MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam Indonesia I
Dosen Pengampu: Dr. H. Ali Imron, M.Ag.
Oleh
Mochamad Firdaos
122111137
122111138
Zumrotus Saadah
122111134
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat
sebagai penghubumg anatara seorang pria dengan wanita dalam
membentuk suatu keluarga yang sakinah , mawaddah dan warrahmah.
Di dalam perkawinan mempunyai tujuan untuk mencegah
perzinaan
agar
tercipta
ketenangan
dan
ketentraman
bagi
yang
BAB II
Pembahasan
A. Definisi perkawinan wanita hamil
Hukum kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama
berbeda pendapat, sebagai berikut.
1. Ulama madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali)
berpendapat bahwa perkawinan keduanya tetap sah dan boleh bercampur
sebagai suami istri. Dengan ketentuan, bila si pria yang menghamilinya dan
kemudian baru ia mengawininya.
2. Ibnu Hazm (Zahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah)
dikawinkan dan boleh pula bercampur dengan ketentuan, bila mereka telah
bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah
berbuat zina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah diterapkan oleh
para shahabat, antara lain:
Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan
orang yang telah berzina, beliau berkata: boleh mengawinkannya,
asal keduanya telah bertaubat dan telah memperbaiki sifat-sifatnya.
Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada khalifah
Abu Bakar dan berkata: Ya Amirul mukminin, putriku telah
dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan keduaanya dikawinkan.
Ketika itu Khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk
melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya.3
1 Zinuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2007),
Cet 2, hal.45
2 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997), Cet. 2 Hal. 164
3 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995), Cet. 1 Hal, 96-97
4 Ibid. Hal 97
5 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika
2007) cet.2 hal 46
hukumnya
Problematika perkawinan dengan wanita hamil di Indonesia diatur di
dalam kompilasi hukum islam yaitu dalam pasal 53, sebagaiman diungkapkan
dibawah ini:
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.7
Sementara itu kejelasan status anak yang lahir akibat pernikahan
dikarenakan wanita yang melahirkannya telah hamil terlebih dahulu, maka
status anak tersebut menurut pandangan Ulama fiqh, yaitu:
a) Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia
kandungannya berumur 4 bulan keatas. Bila kurang dari 4 bulan,
maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah.
b) Bayi tersebut termasuk anak zina, Karena anak itu adalah anak di
luar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah
anaknya karena hasil dari sperma dan ovum dari bapak dan ibunya.
c) Menurut Imam Syafii: Kalau kandungan itu terlahir setelah 6
bulan waktu dari waktu nikah, maka sang ayah (siapa saja yang
menikah dengan ibu hamil tadi) bisa menjadi wali nikah. Kalau
kandungan itu terlahir kurang dari 6 bulan setelah umur pernikahan
maka walinya adalah wali hakim. Ini didasarkan usia minimal bayi
dalam kandungan adalah enam bulan, jadi selama enam bulan itu
ada kemungkinan janin yang ada dalam kandungan ibu adalah janin
dari orang yang menikahinya.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam selama status perkawinan
yang telah dilakukan memang sah, baik dilakukan saat hamil atau setelah
melahirkan. Maka status anaknya adalah sah. Dan hal ini membawa implikasi
bahwa anak yang pada hakikatnya anak zina, serta formal dianggap menjadi
anak yang sah.8
D. Hukum Perkawinan Beda Agama
Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang yang baik-baik . Makanan
(sembelihan) orang-orang yang di beri Al-kitab itu halal bagimu dan
makananmu halal pula bagi mereka. ( Dan di halalkan mengawini) dengan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan mereka dari kalangan orang-orang
yang di beri Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin
mereka dengan maksud menikahinya dan tidak menjadikannya sebagai
gundik.9
Terhadap ayat tersebut al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam
Syafii, kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyyah tersebut
apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya AlQuran. Namun setelah diturunkannya Al-Quran dan mereka tetap beragama
menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kita. Sementara menurut tiga
madzhab lainnya Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa kebolehan
laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama
ahli kitab tersebut telah dinaskh.10
Kebanyakan para ulama mutaqaddimin dan ulama-ulama ahli hadist
menghalalkan perkawinan semacam ini, mereka beralasan bahwa ayat di atas
membantah pendapat yang melarang nikah dengan wanita kitabiyah.
Kebanyakan para ulama menganggapnya makruh tanzih bukan makruh
tahrim, maksudnya bahwa seorang muslim sebaiknya kawin dengan wanita
tidak sah. Perkawinan yang tidak sah akibat hukumnya bila melahirkan anak
berarti anak yang tidak sah.13
Apabila diperhatikan ketentuan hukum dalam pasal 40 dan 44 KHI, pasal
tersebut mengambil pendapat Imam Syafii yang melihat keberadaan kitab
mereka Taurat dan Injil dinaskh oleh Al-Quran. Sehingga perkawinan antar
pemeluk agama Islam dan selain Islam tidak diperbolehkan, juga dibangun atas
dasar kajian empiris, bahwa realitasnya perkawinan antar pemeluk agama yang
berbeda, lebih banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal
prinsipal yang berbeda.14
Pertimbangan lain yang ditempuh dalam kompilasi hukum Islam juga
mengambil pendapat para ulama Indonesia, termasuk di dalamnya Majelis
Ulama Indonesia yang tidak memperbolehkan perkawinan antar pemeluk
agama. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 221 menyatakan.
BAB III
13. Ibid. Hal 98
14 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997), Cet. 2 Hal. 345
15 Ibid, Hal. 346
Penutup
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zinuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997.
Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani
1989.