menggunakan senyawa antipsikotik "atipikal" (contohnya, klozapin dan kuetiapin), yang efektif
dalam pengobatan psikosis, tetapi tidak menyebabkan atau memperburuk parkinsonisme.
Dekarboksilasi periferal levodopa dan pelepasan dopamin ke dalam sirkulasi dapat mengaktivasi
reseptor dopamin vaskular dan menyebabkan hipotensi ortostatik. Kerja dopamin pada reseptor
adrenergik α dan β dapat menginduksi aritmia jantung, terutama pada pasien dengan
gangguan konduksi sebelumnya. Pemberian levodopa dengan inhibitor MAO nonspesifik
(contohnya, fenelzin, tranilsipromin) memperkuat kerja levodopa dan dapat memicu krisis
hipertensi yang membahayakan jiwa dan hiperpireksia; inhibitor MAO nonspesifik harus
dihentikan sedikitnya 14 hari sebelum levodopa. Pemutusan obat levodopa atau medikasi
dopaminergik lain secara mendadak dapat memicu sindrom malignan neuroleptik yang lebih
umum teramati setelah pengobatan dengan antagonis dopamin.
b. AGONIS RESEPTOR DOPAMIN
Agonis langsung reseptor dopamin striatal memberikan beberapa manfaat yang potensial.
Karena perubahan enzimatik obat-obat ini tidak diperlukan untuk aktivitas, obat tersebut tidak
tergantung pada kapasitas fungsional neuron nigrostriatal. Sebagian besar agonis
reseptor-dopamin dalam penggunaan klinis memiliki durasi kerja yang jauh lebih lama daripada
levodopa dan bermanfaat daiam penanganan fluktuasi keadaan motorik yang terkait dengan
dosis. Akhirnya, jika pembentukan ridikal bebas dari metabolisme dopamin memang
berkontribusi terhadap kematian saraf, agonis reseptor-dopamin dapat memodifikasi kondisi
penyakit ini dengan menurunkan pelepasan endogen dopamin serta kebutuhan levodopa
eksogen.
Empat agonis reseptor dopamin yang diberikan secara oral yang tersedia untuk pengobatan
PD: dua senyawa lama, bromokriptin (parlodel) dan pergolid (permax); serta dua senyawa baru
dan lebih selekttif, ropinirol (requip) dan pramipeksol (mirpex). Bromokriptin dan pergolid
merupakan derivat ergot dengan kerja terapeutik dan efek merugikan yang mirip. Bromokriptin
merupakan agonis D​2 dan antagonis D​1 parsial; pergolid merupakan agonis untuk kedua tipe
reseptor. Ropinirol dan pramipeksol mempunyai aktivitas selektif pada reseptor D​2​, D​3 dan
sedikit atau tidak ada aktivitas pada reseptor kelompok D​1​. Keempat obat tersebut diabsorpsi
dengan baik melalui oral dan dapat meredakan gejala klinis PD. Durasi kerja agonis dopamin
(8-24 jam) lebih panjang daripada levodopa (6-8 jam), dan agonis dopamin efektif terutama
pada pengobatan pasien yang telah mengalami fenomena on/off. Keempat obat ini juga
menyebabkan halusinasi atau kebingungan dan dapat memperburuk hipotensi ortostarik.
Perbedaan yang utama anrara senyawa baru dan derivat ergot lama adalah tolerabilitas dan
kecepatan penyesuain dosisnya. Pengobatan awal dengan bromo, kriptin dan pergolid dapat
menyebabkan mual, lelah, dan hipotensi nyata; obat-obat ini harus dimulai dari dosis rendah.
Gejala umumnya hanya sementara, tetapi memerlukan penyesuaian kenaikan dosis secara
perlahandalam waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan. Ropinirol dan pramipeksol
dapat dimulai lebih cepat, mencapai dosis yang bermanfaar secara rerapeutik dalam waktu
seminggu atau kurang. Ropinirol dan pramipeksol umumnya kurang menyebabkan gangguan GI
dibandingkan derivat ergot, tetapi dapat menyebabkan mual dan kantuk. Kondisi kantuk ini
cukup parah; dan lebih bijaksama untuk memberi saran ke pasien tentang kemungkinan ini dan
mengganti ke obat lain jika kondisi kantuk mengganggu kehidupan sehari-hari atau dapat
menyebabkan bahaya (berkendara, dll). Laporan terbaru mengaitkan penggunaan pergolid
dalam jangka panjang dengan penyakit valvular jantung yang signifikan, dan obat ini telah ditarik
dari peredaran di AS.
Pengenalan pramipeksol dan ropinirol telah mengubah penggunaan klinis agonis dopamin
dalam PD. Agonis selektif ini ditoleransi dengan baik dan semakin banyak digunakan sebagai
pengobatan awal untuk PD dan bukan sebagai tambahan untuk levodopa. Perubahan ini
dipengaruhi oleh dua faktor: (1) keyakinan bahwa karena durasi kerjanya yang lebih panjang,
agonis dopamin cenderung lebih kecil menginduksi fenomena on/off dan diskinesia
dibandingkan levodopa dan (2) kekhawatiran bahwa levodopa dapat berkontribusi terhadap
stres oksidatif sehingga dapat mempercepat hilangnya neuron dopaminergik. Banyak ahli
menyukai agonis dopamin sebagai terapi awal pada pasien muda dengan PD dan levodopa
sebagai terapi awal untuk pasien manula yang dapat lebih rentan terhadap efek kognitif agonis
dopamin yang merugikan.
Apomorfin (apokyn) merupakan agonis dopaminergik yang dapat diberikan melalui injeksi
subkutan. Apomorfin memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor D​4, afinitas
​ sedang terhadap
reseptor D​2​, D​3​, D​5​, serta reseptor adrenergik α​1D​, α​2B dan α​2C ; dan afinitas rendah terhadap
reseptor D​1​. Apomorfin digunakan sebagai "terapi penyelamat" untuk penanganan episode "off”
yang berlangsung sementara dan akut pada pasien dengan respons berfluktuasi terhadap terapi
dopaminergik. Apomorfin memiliki efek samping yang sama dengan agonis dopamin oral; obat
ini bersifat sangat emetogenik dan memerlukan terapi antiemetik sebelum dan sesudah
pengobatan (umumnya, trimetobenzamida oral [Tigan, 300 mg tiga kali sehari], dimulai 3 hari
sebelum dosis awal apomorfin dan dilanjutkan sedikitnya selama 2 bulan pertama terapi).
Berdasarkan laporan terjadinya hipotensi yang parah dan hilangnya kesadaran ketika apomorfin
diberikan bersama dengan ondansetron, penggunaan kombinasi apomorfin dengan obat
antiemetik dari golongan antagonis 5-HT​3 dikontraindikasikan. Efek samping apomorfin lain yang
berpotensi serius meliputi perpanjangan QT, reaksi tempat injeksi, dan berkembangnya pola
penyalahgunaan yang dikarakterisasi oleh peningkatan frekuensi pemberian dosis yang
menyebabkan halusinasi, diskinesia, dan perilaku abnormal. Karena efek merugikan yang
potensial ini, penggunaan apomorfin hanya diberikan ketika obat lain, seperti agonis dopamin
oral atau inhibitor COMT, gagal untuk mengontrol episode “off” .Terapi apomorfin harus dimulai
pada kondisi ketika pasien dapat dipantau dengan seksama, dimulai dengan dosis uji sebesar 2
mg. Jika dosis ini dapat ditoleransi, apomorfin dapat disesuaikan secara perlahan hingga dosis
maksimum sebesar 6mg. Untuk kontrol yang efektif terhadap gejala, pasien dapat memerlukan
tiga injeksi atau lebih dalam sehari.
c. INHIBITOR KATEKOL-O-METILTRANSFERASE
Katekol-O-Metiltransferase (COMT) memetabolisme levodopa serta dopamin, menghasilkan
senyawa yang tidak aktif secara farmakologis 3-O-metil DOPA (dari levodopa) dan
3-metoksitiramin (dari dopamin) (Gambar20-7). Hampir 99% dosis levodopa yang diberikan
secara oral tidak mencapai otak, tetapi didekarboksilasi menjadi dopamin, yang menyebabkan
mual dan hipotensi. Penambahan inhibitor AAD (contohnya, karbidopa) mengurangi
pembentukan dopamine, tetapi meningkatkan fraksi levodopa yang dimetilasi oleh COMT.
Inhibitor COMT akan memblok konversi periferal levodopa ini menjadi 3-O-metil DOPA, yang
meningkatkan t​1/2​ plasma levodopa dan juga fraksi yang mencapai SSP.
