Anda di halaman 1dari 8

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................ 1
1. Pentingnya Keberadaan Tanah bagi Kehidupan Manusia .............................................. 1
2. Urgensi Pengaturan Hukum Pertanahan di Indonesia ................................................... 3
3. Eksistensi Hukum Adat dalam Undang-undang pokok Agraria ...................................... 9

BAB II PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA ......................................................................... 11


1. Pengertian Pendaftaran Tanah ...................................................................................... 11
2. Urgensi Pendaftaran Tanah ........................................................................................... 13
3. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah .................................................................................... 15
4. Permasalahan dalam Pendaftaran Tanah ...................................................................... 18
5. Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah ................................................................... 22
a. Sistem Publikasi Negatif (Registration of deeds) ............................................. 22
b. Sistem Publikasi Positif (Registration of titles) ................................................ 22
c. Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Negara Lain................. 24

BAB III HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH .................................................................... 29


1. Asas-asa Hak Menguasai Negara ................................................................................... 29
2. Makna Dikuasai Negara ................................................................................................. 34
3. Pelimpahan HMN di Bidang Pertanahan ........................................................................ 53

BAB IV FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH ............................................................................. 62


1. Pengertian Fungsi Sosial Hak Atas Tanah ....................................................................... 62
2. Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah .................................................................. 64

BAB V SENGKETA PERTANAHAN DAN UPAYA PENYELESAIANNYA .......................................... 76


1. Asas-asas Penyelesaian Sengketa Pertanahan ............................................................... 76
2. Bentuk-Bentuk Sengketa Agraria ................................................................................... 82
a) Sengketa Pertanahan antar Instansi Pemerintah ............................................ 82
b) Sengketa Pertanahan antar Masyarakat dan Pemerintah .............................. 93
c) Sengketa Pertanahan antara Masyarakat ....................................................... 84
3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Agraria .................................................................. 85
a) Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Non Litigasi) ................................ 85
b) Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan (Litigasi)....................................... 92

BAB VI REFORMASI AGRARIA ................................................................................................ 94


1. Istilah dan Pengertian Reformasi Agraria ...................................................................... 94
2. Inkonsistensi Regulasi Pertanahan ................................................................................ 97
3. Regulasi Hak Atas Tanah Tidak Lengkap ........................................................................ 98
4. Kekosongan Hukum (Vacuum Of Norm) di Bidang Pertanahan ..................................... 100
5. Reformasi Agraria untuk Mewujudkan Kepastian Hukum ............................................. 101

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 117

LAMPIRAN : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang


Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ........................................................... 120

i
BAB I
PENDAHULUAN

1. Pentingnya Keberadaan Tanah bagi Kehidupan Manusia

Kesejahteraan rakyat merupakan tujuan penyelenggaran pemerintahan Negara


Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan penyelenggaraan pemerintahan tersebut telah
tertuang dalam pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) paragrap ke-empat , di antara tujuan Negara yang lain, tetapi
beberapa tujuan Negara tersebut juga bermuara kepada tujuan utamanya, yaitu memajukan
kesejahteraan umum. Untuk itu segala daya dan upaya telah dilakukan untuk terwujudnya
tujuan penyelenggaran Negara tersebut.
Sejak awal komitmen untuk mendirikan NKRI, para pendiri (Founding Fathers) negara
ini telah memahami struktur sosial ekonomi dan budaya indonesia yang mayoritas tinggal di
pedesaan dan terjerembab dalam kemiskinan. Mereka juga memiliki pengetahuan dan
wawasan yang cukup luas mengenai teori dan aliran pemikiran yang berkembang di dunia
pada masa itu. Pemahaman yang mendalam tersebut yang mengilhami para Founding
Fathers ketika menyepakati paham negara kesejahteraan dalam dasar negara Pancasila,
UUD 1945 dan selanjutnya dijabarkan dalam Undang-udang Pokok Agraria (UUPA) 1960,
yang merupakan tonggak penting dalam sejarah politik hukum agraria nasional, karena di
dalam produk hukum tesebut terkandung tekat politik yang kuat untuk membongkar
struktur penguasaan tanah yang bercorak Colonial menjadi struktur penguasaan dan
pemanfaatan yang dapat mewujutkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat infonesia (Limbong
2012;12).
Cita-cita hukum pendiri Negara RI menetapkan kewenangan pada negara untuk
menguasai bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Untuk memahami
kerangka substansi dan jiwa UUPA secara utuh, harus masuk ke dalam visi besar dan jiwa
dasar negara , yaitu Pancasila serta UUD 1945. Pancasila adalah rumusan saripati seluruh
filsafat kebangsaan yang mendasari pembangunan negara, sedangkan UUD 1945 adalah
patokan dasar yang membingjai sekaligus mengarahkannya. Pancasila dan UUD 1945
mengandung nilai-nilai dasar yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang dicita-
citakannya dan akan terus diperjuaangka. Nilai-nilai tersebut adalah kemerdekaan,
kesetaraan, kemandirian, kedaulatan, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan (Limbong
2012;14)
Di era kemerdekaan saat ini, seharusnya tidak boleh ada lagi peraturan hukum yang
berlaku di indonesia yang memberi peluang tumbuh dan berkembangnya praktek-praktek
eksploitasi, monopoli serta feodalisme dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, yang hanya mengutungkan orang tertentu, kelompok atau
golongan lapisan masyarakat tertentu, Karena penguasaan terhadap bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat indonesia. Ini sudah menjadi komitmen para pendiri Negara ini.

1
Dalam kehidupan masyarakat indonesia, tanah merupakan harta benda yang sangat
esensial dan tak ternilai harganya. Apalagi bagi masyarakat di pedesaan yang hidupnya
bercocok tanam, sangat tinggi ketergantungan hidup mereka terhadap tanag di mana
mereka hidup dan menggantungkan penghidupan pada hasil bercocok tanam. Sehingga
mereka mungkin terusik manakalah ada ketidak jelasan status tanah yang mereka miliki,
lebih-lebih jika mereka juga tinggal di atas satu-satunya tanah peninggalan leluhurnya
tersebut.
Di samping itu tanah juga mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena
tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset.tanah
merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat indonesia untuk hidup
dan sebagai sumber kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor
modal dalam pembangunan. Sebagai capital asset tanah telah tumbuh sebagai benda
ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan obyek spekulasi. Di
satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat, secara lahir, batin, adil dan merata, sedangkan di sisi lain juga harus dijaga
kelestariaannya (Rubaie 2007;1).
Tanah adalah harta (Property) yang tidak bergerak (Static), sehingga secara fisika tidak
dapat dipindahkan dengan mudah dari satu orang ke orang lain. Tanah bersifat permanen,
yaitu tidak dapat berubah menjadi naik, menjadi turun, atau menghilang lenyap dengan
mudah seperti properti lainnya, sehingga dapat dicatat atau direkam sampai kapanpun. Di
atas tanah dapat didirikan menjadi bangunan rumah, gedung, gedung, tempat untuk
berbisis, jaminan pinjaman dan sebagainya.
Di samping itu tanah juga memiliki makna yang multidimensi, baik dari sisi ekonomi,
politik hukum, maupun sosial budaya. Dari sisi ekonomi, tanah didefinikan sebagai sarana
produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan aset (industri,pertanian komersial).
Dari sisi politik, tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan
bagi masyarakat.
Dari sisi sosial budaya, tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial
pemiliknya, jaminan sosial penduduk, tempat untuk hidup. Sementara itu, dari sisi hukum,
tanah merupakan dasar kekuatan untuk yurisdiksi. Namun demikian, berbagai aspek penting
tanah dalam kehidupan manusia seringkali menyebabkan timbulnya konflik kecenderungan
orang untuk mempertahankan tanahnya dengan cara apapun apabila melanggar hak-
haknya. Konflik pertanahan ini juga sering menimbulkan tindak kekerasan (Rudiyanto
2016;7).
Bahkan hingga saat ini terdapat 2 (dua) bangsa – Israel dan Palestina yang saling
berseteru satu sama lain, seakan tidak ada habis-habisnya sepanjang masa. Padahal segala
cara telah ditempuh, segala bangsa, segala lembaha baik nasional maupun internasional
telah terlibat dalam penyelesaian konflik berkepanjangan tersebut. Yang menjadi obyek
permasalahan utama adalah sengketa wilayah (tanah) antara kedua bangsa.
Pada umumnya, akar permasalahan yang menjadi sebab munculnya sengketa
pertanahan ini adalah disebabkan oleh belum baiknya sistem administrasi pertanahan dan
kendala dalam peraturan mengenai kerangka waktu dalam pelaksanaannya. Bahkan, saat ini
masalah pertanahan di indonesia dianggap sebagai persoalan yang tidak dapat diselesaikan
menggunakan pendekatan hukum saja, tetapi juga harus menggunakan pendekatan holistik
(Komprehensif) seperti politik, sosial budaya, ekonomi dan ekologi (Rudiyanto 2016;7).

2
Idealnya, dengan adanya komitmen pemenuhan hak atas tanah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat sebagaimana ketentuan dalam konstitusi UUD Tahun 1945, sudah
menjadi rujukan berlakunya hukum yang melindungi rakyat dalam kepemilikan tanah.
Namun, dalam perkembangannya tanah sebagai sumber daya agraria belum terjamin dan
terpelihara kemanfaatannya untuk memenuhi kemakmuran rakyat.
Keberadaan tanah belum mampu memenuhi kemanfaatan bersama dalam konsep
fungsi sosial hak atas tanah. Salah satu persoalan yang saat ini muncul terkait dengan
pemenuhan kebutuhan bersama seluruh rakyat dalam asas fungsi sosial yakni ketersediaan
tanah pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pangan, akan tetapi harus dipaksa berubah
fungsinya menjadi kawasan industri, sarana prasarana umum, pemukiman dan lain
sebagainya
Di negara-negara agraris seperti Indonesia, Penyebab kemiskinan dan kurang pangan
yang utama adalah rendahnya akses penduduk pedesaan terhadap tanah (Maguantara
2005;26). Kondisi tersebut di atas banyak dialami pada daerah-daerah yang memiliki potensi
sebagai daerah agraris yang tanahnya sangat produktif untuk menghasilkan produksi
pertanian.
Penyusutan luas tanah pertanian saat ini yang terjadi di kebanyakan daerah produsen
pangan di Indonesia sangat mengancam kehidupan bangsa, karena berdampak pada
ketersediaan pemenuhan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan bersama, untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat di negara yang berpotensi agraris. Potensi kehidupan agraris yang
seharusnya mampu meningkatkan kemakmuran rakyat menjadi tidak termanfaatkan bahkan
berpotensi terpinggirkan.
Hilangnya karakteristik masyarakat agraris berdampak pada terjadinya risk society
Atau resiko kewarganegaraan pada negara-negara yang memiliki potensi sebagai negara
agraris seperti Indonesia. Fenomena menyusutnya luasan lahan pertanian yang terjadi di
banyak daerah tersebut, berdampak pada hilangnya karakter bangsa yang bercorak agraris.
Negara menjadi tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan untuk warga negaranya.
Padahal sebagai negara agraris, sangat ironis jika indonesia tergantung pada negara lain dan
tidak memiliki kedaulatan pangan. Pada kondisi yang lain seringkali tanah yang telah
berubah fungsi menjadi non pertanian tersebut hanya dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi atau golongan saja tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat yang lain, bahkan
apabila pemerintah menetapkan tanah dibutuhkan untuk kepentingan umum tidak
merelakannya.

2. Urgensi Pengaturan Hukum Pertanahan di Indonesia

Negara Kesaturan Republik Indonesia yang penyelenggaraan pemerinthannya


berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan jaminan dan perlindungan
atas hak-hak warga negara, antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai,
dan menikmati hak milik, yang merupakan elemen dari hak asasi manusia (HAM). Hal ini
penting untuk dilakukan sebagai konsekuensi bahwa negara kita adalah negara hukum,
mengingat tanah merupakan salah satu permasalahan pokok di Indonesia.

Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara,
dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa
Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya. Hal ini sesuai amanat
3
konstitusi sebagaimana tercantum pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur yang
menyatkan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi tersebut, pada tanggal 24 September 1960
telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, yaitu Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Yang mana dengan lahirnya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut, maka terjadi perubahan fundamental pada
Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanahan yakni dengan
terwujudnya suatu keseragaman (unifikasi) Hukum Agraria Nasional.

Oleh karena itu UUPA sebagai UU pokok yang mengatur dasar-dasar atau asas-asas
kebijakan negara di bidang pertanahan, seharusnya UUPA menjadi pedoman bagi
pembuatan UU atau peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pertanahan.
Dengan adanya UUPA seharusnya UU sektoral seperti kehutanan, penataan ruang,
pertambangan, mineral, pengairan, pertanian, dan lain-lain bidang sektoral seharusnya
mengacu pada UUPA sebagai UU induk.

