Anda di halaman 1dari 3

DISKUSI PEMBATALAN NIKAH

Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan


dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsung kan
perkawinan. Batalnya suatu perkawinan atau perkawinan dapat dikatakan batal dimulai
setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974.

ALASAN PENGAJUAN PEMBATALAN PERKAWINAN


Adapun alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan dalam Pasal
26 dan 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut:

1. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak


berwenang;
2. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah;
3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi;
4. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri;

Sementara menurut Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan dapat dibatalkan


apabila:

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;


2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain
yang mafqud (hilang);
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;

PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PEMBATALAN PERKAWINAN


Adapun pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan pembatalan perkawinan diatur
dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Adapun berdasarkan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang


dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-
undang;
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan
syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

BATAS WAKTU PENGAJUAN PEMBATALAN PERKAWINAN


Permohonan pembatalan nikah oleh suami atau istri atas alasan perkawinan
dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum atau pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri dapat diajukan
dalam rangka waktu 6 bulan sejak ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaanya (Pasal 72 KHI) dan (Pasal 27 ayat 3 UU No 1 Tahun 1974).
Permohonan pembatalan nikah oleh suami atau istri atas alasan perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum, dapat diajukan dalam jangka
waktu 6 bulan sejak perkawinan dilangsungkan kepada pengadilan agama/mahkamah
syar’iyah dalam wilayah hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan atau di tempat
tinggal kedua suami istri. (Buku II).
Sedangkan untuk pembatalan perkawinan dengan alasan selain yang terdapat pada
Pasal 72 KHI tidak ada batas waktu kadaluarsa pengajuan karena Undang-Undang
Perkawinan maupun KHI tidak mengaturnya.
Perbedaan antara KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 dengan Buku II
Pada KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 terdapat frasa batas waktu pengajuan pembatalan nikah
adalah 6 bulan sejak ancaman berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya.
Sedangkan dalam Buku II dapat diajukan dalam jangka waktu 6 bulan sejak perkawinan
dilangsungkan.

KESIMPULAN
Adik kandung ali (alm) mempunyai legal standing untuk mengajukan pembatalan
pernikahan hal ini berdasarkan Pasal 73 huruf d KHI, walaupun tidak secara jelas
disebutkan keluarga garis menyamping dapat mengajukan pembatalan perkawinan, namun
pada Pasal 73 huruf d terdapat frasa merujuk pasal 67 dan 62 Kompilasi Hukum Islam
tentang Pencegahan Perkawinan. Pada Pasal 62 KHI salah satu pihak yang dapat yang
mengajukan pencegahan perkawinan adalah saudara, oleh karena itu Adik kandung Ali
(alm) mempunyai legal standing untuk mengajukan pembatalan perkawinan.

Terkait perkara yang diajukan oleh Adik kandung Ali (alm) yang mengajukan Pembatalan
Perkawinan Istri dan (Ali alm) yang diajukan setelah 1 tahun kematian Ali (alm) padahal
selama masa perkawinan 17 tahun antara istri dan Ali (alm) tidak ada yang keberatan.
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 385 K/AG/2009
tanggal 16 September 2009 menyatakan bahwa, “Pengajuan gugatan pembatalan nikah
yang diajukan setelah 6 bulan atau setelah suami meninggal maka hak untuk
mengajukan gugatan pembatalan nikah menjadi gugur sesuai dengan ketentuan Pasal
27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan”, maka
permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh adik kandung Ali (alm) dinyatakan
Tidak Dapat Diterima, karena pada gugatan adik kandung Ali (alm) cacat formil yaitu
telah kedaluarsa karena Ali telah meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai