Anda di halaman 1dari 12

1

MENGKAJI LEGALISASI FOTOKOPI BUKTI SURAT OLEH PANITERA

Abdil Baril Basith1

Pendahuluan
Di antara begitu banyak hikmah mutasi (ToA) ialah menemukan praktek
yang beragam dalam beracara, sehingga menggugah minat baca. Salah satunya
ialah pandangan Majelis tentang kriteria keabsahan fotokopi surat untuk diajukan
dalam pembuktian. Ada yang berpendapat bahwa legalisasi oleh panitera
merupakan suatu keharusan menurut hukum, dan ada pula yang berpendapat
sebaliknya.
Sekian lama tulisan ini disusun, namun ternyata sangat jauh dari lengkap
apalagi sempurna. Kalaulah bukan karena melihat kenyataan begitu ribetnya
beracara untuk para pihak, penulis tidak berhasrat untuk menyelesaikan corat-
coret ini.2 Dalam kesempatan ini pula, mohon tanggapan dan kritik dari pembaca
budiman.

Identifikasi Masalah
Pembuktian memiliki kompleksitas dan dinamika tersendiri. Dalam
perkara perdata, bukti surat menempati urutan pertama dan utama. Peraturan
perundang-undangan telah mengatur berbagai ragam bukti surat sebagaimana
diatur Pasal 285-305 R.Bg, Pasal 1867-1894 BW dan Pasal 138-147 Rv. Mulai
akta otentik sampai surat lainnya. Masing-masing diatur perihal syarat formil dan
materil juga nilai pembuktiannya.
Dalam praktek, pihak kadang mengajukan bukti surat asli, kadang salinan,
turunan atau kutipan, bahkan adakalanya pihak mengajukan fotokopi surat tanpa
aslinya. Terkait permasalahan tersebut, menarik untuk dikaji perihal syarat-syarat
fotokopi surat agar bernilai pembuktian.

1
Hakim Pengadilan Agama Talu
2
Sebagai contoh, ketika Buku Kutipan Nikah tidak ada karena satu dan lain hal, pihak berperkara
harus melakukan: permohonan pengeluaran duplikat, mengkopinya, me-nazegelen dan legalisasi.
Tiap proses tentu memakan waktu dan biaya.
2

Pasal 1888 BW menentukan bahwa: kekuatan pembuktian dengan suatu


tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta
kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai
dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan. Hal
mana dikuti putusan MARI Nomor 701 K/ Sip/1974.
Dengan putusan No. 3609 K/Pdt/1985, Mahkamah Agung menyatakan
bahwa fotokopi surat yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat
aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.
Penunjukkan asli surat di persidangan bertujuan supaya Majelis dapat
mencocokkan dan demikian pula lawan dapat kesempatan untuk mengajukan
tanggapan terhadap bukti tersebut.3 Bertolak dari berbagai yurisprudensi tersebut
dipedomani bahwa fotokopi bernilai pembuktian jika cocok dengan aslinya.
Syarat lainnya yang harus dipenuhi ialah pelunasan bea meterai bilamana
tercover oleh maksud Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Meterai. Karena, sebagaimana ditegaskan Pasal 11 ayat (1) undang-undang
tersebut bahwa dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar tidak
dibenarkan untuk diterima, dipertimbangkan atau disimpan.
Tambahan syarat lainnya berasal dari surat Mahkamah Agung No.
MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tertanggal 15 Agustus 1994. Surat tersebut adalah
penegasan sekaligus penjabaran Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan Tahun 1993. Di dalamnya terdapat rincian tugas Panitera
yang diantaranya: melegalisir surat-surat yang akan dijadikan bukti dalam
persidangan. Dengan biaya Rp. 250,- (dua ratus rupiah).4 Setiap fotokopi surat,
terlebih dahulu dilegalisasi oleh panitera sebelum diajukan ke persidangan.
Dari uraian tersebut timbul pertanyaan. Pertama, apakah yang dimaksud
dengan legalisasi (legalisir)? Kedua, apa dasar wewenang panitera untuk
melakukan legalisasi? Ketiga, apakah legalisasi panitera menjadi salah satu syarat
keabsahan fotokopi surat?

3
Lihat Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidanga, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, cet. VII, 2008, h. 589
4
Wildan Suyuthi Mustofa, Panitera Pengadilan, Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab, MARI RI,
2002, h. 41-43
3

Untuk itu akan dibahas terlebih dahulu perihal dasar wewenang panitera
untuk melegalisasi fotokopi surat, dilanjutkan dengan kajian perihal makna
legalisasi menurut bahasa, teori, praktek dan hukum positif. Terakhir akan dibahas
tentang kedudukan legalisasi dihubungkan dengan keabsahan fotokopi bukti surat.

Sumber Tugas dan Kewenangan Legalisasi Fotokopi Bukti Surat oleh


Panitera
Tugas dan wewenang legalisasi panitera berasal dari Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pasal 63 dan 64 dari undang-
undang tersebut menjelaskan tugas dan tanggung jawab panitera. Pasal 63 ayat (3)
menyatakan: Tata cara pengeluaran surat asli, salinan putusan, risalah, berita
acara, dan akta serta surat-surat lainnya diatur oleh Mahkamah Agung.
Sedangkan pada Pasal 64 menegaskan: Tugas dan tanggung jawab serta tata
kerja panitera pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Sebagai tindak lanjutnya, Mahkamah Agung dalam Buku I tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan tahun 1993 merinci
Tugas Panitera. Pada angka 9 menyebutkan bahwa diantara tugas panitera ialah:
melegalisir surat-surat yang akan dijadikan bukti dalam persidangan.
Kemudian dalam rangka penyeragaman, Mahkamah Agung melalui
suratnya dengan No. MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tentang Legalisasi Surat
memberikan pedoman perihal redaksi legalisasi berikut besaran biayanya.
Redaksinya berbunyi: Setelah isi fotocopy diperiksa dan dicocokkan dengan surat
aslinya, ternyata fotocopy tersebut cocok dan sesuai dengan aslinya.
Pengadilan Negeri
Panitera,
Cap/ tanda tangan
(............................)
Biayanya sejumlah Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah)
Dapat disimpulkan dari kalimat: melegalisir surat-surat yang akan
dijadikan bukti dalam persidangan, dihubungkan dengan redaksi legalisasi di
atas, bahwa proses tersebut merupakan syarat untuk. Suatu surat yang akan
4

dijadikan sebagai bukti dipersidangan harus dilegalisasi terlebih dahulu oleh


panitera. Legalisasi tersebut berupa pencocokkan dengan aslinya. Artinya,
panitera akan memeriksa dengan membandingkan fotokopi dengan aslinya. Persis
seperti yang biasa dilakukan Majelis dalam memeriksa bukti surat dengan hasil
berupa redaksi yang hampir sama.

Seputar Makna dan Maksud Legalisasi


Menurut Tan Thong Kie, kata legalisasi adalah istilah yuridis yang
pengertiannya tidak dijelaskan oleh undang-undang5. Menurut KBBI versi online,
legalisasi artinya pengesahan (menurut undang-undang atau hukum).
Melegalisasi berarti membuat menjadi legal, seperti mengesahkan (surat dsb).
Dalam Black Law Dictionary, legalisation didefinisikan sebagai to make
lawful; to authorize or justify by legal sanction <the bill to legalize marijuana
never made it to the Senate floor.; To imbue with the spirit of law; to make
legalistic <as religions age, the tend to become legalize> - legalisation. 6
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, dikenal beberapa ragam
praktek legalisasi. Pertama, legalisasi data digital. Kedua, legalisasi akta di bawah
tangan, dan ketiga, legalisasi tanda tangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pengalihan
Dokumen Perusahaan ke Dalam Mikrofilm atau Media Lainnya dan Legalisasi,
memberikan definisi yang jelas untuk kata legalisasi sebagaimana disebutkan pada
Pasal 1 angka 3. Legalisasi adalah tindakan pengesahan isi dokumen perusahaan
yang dialihkan atau ditransformasikan ke dalam mikro film atau media lain, yang
menerangkan atau menyatakan bahwa isi dokumen perusahaan yang terkandung
di dalam mikrofilm atau media lain tersebut sesuai dengan naskah aslinya.7

5
Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011,
Jakarta, h. 522
6
Bryan A. Garner (editor in chief), Black Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing co., h.
977
7
Dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (2) PP tersebut diterangkan bahwa legalisasi dilakukan dengan
cara membubuhkan tanda tangan pada hasil cetak dokumen perusahaan tersebut dan pernyataan
bahwa hasil cetak sesuai dengan aslinya
5