Adapun tujuan pokok diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu :


1) Untuk meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara
dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur,
2) Meletakkan dasar-dasar untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan, serta
3) meletakkan dasar-dasar untuk memberi perlindungan hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi seluruh rakyat (Suhariningsih 2009:7).

Sebelum berlakunya UUPA, sebagai warisan hukum tanah pada jaman Hindia Belanda,
hukum agraria di Indonesia bersifat dualistik. Dualisme dalam hukum tanah, bukan karena
pemegang hak atas tanah berbeda hukum perdatanya, melainkan karena perbedaan hukum
yang berlaku terhadap tanahnya. Artinya, berlaku secara berdampingan dua perangkat
hukum tanah yaitu, hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis
dan hukum tanah Barat, yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam bukuII
KUHPerdata, yang merupakan hukum tertulis. Setelah berlakunya UUPA, sifat dualisme
hukum tanah itu diganti dengan unifikasi hukum agraria, artinya memberlakukan satu
macam hukum agraria yakni hukum agraria nasional. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan
UUPA, yaitu meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.

Unifikasi hukum agraria itu tidak hanya ditujukan pada hukumnya saja, tetapi juga
pada hak-hak atas tanah. Setelah berlakunya UUPA, hanya ada satu kesatuan macam hak
atas tanah yaitu, hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Oleh karena itu, hak-hak atas
tanah sebelum berlakunya UUPA yaitu hak-hak atas tanah menurut hukum adat dan hukum
Barat, harus diubah (dikonversi) menjadi salah satu hak yang baru menurut UUPA.
4
Kehidupan masyarakat terus berkembang sesuai dengan dinamika pembangunan dan
tuntutan zaman. Akibatnya, aktifitas kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan
tanah semakin hari semakin bertambah dan bahkan semakin kompleks. Bila kompleksitas itu
tidak diikuti dengan upaya penertiban maka kelak masyarakat akan membebani dirinya dan
bahkan sampai diwariskan kepada anak cucunya dengan permasalahan pertanahan yang
semakin rumit. Di sisi lain, kondisi masyarakat hingga saat ini masih sangat tergantung pada
kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha yang sebagian besar bersifat agraris sehingga tanah
merupakan tumpuan harapan bagi masyarakat agar dapat melangsungkan asas dan tata
kehidupan (Sibuea 2011:287-288).

Tujuan negara kesejahteraan (welfare state) untuk menjamin hak-hak warga negara
pada era modern sekarang ini, masih memiliki ketergantungan pada ketersediaan sumber
daya alam. Kondisi ketersediaan sumber daya alam menjadi faktor yang menentukan dalam
memenuhi hak-hak dasar warga negara.

Salah satu sumber daya alam yang sangat penting dalam menjamin kesejahteraan bagi
rakyat Indonesia sekarang ini adalah tanah. Keberadaan tanah menjadi sumber daya alam
yang penting bagi negara Indonesia, yang diatur pada Pasal 1 ayat (1) UUPA, yang '
menyatakan bahwa: “Semua tanah dalam wilayah Negara Indonesia adalah tanah bersama
dari seluruh rakyat Indonesia”, Selanjutnya dalam Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa,
“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, Pasal tersebut selanjutnya dinyatakan
sebagai salah satu asas hukum tanah yang diistilahkan asas fungsi sosial hak atas tanah.
Keberadaan asas fungsi sosial hak atas tanah dalam hukum tanah menjadi landasan
fundamental bagi terwujudnya tanah yang bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat di negara kesejahteraan.

Muncul berbagai perilaku yang menunjukkan ketamakan, keserakahan, tidak memiliki


solidaritas, dan tidak peduli dalam memanfaatkan. Perilaku tersebut berdampak pada
terjadinya konflik atas tanah yang menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan dalam
penguasaan tanah yang berujung pada perbenturan antara kepentingan perorangan,
kepentingan sosial dan kepentingan umum atas tanah (Rejekiningsih 2016, 300-301).