Dua inhibitor COMT tersedia untuk penggunaan ini, tolkapon (tasmar) dan entakapon
(comtan). Tolkapon mempunyaki durasi kerja yang relatif panjang, memungkinkan pemberian
obat sebanyak dua hingga tiga kali sehari, dan tampaknya bekerja melalui penghambatan COMT
pusat dan perifer. Durasi kerja entakapon pendek, sekitar 2 jam, sehingga biasanya diberikan
secara simultan dengan tiap dosis levodopa/karbidopa. Kerja entakapon disebabkan terutama
oleh penghambatan COMT perifer. Efek merugikan utama pada senyawa-senyawa ini mirip
dengan yang teramati pada pasien yang diobati dengan levodopa/karbidopa saja dan mencakup
mual, hipotensi ortostatik, mimpi yang nyata, kebingungan, dan halusinasi. Efek merugikan yang
berkaitan dengan tolkapon adalah hepatotoksisitas; tolkapon hanya boleh digunakan pada
pasien yang tidak merespons terhadap terapi lain dan dengan pemantauan yang memadai
rerhadap transaminase hepatik. Entakapon tidak berkaitan dengan hepatotoksisitas dan tidak
memerlukan pemantauan khusus. Entakapon juga tersedia dalam kombinasi dosis tetap dengan
levodopa/karbidopa (stalevo).
d. lNHIBITOR MAO-B SELEKTIF
Dua isozim MAO (MAO-A dan MAO-B) mengoksidasi monoamin dan keduanya terdapat
pada perifer dan saluran GI; MAO-B merupakan bentuk utama pada striatum dan bertanggung
jawab terhadap sebagian besar metabolisme oksidatif dopamin di dalam otak. Selegilin
(eldepryl) pada dosis rendah hingga sedang (10 mg/hari atau kurang) menghambat MAO-B
secara selektif dan ireversibel. Tidak seperti inhibitor MAO nonspesifik (contohnya, fenelzin,
tranilsipromin, isokarboksazid), selegilin tidak menghambat metabolisme katekolamin perifer
dan dapat dikonsumsi secara aman bersama dengan levodopa. Selegilin tidak menyebabkan
potensiasi letal terhadap kerja tidak langsung amin simpatomimetik seperti tiramin dalam
makanan. Selegilin pada dosis yang lebih besar daripada 10 mg per hari dapat menyebabkan
penghambatan MAO-A dan sebaiknya dihindari.
Karena dapat memperlambat degradasi dopamin di striatum, selegilin digunakan sebagai
pengobatan simtomatik PD, meskipun manfaatnya tidak terlalu besar. Kerja selegilin yang
diketahui adalah memperlambat metabolisme dopamin, mengurangi produksi radikal bebas dan
stres oksidatif, sehingga memberikan efek neuroprotektif. Selegilin umumnya ditoleransi dengan
baik pada pasien dengan PD awal atau ringan. Pada pasien dengan PD tingkat lanjut atau
mengalami gangguan kognitif sebelumnya, selegilin dapat memperkuat efek motorik dan
kognitif yang merugikan akibat terapi levodopa. Metabolit selegilin mencakup amfetamin dan
metamfetamin, yang dapat menyebabkan ansietas, insomnia, serta gejala merugikan lainnya.
Senyawa sejenisnya, rasagilin, juga bekerja melalui penghambatan MAO-B, tetapi tidak
membentuk metabolit yang tidak diinginkan ini. Rasagilin menunjukkan efikasi pada PD awal dan
tingkat Ianjut, tetapi pemakaiannya belum disetujui di AS. Selegilin, seperti inhibitor MAO
nonspesifik, dapat menyebabkan terjadinya stupor, kekakuan, agitasi, dan hipertermia setelah
pemberian analgesik meperidin; dasar interaksi ini tidak jelas. Terdapat laporan mengenai efek
merugikan yang disebabkan oleh interaksi antara selegilin dan antidepresan trisiklik serta antara
selegilin dan SSRI. Kombinasi selegilin dan SSRI tampaknya ditoleransi dengan baik pada pasien
dengan PD, tetapi penggunaan kombinasi selegilin dengan obat serotonergik harus dilakukan
dengan hati-hati.

e. ANTAGONIS RESEPTOR MUSKARINIK


Antagonis reseptor asetilkolin (ACh) muskarinik digunakan secara luas untuk pengobatan PD
sebelum ditemukannya levodopa. Dasar biologis untuk kerja terapeutik antikolinergik tidak
sepenuhnya dipahami. Obat-obat ini kemungkinan bekerja pada neostriatum melalui reseptor
yang umumnya memperantarai respons terhadap persarafan kolinergik intrinsik struktur ini,
yang timbul terutama dari interneuron striatal kolinergik. Senyawa yang bekerja sebagai
antagonis muskarinik yang saat ini digunakan dalam pengobatan PD melipuri triheksifenidil
(Artane, 2-4 mg tiga kali sehari), benztropin mesilat (Cogentin, 1-4 mg, dua kali sehari), dan
difenhidramin hidroklorida (Benadryl, 25-50 mg tiga hingga empat kali sehari; difenhidramin
juga merupakan antagonis histamin H​1​). Semua memiliki aktivitas antiparkinson sedang yang
bermanfaat dalam pengobatan PD awal atau sebagai tambahan pada terapi dopamimetik. Efek
merugikan pada obat-obat ini merupakan akibat dari sifat-antikolinergiknya (terutama sedasi
dan kebingungan mental, tetapi juga konstipasi, retensi urine dan pandangan kabur melalui
sikloplegia); obat-obat ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang menderita
glaukoma sudut-sempit.
f. AMANTADIN
Amantandin (symmetrel) merupakan senyawa antivirus yang digunakan untuk profilaksis
dan pengobatan infuenza A. Obat ini juga mengubah pelepasan dopamin di striatum, memiliki
sifat antikolinergik, dan memblok reseptor glutamat NMDA. Kemungkinan melalui kombinasi
mekanisme ini, amantadin mempunyai aktivitas antiparkinson yang sedang dan digunakan
sebagai terapi awal untuk PD ringan. Amantadin juga dapat bermanfaat sebagai tambahan pada
pasien yang mengonsumsi levodopa dengan fluktuasi dan diskinesia terkait dosis. Amantadin
umumnya diberikan pada dosis 100 mg dua kali sehari dan ditoleransi dengan baik. Pening,
letargi, efek antikolinergik, dan gangguan tidur, serta mual dan muntah, kadang teramati, tetapi
efek-efek ini ringan dan reversibel.
PENYAKIT ALZHEIMER
● TINJAUAN KLINIS AD menyebabkan gangguan kemampuan kognitif yang onsetnya
bertahap, tetapi persisten pada perkembangannya. Gangguan ingatan jangka pendek umumnya
merupakan ciri klinis pertama; peringatan kembali memori yang sudah lama dapat
dipertahankan dengan baik. Ketika kondisi ini terus berlanjut, kemampuan kognitif lain
terganggu, diantaranya adalah kemampuan berhitung, kemampuan melakukan visuospasial, dan
penggunaan objek dan alat umum (ideomotor apraxia). Tingkat kesadaran atau kewaspadaan
pasien tidak dipengaruhi hingga kondisinya sudah sangat parah, lemah motorik juga tidak
terjadi, meskipun kontraktur otot merupakan ciri yang hampir paling universal pada tahap lanjut
penyakit ini. Kematian paling sering diakibatkan oleh komplikasi imobilitas seperti pneumonia
atau embolisme pulmoner, umumnya terjadi dalam 6-12 tahun onset. Diagnosis AD didasarkan
pada pemantauan klinis yang saksama terhadap pasien dan uji laboratorium yang sesuai untuk
mengesampingkan penyakit lain yang menyerupai AD; saat ini, tidak ada uji konfirmasi langsung
sebelum terjadinya kematian.
● PATOFISIOLOGI AD dikarakterisasi oleh atropi korteks serebral yang nyata dan hilangnya
neuron kortikal dan subkortikal. Tanda patologis AD adalah plak senil, yang merupakan
akumulasi sferis protein B-amiloid disertai dengan proses degenerasi neuronal, dan gumpalan
neurofibril (neurofibrillary tangles,) yang berlimpah, yang terdiri dari filamen heliks berpasangan
dan protein lain. Pada AD stadium lanjut, plak senil dan neurofibrillary tangles paling berIimpah
di hipokampus dan area korteks yang terkait, sedangkan di area seperti korteks visual dan
motoik relatif sedikit. Hal ini berhubungan dengan ciri klinis gangguan ingatan dan daya pikir
abstrak, dengan terjaganya penglihatan dan pergerakan.