Legalisasi telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda melalui


Ordonansi 1916-46, sebagai proses pengesahan akta di bawah tangan. Seseorang
yang dikenal oleh notaris, menandatangani suatu akta di bawah tangan di hadapan
notaris, setelah isi akta tersebut dijelaskan (voorhoden).8 Bentuk lainnya ialah
waarmerking (verklaring van visum) dimana notaris hanya mendaftar saja
(meregister). Surat di bawah tangan tersebut tidak dibacakan/ atau dijelaskan dan
tidak ditandatangani di hadapan pejabat umum.
Dalam praktek notaris, menurut Irma Devita, ada legalisasi dengan jenis
legalisasi tanda tangan saja. Notaris hanya menerangkan bahwa pada tanggal
sekian seseorang menandatangani surat di hadapan notaris. (www.irmadevita.com,
diakses tanggal 22 April 2013).
Ragam lain legalisasi ialah legalisasi tanda tangan. Tanda tangan ialah
memberi tanda (teken) di bawah sesuatu. J. J. De Joncheere dalam disertasinya
berjudul Het Rechtskarakter van de Onderteekening, mendefinisikan
penandatanganan ialah suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan
(penandatangan), bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah
suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai
tulisannya sendiri.9
Tanda tangan tersebut harus mempunyai sifat individual (individueel
karakter) dalam bentuk huruf yang ditulisnya. Setiap tanda tangan yang ditulis
dengan tangannya sendiri memenuhi syarat-syarat tentang bentuk suatu
penandatangan yang sah.10

8
Tan Thong Kie, Studi Notariat, .... hlm. 519-520.

9
Tan Thong Kie, Studi Notariat, .... hlm.op.cit. h. 472
10
Tan Thong Kie, Studi Notariat, .... hlm.op.cit. h. 476. Menurut Pasal 1874 ayat 2 BW (Stbld.
16-42) menyatakan bahwa: dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan
dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang
notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang, dari mana ternyata bahwa ia
mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa
isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan di
hadapan pegawai tadi. Reglement op de Rechtvordering Pasal 156 berbunyi sbb: Apabila para
pihak tidak mencapai persetujuan mengenai tanda-tanda yang dibandingkan satu sama lain, maka
hakim tidak akan menerima tanda-tanda lain dari pada: ...
(1) akta-akta autentik (BW 1868v; IR 165)
(2) dst.
6

Dalam Notaris Reglement (PJN Stbl. 1860-3), Pasal 44 menentukan


bagaimana caranya dan oleh siapa tanda tangan seorang notaris harus dilegalisasi.
Yaitu oleh: gubernur, apabila tanda tangan yang berkenaan hendak dipakai di
dalam negeri; dan sekretaris umum negara atau sekretaris negara atau direktur
kehakiman, apabila tanda hendak dipakai di luar negeri.
Pasal 44 tersebut dicabut dengan Stbl. 1909-290 dan diganti dengan
Ordonansi Stbl. 1909-291 tentang Bepalingen nopens het legaliseren van
Handtekeningen. Diatur legalisasi tanda tangan notaris, pejabat-pejabat
pemerintah atau penduduk lain (landsdienaren of andere ingezetenen).
Ragam legalisasi lainnya ialah mensahkan tanda tangan pejabat
pemerintah atau pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah. Hal mana
berdasarkan atas Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 23
(Staatsblad. 1909 Nomor 291) tanggal 25 Mei 1909, yang mewajibkan kepada
Instansi-Instansi dan individu yang membawa dokumen dan akan
mempergunakan dokumen yang diterbitkan di Indonesia ke luar negeri ataupun
sebaliknya.
Legalisasi ini bermaksud untuk membuktikan bahwa dokumen yang dibuat
oleh para pihak itu memang benar ditandatangani oleh para pihak dan proses itu
disaksikan oleh seorang Pejabat Umum dalam hal ini adalah notaris pada tanggal
yang sama dengan waktu penandatanganan itu. Kemenhukham akan melakukan
pencocokkan tanda tangan notaris dengan contoh tanda tangan yang tersimpan di
Direktorat Perdata Dirjen AHU.
Menurut ordonansi 1916-46 tentang Waarmerken van Onderhandsche
Akten Enz (Atuan tentang Cara Menadai Surat (Akta) di Bawah Tangan), selain
notaris, ditunjuk pula untuk me-waarmerking akta di bawah tangan, pegawai
pamong pradja yang mengepalai kewedanaan atau kabupaten dan sekretaris
keresidenan, ketua pengadilan negeri, walikota, bupati, kepala kewedanaan.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, kita tentu saja akrab dengan legalisir
(legalisasi) fotokopi STTB atau Ijazah dan yang sejenisnya. Dalam arti, bahwa

(5) (ing. Stbl. 19-603) sidik jari, yang harus dibubuhkan oleh pihak itu dihadapan dan atas
petunjuk dari hakim atau hakim komisaris
7

pihak yang berwenang mengeluarkan (Lembaga Pendidikan) menyatakan sah,


bahwa fotokopi telah sesuai dengan aslinya dan setelah dicroscek ke dalam buku
induk register ternyata benar.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa legalisasi memiliki beragam
makna dan cara:
1. Mengesahkan dengan menyatakan bahwa benar perihal kecocokkan
substansi data digital dengan fisiknya;
2. Mengesahkan dengan menyatakan bahwa benar perihal yang bertanda
tangan pada akta tersebut adalah orang atau pejabat yang tertulis namanya
dalam akta;
3. Mengesahkan dengan menyatakan bahwa benar perihal penanda tangan,
isi maupun tanggal dalam akta di bawah tangan;
4. Mengesahkan dengan menyatakan bahwa benar perihal data-data yang
tercantum didalamnya setelah dicroscek dengan redister yang ada di
lembaga yang mengeluarkan;
5. Mengesahkan dengan menyatakan bahwa benar fotokopi telah cocok
dengan aslinya.
Mencermati teks maupun konteks surat MA di atas, penulis menyimpulkan
bahwa makna legalisasi dalam surat tersebut ialah sebagaimana maksud
pengertian nomor lima, dengan unsur-unsur:
1. pencocokkan fotokopi surat dengan aslinya;
2. dilaksanakan oleh panitera;
3. dengan membubuhkan kalimat yang sudah ditentukan, dan;
4. membayar biaya
Artinya, berdasarkan surat tersebut panitera diberi wewenang untuk
melakukan pencocokkan fotokopi dengan aslinya.
Sebagai bahan perbandingan sekaligus kajian, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah mengatur kewenangan khusus notaris
untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Diantaranya ialah sebagaimana
dimaksud Pasal 15 ayat (2) angka 4, yaitu: melakukan pengesahan kecocokan
fotokopi dengan surat aslinya.
8

Mengenai hal tersebut, Habib Adjie menyatakan bahwa camat dan


pengadilan terbatas hanya untuk pengesahan kecocokan fotokopi untuk surat-surat
yang dikeluarkan oleh pejabat atau instansi tersebut, sedangkan notaris untuk
surat-surat yang dibuat oleh siapa saja, baik perorangan maupun institusi. 11

Pembahasan Perihal Legalisasi Fotokopi Bukti Surat oleh Panitera


Setelah sedikit uraian diatas, Penulis akan mencoba meninjau legalisasi
fotokopi oleh panitera dari tiga sisi. Ketentuan biaya dalam berperkara, hukum
acara pembuktian, dan asas beracara.
Tinjauan pertama. Tiada perkara tanpa biaya. Biaya tersebut terbagi dua,
kepaniteraan dan proses. Pasal 81A ayat (3) (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1986
menentukan:
(3) Untuk penyelesaian perkara perdata dan perkara tata usaha negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), biaya kepaniteraan dan biaya proses
penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau para pihak yang
berperkara.
(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan
penerimaan negara bukan pajak yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Mahkamah Agung berwenang menetapkan dan membebankan biaya proses
penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Mengenai biaya kepaniteraan diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor


53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berlaku pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya,
sedangkan mengenai biaya proses diatur dengan Perma Nomor 02 Tahun 2009
tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, juga oleh Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor 044/KMA/SK/III/2009 tentang Biaya Perkara pada
Mahkamah Agung RI dan Empat Lingkungan Peradilan di Bawahnya. Bila biaya
perkara maupun biaya proses untuk MA maupun peradilan banding ditetapkan

11
Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No, 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Refika Aditama, Bandung, cet III, 2011, h. 81.
9

dalam Perma dan SK MA tersebut, maka untuk peradilan tingkat pertama diatur
dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama (lihat Pasal 2 ayat (3)
Perma Nomor 02 Tahun 2009).
Khusus mengenai jenis yang berkaitan dengan pokok kajian, Penulis
mengidentifikasi hanya beberapa nomor dalam Lanpiran PP tersebut yang
mungkin berkaitan. Pertama, nomor 9 (sembilan) tentang legalisasi tanda tangan.
Kedua, nomor 13 (tiga belas) tentang Legalisasi dari satu atau lebih tanda tangan
di dalam akta termasuk akta catatan sipil, dengan tidak mengurangi yang telah
ditetapkan dalam ord. S. 1916 No. 46. Ketiga, nomor 16 (enam belas) tentang
Pengesahan surat di bawah tangan.
Dari urian sebelumnya, penulis berpendapat bahwa proses legalisasi oleh
panitera tidak termasuk salah satu dari tiga kategori diatas. Tidak sebagai
legalisasi tanda tangan karena panitera tidak memiliki specimen tanda tangan dari
penandatangan akta asli. Tidak pula sebagai pengesahan surat di bawah tangan,
karena maksud dan tata cara legalisasi panitera berbeda maksud dan cara dengan
pengesahan surat di bawah tangan.
Kesimpulan Penulis, jikapun legalisasi tetap mesti dilaksanakan,
permintaan legalisasi tersebut tidak membayar. Hal mana berdasakan Lampiran
PP 53 Tahun 2008 nomor 12 yang berbunyi: Akta asli yang dibuat di
kepaniteraan, dikecualikan penyimpanan akta catatan sipil dan pemasukan atau
pemindahan sesuatu akta tersebut begitu pula dari segala keterangan-keterangan
tertulis yang dikeluarkan oleh Panitera dalam hal yang diharuskan menurut
hukum.
Sebagai pembanding, sebelum lahirnya PP tersebut, dana pihak ketiga
(dana yang diterima pengadilan selain dari APBN), baik berasal dari pihak
berperkara maupun pihak lain yang memanfaatkan layanan hukum yang diberikan
pengadilan, terbagi atas enam jenis: jasa layanan hukum (jasa administratif berupa
pengesahan atau pemberian status hukum terhadap suatu dokumen, terdiri atas:
legalisasi, pewarganegaraan, biaya yang berkaitan dengan status hukum, dan
biaya yang berkaitan dengan notariat) uang perkara (terbagi atas dua jenis: biaya
kepaniteraan, biaya proses, dan biaya administrasi. Biaya kepaniteraan dipungut
10

atas dasar penetapan pemerintah untuk pelayanan yang diberikan pengadilan atas
pendaftaran suatu perkara. Termasuk dalam biaya kepaniteraan ialah biaya atas
penulisan penetapan putusan (leges) yang dipungut setelah jatuhnya. Biaya proses
ialah biaya yang berkaitan dengan penyelesaian suatu perkara, seperti biaya
pemanggilan, pemrosesan dan pengiriman berkas. Biaya adminsitrasi ialah biaya
yang dipungut untuk operasional pengadilan. Mneurut SEMA No.2 Tahun 2000,
jumlahnya Rp. 50.000,-, uang titipan atau konsinyasi, biaya eksekusi, sita dan
somasi, biaya banding, kasasi dan PK, dan biaya lain-lain. Biaya lain-lain didapat
dari salinan putusan yang diminta masyarakat. Biaya ini diperoleh pula dari
pembuatan Surat Keterangan Bebas Perkara Pengadilan (SBPP).
Pada memori penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 1954 tentang Biaya Legalisasi Tanda Tangan disebutkan bahwa:
Setiap tahun Sekretaris Jenderal pada Kementerian Kehakiman, oleh atau
atas namanya, melegaliseer tanda tangan-tanda tangan pejabat-pejabat
yang dikenal olehnya sebanyak 3 sampai 4000 buah (lihat pasal 4
Gouvernementsbesluit tanggal 25 Mei 1909 Nr 32, Staatsblad 1909 Nr
291). Sampai sekarang legalisasi ini dilakukan dengan percuma. Rasanya
adalah pada tempatnya, untuk keperluan negara, jika yang
berkepentingan membayar ongkos selayaknya guna pekerjaan yang
tersangkut pada legalisasi ini, seperti juga telah dilakukan oleh Centraal
Testamentenregister guna pemberian keterangan sebagai yang dimaksud
dalam Ordonnantie Centraal Testamentenregister (lihat pasal 4
Ordonantie tersebut), atas kuasa Menteri Kehakiman.

Tampak dari pertimbangan dalam memori tersebut bahwa legalisasi


tersebut tidak lain sebagai partisipasi untuk keperluan negara, hal mana juga
menjadi pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Meterai. Pada konsideran: Menimbang bagian a disebutkan bahwa: pembangunan
nasional menuntut keiukutsertaan segenap warganya untuk berperan
menghimpun dana pembiayaan yang memadai, terutama harus bersumber dari
kemampuan dalam negeri, ....
Tinjaun kedua dari aspek hukum acara, khususnya mengenai sesi
pembuktian. Ketika didalilkan satu hal atau satu hubungan, mesti dikuatkan
dengan alat bukti. Peraturan perundang-undangan telah merincinya sistem secara
detil. Sebagai contoh, kita ambil jenis bukti surat terkuat yaitu akta otentik. Ia
11

merupakan alat bukti yang memiliki pembuktian luar, formil dan materil. Akta
otentik menurut Pasal 1868 BW ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang oleh/ atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk maksud itu, di tempat dimana akta dibuat.12
Ketika kriteria-kriteria telah dipenuhi, maka surat tersebut bernilai
pembuktian sempurna dan mengikat. Untuk keperluan pemberkasan, pihak
berperkara tinggal memfotokopinya. Lalu Majelis akan memeriksa, apakah
fotokopi tersebut cocok dengan aslinya? Kepada lawan diberikan kesempatan
untuk menanggapinya. Membantah ataukah membenarkan. Pada titik inilah
kelemahan legalisasi oleh panitera. Pertama, Majelis akan tetap melakukan
pencocokkan terhadap fotokopi surat tersebut. Kedua, pencocokkan oleh panitera
tidak melibatkan pihak lawan, sehingga tidak mungkin ada sanggahan.
Jadi sangatlah jelas bahwa legalisasi tersebut sia-sia belaka. Langkah-
langkah pihak berperkara tidaklah memiliki arti karena kata akhir tentang cocok
tidaknya suatu fotokopi surat dengan aslinya, ada di Majelis. Masalah lainnya
muncul bilamana ternyata Majelis dengan panitera berbeda kesimpulan terhadap
cocok tidaknya suatu fotokopi surat.
Tinjauan terakhir ialah dari sisi asas beracara. Pasal 2 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana pula
ditegaskan dengan Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

12
Menurut Asser-Anema, tulisan (geschrift) adalah dragers van verstaanbare leesteken dienende
om een gedachteneenheid te vertolken (pengemban tanda baca yang mengandung arti serta
bermanfaat untuk menggambarkan suatu fikiran). Sedangkan akta menurut Veegens-Oppenheimer
adalah een ondertekend geschrift opgemaakt om tot bewijs te dienen (suatu tulisan yang
ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti (Tan Thong Kie, ibid h. 441). Istilah
Pejabat umum merupakan terjemahan dari openbare amtbtenaren dari Pasal 1 PJN (Reglement of
Het Notaris Ambt in Indonesia, Ordonenati van Java, 1860, Stbl. 1860-3 dan Pasal1868 BW.
Lihat pula pendapat Irawan Soerojo, tiga unsur esensialia syarat formal akta otentik: didalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum. Akta yang
dibuat oleh dan di hadapan PU yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat
(Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, cet.1, 2012, Bandung.
hlm. 9)
12

Dari uraian sebelumnya, penulis berpendapat bahwa disamping pengutipan


biaya legalisasi tersebut bertentangan dengan PP mengenai PNBP di lingkungan
peradilan karena tidak tercover oleh salah satu item di dalamnya sebagaimana
diuraikan dalam lampiran, juga menjadikan adanya proses tambahan yang
memakan waktu dan biaya tambahan, sehingga membuat beracara tidak menjiwai
asas tersebut. Legalisasi menambah proses beracara sehingga mengurangi prinsip
asas sederhana dan asas cepat, pun menambah biaya yang keluar sehingga
mengurangi asas biaya ringan.
Terakhir, penulis dampaikan Hasil Rumusan Komisi IV TUN pada
Rakernas 2011 point 7 halaman 11 yang menegaskan bahwa bukti tertulis atau
surat yang diajukan di persidangan cukup diberi meterai tanpa perlu ada leges
lagi.

Kesimpulan
Dipenghujung bahasan, penulis menyimpulkan beberapa hal:
1. Legalisasi (legalisir) artinya pengesahan surat oleh yang berwenang untuk
itu perihal kebenaran tanda tangan dan atau tanggal dan atau isi suatu akta
dan atau cocoknya suatu fotokopi dengan aslinya.
2. Dasar wewenang panitera untuk melakukan legalisasi bersumber dari
delegasi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.
3. Legalisasi tidak menjadi salah satu syarat sahnya fotokopi surat untuk
diajukan sebagai alat bukti.
Tulisan ini jauh dari sempurna. Atensi dan masukan akan meluruskan
kekeliruan. Oleh karena itu, sesudah dan sebelumnya penulis ucapkan terima
kasih. Jazakumullah khairan katsira.
Wallahu alam bi al-shawab
Simpang Empat, 03 Oktober 2013

Anda mungkin juga menyukai