Jika dicermati, kompleksitas permasalahan agraria di Indonesia bersumber dari aspek


hukum, baik regulasi, kelembagaan maupun penegakan hukum yang menurut Bernhard
Limbong tergambar dalam fakta dan fenomena sebagai berikut:

Pertama, kelemahan filosofis idiologis. Nilai-nilai dasar (fundamental values) ideologi


Pancasila dan konstitusi UUD 1945 seperti moral, kesejahteraan, keadilan, kesejahteraan
dan hak asasi, tidak terjabarkan secara lugas, murni dan konsisten dalam perundang-
undangan keagrariaan berikut peraturan pelaksanaan di bawahnya. Bahkan terdapat pasal-
pasal dalam sejumlah UndangUndang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan amanat
UUD 1945.

Hal itu bisa terjadi karena politik agraria di Indonesia berorientasi pada industrialisasi
dan investasi yang ekstraktif eksploitatif. Ideologi ekonomi liberal yang dipelopori negara-
5
negara maju yang berhaluan kapitalis itu bertentangan dengan ideologi
sosialisme Indonesia yang menjadi jiwa dari Pancasila, UUD 1945, dan
UUPA Tahun 1960. Hal itu menyebabkan politik hukum sebagai sub sistem
politik kekuasaan tak berldaya sehingga muncul produk- produk hukum
yang lebih melayani kepentingan investasi dan industrialisasi yang
digerakkan oleh kapitalisme giobal.

Kedua, sektoralisme undang-undang agraria dan undangundang


terkait agraria. Penjabaran nilai-nilai ideologis konstitusional dalam UUPA
menjadi bias akibat sektoralisme undang-undang terkait agraria. UUPA
memang memiliki beberapa kelemahan, seperti kurang jelas dan tegas
mengatur soal hak asasi manusia, hak ulayat, sektor kehutanan,
pertambangan, tata ruang, dan lingkungan hidup. Narnun masalahnya
kemudian, setiap sektor (kementerian) memperjuangkan kepentingan
masing-masing tanpa penilaian pembahasan yang kritis dan pengawasan
yang ketat dari lembaga Legislatif. Hal ini diperparah dengan kenyataan
bahwa undangundang terkait agraria banyak mengakomodasi kepentingan
pengusaha yang berkolaborasi dengan penguasa.

Pengaturan tentang hak masyarakat adat bahkan dilaksanakan


secara sektoral. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat adat
ditempatkan sebagai obyek dari kepentingan sektoral dalam
penyelenggaraan negara. Akibatnya, setiap Undang-Undang sektoral
mencantumkanpengaturantentangmasyarakatadatmenurutkepentingan
masing-masing yang bermuara pada konflik antara masyarakat adat
dengan pihak ketiga. sektoralisme telah menitikberatkan masyarakat adat
sebagai obyek yang dieksploitasi ketimbang sebagai subyek yang harus
dipenuhi hak-hak mereka di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan
ekologi.

Pengaturan tentang masyarakat adat secara sektoral menempatkan


masyarakat adat pada posisi tak berdaya. Penerapan hak menguasai
negara (HMN) melalui UU sektoral memberikan izin bagi perusahaan untuk
mengeksploitasi sumber daya alam di dalam wilayah yang diklaim
masyarakat adat. Izin yang diberikan oleh negara secara substansial berarti
memberikan hak legal eksptoitasi kepada pengusaha atau investor. Hak
legal seperti HPH dalam bidang Kehutanan dan Kontrak Karya dalam sektor
pertambangan secara prinsipil bertentangan dengan konsep hak
masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.

Ketiga, hukum yang tidak memadai dan terjadinya konflik hukum


(conllict of law). Selain kelemahan filosofis ideologis, tidak sedikit produk
hukum yang tidak memadai, baik dari aspek legal formal maupun material.
Regulasi pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum
misalnya, baru diundangkan pada Januari 2012.

Padahal, hal yang diatur


6 sangat sentral-substansial, karena terkait
kepentingan rakyat banyak dan hak asasi manusia. Lebih dari itu. amanat
UUPA Tahun 1960 untuk menerbitkan UU ganti rugi justru diabaikan dan
diganti UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Bagi Kepentingan Umum.

Berkaitan dengan konflik hukum, banyak undang-undarg sektoral


yang tumpang tindih, saling bertentangan, bahkan saling menegasikan.
UU Kehutanan dan UU Minerb

Anda mungkin juga menyukai