● NEUROKIMIA Analisis langsung terhadap kandungan neurotransmiter di korteks serebral
menunjukkan penurunan banyak zat transmiter yang seiring dengan kehilangan neuronal,
dengan defisiensi ACh yang nyata dan tidak sebanding akibat atropi dan degenerasi neuron
kolinergik subkortikal, terutama yang terdapat di otak depan basal (basalis nukleus Meynert)
yang menyediakan persarafan kolinergik ke seluruh korteks serebral. Meskipun konseptualisasi
AD sebagai "sindrom defisiensi kolinergik" sebanding dengan "sindrom defisiensi dopaminergik"
pada PD menyediakan kerangka dasar yang bermanfaat, defisit pada AD jauh lebih rumit,
melibatkan berbagai sistem neurotransmiter, termasuk serotonin, glutamat, dan neuropeptida,
dengan destruksi terjadi tidak hanya pada neuron kolinergik, tetapi juga target korteks dan
hipokampus yang menerima masukan kolinergik.
● PENGOBATAN PENYAKIT ALZHEIMER Pengobatan AD meliputi usaha untuk meningkatkan
fungsi kolinergik di otak. Prekursor sintesis ACh, seperti kolin klorida, dan fosfatidil kolin (lesitin)
tidak menghasilkan efek yang signifikan secara klinis; walaupun demikian, inhibitor
asetilkolinesterase (AChE) menunjukkan efikasi. Empat inhibitor AChE saat ini yang disetujui oleh
FDA untuk pengobatan AD: takrin (1,2,3,4-tetrahidro-9-aminoakridin; Cognex), donepezil
(Aricept), rivastigmin (Exelon), dan galantamin (Razadyne). Takrin merupakan inhibitor AChE
kerja sentral yang kuat. Takrin oral, dalam kombinasi dengan lesitin, menghasilkan efek yang
sedang pada performa ingatan, dan efek samping takrin sering signifikan dan membatasi dosis;
kram abdomen, anoreksia, mual, muntah, dan diare teramati hingga sepertiga pasien yang
menerima dosis terapeutik, dan peningkatan transaminase serum teramati pada 50% pasien
yang diobati. Karena efek samping yang signifikan, takrin tidak banyak digunakan secaia klinis.
Donepezil merupakan inhibitor AchE selektif pada SSP dengan sedikit efek pada AChE perifer.
Obat ini menghasilkan peningkatan yang sedang pada skor kognitif pada pasien AD dan
mempunyai t​1/2 yang panjang, memungkinkan obat ini diberikan hanya sekali sehari. Rivastigmin
dan galantamin diberikan dua kali sehari dan menghasilkan tingkat perbaikan kognitif yang
sama. Efek merugikan yang berkaitan dengan donepezil, rivastigmin, dan galantamin memiliki
ciri-ciri yang mirip dengan yang teramati pada takrin, tetapi lebih jarang dan tidak terlalu parah:
mual, diare, muntah, dan insomnia. Donepezil, rivastigmin, dan galantamin tidak berkaitan
dengan hepatotoksisitas yang membatasi penggunaan takrin. Suatu strategi alternatif untuk
pengobatan AD adalah penggunaan antagonis reseptor-glutamat NMDA, yakni memantin
(Namenda). Memantin menghasilkan blokade reseptor NMDA yang bergantung pada
penggunaan. Pada pasien dengan AD sedang-hingga-parah, penggunaan memantin berkaitan
dengan penurunan kecepatan kemunduran klinis. Walaupun hal ini akibat efek
pemodifikasi-penyakit, mungkin penurunan eksitotoksisitas, atau merupakan efek simtomatik
obat yang tidak jelas. Efek merugikan pada memantin biasanya ringan dan reversibel, dan dapat
meliputi sakit kepala atau pening.

PENYAKIT HUNTINGTON
● CIRI KLINIS HD ialah kelainan bawaan yang dominan, dikarakterisasi oleh onset inkoordinasi
motorik secara bertahap dan penurunan kognitifpada pasien paruh baya. Gejala-gejala
berkembang secara perlahan namun membahayakan, baik sebagai gangguan pergerakan yang
dimanifestasi oleh gerakan singkat, seperi sentakan pada ekstremitas, badan, wajah dan leher
(chorea) atau sebagai perubahan kepribadian atau keduanya. Inkoordinasi motorik halus dan
kelainan rapid-eye-movement merupakan ciri-ciri awal. Terkadang gerakan chorea kurang
menonjol, sedangkan bradikinesia dan distonia menonjol. Seiring perkembangan penyakit,
gerakan tidak sadar menjadi semakin parah, terjadi disartria dan disfagia, dan keseimbangan
terganggu. Gangguan kognitif muncul pertama kali sebagai perlambatan proses mental dan
kesulitan dalam mengatur pekerjaan yang kompleks. Ingatan terpengaruh, tetapi penderita
jarang kehilangan ingatan, tentang keluarga, teman, serta situasi yang baru terjadi. Orang
seperti ini sering menjadi mudah tersinggung, cemas, dan mengalami depresi. Keadaan paranoia
dan delusi lebih jarang timbul. Hasil akhir HD selalu fatal; dalam jangka waktu 15-30 tahun,
penderita menjadi lumpuh total dan tidak mampu berkomunikasi, memerlukan perawatan
sepanjang waktu; kematian terjadi akibat komplikasi imobilitas.
● PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI HD dikarakterisasi oleh kehilangan sel saraf yang
menonjol pada striatum (kaudat/putamen). Atrofi pada struktur ini berlangsung secara
bertahap, pertama memengaruhi ekor nukleus kaudat dan kemudian berlanjut secara anterior
dari mediodorsal menuju ventrolateral. Area otak lain juga terpengaruh, meskipun tidak terlalu
parah; salah satu akibatnya adalah penurunan konsentrasi GABA strital secara nyata, sedangkan
konsentrasi somatostatin dan dopamin relatif tidak berubah, pada sebagian besar kasus onset
dewasa, medium spiny neuron yang bersambung ke Gpi dan SNpr (jalur tidak langsung)
dipengaruhi lebih dahulu daripada yang bersambung ke GPe (jalur langsung; lihat Gambar 20-8).
Gangguan yang tidak setimbang pada jalur tidak langsung meningkatkan dorongan eksitatori ke
neokorteks, menghasilkan gerakan tidak sadar yang menyerupai chorea. Pada beberapa
individu, kekakuan merupakan ciri klinis utama dan bukan chorea; ini terutama sering terjadi
pada kasus onset-remaja. Pada kasus-kasus ini neuron striatal yang menimbulkan jalur langsung
dan jalur tidak langsung mengalami gangguan pada tingkatan yang sebanding.
● GENETIKA ​HD merupakan gangguan autosom dominan dengan penetrasi yang hampir
sempurna. pada penderita, lengan pendek kromosom 4 mengandung pengulangan trinukleotida
(CAG), polimorfisme yang secara signifikan meluas pada semua individu dengan HD;
pengulangan trinukIeotida ini merupakan perubahan genetik yang bertanggung jawab terhadap
HD dan meningkat dari rentang normal (9-34 triplet) menjadi 40-100 triplet pada pasien HD.
Beberapa penyakit neurodegeneratif Iain juga timbul akibat perluasan pengulangan CAG,
termasuk ataksia spinoserebelum bawaan dan penyakit Kennedy, suatu gangguan neuron
motorik bawaan yang jarang terjadi. Mekanisme terjadinya pengulangan trinukleotida yang
meluas sebagai ciri klinis dan patologis HD tidak diketahui. Mutasi HD terletak pada gen IT15
yang mengode protein bermassa atom ~348.000 Da. engutangan trinukleotida, yang mengode
asam amino glutamine, terjadi pada ujung 5' pada IT15 dan diikuti secara langsung oleh
pengulangan (CCG)​n​, yang kedua dan lebih pendek yang mengode prolin. Protein tersebut,
dinamakan Huntington, tidak menyerupai semua protein yang diketahui, dan fungsi normal
protein tersebut belum teridentifikasi. Gen HD diekspresikan ke seluruh tubuh, dengan kadar
tinggi di otak, pankreas, usus, ofol hati, adrenal, dan testis. Meskipun striatum adalah bagian
yang paling terpengaruh, neuron di seluruh bagian otak mengekspresikan mRNA IT15 pada
kadar yang hampir sama.

● PENGOBATAN SIMTOMATIK PENYAKIT HUNTINGTON Pengobatan yang ada saat ini tidak ada
yang dapat memperlambat perkembangan HD, dan banyak obat dapat menyebabkan gangguan
fungsi karena efek sampingnya. Pengobatan diperlukan bagi pasien yang mengalami depresi,
mudah tersinggung, paranoid, kecemasan berlebih, atau psikotik. Depresi dapat ditangani
secara efektif dengan menggunakan obat antidepresan standar dengan peringatan bahwa obat
dengan profil antikolinergik yang substansial dapat memperparah chorea. Fluoksetin merupakan
obat yang efektif untuk menangani gejala HD yang bermanifestasi sebagai depresi dan
iritabilitas; karbamazepin juga efektif untuk depresi. Paranoia, kondisi delusional, dan psikosis
umumnya memerlukan pengobatan dengan obat antipsikosis, tetapi dosis yang diperlukan Iebih
rendah daripada dosis yang biasanya digunakan pada pengobatan gangguan psikiatri primer.
