Pendahuluan
Di antara begitu banyak hikmah mutasi (ToA) ialah menemukan praktek
yang beragam dalam beracara, sehingga menggugah minat baca. Salah satunya
ialah pandangan Majelis tentang kriteria keabsahan fotokopi surat untuk diajukan
dalam pembuktian. Ada yang berpendapat bahwa legalisasi oleh panitera
merupakan suatu keharusan menurut hukum, dan ada pula yang berpendapat
sebaliknya.
Sekian lama tulisan ini disusun, namun ternyata sangat jauh dari lengkap
apalagi sempurna. Kalaulah bukan karena melihat kenyataan begitu ribetnya
beracara untuk para pihak, penulis tidak berhasrat untuk menyelesaikan corat-
coret ini.2 Dalam kesempatan ini pula, mohon tanggapan dan kritik dari pembaca
budiman.
Identifikasi Masalah
Pembuktian memiliki kompleksitas dan dinamika tersendiri. Dalam
perkara perdata, bukti surat menempati urutan pertama dan utama. Peraturan
perundang-undangan telah mengatur berbagai ragam bukti surat sebagaimana
diatur Pasal 285-305 R.Bg, Pasal 1867-1894 BW dan Pasal 138-147 Rv. Mulai
akta otentik sampai surat lainnya. Masing-masing diatur perihal syarat formil dan
materil juga nilai pembuktiannya.
Dalam praktek, pihak kadang mengajukan bukti surat asli, kadang salinan,
turunan atau kutipan, bahkan adakalanya pihak mengajukan fotokopi surat tanpa
aslinya. Terkait permasalahan tersebut, menarik untuk dikaji perihal syarat-syarat
fotokopi surat agar bernilai pembuktian.
1
Hakim Pengadilan Agama Talu
2
Sebagai contoh, ketika Buku Kutipan Nikah tidak ada karena satu dan lain hal, pihak berperkara
harus melakukan: permohonan pengeluaran duplikat, mengkopinya, me-nazegelen dan legalisasi.
Tiap proses tentu memakan waktu dan biaya.
2
3
Lihat Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidanga, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, cet. VII, 2008, h. 589
4
Wildan Suyuthi Mustofa, Panitera Pengadilan, Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab, MARI RI,
2002, h. 41-43
3
Untuk itu akan dibahas terlebih dahulu perihal dasar wewenang panitera
untuk melegalisasi fotokopi surat, dilanjutkan dengan kajian perihal makna
legalisasi menurut bahasa, teori, praktek dan hukum positif. Terakhir akan dibahas
tentang kedudukan legalisasi dihubungkan dengan keabsahan fotokopi bukti surat.
5
Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011,
Jakarta, h. 522
6
Bryan A. Garner (editor in chief), Black Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing co., h.
977
7
Dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (2) PP tersebut diterangkan bahwa legalisasi dilakukan dengan
cara membubuhkan tanda tangan pada hasil cetak dokumen perusahaan tersebut dan pernyataan
bahwa hasil cetak sesuai dengan aslinya
5
8
Tan Thong Kie, Studi Notariat, .... hlm. 519-520.
9
Tan Thong Kie, Studi Notariat, .... hlm.op.cit. h. 472
10
Tan Thong Kie, Studi Notariat, .... hlm.op.cit. h. 476. Menurut Pasal 1874 ayat 2 BW (Stbld.
16-42) menyatakan bahwa: dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan
dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang
notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang, dari mana ternyata bahwa ia
mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa
isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan di
hadapan pegawai tadi. Reglement op de Rechtvordering Pasal 156 berbunyi sbb: Apabila para
pihak tidak mencapai persetujuan mengenai tanda-tanda yang dibandingkan satu sama lain, maka
hakim tidak akan menerima tanda-tanda lain dari pada: ...
(1) akta-akta autentik (BW 1868v; IR 165)
(2) dst.
6
(5) (ing. Stbl. 19-603) sidik jari, yang harus dibubuhkan oleh pihak itu dihadapan dan atas
petunjuk dari hakim atau hakim komisaris
7
11
Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No, 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Refika Aditama, Bandung, cet III, 2011, h. 81.
9
dalam Perma dan SK MA tersebut, maka untuk peradilan tingkat pertama diatur
dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama (lihat Pasal 2 ayat (3)
Perma Nomor 02 Tahun 2009).
Khusus mengenai jenis yang berkaitan dengan pokok kajian, Penulis
mengidentifikasi hanya beberapa nomor dalam Lanpiran PP tersebut yang
mungkin berkaitan. Pertama, nomor 9 (sembilan) tentang legalisasi tanda tangan.
Kedua, nomor 13 (tiga belas) tentang Legalisasi dari satu atau lebih tanda tangan
di dalam akta termasuk akta catatan sipil, dengan tidak mengurangi yang telah
ditetapkan dalam ord. S. 1916 No. 46. Ketiga, nomor 16 (enam belas) tentang
Pengesahan surat di bawah tangan.
Dari urian sebelumnya, penulis berpendapat bahwa proses legalisasi oleh
panitera tidak termasuk salah satu dari tiga kategori diatas. Tidak sebagai
legalisasi tanda tangan karena panitera tidak memiliki specimen tanda tangan dari
penandatangan akta asli. Tidak pula sebagai pengesahan surat di bawah tangan,
karena maksud dan tata cara legalisasi panitera berbeda maksud dan cara dengan
pengesahan surat di bawah tangan.
Kesimpulan Penulis, jikapun legalisasi tetap mesti dilaksanakan,
permintaan legalisasi tersebut tidak membayar. Hal mana berdasakan Lampiran
PP 53 Tahun 2008 nomor 12 yang berbunyi: Akta asli yang dibuat di
kepaniteraan, dikecualikan penyimpanan akta catatan sipil dan pemasukan atau
pemindahan sesuatu akta tersebut begitu pula dari segala keterangan-keterangan
tertulis yang dikeluarkan oleh Panitera dalam hal yang diharuskan menurut
hukum.
Sebagai pembanding, sebelum lahirnya PP tersebut, dana pihak ketiga
(dana yang diterima pengadilan selain dari APBN), baik berasal dari pihak
berperkara maupun pihak lain yang memanfaatkan layanan hukum yang diberikan
pengadilan, terbagi atas enam jenis: jasa layanan hukum (jasa administratif berupa
pengesahan atau pemberian status hukum terhadap suatu dokumen, terdiri atas:
legalisasi, pewarganegaraan, biaya yang berkaitan dengan status hukum, dan
biaya yang berkaitan dengan notariat) uang perkara (terbagi atas dua jenis: biaya
kepaniteraan, biaya proses, dan biaya administrasi. Biaya kepaniteraan dipungut
10
atas dasar penetapan pemerintah untuk pelayanan yang diberikan pengadilan atas
pendaftaran suatu perkara. Termasuk dalam biaya kepaniteraan ialah biaya atas
penulisan penetapan putusan (leges) yang dipungut setelah jatuhnya. Biaya proses
ialah biaya yang berkaitan dengan penyelesaian suatu perkara, seperti biaya
pemanggilan, pemrosesan dan pengiriman berkas. Biaya adminsitrasi ialah biaya
yang dipungut untuk operasional pengadilan. Mneurut SEMA No.2 Tahun 2000,
jumlahnya Rp. 50.000,-, uang titipan atau konsinyasi, biaya eksekusi, sita dan
somasi, biaya banding, kasasi dan PK, dan biaya lain-lain. Biaya lain-lain didapat
dari salinan putusan yang diminta masyarakat. Biaya ini diperoleh pula dari
pembuatan Surat Keterangan Bebas Perkara Pengadilan (SBPP).
Pada memori penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 1954 tentang Biaya Legalisasi Tanda Tangan disebutkan bahwa:
Setiap tahun Sekretaris Jenderal pada Kementerian Kehakiman, oleh atau
atas namanya, melegaliseer tanda tangan-tanda tangan pejabat-pejabat
yang dikenal olehnya sebanyak 3 sampai 4000 buah (lihat pasal 4
Gouvernementsbesluit tanggal 25 Mei 1909 Nr 32, Staatsblad 1909 Nr
291). Sampai sekarang legalisasi ini dilakukan dengan percuma. Rasanya
adalah pada tempatnya, untuk keperluan negara, jika yang
berkepentingan membayar ongkos selayaknya guna pekerjaan yang
tersangkut pada legalisasi ini, seperti juga telah dilakukan oleh Centraal
Testamentenregister guna pemberian keterangan sebagai yang dimaksud
dalam Ordonnantie Centraal Testamentenregister (lihat pasal 4
Ordonantie tersebut), atas kuasa Menteri Kehakiman.
merupakan alat bukti yang memiliki pembuktian luar, formil dan materil. Akta
otentik menurut Pasal 1868 BW ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang oleh/ atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk maksud itu, di tempat dimana akta dibuat.12
Ketika kriteria-kriteria telah dipenuhi, maka surat tersebut bernilai
pembuktian sempurna dan mengikat. Untuk keperluan pemberkasan, pihak
berperkara tinggal memfotokopinya. Lalu Majelis akan memeriksa, apakah
fotokopi tersebut cocok dengan aslinya? Kepada lawan diberikan kesempatan
untuk menanggapinya. Membantah ataukah membenarkan. Pada titik inilah
kelemahan legalisasi oleh panitera. Pertama, Majelis akan tetap melakukan
pencocokkan terhadap fotokopi surat tersebut. Kedua, pencocokkan oleh panitera
tidak melibatkan pihak lawan, sehingga tidak mungkin ada sanggahan.
Jadi sangatlah jelas bahwa legalisasi tersebut sia-sia belaka. Langkah-
langkah pihak berperkara tidaklah memiliki arti karena kata akhir tentang cocok
tidaknya suatu fotokopi surat dengan aslinya, ada di Majelis. Masalah lainnya
muncul bilamana ternyata Majelis dengan panitera berbeda kesimpulan terhadap
cocok tidaknya suatu fotokopi surat.
Tinjauan terakhir ialah dari sisi asas beracara. Pasal 2 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana pula
ditegaskan dengan Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.
12
Menurut Asser-Anema, tulisan (geschrift) adalah dragers van verstaanbare leesteken dienende
om een gedachteneenheid te vertolken (pengemban tanda baca yang mengandung arti serta
bermanfaat untuk menggambarkan suatu fikiran). Sedangkan akta menurut Veegens-Oppenheimer
adalah een ondertekend geschrift opgemaakt om tot bewijs te dienen (suatu tulisan yang
ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti (Tan Thong Kie, ibid h. 441). Istilah
Pejabat umum merupakan terjemahan dari openbare amtbtenaren dari Pasal 1 PJN (Reglement of
Het Notaris Ambt in Indonesia, Ordonenati van Java, 1860, Stbl. 1860-3 dan Pasal1868 BW.
Lihat pula pendapat Irawan Soerojo, tiga unsur esensialia syarat formal akta otentik: didalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum. Akta yang
dibuat oleh dan di hadapan PU yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat
(Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, cet.1, 2012, Bandung.
hlm. 9)
12
Kesimpulan
Dipenghujung bahasan, penulis menyimpulkan beberapa hal:
1. Legalisasi (legalisir) artinya pengesahan surat oleh yang berwenang untuk
itu perihal kebenaran tanda tangan dan atau tanggal dan atau isi suatu akta
dan atau cocoknya suatu fotokopi dengan aslinya.
2. Dasar wewenang panitera untuk melakukan legalisasi bersumber dari
delegasi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.
3. Legalisasi tidak menjadi salah satu syarat sahnya fotokopi surat untuk
diajukan sebagai alat bukti.
Tulisan ini jauh dari sempurna. Atensi dan masukan akan meluruskan
kekeliruan. Oleh karena itu, sesudah dan sebelumnya penulis ucapkan terima
kasih. Jazakumullah khairan katsira.
Wallahu alam bi al-shawab
Simpang Empat, 03 Oktober 2013