Senyawa-senyawa ini juga menurunkan fungsi kognitif dan mengganggu pergerakan sehingga
harus digunakan pada dosis serendah mungkin dan harus dihentikan ketika gejala psikiatri sudah
teredakan. Pada individu dengan HD yang pada dasarnya sukar ditangani, klozapin,kuetiapin
atau karbamazepin dapat lebih efektif untuk penanganan paranoia dan psikosis. Gangguan
pergerakan pada HD itu sendiri jarang menentukan terapi farmakologis yang digunakan. Untuk
penderita dengan chorea amplitudo-tinggi yang sering menyebabkan pingsan dan cedera,
senyawa pendeplesidopamin seperti tetrabenazin dan reserpin dapat dicoba, meskipun pasien
harus dipantau untuk hipotensi dan depresi. Senyawa antipsikotik juga dapat digunakan, tetapi
senyawa ini biasanya tidak memperbaiki fungsi secara keseluruhan karena senyawa ini
menurunkan koordinasi motorik halus dan meningkatkan kekakuan. Banyak pasien HD
menunjukkan memburuknya gerakan tidak sadar akibat ansietas atau stres. Pada situasi seperti
ini, penggunaan sedatif atau anksiolitik benzodiazepin dapar sangat membantu. Pada kasus
onset-remaja, ketika kekakuan lebih mendominasi daripada chorea, agonis dopamin dapat
memperbaiki kekakuan secara bervariasi. Individu ini juga kadang mengalami mioklonik dan
seizure yang responsif terhadap klonazepam, asam valproat, serta antikonvulsan lain.

SKLEROSIS LATERAL AMIOTROFIK


● CIRI KLINIS DAN PATOLOGI ALS adalah gangguan neuron motorik pada akar ventral spinalis
kordata dan neuron kortikal yang menyediakan masukan aferennya, dikarakteisasi oleh kondisi
lemah yang berkembang cepat, atrofi otot dan fasikulasi spastisitas, disatria, disfagia, dan
memburuknya pernapasan. Fungsi sensorik umumnya tidak berubah, demikian juga aktivitas
kognitif , otonomik, dan okulomotorik. ALS umumnya progresif dan fatal, dengan sebagian besar
penderita meninggal karena gangguan pernapasan dan pneumonia setelah 2-3 tahun. Patologi
ALS sangat berkaitan dengan ciri-ciri klinisnya: banyak kehilangan neuron motorik spinal dan
batang otak yang bersambung ke otot striatal (meskipun neuron okulomotorik tidak
terpengaruh), serta hilangnya neuron motorik piramidal yang besar pada Iapisan V korteks
motorik, yang berasal dari saluran kortikospinal yang menurun. Pada kasus familial (FALS, ~10%
dari kasus, umumnya dengan pola bawaan autosom dominan), kolom Clarke dan akar dorsal
terkadang dipengaruhi. Mutasi pada SOD1 terlibat pada ~20% kasus FALS; banyak mutasi SOD1
yang berhubungan dengan penyakit ini tidak mengurangi kapasitas enzim untuk melakukan
fungsi utamanya, yakni katabolisme radikal superoksida. Lebih dari 90% kasus ALS tidak
berkaitan dengan abnormalitas SOD1 atau gen lain yang diketahui. Penyebab hilangnya neuron
matorik pada ALS sporadis tidak diketahui.
● PENGOBATAN ALS DENGAN RILUZOL Satu-satunya terapi ALS yang disetujui adaiah riluzol
(2-amino-6-[trifuorometoksi]benzotiazol; Rilutek), suatu senyawa dengan kerja kompleks pada
sistem saraf. Riluzol diabsorpsi secara oral dan berikatan kuat dengan protein. Riluzol
mengalami metabolisme yang ekstensif di hati oleh glukuronidasi dan hidroksilasi yang
diperantarai oleh CYP. Waktu paruh riluzol ~2 jam. Secara in vitro, riluzol menghambat
pelepasan glutamat, memblok reseptor glutamat tipe-NMDA dan tipe-kainat pascasinaptik, dan
menghambat saluran Na​+ tergantung-voltase. Pada uji klinis, riluzol mempunyai efek yang
sedang, tetapi sangat memengaruhi kelangsungan hidup pasien ALS. Dosis yang
direkomendasikan adalah 50 mg setiap 12 jam, diminum 1 jam sebelum atau 2 jam setelah
makan. Riluzol umumnya ditoleransi dengan baik, meskipun mual atau diare dapat terjadi.
Riluzol jarang menyebabkan cedera hepatik dengan peningkatan transaminase serum; sehingga
pemantauan secara berkala dianjurkan. Meskipun efek riluzol pada ALS kecil (pertambahan
kelangsungan waktu hidup rata-rata ~60 hari), obat ini menunjukkan kemajuan terapeutik yang
signifikan dalam pengobatan penyakit yang sulit diatasi dengan obat lain sebelumnya.
● TERAPI SIMTOMATTS ALS​: ​SPASTISITASSpastisitas adalah ciri klinis ALS yang sering
menyebabkan nyeri yang hebat dan ketidaknyamanan serta mengurangi mobilitas, yang
diperburuk oleh kondisi lemah. Selain itu, spastisitas merupakan ciri ALS yang paling mudah
dikontrol dengan terapi yang ada saat ini. Spastisitas adalah peningkatan tonus otot yang
dikarakterisasi oleh resistensi awal terhadap perpindahan pasif anggota badan pada sendi,
diikuti oleh relaksasi mendadak (yang disebut fenomena clasped-knife). Spastisitas adalah hasil
dari hilangnya masukan yang menurun ke neuron motorik spinal, dan karakter spastisitas
bergantung pada jalur sistem saraf yang dipengaruhi. Keseluruhan rangkaian kemampuan
pergerakan dapat dihasilkan secara langsung pada tingkat spinalis kordata. Pada umumnya, jalur
piramidal yang menggunakan glutamat sebagai neurotransmiter diganggu, dengan pertahanan
relatif pada jalur menurun lain, menyebabkan refleks tendon-dalam yang hiperaktif, gangguan
koordinasi motorik halus, peningkatan tonus ekstensor pada kaki, dan peningkatan tonus fleksor
pada tangan. Refleks gag juga sering overaktif.
Senyawa yang paling bermanfaat dalam penanganan simtomatik spastisitas pada ALS
adalah baklofen (Lioresal), suatu agonis resepror GABA​B​. Dosis awal 5-10 mg/hari
direkomendasikan, tetapi dosis ini dapat ditingkatkan hingga 200 mg/hari jika diperlukan. Jika
kelemahan terjadi, dosis harus diturunkan. Selain pemberian oral, baklofen juga dapat
dihantarkan langsung ke dalam ruang di sekitar spinalis kordata dengan menggunakan pompa
implantasi melalui operasi dan kateter intratekal. Pendekatan ini meminimalisasi efek obat yang
merugikan, terutama sedasi, tetapi mempunyai risiko depresi SSP yang membahayakan jiwa dan
hanya boleh digunakan oleh dokter yang sudah terlatih memberikan terapi intratekal kronis.
Tizanidin (Zanflex), suatu agonis reseptor adrenergik α​2 di SSP mengurangi spastisitas otot dan
diduga bekerja dengan meningkatkan penghambatan prasinaptik neuron-motorik. Tizanidin
digunakan secara luas dalam pengobatan spastisitas pada multipel sklerosis atau setelah stroke,
tetapi dapat efektif pada penderita ALS. Pengobatan sebaiknya dimulai pada dosis rendah
sebesai 2-4 mg pada waktu akan tidur dan dinaikkan secara bertahap. Kantuk, astenia, dan
pening dapat membatasi dosis yang diberikan. Benzodiazepin seperti klonazepam (Klonipin)
merupakan antispasmodik yang efiktif tetapi dapat menyebabkan depresi pernapasan pada
pasien dengan ALS tingkat lanjut. Dantrolen (Dantrium), disetujui di AS untuk pengobatan
spasme otot, dapat memperparah lemah otot sehingga tidak digunakan untuk ALS.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
Farakologi dan Terapi Edisi 5.​ Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Goodman & Gilman. 2011. ​Manual Farmakologi dan Terapi. J​ akarta: EGC.
Ikatan Apoteker Indonesia. 2014. ​ISO (Informasi Spesialite Obat Indonesia). Jakarta: PT. ISFI
Penerbitan Jakarta.
Katzung, Bertram G. 2012. ​Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 10. ​Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai